Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH HADIS AHKAM

“Haji dan Umrah”


Dosen Pengampu: Prof., Dr. Nawir Yuslem M.A

Tazkia Azra Naziha Hasibuan (0203222049)

PROGAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN, 2023/2024
KATA PENGANTAR
‫الَّر ِح ِمي الَّر مْح ِن ِهللا ِبْس ِم‬

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Haji dan
Umrah” dengan tepat waktu. Sholawat serta salam marilah kita curahkan kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad SAW. Semoga kita mendapat syafaatnya di akhirat
kelak.
Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban penulis
dalam proses perkuliahan pada mata kuliah Hadist Ahkam. Dan juga diharapkan
makalah ini dapat memberikan pemahaman kepada kita bersama. Penulis menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini masih ada kekurangan, untuk itu penulis
menerima apabila ada saran dan kritik yang membangun dari pembaca, guna
mengevaluasi tulisan ini agar lebih baik lagi.

Wassalamu`alaikum Wr. Wb

Medan, 7 Oktober 2023

Penyusun,

Tazkia Azra Naziha Hasibuan

(0203222049)
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ibadah haji merupakan rukun islam yang ke lima, hal ini kewajiban bagi umat
islam yang secara fisik dan finansial mampu untuk melakukan perjalanan ke
baitullah. Haji menurut bahasa berarti, menuju ke, pergi ke, mengunjungi. Dalam
artian pergi ke Baitullah di mekkah untuk melaksanakan ibadah dengan tata cara dan
waktu yang telah ditentukan1. Sedangkan menurut istilah Haji adalah berziarah ke
2
tempat tertentu, pada waktu tertentu dan amalan tertentu dengan niat ibadah.
Maksudnya berziarah dengan menempuh perjalanan yang cukup jauh hingga
meninggalkan negeri atau kampung halaman dengan tempat tertentu yaitu Ka'bah di
baitullah kota Makkah Al-Mukarramah, Padang Arafah, Muzdalifah dan Minah. Dan
hanya dikerjakan pada bulan-bulan haji yaitu bulan syawal, Dzulqa'adah, Dzulhijjah.
Dengan amalan tertentu dan diniatkan ibadah kepada Allah.
Sedangkan ibadah umrah memang sekilas sangat mirip dengan ibadah haji,
namun tetap saja umrah bukan ibadah haji. Kalau dirinci lebih jauh, umrah adalah
haji kecil, dimana sebagian ritual haji dikerjakan di dalam ibadah umrah. Sehingga
boleh dikatakan bahwa ibadah umrah adalah ibadah haji yang dikurangi.3
Penting adanya mempelajari ketentuan terkait haji dan Umrah yang
merupakan rangkaian kegiatan ibadah yang telah ditetapkan dalam ajaran agama
Islam sebagaimana di amalkan dalam al-qur’an dan hadist sebagai sumber hukum
pokok syariat islam.

1
Achmad Zuhdi, Tuntunan Ibadah Haji dan Umrah sesuai Sunnah Nabi Saw Mengantar Jemaah
Meraih Predikat Haji Mabrur dan Maqbul. (Kebumen: Tangan Emas Publisher, 2017). Cetakan 1, 11.
2
Ahmad Sarwat, Ibadah Haji: Rukun Islam kelim. (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019). Cetakan
1,8
3
Ahmad Sarwat Lc, Seri Fiqih Kehidupan (6): Haji & Umrah (Jakarta: DU Publishing), cet I, h. 23
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka permasalahan
yang menjadi bahan kajian dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Kewajiban haji satu kali


2. Umrah tidak wajib
3. Nazar haji

C. Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tujuan penulisan karya tulis ini terbagi menjadi dua bagian,
yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah
untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Hadist Ahkam.
Adapun Tujuan khusus penyusunan makalah ini adalah:

1. Mengetahui kewajiban haji satu kali


2. Mengetahui hukum ibadah umrah
3. Mengetahui definisi nazar haji
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kewajiban Haji Satu Kali


Haji asal maknanya adalah menyengaja sesuatu. Haji yang dimaksud disini
menurut syara‟ ialah sengaja mengunjungi Ka‟bah (Rumah Suci) untuk melakukan
beberapa amal ibadah, dengan syarat-syarat tertentu. 4 Menurut ulama fiqih terkait haji
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim mengemukakan secara etimology haji adalah
“bermaksud, atau menyengaja”. Secara terminology syariat As-sayyid mendefinisikan
haji sebagai “Mendatangi Baitullah (Ka’bah) dan tempat-tempat tertentu untuk
menunaikan ibadah tertentu, pada waktu tertentu, dan dengan tatacara yang
ditentukan.5
Jika kita melihat keadaan di masyarakat, sering kali kita melihat ada orang
yang melaksanakan haji hingga lebih dari satu kali dengan mengantongi beberapa
alasan. Seperti: ia merasa bahwa ibadaha haji nya di rasa belum sempurna dan lain
sebagainya.
Berdasarkan dalil Al-Qur’an, kewajiban ibadah haji sebagaimana yang
difirmankan Alah Swt dalam surah Ali-Imran ayat 97:
‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬
‫ِف يِه َء اَٰي ٌۢت َبِّي َٰن ٌت َّم َقاُم ْبَٰر ِه َمي ۖ َو َم ن َدَخُهَلۥ اَك َن َء اِم ًناۗ َو ِهَّلِل َعىَل لَّن اِس ِح ُّج ْلَبْيِت َمِن ْس َتَط اَع َلْي ِه َس ِب ياًل ۚ َو َم ن َكَف َر َف َّن‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ٱ‬ ‫ٱ‬
‫َهَّلل َغٌّىِن َع ِن ْلَٰع َلِم َني‬
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim;
Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup
Mengadakan perjalanan ke Baitullahal. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji),
Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam.”

4
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cet. 73 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2016), hal. 247
5
Malik Kamal bin As-Sayid salim, Shahih Fikih Sunah, (Terjemahan), (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007), hal. 263-264
Dari ayat di atas di katakan bahwa kewajiban menunaikan haji bagi setiap
muslim ialah hanya sekali seumur hidup. Adapun yang kedua dan seterusnya
hukumnya tidak wajib/sunnah
Meskipun begitu, keputusan untuk melakukan perjalanan haji yang kedua dan
seterusnya mestinya harus dilandasi atas berbagai pertimbangan. Apalagi dalam
konteks Indonesia, ada beberapa masalah yang muncul berkaitan dengan hal ini.
pertama, kuota perjalanan haji terbatas, sementara peminat haji membludak. Alhasil,
masa tunggu keberangkatan ke tanah suci menjadi sangat lama.
Berdaasarkan hadist:
“Darinya Radhiyallahu Anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam berkhutbah untuk kami seraya bersabda, "Sesungguhnya Allah telah
mewajibkan haji atas kalian." Kemudian Al-Aqra' bin Habis bertanya, " Apakah -
pada setiap tahun wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Jika aku katakan [Ya]
pastilah ia akan menjadi wajib tiap tahun, haji adalah sekali dan selebihnya ialah
sunnahal." (HR. Al-Khamsah selain At-Tirmidzi, Dan aslinya terdapat di dalam
Shahih Muslim dari Abu Hurairah), [Shahih: Abi Dawud (1721).] [shahih, Muslim
(1337).]
Tafsir Hadits ini: Hadits ini adalah dalil yang menjelaskan bahwa ibadah haji
hanya wajib sekali dalam seumur hidup bagi orang yang telah mencapai umur
mukallaf dan mampu.
Kemudian ungkapan beliau, "Jika aku katakan [Ya] pastilah ia akan menjadi
wajib..." menunjukkan bahwa Allah menyerahkan beberapa hukum syariat kepada
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang mana pembahasan masalah ini lebih
detail di dalam ilmu ushul fiqhal. Masalah ini tetap menjadi sumber perbedaan
pendapat di kalangan para ulama dan pensyarah kitab ini telah menyampaikan
beberapa isyarat atas hal tersebut.
Dalam kaidah fikih juga dikatakan, bahwa
‫مااليامتلواجبااِلبفهوواجب‬
“Segala Suatu Yang Apabila Suatu Kewajiban Tidak Bisa Terlaksana Sebelum
Terwujudnya Sesuatu Itu, Maka Adanya Sesuatu Itu Hukumnya Wajib”
‫ْا لمكيدورمععلهتوجوداوعدما‬
“Ketetapan hukum tergantung pada ada tidaknya alasan hukumnya”
Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir
1404/Maret 1984 juga merekomendasikan tentang kewajiban Ibadah Haji juga
menganjurkan bahwa, Umat Islam hendaknya memahami betapa besar dan luas
masalah yang dihadapi oleh pemerintah Arab Saudi dan Pemerintah RI dalam usaha
melayani dan menyediakan kemudahan bagi kepentingan jamaah haji yang jumlahnya
tiap tahun semakin besar yang harus dijalani dalam waktu yang bersamaan dan dalam
lingkungan alamiah yang sangat terbatas.
Oleh karena itu Majelis Ulama Indonesia menghimbau kepada Umat Islam
Indonesia yang sudah melaksanakan haji untuk:
1. Menghayati bahwa ibadah haji itu diwajibkan hanya sekali seumur hidup dan
dengan syarat istitha’ah dalam arti yang luas.
2. Memberi kesempatan pada mereka yang belum menunaikan ibadah haji
terutama kepada keluarga yang belum haji.
3. Kepada umat Islam yang sudah beberapa kali melaksanakan ibadah haji akan
lebih bermanfaat bila dana yang tersedia itu disalurkan untuk amal/jariyah
yang dapat dirasakan manfaatnya oleh umum disamping mendapat pahala
yang terus mengalir bagi yang melaksanakannya.

2. Umrah Tidak Wajib

Secara makna bahasa, kata `Umrah berarti Az-Ziyarah yaitu berkunjung atau
mendatangi suatu tempat atau seseorang. Sedangkan secara istilah, kata Umrah di
dalam ilmu fiqih didefinisikan oleh Jumhur Ulama sebagai:6

‫الطواف ببيت هللا والسعي بني الشفا واملروة يرتدي اإلحرام‬


6
Ahmad Sarwat Lc, Seri Fiqih Kehidupan (6): Haji & Umrah (Jakarta: DU Publishing), cet I, h. 23
Tawaf di sekeliling Baitullah dan Sa`i antara Shafa dan Marwah dengan berihram.

Perbedaan haji dan umroh terletak pada waktu dilaksanakan dan jumla
mengunjungi ka’bah. Jika haji hanya dilakukan sekali seumur hidup, maka pada
umrah dapat dilakukan berkali-kali dalam setahun atau dalam sisa usia manusia.

Menurut Mazhab Hanafi dan pendapat yang paling rajih dalam Mazhab
Maliki, umrah itu sunnah muakad satu kali seumur hidup, karena Hadits-hadits yang
masyhur dan shahih yang menyebtkan kewajiban-kewajiban dalam Islam tidak
menyebutkan umrah sebagai salah satu kewajiban tersebut, misalnya Hadits Ibnu
Umar,

“Islam itu didirikan atas lima perkara...,” Yang hanya menyebutkan haji sahaja.

Jabir meriwayatkan bahwa seorang Badui pernah menghadap Rasulullah


SAW. Lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah umrah itu wajib?” Beliau menjawab,
“Tidak, tapi sangat baik jika kau mengerjakan umrah.”. Dalam riwayat lain berbunyi,
“sangat utama bagimu.”

Abu Hurairah meriwayatkan,

“Haji sama wajibnya seperti jihad, sedangkan umrah bersifat sukarela.”

Sedangkan menurut Mazhab Syafi‟i (dalam pendapat yang paling kuat) dan
Mazhab Hambali, umrah itu wajib seperti haji.

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah…”(alBaqarah : 196)

Artinya lakukanlah keduanya dengan sempurna, dan perintah yang


mengandung makna kewajiban. Hal ini juga didasarkan atas hadis Aisyah r.a:

“Dia pernah bertanya kepada Rasulullah, „Apakah kaum wanita wajib berjihad?‟
Beliau menjawab, „Ya, jihad yang tidak berisi pertempuran, yaitu haji dan umrah.‟

Pelaksanaan ibadah umrah lebih dari satu kali diperbolehkan. Menurut Nafi’,
Ibnu Umar di zaman Ibnuz Zubair melakukan umrah beberapa tahun, setiap tahun dua
kali umrah. Sedangkan Aisyah isteri Rasulullah menurut Al Qasim berumrah dalam
setahun tiga kali, dan tidak seorang pun mencelanya.

Nabi Muhammad SAW sendiri menurut riwayat Ibnu Abbas melakukan


umrah empat kali yaitu Umrah Hudaibiyah, Umrah qadha, Umrah dari Ji‟ronah dan
yang keempat umrah beliau yang bersama ibadah hajinya. Demikian riwayat Ahmad,
Abu Dawud dan Ibnu Majah.7

3. Nazar Haji
Nazar secara bahasa adalah janji (melakukan hal) baik atau buruk. Sedangkan
nazar menurut pengertian syara’ adalah menyanggupi melakukan ibadah (qurbah;
mendekatkan diri kepada Allah) yang bukan merupakan hal wajib (fardhu ‘ain) bagi
seseorang. Perkara yang dapat dinazarkan adalah perkara yang dihukumi oleh syara’
sebagai perbuatan sunnah atau fardlu kifayah menjadi hal wajib baginya.

Para ulama bersepakat mengenai hukum melakukan nazar adalah makruh, Hal
ini dikarenakan hadits Nabi:
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh
nazar tidak akan membuat orang dekat dengan apa yang Allah tidak takdirkan. Hasil
nazar itulah yang Allah takdirkan. Nazar hanya dilakukan oleh orang yang pelit,
orang yang bernazar tersebut mengeluarkan harta yang sebenarnya tidak ingin ia
keluarkan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Walaupun sudah terlanjur ber nazar akan suatu hal. Maka ia wajib
melunaskan nazarnya tsb. Hal ini berdaasarkan firman Allah SWT.
‫َّمُث ْلَيْقُض ْو ا َتَفُهَثْم َو ْلُيْو ُفْو ا ُنُذ ْو َر ْمُه َو ْلَيَّط َّو ُفْو ا اِب ْلَبْيِت اْلَع ِتْي ِق‬
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada di badan
mereka, menyempurnakan nazar-nazar mereka, dan melakukan tawaf di sekeliling
al-Bait al‘Atīq (Baitullah).”

7
Zakiah Daradjat, et. al., Ilmu Fiqih I, PT Dhana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hlm. 379-380.
Salah satu faktor untuk membuat nadzar yakni terdapat kesanggupan atau
kemampuan dari diri sendiri. Salah satu nadzar yang kita kenal yakni nadzaar haji.
Nadzar dalam ibadah haji merupakan komitmen atau janji yang dibuat oleh
seorang Muslim untuk melakukan suatu perbuatan tertentu sebagai bentuk syukur
atau permohonan kepada Allah SWT. Nadzar dapat berupa perbuatan baik yang akan
dilakukan oleh jemaah setelah memperoleh keberkahan dari Allah SWT, atau sebagai
bentuk penebusan atas dosa-dosa yang dilakukan di masa lalu.
Contoh nadzar dalam ibadah haji yakni, contoh:
 Seorang jemaah haji membuat nadzar untuk menyumbangkan sebagian harta yang
dimilikinya kepada yang membutuhkan setelah kembali dari haji.
 Seorang jemaah haji berjanji untuk meningkatkan ibadah shalatnya setelah selesai
menunaikan haji sebagai bentuk rasa syukur atas kesempatan yang diberikan
Allah SWT.
 Seorang jemaah haji berkomitmen untuk meninggalkan kebiasaan buruknya
setelah kembali dari tanah suci sebagai upaya penebusan dosa dan kesalahan di
masa lalu.
Diri sendiri tentunya dilarang untuk memulai nazar, dalilnya sudah disebutkan
diatas. Dan apabila sudah terlanjur maka wajib untuk menunaikannya dengan
kesanggupan yang secara sadar ada dalam diri kita.
Hukum "nadzar menjanjikan haji untuk orang lain" adalah sah-sah, sebagai
terdokumentasikan dalam buku "100 Tanya-Jawab Haji & Umrah" oleh Yusuf Al
Qaradhawi. Terdaapat beberapa kondisi yang mempengaruhi hukum nya yakni;
Jika seseorang yang bernazar menggunakan harta zakatnya untuk membiayai
perjalanan haji orang lain, maka ia dilarang. Sebagai wajib, seorang muslim wajib
menunaikan nadzar yang sudah ia wajibkan pada dirinya, termasuk nadzar untuk
pergi haji atau berhaji. Jika seorang yang bernadzar untuk berhaji telah meninggal
dunia sebelum ia menunaikan nadzarnya, maka walinya (anak dan kerabatnya) harus
menunaikan nadzar tersebut. Jika yang meninggal dunia tersebut memiliki harta
peninggalan, hendaklah menunaikan nadzar tersebut dari hartanya walaupun tidak
ada wasiat.

Menurut mazhab syafi`i mengatakan bahwa alangkah lebih baik


mensyariatkan haji bagi diri nya sendiri. Bila ia belum berhaji, maka tidak cukup atau
tidak boleh meng haji kan orang lain.
‫ َمْن‬: ‫ َقاَل‬. ‫ َلَّبْي َك َع ْن ُش ُرْب َم َة‬: ‫ َأَّن َالَّنَّيِب صىل هللا عليه وسمل ِمَس َع َر ُج اًل َيُقوُل‬،‫َع ْن ِا ْبِن َع َّباٍس َر َيِض َاُهَّلل َع ُهْنَم ا‬
‫ رواه أبو‬. ‫ َّمُث ُحَّج َعْن ُش ُرْب َم َة‬، ‫ ُحَّج َع ْن َنْف ِس َك‬: ‫ َقاَل‬. ‫ اَل‬: ‫ َحَجْج َت َعْن َنْف ِس َك ؟ َقاَل‬: ‫ َقاَل‬. ‫ َأٌخ َأْو َقِر يٌب ْيِل‬: ‫ُش ُرْب َم ُة ؟ َقاَل‬
‫داود وادلار قطين والبهيقي وغريمه ابسانيد حصيحة‬
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, sungguh Nabi saw mendengar seorang lelaki
membaca talbiyah: ‘Laibaika dari Syubrumah.’ Beliau pun meresponnya dengan
bertanya: ‘Siapa Syubrumah?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Saudara atau kerabatku.’
Nabi tanya lagi: ‘Apakah kamu sudah haji untuk dirimu sendiri?’ Orang itu
menjawab: ‘Belum.’ Nabi pun bersabda: ‘Hajilah untuk dirimu sendiri, kemudian
baru haji untuk Syubrumah.” (HR Abu Dawud, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan
selainnya dengan sanad shahih).
Dari hadits inilah mazhab Syafi’i menyatakan bahwa orang yang belum haji
tidak boleh mengganti orang haji orang lain. Bila ia nekat melakukannya, maka
otomatis ibadah haji yang dilakukan menjadi haji bagi dirinya. Pendapat seperti ini
juga menjadi pendapat Ibnu Abbas ra, al-Auza’i, Imam Ahmad dan Ishaq. (An-
Nawawi, Al-Majmû’ Syahrul Muhaddzab, juz VII, halaman 117-118).
Karena nadzar, haji memiliki kedudukan yang sama sebagai ibadah wajib.

Anda mungkin juga menyukai