dan Sunah yang merupakan sumber hukum Islam yang utama dan
terutama mengandung nilai-nilai normatif dan nilai-nilai etik yang
berfungsi sebagai guidance bagi kehidupan manusia dalam
menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasulullah saw. bersabda
:
ٖ٤ج٤ٌْ ش٤ طشًض ك: ٍ عِْ هخٝ ٚـ٤ِ َّللا ػـ٠ٍِ َّللا طٞشس إٔ سعـ٣ـشٛ ٠ػٖ أر
231 )ًْ حُلـخٙحٝ (س٠ ع٘ظٝ ٔخ ًظخد َّللاٛح رؼذُِٖٞ طؼ
Artinya : Aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua hal yang kamu
sekalian tidak akan tersesat setelah (berpegang) keduanya,
yaitu Kitab Allah dan Sunahku.
231Al-Suyuthi, al-Jami‘ al-Shaghir, Juz I (t.tp.: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 130.
ِ ْ ُْ ٌُ َُ ض٤
ِٖ َٔ ًَ٘خ ك٣حْلع ًَْل َّ ِد ُ ػ ِ َسَٝ ٢ِ ٌُ ْْ ِٗ ْؼ َٔظ٤ْ َِض َػ ُ ِْ َٔ ًْ َْ َّ أَٞ٤ُْح
ُ ْٔ َٔ أَ ْطَٝ ْْ ٌُ َ٘٣ض َُ ٌُ ْْ ِد
َّ َّٕ ِ ق ِ ِْل ْػ ٍْ كَب
.ٌْ ٤ ٌس َس ِكُٞﷲَ َؿل ٍ ِٗ َْش ُٓظَ َـخ٤ظ ٍش َؿ َ َٔ َٓ ْخ٢ِحػْ طُ َّش ك
232Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, terj. Ahmad Sudjono, cet. ke-2
(Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 32.
ٖٔ٤ُ ح٠ُ اٚ ُٔخ رؼؼ- ِْعٝ ٚ٤ِ َّللا ػ٠ِ ط- ٍ َّللاٞػٖ ٓؼخر رٖ ؿزَ إٔ سع
ُْ ٕ كب:ٍ هخ، رٌظخد َّللا٢ أهؼ:ٍ ارح ػشع ُي هؼخء؟ هخ٢ق طوؼ٤ً :ٍهخ
ٍ َّللا؟ٞ ع٘ش سع٢ كبٕ ُْ طـذ ك:ٍ هخ، ٍ َّللاٞ كزغ٘ش سع:ٍ ًظخد َّللا؟ هخ٢طـذ ك
٢شػ٣ ٍ َّللا ُٔخٍٞ سعٞكن سعٝ ١ حُلٔذ َّلل حُز:ٍهخٝ ٢٣ذ سأٜ أؿظ:ٍهخ
235 .ٍ َّللاٞسع
233Ibnu Khaldun menyatakan bahwa hal ihwal umat manusia, adat kebiasaan, dan
per-adabannya tidaklah pada satu gerak dan khittah yang tetap, melainkan berubah dan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan zaman dan keadaan. Adalah sebagaimana halnya
dengan manusia itu sendiri waktu dan tempat, maka keadaan itu terjadi pula pada dunia
dan negara. Sungguh bahwa sunnatullah berlaku pada hamba-Nya. Lihat Sobhi
Mahmassani, Filsafat, hlm. 160.
234Sa’di Abu Habib, Ensiklopedi Ijmak, terj. M. Sahal Mahfudz dan A. Mustofa Bisri,
cet. ke-5 (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2011), hlm. xxxv.
235Imam al-Turmudzi, al-Jami‘ al-Shahih Sunan al-Turmuzi (Beirut: Dar Ihya’ al-
Turats al-‘Arabi, t.t.), III: 616; Muhammad al-Khudari Beik, Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-
Fikr, 1988 M/ 1409 H), hlm. 4.
1. Pengertian Ijtihad
Dalam perspektif ilmu ushul fiqh, ijtihad diidentifikasi
sebagai berikut :
٠ِاِ َٓخ كَٝ َّ ِش٤ َدسْ ِى ْحْلَكْ ٌَ ِخّ حُ َّششْ ِػ٠ِْغ اِ َّٓخ ك ْ ْ ْ ُ ـشح
َ اِ ْعظِـ ْل
ِ عُٞ َُ ِش ح٣رَز ٍُ ؿَخَٝ ِذْٜ ؽ حُ ُـ
236 .َخِٜو٤ْ َِطزْ ط
2. Pengertian Mujtahid
Dalam kitab Jam‘u al-Jawami‘ disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan mujtahid itu adalah ahli fiqh.238 Meskipun tidak
dijelaskan siapa yang dimaksud dengan ahli fiqh, akan tetapi jika
dikaitkan dengan penjelasan terminologis fiqh yang tak lain adalah
pemahaman tentang hukum syarak yang diambil dari diperoleh dari
dalil-dalil yang terperinci berkenaan dengan perilaku seseorang,
maka dapat dikatakan bahwa mujtahid itu adalah seseorang yang
memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menggali hukum-hukum
syarak dari sumber aslinya, yaitu Alquran dan/atau Sunah.
Al-Jurjani dalam kitab al-Ta‘rifat juga menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan mujtahid adalah orang yang menguasai ilmu
Alquran dan ilmu tafsir yang sangat diperlukan dalam memahami
makna ayat-ayat Alquran, menguasai ilmu riwayah dan dirayah
hadis sehingga mempu menjelaskan maksud suatu hadis, mampu
melakukan penalaran analogis, dan tanggap terhadap problem-
problem kekinian.239
3. Syarat-syarat Mujtahid
Ali Abd al-Kafi as-Subuki dan Taj ad-Din as-Subuki dalam kitab
al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj menjelaskan kriteria mujtahid adalah: (a)
menguasai ilmu ‘aqliyah (bahasa, ushul fiqh, dan sebagainya) yang
dapat mempertajam akal dan nuraninya sehingga memiliki kapasitas
4. Macam-macam Mujtahid
Dalam literatur ilmu ushul fiqh, secara teoretis, kriteria
mujtahid dapat diklasifikasikan menjadi empat tingkatan sebagai
berikut.
a. Mujtahid mustaqill atau mujtahid mutlak, yaitu orang yang
mampu mengistinbatkan hukum suatu masalah secara langsung
dan independen dari sumber hukum aslinya, yaitu nas Alquran
dan Sunah melalui penalaran normatif secara deduktif-makro.
Apabila tidak mendapati sumber hukumnya dalam nas Alquran
dan Sunah, maka ia akan menggunakan segala metode ijtihad
seperti metode analogi (kias), istihsan, mashlahah al-mursalah,
dan sadd al-dzari‘ah. Mereka berijtihad dengan menggunakan
manhaj-nya sendiri, tidak mengikuti manhaj orang lain. Di
antara para ulama yang termasuk kategori ini dari kalangan
tabi’in adalah Sa’id bin al-Musayyab dan an-Nakha’i. Adapun dari
kalangan mujtahid mazhab adalah Ja’far ash-Shadiq, al-Baqir,
Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Auza’i,
Sufyan ats-Tsauri, dan lain sebagainya.
b. Mujtahid muntasib, yaitu orang-orang yang dalam berijtihad
bergantung dan menggunakan manhaj ulama lain tetapi memiliki
ketetapan hukum yang berbeda. Mereka ini adalah para ulama
pengikut mazhab tertentu, seperti pengikut Abu Hanifah, Malik,
al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Di antara ulama yang termasuk
kategori ini adalah Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan
Zufar dari pengikut Abu Hanifah; al-Muzni dari pengikut Mazhab
258Atho’ Mudzhar, “Fiqih dan Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam: Budi Munawar-
Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, cet. ke-1 (Jakarta: Yayasan
Wakaf Perdamaian, 1994), hlm. 369.
259Sa’di Abu Habib, al-Qamus, hlm. 13.
260Muhammad Sallam Madkur, Al-Qadha’ fi al-Islam (Kairo: Dar al-Nahdhah al-
‘Arabiyyah, t.t.), hlm. 11.
261Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.), hlm.
401.
262Abdul Azis Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, cet. ke-1 (Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 1996), hlm. 1.439.
263Ahamd Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-1 (Yogyakarta:
Gama Media, 2001), hlm. viii.