Anda di halaman 1dari 6

1

Hubungan Al-Hadis dengan Hukum Islam atau Syari’at Islam

A. Al-Hadis Sebagai Sumber Tasyri’

Ulama Islam sepakat bahwasanya hadis adalah sumber kedua dalam legislasi
hukum Islam (al-Tasyri’ al-Islamiy). Dari hadis para ulama beristinbat aneka hukum
syariah, akhlak, tradisi dan ilmu pengetahuan. Hadis adalah wahyu Allah yang diturukan
kepada Nabi terakhir Muhammad saw. yang harus diteladani oleh umatnya.1
Sebelum membahas mengenai hadis sebagai sumber tasyri’, perlu kiranya untuk
mengingat kembali pengertian hadis didalam syara’. Hadis didalam syara’
memiliki pengertian yang berbeda-beda.2

1. Menurut ulama hadis :

‫ او صفة‬,‫ او تقريرا‬, ‫ او فعال‬,‫ او الى من دونه قوال‬, ‫ الى صحابي‬: ‫ قيل‬, ‫كل ما اضيف الى النبي‬

2. Menurut ulama ushul fiqh :

‫ او تقرير مما يصلح ان يكون دليال لحكم‬,‫او فعل‬,‫كل ما صدر عن النبي غير القرأن الكريم من قول‬

‫شرعي ألن موضوع عنايتهم البحث عن األدلة الشرعية‬

3. Menurut ulama fikih :

‫ )الطريقة المسلوكة في‬: ‫كل حكم ما ثبت عن النبي و لم يكن من باب الفرض و ال الواجب فهي‬

‫الدين من غير افتراض و ال وجوب( الن مهمتهم البحث عن االحكام الشرعية من فرض و واجب‬

‫و مندوب و حرام ومكروه و معرفة افراد كل حكم‬

1
Hal ini sebagaimana tersurat dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti an-Najm: 4, al-Hasyr:7, an-Nisa`: 8, al-
Ahzab: 38, an-Nur: 54 Ali ‘Imran: 31, al-A’raf: 158 dan lainnya
2
Sayyid Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki al-Makki al-Hasani, Manhal Al-Latif fi Usul Al-Hadis
Syarifah, (Dar al-Rahmah al-Islami) hlm. 10.
2

Dari beberapa pemaparan definisi diatas, diketahui bahwa hadis sebagai sumber
tasyri memiliki definisi yang berbeda-beda, hal ini disebabkan berbedanya objek yang
dibahas dalam tiap definisi tersebut.

Di dalam kitab tarikh al-fiqh al-islami dijelaskan bahwa hadis merupakan sumber
hukum islam kedua setelah al-Qur’an. Hadis berperan sebagai alat atau kunci untuk
meyingkap hakikat-hakikat yang terdapat dalam Al-quran serta untuk mengetahui hal-hal
mendetail yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an. Hadis juga menjadi alat untuk
menjelaskan perintah-perintah serta larangan-larangan yang terdapat dalam al-Qur’an. Hal
ini berdasarkan firman Allah swt dalam surat Al-Maidah ayat 67: 2

َ ْ ُ ‫ٰٓ َ ُّ َ َّ ُ ْ ُ َ ْ َ ُ ْ َ َ ْ َ ْ َّ َ َ ْ َّ ْ َ ْ َ ْ َ َ ََّ ْ َ ٰ َ َ ٗ َ ه‬
‫ّٰلل َيع ِّص ُمك ِّم َن‬ ‫۞ يايها الرسول ب ِّلغ م ٓا ان ِّزل ِّاليك ِّمن ر ِّبكۗواِّ ن لم تفعل فما بلغت ِّرسلتهۗوا‬

ٰ ْ َ ْ َْ َ َ ‫َّ ه‬ َّ
٦٧ ‫اّٰلل لا َي ْه ِّدى القوم الك ِّف ِّرين‬
َ ْ ‫اسۗ ِّان‬
ِّ ‫الن‬

”Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika engkau tidak
melakukan (apa yang diperintahkan itu), berarti engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.
Allah menjaga engkau dari (gangguan) manusia.220) Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada kaum yang kafir”.

Selain itu, dalam kitab Manhal Al-Latif karya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Al-Hasani, juga menjelaskan beberapa fungsi dari hadis sebagai sumber tasyri’.

1. Menjadi penjelas terhadap kemujmalan al-Qur’an


2. Membatasi kemutlakan al-Qur’an
3. Menghususkan keumuman al-Qur’an
4. Menjelaskan hal yang masih musykil dalam al-Qur’an

Oleh karena hadis merupakan sumber tasyri’ kedua setelah al-Qur’an, maka wajib
untuk mengikuti hadis, merujuknya sebagai sumber hukum serta menjadikannya sebagai
pedoman.3

2
Muhammad ‘Ali al-Sayis,Tarikh Al-Fiqh Al-Islami, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah) hlm. 35.
3
Sayyid Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki al-Makki al-Hasani, Manhal Al-Latif fi Usul Al-Hadis
Syarifah, (Dar al-Rahmah al-Islami) hlm. 11.
5
Musa Syahin, As-Sunnah wa at-Tasyri’, (Majalah al-Azhar 1411) hlm. 11.
3

B. Al-Hadis Tasyri’ dan Ghairu Tasyri’

Menurut Musa Syahin, pencetus dari pemetaan sunnah/hadis tasyri’iyah dan ghairu
tasyri’iyah adalah Syaikh Mahmud Syaltut. Dalam bukunya al-Islam aqidah wa syari’ah
Syaltut membahas permasalahan ini secara khusus hingga menjadi rujukan para ulama dan
pemikir setelahnya. Sampai dikatakan oleh Syahin bahwa permasalahan sunnah semuanya
bernilai tasyri’ telah menjadi pemahaman tetap selama empat belas abad yang lalu hingga
pada paruh kedua abad lima belas Hijriyah dan Syaltut adalah orang pertama yang
membuat distingsi sunnah tasyri’iyah dan ghairu tasyri’iyah ini. 5
Istilah sunnah ghairu tasyri’iyah memang masih diperdebatkan, ada yang pro yang
memberikan beberapa definisi dan ada yang kontra yang menganggap istilah sunnah ghairu
tasyri’iyah itu tidak dikenal pada masa salaf al-salih, ia hanya rekayasa kaum modernis
dan rasionalis. Namun setelah dilakukan kajian yang mendalam ada beberapa ulama yang
mendukung pemahaman tentang adanya sunah ghairu tasyri’iyyah, namun mereka
berbeda-beda dalam mendefinisikan sunnah ghairu tasri’iyah itu sendiri. Bukan tanpa
alasan, dikarenakan tidak ada rambu-rambu yang jelas yang dapat dijadikan pedoman
untuk distingsi sunnah tasyri’iyah dan ghairu tasyri’iyah.

Maka dari itu, masing-masing memiliki standar yang berbeda dan tidak ada
kesepakatan bersama dalam memberikan satu definisi yang jelas (jami’ mani’). Ada
beberapa istilah yang dipakai para ulama yang dapat di katagorikan sunnah ghairu
tasyri’iyyah yaitu sunnah yang tidak harus diteladani (sunnah laisa fihi uswah), sunnah
yang tidak harus ditiru (laisa fihi ta’assin) sunnah yang tidak harus diikuti (la biha Iqtida’),
sunnah yang tidak mengandung taqarrub kepada Allah (laisat bi qurbah), la istimsaka bih
dan lain-lain.

Dari berbagai definisi yang sudah dikaji dan ditinjau dari berbagai aspeknya bahwa
sunnah ghairu tasyri’iyah adalah sunnah Nabi yang tidak memiliki ketetapan hukum yang
mengikat, yang berkaitan dengan perintah dan larangan Nabi yang bersifat anjuran (al-
Irsyad), perbuatan Nabi murni (al- Fi’l al- Mujarrad) tanpa ada indikasi (qarinah) ibadah,
perbuatan nabi sebagai manusia (al-Fi’l al-Jibilly), perbuatan dan perkataan Nabi yang
berdasarkan pengalaman (at-Tajribah), Hadits-hadits nabi terkait dengan resep-resep
4

kedokteran (at-Tibb an-Nabawy), Hadits-hadits nabi terkait dengan transaksi niaga dan
bisnis yang tidak tersebut dalam Al-Qur’an dan perbuatan dan perkataan Nabi dalam
kapasitas sebagai kepala Negara dan Hakim (al-Imam wa al-Qadhi).

Contoh hadis ghairu tasyri’, yaitu hadis dalam konteks Nabi dalam kapasitas
sebagai manusia :
4
‫ان‬ َ ‫ان أَ ْخ‬
ِ ‫ض َر‬ َ ‫س َّل َم َو‬
ِ ‫ع َل ْي ِه ب ُْر َد‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ ُ َّ ‫ص َّلى‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ َرأَيْتُ َر‬:َ‫ قَال‬،َ‫ع ْن أَ ِبي ِر ْمثَة‬
َ ِ‫سو َل هللا‬ َ

“Abu Rimtsah berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW berkhutbah dengan memakai dua
selendang yang berwarna hijau.” (HR. Al-Tirmidzi)

Sementara itu, Sikap umum umat Islam memandang bahwa hadits yang terumuskan
dari sunnah yang hidup saat itu mempunyai harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar lagi
dan para ulama salaf pun kurang memiliki perhatian khusus dalam kajian tentang sunnah
tasyri’iyyah dan ghairu tasyri’iyah. Mereka cenderung memandang semua sunnah sebagai
syari’at yang berketetapan hukum (al- Sunnah Kulluha Tasyri’). Mereka cenderung pada
generalisasi sunnah sebagai syari’at atau kebenaran mutlak dan sebagai produk jadi (taken
for granted). Sehingga pada gilirannya sulit membedakan mana sunnah yang bersifat
mutlak-terutama yang berkaitan dengan akidah dan ibadah yang terbebas dari ikatan ruang
dan waktu, dan mana sunnah yang bersifat nisbi terkait muamalat, pengalaman pribadi dan
tradisi atau kultur lokal Arab yang terikat oleh ruang dan waktu.

Dengan gagasannya as-Sunnah kulluha tasyri’, Musa Syahin menginginkan adanya


pemahaman yang lurus dan benar terhadap kontruksi sunnah yang sudah mapan. Sehingga
tak ada lagi pergeseran dalam term sunnah dan agar tidak ada dikotomi dan pengkotakan
sunnah. Jika ditilik dari awal mula klasifikasi sunnah ke dalam dua istilah tersebut adalah
disebabkan missunderstanding (su` al-Fahm) atau perbedaan sudut pandang point of view
(wijhat an-Nadhar) dalam memahami sunnah itu sendiri.

Terminologi ghairu tasyri’iyah dalam banyak hal mengandung kesan stigmatik,


terutama tatkala dihadapkan kepada konstruksi dasar pengetahuan konservatif dalam
memahami agama Islam, karena ini mengakibatkan pergeseran pemahaman sunnah yang

4
Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Beirut: Dar Garb al-Islami 1998). 416/4
5

sudah baku dikalangan para generasi pendahulu (salaf ummah). Mereka tidak mengenal
istilah ini, bahkan pencetusnya bisa dianggap telah mengada-ada (bid’ah) serta
mengesampingkan dimensi sunnah yang menyeluruh dan komplit (syamilah wa
mutakamilah) . Sunnah yang harus disampaikan kepada satu setengah milyar umat Islam
di penjuru bumi yang memiliki aneka ragam latar belakang, tradisi, kultur dan budaya.

C. Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan hadis dengan lahirnya
hukum islam adalah hubungan yang niscaya. Dalam artian, hukum islam tidak akan lahir
tanpa dikaitkan/dihubungkan dengan hadis. Hal ini, mengindikasikan bahwa eksistensi
hadis dalam penetapan hukum islam sangat diperlukan.
6

Daftar Pustaka

Muhammad ‘Ali al-Sayis,Tarikh Al-Fiqh Al-Islami, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah).


Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Beirut: Dar Garb al-Islami 1998).
Musa Syahin, As-Sunnah wa at-Tasyri’, (Majalah al-Azhar 1411).
Sayyid Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki al-Makki al-Hasani, Manhal Al-Latif fi Usul
Al-Hadis Syarifah, (Dar al-Rahmah al-Islami).
Sayyid Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki al-Makki al-Hasani, Manhal Al-Latif fi Usul
Al-Hadis Syarifah, (Dar al-Rahmah al-Islami).

Anda mungkin juga menyukai