Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis adalah salah satu sumber tasyri’ penting dalam Islam. Urgensinya
semakin nyata melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan
penafsir al-Qur’an, bahkan juga sebagai penetap hukum yang independen
sebagaimana al-Qur’an sendiri. Itulah sebabnya, di kalangan Ahl al-Sunnah,
menjadi sangat penting untuk menjaga dan “mengawal” pewarisan al-Sunnah ini
dari generasi ke generasi. Misalnya mereka menetapkan berbagai persyaratan
yang ketat agar sebuah hadis dapat diterima (dengan derajat shahih ataupun
hasan). Setelah meneliti dan membuktikan keabsahan sebuah hadis secara sanad,
mereka tidak cukup berhenti hingga di situ. Mereka pun merasa perlu untuk
mengkaji matannya, seperti apakah hadis tersebut tidak syadz atau mansukh
Demikianlah seterusnya, hingga mereka dapat menyimpulkan dan mendapatkan
hadis yang dapat dijadikan sebagai hujjah.

Di samping Ahl al-Sunnah sebagai salah satu kelompok Islam terbesar-,


ternyata Syiah sebagai salah satu kelompok Syiah terbesar juga memiliki
perhatian khusus terhadap al-Sunnah. Namun mereka memiliki jalur sanad dan
sumber khusus dalam menerima al-Sunnah yang berbeda dengan sanad dan
sumber Ahl al-Sunnah. Ini tentu saja tidak mengherankan, sebab Syiah memiliki
pengertian tersendiri tentang al-Sunnah. Maka perbedaan ini tidak pelak lagi
memunculkan perbedaan antara Ahl al-Sunnah dengan mereka dalam persoalan
keaqidahan maupun kefiqihan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hadis menurut Syi’ah?
2. Konsep Periwayatan Hadis menurut Syi’ah.
3. Bagaimana syarat-syarat hadis maqbul menurut Syi’ah?
4. Bagaimana penulisan hadis Syi’ah dan pembukuannya?
5. Apa saja literatur hadis dikalangan syi’ah?
6. Bagaimana kedudukan hadis menurut Syi’ah dan kehujjahannya
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mengetahui:
1. Pengertian hadis menurut Syi’ah.
2. Syarat-syarat hadis maqbul menurut Syi’ah.
3. Penulisan hadis dan pembukuannya.
4. Literatur hadis dikalangan syi’ah.
5. Kedudukan hadis menurut Syi’ah dan kehujjahannya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadis Menurut Syi’ah

Hadis menurut Syiah adalah Perkataan, perbuatan dan taqrir dari al


Ma’shum. Dan al-Ma’shum dalam pandangan Syi’ah tidak hanya terbatas di
kalangan para nabi dan rasul. Para imam mereka juga termasuk dalam kategori ini
yakni imam dua belas, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan
mereka adalah sumber hukum kedua setelah Al-quran.1

Hal ini memberikan pengertian, bahwa  para imam dari ahl al-bait  bukan
sebagai para periwayat dan penyampai hadis dari Nabi saw agar ucapan mereka
menjadi hujjah karena mereka tsiqah dalam riwayat, tapi mereka diangkat Allah
melalui Nabi Muhammad Saw. untuk menyampaikan hukum-hukum aktual,
sehingga mereka tidak mengkhabarkan kecuali hukum-hukum aktual dari sisi
Allah sebagaimana aslinya.

Adapun Imam yang dua belas yang ma’shum, diantaranya:

1. Abu al-Hasan Ali ibn Abi Thalib (23 SH- 40 H) kemudian putra dan keturunan
beliau.
2. Abu muhammad Al-Hasan ibn Ali (2-50 H)
3. Abu abdillah Al-Husain ibn Ali (3-61 H)
4. Ali Zainal Abidin ibn Al-Husain (38-95 H)
5. Abu Ja’far Muhammad ibn Ali (Al-Baqir) (57-114 H)
6. Abu Abdullah Ja’far ibn Muhammad (Al-Shadiq) (83-148 H)
7. Abu Ibrahim Musa ibn Ja’far (Al-Kazhim) (128-183 H)
8. Abu al- Hasan Ali ibn Musa (Al-Ridha) (148-203 H)
9. Abu Ja’far Muhammad ibn Ali (al-Jawad) (195-220 H)
10. Abu al- Hasan Ali ibn Muhammad (al-Hadi) (212-254 H)

1
Hasan Amin, Dairat al-Ma’rif al-islamiyyah, juz 11, jilid 3 (Beirut: Dar al-Ta’aruf
1971), hlm 117
11. Abu Muhammad Al-Hasan ibn Ali (Al-Askari) (232-260 H)
12. Abu al-Qasim Muhammad ibn Al- Hasan (Al-Mahdi) (255H). Kemudian
menghilang sebelum dewasa dan diyakini akan muncul kembali sebagai
imam mahdi yang dinantikan. 2

Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian hadis menurut alhsunnah


dengan syi’ah imamiyah berbeda dari segi objek nya.

B. Konsep Periwayatan Hadis menurut Syi’ah.


Syi’ah Imamiyah memiliki konsep periwayatan hadis tersendiri cenderung
berbeda dengan konsep periwayatan hadis yang terdapat dalam Ahlusunnah.
Syi’ah Imamiyah dengan konsep kepemimpinannya yang eksklusif, golongan ini
hanya menerima hadis yang diriwayatkan dari para imam ma’shum. Sumber
hadisnya tidak sebatas bersumber dari ucapan Nabi Muhammad saw, akan tetapi
mencakup juga seluruh ucapan dan perilaku para imam maksum dan juga ucapan-
ucapan fatimah binti muhammad saw karena mereka termasuk dalam khitab ahl
bait yang ditegaskan oleh wahyu.

َّ ‫ني‬
‫الز َك ا َة‬ ِ َّ ‫اهلِيَّ ِة األوىَل َوَأقِ ْم َن‬
َ ‫الص ال َة وآت‬
ِ ‫و َق ر َن يِف بي وتِ ُك َّن وال َتب َّرجن َتب ُّرج اجْل‬
َ َ َ َْ َ َ ُُ ْ َ
ِ ‫َأطعن اللَّه ورس ولَه ِإمَّنَ ا ي ِري ُد اللَّه لِي ْذ ِهب عْن ُكم ال ِّرجس َأه ل الْبي‬
‫ت َويُطَ ِّهَر ُك ْم‬ ِ
َْ َ ْ َ ْ ُ َ َ ُ ُ ُ ُ ُ َ َ َ َ ْ ‫َو‬
3
‫تَطْ ِه ًريا‬
Adapun yang dimaksud ahl bait dalam ayat diatas menurut para ulama
Syi’ah hanyalah lima orang yaitu: Nabi Muhammad Saw, Ali ibn abi Thalib,
Fatimah, Hasan dan Husain ibn Ali.4

Untuk melihat lebih jelas konsep periwayatan hadis prespektif Syi’ah ini
dapat dijabarkan dalam bentuk poin-poin berikut:
2
Zeid B. Semeer, Disertasi Doktor: “Kredibilitas Kritik Ahlusunnah Terhadap Hadis-
Hadis Syi’ah Imamiyah”, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2011), hal 47
3
Qs. Al-Ahzab- 33
4
Muhammad Alqadi, Al Ishmah 180 Al-Tabatabai, Almizan Fitafsir Alquran, juz XVI,
312
1. Sanad Bersambung kepada Imam Ma’shum
1. Konsep Sanad Bersambung
Pada umumnya, ulama hadis Syi’ah Imamiyah mengakui kriteria
ketersambungan sanad sebagaimana dalam ushul hadis sunni. Dalam
pandangan Syi’ah, suatu hadis dapat dikategorikan shahih jika memenuhi
sejumlah kriteria, di antaranya adalah sanadnya bersambung.
Makna ketersambungan sanad di kalangan Syi’ah nampak berbeda
dengan makna ketersambungan sanad dalam Ahlusunnah. Perbedaan ini akan
nampak jika dikaitkan dengan istilah muttasil musnad dan marfu’. Di
kalangan Syi’ah hadis yang marfu’ tidak saja yang berakhir kepada Nabi
Saw., namun juga yang berakhir hingga salah seorang yang maksum, baik
sanadnya bersambung (muttasil) maupun tidak (munqati’).5
Dalam terminologi ini, kelompok Syi’ah memiliki argumen tersendiri.
Imam dalam pandangan mereka memiliki otoritas dan kewenangan
pernyataan tegas (nas) dari Allah Swt., melalui pesan Rasulullah Saw.,
sebagai penerus dan penyampai hukum-hukum agama. Hukum-hukum
tersebut dapat diperoleh melalui ilham dari Allah atau melalui perjumpaan
dengan imam sebelumnya.
Kedudukan para imam dalam menyampaikan hadis setidaknya dapat
dilihat dari dua sisi. Pertama, para imam mendapat kewenangan (otoritas)
dari Allah Swt, melalui lisan Nabi Saw, untuk menyampaikan hukum-hukum
aktual. Kedua, para imam juga berstatus sebagai periwayat yang
menyampaikan sunnah Nabi Saw, dan karena itulah semua yang mereka
katakan dikategorikan hadis.

2. Konsep dan Pengertian Imam yang Ma’shum


Kata imam secara etimologi berarti seseorang yang diikuti. Dalam al-
Qur’an kata imam juga digunakan untuk melukiskan kitab-kitab tertentu
seperti al-Qur’an, kitab suci Musa, dan kitab yang berisi catatan tentang

5
Husain ibn Abdul Samad Al-‘Amili, Wusul al-Akhyar ila Usul al-Akhbar, (Qum: t.tp,
1401 H), 103
urusan manusia. Sedangkan imamah, kalangan Syi’ah mendefinisikan dengan
suatu jabatan ilahi yang mana Allah SWT memilih berdasarkan pengetahuan-
Nya yang azali yang menyangkut hamba-hamba-Nya.
Kalangan Syi’ah Imamiyah meyakini bahwa seluruh imam ahl al-bait
memiliki sifat ‘ismah seperti Nabi Muhammad Saw., dan para nabi yang lain.
‘Ismah yang secara etimologi bermana menahan, mencegah atau juga proteksi
diri, oleh kalangan Syi’ah Imamiyah diartikan sebagai: suatu daya atau
kekuatan jiwa yang menghalangi pemiliknya untuk terjatuh ke dalam
kemaksiatan dan kesalahan, sehingga secara aktual pemiliknya tidak pernah
meninggalkan suatu kewajiban dan tidak pula melakukan suatu yang
diharamkan.
Selain beragumenkan nash, kalangan Syi’ah juga beraguman dengan
logika, di antaranya argumen yang disampaikan oleh al-Huli (w. 726 H) yang
teringkas dalam dalam point berikut: Pertama, pengertian dari kata imam
telah mengandung makna ‘ismah, karena kata imam secara etimologi berarti
“yang diikuti”. Kedua, adanya para pemimpin yang dijadikan imam, namun
mereka justru dicela. Kondisi ini bisa menjadi penyebab dan sekaligus alasan
bagi seseorang untuk tidak patuh kepada imam. Oleh karena itu, kepatuhan
terhadap imam bukan semata karena keimamahannya, namun karena
kemaksumannya, sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak
mengikutinya.6
2. Adil dan Dabit
1. Konsep dan Pengertian Adil
Di kalangan Syi’ah, terdapat beberapa perbedaan pendapat seputar
definisi al-‘adalah. Definisi yang paling mashur disampaikan oleh al-
Subhani, beliau mengatakan al-‘Adalah ialah karakter yang terdapat dalam
diri seseorang yang mendorong untuk senantiasa berada dalam orbit
ketaqwaan dengan meninggalkan dosa besar dan tidak banyak melakukan
dosa kecil, serta menghindari perbuatan yang dapat merusak muruahnya.

6
Zeid B. Semeer, Disertasi Doktor: “Kredibilitas Kritik Ahlusunnah Terhadap Hadis-Hadis Syi’ah
Imamiyah” hlm. 40-45
Ada beberapa kriteria yang disampaikan oleh kelompok Syi’ah bagi
seorang perawi agar dapat dikatakan adil. Al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H)
yang disebut-sebut sebagai ulama Syi’ah juga memberikan kriteria keadilan
perawi: 1) muslim; 2) tidak mengajak pada perbuatan bid’ah; dan 3) tidak
melakukan perbuatan maksiat yang dapat menggugurkan keadilannya.7
Keadilan seorang perawi dapat diketahui dari rekomendasi seorang
imam atau pakar hadis yang memuji kredibilitasnya serta ketersohoran
kualitas keilmuan, kejujuran dan ketaqwaan perawi tersebut di kalangan
masyarakat dan ulama. Demikian pula di kalangan Syi’ah, keadilan perawi
dapat diketahui dari rekomendasi para pakar hadis yang memberikan sinyal-
sinyal yang mudah difahami oleh masyarakat dan kredibilitas perawi tersebut
atau dengan merujuk kepada buku-buku perawi hadis yang ditulis oleh para
pakar yang berisi pujian dan justifikasi dari mereka.8
2. Konsep dan Pengertian Dabit
Secara etimologi, dabt bisa berarti cekatan, kokoh, menjaga atau
menghafal dengan kuat. Pengertian dabt dalam ushul hadis Syi’ah tidak
berbeda dengan definisi dabt sebagaimana difahami oleh Ahlusunnah.
Ulama Syi’ah mendefinisikan dabt dengan kekuatan hafalan, tidak
pelupa dalam meriwayatkan hadis. Seorang perawi yang memiliki predikat
dabt adalah orang yang cekatan, hafal dengan hadis-hadis yang ia riwayatkan,
jika proses periwayatannya melalui hafalan, dan mampu menjaga tulisannya
dari berbagai bentuk perubahan, jika ia meriwayatkan melalui hasil
tulisannya.
Namun syarat dabt bagi seorang perawi nampaknya masih
diperselisihkan keberadaannya di kalangan ulama hadis Syi’ah. Al-Shaykh
Husain ibn Abdul Shamad al-‘Amili misalnya memandang bahwa dabt
merupakan salah satu syarat keshahihan hadis. Beliau mendefinisikan hadis
shahih dengan: hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh

7
Al-hakim abi abdillah muhammad ibn abdillah al naisaburi, kitab ma’rifat ulum alhadith
(hayderabad dairat alma’rifat al uthmaniyah) hal 53
8
Zeid B. Semeer, Disertasi Doktor: “Kredibilitas Kritik Ahlusunnah Terhadap Hadis-Hadis Syi’ah
Imamiyah”,,,,,,,,hlm. 48
periwayat yang adil dari kalangan imamiyah, memiliki sifat dabt dari perawi
yang juga dabt hingga sampai pada imam yang maksum yang tidak terdapat
kejanggalan atau cacat. Pendapat ini didukung oleh Hasan al-‘Amili di mana
beliau menegaskan bahwa dabt merupakan syarat untuk keshahihan hadis
ahad.9
3. Sanad Terhindar Dari Syadz
4. Sanad Terhindar Dari ‘Illah.10

C. Penulisan hadis dan kodifikasinya.

Golongan Syi’ah beranggapan bahwa mereka sejak awal telah memelihara


hadis melalui tulisan. Berawal dari anjuran Nabi muhammad Saw, untuk menulis
hadis yang kemudian dianggap sebagai perintah yang sangat penting dan
kemudian dilanjutkan oleh para imam. Dengan demikian, dapat difahami bahwa
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para imam Syi’ah selalu bersambung kepada
Nabi muhammad Saw dan dengan proses periwayatan semacam ini, menjadikan
riwayat-riwayat mereka sebagai mata rantai yang berkesinambungan, tidak ada
pemisahan serta tidak ada periwayatan yang asing dan tidak dikenal, hingga
berakhir pada Nabi Saw.11

Syi’ah meyakini bahwa tradisi penulisan hadits telah berkembang sejak


zaman Nabi Muhammad Saw, sebagaimana juga diyakini Sunni. Namun Syi’ah
hanya meyakini apa yang pernah ditulis oleh Ali Bin Abi Thalib (beliau
mendiktekan hadits-hadits kepada Ali ra. yang kemudian ditulis dalam lembaran-
lembaran dan disimpan dalam sarung pedangnya), tatkala Rasulullah wafat, Ali ra.
memeliharanya dengan baik. Sahifah itu kemudian dikenal dengan sahifah Ali.

9
Jamaluddin Abi Fadl Muhammad ibn Makram ibn Manzur, Lisan al-Arab (Bairut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1424 H/2003 M), Fasl al-da al-mu’jamah, juz VII, 384
10
Muhammad Nasir, Kriteria Keshahihan Hadis Perspektif Syiah, (Jurnal Farabi vol 12
nomor 1 juni: 2015), http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
11
Zeid B. Semeer, Disertasi Doktor: “Kredibilitas Kritik Ahlusunnah Terhadap Hadis-
Hadis Syi’ah Imamiyah”.hlm. 40
Selain sahifah yang umumnya memuat hukum diyat (denda) dan beberapa
persoalan lainnya, Rasulullah Saw., juga mendiktekan kepada Ali ra. hadits-hadits
lain yang disalinnya ke dalam lembaran-lembaran yang jauh lebih besar kemudian
dikenal dengan nama al-jami’ah.12

Pada masa kegaiban Imam Mahdi, para pengikut Ahl al-Bait berusaha
membukukan kembali hadits-hadits yang saat itu sempat tercecer. Mereka
memulai dari dari kitab-kitab yang masih tersisa, melalui periwayatan langsung
dari orang ke orang hingga sampai pada Rasulullah Saw atau sampai ke salah
satu imam dua belas. Hadis-hadis itu diantaranya telah dibukukan oleh Abu Rafi’
al-Aibti al-Shi’i dalam kitab al-Sunan, al-Ahkam dan al-Qadaya.

Pada tahap berikutnya para ulama Syi’ah berusaha untuk membukukannya


ke berbagai macam kitab yang hasilnya antara lain adalah empat kitab hadis
utama yang dikenal dengan al-Kutub al-Arba’ah, yakni al-Kafi, man la yahduruh
al-Faqih, Tahdhib al-Ahkam dan al-Istibsar fi Maukhtulifa min Akhbar.13

Sedangkan Perjalanan historis kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadits,


khususnya di kalangan Syi’ah, mencapai puncaknya pada periode atba’ atba’ al-
tabi’in. Hal ini ditandai dengan munculnya beberapa kitab hadits, misalnya: al-
Jami’ karya Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Nashr (w. 221 H), al-Jami’ karya
Muhammad ibn al-Hasan ibn Ahmad (w. 243 H), Jami’ al-Atsar karya Yunus ibn
‘Abd al-Rahman, al-Mahasinkarya al-Barqiy (w. 280 H), Basha’ir al-
Darajat karya al-Shaffar al-Qummiy (w. 290 H), dan Nawadir al-Hikmah karya
Muhammad ibn Ahmad ibn Yahya al-Qummiy (w. sekitar 293 H).14

Setelah berakhirnya periode atba’ atba’ al-tabi’in proses kompilasi dan


kodifikasi (tadwin) hadits masih terus berlangsung. Paling tidak pada abad IV H
12
I. K. A. Howard, al-kafy by al-kulaini, man la yahduru al-faqih by al-saduq, tahdhib al-
ahkam and al- istibsar by al-tusi, terj. Arif budiarso dalam alserat, vol. 2. No. 2. 1967, jurnal
ulumul quran, vol. 2. No. 4, 2001.
13
Mircea eliade, (ED), the encyclopedia of religian, vol.6 (new york: macmilian publising
company, 1997), hlm 150-151.

14
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam; Kajian Lintas
Aliran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm 158.
hingga V H, di kalangan Syi’ah telah disusun karya-karya kompilasi hadits
dengan metode dan materi yang beragam. Ada sebagian karya hadits Syi’ah yang
disusun berdasarkan sistematika fiqih dan ada pula yang memuat topik-topik
secara lebih luas. Periode pasca atba’ atba’ al-tabi’in ini lahirnya kitab-kitab
utama Syi’ah, antara lain: al-Kafi fi ‘Ilm al-Din karya karya al-Kulainiy (w. 329
H), Man la Yahduruh al-Faqih karya Ibn Babawaih (w. 381 H), Tahdhib al-
Ahkam fi Syarh al-Muqqni’a dan al-Istibshar fi Ma Ukhtulifa min al-Akhbar karya
al-Thusiy (w. 460 H), dan Nahj al-Balaghah karya al-Syarif al-Radliy (w. 406
H).15

Dengan melihat perjalanan historis kompilasi dan kodifikasi (tadwin)


hadits sebagaimana diuraikan di atas, dan juga pemaparan panjang sebelumnya,
dapat diketahui bahwa ada perbedaan tertentu dalam karya kompilasi hadis yang
ditulis oleh kalangan Ahli sunnah dan Syi’ah. Munculnya perbedaan itu
diantaranya:

a. Sejumlah sarjana menilai bahwa faktor mazhab atau aliran menjadi penyebab
utama munculnya perbedaan itu. Gibb, misalnya, menyebutkan bahwa aliran-
aliran yang berbeda dalam Islam cenderung menggunakan koleksi-koleksi
hadits standar sendiri yang berasal dari mereka, misalnya Syi’ah yang tidak
mau mengakui hadits-hadits dari kalangan Ahl sunnah.
b. Adanya akar kultural yang berbeda dari masing-masing kelompok yang
bersaing untuk monopoli hadits dan mengontrolnya, sehingga tadwin hadis
pun tidak terlepas untuk kepentingan penetapan otoritas kelompok.
c. Ali Ahmad al-Salus menilai bahwa adanya penguatan akidah dalam
kelompok dan menancapkan pengaruh kepada para pengikutnya.

Sejumlah pandangan yang telah diutarakan secara umum mengakui bahwa


faktor aliran merupakan penyebab utama bagi munculnya perbedaan sejarah
kompilasi dan kodifikasi hadits di kalangan umat Islam.

D. Literatur Hadis Di Kalangan Syi’ah


15
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam ……., hlm. 163-164
Kalangan Syi’ah berpegang teguh pada empat kitab hadis yang berbeda
dengan Ahlussunnah, yang dikenal dengan kutub al- Arba’ah.

Kompilasi Hadis Utama Sunni Kompilasi Hadis Utama Syi’ah


No. (al-Kutub al-Sittah) No. (al-Kutub al-Arba’ah)
1.      Al-Kafi fi ‘Ilm al-
1.   Shahih al-Bukhariy, karya Din, karya Syaikh Abu Ja'far
1. 1.
Bukhari (w. 256 H) Muhammad bin Ya'qub al-Kulaini
al-Razi (w. 329 H)
2.      Man La Yahdluruh al-
2.   Shahih Muslim, karya Muslim
2. 2. Faqih, karya Ibn Babawaih (w.
(w. 261 H)
381 H)
3.      Tahdzib al-Ahkam, karya Syaikh
3.   Sunan Abi Dawud, karya Abu
3. 3. Abu Ja'far Muhammad bin Hasan
Dawud (w. 275 H)
al-Thusiy (w. 460 H)
4.      Al-Istibshar fi Ma Ukhtulifa min
4.   Jami’ at-Tirmidziy, karya At- al-Akhbar, karya Syakih Abu
4. 4.
Turmudzi (w. 279 H) Ja'far Muhammad bin Hasan al-
Thusiy (w. 460 H)
5.   Sunan al-Nasa’iy, karya al-
5.
Nasa’iy (w. 303 H)
6.   Sunan Ibnu Majah, karya Ibnu
6.
Majah (w. 273 H)

1. Usul al-Kafi
Kitab al-Kafi ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub ibn Ishaq al-
Kulaini al-Razi wafat pada tahun 328/329 H (939/940 M). Riwayat hidupnya,
sangat sedikit sekali diketahui. Ada perbedaan pendapat mengenai dirinya, seperti
apakah nama yang dinisbatkan kepadanya adalah al-Kulini atau al-Kulaini.
Namun disepakati bahwa Kulain atau Kulin merujuk pada sebuah dusun di Iran
asal beliau dilahirkan.16

Al-Kafi merupakan kumpulan hadis yang diajarkan Nabi Saw., serta para
Imam dan diteruskan kepada kaum muslimin oleh murid-murid para imam. Kata
“al-Kafi” berarti “yang mencukupi”, sebuah buku yang dimaksudkan untuk
menjadi koleksi lengkap hadis Syi’ah Imamiyah, dan faktor ini pula yang
16
Hasan Ma’ruf al-Hasani, Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi, Jurnal al-
Hikmah, No. 6, edisi Juli-Oktober 1991.
mendorongnya untuk menyusun buku yang sejatinya dapat dijadikan rujukan
penganut Syi’ah. Hal itu dijelaskan oleh al-Kulaini dalam kata pengantar karyanya
tersebut:

“...inilah sebuah buku yang akan mencukupi (kafin) kebutuhan keagamaan


anda yang mencakup semua aspek pengetahuan (‘ilm) agama, yang sesuai bagi
para pelajar, dan guru untuk merujuknya. Dengan demikian buku ini dapat
digunakan oleh siapapun yang menginginkan ilmu agama dan hukum praktis
(‘amal) sesuai dengan hadis yang kuat dari sumber yang sebenarnya…”17

Kedudukan al-Kafi bagi kalangan Syi’ah sama seperti kedudukan kitab


Bukhari bagi kalangan Sunni, yaitu dianggap sebagai kitab hadis paling shahih.
Untuk menyelesaikannya, al-Kulaini memerlukan waktu yang cukup panjang,
yaitu dua puluh tahun.18 Al-Kafi memang sebuah karya yang amat lengkap dan
luas, yang isinya dibagi menjadi tiga bagian: al-Usul, al-Furu’ dan al-Raudah.

Selain hadis-hadis Nabi saw., terdapat pula dalam al-Kafi ucapan para
imam, dan hal itu diakui sebagai hadis. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa, ada
anggapan teologis, di mana para imam yang ma’shum memiliki otoritas dalam
menyampaikan syariat yang bersumber langsung dari Nabi saw. Oleh sebab itu,
tidak heran jika surat-surat khutbah dan lain-lain yang memiliki keterkaitan
dengan syari’at didudukkan setara dengan hadis. Hal ini nampak dari apa yang
dilakukan oleh al-Kulaini yang ditampilkan dalam juz terakhir yang disebut al-
Raudah.

2. Man La Yahduruhu al-Faqih


Kitab ini ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn Babawaih al-
Qummil yang digelari dengan al-Saduq. Dia mendapat gelar ini karena keluasan
pengetahuan dan ketelitiannya dalam proses periwayatan hadis serta kekuatan
hafalannya yang menjadikan setiap orang yang mendengar riwayat darinya merasa
17
Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Ushul al-Kafi, naskah diteliti dan diberi
notasi oleh Muhammad Ja’far Syamsudin (Beirut: Dar al-Ta’aruf li-al- Matbu’at, 1411/1990), juz
1,hlm. 41.
18
Abu al-Abbas Ahmad ibn Ali ibn Ahmad al-Asadi al-Kufi al-Najashi, Rijal al-Najashi
(Qum: Muassasah al-Nashr al-Islami, 1418), hlm. 266.
yakin akan kebenaran hadis yang diriwayatkannya. Ia juga dikenal sebagai salah
satu tokoh besar hadis dalam kamus ulama Syi’ah.

Tidak banyak informasi yang merekam sejarah kelahiran al-Saduq.


Namun, ulama-ulama Syi’ah memperkirakan kelahirannya pada tahun 305 H
berdasarkan pertemuan ayahnya dengan Abu al-Qasim al-Husain ibn Rawh yang
hidup hingga awal abad ketiga.

Kitab Man la Yahduruh al-Faqih berisi ringkasan semua hadis yang


dikumpulkan sendiri oleh al-Saduq. Kitab ini disusun dengan tujuan sebagai
rujukan hukum agama yang berkisar pada masalah hukum halal dan haram dan al-
Ahwal al-Shakhsiyah. Berdasarkan penghitungan yang dilakukan oleh al-Shaykh
Ali Akbar al-Ghifari, didapatkan bahwa hadis-hadis yang terdapat dalam kitab ini
berjumlah 5.920 hadis dengan kualitas yang berbeda-beda.

Di sisi lain, buku ini juga diharapkan untuk dapat menjadi rujukan
masyarakat awam Syi’ah dalam praktik kebutuhan hukum Islam, dan tidak
ditujukan khusus bagi para sarjana dan peneliti. Penulis menggunakan metode
dengan tidak membiarkan hadis-hadisnya berbicara sendiri, tetapi menarik
ketentuan-ketentuan dan penjelasan maksud dari hadis. Sesekali nampak dalam
penjelasan, hadis yang relatif singkat namun mendapat porsi penjelasan yang
panjang.19

3. Tahdhib al-Ahkam
Kitab ini ditulis oleh ulama besar Syi’ah Abu Ja’far Muhammad ibn al-
Hasan ibn Ali al-Tusi yang lahir di Iran pada tahun 385 H. Karirnya menandai
puncak dan kejayaan pendidikan dan pengajaran Syi’ah. Masa kejayaan Syi’ah
diawali oleh al-Kulaini dengan karya besarnya al-Kafi. Kemudian dilanjutkan
oleh al-Shaykh al-Saduq ibn Babawaih, lalu dinapaktilasi oleh al-Tusi dengan dua
karyanya, Tahdhib al-Ahkam dan al-Istibsar fi ma Ukhtulifa min al-Akhbar. Kitab
al-Tahdib pada awalnya dimaksudkan sebagai syarah utuh dari kitab al-Muqni’ah
karya gurunya, al-Mufid. Namun banyaknya perselisihan masyarakat dalam
19
Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari Terhadap Hadis-hadis Syi’ah
Imamiyah, (Batu: Arifa Publishing, 2011), hlm. 59-60.
memahami teks-teks yang terkait dengan masalah al-Furu’ dalam al-Muqni’ah, ia
memutuskan untuk fokus mensyarahkan hadis-hadis yang terkait dengan masalah-
masalah furu’ saja dan meninggalkan al-Usul.20

Metode yang digunakan oleh al-Tusi adalah dengan mengutip hadis- hadis
dalam al-Muqni’ah dengan komentar al-Mufid lalu diuraikan oleh beliau beserta
komentar dan analisanya, bahkan tidak jarang terjadi diskusi dalam penjelasan
tersebut. Karya al-Tusi ini, berisi kajian yang amat luas tentang hadis-hadis Syi’ah
yang mencakup banyak aspek permasalahan hukum.

4. Al-Istbsar fi ma Ukhtulifa min al-Akhbar


Kitab al-Istibsar adalah karya keempat dan terakhir karya kitab utama
madzhab Syi’ah. Isinya mencakup bidang yang sama dengan al-Tahdhib, namun
dengan porsi yang lebih singkat, atau lebih tepat jika dikatakan bahwa kitab
terakhir ini merupakan ringkasan dari kitab al-Tahdhib, dan dilakukan dengan
tujuan untuk menjelaskan riwayat-riwayat yang dinilai bertentangan. Proses
peringkasan ini dilakukan oleh penyusunnya sebagai jawaban dari permintaan
beberapa rekannya yang mengharap adanya buku ringkas yang berisi hukum-
hukum agama yang sejatinya dapat dijadikan rujukan dan pegangan bagi para
pemula yang hendak mengkaji hukum-hukum agama.21

Metode yang digunakan dalam kitab ini serupa dengan kitab sebelumnya,
hanya saja dalam penjelasan dan kutipan hadis-hadisnya nampak lebih singkat dan
padat. Bahkan dalam beberapa hal, nampak mirip dengan yang terdapat dalam al-
Tahdhib.

Perlu digaris bawahi, bahwa sekalipun empat kitab ini telah menjadi kitab
sandaran hadis, namun hadis hadis yang terdapat di dalamnya tidak disepakati
oleh ulama Syi’ah sebagai hadis-hadis yang sahahih secara keseluruhan. Mereka

20
Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari Terhadap Hadis-hadis Syi’ah
Imamiyah,.......... hlm. 61
21
I.K.A. Howard, al-Kafi by al-Kulaini, Man la Yahduru al-Faqih by al-Saduq, Tahdhib
al-Ahkam and al-Istibsar by al-Tusi, terj. Arif Budiarso dalam al-Serat, Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal
Ulumul Qur’an, Vol. 2. No. 4, 2001.
mengakui, bahwa di dalam kitab-kitab tersebut terdapat sekian banyak hadis yang
masih diperselisihkan kualitas keshahihannya.

E. Kedudukan dan Kehujjahan Hadis Di Kalangan Syi’ah

Syi'ah, dengan berdasar pada doktrin imamah dan ‘ishmah bahwa para


imam dua belas mempunyai kedudukan dan kualitas pribadi seperti Nabi Saw.,
dan karenanya juga terjaga dari kesalahan, menegaskan bahwa hujjah keagamaan
tidak serta merta berakhir dengan kewafatan Nabi Saw., melainkan terus
berlangsung ke wakil-wakil beliau sampai Imam kedua belas. Dengan demikian,
apa yang bersumber dari Nabi Saw., dan apa yang bersumber dari para Imam dua
belas, kedudukannya sama dalam hal kehujjahan agama. Dari sisi yang berbeda,
hal ini berarti ketersambungan sanad dalam Syi'ah tidak disyaratkan harus selalu
sampai kepada Nabi Saw., tetapi bisa juga kepada imam yang ma'shum. Nabi
Muhammad Saw., dan Imam dua belas, baik itu berupa perkataan, perbuatan,
maupun ketetapan adalah sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an.

Sunni dan Syi’ah sama-sama menempatkan hadis pada posisi kedua


setelah al-Qur’an sebagai sumber hukum, namun bagi Syi’ah, tidak hanya terbatas
pada hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi saja, namun meliputi perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan Imam dua belas, dan itu setara dengan hadis Nabi.

BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Hadis dalam tradisi Syi’ah yang mempunyai pengertian segala sesuatu


yang disandarkan kepada yang Ma’sum, Nabi Saw., dan Imam dua belas, baik itu
berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan adalah sumber hukum yang kedua
setelah al-Qur’an. Syi’ah menjadikan Imam seperti kedudukan Nabi Saw., dalam
menjelaskan al-Qur’an. Mereka mengatakan bahwa Imam mempunyai ilham yang
sebanding dengan wahyu bagi Nabi Saw.

Syi’ah meyakini bahwa tradisi penulisan hadits telah berkembang sejak


zaman Nabi Muhammad Saw, sebagaimana juga diyakini Sunni. Namun Syi’ah
hanya meyakini apa yang pernah ditulis oleh Ali Bin Abi Thalib. Kodifikasi hadis
Syi’ah mencapai puncaknya pada periode atba’ atba’ al-tabi’in. Hal ini ditandai
dengan munculnya beberapa kitab hadis. Pada abad IV H hingga V H, di kalangan
Syi’ah telah disusun karya-karya kompilasi hadits dengan metode dan materi yang
beragam. Periode pasca atba’ atba’ al-tabi’in ini lahirnya kitab-kitab utama Syi’ah
(kutub al-arba’ah). al-Kafi fi‘Ilm al-Din karya karya al-Kulainiy (w. 329 H), Man
la Yahduruh al-Faqih karya Ibn Babawaih (w. 381 H), Tahdhib al-Ahkam fi Syarh
al-Muqqni’a dan al-Istibshar fi Ma Ukhtulifa min al-Akhbar karya al-Thusiy (w.
460 H).

DAFTAR PUSTAKA

Al-quran
Abu al-Abbas Ahmad ibn Ali ibn Ahmad al-Asadi al-Kufi al-Najashi, Rijal al-
Najashi(Qum: Muassasah al-Nashr al-Islami, 1418)
Al-hakim abi abdillah muhammad ibn abdillah al naisaburi, kitab ma’rifat ulum
alhadith (hayderabad dairat alma’rifat al uthmaniyah)
Hasan Amin, 1971. Dairat al-Ma’rif al-islamiyyah, juz 11, jilid 3 (Beirut: Dar al-
Ta’aruf.
Hasan Ma’ruf al-Hasani, Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi, Jurnal al-
Hikmah, No. 6, edisi Juli-Oktober 1991.
Husain ibn Abdul Samad Al-‘Amili, Wusul al-Akhyar ila Usul al-Akhbar, (Qum:
1401 H).
Jamaluddin Abi Fadl Muhammad ibn Makram ibn Manzur, Lisan al-Arab (Bairut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1424 H/2003 M), Fasl al-da al-mu’jamah, juz VII
I.K. A. Howard, al-kafy by al-kulaini, man la yahduru al-faqih by al-saduq,
tahdhib al-ahkam and al- istibsar by al-tusi, terj. Arif budiarso dalam alserat,
vol. 2. No. 2. 1967, jurnal ulumul quran, vol. 2. No. 4, 2001.
Muhammad Ja’far Syamsudin (Beirut: Dar al-Ta’aruf li-al- Matbu’at, 1411/1990),
juz 1.
Muhammad alqadi, al ishmah 180 al-tabatabai, almizan fitafsir alquran, juz XVI,
Muhammad Nasir, Kriteria Keshahihan Hadis Perspektif Syiah, (Jurnal Farabi vol
12 nomor 1 juni: 2015)
Mircea eliade. 1997. (ED), the encyclopedia of religian, vol.6 (new york:
macmilian publising company.
Saifuddin, 2011. Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam; Kajian
Lintas Aliran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Zeid B. Semeer, Disertasi Doktor. 2011. “Kredibilitas Kritik Ahlusunnah
Terhadap Hadis-Hadis Syi’ah Imamiyah”, (Jakarta: Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

Anda mungkin juga menyukai