Anda di halaman 1dari 12

PERANAN SIYÂSAH SYAR’IYYAH

DALAM MEMAHAMI NAS-NAS AGAMA


Irwantoni
Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung
Jl. Endro Suratmin Sukarame Bandar lampung
E-mail: irwantoni@yahoo.com

Abstract: The Role Siyâsah Syar’iyyahin Understanding of Religion Nas. The debate over the
role of Siyâsah Syar’iyyah as one of the methods on determining the law of Islamhas become the
intellectual discourse among the scholars from long ago until present as it was stated in many
classic and contemporary literatures. This concise study is based on characteristics of ifrâth, tafrîth
and wasath in responding the position of Siyâsah Syar’iyyah. It is expected to facilitateMuslims
in understanding Islamic thought in an attempt to pursue the objective of Islam as it is stated in
Alquran dan sunnah.
Keywords: siyâsah syar‘iyyah, religion, ifrâth, tafrîth dan wasath

Abstrak: Peranan Siyâsah Syar‘iyyah dalam Memahami Nas-Nas Agama. Perdebatan peranan
siyâsah syar’iyyah sebagai salah satu metode penentuan hukum Islam telah menjadi intellectual
discourse para ulama dahulu dan masa kinisebagaimana yang termaktub di dalam banyak literatur
baik klasik maupun kontemporer.Kajian ringkas ini berasaskan pada pemahaman ciri-ciri dan
karakteristik golongan ifrâth, tafrîth dan wasath dalam merespon kedudukan siyâsah syar’iyyah.
Hal ini diharapkan dapa t membantu kaum Muslimin dalam memahami peta pemikiran Islam
yang nampak dalam realitas sosial dalam upaya menggapai cita-cita Islam sebagaimana terdapat
di dalam Alquran dan sunnah.
Kata Kunci: siyâsah syar‘iyyah, agama, ifrâth, tafrîth dan wasath

Pendahuluan yang memilih jalan keseimbangan antara dua


Di antara perbincangan yang menarik di golongan di atas dengan berpegangan pada
kalangan ulama adalah berkaitan dengan syarat-syarat dan kaidah-kaidah tertentu yang
realitas masyarakat Muslim dalam me­ dapat mendatangkan manfaat dan kebaikan
respon keberadaan siyâsah syar’iyyah yang serta menjamin keadilan bagi semua pihak.
dapat diklasifikasikan dalam tiga golongan. Fenomena ketiga thâifah dalam me­
Diskursus ketiga golongan tersebut adalah: respon siyâsah syar’iyyah tersebut sekaligus
Pertama, golongan ifrâth yang menolak secara mencerminkan sikap keberagamaan masya­
total siyâsah syar’iyyah sebagai metode hukum rakat Muslim dewasa ini dalam meng­
karena dipandang telah keluar dari landas­an apresiasi nas-nas agama, di mana sebagian
Islam. Kedua, golongan tafrîth yang meng­ mereka menafsirkan sumber-sumber hukum
ambil sikap berlebihan dalam pemakaian Islam dengan rigid dan literal, sementara
siyâsah syar‘iyyah. Ketiga, golongan wasath sebagian lagi terlalu bebas menyandarkan

267
268|  AL-‘ADALAH Vol. X, No. 3 Januari 2012

argumentasi agama yang berasaskan akal Alquran. Pengartiannya dapat ditemukan


manusia semata-mata. Sikap tafrîth ini dapat di dalam kitab Mufradât Alfâzh al-Qur’an
mengantarkan pada sebuah prinsip liberal karya al-Raghîb al-Asfahanî.1
yakni cara pandang umat Islam pada agama­ Kata ifrâth diambil dari kata afratha-
nya sama seperti cara Barat atau Timur yufrithu-ifrâth,dan tafrîth diambil dari kata
dalam memahami agama mereka. Dalam farratha yufarrithu-tafrîth, yang artinya
artian, mereka memandang agamanya dengan me­lampaui batas, melewati kadar yang se­
mendahulukan keraguan akan authenticity benarnya, menerjang nilai-nilai yang se­
teks-teks agama mereka. harusnya dijadikan sandaran, baik dalam
Keadaan ini pada satu segi menunjuk­ bentuk perkataan maupun perbuatan.
kan dinamika positif dengan kemajemukan Seseorang yang terlalu menyokong sesuatu
khazânah fikriyyah umat dan semangat kuat secara ekstrim disebut “ifrâth”, sebaliknya
dalam mendalami ajaran agama. Tetapi, tidak jika ia terlalu mengabaikannya, maka disebut
dapat dielakkan adanya implikasi lain, yakni “tafrîth”. Dalam Alquran, menurut Imâni
wujudnya perpecahan umat dengan makin al-Asfahanî, setiap ungkapan “mâ farrath-
maraknya golongan yang menonjolkan klaim thu fî kadzâ” artinya mâ qashshartu (terlalu
kebenaran (truth claim) sehingga meng­ mengabaikan atau melalaikan), seperti “mâ
ganggu hubungan ukhuwwah di antara umat farrathnâ fî al-kitab” (Q.s. al-An’âm [6]:
yang sepatutnya terjalin harmonis, meskipun 38), “mâ farraththu fî janbillah” (Q.s. az-
wasîlah dan kaifiyyah (cara) dalam beragama Zumar [39]: 56), dan “mâ farraththum fî
boleh saja berbeda. Yûsuf” (Q.s Yûsuf [12]: 80).
Tulisan ini menekankan pentingnya Biasanya orang Arab dalam menggambar­
pemahaman terhadap teks-teks agama yang kan luapan air yang terbuang mengatakan
menggunakan pendekatan siyâsah syar’iyyah “afrathul qirbata” (saya memenuhi kantung
sebagai sebuah metode dalam penerapan air yang terbuat dari kulit sampai meluap).
hukum Islam. Dalam memahami hukum Luapan yang terbuang ini disebut kesia-siaan
Islam, pandangan ulama diwarnai juga dalam Alquran, seperti “wa kâna amruhu
dengan ijtihad al-thûfî tentang maslahat, juruthâ” (Q.s. al-Kahfî [18]: 28).
yang dianggap sebagian cendekiawan Adapun wasath dalam bahasa Inggris
Muslim cukup kontroversial dan menjadi disebut moderate yang bermakna mengambil
diskursus keilmuan yang seolah-olah tiada sikap tengah, tidak berlebih-lebihan pada
henti dibicarakan dalam pelbagai forum. satu posisi tertentu. la berada pada titik
Namun, secara umum, para ulama tersebut sikap yang tegak lurus dengan kebenaran.
menganalisis kedudukan siyâsah syar’iyyah dan Moderator adalah seorang penengah, yang
diferensiasi umat Islam yang disederhanakan mampu menyatukan dua kubu persoalan
dalam cara pandang tafrîth, ifrâth dan wasath. secara seimbang dan harmonis, tanpa
Kemudian, untuk memudahkan pembumian mengorbankan nilai-nilai kebenaran.
analisis dalam konteks keindonesiaan, tulisan Sementara dalam bahasa Arab, per­
ini turut menghadirkan gagasan-gagasan tengahan disebut al-wasath. Imam al-
segar dari sebagian intelektual Muslim Asfahanî mengartikan sebagai titik tengah,
Indonesia seperti Kuntowijoyo, Munawir seimbang tidak terlalu ke kanan (ifrâth) dan
Syadzali, Amir Faisal Path dan pemikir- tidak terlalu ke kiri (tafrîth), di dalamnya
pemikir lainnya. terkandung makna keadilan, keistiqamahan,
kebaikan, keamanan dan kekuatan. Istilah
Mengurai Makna Ifrâth, Tafrîth dan
Wasath
Istilah ifrâth, tafrîth, dan wasath sebagian 1
Al-Râghib al-Asfahâni, Mufradât Alfâzh Alquran, ditahqiq
penggunaannya telah dijelaskan di dalam Sofwan Adnân Dawudi, cet. 1, (Dimaskus: Dâr al-Qalam dan
Beirût: Dâr asy-Syâmiyah, 1412 H/1992 M.
Irwantoni: Peranan Siyâsah Syar’iyyah dalam Memahami Nas-Nas Agama  |269

wasath dapat ditemukan dalam firman Allah “walladzîna idzâ anfaqû lam yusriju walam
Q.s. al-Baqarah [2]: 143 yang berbunyi: yaqturû” (Q.s. al-Furqân [25]: 67), “walâ
ta’kulû isrâfan wabidâran” (Q.s. an-Nisâ’
[3]: 6 ). Terkadang isrâf menurut Asfahanî
didukung al-Fairuz ‘Abadi juga disebut dalam
penggunaan harta di jalan kemaksiatan, baik
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan sedikit maupun banyak.
kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan Allah berfirman, “walâ tusrifû innahû
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) lâ yuhib al musrifîn”, yang berarti “Dan
manusia dan agar Rasul (Muhammad) janganlah kalian berlebih-lebihan, sesungguh­
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. nya Allah tidak suka orang yang berlebih-
Menurut Amir Faisal Path,2 ifrâth dan lebihan”. (Q.s. al-An’âm [6]: 141). Ayat di
tafrîth juga berarti al-ghuluw, melampaui atas mengandung arti bahwa menggunakan
batas, tidak mengikuti fitrah, membebani harta bukan pada ketaatan kepada Allah.
diri dengan sesuatu keyakinan yang di Dalam ayat lain, “wa annal musrifîn hum
luar kemampuannya. Dikatakan ghalâ ashâb al-nâr”. (Q.s. Ghâfir [40]: 43).
fulân fî al-amri wa al-dîn, mengandung Al-Asfahanî menerangkan bahwa kata
makna tasyaddada fîhi wa jam-azal hadd wa al-musrifîn adalah mereka yang melampaui
afratha, yang berarti terlalu keras, melebihi batas dalam segala urusan, termasuk meng­
batas yang seharusnya, tidak pada posisi hamburkan harta secara berlebihan atau
yang sewajarnya. Dalam Alquran, kata menggunakannya di jalan yang tidak diridhai
al-ghuluw juga terdapat dalam ayat “lâ Allah. Karenanya Allah berfirman, “innallâha
taghlû fî dînikum” (Q.s. an-Nisâ [3]: 171). lâ yahdî man huwa musrifîn kadzdzâb”,
Alquran juga menggunakan istilah ghalâ yang berarti, “Sesungguhnya Allah tidak
untuk menggambarkan bagaimana makanan akan memberi petunjuk pada orang yang
ahli neraka sangat mendidih dalam perut melampaui batas dan pendusta”. (Q.s. Ghâfir
mereka, bagaikan mendidihnya api neraka [40]: 28).
itu sendiri: “tha’âmul atsim, ka al-muhli Kata isrâf juga digunakan Alquran pada
yaghlî fi al-buthûn, ka ghalyi al-hamîm”, kaum Nabi Luth yang melampaui batas
yang berarti makanan ahli neraka, seperti dengan melakukan sodomi (tidak me­
cairan tembaga yang mendidih dalam perut, letak­kan bibit sperma pada tempat yang
serupa dengan mendidihnya air yang sangat sebenarnya), seperti ayat “Sungguh kamu
panas. Metafora ini juga digunakan untuk telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama
mengibaratkan kemarahan yang meledak- laki-laki, bukan kepada perempuan. Kamu
ledak (ghilyan al-ghadhab), peperangan yang benar-benar kaum yang melampaui batas”.
berkecamuk dan menggelegak (ghilyan al- (Q.s. al- A’râf [7]: 81).
harb), semangat muda yang dahsyat (ghalya Dari sini tampak bahwa sekalipun kata
al-syabbâb). isrâf lebih populer penggunaannya pada
Semakna dalam ifrâth dan tafrîth adalah infâqul mâl (pemanfaatan harta), namun juga
kata al-isrâf yang diambil dari kata asrafa yang digunakan pada yang lain, seperti al-isrâf fî
berarti melampaui batas dalam tindakan atau al-kalâm (berlebih-lebihan dalam berbicara),
perilaku tertentu. Menurut al-Asfahanî, al- al-isrâf fî al-qatl (berlebih-lebihan dalam
isrâf sering dipakai untuk penggunaan harta membunuh). Mengenai berlebih-lebihan
secara berlebihan atau berhambur-hamburan, dalam membunuh, Allah berfirman, “falâ
yusrif fî al-qatl” tetapi janganlah walinya itu
melampaui batas dalam pembunuhan (Q.s. al-
2
Amir Faisal Fath, “Tafsir Moderat: Meraih Pemahaman
Yang Benar Terhadap Pesan-pesan al-Qur‘an”, www.ikadi.org, Isrâ’[17]: 33). Ada seekor binatang pemakan
diakses Desember 2012. dedaunan, orang Arab menyebutnya al-surfa,
270|  AL-‘ADALAH Vol. X, No. 3 Januari 2012

karena tindakannya yang merusak dedaunan saja. Ini adalah anggapan yang salah dan
menyebabkan isrâf (penghamburan). keliru. Karena Allah Swt. berfirman,
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama
Kedudukan Siyâsah Syar’iyyah dalam kalian, dan telah Aku lengkapkan untuk kalian
Pandangan Ulama karunia-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai
Berikut ini adalah pandangan para ulama agama kalian” (Q.s. al-Mâidah [5]: 3).
tentang kedudukan siyâsah syar’iyyah dan Maka termasuklah dalam ayat ini seluruh
peranannya bagi masyarakat Muslim dalam kemaslahatan manusia, baik yang bersifat
memahami pesan-pesan keagamaan yang agama maupun dunia di dalam semua aspek
mempengaruhi cara berpikir dan pilihan kehidupannya.
sikapnya demi menggapai tujuan Islam yang Ada juga golongan pertengahan (wasath
dikehendaki. atau tawâsuth) yang mengambil jalan ke­
Ibn Farhun menjelaskan bahwa pada benar­an. Apa yang dilakukan mereka adalah
asalnya ada dua jenis siyâsah, yaitu siyâsah menggabungkan antara siyâsah dan syara’
dzâlimah yang diharamkan syara’ dan siyâsah untuk melawan dan memberantas kebatilan,
‘âdilah yang dapat memenangkan kebenaran memegang teguh syariat dan mem­per­juangkan
dari kezaliman, menolak pelbagai bentuk penegakannya.
kejahatan, menghalangi pembuat kerusak­ Ibn Qayyim al-Jauziyyah berpandangan
an dan yang menghantarkan tercapainya yang hampir sama dengan apa yang di­
tujuan-tujuan syariat. Syara’ berkewajiban utarakan oleh Ibn Farhun. Bahkan di antara
untuk merujuk kepada siyâsah ‘âdilah dan keduanya ada persamaan dari segi struktur
menjadikannya sebagai sandaran dalam me­ ayat yang digunakan. Ada kemungkinan
negakkan kebenaran.3 Ibn Farhun mengambil pandangan tersebut
Menurut Ibn Farhun, persoalan siyâsah dari Ibn Qayyim karena Ibn Farhun lahir
merupakan sebuah pembahasan luas yang belakangan setelah Ibn Qayyim sebagaimana
berpotensi menyesatkan pemahaman dan dapat dilihat dari tahun kematian keduanya.
mengeluarkan banyak energi manusia. Ibn Qayyim meninggal pada tahun 751
Namun, menganggap ringan siyâsah berarti Hijriah, sedangkan Ibn Farhun meninggal
menyia-nyiakan hak, membatalkan hukuman tahun 799 H.4 Dalam kitab al-Thuruq al-
(hudûd), dan memberi peluang para pelaku Hukmiyyah,5 beliau menyebutkan sebuah
kejahatan untuk terus melakukan tindak dialog (munâzharah) yang terjadi antara Abu
kejahatannya. Sebaliknya, memperluas per­ al-Wafa’ Ibnu ‘Aqil dengan sebagian para
soalan ini secara berlebihan akan dapat fuqaha. Ibnu ‘Aqil berkata: “Praktek siyâsah
membuka pintu-pintu kezaliman, bahkan adalah sebuah kemestian yang tidak dapat
menumpahkan darah dan merampas harta dinafikan oleh seorang pemimpin umat”.
dengan jalan yang tidak benar. Imam al-Syâfi’î berkata, “lâ siyasata illa mâ
Kemudian ada golongan lain yang wâfaqa al-syara”. Tidak ada siyâsah melainkan
memilih jalan ifrâth. Mereka sesungguhnya yang sesuai dengan syara’. Kemudian Ibnu
melampaui batasan-batasan Allah dan keluar ‘Aqil menjawab bahwa siyâsah adalah apa saja
dari qamm syara’ kepada pelbagai bentuk tindakan manusia yang dapat mendekatkan
kezaliman dan bid‘ah. Mereka beranggapan pada kemaslahatan dan menjauhkannya dari
bahwa siyâsah syar’iyyah sekedar menyentuh kefasadan (kerusakan), meskipun Rasulullah
persoalan strategi untuk memenuhi ke­
pentingan makhluk dan kemaslahatan umat
4
Shukeri Muhammad, Siyâsah Syar’iyah dan Kedudukannya
Sebagai Metode Penentuan Hukum, (Malaysia: Kuala Lumpur,
t.t.), h. 106.
3
Ibnu Farhun, Tabshirah al-Hukkâm fî Ushûl al-‘Aqdiyyah 5
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Al-Turuq al-Hukmiyah fî al-
wa Manâhij al-Ahkâm, (Beirût:Tnp. t.t.). h. 35. Siyâsah al-Syar’iyyah, cet. 1, (Bayrût: Dâr al-Qalam, 1991) , h. 61
Irwantoni: Peranan Siyâsah Syar’iyyah dalam Memahami Nas-Nas Agama  |271

tidak pernah mensyariatkannya, dan tidak ‘Alî dan Zubair bin al-’Awwâm mengejar
ada wahyu Allah yang diturunkannya. wanita tersebut. Akhimya beliau sampai
Al-Syâfi’î melanjutkan tidak ada siyâsah kepada wanita tersebut dan memintanya
melainkan yang sesuai dengan syara’, ber­ menyerahkan surat tersebut. Tetapi
makna tidak boleh ada pertentangan antara wanita itu tidak mengaku dan enggan
siyâsah dengan apa yang telah diputuskan mengabulkan permintaan Ali. Lalu
syara’. Tetapi jika maksudnya“tiada siyâsah Sayyidina ‘Alî mengancam akan mencari
kecuali yang disebut oleh syara” (lâ siyâsata sendiri pada tubuh wanita tersebut.
illa mâ nataqa bihi al-syara’), maka hal Ternyata dengan cara itu, wanita tersebut
itu, menurutnya, adalah suatu kekeliruan terus mau mengeluarkan surat dari
dan yang mengelirukan para shahabat. Di sanggulnya.
antara contoh tindakan Rasulullah dan para Ibn Qayyim, seperti yang disebutkan
shahabat yang melandaskan pada penggunaan dalam kitabnya, I’lâm al-Muwaqqi’în,6 me­
kaidah siyâsah syar‘iyyah adalah sebagai ng­anggap persoalan ini sebagai sesuatu
berikut: yang dapat menimbulkan penyelewengan
1. Rasulullah bersabda, “Aku pernah berniat langkah dan menyesatkan pemahaman,
untuk menyuruh seorang sahabat menjadi karena persoalannya yang rigid dan memang
imam shalat jamaah, lalu aku keluar menyusahkan. Dalam kenyataannya, seke­
bersama beberapa sahabat lain sambil lompok orang dapat melakukan tindakan
membawa kayu api untuk membakar tafrîth dalam bentuk membatalkan hudûd,
kelompok-kelompok masyarakat yang menyia-nyiakan hak, dan membuka peluang
tidak menunaikan shalat jama’ah; tindak kejahatan. Mereka telah mengerdilkan
2. Terjadinya pembakaran mushaf Alquran dan membatasi syarî’ah yang tidak tegak
yang dianggap Utsman sebagai sebuah berasaskan pada kemaslahatan manusia.
langkah kemaslahatan. Naskah Alquran Kemudian ada kelompok lain yang
yang ada pada orang Islam pada masa melakukan ifrâth dengan mengambil jalan
itu telah menimbulkan kontroversi dan yang bertentangan dengan hukum Allah dan
perselisihan dari segi bacaan dan pe­ Rasul-Nya. Pada dasarnya, kedua kelompok
ngartiannya sehingga mencetuskan ke­ tersebut (tajrîth dan ifrâth) memiliki ke­
tidakstabilan dan perdebatan panjang. kurang­an dalam pengetahuan tentang kan­
Beliau kemudian mengedarkan naskah dungan risalah (message) yang disampaikan
resmi yang disalin dari mushaf di zaman Allah melalui Rasul-Nya, karena Allah telah
Sayyidina Abû Bakar bagi menyatukan mengutus para Rasul-Nya, menurunkan kitab
seluruh umat Islam dengan satu bentuk suci kepada mereka supaya dapat menegakkan
bacaan; keadilan di antara sesama manusia. Jika
3. Sayidina Ali menggunakan kaidah tanda-tanda kebenaran telah nampak jelas
siyâsah ketika Rasulullah memerintahkan dan selaras dengan argumentasi rasional
beliau bersama Zubair bin al-’Aww âm serta mudah diterapkan (applicable), maka
merampas surat yang dikirim melalui disanalah hakikat keberadaan syariat Allah.
seorang wanita kepada penduduk Mekkah Karena Allah tidak pernah membatasi jalan-
perihal serangan yang akan dilakukan jalan kebenaran dan segala indikasinya dalam
oleh Rasulullah ke Mekkah. Surat ter­ satu jenis saja lalu membatalkan jalan-jalan
sebut dikirim oleh seorang shahabat selainnya, padahal jalan-jalan itu memiliki
bemama Hâtib bin Abî Balta’ah kepada dalil dan argumentasi yang lebih kuat, nyata
beberapa orang Quraisy supaya menjaga dan aktual.
keluarganya jika terjadi serangan. Setelah
Rasulullah mendapat isyarat dari Allah, 6
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyah fî al-
beliau terus memerintahkan Sayyidina Siyâsah al-Syar’iyyah. h. 78.
272|  AL-‘ADALAH Vol. X, No. 3 Januari 2012

Prinsipnya, apapun wasîlah yang men­ al-Thûfî yang bermazhab mendahulukan


datangkan kebenaran dan pengetahuan maslahat atas nas, akan tetapi ia tidak
tentang di dalam realitas persoalan yang mendahulukan mashlahat di atas persoalan
tidak ditemukan hukumnya dalam nas ibadah dan muqaddarat (hal-hal yang telah
(Alquran dan Sunnah), ijma dan qiyas, pasti bilangannya). la menerimanya sebatas
ataupun suatu keadaan yang sejatinya dalam urusan muamalat saja. Padahal, tidak
dapat berubah dan berganti dikarenakan ada seorang pun yang mengatakan ungkapan
ada perubahan kemaslahatan dan kondisi tersebut, sepanjang sejarah pemikiran Islam,
tertentu. 7 Ini bermakna bahwa realitas- sekalipun golongan Mu’tazilah yang men­
realitas yang berlaku pada masa itu berada jadikan akal sebagai asas dan memandang
dalam keadaan terlantar tanpa keputusan sebagian nas yang terkadang bertentangan
hukum. Hal ini menunjukkan image negatif dengan maslahat.
terhadap syariah yang identik dengan sifat Al-Thûfî membentangkan argumentasinya
lemah, jumud dan tidak responsif terhadap yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
tuntutan kehidupan yang selalu mengalami 1. Apa saja yang telah didatangkan oleh
perkembangan. pembuat hukum (al-Syâri’) dalam bentuk
Ismâ’îl Kouksal dalam kitab Taghayyur nas Alquran dan Hadis serta ‘illat-‘illat
al-Ahkâm fî al-Syarî’ah al-Islâmiyyah men­ (indikator) hukum yang menunjukkan
jelaskan sikap para ulama dalam me­respon bahwasanya hal tersebut disyariatkan,
“perubahan syariat” yang dapat dikategorikan tiada lain dimaksudkan untuk me­
sebagai ashhâb (penyokong) ifrâth, tafrîth, wujudkan kemaslahatan bagi manusia.
dan i‘tidâl dengan ciri-ciri dan karakter Karena itu, apabila nas-nas itu “diam”
sebagai berikut:8 terhadap peristiwa atau realitas yang
Ashhâb al-ifrâth: Bagi mereka hukum terjadi, itu berarti akal sehat (rationality)
syara’ terbagi menjadi dua bagian. Pertama, mereka terhalang untuk melakukan
hukum-hukum yang didatangkan untuk produksi hukum (istinbâth) yang dapat
tujuan pensyariatan. Kedua, hukum-hukum mengantarkan perwujudan kemaslahatan
yang dikhususkan bagi penyelesaian pelbagai mereka;
problematika pada masa turunnya Alquran. 2. Hadis yang telah disebutkan dalam al-
Apabila problematika itu telah hilang, maka Sunnah al-Shahîhah: “lâ dharara wa lâ
hilang pula hukum-hukumnya meskipun itu dhirâra”. Tidak boleh berbuat madarat
hudûd, karena hal itu dipandang sebagai dan tidak boleh dimadarati, adalah
bentuk pen-tahkîm-an (judgment) akal ter­ penafian yang bersifat ‘âm yang berlaku
hadap wahyu. Mereka berpandangan bahwa bagi setiap bentuk kemudharatan. Karena
pembuatan hukum yang berasas­kan mashâlih kalimat nâkirah (general) dalam konteks
dapat diterapkan hanya dalam urusan-urusan nafyi (peniadaan) bermakna ‘âm. Dari
sosial ekonomi (mu’âmalât), padahal mashâlih sini berlakulah penyelewengan yang lahir
ini seringkali harus dikembalikan pada nas di antara dua nas, bukan antara nas dan
(Alquran dan al-Sunnah) atau ijma’ atas nas maslahat. Sebagai al-Syâri‘, Allah telah
atau dengan takhsîsh (pengkhususan) dan mensyariatkan hukum-hukum dalam
ibthâl (pembatalan). mu’amalat dan siyâsah duniawi, sekaligus
Di antara tokoh ifrâth tersebut me­ juga menetapkan pelaksanaannya dengan
nurut pandangan Kouksal adalah Najmuddin sesuatu yang tidak akan mendatang­
kan mudharat kepada manusia. Hal
7
Abd al-‘Alâ Ahmad’ Utwah, al-Madkhal ilâ al-Siyâsah al- itu dibuktikan dengan sabda Nabi “lâ
Syar’iyyah, (Riyâdh: Kementerian Pendidikan Universitas Imam dharara wa lâ dhirâra”;
Muhammad ibn Sa’ûd al-Islâmiyyah, 1414 H/1993 M). h. 115.
8
Ismâ’îl Kouksal, Taghayyur al-Ahkâm fî al-Syariyyah, cet. 3. Maslahat adalah argumentasi yang
1, (Bayrût: Dâr al-Fikr al-Lubnâni, 1421 H/2000 M). lebih unggul, karena dimaksudkan se­
Irwantoni: Peranan Siyâsah Syar’iyyah dalam Memahami Nas-Nas Agama  |273

bagai hukum siyâsah bagi orang-orang hukum sekiranya tidak terdapat prinsip asas
mukallaf. Sedangkan, dalil-dalil selain yang tetap serta tidak ada nas-nas qath‘î yang
maslahat adalah sekedar wasîlah saja. jelas, dengan pertimbangan mendahulukan
Prinsipnya, maqâshid wajib didahulukan maslahat di atas nas disebabkan perubahan
daripada wasîlah. Hal ini dianggap hukum syara’ yang umum.9
sebagai nasakh sebahagian hukum syara’ Pandangan ini juga menegaskan bahwa
dengan yang lain karena bergantinya kita juga tidak mungkin dapat memahami
mashâlih (kepentingan-kepentingan). maslahat yang keluar dari nas, karena
Ashhâb al-Tafîth: Golongan ini tampak perkara yang halal telah jelas seperti jelas­
berlebihan dalam memutuskan suatu nya perkara yang haram. Siapapun yang
persoalan dan tidak ambil peduli ketika menjauhi perkara syubhât (perkara yang
diingatkan, mengingkari perubahan hukum masih samar kedudukan hukumnya), maka
yang di­ s ebabkan perubahan sifat, ke­ sesungguhnya ia telah memelihara agamanya.
maslahatan, adat istiadat atau sesuatu yang Perkara yang qath’î tidak dapat diketahui
lain­n ya. Mereka misalnya mengatakan, kecuali melalui nas-nas yang qath’î pula.
“Kami telah menjumpai di dalam Alquran Karena itu, tidak ada arti dan manfaat­
ayat mâ farrathnâ fî al-kitâbi mi al-syainn nya dalam meninggalkan nas-nas qath’î
(Q.s. al-An’âm [6]: 38). yang disebabkan adanya kemaslahatan
Maka bagi mereka seluruh hukum yang bersifat zhannî. Ibn Abdussalam, al-
itu bersifat tetap, tidak dibedakan antara Qarrafi, Ibn Taimiyyah, dan Ibn Qayyim
ibadah dan muamalat, dan tidak melihat memegang pendapat ini, dan memperhatikan
di dalamnya apakah sebagiannya termasuk kemaslahatan yang senantiasa menjaga faktor-
persoalan yang ma ‘qûl al-ma‘nâ (rationable). faktor perubahan lainnya dan menghormati
Kalangan Zhahiriyah termasuk sebagian nas-nas qath’î sebagai dalil-dalil syara’ seperti
golongan yang memerankan aliran ini, yang berlaku pada masa salaf al-Sâlih.
mereka tidak membina nas-nas syariat di atas Dengan demikian, diperbolehkan me­
‘illat yang tertolak dan yang tidak tertolak, nyusun hukum atas dasar mashâlih dengan
karena mereka berpandangan bahwa hukum memperhatikan syarat-syarat dan batasan-
tidak menerima penafsiran dan penggantian. batasannya, sehingga tidak merusak maqâshid
Ibn Hazm berkata, “Sesungguhnya agama al-syarî’ah dan mengganggu kestabilan hidup.
adalah tetap bagi setiap yang hidup dan setiap
yang dilahirkan di bumi sehingga hari kiamat. Anatomi Karakteristik Golongan Tafrîth,
Dengan pergantian masa, tempat atau pun Ifrâth, dan Wasath
perubahan keadaan, bahwa apa yang sudah Penjelasan para ulama tentang ciri dan
tetap adalah tetap untuk selamanya di setiap karakter golongan ifrâth, tafrîth dan wasath
tempat, masa dan keadaan”. Karena itu, Ibn tersebut dapat memberikan satu gambaran
Hazm mengingkari kebolehan berpindahnya ringkas tentang fenomena sikap keberagamaan
hukum tanpa nas yang semestinya wajib masyarakat Muslim dalam penerimaannya
dipindahkan karena bergantinya zaman. terhadap kaidah siyâsah syar’iyyah, khususnya
Dengan demikian, ada dua faktor penting dan pemahaman mereka terhadap nas-nas
timbulnya golongan. Pertama, suatu persepsi agama pada umumnya.
bahwa hukum yang terakhir adalah tetap dan Golongan tafrîth pada masa kini dapat
tidak berubah. Kedua, penerimaan terhadap
dikategorikan sebagai kelompok Islam yang
fatwa-fatwa para shahabat sebagai tasyrî’ yang
menafsirkan ajaran agama secara rigid dan
abadi dan menyeluruh. Ashâb al-I’tidâli
mengambil jalan tengah dengan menghukumi
Abû Hamîd Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâli, al-
9
mashâlih yang sekiranya tidak bertentangan Mustahfâ fî ’Ilm al-Ushûl, cet. 1, (Ttp.: Mathba’ah al-Amiriyah,
dengan nas dan membolehkan perubahan 1322 H). h. 48.
274|  AL-‘ADALAH Vol. X, No. 3 Januari 2012

terkesan menutup peluang terbukanya pintu Tabel 2: Anatomi Golongan Ifrâth


ijtihad. Golongan ini hadir dalam wajah ajaran- No. Karakteristik Argumentasi Implikasi
ajaran yang mengusung fundamentalisme,
Nas syara’ Tidak semua
radikalisme, bahkan terorisme yang dapat hanya berlaku aspek hidup
Pendewaan
menghalalkan semua cara dengan dan atas 1 akal secara
untuk urusan solusinya ada
berlebihan
nama Tuhan atau agama. duniawi di dalam nas

Sementara kalangan ifrâth telah menjadi Nas syara’ Hilang sebuah Meremehkan
menjadi solusi persoalan prinsip keadilan
fenomena nyata dalam masyarakat Islam. 2
untuk satu berarti hilang dan penegakkan
Di mana mereka sangat mengagungkan masa saja pula hukumnya hukum
peranan akal, tanpa diimbangi kesadaran Mendahulukan Melampaui
untuk merujuk terlebih dahulu kepada nas- Maslahat
maslahat batasan
adalah dalil
nas qat’i. Islam yang mengedepankan akal 3 atas masalah
yang paling
maslahat dan
ibadat dan keluar dari ruh
pikiran ini nampak dari luar melahirkan unggul
muqaddarah syariat
kesan akan kelenturan (flexibility) Islam
Mendahulukan
sebagai sebuah ajaran, namun di sisi lain, Kurangnya akal sebagai
Menciptakan
pandangan ifrâth tersebut mengakibatkan liberalisasi
4 pengetahuan asas dalam
dalam
hilangnya maqâshid al-syari’ah yang tidak tentang syariat penetapan
beragama
hukum
seluruh produk hukumnya boleh dihasilkan
dan ditafsirkan secara ‘aqli semata-mata. Akal tidak
Minimnya boleh terhalang
Tabel berikut ini mencerminkan pemahaman dalam
Meragukan
5 kedudukan nas-
karakteristik golongan tafrîth, ifrâth, dan tentang realitas membuat
nas yang qath’î
wasath yang pada masa ini boleh berubah sosial istinbath
hukum
dalam format, wajah, dan tampilan yang
berbeda-beda.
Tabel 3: Anatomi Golongan Wasath
Tabel 1: Anatomi Golongan Tafrîth
No. Karakteristik Argumentasi Implikasi
No. Karakteristik Argumentasi Implikasi Tidak ada
Mencukupkan Bertentangan Menggabungkan maslahat Lebih dekat
Seluruh nas 1 antara maslahat kecuali yang tercapainya
dengan nas yang dengan praktek
1 bersifat tetap dan nas syara’ sesuai dengan maslahat
tersedia (taken for Rasul dan para
dan mutlak syara’
granted) shahabat
Syara’ memiliki
Penafian Membuka Menjadikan dua sifat Responsif
Pembatasan
terhadap peluang maqashid al- utama: tetap terhadap
2 ruang lingkup 2
kaidah tersebarnya syari’ah sebagai dan fleksibel tuntutan
suatu persoalan
hukum Islam suatu persoalan tujuan (tsabat wa al- masyarakat
Kekhawatiran murûnah)
Penafian terhadap Syariah
dapat Ra‘yu dan
3 keadaan hukum menjadi sempit Boleh merubah Menjadikan
meninggalkan ijtihad adalah
Islam dan terbatas hukum jika syariat relevan
nas 3 jalan yang
tidak ada nas dengan situasi
dibenarkan
Tidak Menciptakan qath’î yang jelas dan masanya
syara’
Kurangnya menetapkan truth claim
4 pengetahuan nas-nas syara’ dan radikalisasi Mengukuhkan
Memahami
tentang syariat berdasarkan dalam Menafsirkan sikap
syariat dalam
‘illat hukum beragama 4 nas-nas agama beragama
perspektif yang
dengan tepat yang lebih
Tidak luas
Realitas sosial Istiqamah
Minimnya menjadikan
menjadi Mengikuti Sinkronisasi Menjadikan
pemahaman maslahat
5 ‘terlantar’ tanpa perubahan dan antara tujuan Islam sebagai
tentang realitas sebagai 5
keputusan perkembangan syariat dengan rahmat bagi
sosial pertimbangan
hukum masyarakat realitas sosial seluruh alam
hukum
Irwantoni: Peranan Siyâsah Syar’iyyah dalam Memahami Nas-Nas Agama  |275

Analisis terhadap Eksistensi Golongan dan menjalankan syariat Islam, tetapi kalau
Tafrîth, Ifrâth dan Wasath dalam ia menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, ia
Masyarakat Islam harus dijatuhkan atau dibunuh.11
Jika dihubungkan dengan fakta-fakta sejarah Kaum Khawârij ini selanjutnya terpecah
yang ada, tidak dinafikan adanya kelompok- belah ke dalam pelbagai aliran. Salah satunya
kelompok Islam yang cenderung menafsirkan adalah kaum Khawârij al-‘Azariqah. Menurut
nas-nas keagamaan secara rigid dan literal, kelompok ini, orang Islam yang sepaham
walaupun tidak sepenuhnya muncul sebagai dengan mereka tetapi tidak mau berhijrah
reaksi terhadap modernisme, melainkan juga ke dalam lingkungan mereka dipandang
karena latar belakang politik, ideologi, dan sebagai musyrik. Barang siapa yang datang ke
faktor lainnya. Kelompok-kelompok seperti daerah mereka dan mengikuti penganut al-
itu, di Timur Tengah khususnya, lebih suka A’zariqah tidaklah diterima begitu saja, tetapi
menyebut diri mereka dengan istilah-istilah harus diuji terlebih dahulu. Kepadanya akan
seperti ushûliyah Islamiyyah (asas-asas Islam), diserahkan seorang tawanan. Jika tawanan
ba ‘ats Islam (kebangkitan Islam), atau itu ia bunuh, maka ia diterima dengan baik,
harakah Islam (Gerakan Islam). tetapi kalau tawanan itu tidak dibunuhnya,
Sementara kelompok-kelompok yang maka kepalanya sendiri yang mereka penggal.
kurang menyukai mereka menyebutnya Di wilayah mereka sajalah yang merupakan
dengan istilah muta‘ashshibîn (kelompok dar al-Islam, sedangkan wilayah Islam lainnya
fanatik) atau juga mutatharrifîn (kelompok adalah dar al-Kufr yang wajib diperangi.
radikalis atau ekstrimis). Mereka juga memandang musyrik bukan
hanya orang-orang dewasa tetapi juga anak-
Akar persoalan ini dapat dirunut dari
anak dari orang yang dianggap musyrik
perbedaan teologis yang berkembang dalam
tersebut.12
sejarah percaturan sosial politik umat Islam.
Dalam bidang teologi misalnya, dijumpai Selanjutnya, pada tahun 1928, di Kairo
aliran Khawârij. Golongan ini muncul muncul suatu organisai yang dikenal dengan
sebagai reaksi terhadap sikap Khalîfah ‘Alî nama al-Ikhwan al-Muslimun. Organisasi
bin Abî Thâlib dan Mu‘âwiyah serta para yang didirikan oleh Hasan al-Banna dan
pendukung dari tokoh yang bertikai ini memiliki ciri-ciri fundamentalisme dalam
yang mengambil jalan penyelesaian dengan beragama, serta memusatkan perhatiannya
cara arbitrase (damai), dan berakhir dengan kepada kegiatan-kegiatan reformasi moral
kemenangan pihak Mu‘âwiyah. Sikap ini tidak dan sosial.13
dapat diterima oleh segolongan orang yang Proyek-proyek pendidikan dan ke­sej­
kemudian dikenal sebagai kaum Khawârij.10 ahteraan sosial yang ia rintis pertama men­
Namun demikian, dalam bidang ketata­ dapat sambutan dan dukungan dari masya­
negaraan kaum Khawârij berpandangan rakat luas. Di antara kegiatan­nya adalah
sangat demokratis. Mereka ber­ pendapat mendirikan banyak klinik, rumah sakit kecil,
bahwa yang berhak menjadi khalîfah masjid, sekolah, membuka industri kecil
bukan­lah anggota suku bangsa Quraisy saja, perdesaan, dan balai per­temuan.
bahkan bukan hanya orang Arab, tetapi Organisasi ini selanjutnya terlibat dalam
siapa saja yang sanggup asalkan orang Islam, pergolakan politik di Mesir lewat kegiatan-
sekalipun hamba sahaya yang berasal dari kegiatannya untuk menentang kekuasaan
Afrika. Khalîfah yang terpilih akan terus
me­megang jabatan selama ia bersikap adil
11
Muhammad Ahmad Abû Zahrah, al-Madzâhib al-
Islâmiyah, (Mesir: Maktab al-Adab, t.t.). h. 180.
12
Muhammad ‘Alî Subeih, al-Farq bain al-Firâq, (Kaherah:
Yusril Iza Mahendra, Fundamentalisme, Faktor dan Masa
10
Maktabah al-Adab, t.t.). h. 21.
Depannya, dalam Muhammad Wahyuni Nafis, Rekonstruksi dan 13
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, cet.1, (Jakarta:
Renungan Religius Islam, cet. 1, (Jakarta: Paramadina, 1996). h. 60. UI Press, 1990). h. 45.
276|  AL-‘ADALAH Vol. X, No. 3 Januari 2012

pendudukan Inggris dan berdirinya negara minyak wangi tanpa alkohol, dan sejenisnya.
Israel di atas bumi Palestina. Aspirasi politik­ Dalam hal ini, kesalahannya sama dengan
nya juga makin terkristaisasi, yakni secara yang pertama. Ketiga, sikap fundamentalis
jelas mendambakan berdirinya negara Islam mempunyai implikasi politik. Inilah yang
di Mesir.14 menyebabkan negara-negara industri memiliki
Dari segi akidah, al-Ikhwan al-Muslimin persepsi bahwa sikap fundamentalis atau
tidak sedikitpun meragukan kebenaran ayat radikalisme sama dengan terorisme. Negara-
Alquran yang menyatakan tiada hukum yang negara Barat-utamanya Amerika Serikat-
benar kecuali di sisi Allah, dan hanya Allah melihat Iran, Libya, Afghanistan, Palestina,
penentu perintah dan larangan yang mesti Somalia, dan Sudan sebagai kantong para
ditaati. Sejalan dengan sikap akidahnya ini, fundamentalis sekaligus teroris.15
maka dalam bidang hukum ia cenderung tidak Berdasarkan fenomena tersebut, tampak­
mematuhi ketentuan yang dibuat pemerintah, nya ada 4 faktor yang menyebabkan lahirnya
bahkan berusaha menentang, memberontak kaum ifrâth (fundamentalis). Pertama, faktor
dan membentuk perlawanan lainnya. Dari modernisasi dirasakan dapat menggeser
contoh kasus kaum Khawârij dan al-Ikhwan al- nilai-nilai agama dan pelaksanaannya dalam
Muslimin tersebut, dapat diketahui bahwa latar kehidupan. Kedua, pandangan dan sikap
belakang timbulnya kaum fundamentalis juga politik yang tidak sejalan dengan sikap dan
karena perbedaan pandangan dalam bidang pandangan politik yang dianut penguasa.
teologi, politik, dan hukum. Ketiga, ketidakpuasan mereka terhadap kondisi
Dalam pandangan Kuntowijoyo, ke­ sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya yang
munculan kaum fundamentalis dalam berlangsung di masyarakat. Keempat, faktor
bentuk radikalisme dan fundamentalisne sifat dan karakter dari ajaran Islam yang
ajaran Islam sesungguhnya adalah gerakan dianutnya cenderung bersikap rigid dan literal.
anti industri, suatu hal yang tidak disadari Secara substansial, pandangan, sikap, dan
bahkan oleh pengikut fundamentalisme keyakinan keagamaan kaum fundamentalis
itu sendiri. Karena industrialisme telah sebagaimana diuraikan di atas, tidak ke­
menimbulkan dampak negatif, yaitu (1) luar dari Islam. Mereka termasuk orang
dominasi masa lalu oleh masa kini; (2) Muslim dan mukmin yang taat, bahkan
dominasi industri atas alam; dan (3) dapat dikatakan bahwa mereka sangat ber­
dominasi bangsa atas bangsa. pegang teguh pada ajaran Islam dan ingin
Sejalan dengan itu, kaum fundamentalis memperjuangkannya dengan segala daya dan
me­ miliki tiga ciri. Pertama, kaum fun­ kemampuan yang dimilikinya agar ajaran Islam
damentalis ingin kembali ke masa Rasul, tersebut benar-benar dapat dilaksanakan oleh
dalam berpakaian, misalnya mereka cenderung seluruh umat Islam, tanpa kecuali. Dengan
memakai jubah dan cadar dengan maksud demikian, mereka bersungguh-sungguh dalam
untuk menolak multi fashion. “Kesalahan” memperjuangkan cita-cita Islam.
yang mereka lakukan ialah menganggap Sebagai sebuah kelompok, tampak
fashion yang bersifat muamalat sebagai me­­miliki ikatan solidaritas yang cukup
akidah. Kedua, kaum fundamentalis ingin solid, kokoh, militan, dan rela menerima
kembali ke alam. Sebenarnya slogan back risiko dari sebuah perjuangan. Terdapat
to nature ini menjadi tema utamanya, tetapi beberapa catatan yang menyebabkan kaum
diungkap dengan alasan lain. Misalnya untuk fundamentalis dapat dikatakan kurang mem­
menolak wewangian atau parfum buatan perlihatkan sikap yang baik.
pabrik. Kaum fundamentalis ini lebih memilih Dari segi keyakinan keagamaannya,
memakai bahan-bahan alamiah, separti siwak,

15
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, cet. 1,
14
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 71. (Bandun: Mizan, 1997), h. 29.
Irwantoni: Peranan Siyâsah Syar’iyyah dalam Memahami Nas-Nas Agama  |277

mereka bersikap rigid, dan literal. Kaum dan sebagainya. Dengan beberapa ke­
fundamentralis sangat menekankan simbol- kurang­an tersebut, perjuangan kaum Islam
simbol keagamaan daripada substansinya. fundamentalis dalam menegakkan cita-cita
Mereka menganggap bahwa doktrin agama Islam sering kandas di tengah jalan, dan
telah mengatur segalanya. Agama dinilianya merugikan dirinya sendiri.
sebagai sebuah sistem yang lengkap dan
mencakup pula pelbagai sub sistem di Alternatif Sikap Moderat Sebagai Jalan
dalam­nya. Pandangan yang demikian dapat Tengah
dijumpai rujukannya pada Abu al-A’lâ al- Dari pembahasan di atas, terkesan bahwa
Maudûdî dan Sayyid Quthb. Mereka berbeda setiap sikap yang “keterlaluan” identik dengan
pandangan dengan kaum modernis yang pada ekstrim. Setiap yang ekstrim identik dengan
umumnya kurang mementingkan soal istilah penyimpangan. Semangat belajar misalnya,
atau simbol-simbol yang bercorak distinctive. pada dasarnya adalah bagus. Namun,
Bagi kaum modernis, yang penting adalah jika terlalu semangat sampai ke tingkat
bagaimana caranya agar prinsip-prinsip, cita- melupakan waktu istirahat, maka menjadi
cita, dan ruh Islam dapat menjiwai kehidupan penyimpangan, karena hal itu merupakan
masyarakat dan negara, bukan mengutamakan tindakan merusak diri. Demikian juga sikap
simbol-simbolnya, sebagaimana yang dipegang rajin beribadah pada asalnya wajib, tetapi
teguh kaum fundamentalis. jika terlalu rajin sampai pada tahapan tidak
Sikap dan pandangan mereka yang mau makan, tidur dan seterusnya, jelas itu
eksklusif, yaitu pandangan yang ber­tolak larangan agama, karena bertentangan dengan
dari keyakinan bahwa pandangan dan fitrah manusia. Islam memang mudah karena
ke­yakinan merekalah yang paling benar. sesuai dengan fitrah, tapi jangan dimudah-
Sedangkan sikap dan pandangan orang lain mudahkan. Setiap kali menganggap mudah
yang tidak sejalan dengan mereka dianggap dan meremehkan syariat Islam, berarti saat
salah, dan harus dikutuk. Sebagai akibat itu pula ia telah terjebak dalam sebuah
dari sikap dan pandangan yang demikian tindakan ekstrim.
itu, maka mereka cenderung tertutup, dan
tidak mau menerima mereka dianggap salah,
Penutup
dan harus dikutuk. Implikasinya, mereka
cenderung tertutup, dan tidak mau me­ Islam yang dibawa oleh Nabi Muhamrnad
nerima pandangan dan sikap orang lain saat ini sudah berusia kurang lebih 14 abad,
yang berbeda, tidak terbuka, dan tidak ada yakni dari sejak abad VII hingga abad XX ini.
jalan baginya untuk berdialog. Dalam sejarah perjalanan panjang itu, Islam
Dari segi budaya dan sosial, kekurangan yang bersumber dari Alquran dan Hadits
mereka juga terlihat dalam menyikapi pelbagai telah dipahami oleh para penganutnya yang
produk budaya modern, sunguhpun pada memiliki latar belakang sosial, kultural, politik,
tataran yang sifatnya kultural, seperti pakaian, pendidikan, kecenderangan, kecerdasan,
alat-alat kebersihan, dan lain sebagainya disiplin, aliran, dan sebagainya yang berbeda-
yang bersifat konservatif. Kehidupan mereka beda. Pelbagai keragaman latar belakang
terkesan kolot, kuno, bahkan cenderung yang dimiliki penganutnya itu ternyata telah
melawan arus utama. digunakan untuk memahami Alquran dan
Sunnah. Dari sinilah, Islam dalam kenyataan
Dari segi bentuk dan sifat gerakan­nya,
empirik lahir dalam sosok dan wajah yang
mereka cenderung memaksakan kehendak
amat variatif walaupun sumbemya sama, yaitu
dengan menggunakan pelbagai cara ter­masuk
Alquran dan Sunnah.
cara-cara kekerasan, separti propaganda,
hasutan, teror bahkan pembunuhan. Dengan Uraian yang telah dipaparkan di atas
sikapnya yang demikian, mereka di­anggap menegaskan kembali bahwa di kalangan
sebagai kelompok gerakan radikal, fanatik Muslim terdapat perbedaan aliran yang
278|  AL-‘ADALAH Vol. X, No. 3 Januari 2012

sangat mungkin di klasifikasikan dalam tiga Asfahâni, al-, al-Râghib, Mufradât Alfâzh
golongan yaitu, tafrîth, ifrâth dan wasath. Alquran, ditahqiq Sofwan Adnan
Golongan tafrîth yang memiliki ciri-ciri Dawudi, Dimaskus: Dâr al-Qalam
eksklusif, doktriner, keras, dan politis ini dan Beirut: Dâr al-Syâmiyah, 1412
muncul sebagai rasa kekhawatiran akan H/1992 M.
ter­
gesemya Islam dalam percaturan sosial Ghazâli, al-, Abû Hamîd Muhammad bin
politik. Corak pemahaman keislaman ini Muhammad, al-Mustashfâ fî al-Ushûl,
ber­beda dengan aliran fundamentalis dalam Ttp.: Mathba’ah al-Arniriyah, 1322 H.
agama Kristen. Jika dalam agama Kristen, Hudhaibi, al-, Hasan Ismâil, Ikhwânul
fundamentalisme muncul sebagai reaksi Muslimîn Mengajak Bukan Menghakimi,
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Bandung: Pustaka, 1984.
yang dikhawatirkan menggeser doktrin ajaran,
sedangkan Islam fundamentalis tidak anti Ibnu Farhun, Tabshirah al-Hukkâm fî Ushûl
terhadap ilmu pengetahuan, melainkan al-‘Aqdiyyah wa Manâhij al-Ahkâm,
sebagai reaksi terhadap mereka yang ingin Beirut: Tnp., t.t.
menghancurkan Islam secara politis. Dalam Ibn Tâj, ‘Abd. Rahman, al-Siyâsah al-
konteks ini, Islam dengan gaya tafrîth biasanya Syar‘iyyah wa al-Fiqh al-Islâmî, al-Azhar:
muncul dalam kelompok Islam minoritas yang Tnp., 1415 H.
berada di tengah-tengah tekanan mayoritas Jauziyyah, al-, Ibnu Qayyim, al-Turuq al-
ketika mereka melihat pemerintah yang Hukmiyyah fî al-Siyâsah al-Syar‘iyyah,
memimpinnya dianggap sudah sejalan dengan Beirut: Dâr al-Fikr al-Lubnânî, 1991.
nilai-nilai Islam. Dengan demikian, Islam Kouksal, Ismâ’îl, Taghayyur al-Ahkâm fî al-
tafrîth sering muncul dalam wajah yang kental Syarî’ah al-Islâmiyyah, Beirut: Muassasah
dengan nuansa politis. ar-Risâlah, 1421 H/2000 M.
Selanjutnya, kalangan ifrâth yang me­ Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam,
miliki ciri-ciri menghargai pendapat akal, Bandung: Mizan, 1997.
mengakui hukum alam, dan memiliki ke­ Muhammad, Shukeri, Siyâsah Syar’iyyah dan
terbukaan, muncul sebagai reaksi terhadap Kedudukannya Sebagai Metode Penentuan
adanya sikap doktriner, ortodoks, dan taklid Hukum, Malaysia: Kuala Lumpur, t.t.
yang diperlihatkan sebagian umat Islam.
Sikap yang demikian itu akan menyebabkan Mahendra, Yusril Ihza, Fundamentalisme,
keterbelakangan umat Islam di banding umat Faktor dan Masa Depannya, dalam
lainnya dan pada gilirannya ajaran umat Muhammad Wahyuni Nafis, Rekonstruksi
yang dianutnya akan ditinggalkan orang, dan Renungan Religius Islam, Jakarta:
karena dianggap tidak dapat menjawab Paramadina, 1996.
pel­bagai masalah aktual. Namun demikian, Path, Faisal, Tafsir Moderat: Meraih
golongan ifrâth ini terlalu mengagungkan Pemahaman Yang Benar Terhadap Pesan-
dan membenarkan pendapat akal semata- pesan Al-Qur ‘an, dalam www.ikadi.org,
mata. Sepatutnya, golongan ifrâth ini harus diakses Juni 2005.
mengakui keterbatasan akal serta peranannya Subeih, Muhammad ‘Alî, Al-Farq bain al-
yang tidak boleh melampaui keputusan- Firâq, Kaherah: Maktabah al-Adab, t.t.
keputusan Allah yang terdapat di dalam Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara,
Alquran. Jakarta: UI Press, 1990.
Utwah, Abd al-’Alâ Ahmad, al-Madkhal
Pustaka Acuan ilâ al-Siyâsah al-Syar’iyyah, Riyadh:
Abû Zahrah, Muhammad Ahmad, al- Kementerian Pendidikan Tinggi,
Madzâhib al-Islamiyyah, Mesir: Maktabah Universitas Imâm Muhammad ibn Sa’ûd
al-Adab, t.t. al-Islamiyyah, 1414 H/ 1993 M.

Anda mungkin juga menyukai