Anda di halaman 1dari 14

Membumikan Nilai-Nilai Aswaja Sebagai Pondasi Gerakan Para Santri

SEJARAH TEOLOGI ISLAM & AKAR PEMIKIRAN AHLUSSUNAH WAL JAMA’AH

Oleh: PMII Kabupaten Bekasi

Pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah

ُ ‫س ْب ِعينَ ِملَّةً َوت َ ْفت َ ِر‬


‫ق أ ُ َّمتِي‬ َ ‫علَى ثِ ْنتَي ِْن َو‬َ ْ‫س َرائِي َل ت َفَ َّرقَت‬
ْ ِ‫"إِنَّ بَنِي إ‬: ِ‫سو ُل هللا‬ ُ ‫ قَا َل قَا َل َر‬ ‫ع ْب ِد هللاِ ب ِْن ع َْم ٍرو‬ َ ‫ع َْن‬
."‫ص َحابِي‬ ْ َ ‫علَ ْي ِه َوأ‬
َ ‫سو َل هللاِ قَا َل َما أَنَا‬ُ ‫اح َدةً قَالُوا َو َم ْن ِه َي يَا َر‬ ِ ‫س ْب ِعينَ ِملَّةً ُكلُّ ُه ْم فِي النَّ ِار إِالَّ ِملَّةً َو‬ ٍ َ‫علَى ثَال‬
َ ‫ث َو‬ َ
.) ٌ‫س ٌن غ َِريب‬ َ ‫ِيث َح‬ ٌ ‫ َهذَا َحد‬:‫) وقال‬2565( ‫(رواه الترمذي‬
Dalam hal ini, pengertian Aswaja (Ahl al-Sunnah Wa al-Jama‟ah), secara bahasa merupakan istilah
yang terbentuk dari tiga komponen: ‫ اهل‬, ‫ السنة‬dan ‫ الجماعة‬. Kata ‫ اهل‬artinya keluarga; golongan atau
pengikut. Kata ‫ السنة‬berarti orang-orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal perbuatan
Nabi Muhammad SAW). 1 Di dalam Kitab Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah karya Hadrotus Syaikh KH.
Hasyim Asy ‘ariy halaman 5 di sebutkan bahwa:

‫ وشرعا اسم للطريقة المرضية المسلوكة في الدين سلكها رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أو‬،‫السنة لغة الطريقة ولو غير مرضية‬
،‫ عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي‬:‫ لقوله صلى هللا عليه وسلم‬،‫غيره ممن هو علم في الدين كالصحابة رضي هللا عنهم‬
‫ رسالة أهل السنة‬،‫ والسني منسوب إلى السنة اهـ (حضرة الشيخ محمد هاشم أشعري‬،‫وعرفا ما واظب عليه مقتدى نبيا كان أو وليا‬
.)5/‫والجماعة ص‬

Secara Kebahasaan: Jejak dan Langkah walaupun tidak di ridhoi. Secara Syar’i: Sebuah nama jejak
yang diridhai yang menjadi pijakan dalam Agama, yang pernah ditempuh oleh Rasulullah SAW atau selain
beliau dari orang yang mengetahui dalam urusan Agama seperti Sahabat. Berdasarkan Hadist Nabi SAW. :
Wajib atas kamu sekalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin dari setelahku. Secara ‘Urfi
(tradisi): Ajaran yang dilalui oleh seorang panutan dalam Agama, Nabi atau Wali. Dan adapun As Sunni
adalah yang di nisbatkan kepada Sunnah. Sedangkan makna ‫الجماعة‬: Menjaga kekompakan, kebersamaan
dan kolektifitas, kebalikan dari kata al-furqah (golongan yang berpecah belah). Dikatakan al-jama’ah, karena
golongan ini selalu memelihara kekompakan, kebersamaan dan kolektifitas terhadap sesama. Meskipun
terjadi perbedaan pandangan di kalangan sesama mereka, perbedaan tersebut tidak sampai mengkafirkan,
membid’ahkan dan memfasikkan orang yang berbeda.
Aswaja adalah komunitas orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW
dan jalan para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal lahiriyah, atau akhlak
batiniyah.2

Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama‟ah; Sebuah Kritik Historis, (Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008), hal. 5
1

FKI LIM, Gerbang Pesantren, Pengantar Memahami Ajaran Ahlussunnah wal Jama‟ah, (Kediri : Litbang Lembaga Ittihadul Muballigin
2

PP. Lirboyo, 2010), hal. 3.


1
Membumikan Nilai-Nilai Aswaja Sebagai Pondasi Gerakan Para Santri

Pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah dijelaskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani:

Artinya: “Yang dimaksud dengan As-Sunah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi
ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan pengertian Al-Jama’ah adalah segala sesuatu yang telah
menjadi kesepakatan para Sahabat Nabi Muhammad SAW pada masa Khulafaurrashidin yang empat telah
diberi hidayah (mudah-mudahan Allah SWT member Rahmat pada mereka semua).” (Al-Ghunyah li Thalibi
Thariq Al-Haqq, Juz II., Hal. 80).
Syaikh Abi Al-Fadhl bin Abdussyukur menjelaskan pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah:

Artinya: “Yang disebut Ahlussunah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada As-Sunah
Nabi Muhammad SAW dan jalan pada sahabatnya dalam masalah aqidah keagamaan, amal-amal lahiriyah
serta akhlaq hati.” (Al-Kawakib al-Lamma’ah, Hal. 8-9).
Mengenai dasar apa saja Sumber Hukum Islam yang dipakai oleh faham Ahlussunah wal Jama’ah
dalam menentukan hukum Islam, adalah sesuai dengan firman Allah SWT:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Allah SWT, dan patuhlan kamu kepada
Rasul serta Ulu Al-Amri diantara kamu sekalian, kemudian jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka
kembalilah kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, jika benar-benar kamu beriman pada hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa: 59).
Berdasarkan ayat ini, ada empat dalil yang dapat dijadikan pijakan dalam menentukan hukum, yakni
AlQur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas.

2
Membumikan Nilai-Nilai Aswaja Sebagai Pondasi Gerakan Para Santri

Dari sinilah ditemukan bahwa makna Aswaja adalah ajaran yang mengikuti apa yang Rasul, dan
Sahabat kerjakan. Dengan demikian pada dasarnya aswaja sudah ada pada zaman Rasul. tetapi Aswaja pada
waktu itu hanya sebagai realitas komunitas muslim belum ada. Atau dengan kata lain kaum muslimin pada
masa Rasulullah itulah Aswaja.Dengan demikian Ahlusunnah waljama'ah secara umum dapat diartikan
sebagai "para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma (kesepakatan) ulama".3

Sejarah Kemunculan Persoalan Persoalan Kalam4


Pada zaman khalifah Abu Bakar (632-634 M) dan Umar bin Khattab (634-644) problema keagamaan
masih relative kecil termasuk masalah aqidah. Tapi setelah Umar wafat dan Ustman bin Affan naik tahta (644-
656) fitnah pun timbul. Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim, salah seorang
penyulut pergolakan. Meskipun pada masa pemerintahan Ustman, Abdullah bin Saba’ meniupkan perselisihan
umat Islam, namun kemelut yang serius justru terjadi setelah Ustman mati terbunuh (656).
Semenjak peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah dan Ali
bin Abi Thalib mengkristal menjadi Perang Siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali
yang menerima tipu muslihat Amr bin Al-Ash, utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim, sungguhpun dalam
keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang
terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya dating dari Allah dengan kembali pada
hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau
La hukma illa Allah (tidak ada perantara selain Allah) menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali bin
Abi Thalib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam, mereka
dikenal dengan nama Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau secerders.5
Diluar pasukan yang membelot Ali, ada pula yang sebagian besar mendukung Ali. Mereka inilah yang
kemudian memunculkan kelompok Syi’ah. Menurut W. Montgomery Watt, Syi’ah muncul ketika berlangsung
peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang Siffin. Sebagai respon atas penerimaan Ali
terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu‘awiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung
sikap Ali, kelak disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij. 6
Harun Nasution, lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah
persoalan siapa yang kafir dan sipa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa
yang masih tetap dalam Islam. Khawarij sebagaimana telah disebutkan, memandang bahwa orangorang yang
terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari, adalah kafir
berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Ma’idah ayat 43-44.7

3
Zamakhsyari Dhofier, Tradi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1994) hlm.148
4
Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2003) hlm. 27-29.
5
W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi & Filsafat Islam, Terj. Umar B. (Jakarta: P3M, 1987). hlm. 10.
6
Ibid., hlm. 6-7.
7
Ibid.
3
Membumikan Nilai-Nilai Aswaja Sebagai Pondasi Gerakan Para Santri

Artinya: “Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai
Taurat yang didalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan
mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman.”
Secara sederhana persoalan tersebut telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu:
1. Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari
Islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
2. Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir.
Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau
menghukumnya.
3. Aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat diatas, bagi mereka orang yang berdosa besar
nukan kafir, tetapi buan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mumin dan kafir, yang dalam
bahasa Arab-nya terkenal dengan istilah al-manzilah manzilatain (posisi diantara dua posisi).8
Dalam Islam, timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan nama Qadariyah dan Jabariyah.
Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun
Jabariyah, berpendapat sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai kehendak dalam kehendak dan
perbuatannya.9 Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisional
Islam, terutama golongan Hanbali, yaitu pengikut-pengikut Ibn Hanbal. Mereka menantang ini kemudian
mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (935 M). disamping aliran
Asy’ariyah timbul pula aliran Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini didirikan
oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi Al-
Maturidiyah.10 Aliran-aliran yang berkembang setelah peristiwa Tahkim:
1. Khawarij
Kata khawarij secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul,
timbul atau memberontak. Khawarij merupakan kelompok pertama yang tidak mengakui bahkan
memberontak terhadap Ali Bin Abi Thalib setelah terjadinya Arbitrase antara Ali dan Muawiyah. Diantara
doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah berikut ini: Khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh kaum
Muslimin; Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung
dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung maka ia wajib diperangi karena hidup dalam dar el-
harb (Negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-Islam (Negara
Islam).
2. Syiah
Syiah secara bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan secara
terminology adalah sebagian kaum muslimin yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu
merujuk kepada keturunan Nabi Muhammad Saw, atau orang yang disebut sebagai ahl-bait. Ajaran-ajaran
Syiah
a. Tauhid. Tuhan adalah Esa, baik ekstensi maupun esensi-Nya. Keesaan adalah mutlak. Keesaan Tuhan
tidak murakkab (tersusun).

8
Ibid. hlm. 8.
9
Ibid. hlm. 9.
10
Ibid.
4
Membumikan Nilai-Nilai Aswaja Sebagai Pondasi Gerakan Para Santri

b. Nubuwah. Setiap mahkluk membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun dari manusia.
c. Ma’ad. Ma’ad adalah hari akhir untuk menghadapi Tuhan di akhirat. Mati adalah kehidupan transit dari
kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat.
d. Imamah. Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk manusia yang
dipilih dari keturunan Ibrahim dan didelegasikan kepada keturunan Muhammad Saw.
e. Adil. Tuhan menciptakan kebaikan di Alam semesta ini merupakan keadilan. Tuhan memberikan akal
kepada manusia untuk mengetahui perkara yang salah melalui perasaan.
3. Murjiah
Nama Murjiah berasal dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan
pengharapan. Aliran ini muncul sebagai reaksi dari fatwa khawarij, yang dipelopori oleh Ghailan Dimasqy,
Beliau tidak menerima akan fatwa tersebut. Mereka ini dalam perkembangan selanjutnya menjadi mazhab
Murji’ah. Menurut mereka, karena fatwa itu tidak didukung oleh nash, maka kepastian hukumnya ditunda
saja, diserahkan kepada Allah di akhirat kelak.
Doktrin-doktrin Murjiah secara umum sebagai berikut: Penangguhan keputusan terhadap Ali dan
Muawiyah hingga Allah yang memutuskannya di hari kiamat kelak. Penangguhan Ali untuk menduduki
rangking keempat dalam peringkat al-Khalifah ar-Rasyidun. Pemberian harapan terhadap orang muslim
yang berdosa besar untuk mendapat ampunan dan rahmat dari Allah SWT. Kelompok Murjiah terbagi
dalam empat kelompok besar: Murjiah al-Khawarij, Murjiah al-Qadariyah, Murjiah Jabbariyah, dan Murjiah
Murni.
4. Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan
melakukan sesuatu. Paham Jabariyah pertama kali diperkenalkan oleh Ja’ad bin Dirham kemudian
disebarluaskan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan (127H/745M). Doktrin-doktrin Jabariyah secara
umum dapat dipaparkan sebagai berikut, yaitu: Fatalisme, yakni kepasrahan total yang menganggap
manusia tidak dapat melakukan apa-apa, tidak memiliki daya, dan dipaksa berbuat oleh Allah Swt.
5. Qodariyah
Qodariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu Qadara, yang artinya kemampuan dan kekuatan. Menurut
terminology, Qodariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala perbuatan manusia tidak
diintervensi oleh Tuhan. Mazhab Qadariyah didirikan oleh Ma’bad ibn Khalid al-Juhani (79H/699 M).
Secara garis besar, doktrin-doktrin Qodariah pada dasarnya berkisar tentang takdir Tuhan, yaitu: Manusia
berkuasa atas segala perbuatannya; Takdir adalah ketentuan Allah Swt yang diciptakan-Nya bagi seluruh
alam semesta beserta seluruh isinya, sejak zaman azali, yaitu hukum dalam istilah al-Quran disebut
Sunatullah.
6. Mu’tazilah
Secara harfiyah kata Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri,
yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Mu’tazilah yang dipelopori oleh Wasil ibn Atho’. Beberapa
versi tentang pemberian nama Mu’tazilah (golongan kedua) ini, merujuk pada peristiwa yang terjadi antara
Washil bin A’tha, Amr bin Ubaid dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Washil mengikut pengajaran yang
diberikan oleh Hasan al-Basri tentang dosa besar. Ketika Hasan Basri masih berpikir. Washil

5
Membumikan Nilai-Nilai Aswaja Sebagai Pondasi Gerakan Para Santri

mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan, “Penulis berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar, bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada dalam posisi diantara keduanya, tidak mukmin
dan tidak kafir.” Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Basri dan pergi di tempat lain di lingkungan
masjid. Disana Washil mengulangi pendapatnya di depan para pengikutnya. Dengan peristiwa ini, Hasan
Basri berkata,” Wazhil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna). Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang
menjauhkan diri inilah yang kemudian disebut sebagai Mu’tazilah.
7. Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu’tazilah. Adalah
seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) yang
terdidik dalam alam pikiran Mu’tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mu’tazili). Tetapi kemudian
pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu’tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang
anti Mu’tazilah. Ilmu Kalam al-Asy’ar’i itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy’ariyyah, kemudian
tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang,
karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni. Seorang pemikir lain yang Ilmu
Kalam-nya mendapat pengakuan sama dengan al-Asy’ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand
pada 333 H/944 M). Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan al-Asy‘ari, khususnya berkenaan dengan
teori tentang kebebasan manusia (al-Maturidi mengajarkan kebebasan manusia yang lebih besar daripada al-
Asy’ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni, dan system Ilmu Kalamnya dipandang sebagai
“jalan keselamatan”, bersama dengan sistem al-Asy’ari.

Garis-Garis Besar Doktrin Aswaja


Ahlussunnah Wal Jama‘ah sebagai sebuah aliran (aliran yang menganut faham aswaja/berkonsepkan
Aswaja) muncul karena adanya sebuah respon terhadap aliran Mu‘tazilah yang terkesan terlalu rasional
sampai mengenyampingkan Sunnah.11 Dalam hal ini aliran Ahlussunnah Wal Jama‘ah dibagi menjadi dua
golongan diantaranya adalah Asy‘ariyyah yang dipelopori oleh Abu Hasan Asy‘ari, dan Maturidhiyyah yang
dipimpin oleh Abu Mansur Al Maturidi. Dan yang menyebar ke Indonesia adalah aliran Asy‘ariyyah menjelma
menjadi NU yang didirikan oleh Hasyim Asy‘ari.
Namun disini NU tidak hanya sebagai sekedar cabang dari asy’ariyyah, tapi NU adalah organisasi
keagamaan yang sangat patuh, dan konsisten dalam menggunakan aswaja sebagai konsepnya, dan
menggunkannya dengan sangat baik, sehingga NU tidak bisa dilepaskan dengan Aswaja atau boleh kita
katakana ketika menyebutkan NU sama dengan menyebutkan Aswaja. Pada awalya makna Aswaja Indonesia
adalah sama dengan pemahaman sebelumnya, yaitu ajaran yang sesuai dengan Hadits, dan ijma’ ulama.
Namun, dalam hal ini terdapat spesifikasi yang lebih menyesuaikan dengan kultur Indonesia yang majemuk.
Menurut KH Bisri Musthofa, definisi Aswaja, yaitu, paham yang menganut pola madzhab fikih yang empat,
Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Hambali, dan Imam Maliki. Selain itu, dalam bidang akidah mengikuti
Asy‘ari, dan Maturidi. Dalam bidang tasawuf mengikuti Junaid al Baghdâdî dan al Ghazâlî. 12 Aswaja juga
disebut paham yang mengikuti Asy‘ari, dan Maturidi.

11
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1986) hlm. 65
12
Mujamil Qomar, , NU Liberal; Dari Tradisionalisme Ahlusunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 62
6
Membumikan Nilai-Nilai Aswaja Sebagai Pondasi Gerakan Para Santri

Adapun salah satu konsep dari pemahaman Aswaja di sini, yaitu tawasuth, tasamuh, tawazun dan
amarma'rufnahimunkar. Yang dimaksud tawasuth (moderat) ini, sebuah sikap keberagamaan yang tidak
terjebak terhadap hal-hal yang sifatnya ekstrim. Tasamuh, sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan
yang menerima kehidupan sebagai sesuatu yang beragam. Tawazun (seimbang), sebuah keseimbangan
sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang, dan
kemudian mengambil posisi yang seimbang dan proporsional. Amar ma'ruf nahi munkar, mengajak kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran.13
Aswaja sebagai paham keagamaan yang di dalamnya mempunyai konsep moderat (tawasut),
setidaknya harus memandang, dan memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Karena budaya,
sebagai kreasi manusia yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bisa terjamin. Budaya memiliki
nilai-nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia, baik secara personal maupun sosial. Dalam
hal ini asawaja dalam NU lebih condong bersifat substansial dari pada teknis.14
Dalam hal ini, berlaku sebuah kaidah fikih "al muhâfazhah alâ al qadîm al shalîh wal al akhzu bil jadidî
al ashlâh", melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan
menggunakan kaidah ini, pengikut Aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi budaya. Jadi tidak semuanya
budaya itu jelek, selama budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan mengandung kebaikan maka
bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan dan layak untuk diikutinya. Ini sesuai dengan sebauh kaidah fikih, "al
adah muhakkamah" bahwa budaya atau tradisi (yang baik) bisa menjadi pertimbangan hukum.
Berangkat dari paradigma Aswaja tersebut maka tampak jelas bahwa kaum Aswaja tidak mudah
mengkafirkan atau mensyirikkan orang lain hanya karena dia menggunakan takwil atas teks-teks agama. Ini
tentu berbeda dengan perilaku sebagian kelompok Islam garis keras di Indonesia dewasa ini. Kaum Aswaja
bahkan juga tidak mudah menuduh sesat (bid’ah) terhadapmereka yang berseberangan pendapat
menyangkut pengembangan tradisi masyarakat dan pemikiran keagamaan. Dalam tradisi fiqh sikap Aswaja ini
dikemukakan dalam ucapan paraulama fiqh : “Ra’yuna shawab yahtamil al khata’ wa ra’yu ghairina khatha
yahtamil al Shawab”(penda pat kami benar meski mungkin keliru, dan pendapat orang lain keliru tapi mungkin
sajabenar). Pada sisi lain kaum Aswaja tidak sepenuhnya membiarkan berkembangnyapemahaman yang
serba menghalalkan segala cara (ibahiyyah). Untuk menjembatanikesenjangan pemahaman antar umat, kaum
Sunni mengemukakan prinsip “musyawarah” atau“syura” untuk mencapai kesepakakan dengan damai, tanpa
kekerasan.
Paradigma Aswaja di atas diyakini banyak pihak masih memiliki relevansi untuk mengatasi problem
politik umat Islam Indonesia yang tengah berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Aswajalah golongan
yang dapat menjawab secara telak tuduhan “ekstrimis” atau “teroris” yang dialamatkan kepada Islam. Hal ini
karena Aswaja tidak pernah mengenal penggunaan cara-cara radikal atau cara-cara kekerasan atas nama
atau simbol agama terhadap orang lain meski mereka berbeda aliran keagamaan bahkan terhadap mereka
yang berbeda agamanya.15

13
Masyhudi Muchtar, Aswaja An-Nahdliyah, Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama,
(Surabaya: Khalista, Cet. I., Maret 2007) hlm. 51-52
14
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKIS, cet v, 2010) hlm.37
15
ArtikelKH. Husein Muhammad, Aswaja Di Antara Dua Kutub Ekstrimitas, Jumat, 02 November 2007.
7
Membumikan Nilai-Nilai Aswaja Sebagai Pondasi Gerakan Para Santri

Aswaja juga tidak pernah menganjurkan pengikutnya untuk memulai perang terhadap orang kafir/non
muslim. Perang dapat dijalankan hanya dalam rangka membela diri dari serangan mereka. Jika ada
kemunkaran yang terjadi dalam masyarakat, doktrin Aswaja mengajarkan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, melalui
“hikmah” (ilmu pengetahuan), mau’izhah hasanah (nasehat yang santun) dan mujadalah billati hiya ahsan
(berdebat dengan cara yang terbaik). Cara lain adalah melalui aturan-aturan hukum yang adil dan
dilaksanakan dengan konsekuen. Hukum yang adil adalah pilar utama bagi kehidupan bersama masyarakat
bangsa.
Dengan demikian, terdapat terobosan merenovasi dalam berbagai bidang pemikiran, dengan tujuan
kemaslahatan kaum muslimin secara menyeluruh, dan melindungi hak-hak asasi manusia, sebagai realisasi
Islam yang membawa rahmat bagi alam semesta. Hal yang paling mendesak untuk dirumuskan pada era
modern ini adalah sebagai berikut, pertama, hubungan Islam dan negara yang sudah terkotak dalam nation
state. Kedua, hubungan Syariah Islam dengan hukum publik baik nasional maupun internasional. Ketiga,
konsep pemberdayaan rakyat menuju masyarakat yang musyawarah, dan terbebas dari belenggu
penghambaan. Keempat, konsep keadilan ekonomi, politik dan hukum.
Islam, iman dan ihsan adalah trilogi agama (addîn) yang membentuk tiga dimensi keagamaan meliputi
syarî'ah sebagai realitas hukum, tharîqah sebagai jembatan menuju haqîqah yang merupakan puncak
kebenaran esensial. Ketiganya adalah sisi tak terpisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa Rasulullah saw.
yang menghadirkan kesatuan aspek eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin). Tiga dimensi agama ini (islam,
iman dan ihsan), masing-masing saling melengkapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan
sempurna tanpa mengintegrasikan keimanan dan keihsanan. Ketiganya harus berjalan seimbang dalam
perilaku dan penghayatan keagamaan umat, seperti yang ditegaskan dalam firman Allah: Hai orang-orang
yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya. (QS. Albaqarah: 208)
Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan, ”hakikat Islam adalah aktifitas badaniah (lahir) dalam
menjalankan kewajiban agama, hakikat iman adalah aktifitas hati dalam kepasrahan, dan hakikat ihsan adalah
aktifitas ruh dalam penyaksian (musyâhadah) kepada Allah”.
Dalam perkembangan selanjutnya, kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keislaman,
melahirkan disiplin ilmu yang disebut fiqh.Kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keimanan,
melahirkan disiplin ilmu tauhid. Dan kecenderungan ulama dalam dimensi keihsanan, melahirkan disiplin ilmu
tasawuf atau akhlak. Paham ASWAJA mengakomodir secara integral tiga dimensi keagamaan tersebut
sebagai doktrin dan ajaran esensialnya. Karena praktek eksoterisme keagamaan tanpa disertai esoterisme,
merupakan kemunafikan.Begitu juga esoterisme tanpa didukung eksoterisme adalah klenik. Semata-mata
formalitas adalah tiada guna, demikian juga spiritualitas belaka adalah sia-sia. Imam Malik mengatakan:
Barang siapa menjalani tasawuf tanpa fiqh, maka dia telah zindiq, barang siapa memegang fiqh tanpa
tasawuf, maka dia telah fasiq, dan barang siapa menyatukan keduanya, maka dia telah menemukan
kebenaran.
1.Doktrin Keimanan
Iman adalah pembenaran (tashdîq) terhadap Allah, Rasul dan segala risalah yang dibawanya dari
Allah. Dalam doktrin keimanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tauhid (teologi/kalam) ini,

8
Membumikan Nilai-Nilai Aswaja Sebagai Pondasi Gerakan Para Santri

ASWAJA berpedoman pada akidah islamiyah (ushûluddîn) yang dirumuskan oleh Abu Alhasan Al'asy'ari
(260 H./874 M. – 324 H./936 M.) dan Abu Manshur Almaturidi (w. 333 H.).
Kedua tokoh ASWAJA ini nyaris sepakat dalam masalah akidah islamiyah, meliputi sifat-sifat wajib,
mustahil dan ja'iz bagi Allah, para rasul dan malaikatNya, kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses
penalaran. Kedua tokoh ini hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal. Yaitu dalam
masalah istitsnâ’, takwîn, dan iman dengan taqlid.
Pertama istitsna’, atau mengatakan keimanan dengan insya'Allah, seperti “Saya beriman, insya'Allah”,
menurut Maturidiyah tidak diperbolehkan, karena istitsnâ demikian mengisyaratkan sebuah keraguan, dan
keimanan batal dengan adanya ragu-ragu. Menurut Asyâ'irah diperbolehkan, karena maksud istisnâ’
demikian bukan didasari keraguan atas keimanan itu sendiri, melainkan keraguan tentang akhir hidupnya
dengan iman atau tidak, na’ûdzu billah min dzalik. Atau, istitsnâ’ demikian maksudnya keraguan dan
spekulasi terhadap kesempurnaan imannya di hadapan Allah.
Kedua sifat takwîn (mewujudkan), menurut Asyâ'irah sifat takwîn (‫ )تكوين‬tidak berbeda dengan sifat
Qudrah. Sedangkan menurut Maturidiyah, takwîn adalah sifat tersendiri yang berkaitan dengan sifat Qudrah.
Dan ketiga, tentang imannya orang yang taqlid (ikut-ikutan tanpa mengetahui dalilnya). Menurut
Maturidi, imannya muqallid sah dan disebut arif serta masuk surga. Sedangkan Menurut Abu Alhasan
Al'asy'ari, keimanan demikian tidak cukup. Sedangkan Asyâ'irah (pengikut Abu Alhasan Al'asy'ari) berbeda
pendapat tentang imannya muqallid. Sebagian menyatakan mukmin tapi berdosa karena tidak mau
berusaha mengetahu melalui dalil; sebagian mengatakan mukmin dan tidak berdosa kecuali jika mampu
mengetahui dalil; dan sebagian yang lain mengatakan tidak dianggap mukmin sama sekali.
Dari tingkatan tauhid ini, selanjutnya ada empat strata keimanan. Ada iman bittaqlîd, iman biddalîl,
iman bil iyyân dan iman bil haqq. Pertama, iman bittaqlîd adalah keimanan melalui ungkapan orang lain
tanpa mengetahui dalilnya secara langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih diperselisihkan.
Kedua, iman biddalîl (ilmul yaqîn) ialah keyakinan terhadap aqâ'id lima puluh dengan dalil dan alasan
filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang (‫ )محجوب‬dalam mengetahui Allah. Ketiga, iman bil iyyân
(‘ainul yaqîn) ialah keimanan yang senantiasa hatinya muraqabah kepada Allah. Artinya, dalam kondisi
apapun, Allah tidak hilang dari kesadaran hatinya. Dan keempat, iman bil haqq (haqqul yaqîn) yaitu
keimanan yang telah terlepas dari segala yang hadîts dan tenggelam dalam fanâ' billah. Mempelajari ilmu
tauhid, fiqh dan tasawuf, hanya akan menghasilkan iman biddalîl (ilmul yaqîn), dan jika keimanan ini
senantiasa disertai kesadaran hati dan penghayatan amaliah, maka naik ke strata iman biliyyân (‘ainul
yaqîn) hingga puncaknya mencapai pada iman bil haqq (haqqul yaqîn).
Doktrin keimanan terhadap Allah, berarti tauhid atau meng-Esakan Allah dalam af'âl, shifah dan dzât.
Dengan demikian, tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid fi’li, yaitu fana’ dari seluruh perbuatan; tauhid washfi,
yaitu fana’ dari segala sifat; dan tauhiddzati, yaitu fana’ dari segala yang maujûd. Fana’ fi’li disebut juga
dengan ilmul yaqîn, fana’ washfi disebut juga dengan ‘ainul yaqîn, dan fana’ dzati juga disebut dengan
haqqul yaqîn. Level tauhid demikian ini merupakan puncak prestasi dari penghayatan firman Allah: Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.(QS. Ashshafat: 96). Sebagian ulama 'arif
billah menyatakan: Barang siapa dapat menyaksikan makhluk tidak memiliki perbuatan, maka ia telah

9
Membumikan Nilai-Nilai Aswaja Sebagai Pondasi Gerakan Para Santri

beruntung, barang siapa menyaksikannya tidak hidup, maka itu diperbolehkan, dan barang siapa
menyaksikannya praktis tiada, maka ia telah wushul.
Konsep tauhid ASWAJA mengenai af'âl (perbuatan) Allah, berada di tengah antara paham Jabariyah
di satu pihak dan Qadariyah dan Mu'tazilah di pihak lain. Ketika Jabariyah menyatakan paham peniadaan
kebebasan dan kuasa manusia atas segala kehendak dan perbuatannya secara mutlak, sementara
Qadariyah dan Mu’tazilah menyatakan makhluk memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas kehendak dan
perbuatannya, maka lahirlah ASWAJA sebagai sekte moderat di antara dua paham ektrim tersebut.
ASWAJA meyakini bahwa makhluk memiliki kebebasan kehendak (ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa
(qudrah) perbuatan selain sebatas kasb (upaya). Dalam keyakinan ASWAJA, secara dhahir manusia adalah
'kuasa' (memiliki qudrah), namun secara batin, manusia adalah majbûr (tidak memiliki qudrah apapun).
Dalam doktrin keimanan ASWAJA, keimanan seseorang tidak dianggap hilang dan menjadi kafir,
dengan melakukan kemaksiatan. Seseorang yang melakukan maksiat ataupun bid'ah, sementara hatinya
masih teguh meyakini dua kalimat syahadat, maka ASWAJA tidak akan menvonis sebagai kafir, melainkan
sebagai orang yang sesat (dhalâl) dan durhaka. ASWAJA sangat berhati-hati dan tidak gampang dalam
sikap takfîr (mengkafirkan). Karena memvonis kafir seseorang yang sejatinya mukmin akan menjadi
bumerang bagi diri sendiri. Rasulullah saw. bersabda: Ketika seseorang berkata kepada saudaranya: ”wahai
seorang yang kafir”, maka salah satunya benar-benar telah kafir. (HR. Bukhari)
Keimanan seseorang akan hilang dan menjadi kafir (murtad) apabila menafikan wujud Allah,
mengandung unsur syirik yang tidak dapat dita’wil, mengingkari kenabian, mengingkari hal-hal yang lumrah
diketahui dalam agama (ma'lûm bi adldlarûri), dan mengingkari hal-hal mutawâtir atau mujma’ ‘alaih yang
telah lumrah diketahui. Tindakan yang menyebabkan seseorang dikategorikan kafir bisa meliputi ucapan,
perbuatan atau keyakinan, yang mengandung unsur-unsur di atas ketika telah terbukti (tahaqquq) dan tidak
bisa dita’wil.
2.Doktrin Keislaman
Doktrin keislaman, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang fiqh yang meliputi hukum-hukum
legal-formal (ubudiyah, mu'amalah, munakahah, jinayah, siyasah dan lain-lain), ASWAJA berpedoman pada
salah satu dari empat madzhab fiqh: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah.
Ada alasan mendasar mengenai pembatasan ASWAJA hanya kepada empat madzhab ini. Di
samping alasan otentisitas madzhab yang terpercaya melalui konsep-konsep madzhab yang terkodifikasi
secara rapi dan sistematis, metodologi pola pikir dari empat madzhab ini relatif tawâzun (berimbang) dalam
mensinergikan antara dalil aql (rasio-logis) dan dalil naql (teks-teks keagamaan). Empat madzhab ini yang
dinilai paling moderat dibanding madzhab Dawud Adhdhahiri yang cenderung tekstualis dan Madzhab
Mu'tazilah yang cenderung rasionalis.
Jalan tengah (tawâsuth) yang ditempuh ASWAJA di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara rasioalis
dengan tekstualis ini, karena jalan tengah atau moderat diyakini sebagai jalan paling selamat di antara yang
selamat, jalan terbaik diantara yang baik, sebagaimana yang ditegaskan Nabi saw. dalam sabdanya:
Sebaik-baiknya perkara adalah tengahnya.
Dengan prinsip inilah ASWAJA mengakui bahwa empat madzhab yang memadukan dalil Alqur'an,
Hadits, Ijma' dan Qiyas (analogi), diakuinya mengandung kemungkinan lebih besar berada di jalur

10
Membumikan Nilai-Nilai Aswaja Sebagai Pondasi Gerakan Para Santri

kebenaran dan keselamatan. Hal ini juga dapat berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh
ASWAJA hanya bersifat kemungkinan dan bukan kemutlakan. Dalam arti, mungkin benar dan bukan mutlak
benar. Empat dalil (Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas) ini dirumuskan dari ayat: Hai orangorang yang
beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya) (QS. Annisa': 59)
Dalam ayat ini secara implisit ditegaskan, bahwa ada empat dalil yang bisa dijadikan tendensi
penggalian (istinbâth) hukum, yaitu Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas. Perintah taat kepada Allah dan
utusanNya, berarti perintah berpegang pada Alqur'an dan Hadits, perintah taat kepada ulil amri berarti
perintah berpegang pada Ijma' (konsensus) umat (mujtahidîn), dan perintah mengembalikan perselisihan
kepada Allah dan RasulNya berarti perintah berpegang pada Qiyas sepanjang tidak ada nash dan ijma'.
Sebab, Qiyas hakikatnya mengembalikan sesuatu yang berbeda pada hukum Allah dan utusanNya.
Disamping itu, ASWAJA juga melegalkan taqlid, bahkan mewajibkannya bagi umat yang tidak memiliki
kapasitas dan kualifikasi keilmuan yang memungkinkan melakukan ijtihad. Taqlid hanya haram bagi umat
yang benar-benar memiliki kapasitas dan piranti ijtihad sebagaimana yang dikaji dalam kitab Ushul Fiqh.
Dengan demikian, ASWAJA tidak pernah menyatakan pintu ijtihad tertutup. Pintu ijtihad selamanya terbuka,
hanya saja umat Islam yang agaknya dewasa ini 'enggan' memasukinya. Mewajibkan ijtihad kepada umat
yang tidak memiliki kapasitas ijtihad, sama saja memaksakan susuatu di luar batas kemampuannya. Maka
kepada umat seperti inilah taqlid dipahami sebagai kewajiban oleh ASWAJA berdasarkan firman Allah:
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS. Annahl:
43)
3.Doktrin Keihsanan
Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui teori-teori ilmiah semata
melainkan dengan mengintegrasikan antara ilmu dan amal, dengan jalan melepaskan (takhallî) baju
kenistaan (akhlaq madzmûmah) dan mengenakan (tahallî) jubah keagungan (akhlaq mahmûdah), sehingga
Allah hadir (tajallî) dalam setiap gerak-gerik dan perilakunya, dan inilah manifestasi konkret dari ihsan dalam
sabda Rasulullah SAW: Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah engkau melihatNya, dan jika engkau
tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.
Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tasawuf atau akhlaq ini, ASWAJA
berpedoman pada konsep tasawuf akhlaqi atau amali, yang dirumuskan oleh Imam Aljunaid Albaghdadi dan
Alghazali. Limitasi (pembatasan) hanya kepada kedua tokoh ini, tidak berarti manafikan tokoh-tokoh tasawuf
falsafi dari kelompok ASWAJA, seperti Ibn Al'arabi, Alhallaj dan tokoh-tokoh sufi 'kontroversial' lainnya.
Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk kategori ASWAJA meliputi ahli
tauhid (kalam), ahli fiqh (syariat), ahli tasawuf (akhlak) dan bahkan ahli hadits (muhadditsîn). Dari kelompok-
kelompok ini masing-masing memiliki konsep metodologis dan tema kajian sendiri-sendiri yang tidak bisa
diuraikan di makalah ringkas ini.

Metodologi Pemikiran (Manhajul fikr) Aswaja


Jika kita mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syariat (islam) ataupun
akhlak (ihsan), maka bisa kita dapati sebuah metodologi pemikiran (manhaj alfkr) yang tengah dan moderat
11
Membumikan Nilai-Nilai Aswaja Sebagai Pondasi Gerakan Para Santri

(tawassuth), berimbang atau harmoni (tawâzun), netral atau adil (ta'âdul), dan toleran (tasâmuh). Metodologi
pemikiran ASWAJA senantiasa menghidari sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau ekstrim kiri.
Inilah yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham ASWAJA dengan sektesekte Islam lainnya. Dan
dari prinsip metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA membangun keimanan, pemikiran, sikap, perilaku
dan gerakan.
1.Tawasuth (Moderat)
Tawassuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan atau ke
kiri.Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi semangat dalam
mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah
(terbaik). Sikap ini didasarkan pada firman Allah: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Albaqarah: 143).
2.Tawâzun (Berimbang)
Tawâzun ialah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil
(pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah keputusan dan
kebijakan.Dalam konteks pemikiran dan amaliah keagamaan, prinsip tawâzun menghindari sikap ekstrim
(tatharruf) yang serba kanan sehingga melahirkan fundamentalisme, dan menghindari sikap ekstrim yang
serba kiri yang melahirkan liberalisme dalam pengamalan ajaran agama. Sikap tawâzun ini didasarkan pada
firman Allah: Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata
dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan. (QS. Alhadid: 25).
3.Ta'âdul (Netral dan Adil)
Ta'âdul ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan menyelesaikan segala
permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara (tamâtsul). Adil adalah sikap proporsional
berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. Kalaupun keadilan menuntut adanya kesamaan atau
kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika realitas individu benar-benar sama dan setara secara persis dalam
segala sifat-sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi tafâdlul (keunggulan), maka keadilan menuntut
perbedaan dan pengutamaan (tafdlîl). Penyetaraan antara dua hal yang jelas tafâdlul, adalah tindakan
aniaya yangbertentangan dengan asas keadilan itu sendiri. Sikap ta'âdul ini berdasarkan firman Allah: Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS.
Alma'idah: 8).
4.Tasâmuh (toleran)
Tasâmuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan
keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-
budaya dan lain sebagainya.Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan bukan berarti kompromi akidah.
Bukan berarti mengakui kebenaran keyakinan dan kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan
berarti mengakui kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang haq dan benar.Yang salah dan sesat tetap

12
Membumikan Nilai-Nilai Aswaja Sebagai Pondasi Gerakan Para Santri

harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan. Dan yang haq dan benar harus tetap diyakini sebagai
kebenaran yang haq. Dalam kaitannya dengan toleransi agama, Allah SWT berfirman: Untukmulah
agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Alkafirun: 6). Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,
maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi. (QS. Ali Imran: 85)
Toleransi dalam konteks tradisi-budaya bangsa, ialah sikap permisif yang bersedia menghargai tradisi
dan budaya yang telah menjadi nilai normatif masyarakat. Dalam pandangan ASWAJA, tradisibudaya yang
secara substansial tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan
mengakulturasikannya dengan nilai-nilai keislaman.
Dengan demikian, tasâmuh (toleransi), berati sebuah sikap untuk menciptakan keharmonisan
kehidupan sebagai sesama umat manusia. Sebuah sikap untuk membangun kerukunan antar sesama
makhluk Allah di muka bumi, dan untuk menciptakan peradaban manusia yang madani. Dari sikap tasâmuh
inilah selanjutnya ASWAJA merumuskan konsep persaudaraan (ukhuwwah) universal. Meliputi ukhuwwah
islamiyyah (persaudaan keislaman), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaaan) dan ukhuwwah
basyariyyah atau insâniyyah (persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk menciptakan
keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari firman Allah SWT: Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS.
Alhujurat; 13). Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. (QS. Albaqarah: 30)

Wallahu A’lam Bisshowab.

Wallhul Muwafieq Ilaa Aqwamitthorieq.


Wassalamu’alaykum Warahmatullahi Wabaarakatuh

Referensi
Nur Sayyid Santoso Kristeva, S.Pd.I., M.A, Seminar ASWAJA, 5 Agustus 2012 Ponpes Al-Madaniyyah Al-
Islamiyyah As-Salafiyyah Gumilir Cilacap..
Abbas, Sirojuddin, I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1992).
Abdurrahman, Moeslim, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997)
Amin, Masyhur, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: ISF, 2004)
Al-Jabiri, M. Abed, Al-Aql Al-Siyasi Al-Arabi: Muhadidah wa Tajalliyatuh(Nalar Politik Arab: Faktor-faktor
Penentu & Manifestasinya), Beirut, Markaz Dirasah Al-Wihdah Al-Arabiyah, 1995.
_______, Post Tradsionalisme Islam, Yogyakarta, LKiS, 2000.
Abbas, Zainal Abidin, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, (Medan: Firma lslamiyah, 1957 M/ 1376 H)
Assmin, Yudian Wahyu, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004)
Aziz, Aceng Abdul Dy dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia; Sejahtera, Pemikiran dan Dinamika
Nahdlatul Ulama, Pustaka Ma’arif NU, 2006.
Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam (Jakarta: Rajawali 2010).
13
Membumikan Nilai-Nilai Aswaja Sebagai Pondasi Gerakan Para Santri

Blekker, Pertemuan Agama-agama Dunia (Bandung: Sumur Bandung, 1985).


Bakry Hasbullah, Disekitar Skolastik Islam (Jakarta: Tintamas, 1984)
Badri, Yatim, Sejarah peradaban islam, 2001, Jakarta: Raja Grafindo Jaya.
Barton, Greg (ed.), Radikalisme Tradisional, Yogyakarta, LKiS, 1999.
Baihaqi, Imam, (ed.), Kontroversi Aswaja, Aula Perdebatan & Reinterpretasi, Yogyakarta, LKiS, Cet.II., 2000.
Dahlan Abd. Rahman dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam (Jakarta: LPH, 1996)
Dhofier, Zamakhsyari, Tradi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1994) Esack,
Farid, Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme, Bandung, Mizan, 2000.
Engineer, Asghar Ali, Islam and Liberation Theology, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Feillard, Andre, NU vis-à-vis Negara, Yogyakarta, LKiS, 1999.
Hanafi, A., Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru Jakarta, 2003)
Khaldun, lbnu, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Mesir: Maktabah Tijdriyah, t.t.)
Karim, Abdul, Reformulasi Aswaja Sebagai Manhajul-Fikr & Manhajul-Amal, Aswaja Center Pati, 2012.
Lowy, Michael, Teologi Pembebasan (Jogjakarta: Pustaka Pelajar & Insist Press, 2003) Leaman, Oliver,
Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2001).
Muzadi, Abdul Muchith, Mengenal NU (Surabaya: Kalista, 2006)
_______, NU Perspektif Sejarah dan Ajaran (Surabaya: Kalista, 2006)
Muchtar, Masyhudi, Aswaja An-Nahdliyah, Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang Berlaku di Lingkungan
Nahdlatul Ulama, (Surabaya: Khalista, Cet. I., Maret 2007)
Muhammad, Husein, Aswaja Di Antara Dua Kutub Ekstrimitas, Artikel, 02 Nov. 2007
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspek, Jilid I & II., Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2008.
_______, Teologi Islam : Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta : UI Press, 1986.
_______, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
_______, Filsafat dan Mistisisme Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995)
Qomar, Mujamil, NU Liberal; Dari Tradisionalisme Ahlusunnah ke Universalisme Islam, Bandung: Mizan, 2002
Razak, Abdul dan Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2003) Shimogaki, Kasuo, Kiri Islam
(Jogjakarta: LKIS, 2011).
Van Bruinessen, Martin, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, & Pencarian Wacana Baru,Yogyak arta, LKiS, 1996.
Watt, W. Montgomery, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Terj. Umar Basalim (Jakarta: P3M, 1987)
Wahid, Abdurrahman, Tuhan Tak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKIS, cet v, 2010)
Wahid, Abdurahman, Konsep-Konsep Keadilan, dalam B. Munawar Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah, Jakarta, Para, 1994.

14

Anda mungkin juga menyukai