Anda di halaman 1dari 69

Tuntunan Ibadah Haji (1)

Kholid Syamhudi, Lc. 22 October 2010

Sungguh Allah Ta’ala tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk menyembah-
Nya semata, sebagaimana firman-Nya:

‫وما خلقت الجن و اإلنس إال ليعبدون‬

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS.
Adz dzariyat:56)

kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat
menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Ta’ala, maka dengan
hikmah-Nya yang agung Dia mengutus para Rasul dalam rangka membawa dan menyampaikan
risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia. Dan risalah tersebut merupakan petunjuk yang
jelas dan hujjah atas para hamba-Nya. Dan diantara kesempurnaan Islam Allah yang Maha
Bijaksana menetapkan ibadah Haji ke Baitullah Al Haram sebagai salah satu dari syiar-syiar
Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun yang kelima dari rukun-rukun Islam dan
merupakan salah satu sarana dan media bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan
ketaqwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa.Oleh karena
itu Islam dengan kesempurnaan syari’atnya telah menetapkan suatu tatacara atau metode yang
lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu adanya penambahan dan pengurangan dalam
pelaksanaan ibadah ini. Dan sebagai seorang muslim yang baik tentunya akan berusaha dan
bersemangat untuk mempelajarinya kemudian mengamalkannya setelah Allah memberikan
pertolongan, kemudahan dan kemampuan baginya untuk menunaikan ibadah yang mulia ini.

Dari sinilah penulis berusaha untuk memberikan apa yang Allah Ta’ala karuniakan dari hal-hal
yang berhubungan dengan ibadah yang mulia ini, sebuah ibadah yang selalu diharap-harap dan
dicita-citakan kaum muslimin yang berpegang teguh dengan agamanya, mudah-mudahan hal ini
bermanfaat bagi semua pihak dan dapat pula memperbaiki kesalahan-kesalahan yang banyak
dilakukan sebagian para jama’ah haji serta dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi mereka yang
akan menunaikannya dan mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan amalam yang kecil ini
sebagai bekal bagi penulis ketika menghadap Rabb-Nya di hari yang tidak ada pertolongan dan
belas kasihan kecuali dari-Nya yang Maha Kuasa lagi Maha Adil dan Maha Bijaksana.

1. Definisi Haji

a. Secara Etimologi

Kata haji berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan dapat dibaca dengan dua lafazh Al-
hajj dan Al-Hijj [1]

b. Secara terminologi syariat


Haji menurut istilah syar’i adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik yang
telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam [2] dan ada pula ulama
yang berpendapat: “Haji adalah bepergian dengan tujuan ke tempat tertentu pada waktu yang
tertentu untuk melaksanakan suatu amalan yang tertentu pula[3]. Akan tetapi definisi ini kurang
pas karena haji lebih khusus dari apa yang didefinisikan di sini, karena seharusnya ditambah
dengan satu ikatan yaitu ibadah, maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan
menyeluruh.

2. Dalil Pensyari’atannya

Haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan dia merupakan suatu kewajiban yang
harus dilaksanakan bagi seorang muslim yang mampu, sebagaimana telah digariskan dan
ditetapkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’.

Adapun dalil dari Al-Qur’an:

‫وهلل على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيالً ومن كفر فإن هللا غني عن العـالمين‬

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS. Ali
Imran, 97)

dan firman Allah Ta’ala

‫وأتموا الحج والعمرة هلل فإن أحصرتم فما استيسر من الهدي وال تحلقوا رؤوسكم حتى يبلغ الهدي محلة فمن كان منكم مريضًا أو‬
‫به أذًى من رأسه ففدية من صيام أو صدقة أو نسك فإذا أمنتم فمن تمتع بالعمرة إلى الحج فما استيسر من الهدي فمن لم يجد‬
‫فصيام ثالثة أيام فى الحج وسبعة إذا رجعتم تلك عشرة كاملة ذلك لمن لم يكن أهله حاضرى المسجد الحرام واتقوا هللا واعلموا‬
‫أن هللا شديد العقاب‬

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang
oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan
kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di
antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajiblah
atasnya berfidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban. Apabila kamu telah
(merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan
Haji), (wajiblah dia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak menemukan
(binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh
hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian
itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar)
Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah). Dan bertakwalah kepada
Allah dan ketauhilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Baqarah,196)

Dalil dari As-Sunnah:

Hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:


‫ خطبنا رسول هللا‬ ‫فقال يأأيها الناس قد فرض هللا عليكم الحج فحجوا‬

“Telah berkhutbah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami dan berkata: “Wahai
sekalian manusia! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan atas kalian untuk berhaji, maka
berhajilah kalian.” (HR. Muslim)

Dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫بني اإلسالم على خمس شهادة أن ال إله إال هللا وأن محمدًا رسول هللا وإقام الصالة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان‬

“Islam itu didrikan atas lima perkara yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak disembah (dengan benar) kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad
Shallallahu’alaihi Wasallam adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,berhaji
ke baitullah dan puasa di bulan ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dalil ijma’ (konsesus) para Ulama’

Para ulama dan kaum muslimin dari zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sampai sekarang
telah bersepakat bahwa ibadah haji itu hukumnya wajib.[4]

3. Syarat-syarat haji

Haji diwajibkan atas manusia dengan lima syarat:

1. Islam

2. Berakal

3. Baligh

4. Memiliki kemampuan perbekalan dan kendaraan

5. Merdeka

4. Miqat-miqat untuk haji

Miqat adalah apa yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh syari’at untuk suatu ibadah baik
tempat atau waktu.[5] Dan haji memiliki dua miqat yaitu miqat zamani dan makani. Adapun
miqat zamani dimulai dari malam pertama bulan syawal menurut kosensus para ulama, akan
tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kapan berakhirnya bulan haji. Perbedaan ini terbagi
menjadi tiga pendapat yang masyhur yaitu:

1.Syawal, Dzul Qa’dah, dan 10 hari dari Dzul Hijjah dan ini merupakan pendapat Ibnu Abbas,
Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan Ibnu Zubair dan ini yang dipilih madzhab hanbali.

2.Syawal, Dzul Qa’dah, dan 9 hari dari Dzul Hijjah dan ini yang dipilih madzhab Syafi’i.
3.Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah ini yang dipilih madzhab malikiyah

Dan yang rajih –wallahu’alam– bahwa bulan Dzul Hijjah seluruhnya termasuk bulan haji dengan
dalil firman Allah Ta’ala:

‫الحج أشهر معلومات فمن فرض فيهن الحج فال رفث وال فسوق وال جدال فى الحج‬

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS Al-Baqarah, 197)

dan firman Allah Ta’ala :

‫وأذان من هللا ورسوله إلى الناس يوم الحج األكبر أن هللا بريء من المشركين‬

“Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji
akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyirikin.”
(QS At-Taubah 9:3)

Dalam surat Al-Baqarah ini Allah Ta’ala berfirman (‫ )أشهر‬dan bukan dua bulan sepuluh hari atau
dua bulan sembilan hari. padahal (‫ )أشهر‬jamak dari (‫ )شهر‬dan hal itu menunjukkan paling sedikit
tiga bulan dan pada asalnya kata (‫ )شهر‬masuk padanya satu bulan penuh dan tidak dirubah asal
ini kecuali dengan dalil syar’i [6] maka tidak boleh berhaji sebelum bulan syawal dan tidak boleh
mengakhirkan suatu amalan haji setelah bulan Dzulhijjah.

Sebagai contoh seorang yang berhaji pada bulan Ramadhan maka ihramnya tersebut tidak
dianggap sah untuk haji akan tetapi berubah menjadi ihram untuk Umrah.

Adapun miqat makani, maka berbeda-beda tempatnya disesuaikan dengan negeri dan kota yang
akan menjadi tempat awal para haji untuk melakukan ibadah hajinya. Hal ini telah dijelaskan
oleh Rasullulah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas
Radhiallahu’anhu:

‫ وقت رسول هللا‬ ‫ألهل المدينة ذا الحليفة وألهل الشام الجحفة وألهل النجد قرن وألهل اليمن يلملم قال هن لهن لمن أتى عليهن‬
‫من غير أهلهن ممن كان يريد الحج و العمرة فمن كان دونهن مهله من أهله وكذلك أهل مكة يهلون منها‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat bagi ahli Madinah Dzul
Hulaifah * dan bagi ahli Syam Al-Juhfah dan bagi ahli Najd Qarn dan bagi ahli Yamam
Yalamlam lalu bersabda: “mereka (miqat-miqat) tersebut adalah untuk mereka dan untuk
orang-orang yang mendatangi mereka selain penduduknya bagi orang yang ingin haji dan
umrah. Dan orang yang bertempat tinggal sebelum miqat-miqat tersebut, maka tempat mereka
dari ahlinya, dan demikian pula dari penduduk Makkah berhaji (ihlal) dari tempatnya Makkah.”
(H.R Bukhari 2/165, 166; dan 3/21, Muslim 2/838-839, Abu Dawud 1/403, Nasa’i 5/94,95,96)

Dari hadits diatas Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menerangkan bahwa miqat ahli
Madinah adalah Dzul Hulaifah yang dikenal sekarang dengan nama Abyar Ali yaitu sebuah
tempat di Wadi Aqiq yang berjarak enam mil atau 52/3 mil kurang seratus hasta[7] yang setara
kurang lebih 11 km. dari Madinah. Dan dari makkah sejauh sepuluh marhalah atau kurang lebih
430 Km dan sebagian ulama mengatakan 435 Km. Dan miqat penduduk Syam adalah al-Juhfah
yaitu suatu tempat yang sejajar dengan Raabigh dan dia berada dekat laut, jarak antara Raabigh
(tempat yang sejajar dengannya) dengan makkah adalah lima marhalah atau sekitar 201 Km, dan
berkata sebagian ulama sekitar 180 km. Akan tetapi karena banyaknya wabah di al-Juhfah,
maka para jamaah haji dari Syam mengambil Raabigh sebagai ganti al-Juhfah. Miqat ini juga
sebagai miqat penduduk Mesir, Maghrib, dan Afrika Selatan seperti Somalia jika datang melalui
jalur laut atau darat dan berlabuh di Raabigh, akan tetapi kalau mereka datang melalui
Yalamlam maka miqat mereka adalah miqat ahli Yaman yaitu Yalamlam. Yalamlam yang
dikenal sekarang dengan daerah As Sa’diyah adalah bukit yang memisahkan Tuhamah dengan
As-Saahil, berjarak dua marhalah atau sekitar 80 km dari Makkah, dan berkata sebagian ulama
sekitar 92 km.

Demikian pula miqat penduduk Najd adalah Qarnul Manazil atau Qarnul Tsa’alib, yaitu sebuah
bukit yang ada di antara Najd dan Hijaz. Jaraknya dari makkah dua marhalah atau sekitar 80 Km.
dan berkata sebagian ulama sekitar 75 Km* demikian juga ahli Thaif dan Tuhamah Najd serta
sekitarnya.[8] Kemudian ada satu miqat lagi yaitu Dzatu ‘Irq yaitu tempat yang sejajar denagn
Qarnul Manazil yang terletak antara desa al-Mudhiq dan Aqiq Ath-Thaif, jaraknya dari Makkah
dua marhalah atau sekitar 80 km. Dan miqat ini juga untuk penduduk Iraq. Akan tetapi terjadi
perselisihan dari para ulama tetang penetapan Dzatul ‘Irq sebagai miqat, apakah didasarkan dari
perintah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam atau dari perintah Umar bin Khaththab
Radhiallahu’anhu?

a. Pendapat pertama menyatakan bahwa Nabilah yang menetapkannya sebagaimana dalan hadits
Abu Dawud dan An-Nasa’i dari ‘Aisyah beliau berkata:

‫أن رسول هللا وقت ألهل العراق ذات العرق‬

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat ahli ‘Iraq


adalah Dzatul ‘irq” (H.R Abu Dawud no. 1739 dan an-Nasa’i 2/6)[9]

b. Pendapat kedua mengatakan bahwa Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu yang


menetapkannya. Sebagaimana dalam Shahih Bukhari ketika penduduk Bashrah dan Kufah
mengadu kepada Umar tentang jauhnya mereka dari Qarnul Manazil, bekata Umar
Radhiallahu’anhu:

‫فانظروا حذوها من طريقكم‬

“Lihatlah tempat yang sejajar dengannya (Qarnul Mnazil) dari jalan kalian.” Lalu Umar
menetapkan Dzatul ‘Irq (H.R Bukhary 1/388) dan ini adalah pendapat Imam Syafi’i.

Yang rajih –wallahu’alam– bahwa miqat tersebut telah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam dan penetapan Umar tersebut bersesuian dengan apa yang telah ditetapkan Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam, dan ini adalah pendapatnya Ibnu Qudamah.
Miqat-miqat diatas diperuntukkan bagi ahli tempat-tempat tersebut dan orang-orang yang lewat
melaluinya dari selain ahlinya, sehingga setiap orang yang melewati miqat yang bukan miqatnya
maka wajib baginya untuk berihram darinya. Misalnya: orang Indonesia yang melewati Madinah
dan tinggal disana satu atau dua hari kemudian berangkat umrah atau haji maka wajib baginya
untuk berihram dari Dzul Hulaifah atau ahli Najd atau ahli Yaman yang melewati Madinah tidak
perlu pergi ke Qarnul Manazil atau Yalamlam akan tetapi diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala
untuk berihram dari Dzul Hulaifah.kecuali ahli Syam yang melewati madinah dan Al-Juhfah,
maka ada perselisihan para ulama tentang kebolehan mereka menunda ihramnya sampai ke Al-
Juhfah,

a. pendapat pertama membolehkan bagi mereka untuk mengakhirkan ihram mereka sampai Al-
Juhfah, dan ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik. Mereka berdalil bahwa
seorang yang melewati dua miqat wajib baginya berihram dari salah satu dari keduanya. Satu
dari keduanya adalah cabang, yaitu Dzul Hulaifah, dan yang kedua adalah asal, yaitu Al-Juhfah
,maka boleh mendahulukan asal dari cabangnya. dan pendapat ini yang dirajihkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana dinukilkan Al-Ba’ly dalam Ikhtiyarat al-Fiqhiyah halaman
117.

b. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa mereka wajib berihram dari Dzul Hulaifah karena
zhahir hadits dari Ibnu Abbas diatas, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama. Dan ini adalah
pendapat yang lebih hati-hati kerena keumuman sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

‫ولمن أتى عليهن من غير أهلهن‬

“Dan bagi yang datang melaluinya dari selain ahlinya” (Hadits Ibnu Abbas).

Adapun mereka yang berada di antara miqat dengan makkah maka wajib berihram dari tempat
dia tetapkan niatnya untuk berhaji atau berumrah. Maka hal ini menguatkan penduduk yang
berada di antara Dzul Hulaifah dan Al-Juhfah seperti penduduk ar-Rauha’, penduduk Badr dan
Abyar al-Maasy untuk berihram dari tempat mereka. Demikian juga kalau ada seorang penduduk
madinah kemudian bepergian ke Jeddah dan tinggal di sana satu atau dua hari kemudian ingin
berumrah atau berhaji maka miqatnya adalah Jeddah kecuali kalau asal tujuan bepergiannya
adalah umrah atau haji maka hajatnya tersebut ikut asal tujuannya sehingga dia ihram dari
miqatnya yaitu Dzul Hulaifah. contohnya: Seorang mengatakan saya ingin pergi umrah dan saya
akan turun dulu di Jeddah sebelum umrah untuk membeli barang-barang yang saya butuhkan,
maka disini kepergiannya ke Jeddah adalah ikut kepada asal tujuannya yaitu umrah. Akan tetapi
kalau asal tujuannya adalah pergi ke Jeddah dikarenakan ada kebutuhan yang sangat penting
kemudian berkata: “Kalau dikendaki Alah dan saya mempunyai kesempatan, saya akan
berumrah, maka disini umrah ikut kepada asal tujuan yaitu ke Jeddah. Maka dia berihram di
Jeddah dan jika dia memilliki dua tujuan yang sama kuat maka diambil tujuan melaksanakan
umrah sebagai asal. Demikian juga bagi ahli Makkah, mereka berihram dari Makkah untuk
berhaji. Sedangkan untuk umrah, maka mereka harus keluar tanah haram Makkah yang paling
dekat. Dengan dalil hadits Ibnu Abbas yang terdahulu dan hadits Aisyah ketika beliau berumrah
setelah haji maka Rasululllah Shallallahu’alaihi Wasallam menyuruh Abdurrahman bin Abi
Bakar untuk mengantarnya ke Tan’im, sebagaimana dalam hadits Abdurrahman, beliau berkata:
‫ أمرني رسول هللا‬ (‫أن أردف عائشة وأعمرها من التنعم )متفق عليه‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah memerintahkanku untuk menemani Aisyah dan


(Aisyah) berihram untuk umrah dari Tan’im “(H.R Mutafaq ‘alaih)

Demikianlah miqatnya ahli Makkah baik dia penduduk asli maupun pendatang berihram dari
rumah-rumah mereka jika akan berhaji dan keluar ke tempat yang halal (di luar tanah haram
Makkah) yang terdekat jika akan berumroh. Kemudan bagi mereka yang tidak melewati miqat-
miqat tersebut, maka wajib bagi mereka untuk berihram dari tempat yang sejajar dengan miqat
yang terdekat dari jalan yang dilewati tersebut.

Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa mansia itu tidak lepas dari 3 keadaan:

1. Dia berada di dalam batas haram Makkah, ini dinamakan al-Harami atau al-Makki maka dia
berikhram untuk haji dari tempat tinggalnya, dan kalau berumrah maka harus keluar dari haram
dan berihram darinya.

2. Berada di luar haram Makkah dan berada sebelum Miqat maka mereka berihram dari
tempatnya untuk berhaji dan berumrah.

3. Berada di luar Miqat maka mereka memiliki dua keadaan:

a. Melewati Miqat, maka wajib berihram dari miqat

b. Tidak melewati miqat kalau ke Makkah, maka mereka berihram dari tempat yang sejajar atau
memilih miqat yang terdekat dengannya.

Adapun seorang yang pergi ke Makkah tidak lepas dari dua keadaan:

1. Pergi ke Makkah dengan niat haji atau umrah atau keduanya bersama-sama maka tidak boleh
dia masuk makkah kecuali dalam keadaan berihram.

2. Pergi ke Makkah dengan niat tidak berhaji dan umrah, maka dalam hal ini para ulama terbagi
menjadi dua:

a. Orang yang melewati miqat dan ingin masuk makkah wajib berihram baik ingin haji dan
umrah ataupun yang lainnya, ini merupaka madzhab Hanafiyah dan Malikiyah.

Berdalil dengan atsar Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu:

‫إنه ال يدخل إال من كان محر ًما‬

“Sesungguhnya tidaklah masuk (ke haram makkah) kecuali dalam keadaan berihram”.

Mereka berkata: “Ini menunjukkan bahwa seorang mukalaf kalau melewati miqat dengan niat
masuk makkah maka tidak boleh memasukinya kecuali dalam berihram. Demikian juga Allah
telah mengharamkan makkah dan keharaman tersebut mengharuskan masuknya dengan cara
yang khusus dan kalau tidak maka sama saja dengan yang lainnya.”

b. Boleh bagi yang melewati miqat dan tidak berniat haji atau umrah untuk tidak berihram dan
ini adalah madzhab Syafi’i.

Mereka berdalil sebagai berikut:

Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

(‫لمن أراد الحج و العمرة )متفق عليه‬

“Bagi siapa saja yang ingin melaksanakan haji dan umrah” (Mutafaqun ‘Alaih)

Di sini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membatasi perintah berihram kepada orang yang
berniat melaksanakan haji dan umrah, hal ini menunjukkan bahwa selainnya dibolehkan tidak
berihram jika ingin masuk makkah

Berhujjah dengan masuknya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ke Makkah pada fathul


Makkah dalam keadaan memakai topi baja pelindung kepala (al-Mighfar)

Dan yang rajih –wallahu’alam– adalah pendapat kedua yang membolehkan karena asalnya
adalah tidak diwajibkan untuk berihram sampai ada dalil yang menunjukkannya. Dan ini adalah
pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dan Bahaudin al-Maqdisy serta Muhammad bin
Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy.

Dari pembahasan yang lalu menunjukkan wajibnya berihram dari miqat-miqat yang telah
ditentukan oleh syar’i, lalu bagi mereka yang melewat miqat dan dia berniat haji atau umrah dan
belum berihram maka dia tidak lepas dari tiga keadaan:

1. Melewati miqat dan belum berihram, lantas dia melampaui miqat beberapa jauh, kemudian
kembali ke miqat untuk berihram darinya, maka hukumnya adalah boleh dan tidak terkena apa-
apa, karena dia telah berihram dari tempat yang Allah perintahkan untuk berhram.

2. Melewati miqat, walaupun hanya satu kilometer, lalu berihram dan dia tidak kembali ke miqat,
masalah ini ada dua gambaran:

a.Dia memiliki udzur syar’i sehingga tidak mampu untuk kembali, seperti takut kehilangan haji
kalau kembali dan lain sebagainya.

b.Tidak memiliki udzur syar’i.

maka hukum kedua-duanya adalah sama, yaitu wajib menyembelih sembelihan, karena dia telah
kehilangan kewajiban haji, yaitu berihram dari miqat.
3. Melewati miqat dan melampauinya, kemudian berihram setelah melampaui miqat, lalu
kembali dan berihram lagi untuk kedua kali dari miqat maka dalam hal ini ada lima pendapat
ulama:

a. Wajib atasnya dam (sembelihan) baik kembali atau tidak kembali, ini pendapat malikiyah dan
hanabillah.

b. Tidak ada dam selama belum melaksanakan satu amalan-amalan haji atau umrah, ini madzhab
Syafi’iyah

c. Kalau kembali ke miqat dalam keadaan bertalbiyah maka tidak ada dam (sembelihan) dan
kalau kembali tidak bertalbiyah maka wajib atasnya dam.

d. Rusak hajinya atau umrahnya dan wajib mengulangi ihramdari miqat, ini pendapat Sa’id bin
Jubair.

e. Tidak apa-apa, ini pendapat al-Hasan al-Bashry, al-Auza’i, dan ats-Tsaury.

Pendapat pertama adalah pendapat yang dirajihkan oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad al-
Mukhtar asy-Syanqithy dalam Mudzakirat Syarh ‘Umdah hal. 23.

5. Jenis-jenis Manasik Haji

Jenis-jenis manasik haji yang telah ditetapkan syariat ada tiga,yaitu:

1. Ifrad

Ifrad merupakan salah satu dari jenis manasik haji yang hanya berihram untuk haji tanpa
dibarengi dengan umroh,maka seorang yang memilih jenis manasik ini harus berniat untuk haji
saja, kemudian pergi ke Makkah dan ber-thawaf qudum, apabila telah ber-thawaf maka dia tetap
berpakaian ihram dan dalam keadaan muhrim sampai hari nahar (tanggal 10 Dzul hijah dan tidak
dibebani hadyu (sembelihan),serta tidak ber-Sa’i kecuali sekali dan umrohnya dapat dilakukan
pada perjalanan yang lainnya.

Diantara bentuk-bentuk Ifrad adalah:

a. Berumroh sebelum bulan-bulan haji dan tinggal menetap di Makkah sampai haji.

b. Berumroh sebelum bulan-bulan haji, kemudian pulang ketempat tinggalnya dan setelah itu
kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.

2. Tamattu’

Tamatu’ adalah berihram untuk umrah di bulan-bulan haji setelah itu berihram untuk haji pada
tahun itu juga. Dalam hal ini diwajibkan baginya untuk menyembelih hadyu (sembelihan). Oleh
karena itu setelah thawaf dan sa’i dia mencukur rambut dan pada tanggal 8 Dzul Hijjah berihram
untuk haji.

3. Qiran

Qiran adalah berihram untuk umrah dan haji sekaligus, dan membawa hadyu (sembelhan)
sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dan qiran ini memiliki
tiga bentuk:

a. Berihram untuk haji dan umrah bersamaan, dengan menyatakan “‫ ” لبيك عمرة ً وح ًجا‬dengan dalil
bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam didatangi Jibril u dan berkata:

‫صل في هذا الوادى المبارك و قل عمرة فى حجة‬

“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)

b. Berihram untuk umrah saja pertama kali kemudian memasukkan haji atasnya sebelum
memulai thawaf. Dengan dalil hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah ketika beliau berihram untuk
umrah kemudian haidh di Saraf. Lalu Rasulullah memerintahkan beliau untuk berihlal (ihram)
untuk haji dan perintah tersebut bukan merupakan pembatalan umrah dengan dalil sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits tersebut:

‫سعيك طوافك لحجك وعمرتك‬

“Cukuplah bagi kamu thawafmu untuk haji dan umrahmu” (H.R Muslim no. 2925/132)

c. Berihram untuk haji kemudan memasukkan umrah atasnya. Tentang kebolehan hal ini para
ulama ada dua pendapat:

Boleh dengan dalil hadits ‘Aisyah:

‫ أهل رسول هللا‬ ‫بالحج‬

“Rasululloh berihlal (ihrom) dengan haji”.

dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu:

‫صل في هذا الوادى المبارك و قل عمرة فى حجة‬

“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)

‫دخل العمرة فى الحج إلى يوم القيامة‬

“telah masuk umroh kedalam haji sampa hari kiamat”.

Dalil-dalil ini menunjukkan kebolehan memasukkan umrah kedalam haji.


Tidak boleh dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab hanbali. Berkata Syaikhul
Islam: “Dan seandainya dia berihram dengan haji kemudian memasukkan umrah ke dalamnya,
maka tidak boleh menurut pendapat yang rajih dan sebaliknya dengan kesepakatan para ulama”
[10]

Kemudian berselisih para ulama dari ketiga macam/jenis manasik ini dan dapat kita simpulkan
menjadi tiga pendapat:

1. Tamattu’ lebih utama dan ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair,
‘Aisyah, Alhasan, ‘Atha’, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qarim, Saalim, Ikrimah, Ahmad
bin Hanbal, dan madzhab ahli zhahir serta merupakan pendapat yang masyhur dari madzhab
hanbali dan satu daru dua pendapat Imam Syafi’i.

2. Qiran lebih utama dan ini merupakan pendapat madzhab Hanafi dan Tsaury berhujjah dengan:

Hadits Anas, beliau berkata:

‫ سمعت رسول هللا‬ (‫ لبيك عمرة و ح ًجا )متفق عليه‬،‫ لبيك عمرة و ح ًجا‬:‫أهل بها جمي ًعا‬

“Aku mendengar Rasulullah berihlal dengan keduanya: ‘Labbaik Umrotan wa hajjan’“


(Mutafaqun Alaih)

Hadits Adh-Dhabi bin Ma’bad ketika talbiyah dengan keduanya, kemudian datang umar lalu dia
menanyakannya,maka beliau berkata: “Kamu telah mendapatkan sunah Nabimu” (HR Abu
Dawud no. 1798; Ibnu Majah no. 2970 ddengan sanad shahih)

Perbuatan Ali dan perkataannya kepada Utsman ketika menegurnya:

(‫سمعت النبي يلبي بها جميعا فلم أكن أدع قول رسول هللا لقولك )رواه البيهقي‬

“Aku mendengar Rasulullah bertalbiyyah dengan keduanya sekalgus, maka aku tidak akan
meninggallkan ucapan Rasulullah karena pendapatmu “(H.R Baihaqi)

Karena pada Qiran ada pembawaan hadyu, maka lebih utama dari yang tidak membawa.

3. Ifrad lebih utama dan ini merupakan pendapat Imam Malik dan yang terkenal dari Madzhab
Syafi’i serta pendapat Umar, Utsman, Ibnu Umar, Jabir dan ‘Aisyah; dengan hujjah:

 Hadits Aisyah dan Jabir yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
melakukan haji ifrad
 Karena haji tersebut sempurna tanpa membutuhkan penguat, maka yang tidak
membutuhkan lebih utama dari yang membutuhkan.
 Amalan Khulafaur Rasyidin

Sedangkan yang rajih –wallahu’alam– adalah pendapat pertama dengan dalil:


a. Hadits Ibnu Abbas, beliau berkata: ketika Rasulullah sampai di Dzi Thuwa dan menginap
disana , lalu setelah shalat subuh beliau berkata:

‫من شاء أن يجعلهاعمرة فلييجعلها عمرة‬

“Barang siapa yang ingin menjadikannya umrah maka jadikanlah dia sebagai umrah”
(Mutafaqun Alaihi)

b. Hadits Aisyah:

‫ خرجنل مع رسول هللا‬ ‫ فلما قدما مكة تطوفنا بالبيت فأمر رسول هللا‬،‫ وال أريد إال أنه الحج‬ ،‫ما لم يكن ساق الهديي أن يحل‬
‫قالت فحل من لم يكن ساق الهدي و ناؤه لم يسقن اللهدي فاحللنا‬

“Kami telah berangkat bersama Rasulullah dan tidaklah kami melihat kecuali itu adalah haji,
ketika kami tiba di makkah kami thawaf di ka’bah, lalu Rasulullah memerintahkan orang yang
tidak membawa hadyu (senmbelihan) untuk bertahalul, berkata Aisyah: maka bertahalullah
orang yang tidak membawa hadyu dan istri-istri beliatidak membawa hadyu maka mereka
bertahalul ” (Mutafaqun ‘Alaih)

c. Juga terdapat riwayat Jabir dan Abu Musa bahwa Rasulullah memerintahkan sahabat-
sahabatnya ketika selesai thawaf di ka’bah untuk tahalul dan menjadikannya sebagai umrah.

Maka perintah pindah dari Ifrad dan Qiran kepada tamatu’ menujukkan bahwa tamattu’ lebih
utama. Karena, tidaklah beliau memindahkan satu hal kecuali kepada yang lebih utama.

d. Sabda Raslullah Shallallahu’alaihi Wasallam

‫لو استقبلت من أمري ما استدبرت ما سقت الهدي و لجملتها عمرة‬

“Seandainya saya dapat mengulangi apa yang telah lalu dari amalan saya maka saya tidak akan
membawa sembelihan dan menjadikannya Umrah”. (H.R Muslim Ahmad no. 6/175)

e. Kemarahan dan kekesalan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada para sahabatnya


yang masih bimbang dengan anjuran beliau agar mereka menjadikan haji mereka umrah
sebagaimana hadits Aisyah:

‫ من اغضبا يا رسول هللا اخله هللا النار؟ قال أوما شعرت أني أمرت الناس بأمر فإذا هم يترددون‬:‫فدخل علي و هو غضبان فقلت‬

“Maka masuklah Ali dan beliau dalam keadaan marah, lalu aku berkata: “Siapa yang
membuatmu marah wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Apakah kamu tidak tahu, aku
memerintahkan orang-orang dengan suatu perintah , lalu mereka bimbang. (ragu dalam
melaksanakannya) “(H.R Muslim)

Maka jelaslah kemarahan beliau ini menunjukan satu keutamaan yang lebih dari yang lainnya,
Wallahu’alam.
Sedangkan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hukumnya disesuaikan dengan
keadaan, kalau dia membawa hadyu (sembelihan) maka qiran lebih utama, dan apabila dia telah
berumrah sebelum bulan-bulan haji maka ifrad lebih utama dan selainnya tama
Radhiallahu’anhutu’ lebih utama. Beliau berkata: “Dan yang rajih dalam hal ini adalah
hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang berhaji, kalau dia bepergian
dengan satu perjalanan umrah dan satu perjalanan untuk haji atau bepergian ke Makkah sebelum
bulan-bulan haji dan berumrah kemudian tinggal menetap disana sampai haji, maka dalam
keadaan ini ifrad lebih utama baginya, dengan kesepakatan imam yang empat. Dan apabila dia
mengerjakan apa yang telah dilakukan kebanyakan orang, yaitu mengabungkan antara umrah dan
haji dalam satu kali perjalanan dan masuk Makkah dalam bulan-bulan haji, maka dalam keadaan
ini qiran lebih utama baginya kalau dia membawa hadyu, dan kalau dia tidak membawa hadyu
maka, ber-tahallul dari ihram untuk umrah lebih utama”[11]

Hal-hal yang diwajibkan dalam haji

1.Ihram dari Miqot

Kata ihram diambil dari bahasa arab dari Al-haram yang bermakna terlarang atau tercegah,
dinamakan hal tersebut dengan ihram karena seseorang dengan niatnya masuk kepada
kehormatan ibadah haji, maka dia dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu seperti
jima’, menikah, berucap ucapan kotor dan lain-sebagainya.Sehingga dapat diambil satu definisi
syar’i bahwa ihram adalah salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-
duanya secara bersamaan 1, dari sini jelas terpahami sebagai suatu kesalahan apa yang telah
dipahami sebagian kaum muslimin bahwa ihram adalah berpakaian dengan kain ihram karena
ihram adalah niat masuk kedalam haji atau umrah, sedangkan berpakaian dengan kain ihram
hanya merupakan satu keharusan bagi seorang yang telah berihram .

Dan melakukan ihram dari miqat merupakan satu kewajiban dari hal-hal yang wajib dilakukan
oleh seorang yang ingin menunaikan haji atau umrah adalah pengambilan miqat sebagai tempat
berihram sehingga mereka yang tidak berihram dari miqat berarti meninggalkan suatu kewajiban
dalam haji dan wajib atas mereka untuk menggantinya dengan Dam (denda).

Adapun cara berihram , maka seorang yang telah berketetapan untuk haji atau umrah maka
disunnahkan baginya untuk mencontoh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam
melakukan hal-hal yang berhubungan dengan amalannya sebagaimana yang telah ditunjukkan
oleh hadits-hadits yang shahih .

Adapun cara-caranya adalah :

1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan baik dalam keadaaan
suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiallahu’anhu, beliau berkata:
‫ فخرجنا معه حتى أتينا ذا الحليفة فولدت أسماء بنت عميس محمد بن أبي بكر فأرسلت الىرسول هللا‬ : ‫كيف أصنع؟ قال‬
(‫اغتسلي واستثفري بثوب واحرمي )رواه مسلم‬

“Lalu kami keluar bersamanya Shallallahu’alaihi Wasallam lalu tatkala sampai Dzul hulaifah
Asma binti ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr, maka ia (Asma) mengutus (seseorang
untuk bertemu) kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (dan berkata): ‘Apa yang aku
kerjakan? maka beliau Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: “Mandilah dan beristitsfarlah 2
dan berihramlah.” (Riwayat Muslim (2941) 8/404, Abu Daud no. 1905 dan 1909, dan Ibnu
Majah no.3074.)

Apabila tidak mendapatkan air maka tidak ber-tayammum karena bersuci yang disunnahkan,
apabila tidak dapat menggunakan air maka tidak bertayamum karena Allah menyebutkan
tayamum dalam bersuci dari hadats sebagai firman-Nya:

‫يا أيها الذين ءامنوا اذا قمتم الى الصلوة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق وامسحو برؤوسكم وارجلكم إلى الكعبين وان‬
‫كنتم جنبًا فاطهروا وان كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحدمنكم أو الغائط أو لمستم النساء فلم تجد ماء فتيمموا صعيدًا طيبًا‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); “(QS.Al Maidah
:6)

maka tidak bisa dianalogikan (di-qiyas-kan) kepada yang lainnya,dan juga tidak ada contoh atau
perintah dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk ber-tayammum, apalagi kalau mandi
ihram tersebut adalah untuk kebersihan dengan dalil perintah beliau kepada Asma bintu Umais
yang sedang haidh untuk mandi tersebut.

2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ihram sebagaimana yang dikatakan
Aisyah:

‫كنت أطيب النبي الحرامه قبل ان يحرم و لحله قبل أن يطوف بالبيت‬.

“Aku memakaikan nabi wangi-wangian untuk ihramnya sebelum berihram dan ketika halalnya
sebelum thawaf di Ka’bah” (HR, Bukhory no.1539 dan Muslim no. 1189).

Dan hanya diperbolehkan pada anggota badan dan bukan pada pakaian ihramnya karena
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ال تلبسوا ثوبا مسه الزعفران و ال الورس‬

“Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za’faran dan
wars.”(Muttafaqun alaih).

Memakai minyak wangi ini ada dua keadaan:


1. Memakainya sebelum mandi dan berihram,dan ini sepakat tidak ada permasalahan

2. Memakainya setelah mandi dan sebelum berihram dan minyak wangi tersebut tidak hilang,
maka ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat
dengan pendapatnya.

Dalil pembolehannya adalah hadits Aisyah, beliau berkata:

‫ كان رسول هللا‬ ‫اذا اراد أن يحرم يتطيب بأطيب ما يجد ثم أرى وبيص الدهن في رأسه و لحيته بعد ذلك رواه مسلم‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kalau ingin berihram memakai wangi- wangian yang
paling wangi yang beliau dapatkan kemudian aku melihat kilatan minyak di kepalanya dan
jenggotnya setelah itu”.(HR.Muslim no.2830 ).

Dan Aisyah berkata pula:

‫ كأني أنظر الى وبيص المسك في مفرق رسول هللا‬ ‫و هو محرم‬

“Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam sedangkan beliau dan keadaan ihram “. (HR. Muslim no. 2831 dan
Bukhory no. 5923).

Masalah: Apabila sesorang memakai wangi- wangian di badannya yaitu di kepala dan
jenggotnya, lalu minyak wangi tersebut menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini
mempengaruhi atau tidak?

Jawab: Tidak mempengaruhi , karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan
tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan
sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes karena mereka
memakainya pada keadaan yang dibolehkan 3

Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai minyak
rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika
dia lakukan maka akan menempelah minyak tersebut ke kedua telapak tangannya walaupun
hanya sedikit, maka apakah perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?

Maka masalah ini dijawab oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin dengan mengatakan:
“Tidak perlu, bahkan hal itu merupakan berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada dalilnya
demikian juga tidak mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit, cukup dia mengusapnya
dengan telapak tangannya karena ini termaasuk yang dimaafkan:.4

3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung (izar) dan selendang (rida’),
sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :

‫ليحرم أحدكم فى إزار و رداء و نعلين‬


“Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang
serta sepasang sandal.”(H. R Ahmad 2/34 dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Ahmad
Syakir)

dan diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi


Wasallam:

‫حير ثيابكم البياض فالبسوها وكفنوا فبها موتكم‬

“Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat
kalian padanya” (H.R Ahmad lihat syarahahmadsyakir 4/2219 dan berkata isnadnyaa shahih)

Berkata Ibnu Taimiyah dalam kitab Manasik (hal. 21): “Dan disunnahkan untuk berihram
dengan dua kain yang bersih, maka kalau keduanya berwarna putih maka itu lebih utama dan di
bolehkan ihram dengan segala jenis kain yang dibolehkan dari katun shuf (bulu domba) dan lain
sebagainya. Dan dibolehkan berihram dengan kain putih dan yang tidak putih dari warna-warna
yang diperbolehkan, walaupun berwarna-warni”.5

Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali
wajah dan telapak tangan.

4. Disunahkan berihram setelah shalat. sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar


Radhiallahu’anhuma dalam shahih Bukhary bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallambersabda:

‫ صل فى هذا الوادى المبارك وقل عمرة ً فى حجة‬: ‫أتاني الليلة آت من ربي فقال‬

“Telah datang tadi malam utusan dari Rabbku lalu berkata: “Shalatlah di Wadi yang diberkahi
ini dan katakan: Umrotan fi hajjatin.”

Dan hadits Jabir:

‫ فصلى رسول هللا‬ ‫في المسجد ثم ركب القصواء حتى اذا استوت به ناقته على البيداء أهل بالحج‬

“Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam Shalat di masjid (Dzulhulaifah) kemudian


menunggangi Al Qaswa’ (nama onta beliau) sampai ketika ontanya berdiri di al-Baida’
berihram untuk haji”. (HR.Muslim).

Maka yang sesuai dengan sunnah, lebih utama dan sempurna adalah berihram setelah shalat
fardhu. Akan tetapi apabila tidak mendapatkan waktu shalat fardhu maka terdapat dua pendapat
dari para ulama:

a. Tetap disunnahkan shalat dua rakaat dan ini pendapat jumhur berdalil dengan keumuman
hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma:

‫صل في هذا الوادي‬


“Shalatlah di Wadi ini”

b. Tidak disyariatkan shalat dua rakaat dan ini pendapat syaikhul islam Ibnu Taimyah.
Sebagaimana beliau katakan dalam Majmu’ Fatawa 26/108: “Disunnahkan berihram setelah
shalat baik fardhu maupun sunnah. Kalau ia berada pada waktu tathawu’ menurut salah satu dari
dua pendapatnya dan yang lain kalau dia shalat fardhu maka berihram setelahnya dan jika tidak
maka tidak ada bagi ihram shalat yang khusus dan ini yang rajih.”

Dan berkata didalam Al Ikhtiyarat (hal. 116): “Dan berihram setelah shalat fardhu kalau ada atau
sunnah (nafilah) karena ihram tidak memiliki shalat yang khusus untuknya”.

Demikianlah tidak ada shalat dua rakaat khusus untuk ihram.

5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik dan disunnahkan untuk diucapkan dan
dibolehkan untuk memilih salah satu dari tiga nusuk yaitu ifrad, qiran dan tamatu’ sebagaimana
yang dikatakan Aisyah:

‫ خرجنا مع رسول هللا‬ ‫عام حجة الوداع فمنا من اهل بعمرة و منا من اهل بحج و عمرة و منا من اهل بحج و أهل رسول هللا‬
(‫فا ما من أهل بعمرة فحل عنه قدوصه و اما من اهل بحج أو جمع بين الحج والعمرة فلم يحلوا حتى كان يوم النحر )متفق عليه‬

“Kami telah keluar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada tahun haji wada’
maka ada diantara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan
umrah dan ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam berihram dengan haji saja, adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal
setelah datangnya(*) dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan
umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada dihari nahar(**) “ (Mutafaq alaih)

Maka seorang yang ber-manasik ifrad mengatakan:

‫ لبيك حجا‬atau ‫لبيك اللهم حجا‬

dan seorang yang bermanasik tamatu’ mengatakan:

‫ لبيك عمرة‬atau ‫لبيك اللهم عمرة‬

dan ketika hari tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan:

‫ لبيك حجا‬atau ‫لبيك اللهم حجا‬

dan sunnah yang ber-manasik Qiran menyatakan: ‫لبيك عمرة و حجا‬

6. Ber-talbiyah, yaitu membaca:

‫لبيك اللهم لبيك لبيك ال شريك لك لبيك إن الحمد ونعمة لك والملك ال شريك لك‬
Labbaika Allahumma labbaik labbaika laa syariika laka labbaik Innal hamda wani’mata laka
wal mulk laa syariikaa laka, dan yang sejenisnya.

6.1. Waktu Talbiyyah

Waktu talbiyah adalah dimulai setelah berihram ketika akan melakukan perjalanan, sebagaimana
yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hajinya, berkata Jabir
Radhiallahu’anhu :

‫…… حتى إذا استوت به ناقته على البيداء أهل بالحج فأهل بالتوحيد لبيك اللهم لبيك‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mulai membaca talbiyah ketika telah tegak ontanya di
al-Baida beliau ihlal (ihram) dengan haji lalu bertalbiyah dengan tauhid, labbaika allahumma
labaik ……” (H.R Muslim)

6.2. Bacaan Talbiyah

Adapun bacaan talbiyah yang ma’tsur dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi


Wasallam adalah:

a.‫لبيك اللهم لبيك لبيك ال شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك والملك ال شريك لك‬ 6

b. (‫لبيك لبيك و سعديك و الخير بيدك و الرغباء إليك و العمل )متفق عليه من تلبية ابن عمر‬

c. (‫لبيك اللهم لبيك لبيك ال شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك )عن عائشة رواه البخارى‬

d. Talbiyah yang poin “a” namun ditambah kalimat:

(‫لبيك ذا المعارج لبيك ذا الفواضل )حديث جابر رواه مسلم‬

6.3. Sebab dan maknanya

Sebab disyariatkannya talbiyah adalah dalam rangka menjawab panggilan Allah Ta’ala.
Sebagaimana dalam al-Qur’an surah al-Hajj ayat 27.

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,niscaya mereka akan datang
kepadamudengan berjalan kaki,dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap
penjuru yang jauh.’ (QS. al-Hajj 22:27)

Berkata Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala ini : “Ketika
Allah Ta’ala memerintahkan Ibrahim ‘Alaihissalam untuk mengkhabarkan manusia agar berhajji,
dia berkata:

‫يا أيها الناس إن ربكم اتحذ بيتًا و أمركم أن تحجوه فاستجاب له ما سمعه من حجر أو شجر أو أكمة أو تراب أو شيئ فقالوا لبيك‬
(106\17 ‫اللهم لبيك )رواه ابن جرير‬
“Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah membangun satu rumah (ka’bah) dan
memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu beliau menerima panggilan ini apa saja
yang mendengarnya dari batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit debu atau apasaja yang ada, lalu
mereka berkata ‫( …… لبيك اللهم لبيك‬H.R Ibnu Jarir 17/106)

Berkata Ibnu Hajar ; ” Berkata Ibnu Abdil Barr: ‘Telah berkata sejumlah dari sebagian dari
Ulama’: “Makna Talbiyah adalah jawaban panggilan Ibrahim ‘Alaihissalam ketika
memberitahukan manusia untuk berhaji””, 7

Adapun ma’na dari kata-kata dalam talbiyah tersebut adalah :

(‫ )اللهم‬:Wahai Allah

(‫ )لبيك‬:Adalah penegas yang memiliki ma’na baru (lebih), maka saya mengulang-ulang dan
menegaskan bahwa saya menjawab atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam
keta’atan kepada-Nya

(‫ )ال شريك لك‬:Berma’na tidak ada satupun yang menyekutukan Engkau (Allah) dalam segala
sesuatu

(‫ )لبيك‬:Sebagagi penegas bahwa saya menerima panggilan haji tersebut karena Allah, bukan
karena pujian, ingin terkenal, ingin harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima
panggilan tersebut karena Engkau saja

(‫ )إن الحمد و النعمة لك والملك‬:Sesungguhnya saya berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan
nikmat itu hanyalah milik-Mu demikikan juga kekuasaan

(‫ )ال شريك لك‬:Yang semua itu tidak ada sekutu bagimu

Kalau kita melihat kepada ma’na kata-kata yang ada dalam talbiyah tersebut didapatkan adanya
penetapan tauhid dan jenis-jenisnya sebagaimana yang dikatakan oleh Jabir (‫)أهل بالتوحيد‬
(Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bertalbiyah dengan tauhid”) Dan hal ini tampak kalau
kita mentelaah dan memahami makna kata-kata tersebut, lihatlah dalam kata-kata ( ‫لبيك اللهم لبيك‬
‫ )لبيك ال شريك لك لبيك‬terdapat peniadaan kesyirikan dalam peribadatan, kemudian (‫)ال شريك لك لبيك‬
terdapat tauhid rububiyyah karena kita telah menetapkan kekuasaan yang mutlak hanya kepada
Allah Ta’ala semata, dan hal itupun mengharuskan seorang hamba untuk mengakui terhadap
tauhid uluhiyyah, karena iman kepada tauhid rububiyyah mengharuskan iman kepada tauhid
uluhiyyah, dan dalam kata (‫ )إن الحمد و النعمة لك‬terdapat penetapan sifat-sifat terpuji pada zat dan
perbuatan Allah Ta’ala adalah hak dan hal ini adalah merupakan tauhid asma’ dan sifat Allah
Ta’ala.

Kalau demikian keharusan orang yang bertalbiyah maka dia akan selalu merasakan keagungan
Allah dan akan selalu menyerahkan amal ibadahnya hanya untuk Allah semata bukan hanya
sekedar mengucapkan tanpa dapat merasakan hakikat dari talbiyah tersebut.

6.4. Cara membacanya


Talbiyah ini dibaca dengan mengangkat suara bagi kaum laki-laki sebagaimana perintah
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

‫أتنى جبريل فأمرنى أن آمر أصحابى أن يرفعوا أصواتهم بالتلبية‬

“Telah datang kepadaku jibril dan dia memerintaahkan aku untk memerintahkan sahabat-
sahabatku agar mengangkat suara-suara mereka dalam bertalbiyah. “

Dan tidak disyari’atkan bertalbiyah dengan berjamaah akan tetapi apabila terjadi kebersamaan
dalam talbiyah tanpa disengaja dan tidak dipimpin maka hal itu tidak mengapa karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bertalbiyah dalam satu waktu padahal jumlah
mereka sangat banyak maka hal tersebut sangat memungkinan untuk terjadinya talbiyah dengan
suara yang berbarengan, akan tetapi mengangkat suara dalam talbiyah ini jangan sampai
mengganggu dan menyakiti dirinya sendiri sehingga dia tidak dapat terus bertakbir.

Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengangkat suara mereka bahkan mereka diharuskan
untuk merendahkan suara mereka dalam bertalbiyah.

6.5. Waktu Berhenti Talbiyah.

Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam penentuan waktu berhenti talbiyah bagi orang
yang berumroh atau berhaji dengan tamatu’ menjadi beberapa pendapat :

1. Ketika masuk haram,dan ini pendapat Ibnu Umar,Urwah dan Al Hasan serta mazdhab
maliki,mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan An Nasaai yang
lafadznya;

‫ كان ابن عمر إذا دخل ادني الحرم أمسك عن التلبية ثم يبيت بذي طى ويصلى به الصبح ويغتسل ويحدث ان النبي‬ ‫كان يفعل‬
‫ذلك‬

“Ibnu Umar ketika masuk pinggiran haram menghentikan talbiyah kemudian menginap dzi
thuwa dan beliau sholat shubuh disana serta mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat
demikian”

2. Ketika melihat rumah-rumah penduduk Makkah dan ini pendapat Said bin Al Musayyib

3. Ketika sampai ke Ka’bah dan memulai thawaf dengan menyentuh (Istilam) hajar aswad dan
ini pendapat Ibnu Abbas, Atha’, Amr bin Maimun, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsaury, Asy-
Syafi’i, Ahmad dan Ishaq serta mazdhab Hanafi. Berdalil dengan hadits Ibnu Abbas secara
marfu’:

‫كان يمسك عن التلبية في العمرة إذا اتلم الحجر‬

“Dia menghentikan talbiyah dalam umoh kalau telah menyentuh (istilam) hajar aswad” (HR
Abu Daud,At Tirmidzy daan Al Baihaqy dan dilemahkan oleh Al Albany dalam Irwa’ 4/297)
dan juga hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dengan lafazh:
‫ اعتمر رسول هللا‬ ‫ثالثًا عمر كلها في ذي القعدة فلم يزل يلبي حتى استلم الحجر‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan umrah tiga kali umrah seluruhnya di bulan
dzul qa’dah dan terus bertalbiyah sampai menyentuh (istilam) hajar aswad” (H.R Ahmad dan
Baihaqi denan sanad yang lemah karena ada Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan
oleh AL-Albanny dala Irwa’ 4/297)

Dan mereka berkata : “Karena talbiyah adalah memenuhi panggilan untuk ibadah maka
dihentikan ketika memulai ibadah yaitu thawaf”. Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul
Islam8 dan Ibnu Qudamah 9 akan tetapi yang rajih adalah pendapat pertama karena penjelasan
dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah juga melakukan hal itu,dan itu menunjukkan bahwa Ibnu
Umar berlaku demikian karena melihat Rasulullah telah melakukannya, dan ini yang dirajihkan
oleh Ibnu Khuzaimah 10 .

Demikian juga pada haji terdapat beberapa pendapat ulama;

1. Menghentikannya ketika berada di Arafah setelah tergelincirnya matahari dan ini pendapat
Aisyah, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali, Al-Auza’i, Al-hasan Al-bashry dan madzhab malikiyah.
Berdalil dengan hadits:

‫الحج عرفة‬

“Haji itu adalah wuquf di Arafah”

Maka kalau telah sampai Arafah maka akan habis pemenuhan panggilan karena telah sampai
kepada inti dan rukun pokok ibadah tersebut. akan tetapi dalil ini lemah karena bertentangan
dengan riwayat bahwa Raululloh masih bertalbiyah setelah tanggal 9 Dzuljhijjah tersebut.

2 Menghentikannya ketika melempar jumroh aqobah dan ini pendapat jumhur ,akan tetapi
mereka berselisih menjadi dua pendapat;

a. Menghentikan di awal batu yang di lempar dalam jumroh aqobah dan ini pendapat kebanyakan
dari mereka, dengan dalil hadits Al fadl bin Al Abbas

‫ كنت رديف النبي‬ (‫من جمع إلى منى فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة )رواه الحماعة‬

”Aku membonceng nabi dari Arafah ke Mina dan teru meneru bertalbiyah sampi melempar
jumroh Aqobah “(HR jama’ah)

dan hadits Ibnu Mas’ud dengan lafadz:

‫ خرجت مع رسول هللا‬ ‫فما ترك التلبية حتى رمى جمرة العقبة إال أن يخلطها بتكبير أو تهليل‬.

“Aku berangkat bersama Rasulullah dan beliau tidak mmeninggalkan talbiyah sampai beliau
melempar jumrah Aqobah agar tidak tercampur dengan tahlil atau takbir” (HR Thohawi dan
Ahmad dan sanadnya dihasankan oleh Al Albani dalam Irwa’, /2966).
Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul Islam Inu Taimiyah dan beliau menyatakan: Dan secara
ma’na, maka seorang yang telah sampar Arafah- walaupun telah ampai pada tempat wuquf ini-
maka dia masih terpanggil setelahnya kepada tempat wukuf yang lainnya yaitu Muzdalifah dan
kalau dia telah wukuf di Muzdalifah maka dia terpanggil untuk melempar jumrah, dan kalau
telah mmemulai dalam melempar jumrah maka telah selesai panggilannya (Majmu’ Fatawa
26/173)

b. Menghentikannya diakhir lemparan dalam jumroh Aqobah dan ini pendapat Ahmad dan
sebagian pengikut Syafi’i serta dirojihkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan dalil lafadz hadits Fadhl:

‫ أفضت مع النبي‬ ‫من عرفة فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة يكبر مع كل حصاة ثم قطع التلبية مع آخر حصاة )رواه ابو‬
‫)خزيمة‬

“Aku telah keluar bersama Nabi dari Arafah lalu beliau terus bertalbiyah ampai melempar
jumroh Aqobah, Beliau bertakbir setiap lemparan batu, kemudian menghentikan talbiyah
bersama akhir batu yang dilempar” (HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan beliau berkata
:” ini hadit hahih yang menafsirkan apa yang belum jelas dalam riwayat- riwayat yang lain)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/4820-tuntunan-ibadah-haji-2.html

Fikih Haji (1): Hukum dan Syarat Haji


Muhammad Abduh Tuasikal, MSc.

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya.
Bahasan ini sengaja kami susun bagi kaum muslimin yang akan menunaikan haji, barangkali
tahun ini atau tahun-tahun akan datang. Materi ini amatlah ringkas, yang kami sarikan dari
beberapa buku haji. Semoga kami pun bisa mengambil manfaat dari apa yang kami susun.
Bahasan ini dibagi menjadi delapan pembahasan:

1. Hukum dan syarat haji


2. Tiga cara manasik haji
3. Rukun haji
4. Wajib haji
5. Larangan ketika ihram
6. Miqot
7. Tata cara manasik haji
8. Kesalahan-kesalahan ketika haji

HUKUM HAJI

Hukum haji adalah fardhu ‘ain, wajib bagi setiap muslim yang mampu, wajibnya sekali seumur
hidup. Haji merupakan bagian dari rukun Islam. Mengenai wajibnya haji telah disebutkan dalam
Al Qur’an, As Sunnah dan ijma’ (kesepakatan para ulama).

1. Dalil Al Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

َ‫ي َع ّن ْالعَالَ ّمين‬ ‫سبّ ا‬


‫يًل َو َم ْن َكفَ َر فَإّ هن ه‬
ٌّ ّ‫َّللاَ َغن‬ َ ‫ع إّلَ ْي ّه‬ ّ ‫اس ّح ُّج ْالبَ ْي‬
َ َ‫ت َم ّن ا ْست‬
َ ‫طا‬ ّ ‫َو ّ هَلِلّ َعلَى النه‬

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali
Imron: 97). Ayat ini adalah dalil tentang wajibnya haji. Kalimat dalam ayat tersebut
menggunakan kalimat perintah yang berarti wajib. Kewajiban ini dikuatkan lagi pada akhir ayat
(yang artinya), “Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. Di sini, Allah menjadikan lawan dari
kewajiban dengan kekufuran. Artinya, meninggalkan haji bukanlah perilaku muslim, namun
perilaku non muslim.

2. Dalil As Sunnah

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ‫ضان‬ َ ‫ َو‬، ّ‫ َو ْال َح ِّج‬، ّ‫الزكَاة‬


َ ‫ص ْو ّم َر َم‬ ‫ َو ّإيت َّاء ه‬، ّ‫صًلَة‬
‫ َو ّإقَ ّام ال ه‬، ّ‫َّللا‬ ُ ‫َّللاُ َوأ َ هن ُم َح همداا َر‬
‫سو ُل ه‬ ‫ش َهادَةّ أ َ ْن الَ ّإلَهَ ّإاله ه‬
َ ‫اإل ْسًلَ ُم َعلَى َخ ْم ٍس‬
ّ ‫ى‬ َ ّ‫بُن‬

“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak disembah
selain Allah dan mengaku Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, berhaji dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16).
Hadits ini menunjukkan bahwa haji adalah bagian dari rukun Islam. Ini berarti menunjukkan
wajibnya.

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

ُ ‫س َكتَ َحتهى قَالَ َها ثًَلَثاا فَقَا َل َر‬


‫سو ُل ه‬
‫صلى‬- ّ‫َّللا‬ َ َ‫َّللاّ ف‬
‫سو َل ه‬ ُ ‫ فَقَا َل َر ُج ٌل أ َ ُك هل َع ٍام يَا َر‬.» ‫َّللاُ َعلَ ْي ُك ُم ْال َح هج فَ ُح ُّجوا‬
‫ض ه‬ ُ ‫« أ َ ُّي َها النه‬
َ ‫اس قَدْ فَ َر‬
َ َ ‫ت َولَ َما ا ْست‬
‫ط ْعت ُ ْم‬ ْ ‫ « لَ ْو قُ ْلتُ نَ َع ْم لَ َو َج َب‬-‫هللا عليه وسلم‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di tengah-tengah kami. Beliau


bersabda, “Wahai sekalian manusia, Allah telah mewajibkan haji bagi kalian, maka berhajilah.”
Lantas ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah setiap tahun (kami mesti berhaji)?” Beliau
lantas diam, sampai orang tadi bertanya hingga tiga kali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas bersabda, “Seandainya aku mengatakan ‘iya’, maka tentu haji akan diwajibkan bagi
kalian setiap tahun, dan belum tentu kalian sanggup.” (HR. Muslim no. 1337). Sungguh banyak
sekali hadits yang menyebutkan wajibnya haji hingga mencapai derajat mutawatir (jalur yang
amat banyak) sehingga kita dapat memastikan hukum haji itu wajib.

3. Dalil Ijma’ (Konsensus Ulama)

Para ulama pun sepakat bahwa hukum haji itu wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu.
Bahkan kewajiban haji termasuk perkara al ma’lum minad diini bidh dhoruroh (dengan
sendirinya sudah diketahui wajibnya) dan yang mengingkari kewajibannya dinyatakan kafir.

SYARAT WAJIB HAJI

1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Merdeka
5. Mampu

Kelima syarat di atas adalah syarat yang disepakati oleh para ulama. Sampai-sampai Ibnu
Qudamah dalam Al Mughni berkata, “Saya tidak mengetahui ada khilaf (perselisihan) dalam
penetapan syarat-syarat ini.” (Al Mughni, 3:164)

Catatan:

1. Seandainya anak kecil berhaji, maka hajinya sah. Namun hajinya tersebut dianggap haji
tathowwu’ (sunnah). Jika sudah baligh, ia masih tetap terkena kewajiban haji. Hal ini
berdasarkan kesepakatan para ulama (baca: ijma’).
2. Syarat mampu bagi laki-laki dan perempuan adalah: (a) mampu dari sisi bekal dan kendaraan,
(b) sehat badan, (c) jalan penuh rasa aman, (d) mampu melakukan perjalanan.
3. Mampu dari sisi bekal mencakup kelebihan dari tiga kebutuhan: (1) nafkah bagi keluarga yang
ditinggal dan yang diberi nafkah, (2) kebutuhan keluarga berupa tempat tinggal dan pakaian, (3)
penunaian utang.
4. Syarat mampu yang khusus bagi perempuan adalah: (1) ditemani suami atau mahrom, (2) tidak
berada dalam masa ‘iddah.

SYARAT SAHNYA HAJI

1. Islam
2. Berakal
3. Miqot zamani, artinya haji dilakukan di waktu tertentu (pada bulan-bulan haji), tidak di waktu
lainnya. ‘Abullah bin ‘Umar, mayoritas sahabat dan ulama sesudahnya berkata bahwa waktu
tersebut adalah bulan Syawwal, Dzulqo’dah, dan sepuluh hari (pertama) dari bulan Dzulhijjah.
4. Miqot makani, artinya haji (penunaian rukun dan wajib haji) dilakukan di tempat tertentu yang
telah ditetapkan, tidak sah dilakukan tempat lainnya. Wukuf dilakukan di daerah Arafah. Thowaf
dilakukan di sekeliling Ka’bah. Sa’i dilakukan di jalan antara Shofa dan Marwah. Dan seterusnya.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/10091-fiqih-haji-1-hukum-dan-syarat-haji.html

Fikih Haji (2): Tiga Cara Manasik Haji


Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. 5 September

Haji dapat dilakukan dengan memilih salah satu dari tiga cara manasik:

1. Ifrod, yaitu meniatkan haji saja ketika berihram dan mengamalkan haji saja setelah itu.
2. Qiron, yaitu meniatkan umroh dan haji sekaligus dalam satu manasik. Wajib bagi yang
mengambil tata cara manasik qiron untuk menyembelih hadyu.
3. Tamattu’, yaitu berniat menunaikan umroh saja di bulan-bulan haji, lalu melakukan
manasik umroh dan bertahalul. Kemudian diam di Makkah dalam keadaan telah
bertahalul. Kemudian ketika datang waktu haji, melakukan amalan haji. Wajib bagi yang
mengambil tata cara manasik tamattu’ untuk menyembelih hadyu.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Telah terdapat ijma’ (kesepakatan para ulama) bolehnya
memilih melakukan salah satu dari tiga cara manasik: ifrod, tamattu’ dan qiron, tanpa dikatakan
makruh. Namun yang diperselisihkan para ulama adalah manakah tatacara manasik yang afdhol
(lebih utama).” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8: 169)

Mengenai kewajiban hadyu bagi yang mengambil tata cara manasik qiron dan tamattu’
disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

َ‫َاملَةٌ ذَلّك‬
ّ ‫س ْبعَ ٍة إّذَا َر َج ْعت ُ ْم ّت ْلكَ َعش ََرة ٌ ك‬
َ ‫صيَا ُم ثَ ًَلثَ ّة أَي ٍهام فّي ْال َح ِّجّ َو‬
ّ َ‫س َر ّمنَ ْال َهدْي ّ فَ َم ْن لَ ْم يَ ّجدْ ف‬
َ ‫فَ َم ْن ت َ َمت ه َع بّا ْلعُ ْم َرةّ إّلَى ْال َح ِّجّ فَ َما ا ْست َ ْي‬
ْ ْ
‫اض ّري ال َمس ّْج ّد ال َح َر ّام‬ ُ َ
ّ ‫ّل َم ْن لَ ْم يَ ُك ْن أ ْهلهُ َح‬
“Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah
ia menyembelih) hadyu (qurban) yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang
qurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi)
apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.” (QS. Al Baqarah:
196). Wajibnya hadyu bagi yang mengambil manasik qiron dan tamattu’ adalah berdasarkan
ijma’ (kesepakatan) para ulama.

Manakah dari tiga tata cara manasik tersebut yang lebih utama? Dalam hadits mengenai tata cara
manasik haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa beliau bersabda,

ً‫ى فَ ْليَ ِح َّل َو ْليَجْ عَ ْل َها ع ُْم َرة‬ ُ ‫ْى َو َجعَ ْلت ُ َها‬
َ ‫ع ْم َرة ً فَ َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم لَي‬
ٌ ْ‫ْس َمعَهُ َهد‬ َ ‫ق ْال َهد‬ ُ َ ‫لَ ْو أَنِِّى ا ْست َ ْق َب ْلتُ ِم ْن أ َ ْم ِرى َما ا ْستَ ْدبَ ْرتُ لَ ْم أ‬
ِ ‫س‬

“Jikalau aku mengetahui apa yang akan terjadi pada diriku maka aku tidak akan membawa
hewan hadyu dan aku akan jadikan ihramku ini umrah, maka barangsiapa dari kalian yang
tidak bersamanya hewan hadyu maka hendaklah dia bertahallul dan menjadikannya sebagai
umrah.” (HR. Muslim no. 1218). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan para
sahabat untuk memilih tamattu’ dan berkeinginan dirinya sendiri melakukannya. Tidaklah beliau
memerintahkan dan berkeinginan kecuali menunjukkan tamattu’ itu afdhol (lebih utama) (Fiqhus
Sunnah, 1: 447-448). Selain itu, manasik dengan tamattu’ itu lebih banyak amalannya dan lebih
mudah secara umum (Syarhul Mumthi’, 7: 76-77)

Catatan: Dam yang dikeluarkan untuk manasik qiron dan tamattu’ adalah dalam rangka syukur
dan bukan dalam rangka menutup kekurangan saat manasik (Ar Rafiq fil Hajj, 35).

Problem: Dalam tata cara manasik tamattu’ telah disebutkan bahwa umroh dilakukan terlebih
dahulu sebelum haji. Artinya ia melakukan ritual umrah dahulu yang di dalamnya terdapat
thowaf umrah dan sa’i umrah. Setelah itu ia bertahallul dengan sebelumnya memendekkan
rambut. Lantas bagaimana jika sebelum wukuf di Arafah, seseorang terhalangi tidak bisa
melakukan umrah? Pilihannya adalah mengganti niat hajinya dari tamattu’ menjadi qiran.
Contoh dalam kasus ini adalah wanita yang telah berihram dari miqot dengan niat tamattu’.
Lantas ia mengalami haidh atau nifas sebelum ia melakukan thowaf umrah. Ia barulah suci
ketika datang waktu wukuf di Arafah. Artinya, ia belum sempat melakukan umrah pada haji
tamattu’nya. Pada saat itu, ia mengganti niatnya menjadi niatan qiron, dan ia terus dalam
keadaan berihram. Ia tetap melakukan rukun dan kewajiban haji lainnya selain thowaf di Ka’bah.
Karena ia baru dibolehkan thowaf jika ia telah suci dan telah mandi (Al Minhaj li Muriidil Hajj
wal ‘Umroh, 31-34).

Fikih Haji (3): Rukun Haji


Rukun Haji

1. Ihram
2. Thowaf ifadhoh
3. Sa’i
4. Wukuf di Arafah
Jika salah satu dari rukun ini tidak ada, maka haji yang dilakukan tidak sah.

Rukun pertama: Ihram

Yang dimaksud dengan ihram adalah niatan untuk masuk dalam manasik haji. Siapa yang
meninggalkan niat ini, hajinya tidak sah. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,

ِ ‫ِإنَّ َما األ َ ْع َما ُل ِبالنِِّيَّا‬


ٍ ‫ َو ِإنَّ َما ِل ُك ِِّل ا ْم ِر‬، ‫ت‬
‫ئ َما ن ََوى‬

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan apa
yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Wajib ihram mencakup:

1. Ihram dari miqot.


2. Tidak memakai pakaian berjahit (yang menunjukkan lekuk badan atau anggota tubuh). Laki-laki
tidak diperkenankan memakai baju, jubah, mantel, imamah, penutup kepala, khuf atau sepatu
(kecuali jika tidak mendapati khuf). Wanita tidak diperkenankan memakai niqob (penutup
wajah) dan sarung tangan.
3. Bertalbiyah.

Sunnah ihram:

1. Mandi.
2. Memakai wewangian di badan.
3. Memotong bulu kemaluan, bulu ketiak, memendekkan kumis, memotong kuku sehingga dalam
keadaan ihram tidak perlu membersihkan hal-hal tadi, apalagi itu terlarang saat ihram.
4. Memakai izar (sarung) dan rida’ (kain atasan) yang berwarna putih bersih dan memakai sandal.
Sedangkan wanita memakai pakaian apa saja yang ia sukai, tidak mesti warna tertentu, asalkan
tidak menyerupai pakaian pria dan tidak menimbulkan fitnah.
5. Berniat ihram setelah shalat.
6. Memperbanyak bacaan talbiyah.

Mengucapkan niat haji atau umroh atau kedua-duanya, sebaiknya dilakukan setelah shalat,
setelah berniat untuk manasik. Namun jika berniat ketika telah naik kendaraan, maka itu juga
boleh sebelum sampai di miqot. Jika telah sampai miqot namun belum berniat, berarti dianggap
telah melewati miqot tanpa berihram.

Lafazh talbiyah:

َ‫الَ ش َّريْكَ لَك‬. ُ‫إّ هن ال َح ْمدَ َوالنِّّ ْع َمةَ لَكَ َوال ُم ْلك‬. َ‫لَبهيْكَ َال ش َّريْكَ لَكَ لَبهيْك‬. َ‫لَبهيْكَ الله ُه هم لَبهيْك‬

“Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syariika laka labbaik. Innalhamda wan ni’mata, laka
wal mulk, laa syariika lak”. (Aku menjawab panggilan-Mu ya Allah, aku menjawab panggilan-
Mu, aku menjawab panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku menjawab panggilan-Mu.
Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan dan kekuasaan hanya milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu).
Ketika bertalbiyah, laki-laki disunnahkan mengeraskan suara.

Rukun kedua: Wukuf di Arafah

Wukuf di Arafah adalah rukun haji yang paling penting. Siapa yang luput dari wukuf di Arafah,
hajinya tidak sah. Ibnu Rusyd berkata, “Para ulama sepakat bahwa wukuf di Arafah adalah
bagian dari rukun haji dan siapa yang luput, maka harus ada haji pengganti (di tahun yang lain).”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫ْال َح ُّج‬
ُ ‫ع َرفَة‬

“Haji adalah wukuf di Arafah.” (HR. An Nasai no. 3016, Tirmidzi no. 889, Ibnu Majah no. 3015.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Yang dimaksud wukuf adalah hadir dan berada di daerah mana saja di Arafah, walaupun dalam
keadaan tidur, sadar, berkendaraan, duduk, berbaring atau berjalan, baik pula dalam keadaan suci
atau tidak suci (seperti haidh, nifas atau junub) (Fiqih Sunnah, 1: 494). Waktu dikatakan wukuf
di Arafah adalah waktu mulai dari matahari tergelincir (waktu zawal) pada hari Arafah (9
Dzulhijjah) hingga waktu terbit fajar Shubuh (masuk waktu Shubuh) pada hari nahr (10
Dzulhijjah). Jika seseorang wukuf di Arafah selain waktu tersebut, wukufnya tidak sah
berdasarkan kesepakatan para ulama (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 17: 49-50).

Jika seseorang wukuf di waktu mana saja dari waktu tadi, baik di sebagian siang atau malam,
maka itu sudah cukup. Namun jika ia wukuf di siang hari, maka ia wajib wukuf hingga matahari
telah tenggelam. Jika ia wukuf di malam hari, ia tidak punya keharusan apa-apa. Madzab Imam
Syafi’i berpendapat bahwa wukuf di Arafah hingga malam adalah sunnah (Fiqih Sunnah, 1:
494).

Sayid Sabiq mengatakan, “Naik ke Jabal Rahmah dan meyakini wukuf di situ afdhol (lebih
utama), itu keliru, itu bukan termasuk ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (Fiqih
Sunnah, 1: 495)

Rukun ketiga: Thowaf Ifadhoh (Thowaf Ziyaroh)

Thowaf adalah mengitari Ka’bah sebanyak tujuh kali. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

ِ ‫ت ْالعَتِي‬
‫ق‬ ِ ‫ط َّوفُوا بِ ْالبَ ْي‬
َّ َ‫َو ْلي‬

“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu
(Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)

Syarat-syarat thowaf:

1. Berniat ketika melakukan thowaf.


2. Suci dari hadats (menurut pendapat mayoritas ulama).
3. Menutup aurat karena thowaf itu seperti shalat.
4. Thowaf dilakukan di dalam masjid walau jauh dari Ka’bah.
5. Ka’bah berada di sebelah kiri orang yang berthowaf.
6. Thowaf dilakukan sebanyak tujuh kali putaran.
7. Thowaf dilakukan berturut-turut tanpa ada selang jika tidak ada hajat.
8. Memulai thowaf dari Hajar Aswad.

Sunnah-sunnah ketika thowaf, yaitu:

1. Ketika memulai putaran pertama mengucapkan, “Bismillah, wallahu akbar. Allahumma iimaanan
bika, wa tashdiiqon bi kitaabika, wa wafaa-an bi’ahdika, wat tibaa’an li sunnati nabiyyika
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Dan setiap putaran bertakbir ketika bertemu Hajar
Aswad bertakbir “Allahu akbar”.
2. Menghadap Hajar Aswad ketika memulai thowaf dan mengangkat tangan sambil bertakbir
ketika menghadap Hajar Aswad.
3. Memulai thowaf dari dekat dengan Hajar Aswad dari arah rukun Yamani. Memulai thowaf dari
Hajar Aswad itu wajib. Namun memulainya dengan seluruh badan dari Hajar Aswad tidaklah
wajib.
4. Istilam (mengusap) dan mencium Hajar Aswad ketika memulai thowaf dan pada setiap putaran.
Cara istilam adalah meletakkan tangan pada Hajar Aswad dan menempelkan mulut pada
tangannya dan menciumnya.
5. Roml, yaitu berjalan cepat dengan langkah kaki yang pendek. Roml ini disunnahkan bagi laki-laki,
tidak bagi perempuan. Roml dilakukan ketika thowaf qudum (kedatangan) atau thowaf umroh
pada tiga putaran pertama.
6. Idh-tibaa’, yaitu membuka pundak sebelah kanan. Hal ini dilakukan pada thowaf qudum
(kedatangan) atau thowaf umroh dan dilakukan oleh laki-laki saja, tidak pada perempuan.
7. Istilam (mengusap) rukun Yamani. Rukun Yamani tidak perlu dicium dan tidak perlu sujud di
hadapannya. Adapun selain Hajar Aswad dan Rukun Yamani, maka tidak disunnahkan untuk
diusap.
8. Berdo’a di antara Hajar Aswad dan Rukun Yamani. Dari ‘Abdullah bin As Saaib, ia berkata, “Aku
pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di antara dua rukun:
Robbanaa aatina fid dunya hasanah wa fil aakhirooti hasanah, wa qinaa ‘adzaban naar (Ya
Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat, serta selamatkanlah
kami dari adzab neraka).” (HR. Abu Daud no. 1892. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih)
9. Berjalan mendekati Ka’bah bagi laki-laki dan menjauh dari Ka’bah bagi perempuan.
10. Menjaga pandangan dari berbagai hal yang melalaikan.
11. Berdzikir dan berdo’a secara siir (lirih).
12. Membaca Al Qur’an ketika thowaf tanpa mengeraskan suara.
13. Beriltizam pada Multazam. Ini dilakukan dalam rangka mencontoh Nabi shallalahu ‘alaihi wa
sallam di mana beliau beriltizam dengan cara menempelkan dadanya dan pipinya yang kanan,
kemudian pula kedua tangan dan telapak tangan membentang pada dinding tersebut. Ini semua
dalam rangka merendahkan diri pada pemilik rumah tersebut yaitu Allah Ta’ala. Multazam juga
di antara tempat terkabulnya do’a berdasarkan hadits yang derajatnya hasan. Kata Syaikh As
Sadlan (Taisirul Fiqih, 347-348), “Berdo’a di multazam disunnahkan setelah selesai thowaf dan
multazam terletak antara pintu Ka’bah dan Hajar Aswad.”
14. Melaksanakan shalat dua raka’at setelah thowaf di belakang maqom Ibrahim. Ketika itu setelah
membaca Al Fatihah pada raka’at pertama, disunnahkan membaca surat Al Kafirun dan rakaat
kedua, disunnahkan membaca surat Al Ikhlas. Ketika melaksanakan shalat ini, pundak tidak lagi
dalam keadaan idh-tibaa’.
15. Minum air zam-zam dan menuangkannya di atas kepala setelah melaksanakan shalat dua raka’at
sesudah thowaf.
16. Kembali mengusap Hajar Aswad sebelum menuju ke tempat sa’i.

Catatan:

1. Ulama Syafi’iyah berkata, “Jika idh-tibaa’ dan roml dilakukan saat thowaf qudum kemudian
melakukan sa’i setelah itu, maka idh-tibaa’ dan roml tidak perlu diulangi lagi dalam thowaf
ifadhoh. Namun jika sa’i (haji) diakhirkan hingga thowaf ifadhoh, maka disunnahkan melakukan
idh-tibaa’ dan roml ketika itu (Fiqih Sunnah, 1: 480).
2. Tidak ada bacaan dzikir atau do’a tertentu untuk setiap putaran saat thowaf. Sebagian jama’ah
menganjurkan demikian, namun tidak ada dalil pendukung dalam hal ini, bahkan sering
memberatkan.

Rukun keempat: Sa’i

Sa’i adalah berjalan antara Shofa dan Marwah dalam rangka ibadah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫ى‬ َّ ‫َب َعلَ ْي ُك ُم ال‬


َ ‫س ْع‬ َّ ‫ا ْس َع ْوا ِإ َّن‬
َ ‫َّللاَ َكت‬

“Lakukanlah sa’i karena Allah mewajibkan kepada kalian untuk melakukannya.” (HR. Ahmad 6:
421. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).

Syarat sa’i:

1. Niat.
2. Berurutan antara thowaf, lalu sa’i.
3. Dilakukan berturut-turut antara setiap putaran. Namun jika ada sela waktu sebentar antara
putaran, maka tidak mengapa, apalagi jika benar-benar butuh.
4. Menyempurnakan hingga tujuh kali putaran.
5. Dilakukan setelah melakukan thowaf yang shahih.

Sunnah-sunnah sa’i:

1. Ketika mendekati Shofa, mengucapkan, “Innash shofaa wal marwata min sya’airillah. Abda-u
bimaa badaa-allahu bih.”
2. Berhenti sejenak di antara Shafa untuk berdo’a. Menghadap kiblat lalu mengucapkan, “Allahu
akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa
lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir. Laa ilaha illallahu wahdah, shodaqo wa’dah wa
nashoro ‘abdah wa hazamal ahzaaba wahdah.” Ketika di Marwah melakukan hal yang sama.
3. Berlari kencang antara dua lampu hijau bagi laki-laki yang mampu.
4. Berdo’a dengan do’a apa saja di setiap putaran, tanpa dikhususkan dengan do’a, dzikir atau
bacaan tertentu.
5. Berturut-turut sa’i dilakukan setelah thowaf, tidak dilakukan dengan selang waktu yang lama
kecuali jika ada uzur yang dibenarkan.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/10114-fikih-haji-3-rukun-haji.html

Fikih Haji (4): Wajib Haji


Ada beberapa wajib haji:

1. Ihram dari miqot.


2. Wukuf di Arafah hingga Maghrib bagi yang wukuf di siang hari.
3. Mabit di malam hari nahr (malam 10 Dzulhijjah) di Muzdalifah pada sebagian besar malam yang
ada.
4. Mabit di Mina pada hari-hari tasyriq.
5. Melempar jumroh secara berurutan.
6. Mencukur habis atau memendekkan rambut.
7. Thowaf wada’.

Jika wajib haji ditinggalkan, maka harus menunaikan dam.

Wajib pertama: Ihram dari miqot

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tempat-tempat miqot, beliau bersabda,

َ‫ َحتَّى أ َ ْه ُل َم َّكةَ ِم ْن َم َّكة‬، َ ‫شأ‬ ُ ‫ َو َم ْن َكانَ دُونَ ذَلِكَ فَ ِم ْن َحي‬، َ ‫ ِم َّم ْن أ َ َرادَ ْال َح َّج َو ْالعُ ْم َرة‬، ‫ه َُّن لَ ُه َّن َو ِل َم ْن أَت َى َعلَ ْي ِه َّن ِم ْن َغي ِْره َِّن‬
َ ‫ْث أَ ْن‬

“Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi
mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut jika hendak melakukan ibadah haji dan
umroh. Sedangkan mereka yang berada di dalam batasan miqot, maka dia memulai dari
kediamannya, dan bagi penduduk Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah.” (HR. Bukhari
no. 1524 dan Muslim no. 1181)

Wajib kedua: Wukuf di Arafah hingga maghrib bagi yang mulai wukuf di siang hari

Karena dalam hadits Jabir yang menceritakan cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
manasik, beliau wukuf di Arafah hingga waktu Maghrib.

Wajib ketiga: Mabit di Muzdalifah

Alasan wajibnya hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan mabit di
Muzdalifah. Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan berdzikir di Masy’aril haram (Muzdalifah)
dalam ayat,
‫َّللاَ ِع ْندَ ْال َم ْش َع ِر ْال َح َر ِام‬
َّ ‫ت فَاذْ ُك ُروا‬ ْ َ‫فَإِذَا أَف‬
ٍ ‫ضت ُ ْم ِم ْن َع َرفَا‬

“Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril haram
(Muzdalifah)” (QS. Al Baqarah: 198).

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

َ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – لَ ْيلَةَ ْال ُم ْزدَ ّلفَ ّة فّى‬


‫ضعَفَ ّة أ َ ْه ّل ّه‬ ُّ ّ‫أَنَا ّم هم ْن قَد َهم النهب‬

“Aku adalah di antara orang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulukan pada malam
Muzdalifah karena kondisi lemah keluarganya.” (HR. Bukhari no. 1678 dan Muslim no. 1295)

Mabit di Muzdalifah termasuk wajib haji. Jika ditinggalkan tanpa ada uzur, maka ada kewajiban
dam. Namun kalau meninggalkannya karena ada uzur, maka tidak ada dam. Imam Nawawi
rahimahullah dalam Al Majmu’ (8: 136) berkata, “Wajib menunaikan dam bagi yang
meninggalkan mabit (di Muzdalifah) jika kita katakan bahwa mabit di sana adalah wajib. Dam
di sini ditunaikan bagi orang yang meninggalkannya tanpa adanya uzur. Adapun yang
mengambil wukuf di Arafah hingga malam hari nahr (malam 10 Dzulhijjah), ia sibuk dengan
wukufnya sampai meninggalkan mabit di Muzdalifah, maka tidak ada kewajiban apa-apa
untuknya. Hal inilah yang disepakati ulama Syafi’iyah.”

Jadi barangsiapa yang tidak mampu masuk Muzdalifah hingga terbit matahari (keesokan
harinya) karena jalanan macet (misalnya) dan sulitnya bergerak, juga tidak ada cara lain untuk
pergi ke sana (seperti dengan berjalan kaki) karena khawatir pada diri, keluarga dan harta, maka
ia tidak dikenai kewajiban dam karena adanya uzur. Demikian fatwa dari Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al ‘Utsaimin dan Al Lajnah Ad Daimah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 407-408).

Yang disebut telah melakukan mabit di Muzdalifah adalah bila telah bermalam di sebagian besar
malam, bukan hanya selama separuh malam atau kurang dari itu. Di antara dalilnya adalah di
mana Asma’ binti Abi Bakr mabit di Muzdalifah hingga bulan hilang, yaitu sekitar sepertiga
malam terakhir dan bukan pada pertengahan malam. Dan juga seseorang dinamakan bermalam
jika ia bermalam hingga waktu Shubuh atau hingga sebagian besar malam ia lewati (Lihat An
Nawazil fil Hajj, 409-410). Dari penjelasan ini, jika bus jama’ah haji hanya melewati Muzdalifah
tanpa diam hingga sebagian besar malam dan tanpa adanya uzur, maka ia berarti meninggalkan
mabit di Muzdalifah hingga sebagian besar malam dan wajib membayar dam (Lihat An Nawazil
fil Hajj, 416-417).

Wajib keempat: Melempar Jumroh

Yang dimaksud di sini adalah melempar jumroh ‘Aqobah pada tanggal 10 Dzulhijah, melempar
tiga jumroh lainnya di hari tasyriq (hari ke-11, 12 atau 13 jika masih tetap di Mina). Allah Ta’ala
berfirman,

‫َّللاَ َوا ْعلَ ُموا أَنَّ ُك ْم ِإلَ ْي ِه‬


َّ ‫ت فَ َم ْن ت َ َع َّج َل فِي َي ْو َمي ِْن فَ َال ِإثْ َم َعلَ ْي ِه َو َم ْن ت َأ َ َّخ َر فَ َال ِإثْ َم َعلَ ْي ِه ِل َم ِن اتَّقَى َواتَّقُوا‬
ٍ ‫َّللاَ فِي أَي ٍَّام َم ْعد ُودَا‬
َّ ‫َواذْ ُك ُروا‬
َ‫تحْ ش َُرون‬ ُ
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang (hari tasyriq).
Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa
baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu),
maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 203). Yang
dimaksud berdzikir di sini adalah dengan bertakbir ketika melempar jumroh (Tafsir Al Jalalain,
41). Pada tanggal 10 Dzulhijjah adalah saat melempar jumroh Aqobah dan dilakukan setelah
terbit matahari. Sedangkan pada hari-hari tasyriq adalah waktu melempar tiga jumroh lainnya
(mulai dari jumroh ula, lalu jumroh wustho dan jumroh aqobah) dan waktunya dimulai setelah
matahari tergelincir ke barat (waktu zawal).

Wajib kelima: Mabit di Mina pada Hari-Hari Tasyriq

Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam (mabit) di Mina selama hari-hari tasyriq.
Mabit ini dilakukan pada hari-hari tasyriq (ke-11, 12, dan 13 bagi yang masih ingin tetap di
Mina). Yang disebut mabit adalah dilakukan pada sebagian besar malam baik dimulai dari awal
malam atau dari tengah malam (Al Minhaj lii Muridil Hajj wal ‘Umroh, 133).

Wajib keenam: Mencukur atau Memendekkah Rambut

Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini dalam sabdanya,

‫ َو ْليَحْ ِل ْل‬، ‫ص ْر‬


ِّ ِ َ‫َو ْليُق‬

“Pendekkanlah rambut dan bertahallul-lah.” (HR. Bukhari no. 1691 dan Muslim no. 1227)

Mencukur atau memendekkan merupakan ibadah wajib dan akan membuat orang yang berhaji
dianggap telah halal dari berbagai larangan ihram. Mencukur rambut di sini adalah bentuk
merendahkan diri pada Allah karena telah menghilangkan rambut yang menjadi hiasan dirinya.
Allah Ta’ala telah menyifati hamba-hamba-Nya yang sholeh,

َ ‫ُم َح ِلِّقِينَ ُر ُءو‬


ِّ ِ َ‫س ُك ْم َو ُمق‬
َ‫ص ِرين‬

“Dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya” (QS. Al Fath: 27). Mencukur (halq)
adalah menggunakan silet (muws), sedangkan menggunakan alat cukur selain itu berarti hanya
memendekkan (taqshir). Mencukur rambut di sini boleh diakhirkan hingga akhir hari nahr (10
Dzulhijjah). Namun jangan diundur setelah itu karena sebagian ulama katakan seperti itu akan
terkena dam (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 134-135).

Rambut dinamakan dicukur atau dipendekkan jika diambil dari semua rambut, bukan hanya
mengambil tiga rambut atau sekitar itu. Yang terakhir ini bukan dinamakan halq (mencukur) atau
qoshr (memendekkan) (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).

Sedangkan wanita cukup memotong satu ruas jari dari ujung rambutnya yang telah dikumpulkan
(Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
Wajib ketujuh: Thowaf Wada’

Thowaf wada’ artinya thowaf ketika meninggalkan Ka’bah. Thowaf wada’ tidak ada roml di
dalamnya (Fiqih Sunnah, 1: 518-519). Hukum thowaf ini adalah wajib karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini. Bagi yang meninggalkan thowaf wada’, maka ia
dikenai dam. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

ّ ‫آخ ُر َع ْه ّد ّه ّب ْالبَ ْي‬


‫ت‬ ّ َ‫الَ يَ ْن ّف َر هن أ َ َحد ٌ َحتهى يَ ُكون‬

“Janganlah seseorang pergi (meninggalkan Makkah), sampai akhir dari ibadah hajinya adalah
thowaf di Ka’bah” (HR. Muslim no. 1327).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata,

ّ ‫ف َع ّن ْال َم ْرأَ ّة ْال َحا ّئ‬


‫ض‬ ّ ‫آخ ُر َع ْه ّد ّه ْم بّ ْال َب ْي‬
َ ‫ت ّإاله أَنههُ ُخ ّ ِّف‬ ُ ‫أ ُ ّم َر النه‬
ّ َ‫اس أ َ ْن َي ُكون‬

“Orang-orang diperintah agar akhir urusan ibadah hajinya adalah dengan thowaf di Ka’bah
kecuali ada keringanan bagi wanita haidh.”(HR. Muslim no. 1328).

Sebagian ulama –seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah, mufti Saudi
Arabia sebelumnya- berkata bahwa thowaf ifadoh itu sudah bisa mencukupi thowaf wada’ .
Namun jika melakukan thowaf ifadhoh sendiri, lalu thowaf wada’, maka itu adalah kebaikan
demi kebaikan. Tetapi, jika dicukupkan dengan salah satunya, maka itu pun sudah cukup
(Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah, jilid ke-17). Namun yang lebih hati-hati dalam hal
ini adalah tetap mengerjakan thowaf ifadhoh sendiri dan thowaf wada’ sendiri. Karena thowaf
wada’ itu berada di akhir setelah semua manasik selesai, sedangkan setelah thowaf ifadhoh mesti
melakukan sa’i bagi yang belum menunaikan sa’i haji. Pendapat terakhir ini yang kami rasa lebih
hati-hati (Mawqi’ Islam Web, fatwa no. 58685).

Thowaf wada’ ini dilakukan oleh selain penduduk Makkah. Adapun penduduk Makkah dan
wanita haidh tidak disyari’atkan melakukan thowaf wada’ dan tidak ada kewajiban apa-apa
(Fiqih Sunnah, 1: 519).

Fikih Haji (5): Larangan Ketika Ihram


Larangan ihram yang seandainya dilakukan oleh orang yang berhaji atau berumroh, maka wajib baginya
menunaikan fidyah, puasa, atau memberi makan. Yang dilarang bagi orang yang berihram adalah
sebagai berikut:
1. Mencukur rambut dari seluruh badan (seperti rambut kepala, bulu ketiak, bulu kemaluan, kumis
dan jenggot).
2. Menggunting kuku.
3. Menutup kepala dan menutup wajah bagi perempuan kecuali jika lewat laki-laki yang bukan
mahrom di hadapannya.
4. Mengenakan pakaian berjahit yang menampakkan bentuk lekuk tubuh bagi laki-laki seperti baju,
celana dan sepatu.
5. Menggunakan harum-haruman.
6. Memburu hewan darat yang halal dimakan. Yang tidak termasuk dalam larangan adalah: (1)
hewan ternak (seperti kambing, sapi, unta, dan ayam), (2) hasil tangkapan di air, (3) hewan yang
haram dimakan (seperti hewan buas, hewan yang bertaring dan burung yang bercakar), (4)
hewan yang diperintahkan untuk dibunuh (seperti kalajengking, tikus dan anjing), (5) hewan
yang mengamuk (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 210-211)
7. Melakukan khitbah dan akad nikah.
8. Jima’ (hubungan intim). Jika dilakukan sebelum tahallul awwal (sebelum melempar jumroh
Aqobah), maka ibadah hajinya batal. Hanya saja ibadah tersebut wajib disempurnakan dan
pelakunya wajib menyembelih seekor unta untuk dibagikan kepada orang miskin di tanah suci.
Apabila tidak mampu, maka ia wajib berpuasa selama sepuluh hari, tiga hari pada masa haji dan
tujuh hari ketika telah kembali ke negerinya. Jika dilakukan setelah tahallul awwal, maka ibadah
hajinya tidak batal. Hanya saja ia wajib keluar ke tanah halal dan berihram kembali lalu
melakukan thowaf ifadhoh lagi karena ia telah membatalkan ihramnya dan wajib
memperbaharuinya. Dan ia wajib menyembelih seekor kambing.
9. Mencumbu istri di selain kemaluan. Jika keluar mani, maka wajib menyembelih seekor unta. Jika
tidak keluar mani, maka wajib menyembelih seekor kambing. Hajinya tidaklah batal dalam dua
keadaan tersebut (Taisirul Fiqh, 358-359).

Tiga keadaan seseorang melakukan larangan ihram

1. Dalam keadaan lupa, tidak tahu, atau dipaksa, maka tidak ada dosa dan tidak ada fidyah.
2. Jika melakukannya dengan sengaja, namun karena ada uzur dan kebutuhan mendesak, maka ia
dikenakan fidyah. Seperti terpaksa ingin mencukur rambut (baik rambut kepala atau ketiaknya),
atau ingin mengenakan pakaian berjahit karena mungkin ada penyakit dan faktor pendorong
lainnya.
3. Jika melakukannya dengan sengaja dan tanpa adanya uzur atau tidak ada kebutuhan mendesak,
maka ia dikenakan fidyah ditambah dan terkena dosa sehingga wajib bertaubat dengan taubat
yang nashuhah (tulus).

Pembagian larangan ihram berdasarkan hukum fidyah yang dikenakan

1. Yang tidak ada fidyah, yaitu akad nikah.


2. Fidyah dengan seekor unta, yaitu jima’ (hubungan intim) sebelum tahallul awwal, ditambah
ibadah hajinya tidak sah.
3. Fidyah jaza’ atau yang semisalnya, yaitu ketika berburu hewan darat. Caranya adalah ia
menyembelih hewan yang semisal, lalu ia memberi makan kepada orang miskin di tanah haram.
Atau bisa pula ia membeli makanan (dengan harga semisal hewan tadi), lalu ia memberi makan
setiap orang miskin dengan satu mud, atau ia berpuasa selama beberapa hari sesuai dengan
jumlah mud makanan yang harus ia beli.
4. Selain tiga larangan di atas, maka fidyahnya adalah memilih: [1] berpuasa tiga hari, [2] memberi
makan kepada 6 orang miskin, setiap orang miskin diberi 1 mud dari burr (gandum) atau beras,
[3] menyembelih seekor kambing. (Al Hajj Al Muyassar, 68-71)

Catatan:

1. Jika wanita yang berniat tamattu’ mengalami haidh sebelum thowaf dan takut luput dari amalan
haji, maka ia berihram dan meniatkannya menjadi qiron. Wanita haidh dan nifas melakukan
seluruh manasik selain thowaf di Ka’bah.
2. Wanita adalah seperti laki-laki dalam hal larangan-larangan saat ihram kecuali dalam beberapa
keadaan: (1) mengenakan pakaian berjahit, wanita tetap boleh mengenakannya selama tidak
bertabarruj (memamerkan kecantikan dirinya), (2) menutup kepala, (3) tidak menutup wajah
kecuali jika terdapat laki-laki non mahram.
3. Orang yang berihram maupun tidak berihram diharamkan memotong pepohonan dan
rerumputan yang ada di tanah haram. Hal ini serupa dengan memburu hewan, jika dilakukan,
maka ada fidyah. Begitu pula dilarang membunuh hewan buruan dan menebang pepohonan di
Madinah, namun tidak ada fidyah jika melanggar hal itu.

Kaedah dalam masalah menggunakan harum-haruman ketika ihram

1. Boleh menghirup bau tanaman yang memiliki aroma yang harum. Hal ini disepakati oleh para
ulama.
2. Boleh menghirup bau sesuatu yang memiliki aroma harum dan mengkonsumsinya seperti buah-
buahan yang dimakan atau digunakan sebagai obat. Hal ini juga disepakati oleh para ulama.
3. Jika sesuatu yang tujuan asalnya digunakan untuk parfum (harum-haruman) dan memang
digunakan untuk maksud tersebut seperti minyak misik, kapur barus, minyak ambar, dan
za’faron, maka ada fidyah jika digunakan ketika berihram.
4. Jika sesuatu yang tujuan asalnya digunakan untuk parfum, namun digunakan untuk maksud lain,
maka hal ini pun terkena fidyah (An Nawazil fil Hajj, 198).

Hal-hal yang dibolehkan ketika ihram

1. Mandi dengan air dan sabun yang tidak berbau harum.


2. Mencuci pakaian ihram dan mengganti dengan lainnya.
3. Mengikat izar (pakaian bawah atau sarung ihram).
4. Berbekam.
5. Menutupi badan dengan pakaian berjahit asal tidak dipakai.
6. Menyembelih hewan ternak (bukan hewan buruan).
7. Bersiwak atau menggosok gigi walau ada bau harum dalam pasta giginya selama bukan maksud
digunakan untuk parfum.
8. Memakai kacamata.
9. Berdagang.
10. Menyisir rambut.
Tahallul

Tahallul artinya keluar dari keadaan ihram. Tahallul ada dua macam: (1) tahallul awwal (tahallul
shugro), dan (2) tahalluts tsani (tahallul kubro).

Tahallul awwal ketika telah melakukan: (1) lempar jumroh pada hari Nahr (10 Dzulhijjah), (2)
mencukur atau memendekkan rambut. Jika telah tahallul awwal, maka sudah boleh melakukan
seluruh larangan ihram (seperti memakai minyak wangi), memakai pakaian berjahit dan yang
masih tidak dibolehkan adalah yang berkaitan dengan istri.

Tahalluts tsani ditambah dengan melakukan thowaf ifadhoh (yang termasuk thowaf rukun).
Ketika telah tahalluts tsani, maka telah halal segala sesuatu termasuk jima’ (hubungan intim)
dengan istri (Fiqhus Sunah, 1: 500).

Fikih Haji (6): Tentang Miqot

Jenis Miqot

1. Miqot zamaniyah yaitu bulan-bulan haji, mulai dari bulan Syawwal, Dzulqo’dah, dan Dzulhijjah.
2. Miqot makaniyah yaitu tempat mulai berihram bagi yang punya niatan haji atau umroh. Ada
lima tempat: (1) Dzulhulaifah (Bir ‘Ali), miqot penduduk Madinah (2) Al Juhfah, miqot penduduk
Syam, (3) Qornul Manazil (As Sailul Kabiir), miqot penduduk Najed, (4) Yalamlam (As Sa’diyah),
miqot penduduk Yaman, (5) Dzat ‘Irqin (Adh Dhoribah), miqot pendudk Irak. Itulah miqot bagi
penduduk daerah tersebut dan yang melewati miqot itu.
Catatan:

1. Penduduk Makkah yang ingin berihram haji atau umrah, maka hendaklah ia ke tanah halal, yaitu
di luar tanah haram dari arah mana saja.
2. Tidak boleh bagi seseorang yang berhaji atau berumroh melewati miqot tanpa ihram. Jika
melewatinya tanpa ihram, maka wajib kembali ke miqot untuk berihram. Jika tidak kembali,
maka wajib baginya menunaikan dam (fidyah), namun haji dan umrahnya sah. Jika ia berihram
sebelum miqot, maka haji dan umrahnya sah, namun dinilai makruh.
Miqot dari Jeddah

Sebagian jama’ah haji dari negeri kita, meyakini bahwa Jeddah adalah tempat awal ihram.
Mereka belumlah berniat ihram ketika di pesawat saat melewati miqot. Padahal Jeddah sudah
ada sejak masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau tidak menetapkannya sebagai
miqot. Inilah pendapat mayoritas ulama yang menganggap Jeddah bukanlah miqot. Ditambah
lagi jika dari Indonesia yang berada di timur Saudi Arabia, berarti akan melewati miqot terlebih
dahulu sebelum masuk Jeddah, bisa jadi mereka melewati Qornul Manazil, Dzat ‘Irqin atau
Yalamlam. Dalil penguat bahwa yang melewati daerah miqot, maka harus berihram dari tempat
tersebut dan tidak boleh melampauinya adalah hadits,

َ‫ َحتَّى أ َ ْه ُل َم َّكةَ ِم ْن َم َّكة‬، َ ‫شأ‬ ُ ‫ َو َم ْن َكانَ د ُونَ ذَلِكَ فَ ِم ْن َحي‬، َ‫ ِم َّم ْن أ َ َرادَ ْال َح َّج َو ْالعُ ْم َرة‬، ‫ه َُّن لَ ُه َّن َو ِل َم ْن أَت َى َعلَ ْي ِه َّن ِم ْن َغي ِْره َِّن‬
َ ‫ْث أَ ْن‬

“Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi
mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut jika hendak melakukan ibadah haji dan
umroh. Sedangkan mereka yang berada di dalam batasan miqot, maka dia memulai dari
kediamannya, dan bagi penduduk Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah.” (HR. Bukhari
no. 1524 dan Muslim no. 1181) (Lihat An Nawazil fil Hajj, 116-138 dan bahasan dorar.net).

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/10200-fikih-haji-6-tentang-miqot.html

Fikih Haji (7): Amalan-Amalan Haji


Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. 15 September

AMALAN-AMALAN HAJI

Setelah berihram, lalu melakukan thawaf qudum bagi yang berhaji ifrod dan qiron. Sedangkan
bagi yang berhaji tamattu’, setelah berihram, ia melakukan thawaf umrah dan sa’i umrah,
kemudian tahallul dan boleh melakukan larangan-larangan ihram. Sampai datang tanggal 8
Dzulhijjah (hari tarwiyah) barulah melakukan amalan-amalan berikut.

Tanggal 8 Dzulhijjah (Hari Tarwiyah)

1. Pada waktu Dhuha, jamaah haji berihram dari tempat tinggalnya dengan niat akan
melaksanakan ibadah haji, ini bagi yang berniat haji tamattu’. Sedangkan bagi yang
berniat haji ifrad dan qiron, ia tetap berihram dari awal.
2. Setelah berihram, wajib menjauhi segala larangan ihram.
3. Memperbanyak talbiyah.
4. Bertolak menuju Mina sambil bertalbiyah.
5. Melaksanakan shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isya’ dan Shubuh di Mina. Shalat-shalat
tersebut dikerjakan di waktunya masing-masing (tanpa dijamak) dan shalat empat raka’at
(Zhuhur, Ashar dan Maghrib) diqoshor.
6. Mabit (bermalam) di Mina dan hukumnya sunnah.
7. Memperbanyak dzikir kala itu seperti dzikir pagi dan petang, juga dzikir lainnya.

Tanggal 9 Dzulhijjah (Hari Arafah)

1. Sesudah shalat Shubuh di Mina dan setelah matahari terbit, bertolak menuju Arafah
sambil bertalbiyah dan bertakbir.
2. Pada hari Arafah, yang disunnahkan bagi jama’ah haji adalah tidak berpuasa
sebagaimana contoh dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Jika memungkinkan, sebelum wukuf di Arafah, turun sebentar di masjid Namirah hingga
masuk waktu Zhuhur.
4. Jika memungkinkan, mendengarkan khutbah di masjid Namirah, lalu mengerjakan shalat
Zhuhur dan Ashar dengan jamak taqdim dan diqashar dengan satu adzan dan dua iqamah.
5. Setelah shalat Zhuhur, memasuki padang Arafah untuk melaksanakan wukuf.
6. Ketika wukuf, berupaya semaksimal mungkin untuk berkonsentrasi dalam do’a, dzikir
dan merendahkan diri kepada Allah.
7. Menghadap ke arah kiblat ketika berdo’a sambil mengangkat kedua tangan dengan penuh
kekhusyu’an.
8. Saat wukuf, memperbanyak bacaan “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul
mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli sya-in qodiir” dan bacaan shalawat.
9. Tidak keluar meninggalkan Arafah kecuali setelah matahari tenggelam.
10. Setelah matahari terbenam, bertolak menuju Muzdalifah dengan penuh ketenangan.
11. Sampai di Muzdalifah, lakukan terlebih dahulu shalat Maghrib dan Isya’ dengan dijamak
dan diqashar (shalat Maghrib 3 rakaat, sedangkan shalat Isya’ 2 raka’at) dengan satu
adzan dan dua iqamah.
12. Mabit di Muzdalifah dilakukan hingga terbit fajar. Adapun bagi kaum lemah dan para
wanita dibolehkan untuk berangkat ke Mina setelah pertengahan malam.

Tanggal 10 Dzulhijjah (Hari Nahr atau Idul Adha)

1. Para jamaah haji harus shalat Shubuh di Muzdalifah, kecuali kaum lemah dan para wanita
yang telah bertolak dari Muzdalifah setelah pertengahan malam.
2. Setelah shalat Shubuh, menghadap ke arah kiblat, memuji Allah, bertakbir, bertahlil,
serta berdo’a kepada Allah hingga langit kelihatan terang benderang.
3. Berangkat menuju Mina sebelum matahari terbit dengan penuh ketenangan sambil
bertalbiyah/ bertakbir.
4. Ketika tiba di lembah Muhasir, langkah dipercepat bila memungkinkan.
5. Menyiapkan batu untuk melempar jumroh yang diambil dari Muzdalifah atau dari Mina.
6. Melempar jumroh ‘aqobah dengan tujuh batu kecil sambil membaca “Allahu Akbar”
pada setiap lemparan.
7. Setelah melempar jumroh ‘Aqobah berhenti bertalbiyah.
8. Bagi yang berhaji tamattu’ dan qiran, menyembelih hadyu setelah itu. Yang tidak mampu
menyembelih hadyu, maka diwajibkan berpuasa selama 10 hari: 3 hari pada masa haji
dan 7 hari setelah kembali ke kampung halaman. Puasa pada tiga hari saat masa haji
boleh dilakukan pada hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).
9. Mencukur rambut atau memendekkannya. Namun mencukur (gundul) itu lebih utama.
Bagi wanita, cukup menggunting rambutnya sepanjang satu ruas jari.
10. Jika telah melempar jumroh dan mencukur rambut, maka berarti telah tahallul awwal.
Ketika itu, halal segala larangan ihram kecuali yang berkaitan dengan wanita. Setelah
tahallul awwal boleh memakai pakaian bebas.
11. Menuju Makkah dan melaksanakan thawaf ifadhoh.
12. Melaksanakan sa’i haji antara Shafa dan Marwah bagi haji tamattu’ dan bagi haji qiron
dan ifrod yang belum melaksanakan sa’i haji. Namun jika sa’i haji telah dilaksanakan
setelah thawaf qudum, maka tidak perlu lagi melakukan sa’i setelah thawaf ifadhoh.
13. Dengan selesai thawaf ifadhoh berarti telah bertahallul secara sempurna (tahalluts tsani)
dan dibolehkan melaksanakan segala larangan ihram termasuk jima’ (hubungan intim
dengan istri).

Tanggal 11 Dzulhijjah (Hari Tasyrik)

1. Mabit di Mina pada sebagian besar malam.


2. Menjaga shalat lima waktu dengan diqashar (bagi shalat yang empat raka’at) dan
dikerjakan di waktunya masing-masing (tanpa dijamak).
3. Memperbanyak takbir pada setiap kondisi dan waktu.
4. Melempar jumroh yang tiga setelah matahari tergelincir, mulai dari jumroh ula (shugro),
jumroh wustho, dan jumroh kubro (aqobah).
5. Melempar setiap jumroh dengan tujuh batu kecil sambil membaca “Allahu Akbar” pada
setiap lemparan.
6. Termasuk yang disunnahkan ketika melempar adalah menjadikan posisi Makkah berada
di sebelah kiri dan Mina di sebelah kanan.
7. Setelah melempar jumroh ula dan wustho disunnahkan untuk berdoa dengan menghadap
ke arah kiblat. Namun, setelah melempar jumroh aqobah tidak disunnahkan untuk
berdo’a.
8. Mabit di Mina.

Tanggal 12 Dzulhijjah (Hari Tasyrik)

1. Melakukan amalan seperti hari ke-11.


2. Jika selesai melempar ketiga jumroh lalu ingin pulang ke negerinya, maka dibolehkan,
namun harus keluar Mina sebelum matahari tenggelam. Kemudian setelah itu melakukan
thawaf wada’. Keluar dari Mina pada tanggal 12 Dzulhijjah disebut nafar awwal.
3. Bagi yang ingin menetap sampai tanggal 13 Dzulhijjah, berarti di malamnya ia
melakukan mabit seperti hari sebelumnya.

Tanggal 13 Dzulhijjah (Hari Tasyrik)

1. Melakukan amalan seperti hari ke-11 dan ke-12.


2. Setelah melempar jumroh sesudah matahari tergelincir, kemudian bertolak meninggalkan
Mina. Ini dinamakan nafar tsani.
3. Jika hendak kembali ke negeri asal, maka lakukanlah thawaf wada’ untuk meninggalkan
Baitullah. Bagi wanita haidh dan nifas, mereka diberi keringanan tidak melakukan thawaf
wada’. Thawaf wada’ adalah manasik terakhir setelah manasik lainnya selesai. (Sebagian
besar diambil dari Meneladani Manasik Haji dan Umrah, 131-144)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/10207-fikih-haji-7-amalan-amalan-haji.html

Fikih Haji (8): Kesalahan-Kesalahan Seputar


Haji
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. 17 September 2012

KESALAHAN-KESALAHAN SEPUTAR HAJI

Kesalahan ketika ihram

1. Melewati miqot tanpa berihram seperti yang dilakukan oleh sebagian jamaah haji
Indonesia dan baru berihram ketika di Jeddah.
2. Keyakinan bahwa disebut ihram jika telah mengenakan kain ihram. Padahal sebenarnya
ihram adalah berniat dalam hati untuk masuk melakukan manasik.
3. Wanita yang dalam keadaan haidh atau nifas meninggalkan ihram karena menganggap
ihram itu harus suci terlebih dahulu. Padahal itu keliru. Yang tepat, wanita haidh atau
nifas boleh berihram dan melakukan manasik haji lainnya selain thawaf. Setelah ia suci
barulah ia berthawaf tanpa harus keluar menuju Tan’im atau miqot untuk memulai ihram
karena tadi sejak awal ia sudah berihram.

Kesalahan dalam thawaf

1. Membaca doa khusus yang berbeda pada setiap putaran thawaf dan membacanya secara
berjamaah dengan dipimpin oleh seorang pemandu. Ini jelas amalan yang tidak pernah
diajarkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Melakukan thawaf di dalam Hijr Isma’il. Padahal thawaf harus dilakukan di luar Ka’bah,
sedangkan Hijr Isma’il itu berada dalam Ka’bah.
3. Melakukan roml pada semua putaran. Padahal roml hanya ada pada tiga putaran pertama
dan hanya ada pada thawaf qudum dan thawaf umrah.
4. Menyakiti orang lain dengan saling mendorong dan desak-desakan ketika mencium hajar
Aswad. Padahal menyium hajar Aswad itu sunnah (bukan wajib) dan bukan termasuk
syarat thawaf.
5. Mencium setiap pojok atau rukun Ka’bah. Padahal yang diperintahkan untuk dicium atau
disentuh hanyalah hajar Aswad dan rukun Yamani.
6. Berdesak-desakkan untuk shalat di belakang makam Ibrahim setelah thawaf. Padahal jika
berdesak-desakkan boleh saja melaksanakan shalat di tempat mana saja di Masjidil
Haram.
7. Sebagian wanita berdesak-desakkan dengan laki-laki agar bisa mencium hajar Aswad.
Padahal ini adalah suatu kerusakan dan dapat menimbulkan fitnah.

Kesalahan ketika sa’i

1. Sebagian orang ada yang meyakini bahwa sa’i tidaklah sempurna sampai naik ke puncak
bukit Shafa atau Marwah. Padahal cukup naik ke bukitnya saja, sudah dibolehkan.
2. Ada yang melakukan sa’i sebanyak 14 kali putaran. Padahal jalan dari Shafa ke Marwah
disebut satu putaran dan jalan dari Marwah ke Shafa adalah putaran kedua. Dan sa’i akan
berakhir di Marwah.
3. Ketika naik ke bukit Shafa dan Marwah sambil bertakbir seperti ketika shalat. Padahal
yang disunnahkan adalah berdoa dengan memuji Allah dan bertakbir sambil menghadap
kiblat.
4. Shalat dua raka’at setelah sa’i. Padahal seperti ini tidak diajarkan dalam Islam.
5. Tetap melanjutkan sa’i ketika shalat ditegakkan. Padahal seharusnya yang dilakukan
adalah melaksanakan shalat jama’ah terlebih dahulu.

Kesalahan di Arafah

1. Sebagian jamaah haji tidak memperhatikan batasan daerah Arafah sehingga ia pun wukuf
di luar Arafah.
2. Sebagian jamaah keluar dari Arafah sebelum matahari tenggelam. Yang wajib bagi yang
wukuf sejak siang hari, ia diam di daerah Arafah sampai matahari tenggelam, ini wajib.
Jika keluar sebelum matahari tenggelam, maka ada kewajiban menunaikan dam karena
tidak melakukan yang wajib.
3. Berdesak-desakkan menaiki bukit di Arafah yang disebut Jabal Rahmah dan
menganggap wukuf di sana lebih afdhol. Padahal tidaklah demikian. Apalagi
mengkhususkan shalat di bukit tersebut, juga tidak ada dalam ajaran Islam.
4. Menghadap Jabal Rahmah ketika berdo’a. Padahal yang sesuai sunnah adalah
menghadap kiblat.
5. Berusaha mengumpulkan batu atau pasir di Arafah di tempat-tempat tertentu. Seperti ini
adalah amalan bid’ah yang tidak pernah diajarkan.
6. Berdesak-desakkan dan sambil mendorong ketika keluar dari Arafah.

Kesalahan di Muzdalifah
1. Mengumpulkan batu untuk melempar jumroh ketika sampai di Muzdalifah sebelum
melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’. Dan diyakini hal ini adalah suatu
anjuran. Padahal mengumpulkan batu boleh ketika perjalanan dari Muzdalifah ke Mina,
bahkan boleh mengumpulkan di tempat mana saja di tanah Haram.
2. Sebagian jama’ah haji keluar dari Muzdalifah sebelum pertengahan malam. Seperti ini
tidak disebut mabit. Padahal yang diberi keringanan keluar dari Muzdalifah adalah orang-
orang yang lemah dan itu hanya dibolehkan keluar setelah pertengahan malam. Siapa
yang keluar dari Muzdalifah sebelum pertengahan malam tanpa adanya uzur, maka ia
telah meninggalkan yang wajib.

Kesalahan ketika melempar jumroh

1. Saling berdesak-desakkan ketika melempar jumroh. Padahal untuk saat ini lempar jumroh
akan semakin mudah karena kita dapat memilih melempar dari lantai dua atau tiga
sehingga tidak perlu berdesak-desakkan.
2. Melempar jumroh sekaligus dengan tujuh batu. Yang benar adalah melempar jumroh
sebanyak tujuh kali, setiap kali lemparan membaca takbir “Allahu akbar”.
3. Di pertengahan melempar jumroh, sebagian jama’ah meyakini bahwa ia melempar setan.
Karena meyakini demikian sampai-sampai ada yang melempar jumroh dengan batu besar
bahkan dengan sendal. Padahal maksud melempar jumroh adalah untuk menegakkan
dzikir pada Allah, sama halnya dengan thawaf dan sa’i.
4. Mewakilkan melempar jumroh pada yang lain karena khawatir dan merasa berat jika
mesti berdesak-desakkan. Yang benar, tidak boleh mewakilkan melempar jumroh kecuali
jika dalam keadaan tidak mampu seperti sakit.
5. Sebagian jama’ah haji dan biasa ditemukan adalah jama’ah haji Indonesia, ada yang
melempar jumrah di tengah malam pada hari-hari tasyrik bahkan dijamak untuk dua hari
sekaligus (hari ke-11 dan hari ke-12).
6. Pada hari tasyrik, memulai melempar jumroh aqobah, lalu wustho, kemudian ula. Padahal
seharusnya dimulai dari ula, wustho lalu aqobah.
7. Lemparan jumroh tidak mengarah ke jumroh dan tidak jatuh ke kolam. Seperti ini mesti
diulang.

Kesalahan di Mina

1. Melakukan thawaf wada’ dahulu lalu melempar jumrah, kemudian meninggalkan


Makkah. Padahal seharusnya thawaf wada menjadi amalan terkahir manasik haji.
2. Menyangka bahwa yang dimaksud barangsiapa yang terburu-buru maka hanya dua hari
yang ia ambil untuk melempar jumrah yaitu hari ke-10 dan ke-11. Padahal itu
keliru. Yang benar, yang dimaksud dua hari adalah hari ke-11 dan ke-12. Jadi yang
terburu-buru untuk pulang pada hari ke-12 lalu ia ia melempar tiga jumrah setelah
matahari tergelincir dan sebelum matahari tenggelam, maka tidak ada dosa untuknya.

Kesalahan ketika Thawaf Wada’


1. Setelah melakukan thawaf wada’, ada yang masih berlama-lama di Makkah bahkan satu
atau dua hari. Padahal thawaf wada’ adalah akhir amalan dan tidak terlalu lama dari
meninggalkan Makkah kecuali jika ada uzur seperti diharuskan menunggu teman.
2. Berjalan mundur dari Ka’bah ketika selesai melaksanakan thawaf wada’ dan diyakini hal
ini dianjurkan. Padahal amalan ini termasuk bid’ah.

Demikian beberapa penjelasan haji yang bisa kami ulas dalam tulisan yang sederhana ini.

Wallahu Ta’ala a’lam. Walhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Selesai disusun di Ummul Hamam, Riyadh KSA

5 Dzulhijjah 1432 H (1 hari sebelum safar ke Mina)

Referensi Kitab

1. Al Hajj Al Muyassar, Sholeh bin Muhammad bin Ibrahim As Sulthon, terbitan Maktabah
Al Malik Fahd Al Wathoniyah, cetakan keempat, 1430 H.
2. Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, sumber dari Mawqi’ Ya’sub (nomor halaman
sesuai cetakan).
3. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, terbitan Kementrian Agama dan Urusan Islam Kuwait.
4. Al Minhaj li Muriidil Hajj wal ‘Umroh, Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan
Muassasah Al Amiyah Al ‘Anud.
5. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar
Ihya’ At Turots Al ‘Arobi-Beirut, cetakan kedua, 1392 H.
6. Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, terbitan Darul Fikr-Beirut, cetakan pertama, 1405
H.
7. An Nawazil fil Hajj, ‘Ali bin Nashir Asy Syal’an, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama,
1431 H.
8. Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, Majalah Al Bayan, terbitan 1429 H.
9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan ketiga, 1430 H.
10. Mursyid Al Mu’tamir wal Haaj waz Zaair fii Dhouil Kitab was Sunnah, Sa’id bin ‘Ali bin
Wahf Al Qohthoni, terbitan Maktabah Al Malik Fahd Al Wathoniyah, cetakan ketiga,
1418 H.
11. Tafsir Al Jalalain, Jalaluddin Al Mahalli dan Jalaluddin As Suyuthi, terbitan Darus
Salam, cetakan kedua, 1422 H.
12. Taisirul Fiqh, Prof. Dr. Sholeh bin Ghonim As Sadlan, terbitan Dar Blansia, cetakan
pertama, 1424 H.
13. Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Saalim, terbitan Maktabah At
Taufiqiyah.
14. Shifatul Hajj wal ‘Umrah, terbitan bagi pengurusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi,
cetakan keduabelas, 1432 H.
15. Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan
Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, 1424 H.
Referensi Buku Indonesia

1. Meneladani Manasik Haji dan Umrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,


Mubarak bin Mahfudh Bamuallim, Lc, terbitan Pustaka Imam Asy Syafi’i, cetakan
ketiga, 1429 H.

Referensi Mawqi’

1. Mawqi’ Islam Web:

http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=58685

2. Mawqi’ resmi Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz :


http://www.binbaz.org.sa/mat/3737
3. Mawqi’ Dorar.net:

http://www.dorar.net/art/379

Anda mungkin juga menyukai