PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis adalah salah satu sumber tasyri’ penting dalam Islam. Urgensinya
semakin nyata melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan
penafsir al-Qur’an, bahkan juga sebagai penetap hukum yang independen
sebagaimana al-Qur’an sendiri. Itulah sebabnya, di kalangan Ahl al-Sunnah,
menjadi sangat penting untuk menjaga dan “mengawal” pewarisan al-Sunnah ini
dari generasi ke generasi. Misalnya mereka menetapkan berbagai persyaratan
yang ketat agar sebuah hadis dapat diterima (dengan derajat shahih ataupun
hasan). Setelah meneliti dan membuktikan keabsahan sebuah hadis secara sanad,
mereka tidak cukup berhenti hingga di situ. Mereka pun merasa perlu untuk
mengkaji matannya, seperti apakah hadis tersebut tidak syadz atau mansukh
Demikianlah seterusnya, hingga mereka dapat menyimpulkan dan mendapatkan
hadis yang dapat dijadikan sebagai hujjah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hadis menurut Syi’ah?
2. Konsep Periwayatan Hadis menurut Syi’ah.
3. Bagaimana syarat-syarat hadis maqbul menurut Syi’ah?
4. Bagaimana penulisan hadis Syi’ah dan pembukuannya?
5. Apa saja literatur hadis dikalangan syi’ah?
6. Bagaimana kedudukan hadis menurut Syi’ah dan kehujjahannya
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mengetahui:
1. Pengertian hadis menurut Syi’ah.
2. Syarat-syarat hadis maqbul menurut Syi’ah.
3. Penulisan hadis dan pembukuannya.
4. Literatur hadis dikalangan syi’ah.
5. Kedudukan hadis menurut Syi’ah dan kehujjahannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Hal ini memberikan pengertian, bahwa para imam dari ahl al-bait bukan
sebagai para periwayat dan penyampai hadis dari Nabi saw agar ucapan mereka
menjadi hujjah karena mereka tsiqah dalam riwayat, tapi mereka diangkat Allah
melalui Nabi Muhammad Saw. untuk menyampaikan hukum-hukum aktual,
sehingga mereka tidak mengkhabarkan kecuali hukum-hukum aktual dari sisi
Allah sebagaimana aslinya.
1. Abu al-Hasan Ali ibn Abi Thalib (23 SH- 40 H) kemudian putra dan keturunan
beliau.
2. Abu muhammad Al-Hasan ibn Ali (2-50 H)
3. Abu abdillah Al-Husain ibn Ali (3-61 H)
4. Ali Zainal Abidin ibn Al-Husain (38-95 H)
5. Abu Ja’far Muhammad ibn Ali (Al-Baqir) (57-114 H)
6. Abu Abdullah Ja’far ibn Muhammad (Al-Shadiq) (83-148 H)
7. Abu Ibrahim Musa ibn Ja’far (Al-Kazhim) (128-183 H)
8. Abu al- Hasan Ali ibn Musa (Al-Ridha) (148-203 H)
9. Abu Ja’far Muhammad ibn Ali (al-Jawad) (195-220 H)
10. Abu al- Hasan Ali ibn Muhammad (al-Hadi) (212-254 H)
1
Hasan Amin, Dairat al-Ma’rif al-islamiyyah, juz 11, jilid 3 (Beirut: Dar al-Ta’aruf
1971), hlm 117
11. Abu Muhammad Al-Hasan ibn Ali (Al-Askari) (232-260 H)
12. Abu al-Qasim Muhammad ibn Al- Hasan (Al-Mahdi) (255H). Kemudian
menghilang sebelum dewasa dan diyakini akan muncul kembali sebagai
imam mahdi yang dinantikan. 2
َّ ني
الز َك ا َة ِ َّ اهلِيَّ ِة األوىَل َوَأقِ ْم َن
َ الص ال َة وآت
ِ و َق ر َن يِف بي وتِ ُك َّن وال َتب َّرجن َتب ُّرج اجْل
َ َ َ َْ َ َ ُُ ْ َ
ِ َأطعن اللَّه ورس ولَه ِإمَّنَ ا ي ِري ُد اللَّه لِي ْذ ِهب عْن ُكم ال ِّرجس َأه ل الْبي
ت َويُطَ ِّهَر ُك ْم ِ
َْ َ ْ َ ْ ُ َ َ ُ ُ ُ ُ ُ َ َ َ َ ْ َو
3
تَطْ ِه ًريا
Adapun yang dimaksud ahl bait dalam ayat diatas menurut para ulama
Syi’ah hanyalah lima orang yaitu: Nabi Muhammad Saw, Ali ibn abi Thalib,
Fatimah, Hasan dan Husain ibn Ali.4
Untuk melihat lebih jelas konsep periwayatan hadis prespektif Syi’ah ini
dapat dijabarkan dalam bentuk poin-poin berikut:
2
Zeid B. Semeer, Disertasi Doktor: “Kredibilitas Kritik Ahlusunnah Terhadap Hadis-
Hadis Syi’ah Imamiyah”, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2011), hal 47
3
Qs. Al-Ahzab- 33
4
Muhammad Alqadi, Al Ishmah 180 Al-Tabatabai, Almizan Fitafsir Alquran, juz XVI,
312
1. Sanad Bersambung kepada Imam Ma’shum
1. Konsep Sanad Bersambung
Pada umumnya, ulama hadis Syi’ah Imamiyah mengakui kriteria
ketersambungan sanad sebagaimana dalam ushul hadis sunni. Dalam
pandangan Syi’ah, suatu hadis dapat dikategorikan shahih jika memenuhi
sejumlah kriteria, di antaranya adalah sanadnya bersambung.
Makna ketersambungan sanad di kalangan Syi’ah nampak berbeda
dengan makna ketersambungan sanad dalam Ahlusunnah. Perbedaan ini akan
nampak jika dikaitkan dengan istilah muttasil musnad dan marfu’. Di
kalangan Syi’ah hadis yang marfu’ tidak saja yang berakhir kepada Nabi
Saw., namun juga yang berakhir hingga salah seorang yang maksum, baik
sanadnya bersambung (muttasil) maupun tidak (munqati’).5
Dalam terminologi ini, kelompok Syi’ah memiliki argumen tersendiri.
Imam dalam pandangan mereka memiliki otoritas dan kewenangan
pernyataan tegas (nas) dari Allah Swt., melalui pesan Rasulullah Saw.,
sebagai penerus dan penyampai hukum-hukum agama. Hukum-hukum
tersebut dapat diperoleh melalui ilham dari Allah atau melalui perjumpaan
dengan imam sebelumnya.
Kedudukan para imam dalam menyampaikan hadis setidaknya dapat
dilihat dari dua sisi. Pertama, para imam mendapat kewenangan (otoritas)
dari Allah Swt, melalui lisan Nabi Saw, untuk menyampaikan hukum-hukum
aktual. Kedua, para imam juga berstatus sebagai periwayat yang
menyampaikan sunnah Nabi Saw, dan karena itulah semua yang mereka
katakan dikategorikan hadis.
5
Husain ibn Abdul Samad Al-‘Amili, Wusul al-Akhyar ila Usul al-Akhbar, (Qum: t.tp,
1401 H), 103
urusan manusia. Sedangkan imamah, kalangan Syi’ah mendefinisikan dengan
suatu jabatan ilahi yang mana Allah SWT memilih berdasarkan pengetahuan-
Nya yang azali yang menyangkut hamba-hamba-Nya.
Kalangan Syi’ah Imamiyah meyakini bahwa seluruh imam ahl al-bait
memiliki sifat ‘ismah seperti Nabi Muhammad Saw., dan para nabi yang lain.
‘Ismah yang secara etimologi bermana menahan, mencegah atau juga proteksi
diri, oleh kalangan Syi’ah Imamiyah diartikan sebagai: suatu daya atau
kekuatan jiwa yang menghalangi pemiliknya untuk terjatuh ke dalam
kemaksiatan dan kesalahan, sehingga secara aktual pemiliknya tidak pernah
meninggalkan suatu kewajiban dan tidak pula melakukan suatu yang
diharamkan.
Selain beragumenkan nash, kalangan Syi’ah juga beraguman dengan
logika, di antaranya argumen yang disampaikan oleh al-Huli (w. 726 H) yang
teringkas dalam dalam point berikut: Pertama, pengertian dari kata imam
telah mengandung makna ‘ismah, karena kata imam secara etimologi berarti
“yang diikuti”. Kedua, adanya para pemimpin yang dijadikan imam, namun
mereka justru dicela. Kondisi ini bisa menjadi penyebab dan sekaligus alasan
bagi seseorang untuk tidak patuh kepada imam. Oleh karena itu, kepatuhan
terhadap imam bukan semata karena keimamahannya, namun karena
kemaksumannya, sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak
mengikutinya.6
2. Adil dan Dabit
1. Konsep dan Pengertian Adil
Di kalangan Syi’ah, terdapat beberapa perbedaan pendapat seputar
definisi al-‘adalah. Definisi yang paling mashur disampaikan oleh al-
Subhani, beliau mengatakan al-‘Adalah ialah karakter yang terdapat dalam
diri seseorang yang mendorong untuk senantiasa berada dalam orbit
ketaqwaan dengan meninggalkan dosa besar dan tidak banyak melakukan
dosa kecil, serta menghindari perbuatan yang dapat merusak muruahnya.
6
Zeid B. Semeer, Disertasi Doktor: “Kredibilitas Kritik Ahlusunnah Terhadap Hadis-Hadis Syi’ah
Imamiyah” hlm. 40-45
Ada beberapa kriteria yang disampaikan oleh kelompok Syi’ah bagi
seorang perawi agar dapat dikatakan adil. Al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H)
yang disebut-sebut sebagai ulama Syi’ah juga memberikan kriteria keadilan
perawi: 1) muslim; 2) tidak mengajak pada perbuatan bid’ah; dan 3) tidak
melakukan perbuatan maksiat yang dapat menggugurkan keadilannya.7
Keadilan seorang perawi dapat diketahui dari rekomendasi seorang
imam atau pakar hadis yang memuji kredibilitasnya serta ketersohoran
kualitas keilmuan, kejujuran dan ketaqwaan perawi tersebut di kalangan
masyarakat dan ulama. Demikian pula di kalangan Syi’ah, keadilan perawi
dapat diketahui dari rekomendasi para pakar hadis yang memberikan sinyal-
sinyal yang mudah difahami oleh masyarakat dan kredibilitas perawi tersebut
atau dengan merujuk kepada buku-buku perawi hadis yang ditulis oleh para
pakar yang berisi pujian dan justifikasi dari mereka.8
2. Konsep dan Pengertian Dabit
Secara etimologi, dabt bisa berarti cekatan, kokoh, menjaga atau
menghafal dengan kuat. Pengertian dabt dalam ushul hadis Syi’ah tidak
berbeda dengan definisi dabt sebagaimana difahami oleh Ahlusunnah.
Ulama Syi’ah mendefinisikan dabt dengan kekuatan hafalan, tidak
pelupa dalam meriwayatkan hadis. Seorang perawi yang memiliki predikat
dabt adalah orang yang cekatan, hafal dengan hadis-hadis yang ia riwayatkan,
jika proses periwayatannya melalui hafalan, dan mampu menjaga tulisannya
dari berbagai bentuk perubahan, jika ia meriwayatkan melalui hasil
tulisannya.
Namun syarat dabt bagi seorang perawi nampaknya masih
diperselisihkan keberadaannya di kalangan ulama hadis Syi’ah. Al-Shaykh
Husain ibn Abdul Shamad al-‘Amili misalnya memandang bahwa dabt
merupakan salah satu syarat keshahihan hadis. Beliau mendefinisikan hadis
shahih dengan: hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh
7
Al-hakim abi abdillah muhammad ibn abdillah al naisaburi, kitab ma’rifat ulum alhadith
(hayderabad dairat alma’rifat al uthmaniyah) hal 53
8
Zeid B. Semeer, Disertasi Doktor: “Kredibilitas Kritik Ahlusunnah Terhadap Hadis-Hadis Syi’ah
Imamiyah”,,,,,,,,hlm. 48
periwayat yang adil dari kalangan imamiyah, memiliki sifat dabt dari perawi
yang juga dabt hingga sampai pada imam yang maksum yang tidak terdapat
kejanggalan atau cacat. Pendapat ini didukung oleh Hasan al-‘Amili di mana
beliau menegaskan bahwa dabt merupakan syarat untuk keshahihan hadis
ahad.9
3. Sanad Terhindar Dari Syadz
4. Sanad Terhindar Dari ‘Illah.10
9
Jamaluddin Abi Fadl Muhammad ibn Makram ibn Manzur, Lisan al-Arab (Bairut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1424 H/2003 M), Fasl al-da al-mu’jamah, juz VII, 384
10
Muhammad Nasir, Kriteria Keshahihan Hadis Perspektif Syiah, (Jurnal Farabi vol 12
nomor 1 juni: 2015), http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
11
Zeid B. Semeer, Disertasi Doktor: “Kredibilitas Kritik Ahlusunnah Terhadap Hadis-
Hadis Syi’ah Imamiyah”.hlm. 40
Selain sahifah yang umumnya memuat hukum diyat (denda) dan beberapa
persoalan lainnya, Rasulullah Saw., juga mendiktekan kepada Ali ra. hadits-hadits
lain yang disalinnya ke dalam lembaran-lembaran yang jauh lebih besar kemudian
dikenal dengan nama al-jami’ah.12
Pada masa kegaiban Imam Mahdi, para pengikut Ahl al-Bait berusaha
membukukan kembali hadits-hadits yang saat itu sempat tercecer. Mereka
memulai dari dari kitab-kitab yang masih tersisa, melalui periwayatan langsung
dari orang ke orang hingga sampai pada Rasulullah Saw atau sampai ke salah
satu imam dua belas. Hadis-hadis itu diantaranya telah dibukukan oleh Abu Rafi’
al-Aibti al-Shi’i dalam kitab al-Sunan, al-Ahkam dan al-Qadaya.
14
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam; Kajian Lintas
Aliran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm 158.
hingga V H, di kalangan Syi’ah telah disusun karya-karya kompilasi hadits
dengan metode dan materi yang beragam. Ada sebagian karya hadits Syi’ah yang
disusun berdasarkan sistematika fiqih dan ada pula yang memuat topik-topik
secara lebih luas. Periode pasca atba’ atba’ al-tabi’in ini lahirnya kitab-kitab
utama Syi’ah, antara lain: al-Kafi fi ‘Ilm al-Din karya karya al-Kulainiy (w. 329
H), Man la Yahduruh al-Faqih karya Ibn Babawaih (w. 381 H), Tahdhib al-
Ahkam fi Syarh al-Muqqni’a dan al-Istibshar fi Ma Ukhtulifa min al-Akhbar karya
al-Thusiy (w. 460 H), dan Nahj al-Balaghah karya al-Syarif al-Radliy (w. 406
H).15
a. Sejumlah sarjana menilai bahwa faktor mazhab atau aliran menjadi penyebab
utama munculnya perbedaan itu. Gibb, misalnya, menyebutkan bahwa aliran-
aliran yang berbeda dalam Islam cenderung menggunakan koleksi-koleksi
hadits standar sendiri yang berasal dari mereka, misalnya Syi’ah yang tidak
mau mengakui hadits-hadits dari kalangan Ahl sunnah.
b. Adanya akar kultural yang berbeda dari masing-masing kelompok yang
bersaing untuk monopoli hadits dan mengontrolnya, sehingga tadwin hadis
pun tidak terlepas untuk kepentingan penetapan otoritas kelompok.
c. Ali Ahmad al-Salus menilai bahwa adanya penguatan akidah dalam
kelompok dan menancapkan pengaruh kepada para pengikutnya.
1. Usul al-Kafi
Kitab al-Kafi ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub ibn Ishaq al-
Kulaini al-Razi wafat pada tahun 328/329 H (939/940 M). Riwayat hidupnya,
sangat sedikit sekali diketahui. Ada perbedaan pendapat mengenai dirinya, seperti
apakah nama yang dinisbatkan kepadanya adalah al-Kulini atau al-Kulaini.
Namun disepakati bahwa Kulain atau Kulin merujuk pada sebuah dusun di Iran
asal beliau dilahirkan.16
Al-Kafi merupakan kumpulan hadis yang diajarkan Nabi Saw., serta para
Imam dan diteruskan kepada kaum muslimin oleh murid-murid para imam. Kata
“al-Kafi” berarti “yang mencukupi”, sebuah buku yang dimaksudkan untuk
menjadi koleksi lengkap hadis Syi’ah Imamiyah, dan faktor ini pula yang
16
Hasan Ma’ruf al-Hasani, Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi, Jurnal al-
Hikmah, No. 6, edisi Juli-Oktober 1991.
mendorongnya untuk menyusun buku yang sejatinya dapat dijadikan rujukan
penganut Syi’ah. Hal itu dijelaskan oleh al-Kulaini dalam kata pengantar karyanya
tersebut:
Selain hadis-hadis Nabi saw., terdapat pula dalam al-Kafi ucapan para
imam, dan hal itu diakui sebagai hadis. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa, ada
anggapan teologis, di mana para imam yang ma’shum memiliki otoritas dalam
menyampaikan syariat yang bersumber langsung dari Nabi saw. Oleh sebab itu,
tidak heran jika surat-surat khutbah dan lain-lain yang memiliki keterkaitan
dengan syari’at didudukkan setara dengan hadis. Hal ini nampak dari apa yang
dilakukan oleh al-Kulaini yang ditampilkan dalam juz terakhir yang disebut al-
Raudah.
Di sisi lain, buku ini juga diharapkan untuk dapat menjadi rujukan
masyarakat awam Syi’ah dalam praktik kebutuhan hukum Islam, dan tidak
ditujukan khusus bagi para sarjana dan peneliti. Penulis menggunakan metode
dengan tidak membiarkan hadis-hadisnya berbicara sendiri, tetapi menarik
ketentuan-ketentuan dan penjelasan maksud dari hadis. Sesekali nampak dalam
penjelasan, hadis yang relatif singkat namun mendapat porsi penjelasan yang
panjang.19
3. Tahdhib al-Ahkam
Kitab ini ditulis oleh ulama besar Syi’ah Abu Ja’far Muhammad ibn al-
Hasan ibn Ali al-Tusi yang lahir di Iran pada tahun 385 H. Karirnya menandai
puncak dan kejayaan pendidikan dan pengajaran Syi’ah. Masa kejayaan Syi’ah
diawali oleh al-Kulaini dengan karya besarnya al-Kafi. Kemudian dilanjutkan
oleh al-Shaykh al-Saduq ibn Babawaih, lalu dinapaktilasi oleh al-Tusi dengan dua
karyanya, Tahdhib al-Ahkam dan al-Istibsar fi ma Ukhtulifa min al-Akhbar. Kitab
al-Tahdib pada awalnya dimaksudkan sebagai syarah utuh dari kitab al-Muqni’ah
karya gurunya, al-Mufid. Namun banyaknya perselisihan masyarakat dalam
19
Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari Terhadap Hadis-hadis Syi’ah
Imamiyah, (Batu: Arifa Publishing, 2011), hlm. 59-60.
memahami teks-teks yang terkait dengan masalah al-Furu’ dalam al-Muqni’ah, ia
memutuskan untuk fokus mensyarahkan hadis-hadis yang terkait dengan masalah-
masalah furu’ saja dan meninggalkan al-Usul.20
Metode yang digunakan oleh al-Tusi adalah dengan mengutip hadis- hadis
dalam al-Muqni’ah dengan komentar al-Mufid lalu diuraikan oleh beliau beserta
komentar dan analisanya, bahkan tidak jarang terjadi diskusi dalam penjelasan
tersebut. Karya al-Tusi ini, berisi kajian yang amat luas tentang hadis-hadis Syi’ah
yang mencakup banyak aspek permasalahan hukum.
Metode yang digunakan dalam kitab ini serupa dengan kitab sebelumnya,
hanya saja dalam penjelasan dan kutipan hadis-hadisnya nampak lebih singkat dan
padat. Bahkan dalam beberapa hal, nampak mirip dengan yang terdapat dalam al-
Tahdhib.
Perlu digaris bawahi, bahwa sekalipun empat kitab ini telah menjadi kitab
sandaran hadis, namun hadis hadis yang terdapat di dalamnya tidak disepakati
oleh ulama Syi’ah sebagai hadis-hadis yang sahahih secara keseluruhan. Mereka
20
Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari Terhadap Hadis-hadis Syi’ah
Imamiyah,.......... hlm. 61
21
I.K.A. Howard, al-Kafi by al-Kulaini, Man la Yahduru al-Faqih by al-Saduq, Tahdhib
al-Ahkam and al-Istibsar by al-Tusi, terj. Arif Budiarso dalam al-Serat, Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal
Ulumul Qur’an, Vol. 2. No. 4, 2001.
mengakui, bahwa di dalam kitab-kitab tersebut terdapat sekian banyak hadis yang
masih diperselisihkan kualitas keshahihannya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Al-quran
Abu al-Abbas Ahmad ibn Ali ibn Ahmad al-Asadi al-Kufi al-Najashi, Rijal al-
Najashi(Qum: Muassasah al-Nashr al-Islami, 1418)
Al-hakim abi abdillah muhammad ibn abdillah al naisaburi, kitab ma’rifat ulum
alhadith (hayderabad dairat alma’rifat al uthmaniyah)
Hasan Amin, 1971. Dairat al-Ma’rif al-islamiyyah, juz 11, jilid 3 (Beirut: Dar al-
Ta’aruf.
Hasan Ma’ruf al-Hasani, Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi, Jurnal al-
Hikmah, No. 6, edisi Juli-Oktober 1991.
Husain ibn Abdul Samad Al-‘Amili, Wusul al-Akhyar ila Usul al-Akhbar, (Qum:
1401 H).
Jamaluddin Abi Fadl Muhammad ibn Makram ibn Manzur, Lisan al-Arab (Bairut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1424 H/2003 M), Fasl al-da al-mu’jamah, juz VII
I.K. A. Howard, al-kafy by al-kulaini, man la yahduru al-faqih by al-saduq,
tahdhib al-ahkam and al- istibsar by al-tusi, terj. Arif budiarso dalam alserat,
vol. 2. No. 2. 1967, jurnal ulumul quran, vol. 2. No. 4, 2001.
Muhammad Ja’far Syamsudin (Beirut: Dar al-Ta’aruf li-al- Matbu’at, 1411/1990),
juz 1.
Muhammad alqadi, al ishmah 180 al-tabatabai, almizan fitafsir alquran, juz XVI,
Muhammad Nasir, Kriteria Keshahihan Hadis Perspektif Syiah, (Jurnal Farabi vol
12 nomor 1 juni: 2015)
Mircea eliade. 1997. (ED), the encyclopedia of religian, vol.6 (new york:
macmilian publising company.
Saifuddin, 2011. Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam; Kajian
Lintas Aliran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Zeid B. Semeer, Disertasi Doktor. 2011. “Kredibilitas Kritik Ahlusunnah
Terhadap Hadis-Hadis Syi’ah Imamiyah”, (Jakarta: Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa