Anda di halaman 1dari 3

Drs. H.

Abdulkadir Makarim

Mengapa Puasa Ramadhan ?

Ramadhan selalu beriring dengan harapan bagi umat Islam yang memahami arti
pentingnya dan bahkan bagi setiap orang yang dapat merasakan manfaat kehadirannya.
Namun dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang membebani bagi setiap orang yang hanya
dapat merasakan bahwa kewajiban-kewajiban keagamaan merupakan serangkaian beban
yang berat untuk diamalkan. Oleh karenanya ungkapan marhaban yâ ramadhân hanya pantas
diucapkan oleh mereka yang memahami arti penting dan manfaat kedatangan bulan suci ini.
Dan dengan Ramadhan – berharap untuk – memeroleh sesuatu yang bernilai penting dan
sangat didambakan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban" diartikan sebagai "kata seru
untuk menyambut atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang)." Ia sama dengan
ahlan wa sahlan yang juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang." Walaupun
keduanya berarti "selamat datang" tetapi penggunaannya berbeda. Para ulama tidak
menggunakan ahlan wa sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan
"marhaban yâ Ramadhân".

Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga", sedangkan sahlan berasal dari
kata sahl yang berarti mudah. Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidak
seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan selamat datang, yang di
celahnya terdapat kalimat tersirat yaitu: "(Anda berada di tengah) keluarga dan
(melangkahkan kaki di) dataran rendah yang mudah."

Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau "lapang", sehingga
marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan dada lapang, penuh
kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang
diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan "marhaban", terbentuk kata rahbah
yang antara lain berarti "ruangan luas untuk kendaraan, untuk memeroleh perbaikan atau
kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban yâ Ramadhân berarti
"Selamat datang Ramadhan" mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang
dada, penuh kegembiraan; tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya
"mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.

Marhaban yâ Ramadhân, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita
mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju
Allah SWT.
Drs. H. Abdulkadir Makarim

Al-Quran menggunakan kata shiyâm sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam arti
puasa menurut pengertian hukum syariat. Sekali al-Qur’an juga menggunakan kata shaum,
tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak berbicara, dan ini termasuk dalam surat
Makiyyah, yang artinya lebih dahulu dari ayat puasa popular lainnya:

ِ ‫و َم ِإ‬5ۡ َ‫ فَلَ ۡن ُأ َكلِّ َم ۡٱلي‬5‫ ۡو ٗما‬5‫ص‬


‫ ٗيّا‬5‫نس‬ ُ ‫ َوقَرِّي ع َۡي ٗن ۖا فَِإ َّما تَ َريِ َّن ِمنَ ۡٱلبَ َش ِر َأ َح ٗدا فَقُولِ ٓي ِإنِّي نَ َذ ۡر‬5‫ٱش َربِي‬
َ ‫ت لِلر َّۡح ٰ َم ِن‬ ۡ ‫فَ ُكلِي َو‬
٢٦
“ maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang
manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang
Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini"
[Q.S. Maryam: 26].

Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang
memertanyakan tentang kelahiran anaknya (Isa a.s.). Kata ini juga terdapat masingmasing
sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan, sekali dalam bentuk kata kerja
yang menyatakan bahwa "berpuasa adalah baik untuk kamu", dan sekali menunjuk kepada
pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shâimîn wa ash-shâimât.

Dalam ayat Madaniyyah yang jadi dasar kewajiban dan tujuan puasa termaktub:

١٨٣ َ‫ب َعلَى ٱلَّ ِذينَ ِمن قَ ۡبلِ ُكمۡ لَ َعلَّ ُكمۡ تَتَّقُون‬
َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ۡي ُك ُم ٱل‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
َ ِ‫وا ُكت‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” [Q.S. Al-Baqarah:183].

Ibadah puasa memiliki multifungsi. Dan - ketika direnungkan - setidaknya ada tiga
fungsi (ibadah) puasa yang masing-masing berkaitan: (1) tahdzîb, (2) ta'dîb dan (3) tadrîb.
Puasa adalah sarana untuk mengarahkan (tahdzîb), membentuk karakteristik jiwa seseorang
(ta'dîb), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia paripurna (tadrîb), yang pada
esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa, yaitu: “takwa”. Takwa dalam pengertian (yang
lebih) luas adalah: “melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-
Nya dalam dua dimensi (horisontal dan vertikal)”. Takwa merupakan wujud kesalehan
individual dan sosial, dua wajah dari satu keping mata uang yang sama, “integral” (menyatu)
dan tak dapat dipisahkan. Ada ‘sejenis’ kaedah kejiwaan, bahwa ketika "cinta" kepada diri
sendiri menggelembung menjadi cinta kepada yang ada di luar dirinya karena Allah, maka
rasa sakit yang diderita orang lain pun akan terasa sakit pada dirinya . Di ketika orang yang
berpuasa bisa merasakan rasa lapar dan dahaga yang dialaminya, maka dia pun akan bisa
Drs. H. Abdulkadir Makarim

merasakan betapa lapar dan dahaga orang-orang yang tak memiliki makanan dan minuman
pelepas lapar dan dahaga akan terus menjadi derita bagi “kaum fakir”. Dan oleh karenanya
dia pun akan berpikir: “apa yang seharusnya dilakukan untuk melepaskan rasa lapar dan
dahaga mereka”. Dari sinilah solidaritas sosial terbentuk sebagai hikmah dari (ibadah) puasa.

Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di
gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang
mengancam, serta Iblis yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambah tinggi
gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula
perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang,
dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah
untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan
dilanjutkan akanditemukan kendaraan ar-Rahmân untuk mengantar sang musafir bertemu
dengan kekasihnya, Allah SWT. Demikian kurang lebih perjalanan itu dilukiskan ole Ibnu
Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya yang berjudul Madârij as-Sâlikîn.

Tentu kita perlu memersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah Anda
apakah bekal itu?. Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang
membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan
shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian untuk
agama, bangsa dan negara. Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaran
al-Qur’an mempelajari bagaimana tuntunannya.

Anda mungkin juga menyukai