Hand-Out 08
SEJARAH & DOKTRIN ASWAJA
144
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah
145
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah
aktifitas mereka inilah selanjutnya lahir sekelompok ilmuan sahabat, yang mewariskan
tradisi keilmuan kepada generasi berikutnya, sehingga melahirkan tokoh-tokoh
mutakallimîn, muhadditsîn, fuqahâ', mufassirîn, dan mutashawwifîn.Kelompok ini
berusaha mengakomodir semua kekuatan dan model pemikiran yang sederhana,
sehingga mudah diterima oleh mayoritas umat Islam.
ASWAJA sebagai sebuah sekte Islam, eksistensinya semakin populer ketika
Syaikh Abu Alhasan Al'asy’ari menyatakan keluar dari paham Mu'tazilah dan
menyerang akidah paham tersebut.Sebelumnya, Abu Alhasan Al'asy’ari adalah seorang
penganut Mu'tazilah dan menjadi murid Abu Ali Aljaba’i Almu'tazili, seorang tokoh
Mu'tazilah yang sekaligus ayah tirinya. Dalam kutipan akhir perdebatan antara Abu
Alhasan Al'asy’ari dengan gurunya, Abu Ali Aljaba’i, dalam rangka membatalkan
paham Mu'tazilah, diceritakan: Abu Alhasan Al'asy’ari bertanya pada Abu Ali Aljaba’i:
“Bagaimana pendapatmu tentang tiga saudara yang meninggal dunia, yang satu adalah
orang yang taat, yang kedua adalah orang yang durhaka, dan yang ketiga meninggal
ketika masih kecil?” Abu Ali Aljaba’i menjawab: “yang taat diberi pahala dan masuk
surga, yang durhaka disiksa dan masuk neraka, dan yang kecil berada di antara surga
dan neraka (manzilah baina almanzilatain), tidak diberi pahala dan tidak disiksa”. Abu
Alhasan bertanya: “Jika yang kecil mengatakan: “Wahai Tuhanku, kenapa Engkau
mencabut nyawaku ketika aku masih kecil? Jika Engkau biarkan aku hidup, aku akan
taat dan masuk surga”, lalu bagaimana jawaban Allah?”. Abu Ali Aljaba’i menjawab:
“Allah akan menjawab: “Aku maha tahu, jika engkau hidup sampai dewasa, maka
engkau akan durhaka sehingga masuk neraka, maka yang terbaik adalah engkau mati
ketika masih kecil”. Abu Alhasan bertanya lagi: “Jika yang mati dalam keadaan durhaka
mengatakan: “Wahai Tuhanku, jika Engkau tahu aku akan durhaka, kenapa Engkau
tidak mencabut nyawaku ketika aku masih kecil, sehingga Engkau tidak memasukkan
aku ke dalam neraka?”, lalu apa yang akan dikatakan Allah?”Pada pertanyaan terakhir
inilah Abu Ali Aljaba’i tak sanggup menjawab untuk membela pahamnya.
Setelah Abu Ali Aljaba’i gagal menjawab pertanyaannya, Abu Alhasan Al'asy’ari
lalu menyatakan keluar dari paham Mu'tazilah, dan aktif menulis kitab-kitab untuk
menolak akidah Mu'tazilah dan merumuskan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah.
Dengan demikian, ASWAJA adalah aliran pemahaman keagamaan yang
bercita-cita mengamalkan syari’at Islam secara murni, sesuai yang dikehendaki oleh
Allah.ASWAJA meyakini wahyu bersifat 'gaib' dan disampaikan dalam kegaiban. Untuk
itu tidak ada yang patut mengaku sebagai pengamal syari’at Islam secara mutlak benar
kecuali Rasulullah saw., karena beliaulah yang menerima dan dituntun wahyu sesuai
kehendak Allah. Selain Rasulullah, para sahabat yang selalu dekat dan memperoleh
ajaran langsung Rasulullah adalah umat Islam yang kualitas pemahaman terhadap
wahyu mendekati sempurna, karena mereka tahu persis bagaimana Nabi Muhammad
memahami dan mengamalkan wahyu. Hanya dengan merujuk kepada akidah, amaliah
dan akhlak mereka inilah suatu sekte Islam berhak disebut Ahlussunah wal Jama‘ah.
Apabila dewasa ini semua sekte Islam mengklaim diri sebagai ASWAJA, maka
harus ditegaskan bahwa ASWAJA bukanlah klaim, melainkan paham keagamaan
dengan bukti kesesuaian akidah, amaliah dan akhlaknya dengan akidah, amaliah dan
akhlak Rasulullah dan yang telah disepakati para sahabat di masa Khulafa' Arrasyidin,
berdasarkan hujjah dan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan.
146
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah
1. Doktrin Keimanan
Iman adalah pembenaran (tashdîq) terhadap Allah, Rasul dan segala risalah
yang dibawanya dari Allah. Dalam doktrin keimanan, yang selanjutnya
termanifestasi ke dalam bidang tauhid (teologi/kalam) ini, ASWAJA berpedoman
pada akidah islamiyah (ushûluddîn) yang dirumuskan oleh Abu Alhasan Al'asy'ari
(260 H./874 M. – 324 H./936 M.) dan Abu Manshur Almaturidi (w. 333 H.).
Kedua tokoh ASWAJA ini nyaris sepakat dalam masalah akidah islamiyah,
meliputi sifat-sifat wajib, mustahil dan ja'iz bagi Allah, para rasul dan malaikatNya,
kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua tokoh ini hanya
berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal.Yaitu dalam masalah
istitsnâ’, takwîn, dan iman dengan taqlid.
Pertama istitsna’, atau mengatakan keimanan dengan insya'Allah, seperti
“Saya beriman, insya'Allah”, menurut Maturidiyah tidak diperbolehkan, karena
istitsnâ demikian mengisyaratkan sebuah keraguan, dan keimanan batal dengan
adanya ragu-ragu.Menurut Asyâ'irah diperbolehkan, karena maksud istisnâ’
demikian bukan didasari keraguan atas keimanan itu sendiri, melainkan keraguan
tentang akhir hidupnya dengan iman atau tidak, na’ûdzu billah min dzalik.Atau,
istitsnâ’ demikian maksudnya keraguan dan spekulasi terhadap kesempurnaan
imannya di hadapan Allah.
147
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah
148
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah
2. Doktrin Keislaman
Doktrin keislaman, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang fiqh
yang meliputi hukum-hukum legal-formal (ubudiyah, mu'amalah, munakahah,
jinayah, siyasah dan lain-lain), ASWAJA berpedoman pada salah satu dari empat
madzhab fiqh: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah.
Ada alasan mendasar mengenai pembatasan ASWAJA hanya kepada empat
madzhab ini.Di samping alasan otentisitas madzhab yang terpercaya melalui
konsep-konsep madzhab yang terkodifikasi secara rapi dan sistematis, metodologi
pola pikir dari empat madzhab ini relatif tawâzun (berimbang) dalam
mensinergikan antara dalil aql (rasio-logis) dan dalil naql (teks-teks
keagamaan).Empat madzhab ini yang dinilai paling moderat dibanding madzhab
Dawud Adhdhahiri yang cenderung tekstualis dan Madzhab Mu'tazilah yang
cenderung rasionalis.
Jalan tengah (tawâsuth) yang ditempuh ASWAJA di antara dua kutub
ekstrim, yaitu antara rasioalis dengan tekstualis ini, karena jalan tengah atau
moderat diyakini sebagai jalan paling selamat di antara yang selamat, jalan terbaik
diantara yang baik, sebagaimana yang ditegaskan Nabi saw. dalam sabdanya:
Sebaik-baiknya perkara adalah tengahnya.
Dengan prinsip inilah ASWAJA mengakui bahwa empat madzhab yang
memadukan dalil Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas (analogi), diakuinya
mengandung kemungkinan lebih besar berada di jalur kebenaran dan
keselamatan.Hal ini juga dapat berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan diyakini
oleh ASWAJA hanya bersifat kemungkinan dan bukan kemutlakan.Dalam arti,
mungkin benar dan bukan mutlak benar. Empat dalil (Alqur'an, Hadits, Ijma' dan
Qiyas) ini dirumuskan dari ayat: Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan
ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya) (QS. Annisa': 59)
149
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah
Dalam ayat ini secara implisit ditegaskan, bahwa ada empat dalil yang bisa
dijadikan tendensi penggalian (istinbâth) hukum, yaitu Alqur'an, Hadits, Ijma' dan
Qiyas. Perintah taat kepada Allah dan utusanNya, berarti perintah berpegang pada
Alqur'an dan Hadits, perintah taat kepada ulil amri berarti perintah berpegang
pada Ijma' (konsensus) umat (mujtahidîn), dan perintah mengembalikan
perselisihan kepada Allah dan RasulNya berarti perintah berpegang pada Qiyas
sepanjang tidak ada nash dan ijma'. Sebab, Qiyas hakikatnya mengembalikan
sesuatu yang berbeda pada hukum Allah dan utusanNya.
Disamping itu, ASWAJA juga melegalkan taqlid, bahkan mewajibkannya
bagi umat yang tidak memiliki kapasitas dan kualifikasi keilmuan yang
memungkinkan melakukan ijtihad.Taqlid hanya haram bagi umat yang benar-
benar memiliki kapasitas dan piranti ijtihad sebagaimana yang dikaji dalam kitab
Ushul Fiqh.Dengan demikian, ASWAJA tidak pernah menyatakan pintu ijtihad
tertutup. Pintu ijtihad selamanya terbuka, hanya saja umat Islam yang agaknya
dewasa ini 'enggan' memasukinya. Mewajibkan ijtihad kepada umat yang tidak
memiliki kapasitas ijtihad, sama saja memaksakan susuatu di luar batas
kemampuannya. Maka kepada umat seperti inilah taqlid dipahami sebagai
kewajiban oleh ASWAJA berdasarkan firman Allah: Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS. Annahl: 43)
3. Doktrin Keihsanan
Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui
teori-teori ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan antara ilmu dan
amal, dengan jalan melepaskan (takhallî) baju kenistaan (akhlaq madzmûmah) dan
mengenakan (tahallî) jubah keagungan (akhlaq mahmûdah), sehingga Allah hadir
(tajallî) dalam setiap gerak-gerik dan perilakunya, dan inilah manifestasi konkret
dari ihsan dalam sabda Rasulullah SAW: Ihsan adalah engkau menyembah Allah
seolah engkau melihatNya, dan jika engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia
melihatmu.
Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang
tasawuf atau akhlaq ini, ASWAJA berpedoman pada konsep tasawuf akhlaqi atau
amali, yang dirumuskan oleh Imam Aljunaid Albaghdadi dan Alghazali. Limitasi
(pembatasan) hanya kepada kedua tokoh ini, tidak berarti manafikan tokoh-tokoh
tasawuf falsafi dari kelompok ASWAJA, seperti Ibn Al'arabi, Alhallaj dan tokoh-
tokoh sufi 'kontroversial' lainnya.
Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk kategori
ASWAJA meliputi ahli tauhid (kalam), ahli fiqh (syariat), ahli tasawuf (akhlak) dan
bahkan ahli hadits (muhadditsîn).Dari kelompok-kelompok ini masing-masing
memiliki konsep metodologis dan tema kajian sendiri-sendiri yang tidak bisa
diuraikan di makalah ringkas ini.
150
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah
2. Tawâzun (Berimbang)
Tawâzun ialah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan
mensinergikan dalil-dalil (pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan untuk
mencetuskan sebuah keputusan dan kebijakan.Dalam konteks pemikiran dan
amaliah keagamaan, prinsip tawâzun menghindari sikap ekstrim (tatharruf) yang
serba kanan sehingga melahirkan fundamentalisme, dan menghindari sikap
ekstrim yang serba kiri yang melahirkan liberalisme dalam pengamalan ajaran
agama. Sikap tawâzun ini didasarkan pada firman Allah: Sesungguhnya Kami telah
mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan. (QS. Alhadid: 25).
151
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah
4. Tasâmuh (toleran)
Tasâmuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala
kenyataan perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan,
sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain
sebagainya.Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan bukan berarti kompromi
akidah. Bukan berarti mengakui kebenaran keyakinan dan kepercayaan orang lain.
Toleransi agama juga bukan berarti mengakui kesesatan dan kebatilan sebagai
sesuatu yang haq dan benar.Yang salah dan sesat tetap harus diyakini sebagai
kesalahan dan kesesatan. Dan yang haq dan benar harus tetap diyakini sebagai
kebenaran yang haq. Dalam kaitannya dengan toleransi agama, Allah
swt.berfirman: Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Alkafirun:
6). Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi. (QS. Ali Imran: 85)
Toleransi dalam konteks tradisi-budaya bangsa, ialah sikap permisif yang
bersedia menghargai tradisi dan budaya yang telah menjadi nilai normatif
masyarakat. Dalam pandangan ASWAJA, tradisi-budaya yang secara substansial
tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan
mengakulturasikannya dengan nilai-nilai keislaman.
Dengan demikian, tasâmuh (toleransi), berati sebuah sikap untuk
menciptakan keharmonisan kehidupan sebagai sesama umat manusia.Sebuah sikap
untuk membangun kerukunan antar sesama makhluk Allah di muka bumi, dan
untuk menciptakan peradaban manusia yang madani.Dari sikap tasâmuh inilah
selanjutnya ASWAJA merumuskan konsep persaudaraan (ukhuwwah)
universal.Meliputi ukhuwwah islamiyyah (persaudaan keislaman), ukhuwwah
wathaniyyah (persaudaraan kebangsaaan) dan ukhuwwah basyariyyah atau
insâniyyah (persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk
menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan
implementasi dari firman Allah SWT: Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa di antara kamu. (QS. Alhujurat; 13). Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi“. (QS. Albaqarah: 30)
152
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah
keagamaannya, maka tidak ada kewajiban untuk melakukan kudeta atau merubahnya.
Merubah bentuk, sistem atau dasar idiologi negara, hanya wajib dilakukan —sesuai
batas kemampuan— jika nyata-nyata bertentangan dengan syariat.
Pendirian Khilafah Islamiyah bagi ASWAJA (baca: Nahdlatul Ulama) dalam
konteks keIndonesiaan, bukanlah cita-cita urgen, sebab eksistensinya hanyalah sebagai
wasîlah. Ada cita-cita (maqâshid) yang jauh lebih penting dan esensial dari sekedar
membentuk instrumen perjuangan, yaitu menegakkan amar ma'ruf nahi munkar di
tengah kehidupan masyarakat, dan tugas maqâshid ini bisa dilangsungkan tidak harus
melalui pendirian Khilafah Islamiyah.
Pandangan seperti inilah yang mendasari sikap ASWAJA (baca: NU) yang tidak
ambisi dan bercita-cita mendirikan Khilafah Islamiyah di Indonesia. Karena khilafah
bukanlah satu-satunya instrumen yang bisa ditempuh untuk menegakkan syariat
dalam kehidupan umat.Bahkan selama ini, setiap usaha merubah bentuk dan dasar
hukum negara, nyata-nyata lebih banyak memunculkan ekses negatif yang justru
merugikan kaum Muslimin sendiri.Gerak perjuangan ASWAJA (NU) dalam konteks
Indonesia, bukan semangat perjuangan mendirikan Khilafah Islamiyah, melainkan
semangat perjuangan menegakkan syariat dalam perilaku keseharian umat. Dengan
kata lain, perjuangan ASWAJA (NU) tidak dikonsentrasikan pada pembentukan
sebuah wadah syariat secara formal, berupa bentuk khilafah atau sistem negara Islam,
melainkan lebih dikonsentrasikan pada perjuangan aplikasi syariat dalam perilaku
umat sehingga menjadi ruh dan substansi perilaku kehidupan masyarakat. Perilaku
umat yang berlandaskan syariat jauh lebih penting dan lebih baik dibanding sekedar
formalitas bentuk dan sistem negara islami.
Hal ini logis, sebab jika kita jujur membaca fakta sejarah khilafah dalam Islam,
sebenarnya yang layak dilabeli dengan 'islamiyah' (baca: demokratis), hanyalah
khilafah era Khulafa' Arrasyidin saja. Khilafah pasca Khulafa' Arrasyidin, secara umum
telah kehilangan label ke-islamiyah-annya, bahkan identik dengan sistem kekaisaran
Romawi dan Persi.Dari sejarah ini pula bisa kita tegaskan bahwa sistem pemerintahan
demokrasi sebenarnya tidak bisa diklaim sebagai produk kafir, sebab khilafah era
Khulafa' Arrasyidin adalah pemerintahan paling demokratis dari sistem demokrasi
manapun.
Disamping itu, misi pendirian kembali Khilafah Islamiyah yang diusung oleh
sebagian sekte dan gerakan Islam dalam konteks Indonesia dewasa ini, faktanya tidak
murni hanya mengusung misi mendirikan negara Islam saja, melainkan juga
mengusung paham dan idiologi aliran mereka, seperti idiologi Wahabi, Syi'ah atau
lainnya. Mereka tidak akan mendirikan Khilafah Islamiyah kecuali paham dan idiologi
mereka juga menjadi paham dan idiologi resmi pemerintah. Artinya, ketika khilafah
berhasil didirikan, bukan mustahil mereka memberhangus kelompok ASWAJA yang
bertentangan dengan paham mereka, seperti sejarah kekejaman Pemerintahan Arab
Saudi dengan paham Wahhabinya.
Inilah yang menjadi alasan fundamental kenapa ASWAJA (NU) menentang
setiap gerakan dan sekte yang mengusung Khilafah Islamiyah di Indonesia dan
merongrong NKRI yang beridiolgi Pancasila. Dengan kenyakinan bahwa sila pertama
yang mencerminkan tauhid Islam telah menjiwai sila-sila lain dalam Pancasila, dan
mempertimbangkan kenyataan rakyat bangsa Indonesia yang plural dalam ras, suku
dan agama, serta mempertimbangkan resiko ancaman integritas bangsa, maka
ASWAJA (NU) menyatakan: bahwa NKRI dan Pancasila sebagai idiologinya, adalah
153
Sejarah Teologi Islam &
Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah
final dari segala upaya membentuk negara di Indonesia. Sikap seperti ini bukan berarti
ASWAJA (NU) anti khilafah, melainkan lebih demi mempertahankan eksistensi
idiologi ASWAJA dan menghindarkan kekacauan umum (chaos) yang harus
diprioritaskan dari sekedar mencapai kemaslahatan (mendirikan khilafah), sesuai
kaidah fiqh:
ِ د َر ْ ء ُ اﻟ ْﻤ َﻔ َﺎﺳ ِ ﺪ ِ ﻣ ُ ﻘ َﺪ ﱠم ٌ ﻋ َﻠ َﻰ ﺟ َ ﻠ ْﺐ ِ اﻟ ْﻤ َﺼ َ ﺎﻟ ِﺢ
Menghindari kekacauan lebih diprioritaskan dari mengupayakan kemaslahatan
Apabila sejauh ini dikenal tiga model hubungan agama-negara, yaitu
hubungan intergasi (agama dan negara adalah satu kesatuan); hubungan sekuler
(pemisahan peran agama dalam pemerintahan); dan hubungan simbiosis (agama-
negara terpisah namun saling membutuhkan dan mengisi secara timbal-balik), maka
model ketiga inilah yang menjadi pilihan ASWAJA dalam memandang hubungan
agama dan negara.Agama tidak harus diformalkan sebagai sebuah sistem dan bentuk
suatu negara, namun agama juga tidak boleh diceraikan dari intervensi peran politik.
Pandangan politik ASWAJA seperti ini, tidak bisa dipertentangkan dengan
muatan surat Alma'idah ayat 44, 45 dan 47, yang memvonis kafir, dhalim dan fasiq
bagi orang yang tidak memberlakukan hukum-hukum yang diturunkan Allah. Vonis
kafir, dhalim dan fasiq dalam tiga ayat tersebut meski berlaku bagi umat Islam atau
ahli alkitab (non Muslam), namun bila dilakukan orang mukmin, menurut Thawus:
“kekafiran itu tidak mengeluarkannya dari agama“.Dan menurut Atha'; “kekafiran di
bawah kekafiran, kedhaliman di bawah kedhaliman, dan kefasikan di bawah kefasikan".
Sedangkan dalam riwayat lain menurut Ibn Abbas, penguasa Muslim yang tidak
memberlakukan hukum sesuai apa yang diturunkan Allah dipilah menjadi dua. Ibn
Abbas mengatakan: “Orang yang mengingkari apa yang diturunkan Allah, maka dia
adalah kafir, dan orang yang membenarkannya namun tidak menerapkannya, maka dia
dhalim atau fasiq”. Dari sini bisa dipahami bahwa, apabila tidak memberlakukan
hukum-hukum yang diturunkan Allah lantaran ketidaksanggupan, atau karena justeru
akan menimbulkan bahaya dan kerusakan (mafâsid), seperti ancaman disintegrasi
bangsa, tekanan internasional dll., maka vonis kafir, dhalim dan fasiq tidak bisa
dijatuhkan kepada umat Islam.[]
154