Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

BIMBINGAN MANASIK HAJI DAN UMROH

DOSEN PENGAMPU

Dr. Taufik Churrahman, M.Ag.

DISUSUN OLEH

1. Faishol ausi al farobi ( 212071900014)

2. Fathoni romadhon avischena (212071900017)

3. Firli perdana yusfian (212071900018)

4. Islakhul amal (212071900019)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB 2021/2022


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dari berbagai jenis ibadah mahdhah dalam Islam, haji menduduki peringkat
pertama dari segi daya tariknya terhadap minat masyarakat muslim untuk
mengerjakannya. Seorang muslim yang baik pasti bercita-cita untuk menunaikan
ibadah haji. Pada sebagian masyarakat, ada yang memprioritaskan pelaksanaan ibadah
haji sebelum mereka menata kehidupan ekonomi dan keluarga. Tetapi kebanyakan
masyarakat menata dulu kehidupan ekonomi dan keluarga, barulah mereka
mempersiapkan diri menunaikan ibadah haji. Oleh sebab yang kedua ini, banyak
jamaah haji yang sudah tua umurnya. Namun yang jelas, ada semacam kebanggaan
tersendiri bagi mereka yang telah kembali dari tanah suci menunaikan rukun Islam
yang kelima itu. Kebanggaan itu diwujudkan mereka yang laki-laki dengan
mengenakan acsesoris haji seperti peci putih, sorban, dan gamis, dan mukena dan baju
kurung panjang warna putih bagi perempuan. Sebutan pak haji dan bu hajjah yang
diberikan oleh masyarakat kepada mereka menjadi pelengkap kebanggaan itu. Mereka
merasa bahwa dirinya setingkat lebih tinggi dari mereka yang belum berhaji.
Sehingga, dalam perhelatan atau jamuan, mereka didaulat oleh masyarakat untuk
duduk di barisan depan sejajar dengan pejabat dan tokoh masyarakat. Demikian
selintas keadaan yang dialami oleh warga masyarakat yang bertitel haji. Ada
perhormatan masyarakat terhadap mereka. Ketika sebelum haji mereka dianggap
warga masyarakat biasa, tetapi setelah berhaji mereka diperlakukan lebih istimewa.
Barangkali inilah di antara yang menjadi daya tarik haji itu. Kendati bukan
sepenuhnya hal-hal yang demikian itu yang memotivasi seseorang menunaikan haji,
tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian jamaah haji tertarik kepada keadaan
seperti itu. Demikian menariknya ibadah haji itu bagi masyarakat muslim, sehingga
tidak heran jika waiting list (daftar tunggu) calon jamaah haji setiap propinsi di
Indonesia demikian lama, ada yang mencapai 15 tahun, bahkan lebih. Tulisan ini akan
mengelaborasi aspek-aspek yang berkenaan dengan ibadah haji agar ibadah yang
sangat agung ini tidak disalahmengerti oleh masyarakat,lebih-lebih kalangan
masyarakat perguruan tinggi.
Ibadah haji dan umroh selalu menjadi tour yang tren sepanjang masa. Selain wisata,
haji maupun umroh merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan oleh Allah
Swt bagi umat muslim yang mampu. Spiritualitas Amaliah Ibadah Haji dan senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah serta memperbaiki akhlak. Bahkan membimbing
mental spiritualnya dalam rangka mengantarkannya menjadi orang-orang yang shalih.
Di zaman modern ini kehidupan manusia dihadapkan pada masalah dekadensi moral
yang cukup serius. Oleh karenanya penulis merasa berkepentingan untuk mengetahui
sejauh mana pengaruh nilai-nilai spiritualitas ibadah haji dalam kehidupan seseorang.
Untuk itu diperlukan interpretasi komprehensif sebagai hamba Allah yang sudah
menunaikan ibadah haji untuk senantiasa menjaga nilai-nilai kemabruran dalam
amaliah kehidupannya. Dalam Alquran ada nash-nash yang menyebutkan tentang hal-
hal berkenaan dengan haji. Dalam kajian yang akan dipaparkan sebagian
berlandaskan dengan ayat-ayat Qur’an, 3 sunnah-sunnah Rasul yang menjadi tuntunan
dalam syari’at berhaji, dan keterangan para ulama.,. Bahkan banyak para pejabat yang
menyandang gelar haji berakhlak tidak terpuji, terbukti menyalahgunakan jabatannya,
korupsi dan hal-hal lain yang mengarah kepada kema’siatan sehingga menjadikannya
jauh dari Allah. Tujuan Alquran diturunkan tersebut sebagaimana diungkapkan dalam
surat an-Nahl ayat 64: “Dan tiadalah Kami turunkan kitab kepadamu, melainkan
supaya kamu jelaskan kepada mereka (manusia) apa yang mereka perselisihkan, juga
untuk menjadi petunjuk (hidayah) dan rahmat bagi kaum yang beriman”. Alquran
dipercaya kaum muslimin merupakan kitab suci dari Allah Swt yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw yang berisi tuntunan bagi manusia dalam segala bidang
kehidupan untuk keselamatan dunia sampai akhirat. Demikian pula Hadits Nabawi
merupakan nashnash yang menjadi dasar dan tuntunan kehidupan umat Islam. Dengan
memperhatikan paparan di atas maka diperlukan bimbingan ruhani dan nilai-nilai
spiritual dalam kehidupan. Untuk itu penulis merasa tertarik untuk mengungkap
pentingnya tuntunan manasik haji sesuai dengan prinsip-prinsip syar’i yang shahih
dengan membahas tentang nilai-nilai spiritualitas amaliah ibadah haji (hikmah dan
pengaruhnya dalam kehidupan). Kajian yang cukup menarik ini penulis merasa
tergugah untuk menginterpretasikan aspek-aspek filosofis atau hikmah-hikmahnya
dan spiritualitas amaliah syari’at haji dan umroh ini.
BAB II

PEMBAHASAN

A. HIKMAH HAJI
1. Mengikhlaskan Seluruh Ibadah Beribadah semata-mata untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan menghadapkan hati kepada-Nya dengan keyakinan bahwa tidak ada yang diibadahi
dengan haq, kecuali Dia dan bahwa Dia adalah satu-satunya pemilik nama-nama yang indah
dan sifat-sifat yang mulia. Tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan
tidak ada tandingan-Nya. Dan hal ini telah diisyaratkan dalam firman-Nya.

ِ ‫َوِإ ْذ بَ َّوْأنَا ِإِل ب َْرا ِهي َم َم َكانَ ْالبَ ْي‬


‫ت َأ ْن اَل تُ ْش ِر ْك بِي َش ْيًئا َوطَهِّرْ بَ ْيتِ َي لِلطَّاِئفِينَ َو ْالقَاِئ ِمينَ َوالرُّ َّك ِع ال ُّسجُو ِد‬

“Dan ingatlah ketika Kami menempatkan tempat Baitullah untuk Ibrahim dengan
menyatakan ; “Janganlah engkau menyekutukan Aku dengan apapun dan sucikan rumah-Ku
ini bagi orang-orang yang thawaf, beribadah, ruku dan sujud” [al-Hajj/22: 26] Mensucikan
rumah-Nya di dalam hal ini adalah dengan cara beribadah semata-mata kepada Allah di dekat
rumah-Nya (Ka’bah) yang mulia, mebersihkan sekitar Ka’bah dari berhala-berhala, patung-
patung, najis-najis yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan serta dari segala hal yang
mengganggu orang-orang yang sedang menjalankan haji atau umrah atau hal-hal lain yang
menyibukkan (melalaikan, -pent) dari tujuan mereka.

2. Mendapat Ampunan Dosa-Dosa dan Balasan Jannah

ُ‫ه‬qَ‫ْس ل‬ َ ‫رُو ُر لَي‬q‫ َو ْال َحجُّ اَ ْل َم ْب‬,‫ا‬qq‫ا بَ ْينَهُ َم‬qq‫ارةٌ لِ َم‬ َ q‫رةُ ِإلَى اَ ْل ُع ْم‬q
َ َّ‫ر ِة َكف‬q َ q‫ اَ ْل ُع ْم‬: ‫ال‬ َ ‫ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرةَ رضي هللا عنه َأ َّن َرس‬
َ َ‫ُول هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم ق‬
َ‫َجزَ ا ٌء ِإاَّل اَ ْل َجنَّة‬

“Dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Satu umrah sampai umrah
yang lain adalah sebagai penghapus dosa antara keduanya dan tidak ada balasan bagi haji mabrur
kecuali jannah” [HR Bukhari dan Muslim, Bahjatun Nanzhirin no. 1275]

ُ‫ث َو لَ ْم يَ ْف ُس ْق َر َج َع َكيَوْ ٍم َولَ َد ْتهُ ُأ ُّمه‬


ْ ُ‫َم ْن َح َّج هَّلِل فَلَ ْم يَرْ ف‬

“Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda bahwa barang siapa berhaji ke Baitullah ini karena Allah, tidak melakukan rafats dan
fusuuq, niscaya ia kembali seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya” [HR Bukhari] Rafats : jima’ ;
pendahuluannya dan ucapan kotor, Fusuuq : kemaksiatan Sesungguhnya barangsiapa mendatangi
Ka’bah, kemudian menunaikan haji atau umrah dengan baik, tanpa rafats dan fusuuq serta dengan
ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni
dosa-dosanya dan menuliskan jannah baginya. Dan hal inilah yang didambakan oleh setiap mu’min
dan mu’minah yaitu meraih keberuntungan berupa jannah dan selamat dari neraka.

3. Menyambut Seruan Nabi Ibrahima Alaihissalam

ٍ ‫ضا ِم ٍر يَْأتِينَ ِم ْن ُكلِّ فَجٍّ َع ِمي‬


‫ق‬ َ ‫اس بِ ْال َح ِّج يَْأتُو‬
َ ‫ك ِر َجااًل َو َعلَ ٰى ُك ِّل‬ ِ َّ‫َوَأ ِّذ ْن فِي الن‬

“Dan serulah manusia untuk berhaji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan
kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”[al-
Hajj/22: 27]

Nabi Ibrahim Alaihissalam telah menyerukan (agar berhaji) kepada manusia. Dan Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki (untuk bisa) mendengar
seruan Nabi Ibrahim Alaihissalam tersebut dan menyambutnya. Hal itu berlangsung
semenjak zaman Nabi Ibrahim hingga sekarang.

4. Menyaksikan Berbagai Manfaat Bagi Kaum Muslimin

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

‫لِيَ ْشهَدُوا َمنَافِ َع لَهُ ْم‬

“Agar supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka” [al-Hajj/22: 28]

Alah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan manfaat-manfaat dengan muthlaq (secara


umum tanpa ikatan) dan mubham (tanpa penjelasan) karena banyaknya dan besarnya
menafaat-manfaat yang segera terjadi dan nanti akan terjadi baik duniawi maupun ukhrawi.
Dan diantara yang terbesar adalah menyaksikan tauhid-Nya, yakni mereka beribadah kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata. Mereka datang dengan niat mencari wajah-Nya
yang mulia bukan karena riya’ (dilihat orang lain) dan juga bukan karena sum’ah
(dibicarakan orang lain). Bahkan mereka betauhid dan ikhlas kepada-Nya, serta
mengikrarkan (tauhid) di antara hamba-hamba-Nya, dan saling menasehati di antara orang-
orang yang datang (berhaji dan sebagainya,-pent) tentangnya (tauhid). Mereka thawaf
mengelilingi Ka’bah, mengagungkan-Nya, menjalankan shalat di rumah-Nya, memohon
karunia-Nya, berdo’a supaya ibadah haji mereka diterima, dosa-dosa mereka diampuni,
dikembalikan dengan selamat ke nergara masing-masing dan diberi anugerah kembali lagi
untuk berdo’a dan merendah diri kepda-Nya. Mereka mengucapkan talbiyah dengan keras
sehingga di dengar oleh orang yang dekat ataupun yang jauh, dan yang lain bisa
mempelajarinya agar mengetahui maknanya, merasakannya, mewujudkan di dalam hati, lisan
dan amalan mereka. Dan bahwa maknanya adalah : Mengikhlaskan ibadah semata-mata
untuk Allah dan beriman bahwa Dia adalah ‘ilah mereka yang haq, Pencipta mereka, Pemberi
rizki mereka, Yang diibadahi sewaktu haji dan lainnya.

5. Saling Mengenal dan Saling Menasehati

Dan diantara hikmah haji adalah bahwa kaum muslimin bisa saling mengenal dan
saling berwasiat dan menasehati dengan al-haq. Mereka datang dari segala penjuru, dari
barat, timur, selatan dan utara Makkah, berkumpul di rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang tua, di Arafah, di Muzdalifah, di Mina dan di Makkah. Mereka saling mengenal, saling
menasehati, sebagian mengajari yang lain, membimbing, menolong, membantu untuk
maslahat-maslahat dunia akhirat, maslahat taklim tata cara haji, shalat, zakat, maslahat
bimbingan, pengarahan dan dakwah ke jala Allah. Mereka bisa mendengar dari para ulama,
apa yang bermanfaat bagi mereka yang di sana terdapat petunjuk dan bimbingan menuju
jalan yang lurus, jalan kebahagiaan menuju tauhidullah dan ikhlas kepada-Nya, menuju
ketaatan yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengetahui kemaksiatan
untuk dijauhi, dan supaya mereka mengetahui batas-batas Allah dan mereka bisa saling
menolong di dalam kebaikan dan taqwa.

B. MAKNA SPIRITUAL IBADAH HAJI DAN UMROH


Haji dan umroh sarat dengan makna spiritual yang mendalam di balik
ritual”simbol”nyayaitu
Pertama, thawaf, yakni mengitari Ka’bah sebanyak tujuh kali melawan arah jarum jam.
Thawaf adalah simbol bahwa alam ini tidak berhenti bergerak. Manusia yang ingin eksis
adalah yang manusia yang selalu bergerak. Maknanya, bergerak adalah entitas kehidupan.
Berhenti bergerak sama dengan kematian.  Kualitas seseorang ditentukan oleh gerak dirinya
ke arah yang memberi gerak. Bergerak ke pusat orbitnya. Dalam konteks kehidupan,
seseorang yang haji adalah pribadi yang bergerak dalam mengejewantahkan nilai-nilai
ketuhanan di muka bumi. Bergerak dari perilaku maksiat menuju perilaku yang penuh
rahmat. Karena dengan bergerak ke arah tuhanlah kita akan selamat di belantara kehidupan
ini. Sebaliknya, berhenti bergerak adalah statis dan itu sejatinya mati,walau tanpa dikebumi.
Kedua, sa’i yaitu berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwa. Hal ini dilakukan ketika Siti
Hajar sangat membutuhkan air. Berdua dengan Ismail yang masih kecil di tempat yang asing
dan tidak ada sumber kehidupan. Sebuah tantangan kehidupan yang teramat berat.  Siti
Hajar berlari berulang kali mencari sumber air. Ketika sampai di Marwa, ia melihat air di
Safa, ketika sampai di Safa, ia melihat air di Marwa. Ternyata yang dilihatnya itu adalah
fatamorgana. Namun, tanpa disangka muncullah air dikaki Ismail, yang sekarang kita kenal
dengan nama air Zam-Zam. Perilaku Siti Hajar ini memberikan gambaran, bahwa untuk
menggapai kejayaan hidup perlu usaha yang sungguh-sungguh dan maksimal. 
Kendatipundemikian, keputusan akhir ada ditangan Allah, manusia hanya diperintahkan
berusaha.

Ketiga, melontar Jumrah. Ritual ini didasarkan kepada perilaku Ibrahim yang melempar
setan ketika ingin menunaikan perintah Allah. Setan adalah simbol yang menggagalkan
manusia untuk taat kepada Allah. Dan itu harus dilawan dan dikeluarkan dari diri manusia.
Wajah setanpada manusia terkadang muncul dalam berbagai personifikasi. Bagi orang yang
berlimpah harta, setannya adalah perilaku Qarun. Bagi yang memiliki jabatan dan kekuasaan
setannya adalah sifat Fir’aun dan bagi yang intelektual adalah perilaku Bal’am. Maknanya,
wajah-wajah setan itu harus dibuangjauh dari kehidupan, agar kita  tidak terjebak dalam
labirin kesesatan.

Keempat, wukuf di Padang Arafah. Dalam Islam di daerah inilah dipertemukannnya Adam
dan Hawa dan melakukan taubat kepada Allah. Ungkapan taubatnya,  Allah ungkap dalam
surah Al-A’raf ayat 23” Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika
engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami
termasuk orang-orang yang merugi”. Padang Arafah dikenal sebagai miniaturnya Padang
Mahsar. Jutaan jemaah haji dari seluruh dunia berkumpul di tempat ini. Tak ada beda antara
pejabat dan rakyat, antara yang kaya dan miskin, dan tak ada sekat-sekat negara bangsa.
Yang ada hanya manusia sebagai makhluk Allah.

Ibadah haji membangkitkan kesadaran bahwa kitakecil dihadapan Allah. Sehingga tidak ada
yang perlu disombongkan. Kita diajak untuk lebih menyelamidiri, sebagaimana asal kata
Arafah yang bermakna mengenal diri. Dalil yang terkenal dikalangan sufi “man ‘arafa
nafsahu faqad ‘arafah robbahu”. Siapa yang kenal dirinya akan kenal siapa tuhannya. Wukuf
hakikatnya untuk menyadarkan, siapa, dari mana, dan akan kemana kita. Dalam hal ini
Siapapun yang ingin meraih hikmah kedalaman makna haji harus memahami dimensi
spiritual haji itu. Dalam perspektif tarekat, haji dimaknai bukan hanya dari aspek fikih dan
aspek legalitas haji dan umrah, tetapi agak lebih dalam berusaha menjiwai makna spiritual
dari setiap syarat dan rukun haji. Pandangan tareka selalu berhati-hati di dalam menjalankan
setiap ketentuan dan sayarat serta rukun haji dan umrah karena diyakini urgensi ibadah ini
bukan pada aspek ritual-simboliknya, tetapi lebih kepada makna spiritual yang tersembunyi
di balik ketentuan itu. Pengamalan haji dan umrah dalam perspektif ini bukan hanya
pengamalan fisik, tetapi lebih dalam lagi sebagai pengamalan batin. Seorang calon haji tidak
cukup hanya mengejar kesempurnaan syarat dan rukun, tetapi ke dalam makna dan hakekat
rukun dan syarat itu yang perlu ditekankan. Apa artinya rukun dan syarat selesai jika tidak
memberikan bekas dan efek secara batin. Penghayatan dan pendalaman makna spiritual
menjadi ciri khas dari perspektif ini. Kelompok ini mulai menganalisis asal-usul dan hakekat
pelaksanaan haji dan umrah dengan melangkah surut ke masa lampau. Mereka menganalisis
apa sesungguhnya makna dan hakekat disyari’atkannya haji dan umrah. Seperti kita tahu,
haji dan umrah ini bukan hanya ditemukan dalam syari’at Nabi Muhammad, tetapi juga di
dalam syari’an nabi-nabi sebelumnya, seperti Nabi Ibrahim dan nabi-nabi sebelumnya.
Bahkan sejak Nabi Adam dan Hawa sejak awal memperkenalkan ibadah ini, sebagaimana
dijelaskan dalam ayat: Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat
beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi
petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya)
maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji),
maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Q.S.
Ali ‘Imran/3:96-97). Dari ayat ini difahami bahwa ibadah ritual paling awal dan konsisten
umat manusia ialah ibadah haji ini. Karena itu, kalangan ahli tarekat memaknai ibadah haji
dan umrah ini lebih dalam dari sekedar penjelasan yang diperoleh saat mengikuti manasik
haji. Mereka memahami penekanan haji bukan dari aspek maqbul (diterima atau ditolaknya
haji karena terkait dengan keabsahan amalan rukun dan syarat), tetapi lebih menekankan
aspek mabrur (terkait dengan dampak positif secara permanen yang diraih seorang hujjaj
pasca pelaksanaan hajinya). Jika dalam perspektif fikih dan syari’ah terlalu menekankan
aspek kedisiplinan secara fisik mengamalkan seluruh ketentuan haji, maka dalam perspektif
tasawuf termasuk juga mendisiplinkan rohani dan spiritual menghayati dan menikmati
ajaran dan amalan haji. Dalam perspektif tarekat, ibadah haji dirasakan betul bukan sekedar
perjalanan fisik biasa, tetapi lebih merupakan perjalanan spiritual (spiritual journey) menuju
Allah Swt. Jamaah haji Indonesia sesungguhnya sebagian sudah berada di dalam lingkup
perspektif ini. Lihat saja pada proses pelepasan jamaah haji, penuh dengan kesan perjalanan
spiritual; sebuah perjalanan yang sangat berbeda dengan perjalanan pesiar ke luar negeri
dengan tujuan wisata biasa. Sebagian calon jamaah haji kita sesungguhnya mengikhlaskan
dirinya jika dalam perjalanan hajinya dijemput oleh Allah Swt, karena mereka yakin akan
gugur sebagai syuhada yang dijemput syurga.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

B. DAFTAR PUSTAKA

https://arrahim.id/akhyak/menelusuri-makna-spiritualitas-haji-eksistensi-ibadah-haji/

https://almanhaj.or.id/2296-hikmah-ibadah-haji.html

https://uin-alauddin.ac.id/tulisan/detail/HAJI,--MAKNA-DAN-HIKMAHNYA

https://www.riaumandiri.co/read/detail/18446/menyelami-makna-spiritual-haji.html

Anda mungkin juga menyukai