Anda di halaman 1dari 17

PONDOK

4/15/2023 RAMADHAN
SDN Gapura Timur

Yani Rasmadi, S.Pd


GURU KELAS V
PENDAHULUAN

Assalamualaikum Wr.Wb.

Marhaban ya ramadhan, bulan suci penuh kemulyaan. semoga di bulan Ramadhan ini
kita dapat meraih pahala dan keberkahan dari Allah SWT. serta senantiasa menata niat dan
keinginan yang kuat untuk menjadi Insan yang lebih baik dari masa ke masa. Amin
Buku kegiatan Ramadhan ini bertujuan menjadi laporan kegiatan dan tolok ukur
pencapaian peserta didik dalam melaksanakan ibadah di bulan suci ramadhan. sekolah
mengharapkan kepada peserta didik untuk senantiasa mengamalkan ibadah Ramadhan
dengan penuh semangat dan ikhlas meraih ridla Allah.
SDN Gapura Timur senantiasa mendukung penuh kegiatan peserta didik untuk
mewujudkan generasi Islami yang kokoh dan berakhlakul karimah.
Semoga kita dapat mengambil berkah dan manfaat serta kemualiaan bulan Ramdhan
dan hari Raya Idul Fitri. Amin
Wassalamualaikum Wr.Wb.

Penyusun
PANDUAN PUASA RAMADHAN

 Syarat Wajib Puasa


1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Tidak Sedang Sakit
5. Tidak Sedang Udzur; Haid, Nifas, Melahirkan, Dalam Perjalanan
 Syarat Sah Puasa
1. Niat di Malam Hari
2. Menahan makan minum dan segala yang membatalkan mulai fajar hingga
maghrib.
 Sunnah Puasa
1. Sahur
2. Bercepat berbuka
3. Membanyak dzikir dan membaca Alquran
4. Meninggalkan bicara kotor
 Hal Yang Membatalkan Puasa
1. Memasukkan sesuatu ke dalam tubuh
2. Muntah dengan sengaja
3. Keluar sepertma dengan sengaja
4. Jima’ dengan sengaja
5. Hilang akal
6. Murtad
 Hikmah Puasa
1. Terjaga dari kemaksiatan.
2. Mendapatkan pahala dan ridla Allah.
3. Diberikan kesehatan.
4. Meningkatnya iman dan ketakwaan.
5. Diberikan keberkahan dalam hidup.
Panduan Lengkap Puasa Ramadhan: Dalil, Tata Cara,
dan Ketentuannya.

Dalam perhitungan kalender Hijriah, bulan Ramadhan merupakan bulan ke-9. Pada bulan ini
umat Muslim yang sudah baligh, mampu, sehat dan bukan dalam dalam keadaan bepergian
jauh (jarak 82 km), wajib untuk melakukan puasa selama satu bulan penuh.  

Menurut Syekh Hasan bin Ahmad al-Kaff, alasan penamaan ‘Ramadhan’ pada bulan ini
karena dulu saat penamaannya bertepatan dengan cuaca yang sangat panas. ‘Ramadhan’
sendiri berasal dari kata ‫ْض ا ُء‬
َ ‫( الرَّ م‬al-ramdhâ’) yang artinya sangat panas. Ada juga yang
mengatakan, kata ‘panas’ itu diidentikkan dengan pembakaran (pengampunan) dosa,
karena ampunan Allah terbuka lebar pada bulan tersebut. (Hasan al-Kaff, Al-Taqrîrât al-
Sadîdah, h. 433)  

Dalil Puasa Ramadhan


Terkait dalil kewajiban berpuasa, sudah Allah swt tegaskan dalam firman-Nya,  
َ ُ‫ِين مِن َق ۡبلِ ُكمۡ لَ َعلَّ ُكمۡ َت َّتق‬
‫ون‬ َ ‫ِب َعلَى ٱلَّذ‬
َ ‫ص َيا ُم َك َما ُكت‬
ِّ ‫ِب َعلَ ۡي ُك ُم ٱل‬ َ ‫ ٰ َٓيَأ ُّي َها ٱلَّذ‬ 
َ ‫ِين َءا َم ُنو ْا ُكت‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)

Rasulullah ‫ ﷺ‬juga bersabda,  


‫ص ْو ِم‬َ ‫ت َو‬ ِ ‫الز َك ا ِة َو َح ِّج ْال َب ْي‬
َّ ‫الص الَ ِة َوِإ ْي َت ا ِء‬ ِ ‫ َش َها َد ِة َأنْ الَ ِإ ٰل َه ِإاَّل هللاُ َوَأنَّ م َُح َّم ًدا َر ُس ْو ُل‬:‫س‬
َّ ‫هللا َوِإ َق ِام‬ ٍ ‫ُبن َِي ْاِإلسْ الَ ُم َعلَى َخ ْم‬
ِ ‫(ر َواهُ الب َُخ‬
)‫اريُّ َومُسْ لِ ٌم‬ َ ‫ان‬ َ ‫ض‬ َ ‫ َر َم‬ 

Artinya: “Islam dibangun di atas lima perkara: (1) bersaksi bahwa tidak ada yang berhak
disembah melainkan Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah;
(2) menunaikan shalat; (3) menunaikan zakat; (4) menunaikan haji ke Baitullah; dan (5)
berpuasa Ramadhan” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Keutamaan Puasa Ramadhan
Sebagai bulan paling mulia, melakukan puasa Ramadhan pada bulan itu memiliki banyak
sekali keutamaan. Berikut adalah beberapa di antaranya:  
1. Diangkatnya derajat Salah satu keutamaan yang diperoleh bagi orang yang
melaksanakan puasa Ramadhan adalah derajatnya di sisi Allah swt. akan diangkat.
Terkait ini, Syekh ‘Izzuddin (w. 1181 M) mengutip salah satu hadits Nabi yang
berbunyi,  
ِ ‫ص ِّف َد‬
‫ت ال َّشيَاطِ ي َْن‬ ‫ت َأب َْوابُ ْال َج َّن ِة َو ُغلِّ َق ْ َأ‬
ْ ‫ان فُت َِح‬ َ ‫ ِإ َذا َجا َء َر َم‬ 
ِ ‫ت ب َْوابُ ال َّن‬
ُ ‫ار َو‬ َ ‫ض‬
Artinya: “Ketika Ramadhan tiba, dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu
neraka dan setan pun dibelenggu” (HR Imam Muslim).  

Menurut Syekh ‘Izuddin, maksud dibukanya pintu surga adalah pada bulan
Ramadhan ada banyak amal ibadah yang menyebabkan dibukanya pintu surga.
Sementara maksud dikuncinya pintu neraka adalah karena pada bulan tersebut
sedikit perbuatan maksiat yang menyebabkan dikuncinya pintu neraka. Sedangkan
maksud setan dibelenggu karena saat kondisi berpuasa, setan tidak menggoda
manusia untuk bermaksiat (‘Izzuddin, Maqâshidush Shaum, h. 12).  

2. Sebagai kontrol syahwat Keutamaan lain dari berpuasa adalah mampu mengontrol
syahwat. Ketika syahwat berhasil dikontrol, akan terhindar dari godaan setan karena
syahwat merupakan pintu masuk utamanya. Jika setan tidak menggoda, akan
terhindar hari perbuatan maksiat. Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:  
َ ْ‫ َوَأح‬،‫ص ِر‬
،‫ َو َمنْ لَ ْم َيسْ َتطِ عْ َف َعلَ ْي ِه ِبالص َّْو ِم‬،‫صنُ ل ِْل َفرْ ِج‬ َ ‫ َفِإ َّن ُه َأ َغضُّ ل ِْل َب‬، ْ‫اع ْال َبا َء َة َف ْل َي َت َز َّوج‬
َ ‫ب َم ِن اسْ َت َط‬
ِ ‫َيا َمعْ َش َر ال َّش َبا‬
‫ َفِإ َّن ُه َل ُه ِو َجا ٌء‬ 

Artinya: “Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka
menikahlah. Sesungguhnya menikah lebih bisa menundukkan pandangan dan lebih
mudah menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka
berpuasalah, sesungguhnya puasa itu adalah penekan syahwatnya” (HR Imam
Ahmad dan Imam al-Bukhari).  
Menurut Imam al-Ghazali (w. 1111 M), sumber utama perbuatan maksiat adalah
hawa nafsu. Sementara ‘bahan bakar’ nafsu itu sendiri adalah makanan. Saat
seseorang berpuasa, secara otomatis konsumsi makanan dalam tubuh berkurang.
Dengan begitu, ia mampu menundukkan hawa nafsu dan mencegah diri dari
perbuatan maksiat. (Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûmiddîn, juz 3, h. 35).  

3. Dilipatgandakan pahala Dalam kalkulasi pahala, setiap amal ibadah akan dibalas
sebesar 10, kali lipat 700 kali lipat, sampai besaran yang Allah kehendaki. Berbeda
dengan puasa. Menurut Imam Al-Qruthubi (w. 1273 M), saking besar pahala yang
diperoleh orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, sampai-sampai hanya Allah yang
tahu besarannya. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah
ٍ ْ‫ضا َعفُ ْال َح َس َن ُة َع ْش ُر َأ ْم َثالِ َها ِإلَى َس ْب ِع ِماَئ ِة ضِ ع‬
‫ف َقا َل هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل ِإالَّ الص َّْو َم َفِإ َّن ُه لِى‬ ِ ‫ ُك ُّل َع َم ِل اب‬  :‫ﷺ‬
َ ‫ْن آ َد َم ُي‬
‫ َوَأ َنا َأجْ ِزى ِب ِه‬ 

Artinya, “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan
dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), ‘Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah
untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya” (HR Muslim) (Hasan al-Musysyat,
Is’âfu Ahlil Îmân, h. 34). Bahkan, menurut Syekh Utsman Syakir dalam dengan
mengutip Abul Hasan menjelaskan, setiap ibadah akan dibalas surga oleh Allah.
Berbeda dengan puasa, pahalanya adalah langsung bersua dengan Allah di akhirat
nanti, tanpa ada penghalang (hijâb) apapun. Dalam klasifikasi pahala, level pahala
tertinggi adalah berjumpa dengan Allah kelak. (Utsman Syakhir, Durratun Nâshihîn,
h. 13).

Waktu Puasa Ramadhan


Puasa Ramadhan dilaksanakan selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan.
Dalam hal ini, penentuan kapan memasuki dan kapan berakhirnya bulan Ramadhan
diputuskan oleh pemerintah melalui Kementrian Agama dengan menggunakan
metode ru’yah (aktivitas mengamati visibilitas hilal, penampakan bulan sabit yang
tampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak) dan hisab (perhitungan secara
matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan). Untuk durasinya, sama
seperti puasa pada umumnya, yaitu dari mulai terbit fajar sampai terbenamnya
matahari. Selama durasi tersebut ia mesti mencegah dari hal-hal yang membatalkan
puasa sebagaimana puasa-puasa lain.

Lafal Niat Puasa Ramadhan


Bagi orang yang hendak melaksanakan puasa Ramadhan, ia wajib untuk berniat puasa.
Terhitung sejak matahari terbenam sampai terbit fajar. Berikut adalah lafal niatnya:

‫ان ٰه ِذ ِه ال َّس َن ِة هّٰلِل ِ َت َعالَى‬


ِ ‫ض‬ ِ ْ‫ص ْو َم َغ ٍد َعنْ َأدَا ِء َفر‬
َ ‫ض َشه ِْر َر َم‬ ُ ‫َن َوي‬
َ ‫ْت‬

Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i fardli syahri Ramadlâni hâdzihis sanati lillâhi ta‘âlâ

Artinya, “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun
ini karena Allah ta’âlâ.”

Menurut mazhab Syafi’i, niat puasa Ramadhan wajib dilakukan pada setiap malamnya.
Artinya, satu niat untuk satu kali berpuasa. Sementara menurut Imam Malik, diperbolehkan
satu kali niat puasa untuk satu bulan puasa penuh bulan Ramadhan. Oleh karena itu kita
disunnahkan berniat untuk satu bulan penuh pada malam pertama Ramadhan, dengan
tetap niat untuk puasa-puasa berikutnya. Supaya andaikan nanti lupa niat, maka niat pada
malam pertama itu bisa mencukupi. (Qalyubi, Hâsyiyah Qalyûbî, juz 5, h. 365).

Berikut adalah lafal niat untuk satu bulan penuh, sebagaimana dijelaskan oleh KH A Idris
Marzuki (w. 2014 M) dalam kitab Sabîl al-Hudâ:
‫هّٰلِل‬
‫ضا ِ َت َعالَى‬ ً ‫س َن ِة َت ْقلِ ْي ًدا لِِإْل َم ِام َمالِكٍ َف ْر‬
َّ ‫ان ٰه ِذ ِه ال‬
ِ ‫ض‬ َ ‫ص ْو َم َج ِم ْي ِع‬
َ ‫ش ْه ِر َر َم‬ َ ُ‫َن َو ْيت‬

Nawaitu shauma jamî’i syahri ramadlâni hadzihissanati taqlîdan lil imâm mâlikin fardlan
lillâhi ta’âlâ.

Artinya: “Saya berniat puasa selama satu bulan Ramadhan tahun ini dengan mengikuti Imam
Malik, fardhu karena Allah ta’âlâ.” (KH A Idris Marzuki, Sabîl al-Hudâ, h. 51).
Konsekuensi jika Meninggalkan Puasa Ramadhan
Ada konsekuensi bagi orang yang meninggalkan puasa Ramadhan. Syekh Salim bin Sumair
dalam Safînah an-Najâh menjelaskan, adakalanya wajib qadlha sekaligus bayar fidyah, yaitu
bagi orang yang tidak berpuasa karena kekhawatiran pada selain dirinya (seperti ibu
menyusui yang khawatir terhadap kesehatan bayinya) dan orang yang memiliki tanggungan
qadha puasa Ramadhan, tetapi belum diqadha sampai datang bulan Ramadhan berikutnya.
Adakalanya hanya wajib qadha, hal ini banyak terjadi seperti orang sakit ayan, orang yang
melakukan perjalanan jauh, lupa niat pada waktu malam, dan lain-lain. Adakalanya hanya
wajib membayar fidyah tanpa qadha, yaitu orang tua renta. Adakalanya tidak wajib qadha
dan tidak wajib fidyah, yaitu orang gila yang tidak sengaja gilanya. (Salim bin Sumair, Safînah
an-Najâh, h. 114)

Fidyah secara bahasa adalah tebusan. Menurut istilah syariat adalah denda yang wajib
ditunaikan karena meninggalkan kewajiban atau melakukan larangan. Syekh Ahmad bin
Muhammad Abu al-Hasan al-Mahamili mengklasifikasi fidyah menjadi tiga bagian. Pertama,
fidyah senilai satu mud. Kedua, fidyah senilai dua mud. Ketiga, fidyah dengan menyembelih
dam (binatang) (Syekh Ahmad bin Muhammad Abu al-Hasan al-Mahamili, al-Lubab, hal.
186).

Dalam tulisan ini penulis akan fokus kepada fidyah yang berkaitan dengan ibadah puasa
Ramadhan. Merujuk keterangan al-Mahamili di atas, fidyah dalam pembahasan ini masuk
kategori pertama, yaitu fidyah senilai satu mud. Kajian mengenai panduan membayar fidyah
puasa setidaknya dapat dipetakan dalam beberapa subpembahasan sebagai berikut:

Kategori Orang yang Wajib Membayar Fidyah


1. Orang tua renta
Kakek atau nenek tua renta yang tidak sanggup lagi menjalankan puasa, tidak terkena
tuntutan berpuasa. Kewajibannya diganti dengan membayar fidyah satu mud makanan
untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Batasan tidak mampu di sini adalah sekiranya
dengan dipaksakan berpuasa menimbulkan kepayahan (masyaqqah) yang memperbolehkan
tayamum. Orang dalam jenis kategori ini juga tidak terkena tuntutan mengganti (qadha)
puasa yang ditinggalkan (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 428).

2. Orang sakit parah


Orang sakit parah yang tidak ada harapan sembuh dan ia tidak sanggup berpuasa, tidak
terkena tuntutan kewajiban puasa Ramadhan. Sebagai gantinya, ia wajib membayar fidyah.
Seperti orang tua renta, batasan tidak mampu berpuasa bagi orang sakit parah adalah
sekiranya mengalami kepayahan apabila ia berpuasa, sesuai standar masyaqqah dalam bab
tayamum. Orang dalam kategori ini hanya wajib membayar fidyah, tidak ada kewajiban
puasa, baik ada’ (dalam bulan Ramadhan) maupun qadha’ (di luar Ramadhan). Berbeda
dengan orang sakit yang masih diharapkan sembuh, ia tidak terkena kewajiban fidyah. Ia
diperbolehkan tidak berpuasa apabila mengalami kepayahan dengan berpuasa, namun
berkewajiban mengganti puasanya di kemudian hari (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-
Habib, juz 2, hal. 397).

3. Wanita hamil atau menyusui


Ibu hamil atau wanita yang tengah menyusui, diperbolehkan meninggalkan puasa bila ia
mengalami kepayahan dengan berpuasa atau mengkhawatirkan keselamatan anak/janin
yang dikandungnya. Di kemudian hari, ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkan, baik
karena khawatir keselamatan dirinya atau anaknya. Mengenai kewajiban fidyah diperinci
sebagai berikut:
 Jika ia khawatir keselamatan dirinya atau dirinya beserta anak /janinya, maka tidak
ada kewajiban fidyah.
 Jika hanya khawatir keselamatan anak/janinnya, maka wajib membayar fidyah. (lihat
Syekh Ibnu Qasim al-Ghuzzi, Fath al-Qarib Hamisy Qut al-Habib al-Gharib, hal. 223).

4. Orang mati
Dalam fiqih Syafi’i, orang mati yang meninggalkan utang puasa dibagi menjadi dua:
Pertama, orang yang tidak wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa karena
uzur dan ia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha, semisal sakitnya berlanjut sampai
mati. Tidak ada kewajiban apa pun bagi ahli waris perihal puasa yang ditinggalkan mayit,
baik berupa fidyah atau puasa.
Kedua, orang yang wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa tanpa uzur atau
karena uzur namun ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk mengqadha puasa.
Menurut qaul jadid (pendapat baru Imam Syafi’i), wajib bagi ahli waris/wali mengeluarkan
fidyah untuk mayit sebesar satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang
ditinggalkan. Biaya pembayaran fidyah diambilkan dari harta peninggalan mayit. Menurut
pendapat ini, puasa tidak boleh dilakukan dalam rangka memenuhi tanggungan mayit.
Sedangkan menurut qaul qadim (pendapat lama Imam Syafi’i), wali/ahli waris boleh memilih
di antara dua opsi, membayar fidyah atau berpuasa untuk mayit.

Qaul qadim dalam permasalahan ini lebih unggul daripada qaul jadid, bahkan lebih sering
difatwakan ulama, sebab didukung oleh banyak ulama ahli tarjih.

Ketentuan di atas berlaku apabila tirkah (harta peninggalan mayit) mencukupi untuk
membayar fidyah puasa mayit, bila tirkah tidak memenuhi atau mayit tidak meninggalkan
harta sama sekali, maka tidak ada kewajiban apa pun bagi wali/ahli waris, baik berpuasa
untuk mayit atau membayar fidyah, namun hukumnya sunah (Syekh Nawawi al-Bantani, Qut
al-Habib al-Gharib, hal. 221-222).

5. Orang yang mengakhirkan qadha Ramadhan


Orang yang menunda-nunda qadha puasa Ramadhan—padahal ia memungkinkan untuk
segera mengqadha—sampai datang Ramadhan berikutnya, maka ia berdosa dan wajib
membayar fidyah satu mud makanan pokok untuk per hari puasa yang ditinggalkan. Fidyah
ini diwajibkan sebagai ganjaran atas keterlambatan mengqadha puasa Ramadhan.

Berbeda dengan orang yang tidak memungkinkan mengqadha, semisal uzur sakit atau
perjalanannya (safar) berlanjut hingga memasuki Ramadhan berikutnya, maka tidak ada
kewajiban fidyah baginya, ia hanya diwajibkan mengqadha puasa.

Menurut pendapat al-Ashah, fidyah kategori ini menjadi berlipat ganda dengan berlalunya
putaran tahun. Semisal orang punya tanggungan qadha puasa sehari di tahun 2018, ia tidak
kunjung mengqadha sampai masuk Ramadhan tahun 2020, maka dengan berlalunya dua
tahun (dua kali putaran Ramadhan), kewajiban fidyah berlipat ganda menjadi dua mud.

Syekh Jalaluddin al-Mahalli menjelaskan:


(‫بأن كان مقيما صحيحا )ومن أخر قضاء رمضان مع إمكانه‬.
(‫وأثم كما ذكره في شرح المهذب وذكر فيه أنه يلزم المد بمجرد )حتى دخل رمضان آخر لزمه مع القضاء لكل يوم مد‬
‫ ألن‬،‫ بأن استمر مسافرا أو مريضا حتى دخل رمضان فال شيء عليه بالتأخير‬،‫ أما من لم يمكنه القضاء‬،‫دخول رمضان‬
‫تأخير األداء بهذا العذر جائز فتأخير القضاء أولى بالجواز‬.

“Orang yang mengakhirkan qadha Ramadhan padahal imkan (ada kesempatan), sekira ia
mukim dan sehat, hingga masuk Ramadhan yang lain, maka selain qadha ia wajib membayar
satu mud makanan setiap hari puasa yang ditinggalkan, dan orang tersebut berdosa seperti
yang disebutkan al-Imam al-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab. Di dalam kitab tersebut,
beliau juga menyebut bahwa satu mud makanan diwajibkan dengan masuknya bulan
Ramadhan. Adapun orang yang tidak imkan mengqadha, semisal ia senantiasa bepergian
atau sakit hingga masuk Ramadhan berikutnya, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya
dengan keterlambatan mengqadha. Sebab mengakhirkan puasa ada’ disebabkan uzur
baginya adalah boleh, maka mengakhirkan qadha tentu lebih boleh”.

(‫ (بتكرر السنين) والثاني ال يتكرر أي يكفي المد عن كل السنين )واألصح تكرره‬.‫أي المد‬.

“Menurut pendapat al-ashah, satu mud menjadi berlipat ganda dengan berlipatnya
beberapa tahun. Menurut pendapat kedua, tidak menjadi berlipat ganda, maksudnya cukup
membayar satu mud dari beberapa tahun yang terlewat”. (Syekh Jalaluddin al-Mahalli, Kanz
al-Raghibin, juz 2, hal. 87).

Kadar dan Jenis Fidyah


Kadar dan jenis fidyah yang ditunaikan adalah satu mud makanan pokok untuk setiap hari
puasa yang ditinggalkan. Makanan pokok bagi mayoritas masyarakat Indonesia adalah
beras. Ukuran mud bila dikonversikan ke dalam hitungan gram adalah 675 gram atau 6,75
ons. Hal ini berpijak pada hitungan yang masyhur, di antaranya disebutkan oleh Syekh
Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu. Sementara menurut hitungan
Syekh Ali Jumah dalam kitab al-Makayil wa al-Mawazin al-Syar’iyyah, satu mud adalah 510
gram atau 5,10 ons.

Alokasi Fidyah
Fidyah wajib diberikan kepada fakir atau miskin, tidak diperbolehkan untuk golongan
mustahiq zakat yang lain, terlebih kepada orang kaya.
Alokasi fidyah berbeda dengan zakat, karena nash Al-Qur’an dalam konteks fidyah hanya
menyebut miskin “fa fidyatun tha‘âmu miskin” (QS al-Baqarah ayat 184). Sedangkan fakir
dianalogikan dengan miskin dengan pola qiyas aulawi (qiyas yang lebih utama), sebab
kondisi fakir lebih parah daripada miskin (Syekh Khothib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz
2, hal. 176).

Per satu mud untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan merupakan ibadah yang
terpisah/independen, oleh karenanya diperbolehkan mengalokasikan beberapa mud untuk
beberapa puasa yang ditinggalkan kepada satu orang fakir/miskin. Semisal fidyah puasa
orang mati 10 hari, maka 10 mud semuanya boleh diberikan kepada satu orang miskin.

Berbeda halnya dengan satu mud untuk jatah pembayaran fidyah sehari, tidak
diperbolehkan diberikan kepada dua orang atau lebih. Semisal fidyah puasa wanita
menyusui 1 hari, maka satu mud fidyah tidak boleh dibagi dua untuk diberikan kepada dua
orang fakir. Begitu juga, fidyah puasa ibu hamil 2 hari tidak cukup diberikan kepada 4 orang
miskin.

Syekh Khathib al-Syarbini menjelaskan:

(‫ بخالف المد )وله صرف أمداد‬،‫ فاألمداد بمنزلة الكفارات‬،‫من الفدية (إلى شخص واحد) ألن كل يوم عبادة مستقلة‬
‫ وقد أوجب هللا تعالى صرف الفدية إلى الواحد فال ينقص‬،‫الواحد فإنه ال يجوز صرفه إلى شخصين؛ ألن كل مد فدية تامة‬
‫عنها‬
“Boleh mengalokasikan beberapa mud dari fidyah kepada satu orang, sebab masing-masing
hari adalah ibadah yang menyendiri, maka beberapa mud diposisikan seperti beberapa
kafarat, berbeda dengan satu mud (untuk sehari), maka tidak boleh diberikan kepada dua
orang, sebab setiap mud adalah fidyah yang sempurna. Allah telah mewajibkan alokasi
fidyah kepada satu orang, sehingga tidak boleh kurang dari jumlah tersebut”. (Syekh
Khothib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal. 176).

Tata Cara Niat Fidyah


Fidyah adalah ibadah yang berkaitan dengan harta, sehingga disyaratkan niat dalam
pelaksanaannya seperti zakat dan kafarat.

Disebutkan dalam himpunan fatwa Imam Muhammad al-Ramli:


(‫هل يلزم الشيخ الهرم إذا عجز عن الصوم وأخرج الفدية النية أم ال )سئل‬

“Imam al-Ramli ditanya, apakah orang tua renta yang lemah berpuasa dan mengeluarkan
fidyah wajib niat atau tidak?

(‫بأنه تلزمه النية ألن الفدية عبادة مالية كالزكاة والكفارة فينوي بها الفدية لفطره )فأجاب‬

“Imam al-Ramli menjawab bahwa ia wajib niat fidyah, sebab fidyah adalah ibadah harta
seperti zakat dan kafarat, maka niatkanlah mengeluarkan fidyah karena tidak berpuasa
Ramadhan” (Syekh Muhammad al-Ramli, Fatawa al-Ramli, juz 2, hal. 74).

Berikut contoh tata cara niat dalam penunaian fidyah:


● Contoh niat fidyah puasa bagi orang sakit keras dan orang tua renta:

‫َن َوي ُ َأ ُأ‬


‫ان َفرْ ضً ا هلِل ِ َت َعالَى‬
َ ‫ض‬َ ‫ص ْو ِم َر َم‬ ِ ‫ْت نْ ْخ ِر َج ٰه ِذ ِه ْالف ِْد َي َة ِإل ْف َط‬
َ ‫ار‬
“Aku niat mengeluarkan fidyah ini karena berbuka puasa di bulan Ramadhan, fardhu karena
Allah.”
● Contoh niat fidyah bagi wanita hamil atau menyusui:

‫ان ل ِْل َخ ْوفِ َعلَى َولَدِيْ َفرْ ضً ا هلِل ِ َت َعالَى‬ ‫َن َوي ُ َأ ُأ‬
َ ‫ض‬َ ‫ص ْو ِم َر َم‬ ِ ‫ْت نْ ْخ ِر َج ٰه ِذ ِه ْالف ِْد َي َة َعنْ ِإ ْف َط‬
َ ‫ار‬
“Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan berbuka puasa Ramadhan karena
khawatir keselamatan anaku, fardhu karena Allah.”
● Contoh niat fidyah puasa orang mati (dilakukan oleh wali/ahli waris):

‫ْن فُاَل ٍن َفرْ ضًا هلِل ِ َت َعالَى‬


ِ ‫ان فُاَل ِن ب‬
ِ ‫ض‬ َ ْ‫ْت َأنْ ُأ ْخ ِر َج ٰه ِذ ِه ْالف ِْد َي َة َعن‬
َ ‫ص ْو ِم َر َم‬ ُ ‫َن َوي‬
“Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan puasa Ramadhan untuk Fulan bin Fulan
(disebutkan nama mayitnya), fardhu karena Allah”.
● Contoh niat fidyah karena terlambat mengqadha puasa Ramadhan

‫ان َفرْ ضً ا هلِل ِ َت َعالَى‬


َ ‫ض‬َ ‫ص ْو ِم َر َم‬ َ ‫ْت َأنْ ُأ ْخ ِر َج ٰه ِذ ِه ْالف ِْد َي َة َعنْ َتْأ ِخي ِْر َق‬
َ ‫ضا ِء‬ ُ ‫َن َوي‬
“Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan keterlambatan mengqadha puasa
Ramadhan, fardhu karena Allah”.

Niat fidyah boleh dilakukan saat menyerahkan kepada fakir/miskin, saat memberikan
kepada wakil atau setelah memisahkan beras yang hendak ditunaikan sebagai fidyah. Hal ini
sebagaimana ketentuan dalam bab zakat.

Waktu Mengeluarkan Fidyah


Fidyah puasa untuk orang mati diperbolehkan dilakukan kapan saja, tidak ada ketentuan
waktu khusus dalam fiqih turats. Sedangkan fidyah puasa bagi orang sakit keras, tua renta
dan ibu hamil/menyusui diperbolehkan dikeluarkan setelah subuh untuk setiap hari puasa,
boleh juga setelah terbenamnya matahari di malam harinya, bahkan lebih utama di
permulaan malam. Boleh juga diakhirkan di hari berikutnya atau bahkan di luar bulan
Ramadhan.

Tidak cukup mengeluarkan fidyah sebelum Ramadhan, juga tidak sah sebelum memasuki
waktu maghrib untuk setiap hari puasa. Ringkasnya, waktu pelaksanaan fidyah minimal
sudah memasuki malam hari (terbenamnya matahari) untuk setiap hari puasa, boleh juga
dilakukan setelah waktu tersebut.

Al-Imam Muhammad al-Ramli pernah ditanya perihal tata cara niat fidyah bagi orang tua
renta sebagai berikut:
‫وما كيفيتها وما كيفية إخراج الفدية هل يتعين إخراج فدية كل يوم فيه أو يجوز إخراج فدية جميع رمضان دفعة سواء‬
‫كان في أوله أو في وسطه أو ال؟‬
“Bagaimana cara niat fidyah? Bagaimana cara mengeluarkan fidyah, apakah menjadi
keharusan mengeluarkan fidyah setiap hari di dalam hari tersebut? Apakah boleh
mengeluarkan fidyah keseluruhan Ramadhan dengan sekaligus, di awal Ramadhan atau
tengahnya?”.

Beliau menjawab:
‫ويتخير في إخراجها بين تأخيرها وبين إخراج فدية كل يوم فيه أو بعد فراغه وال يجوز تعجيل ش يء منه ا لم ا في ه من‬
‫تقديمها على وجوبه ألنه فطرة‬.

Ia (orang tua renta) diperkenankan memilih antara mengakhirkan penunaian fidyah dan
mengeluarkan fidyah di setiap harinya, di dalam hari tersebut atau setelah selesainya hari
tersebut. Tidak boleh mempercepat fidyah dari waktu-waktu tersebut, sebab terdapat unsur
mendahulukan fidyah dari kewajibannya seseorang, yaitu berbuka puasa” (Syekh
Muhammad al-Ramli, Fatawa al-Ramli, juz 2, hal. 74).

Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani menjelaskan:

(‫للهرم والزمن ومسن اشتدت مشقة الصوم علیه وللحامل والمرضع (تعجيل المد قبل رمضان) بل ال يجوز )وال يجوز‬
،‫ (ويجوز) التعجيل (بعد فجر كل يوم) من رمضان‬.‫ كما ال يجوز تعجيل الزكاة لعامين‬،‫تعجیل فدية يوم قبل دخول ليلته‬
‫بل يجوز بعد غروب الشمس في ليلة كل يوم بل يندب في أول ليلة‬

“Tidak boleh bagi orang sangat tua, orang pincang, orang berumur yang mengalami
kepayahan berpuasa, ibu hamil dan ibu menyusui, mempercepat penunaian fidyah satu
mud sebelum Ramadhan, bahkan tidak boleh mempercepat fidyah untuk hari tertentu
sebelum memasuki malamnya, sebagaimana tidak boleh mempercepat penunaian zakat
untuk masa dua tahun. Boleh mempercepat fidyah setelah terbitnya fajar pada masing-
masing hari dari bulan Ramadhan, bahkan boleh mempercepat fidyah setelah terbenamnya
matahari di waktu malam untuk setiap harinya, bahkan sunah ditunaikan di permulaan
malam”. (Syekh Nawawi al-Bantani, Qut al-Habib al-Gharib, hal. 223).

Fidyah dengan Uang


Sebagaimana penjelasan di atas, harta yang dikeluarkan untuk fidyah disyaratkan berupa
makanan pokok daerah setempat. Tidak cukup menggunakan harta jenis lain yang bukan
merupakan makanan pokok, semisal uang, daging, tempe, dan lain-lain. Ini adalah pendapat
mayorits ulama mazhab empat, yaitu Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.

Pendapat ini berargumen dengan nash syariat yang secara tegas memerintahkan untuk
memberi makanan pokok kepada fakir/miskin, bukan memberi jenis lain (Syekh Wahbah al-
Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu, juz 9, hal. 7156).

Sedangkan menurut Hanafiyah, fidyah boleh ditunaikan dalam bentuk qimah (nominal) yang
setara dengan makanan yang dijelaskan dalam nash Al-Qur’an atau hadits, misalnya
ditunaikan dalam bentuk uang. Ulama Hanafiyyah cenderung lebih longgar memahami teks-
teks dalil agama yang mewajibkan pemberian makan kepada fakir miskin. Menurutnya,
maksud pemberian makanan untuk fakir miskin adalah memenuhi kebutuhan mereka, dan
tujuan tersebut bisa tercapai dengan membayar qimah (nominal harta) yang sebanding
dengan makanan. (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu, juz 9, hal.
7156).

Konsep jenis makanan pokok yang dinominalkan versi Hanafiyyah terbatas pada jenis-jenis
makanan yang tercantum secara eksplisit dalam hadits Nabi, yaitu kurma, al-burr
(gandum)/tepungnya, anggur, dan al-sya’ir (jerawut). Hanafiyyah tidak memakai standar
makanan pokok sesuai daerah masing-masing.

Adapun kadarnya adalah satu sha’ untuk jenis kurma, jerawut, dan anggur (menurut
sebagian pendapat, kadarnya anggur adalah setengah sha’). Sedangkan gandum atau
tepungnya adalah setengah sha’ untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Ringkasnya,
ketentuan kadar, jenis dan kebolehan menunaikan qimah dalam fidyah menurut perspektif
Hanafiyah sama dengan ketentuan dalam bab zakat fitrah (Syekh Ahmad bin Muhammad al-
Thahthawi al-Hanafi, Hasyiyah ‘ala Maraqil Falah, hal. 688).

Ukuran satu sha’ menurut Hanafiyyah menurut hitungan versi Syekh Ali Jum’ah dan
Muhammad Hasan adalah 3,25 kg, berarti setengah sha’ adalah 1,625 kg. Sedangkan
menurut hitungan versi Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqih al-Islami adalah 3,8 kg,
berarti setengah sha’ adalah 1,9 kg.

Dengan demikian, cara menunaikan fidyah dengan uang versi Hanafiyyah adalah nominal
uang yang sebanding dengan harga kurma, anggur atau jerawut, seberat satu sha’ (3,8 kg
atau 3,25 kg) untuk per hari puasa yang ditinggalkan, selebihnya berlaku kelipatan puasa
yang ditinggalkan. Bisa juga memakai nominal gandum atau tepungnya seberat setengah
sha’ (1,9 kg atau 1,625 kg) untuk per hari puasa yang ditinggalkan, selebihnya berlaku
kelipatan puasa yang ditinggalkan.

Anda mungkin juga menyukai