Anda di halaman 1dari 6

Kutub Arba’ah 

adalah karya-karya fenomenal dari tokoh-tokoh kaliber Syiah. Mereka dikenal


dengan ketsiqahan, kemuliaan dan keilmuan yang tinggi dalam berbagai cabang, di antaranya
ilmu hadis.

Tidak diragukan lagi bahwa Kutub Arba’ah menjadi kepercayaan dan sandaran seluruh ulama
Syiah sepanjang masa. Pertanyaannya, apakah seluruh riwayat kitab-kitab ini valid atau tidak?

Berdasarkan studi yang dilakukan, seluruh riwayat Kutub Arba’ahmemiliki validitas dari sisi
penukilannya. Riwayat yang tidak memiliki sanad yang shahih, tidak mengurangi validitas
keseluruhannya.

Meskipun demikian, keberadaan hadis-hadis yang saling kontradiksi dan perawi-perawi


dalam Kutub Arba’ah yang dituduh meyakini ghuluw (mengkultuskan Imam Ali dan para imam
a.s.) tidak dapat dipungkiri.

Oleh karena itu, masing-masing dari Kutub Arba’ah, selain memiliki banyak kelebihan, juga
terdapat kekurangan, di antaranya lemahnya sanad dan teks (matn). Tulisan ini akan
menjelaskan beberapa kelebihan dan kekurangan Kutub Arba’ah dengan urutan dari Al-
Kafi, Man Laa Yahdhuruh Al-Faqih, Tahdzhib Al-Ahkam dan Al-Istibshar.

Sekilas Tentang Kutub Arba’ah

Kutub Arba’ah adalah khazanah berharga. Sejak pertama ditulis hingga kini, tidak hanya menjadi
perhatian ulama Syiah dan masyarakat umum, bahkan setiap pengkaji dalam bidang keislaman
tidak dapat lepas darinya. Singkatnya, bagian terbesar ilmu agama dan kitab-kitab Syiah
tersimpan dalam Kutub Arba’ah.

Kutub Arba’ah memiliki beberapa keistimewaan eksklusif berikut yang menjadi sebab


ketenarannya:

 Ketsiqahan dan tingkat keilmuan para penulisnya yang tinggi


 Keteraturan susunan hadis-hadis dan tema-temanya
 Cakupan hadis-hadis Syiah yang luas

Penulisan Kutub Arba’ah dekat dengan era shudur hadis dari maksum dengan memanfaatkan


“Ushul Arba’a Miah”. Hal inilah yang menjadi rantai penyambung kita dan kitab-kitab di masa
para imam a.s.

Meskipun demikian, kedudukan keilmuan dan kepribadian maknawi para penulis Kutub


Arba’ahtidak dapat menjadi alasan bahwa seluruh riwayatnya shahih atau pandangan
ulama ushul dan rijalterkait hadis-hadis Kutub Arba’ah dapat diabaikan. Dari sini, muncul kritik
atau kajian sanad dan kandungan hadis.

Kitab-kitab jami’ hadis telah menjadi obyek kritik dan kajian untuk mengetahui keshahihan atau
tidaknya hadis. Selain itu, juga bertujuan untuk tidak menisbahkan riwayat-riwayat yang tidak
masuk akal, jauh dari rasio dan logika kepada para imam a.s.

Kutub Arba’ah telah menjadi referansi utama Syiah setelah Alquran. Selain memiliki berbagai
keistimewaan dan keunggulan dibandingkan dengan kitab-kitab hadis lainnya, juga perlu
dibahas dan dikaji oleh para peneliti untuk keperluan pengoreksian kembali. Karena tidak satu
pun kitab hadis jami’, termasuk di antaranya Kutub Arba’ah, yang aman dari koreksi dan kajian
sanad atau matn.

Mazhab Syiah yang dipelopori oleh para imam a.s., pada masa ghaibah bersinar melalui Kitab
dan Sunnah. Perlunya koreksi untuk mencegah penyandaran  riwayat-riwayat yang tidak masuk,
jauh dari rasio dan logika kepada para imam a.s. dan juga untuk melawan hinaan dan celaan
para musuh yang dengki terhadap mazhab Ahlul Bait a.s.
Koreksi dapat dilakukan dengan menggunakan rumusan ilmu rijal, fiqh al-hadits dan ilmu ushul.
Filter ini akan menghasilkan riwayat-riwayat yang dapat diharapkan keshahihannya.

Tulisan ini, selain menyebutkan keunggulan-keunggulan Kutub Arba’ah, juga menjelaskan


kelemahan dan kekurangan di dalamnya. Dengan mengambil berbagai pandangan, akan
terbukti perlunya pengoreksian ulang Kutub Arba’ah dengan neraca metode kritik dan
pemahaman  hadis.

Kitab Al-Kafi

1- Kulaini dan Al-Kafi Menurut Ulama

Nama lengkap penulis Al-Kafi adalah Abu Ja’far Muhammad bin Ishaq Kulaini Razi. Al-Kafi ditulis
pada kondisi intelektual dan keyakinan tersulit yang dihadapi oleh kaum Syiah.

Kulaini dilahirkan di desa Kulain, wilayah Kota Rey. Beliau wafat pada tahun 329 H. di Baghdad.
Mula-mula beliau menuntut ilmu agama di Qom, kemudian melanjutkan ke Hauzah Kufah,
Neisyabur dan Baghdad.[1]

Berikut ini adalah pandangan para tokoh tentang Kulaini dan Al-Kafi:

 Syeikh Thusi: “Kulaini dipercaya dan alim terhadap hadis-hadis.”[2]


 Ibnu Thawus: “Syeikh yang dipercaya oleh semua orang dan amin, dialah Muhammad bin
Ya’qub Kulaini.”[3]
 Muhammad Baqir Majlisi: “Muhammad bin Ya’qub Kulaini diterima oleh semua kalangan dan
dipuji oleh Syiah dan Ahlu Sunnah.”[4]
 Syeikh Mufid: “Al-Kafi termasuk kitab Syiah yang paling penting dan bermanfaat.”[5]
 Syahid Awal (Muhammad bin Makki ‘Amili Jazzini): “Al-Kafi adalah sebuah kitab hadis yang
belum ada duanya dalam Imamiyah.”[6]
 Faidh Kasyani: “… Dari seluruh kitab hadis, Al-Kafi yang lebih utama, dapat dipercaya, lebih
lengkap dan komprehensif.”[7]

2- Kelebihan Al-Kafi

 Ditulis pada masa ghaib shughra (Imam Mahdi a.s.) dan dekat dengan masa para imam a.s.
 Komprehensifitas (menghimpun riwayat-riwayat akidah, akhlak, fikih) yang tidak dimiliki
oleh Kutub Arba’ah[8]
 Jumlah riwayatnya lebih banyak dibandingkan dengan kitab-kitab hadis Syiah terdahulu dan
juga kitab-kitab shahih Ahlu Sunnah.
 Pengumpulan riwayat, penulisan dan koreksinya memakan waktu 20 tahun sehingga memiliki
kekokohan dan kejelian lebih dalam penukilan sanad dan teksnya.
 Adanya tsulatsiyat (riwayat-riwayat yang dengan tiga perantara sampai ke imam a.s.)
 Penyebutan sanad-sanadnya secara lengkap. Berbeda dengan Kutub Arba’ah lainnya,
terutama “Man Laa Yahdhuruh Al-Faqih”, yang untuk melengkapi sanadnya harus merujuk ke
bagian akhir kitab (masyikhah).
 Pemberian tema yang tepat, singkat, dan ekspresif pada bab-babnya.
 Penjelasan penulis tidak bercampur dengan teks dan riwayat.
 Allamah Syusytari menyebut Kulaini sebagai orang yang paling dhabit di antara 3
penulis Kutub Arba’ahdalam menukil hadis. Posisi berikutnya ditempati oleh Syeikh Shaduq
dan Syeikh Thusi.[9]
 Pada akhir-akhir abad ke-3 (era mutaqaddimin), dilakukan upaya-upaya untuk membukukan
hadis. Beberapa kitab telah ditulis, namun masih belum dapat menghentikan ulama untuk
merujuk kepada ushul awwaliyah (kitab-kitab hadis pertama). Setelah Kulaini menulis Al-Kafi,
ulama tidak banyak lagi merujuk kepada ushul awwaliyah.
 Salah satu motivasi Kulaini menulis kitabnya adalah adanya berbagai kontradiksi riwayat pada
era itu.
Di antara Kutub Arba’ah, Al-Kafi adalah kitab eksklusif yang menghimpun hadis-hadis fikih dan
akidah. Syeikh Kulaini berhasil menciptakan sebuah karya yang sangat indah tiada duanya
dengan mengoleksi berbagai riwayat dalam setiap bab.

Di antara keistimewaan Kulaini yang berharga adalah pemaparan sebagian neraca kritik hadis
dan juga solusi kontradiksi hadis. Hal itu disampaikan dalam jilid pertama melalui beberapa bab
seperti “Ikhtilaf Al-Hadits”, “Ar-Radd Ila Al-Kitab Wa As-Sunnah”, dan “Al-Akhdz Bi As-Sunnah
Wa Syawahid Al-Kitab”.

Kulaini juga membawakan hadis-hadis yang kandungannya sama dan serupa dalam cakupan
akidah dan hukum yang luas, lalu menyusunnya dalam berbagai topik yang indikatif dengan
tujuan. Hal ini banyak membantu dalam pemahaman hadis dan istinbath hukum.

Kulaini pada banyak tempat sering memulai dengan hadis-hadis mutlaq dan ‘am, kemudian


membawakan hadis-hadis mukhashshish dan tafsirannya. Sedangkan hadis-hadis yang
tampaknya tidak ada keserasian atau tidak dipahami atau bahkan tidak diterima (oleh akal)
dipisahkan dan diletakkan pada bab-bab berjudul “An-Nawadir”.

Dengan memanfaatkan berbagai referensi dan syair para penyair, Kulaini menerjemahkan
bahasa-bahasa yang sulit dan menjelaskan atau menafsirkan sebagian pembahasan.[10] Beliau
juga mengambil ucapan-ucapan para rawi ahli fikih dan terkemuka seperti Zurarah, Muawiyah
bin Abi Umair dan Yunus bin Abdurrahman untuk menerangkan makna hadis.[11]

Terkait sanad riwayat, Kulaini menuliskannya secara lengkap. Oleh karena itu, riwayat-
riwayat Al-Kafi, kecuali hanya dalam beberapa tempat terbatas, dilengkapi dengan silsilah sanad
yang menunjukkan perantara-perantara antara beliau hingga imam maksum a.s. secara
sempurna.[12]

Saat menetap di Qom, Kulaini berhasil memperoleh sebagian besar riwayat kitab Al-Kafi dari
Masyayikh dan sumber-sumber yang terdapat di kota tersebut yang berjumlah 34 orang.[13]

Di antara syarah kitab Al-Kafi yang paling terkenal, dapat disebutkan sebagai berikut:

* Mir’ah Al-‘Uqul, Allamah Majlisi

* Syarh Ushul Kafi, Amir Ismail Khatun Abadi

* Syarh Ushul Kafi, Mulla Sadra

* Shafi, Mulla Khalil Qazwini (ditulis dengan bahasa Persia)

* Syafi, Mulla Khalil Qazwini (ditulis dengan bahasa Arab)

* Ar-Rawasyih As-Samawiyyah Fi Syarh Al-Kafi, Sayid Muhammad Baqir Mirdamad.[14]

Referensi:

[1] Maaref, Majid, Tarikh-e Omumi-ye Hadis (Sejarah Umum Hadis), Tehran 1386 HS, halaman
356.

[2] Thusi, Muhammad bin Al-Hasan, Al-Fihrist, Qom 1417 H., halaman 135.

[3] Ibnu Thawus, Ali bin Musa, Kasyf Al-Mahajjah (terjemahan Persia), Tehran 1368 HS.,
halaman 158.

[4] Majlisi, Muhammad Baqir, Mir’ah Al-‘Uqul Fi Syarh Akhbar Ali Ar-Rasul, Tehran 1370 HS., jilid
1, halaman 3.
[5] Syeikh Mufid, halaman 27.

[6] Majlisi, Muhammad Baqir, Bihar Al-Anwar, jilid 25, halaman 67.

[7] Faidh Kasyani, Mulla Muhsin, Al-Wafi, Qom 1404 H., jilid 1, halaman 6.

[8] Ibid, jilid 1, halaman 5.

[9] Syusytari, Muhammad Taqi, An-Naj’ah Fi Syarh Al-Lum’ah, Tehran 1406 H., jilid 3, halaman
155.

[10] Kulaini, Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub, Al-Kafi, Tehran 1365 HS., jilid 1, halaman 85,
111, 124, 136.

[11] Mas’udi, Abdul Hadi, Ravesy-e Fahme Hadis (Metode Memahami Hadis), Tehran, halaman


28 – 29.

[12] Tarikh-e Omumi-ye Hadis (Sejarah Umum Hadis), halaman 362 – 363.

[13] Ibid, halaman 358 – 368.

[14] Ibid, halaman 422.

Meskipun kitab Al-Kafi mengandung riwayat-riwayat shahih dan bermanfaat, namun sangat


disayangkan, karena tetap tidak terlepas dari hadis-hadis non shahih. Hal itu dikarenakan hadis-
hadis Al-Kafi dan Kutub Arba’ah lainnya (Al-Faqih, Al-Istibshar, dan Tahdzib) bersumber dari
kitab-kitab atau catatan-catatan terdahulu yang disebut dengan “Ushul Arba’ Miah”. Dengan
berbagai alasan, antara lain pengaruh orang-orang ghali pembuat hadis, kitab-kitab tersebut
tidak seluruhnya qath’i ash-shudur, tanpa cacat dan cela.

Berikut ini, beberapa contoh riwayat kitab Al-Kafi yang memiliki kekurangan seperti disebutkan di
atas:

1- Hadis tentang “Bab Maulid An-Nabi saw. wa Wafatih” (Bab Kelahiran dan Wafat Nabi saw.)

Dari Durust bin Abi Mansur, dari Ali bin Abi Hamzah, dari Abi Basir meriwayatkan bahwa Imam
Shadiq a.s. berkata, “Saat lahir, Nabi saw. beberapa hari tidak minum susu. Maka Abu Thalib
menyodorkan dadanya. Allah swt. memancarkan susu dari putingnya. (Nabi saw.) kecil menyusu
kepada Abu Thalib beberapa hari hingga Abu Thalib menemukan Halimah Sa’diyah dan
menyerahkan bayi (Nabi saw.) kepadanya (untuk disusui).”[1]

Dari sisi sanad dan matan, hadis ini tidak dapat diterima akal atau logika. Kemungkinan perawi
fanatik yang menciptakan dongeng seperti ini bertujuan untuk mengokohkan hubungan
kekerabatan dan darah antara Nabi saw. dan Ali bin Abi Thalib a.s.

Selain itu, sebagian perawinya tidak dikenal dan majruh sebagaimana matannya. Berkenaan


dengan Ali bin Mu’alla misalnya disebutkan bahwa tidak ada informasi mengenainya.[2]

Begitu pula ulama rijal,[3] berkenaan dengan Durust bin Abi Mansur mengatakan bahwa ia
bermazhab waqifi.[4]

2- Hadis tentang Mi’raj Nabi saw.

Dalam Ushul Kafi terdapat sebuah riwayat tentang mi’raj Nabi Muhammad saw. Riwayat tersebut
dianggap tidak tsiqah dalam sanad dan isinya:
Abu Bashir bertanya kepada Imam Shadiq a.s., “Berapa kali Nabi saw. dibawa mi’raj?”

Imam Shadiq a.s. menjawab, “Dua kali. Jibril memberhentikan beliau di sebuah tempat dan
berkata, “Tetaplah di tempatmu, wahai Muhammad! Saat ini engkau berada di sebuah tempat
yang belum pernah satu malaikat atau nabi pun berhenti (di sana). Sesungguhnya Tuhanmu
sedang shalat.”

“Wahai Jibril! Bagaimana Tuhan melaksanakan shalat,” tanya Nabi saw.

Jibril menjawab, “Dia berkata, “Maha suci dan Maha Quddus, Aku Tuhan para malaikat dan ruh.
Rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku.”[5]

Nabi saw. berkata, “Ya Allah! Aku memohon ampunan-Mu.”

Imam Shadiq a.s. berkata, “Demikianlah, Allah swt. berfirman: “Maka jadilah dia dekat (pada
Muhammad sejarah) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)” [6]…”[7]

Salah satu perawi hadis bernama “Qasim bin Muhammad Jauhari”. Ia disebut oleh Allamah
Mamaqani sebagai orang yang tidak muktabar atau tidak dikenal (tidak muwatstsaq). Seluruh
fuqaha menolak riwayatnya.[8]

Selain problem sanad, matannya juga bermasalah dari beberapa sisi berikut:

1) Lahiriah riwayat menunjukkan Tuhan berada di tempat tertentu. Sesuai nash Alquran, Tuhan
tidak pernah dapat diliputi oleh tempat, namun Dia meliputi segala sesuatu.[9]

2) Shalatnya Tuhan merupakan hal yang tidak rasional dan khurafat.

3) Dalam beberapa ayat di bawah ini disebutkan jarak malaikat wahyu dan Nabi saw., bukan
jarak Nabi dengan Tuhan:

“Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. * Yang mempunyai akal yang cerdas;
dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. * Sedang dia berada di ufuk yang tinggi.
* Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. * Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad
sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).”[10]

Dengan demikian, penafsiran yang disebutkan dalam riwayat tersebut tidak sesuai dengan
Alquran.

3- Dalam “Bab Maa ‘Inda Al-Aimmah Min Silah Rasulillah saw. Wa Mata’ihi” (Bab Senjata dan
Barang Rasulullah saw. Yang Ada Pada Para Imam a.s.) disebutkan kisah seekor keledai
bernama ‘Afir. Dalam bab tersebut, Syeikh Kulaini menukil sebuah riwayat yang tidak hanya
bermasalah dalam sanadnya, namun dari sisi konten juga bertentangan dengan dasar-dasar dan
seni balaghah.

Riwayat yang disebutkan dalam bab tersebut adalah riwayat mursal dan maqthu’. Tidak


diketahui siapakah yang menciptakan dongeng aneh seperti itu. Yang mengherankan adalah
bahwa Kulaini mempercayainya dan memasukkannya ke kitab yang menurutnya, menghimpun
hadis-hadis shahih.

4- Di antara riwayat aneh dan tidak bisa dipercaya yang dinukil dalam kitab Ushul Kafi pada “Bab
Maulid Abi Ja’far Muhammad bin Ali Ats-Tsani” adalah riwayat Ali bin Ibrahim.

Ali bin Ibrahim meriwayatkan dari ayahnya yang berkata, “Sekelompok kaum Syiah datang dari
kota yang jauh dan memohon izin dari Imam Jawad a.s. untuk masuk. Imam Jawad a.s.
memberikan izin. Mereka masuk dan menanyakan 30 ribu permasalahan kepada beliau a.s.
dalam majelis tersebut. Imam Jawad a.s. yang saat itu berusia 10 tahun menjawab seluruh
pertanyaan (yang dilontarkan).”[11]
Dari sisi sanad dan kandungan, riwayat di atas bermasalah; dari sisi sanadnya maqthu’, karena
ayah Ali bin Ibrahim, yaitu Ibrahim bin Hasyim Qommi tidak diketahui dari siapa mendengar
kisahnya. Selain itu, kehadirannya di majelis itu juga tidak disebut-sebut.

Adapun matannya mengindikasikan kebohongan secara jelas. Bagaimana mungkin beliau a.s.
menjawab 30 ribu pertanyaan dalam sebuah majelis? Meskipun jawaban pertanyaan yang
dilontarkan kepada Imam Jawad a.s. mudah, akan tetapi bagaimana mungkin orang-orang yang
bertanya dapat melontarkan 30 ribu pertanyaan dalam sebuah majelis?

5- Syeikh Kulaini menukil sebuah riwayat dalam “Kitab Fadl Alquran” tentang jumlah ayat-ayat
Alquran yang menyebutkan dengan jelas berjumlah 17 ribu.[12] Sementara ayat-ayat Alquran
yang berada di tengah-tengah kita tidak sampai 7 ribu ayat. Jika riwayat Ushul Kafi benar,
semestinya lebih dari setengah Alquran terhapus! Keyakinan ini jelas tanpa dasar dan tertolak,
karena bertentangan dengan Alquran dan hadis-hadis shahih.[13]

Anda mungkin juga menyukai