Anda di halaman 1dari 12

CRITICAL BOOK REPORT

“KITAB FIQH SUNNAH; PUASA RAMADHAN, KARYA SYAIKH SAYYID


SYABIQ JILID III”

Di susun guna memenuhi tugas individu mata kuliah Fiqh Perbandingan Mazhab
Semester VI (Enam)

Dosen Pengampu: Dr. Hasan Matsum, M.Ag.

DI SUSUN

Armi Riski Gultom

NIM: 0301162146

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 6

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA, MEDAN

2018
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الر حمن الر حيم‬

Alhamdulillah… Segala puji bagi Allah Jalla wa ‘Ala yang telah


memberikan kita banyak kenikmatan yang jika kita hitung maka tak akan pernah
kita dapat hitung nikmat tersebut. Diantara nikmat tersebut adalah nikmat hidayah
yang insya Allah kita dapati pada hari ini, karena barang siapa yang Allah berikan
petunjuk maka ia tak akan pernah tersesat selama-lamanya, dan barangsiapa yang
Allah sesatkan, maka ia tak akan mendapat petunnjuk selama-lamanya.

Disamping itu, pada hari ini juga saya sebagai penyusun CBR ini masih
diberikan kesempatan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk menyelesaikan tugas
penyusunan CBR ini. Dan dengan CBR inipun nantinya Allah berikan saya
nikmat dapat memberikan kesesuain dan kemudahan dalam memahami isi dari
CBR yang terdapat di karya ilmiah ini.

Pada CBR ini juga, saya mencoba memberikan pemahaman yang


mendalam mengenai PUASA RAMADHAN, maka dengan demikian saya sebagai
penyusun mengharapkan perbaikan berupa kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca. Sekian dan terimakasih.

Medan, 06 Mei 2019

Armi Riski Gultom

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i

DAFTAR ISI ..............................................................................................................ii

PUASA RAMADHAN

A. Hukumnya ...........................................................................................................1
B. Keutamaan Bulan Ramadhan Dan Keistimewaan Beramal Padanya .................2
C. Ancaman Bagi Yang Tidak Puasa Di Bulan Ramadhan .....................................3
D. Menetapkan Bulan ..............................................................................................3
E. Perbedaan Tempat Terbit Bulan .........................................................................4
F. Rukun Puasa........................................................................................................5
G. Atas Siapa Diwajibkan ........................................................................................6
H. Orang Yang Diberi Keringanan Berbuka Dan Wajib Membayar Fidyah ...........6
I. Orang Yang Diberi Keringanan Berbuka Dan Wajib Mengqadha .....................7
J. Manakah Yang Lebih Utama, Berpuasa Atau Berbuka ......................................8

ii
PUASA RAMADHAN

A. HUKUMNYA

Dalam pembahasan ini, Imam Sayid Syabiq menjelaskan bahwa hukum


puasa ramadhan itu hukumnya wajib, berdasarkan Kitab, Sunnah dan Ijma’,
sehingga tidak ada perbedaan pandangan antar mazhab.

Mengenai Kitab, maka firman Allah Ta’ala:

َ‫ب َعلَى الَّذِينَ ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُك ِت‬
ِّ ِ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم‬
َ ‫الصيَا ُم َك َما ُك ِت‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”
(QS. Al-Baqarah : 183)

Dan FirmanNya pula:

َّ ‫ش ِهدَ ِم ْن ُك ُم ال‬
‫ش ْه َر‬ ِ َ‫اس َو َب ِِّينَات ِمنَ ْال ُهدَى َو ْالفُ ْرق‬
َ ‫ان فَ َم ْن‬ ِ ‫ضانَ الَّذِي أ ُ ْن ِز َل فِي ِه ْالقُ ْرآنُ ُهدًى ِلل َّن‬
َ ‫ش ْه ُر َر َم‬َ
َّ ُ ‫سفَر فَ ِعدَّة ِم ْن أَيَّام أُخ ََر ي ُِريد‬
‫َللاُ بِ ُك ُم ْاليُس َْر َوال ي ُِريد ُ بِ ُك ُم ْالعُس َْر َو ِلت ُ ْك ِملُوا‬ َ ‫ص ْمهُ َو َم ْن َكانَ َم ِريضًا أ َ ْو َعلَى‬ ُ َ‫فَ ْلي‬
َّ ‫ْال ِعدَّة َ َو ِلت ُ َكبِ ُِّروا‬
َ‫َللاَ َعلَى َما َهدَا ُك ْم َولَعَلَّ ُك ْم ت َ ْش ُك ُرون‬

Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang
siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Mengenai Sunnah, maka sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

ِ‫الزكَاةِ َو ْال َح ِّج‬


َّ ‫ص ََلةِ َوإِيت َِاء‬
َّ ‫َللاِ َوإِقَ ِام ال‬ ُ ‫َللاُ َوأ َ َّن ُم َح َّمدًا َر‬
َّ ‫سو ُل‬ َّ ‫ش َهادَةِ أ َ ْن َال إِلَهَ إِ َّال‬ ِْ ‫ي‬
َ ‫اْلس ََْل ُم َعلَى خ َْمس‬ َ ِ‫بُن‬
َ‫ضان‬َ ‫ص ْو ِم َر َم‬ َ ‫َو‬

1
“Didirikan Islam atas lima dasar, yaitu: mengaku bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak disembah melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah,
mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan ramadhan dan naik
haji.”

Dan pada hadis Thalhah bin ‘Ubaidillah tersebut bahwa seorang laki-laki
bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku puasa yang diwajibkan Allah atas diriku!”
Nabi menjawab, “Puasa Ramadhan” Bertanya kembali laki-laki tersebut,
“Apakah ada lagi yang wajib atasku?” Rasulullah menjawab, “Tidak, kecuali
anda berpuasa sunnah.”

Dan umat Islam telah ijma’ atau sekata atas wajibnya puasa Ramadhan,
dan bahwa Ia merupakan salah-satu diantara rukun Islam. Hal itu dapat diketahui
dari ajaran agama secara daruri denga tak usah dipikirkan lagi, hingga orang yang
mengingingkarinya berarti kafir dan murtat dari Islam.

B. KEUTAMAAN BULAN RAMADHAN DAN KEISTIMEWAAN BERAMAL


PADANYA

Sedangkan pada pembahasan ini, Penulis buku Fiqh Sunnah ini setidaknya
menuliskan ada 5 keutamaan bulan ramadhan, dan beliau tidak mengupas
mengenai perbedaan pendapat diantara mazhab mengenai hal tersebut.

1. Bulan yang penuh berkah.1

2. Pada bulan itu ditutup pintu-pintu neraka dan dibukakan pintu-pintu surga
serta setan-setan dibelenggu.2

3. Menghapus dosa-dosa, selama dosa-dosa besar dijauhi.3

4. Dihapuskan dosa-dosa yang sebelumnya.4

5. Akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.5

1
HR. Ahmad, Nasa’i dan Baihaqi.
2
HR. Ahmad dan Nasa’i dan sanadnya baik.
3
HR. Muslim.
4
HR. Ahmad, Baihaqi dengan sanad yang baik.
5
HR. Ahmad dan Ash-Habus Sunnah.

2
C. ANCAMAN BAGI YANG TIDAK PUASA DI BULAN RAMADHAN

Syaikh Sayid Syabiq menyebutkan setidaknya ada 2 hal yang menjadi


ancaman bagi seorang muslim yang sengaja tidak puasa tanpa adanya ‘udzur,
yaitu:

1. Diancam dengan kekafiran.6

2. Tidaklah dapat tergantikan oleh puasa sepenjang masa walau dilakukan.7

D. MENETAPKAN BULAN

Dalam menetapkan awal dan akhir bulan ramadhan, Syaikh Sayyid Syabiq
mengemukakan 2 dalil yang menjadi landasan penetapan awal dan akhir bulan
ramadhan tersebut. Dan didalam penetapan bulan ramadhan itu juga terjadi
perselisihan pendapat diantara ‘Ulama.

1. Diterima dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhu,:

‫ام ِه‬
ِ ‫ص َي‬ َ َّ‫صا َمهُ َوأ َ َم َر الن‬
ِ ‫اس ِب‬ َ َ‫ أَنِِّى َرأَ ْيتُهُ ف‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َللا‬ ُ ‫اس ْال ِهَلَ َل فَأ َ ْخ َب ْرتُ َر‬
َّ ‫سو َل‬ ُ َّ‫ت ََرا َءى الن‬

“Orang-orang sama menginta hilal. Maka saya sampaikanlah kepada


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa saya telah melihatnya. Maka
Nabi-pun berpuasa dan menyuruh manusia berpuasa.”8

2. Diterima dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:

َ‫غ َّم َعلَ ْي ُك ْم فَأ َ ْك ِملُوا ث َ ََلثِين‬ ُ ‫صو ُموا ِل ُرؤْ يَتِ ِه َوأ َ ْف ِط ُروا ِل ُرؤْ يَتِ ِه َوا ْن‬
ُ ‫س ُكوا لَ َها فَإ ِ ْن‬ ُ

“Berpuasalah kamu jika melihatnya, dan berbukalah bila melihatnya! Dan


jika terhalang oleh awan, maka cukupkanlah bilangan (Sya’ban) itu tiga
puluh hari!.”9

Syaikh Sayyid Syabiq-pun menyampaikan komentar para ‘Ulama, Berkata


Tirmidzi: “Hal ini menjadi amalan sebagian ulama, kata mereka: “Jika mengenai
awal puasa, diterima dengan kesaksian seorang laki-laki.” Pendapat ini juga
menjadi pendirian Ibnul Mubarak, Syafi’i dan Ahmad. Dan menurut Nawawi
inilah yang lebih kuat.
6
HR. Abu Ya’la dan Dailami, serta dinyatakan sha oleh Dzahabi.
7
HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi.
8
HR. Abu Daud, juga Hakim dan Ibnu Hibban yang sama menyatakan sahnya.
9
HR. Bukhari dan Muslim.

3
Adapun hilal Syawal, maka dapat diterima dengan menghitung bilangan
Ramadhan cukup tiga puluh hari, dan tidak dapat diterima dengan kesaksian
hanya seorang laki-laki saja. Demikian pendapat umumnya fuqaha.

Menurut mereka, kesaksian melihat hilal itu (Syawal), syaratnya


hendaklah oleh sekurang-kurangnya dua orang yang adil. Kecuali Abu Tsaur,
dalam hal itu ia tidak membedakan hilal Syawal dengan hilal Ramadhan, katanya:
“Diterima kesaksian seorang laki-laki yang bersifat adil.”

E. PERBEDAAN TEMPAT TERKAIT BULAN

Syaikh Sayyid Syabiq menjelaskan bahwa Jumhur berpendapat bahwa


perbedaan tempat terbit bulan itu tidak menjadi soal. Maka apabila penduduk
suatu negeri melihat hilal, wajiblah puasa bagi seluruh negeri, berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “berpuasalah bila melihtnya, dan
berbukalah bila melihatnya.”

Sebaliknya menurut Ikrimah, Qasim bin Muhammad, Salim, Ishak dan


yang sah menurut golongan Hanafi serta yang dipilih oleh golongan Syafi’i,
bahwa yang jadi ukuran bagi penduduk sebuah negeri itu ialah pengelihatan
mereka sendiri, hingga mereka tidak perlu terpengaruh oleh pengelihatan orang
lain. Pendapat ini berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Kuraib, katanya:

‫سأَلَنِي‬ َ َ‫ ف‬،‫ش ْه ِر‬ َّ ‫آخ ِر ال‬ ِ ‫ ث ُ َّم قَ ِد ْمتُ ال َمدِينَةَ فِي‬،‫ فَ َرأَ ْينَا ال ِه ََل َل لَ ْيلَةَ ال ُج ُمعَ ِة‬،‫ش ِام‬ َّ ‫ضانَ َوأَنَا بِال‬
َ ‫ي ه ََِل ُل َر َم‬ َّ َ‫َوا ْست ُ ِه َّل َعل‬
‫ أَأ َ ْنتَ َرأَ ْيتَهُ لَ ْيلَةَ ال ُج ُم َع ِة؟‬:‫ فَقَا َل‬،‫ فَقُ ْلتُ َرأ َ ْينَاهُ َل ْيلَةَ ال ُج ُم َع ِة‬،َ‫ َمتَى َرأَ ْيت ُ ُم ال ِه ََلل‬:‫ فَقَا َل‬،َ‫ ث ُ َّم ذَك ََر ال ِه ََلل‬،‫ا ْبنُ َعبَّاس‬
َ‫صو ُم َحتَّى نُ ْك ِم َل ث َ ََلثِين‬ َّ ‫ لَ ِك ْن َرأ َ ْينَاهُ لَ ْيلَةَ ال‬:‫ قَا َل‬،ُ‫ام ُم َعا ِو َية‬
ُ َ‫ فَ ََل نَزَ ا ُل ن‬،ِ‫س ْبت‬ َ ‫ص‬َ ‫ َو‬،‫صا ُموا‬ َ ‫ َو‬،‫اس‬ ُ َّ‫ َرآهُ الن‬: ُ‫فَقُ ْلت‬
‫س َّل َم‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ َه َكذَا «أَ َم َرنَا َر‬،‫ َال‬:‫ قَا َل‬،‫ام ِه‬
َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َللا‬ ِ ‫ص َي‬ ِ ‫ أ َ َال تَ ْكت َ ِفي ِب ُرؤْ َي ِة ُم َعا ِو َيةَ َو‬: ُ‫ فَقُ ْلت‬،ُ‫ أ َ ْو ن ََراه‬،‫َي ْو ًما‬

“Saya pergi ke Syam, dan sewaktu-waktu saya berada disana muncullah hilal
Ramadhan, dan saya saksikan sendiri hilal itu pada malam Jum’at. Kemudian
pada akhir bulan, saya datang kembali ke Madinah dan ditanyai oleh Ibnu Abbas
–kemudian teringat olehnya hilal- katanya:

“Apakah tuan-tuan melihat hilal?”, “Kelihatan oleh saya malam Jum’at” ujar
saya. “Apakah anda sendiri melihatnya?” tanya Ibnu Abbas pula. “Benar”, ujar
saya, “Juga dilihat oleh orang banyak, hingga mereka berpuasa, termasuk
diantaranya adalah Mu’awiyah.”

4
Ibnu Abbas berkata, “Tetapi saya melihatnya malam sabtu”, “Hingga saya akan
terus berpuasa sampai cukup tiga puluh hari, entah kalau kelihatan sebelumnya.”
Saya kemudian bertanya, “Tidakkah cukup menurut anda pengelihatan dan
berpuasanya Mu’awiyah?” “Tidak” ujarnya, “Begitulah yang dititahkan oleh
Rasulullah kepada saya.”10

Dan dalam Fathul ‘Allam, Syarah Bulughul Maram tercantum: “Yang


lebih dekat –kepada kebenaran- ialah keharusan bagi setiap negeri mengikuti
rukyatnya, berikut daerah-daerah lain yang berada dalam satu garis bujur dengan
negeri itu.”

F. RUKUN PUASA

Menurut Sayyid Syabiq ada dua rukun puasa, yang masing-masingnya


merupakan unsur terpenting dari hakikatnya, yaitu:

1. Menahan diri segala yang membatalkan puasa, semenjak terbit fajar hingga
terbenam matahari

Firman Allah Ta’ala:

‫ض ِمنَ ْال َخي ِْط األس َْو ِد‬ ُ ‫َللاُ لَ ُك ْم َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َحتَّى َيت َ َبيَّنَ لَ ُك ُم ْال َخ ْي‬
ُ َ‫ط األ ْبي‬ َ ‫فَاآلنَ بَا ِش ُروه َُّن َوا ْبتَغُوا َما َكت‬
َّ ‫َب‬
‫ام إِلَى اللَّ ْي ِل‬ ِّ ِ ‫ِمنَ ْالفَجْ ِر ث ُ َّم أَتِ ُّموا‬
َ َ‫الصي‬
Artinya: “Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

2. Berniat. Berdasarkan Firman Allah Ta’ala:

‫الزكَاة َ َوذَلِكَ ِدينُ ْالقَيِِّ َم ِة‬ َّ ‫صينَ لَهُ ال ِدِّينَ ُحنَفَا َء َويُ ِقي ُموا ال‬
َّ ‫صَلة َ َويُؤْ تُوا‬ َّ ‫َو َما أ ُ ِم ُروا إِال ِليَ ْعبُد ُوا‬
ِ ‫َللاَ ُم ْخ ِل‬

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah


dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat;
dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

10
HR. Ahmad, Muslim dan Tirmidzi. Kata Tirmidzi: “Hadis ini hasan lagi shahih dan
gharib, dan menurut para ulama mengamalkan hadis ini berarti bahwa bagi tiap-tiap negeri itu
berlaku rukyat atau pengelihatan masing-masing.

5
Sayyid Syabiq kemudian mengatakan bahwa berniat itu hendaklah
sebelum fajar, pada setiap malam bulan Ramadhan. Berdasarkan hadis Hafsah,
katanya: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam”

ُ ‫ام لَه‬ ِ ‫ام قَ ْب َل ْالفَجْ ِر فَ ََل‬


َ ‫ص َي‬ َ ‫الص َي‬ ْ ‫َم ْن لَ ْم يُ َب ِي‬
ِّ ِ ‫ِّت‬

“Barangsiapa yang tidak membulatkan niatnya buat berpuasa sebelum fajar,


maka tidak sah puasanya.”11

Kemudian menurut kebanyakan fuqaha, niat puasa tathawwu’ cukup bila


waktu siang yakni jika seseorang belum lagi makan dan minum.12

Golonagn Hanafi mensyaratkan, bahwa niat itu hendaklah terjadi sebelum


Zawal atau tergelincir matahari. Pendapat ini juga adaah yang terkenal diantara
kedua pendapat Syafi’i. Tetapi Ibnu Mas’ud dan Ahmad, menurut lahir ucapan
mereka niat itu memadai, baik sebelum atau sesudah zawal tak ada bedanya.

G. ATAS SIAPA DIWAJIBKAN

Syaikh Sayyid Syabiq menyatakan bahwa para ‘ulama telah ‘ijma


mengenai wajib puasa atas orang Islam yang berakal lagi baligh, sehat dan
menetap, sedang wanita hendaklah ia suci dari haid dan nifas.

Maka tidak wajib puasa atas orang kafir, orang gila, anak-anak, orang
sakit, musafir, perempuan dalam behaidh atau nifas, begitupun orang yang sudah
tua, perempuan hamil atau menyusukan anak.

H. ORANG YANG DIBERI KERINGANAN BERBUKA DAN WAJIB


MEMBAYAR FIDYAH

Fidyah bagi mereka yang diberikan keringanan untuk berbuka adalah


diwajibkan memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, dan banyaknya
makanan itu diperkirakan antara satu gantang (satu sukat). Dalam hal ini masih
terdapat perbedaan pendapat, sementari itu dari sunnah sendiri tidak diperoleh
keterangan yang menetapkan berapa banyaknya itu.

Bukhari meriwayatkan dari ‘Atha bahwa ia mendengar Ibnu Abbas


radhiallahu ‘anhu membaca ayat:
11
HR. Ahmad dan Ash-Shabus Sunnah, dan dinyatakan sah oleh Ibnu Khuzaimah dan
Ibnu Hibban.
12
HR. Muslim dan Abu Daud dari Aisyah radhiallahu ‘anha.

6
َ ‫سفَر فَ ِعدَّة ِم ْن أَيَّام أُخ ََر َو َعلَى الَّذِينَ ي ُِطيقُونَهُ فِدْيَة‬
‫طعَا ُم ِم ْس ِكين‬ َ ‫أَيَّا ًما َم ْعد ُودَات فَ َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم َم ِريضًا أ َ ْو َعلَى‬
ُ َ‫ع َخي ًْرا فَ ُه َو َخيْر لَهُ َوأ َ ْن ت‬
َ‫صو ُموا َخيْر لَ ُك ْم إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬ َ َ ‫فَ َم ْن ت‬
َ ‫ط َّو‬

Artinya: “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di
antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah
yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Kata Ibnu Abbas: “Ayat ini tidaklah dinasakh atau dihapuskan, maksudnya
ialah bagi orang tua lanjut usia, baik laki-laki maupun wanita yang telah tidak
sanggup berpuasa, hendaklah memberi makan seorang miskin untuk setiap hari
mereka tidak berpuasa itu. Menurut madzhab Malik dan Ibnu Hazmin mereka
tidak perlu mengqadha, tidak pula membayar fidyah.

Sedangkan bagi musafir dan perempuan hamil dan yang menyusukan


dalam puasa tersebut, dalam sebuah hadis disebutkan, “Sesungguhnya Allah
memberi keringanan bagi musafir dalam puasa dan separuh shalat, sedangkan
bagi perempuan hamil dan yang menyusukan dalam puasa saja.”

Menurut golongan Hanafi, Abu ‘Ubaid dan Abu Tsaur, mereka hanya
mewajibkan mengqadha saja, dan tidak membayar fidyah. Sedangkan menurut
Ahmad dan Syafi’i, jika mereka berbuka disebabkan kekhawatiran terhadap
keselamatan anak saja, mereka wajib mengqadha dan membayar fidyah. Tetapi
bila yang mereka khawatirkan ialah keselamatan diri mereka sendiri, atau
keselamatan diri serta keselamatan anak mereka, maka mereka hanya wajib
mengqadha saja.

I. ORANG YANG DIBERI KERINGANAN BERBUKA DAN WAJIB


MENGQADHA

Sayyid Syabiq dalam kitab Fiqh Sunnahnya ini menyebutkan bahwa


dibolehkan berbuka bagi orang sakit yang ada harapan sembuh dan bagi musafir,
dan mereka wajib mengqadha.

7
‫سفَر فَ ِعدَّة ِم ْن أَيَّام أُخ ََر‬
َ ‫فَ َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم َم ِريضًا أ َ ْو َعلَى‬

Artinya: “Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Dan sakit yang menyebabkan bolehnya berbuka itu ialah sakit berat yang
bertambah parah jika berpuasa, atau dikhawatirkan akan bertambah lambat
sembuhnya. Hal ini dapat diketahui berdasarkan pegalaman, nasihat dari dokter
ahli atau dugaan keras.

Berkata pengarang Al-Mughni: “Menurut berita, ada beberapa orang Salaf


yang membolehkan berbuka puasa disebabkan segala macam penyakit, bahkan
walau hanya sakit pada jari atau geraham sekalipun. Alasanya adalah karena
umumnya ayat, juga karena musafir dibolehkan berbuka walau ia tidak
memerlukannya. Maka demikianlah pula orang yang sakit.” Ini juga merupakan
madzhab Bukhari, ‘Atha, dan Ahluz Zahir.

J. MANAKAH YANG LEBIH UTAMA, BERPUASA ATAU BERBUKA

Syaikh Sayyid Syabiq menjelaskan bahwa para fuqaha berbeda pendapat


dalam hal ini. Imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Malik berpendapat bahwa berpuasa
lebih utama bagi orang yang tidak berpuasa.

Sebaliknya menurut Ahmad, berbuka lebih afdhal. Dan berkata Umar bin
Abdul Aziz: “Yang lebih afdhal adalah yang lebih mudah. Maka orang yang lebih
mudah baginya berpuasa ketika itu, dan sulit baginya akan mengqadha kemudian
hari, maka lebih utama ia berpuasa.” Syaukani membenarkan pendapat ini.

Adapun jika seseorang telah meniatkan puasanya (ketika itu ia mukmin)


lalu mengadakan perjalannan di waktu siang, maka menurut jumhur ulama, tidak
boleh ia berbuka.

Tetapi Ahmad dan Ishak membolehkannya, berdasarkan hadis yang


diriwayatkan dan dihasankan oleh Tirmidzi dari Muhammad bin Ka’ab, katanya:

“Pada bulan Ramadhan, saya mendatangi Anas bin Malik, yang rupanya hendak
mengadakan perjalanan. Kendaraannya sudah siap, dan ia sudah mengenakan
pakian musafir. Tiba-tiba ia meminta disediakan makanan, lalu makan. Maka

8
tanyaku kepadanya: “Apakah ini sunnah?” Ia menjawab, “Memang sunnah”,
lalu ia berangkat dengan kendaraannya.”13

Berkata Syaukani: “Berkata Ibnul ‘Arabi: “Mengenai hadis Anas, adalah


sah, dan maksudnya boleh berbuka ketika adanya persiapan untuk berangkat.”
Dan ulasnya : “Ini pendapat yang benar.”

Dan perjalanan yang membolehkan berbuka itu, ialah perjalanan yang


dibolehkan padanya mengqashar shalat. Begitupun masa bermukim yang
dibolehkan seseorang musafir tidak berpuasa. Ialah selama jangka waktu ia
dibolehkan padanya mengqashar.

Sumber:

Sabiq. Sayyid, Fikih Sunnah Jilid 3, Bandung: Alma’arif, 1993.

13
Dalam sanadnya terdapat ‘Ubaid bin Ja’far seorang yang lemah.

Anda mungkin juga menyukai