Anda di halaman 1dari 19

KUTUBUSSITTAH: KARAKTERISTIK DAN PERBANDINGANNYA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Hadis

Dosen Pengampu

Prof. Dr. Yusuf Hanafi, S.Ag., M.Fil. I

Disusun oleh:

Intan Atala Rohmah (200231609300)

Luthfia Zulfa (200231609254)

M Bintang H. Pahlevi (200231409274)

Salsabila Salma Safa (200231609269)

DEPARTEMEN BAHASA ARAB

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kutubus-
Sittah: Karakteristik dan Perbandingannya”. Tujuan penulisan ini untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Tafsir Hadis. Makalah ini diharapkan dapat menjadi penambah wawasan bagi
pembaca serta bagi pemateri sendiri.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Yusuf Hanafi, yang sudah mempercayakan
tugas ini kepada kami, sehingga sangat membantu kami untuk memperdalam pengetahuan
pada bidang studi yang sedang ditekuni.

Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah berbagi pengetahuannya kepada kami,
sehingga makalah ini dapat diselesaikan secara tepat waktu. Kami menyadari jika makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik serta saran
demi terwujudnya perbaikan dan kesempurnaan dari makalah ini.

Malang, 06 Desember 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama ajaran umat Islam yang sempurna,
sebagai panduan utuh untuk kehidupan manusia, baik dunia maupun akhirat nantinya.
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, terkhusus setelah diturunkannya wafatnya Rasulullah
Muhammad SAW dan terjadinya proses kodifikasi hadits sebagai upaya penjagaannya,
muncul banyak sekali produk kitab-kitab hadits. Dari sekian banyak kitab hadits yang
muncul, ulama’ Ahlussunnah merumuskan sebuah gagasan tentang urutan-urutan kitab yang
dianggap paling otentik dan otoritatif sebagai sumber ajaran Islam. Yang pertama yakni Al-
Qur’an, kemudian disusul oleh enam kitab yang masyhur dengan sebutan Kutub as-Sittah.
Kutubussittah adalah enam kitab yang terdiri atas dua kitab shahih dan empat kitab
sunan. Kitab-kitab tersebut adalah Shahih Bukhari dan Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan
Tirmidzi, Sunan Nasa’i dan Sunan Ibn Majjah. Masing-masing kitab tersebut memiliki corak
dan karakteristik, serta kekhasannya masing-masing. Corak, karakteristik dan perbandingan
tersebut yang akan dipaparkan dalam pembahasan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana profil, corak dan karakteristik, serta perbandingan kitab Shahih Bukhari
dengan kitab hadits yang lain?
2. Bagaimana profil, corak dan karakteristik, serta perbandingan kitab Shahih Muslim
dengan kitab hadits yang lain?
3. Bagaimana profil, corak dan karakteristik, serta perbandingan kitab Sunan Abu
Dawud dengan kitab hadits yang lain?
4. Bagaimana profil, corak dan karakteristik, serta perbandingan kitab Sunan Tirmidzi
dengan kitab hadits yang lain?

5. Bagaimana profil, corak dan karakteristik, serta perbandingan kitab Sunan Nasa’i
dengan kitab hadits yang lain?

6. Bagaimana profil, corak dan karakteristik, serta perbandingan kitab Sunan Ibn Majah
dengan kitab hadits yang lain?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui profil, corak dan karakteristik, serta perbandingan kitab Shahih
Bukhari dengan kitab hadits yang lain.
2. Untuk mengetahui profil, corak dan karakteristik, serta perbandingan kitab Shahih
Muslim dengan kitab hadits yang lain.
3. Untuk mengetahui profil, corak dan karakteristik, serta perbandingan kitab Sunan Abu
Dawud dengan kitab hadits yang lain.
4. Untuk mengetahui profil, corak dan karakteristik, serta perbandingan kitab Sunan
Tirmidzi dengan kitab hadits yang lain.

5. Untuk mengetahui profil, corak dan karakteristik, serta perbandingan kitab Sunan
Nasa’i dengan kitab hadits yang lain.

6. Untuk mengetahui profil, corak dan karakteristik, serta perbandingan kitab Sunan Ibn
Majah dengan kitab hadits yang lain.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Shahih Bukhari
1. Profil

Sahih al-Bukhari (Arab: ( ‫الجامع المسند الصحيح المختصر من ُأمور رسول هللا صلى هللا عليه وسلّم‬
‫صحيح البخاري )وسننه وأيامه‬, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī) adalah kumpulan hadits dan kitab sunnah yang
disusun oleh ulama asal Persia Muḥammad ibn Ismā'īl al-Bukhari (810–870 M/194-256 H)
pada sekitar tahun 846 M. Kitab ini disebut-sebut oleh para ulama’ sebagai kitab rujukan
paling otentik setelah Al-Qur’an. Kitab ini juga merupakan salah satu bagian paling utama
dari Kutub As-Sittah, yakni enam kitab hadits yang menjadi rujukan oleh Islam Ahlussunnah
wal Jama’ah. Buku ini juga dijadikan sebagai salah satu referensi oleh orang-orang Islam
Syiah Zaidiyah. Kitab ini terdiri dari sekitar 7.563 riwayat hadits dalam 97 bab yang ada di
dalamnya.

Dikisahkan bahwa Bukhari banyak bepergian ke seluruh wilayah yang berada dalam
kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah sejak usia 16 tahun. Dalam perjalanannya mempelajari
ilmu hadits, Bukhari menemukan banyak koleksi hadits yang tercampur baur, ada yang
termasuk dalam riwayat ṣaḥīḥ dan hasan dan juga banyak dari mereka termasuk daʻīf. Hal ini
membangkitkan minatnya untuk menyusun hadits yang otentisitasnya tidak diragukan.
Imam Bukhari melahirkan banyak sekali karya, namun yang paling masyhur ialah: al-Jami’
al-Shahih, al-Adab al-Mufrad, at-Tarikh as-Shaghir, at-Tarikh al-Awsath, at-Tarik al-Kabir,
at-Tafsir al-Kabir, al-Musnad al-Kabir, Kitab al-’Ilal, Raf’u al-Yadain fi as-Shalat, Birru al-
Waalidain, Kitab al-Asyribah, al-Qira`atu Khalfa al-Imam, Kitab ad-Dhu’afa`, Usaamy as-
Shahabah, dan Kitab al-Kunaa.

Dari banyak karyanya itu, yang paling mendapat perhatian sepanjang jaman ialah al-
Jami’ al-Shahih. Para ulama hadis sebelum Imam Bukhari, belum ada yang pernah meyusun
kitab hadis dengan menghimpun hadis-hadis yang shahih saja. Kitab-kitab hadis yang
dikarang sebelumnya, mencampur berbagai kualitas hadis, baik shahih, hasan, dha’if, dalam
satu himpunan kitab hadis, dan menyerahkan sepenuhnya kepada para pembaca dan
pengkritik hadis untuk menentukan kualitas hadis-hadis yang terkandung. Atas dasar inilah,
Imam Bukhari merasa perlu untuk menyusun sebuah kitab hadis yang hanya memuat hadis-
hadis yang shahih saja, yang dinamainya: “al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min
Umuuri Rasulillah Saw. wa Sunanihi wa Ayyaamihi.”

2. Corak dan Karakteristik

Dalam kumpulan kitab shahihnya, Imam Bukhari, memasukkan sekitar 9.082 hadis
dari 100 ribu Hadis yang telah dihafalkan dan 600 ribu hadis yang beredar di kalangan
masyarakat. Menurut Ibn Hajar, hadis yang masuk dalam al-Jami' al-Shahih itu hanya 2.761
saja yang bersih, sementara yang lainnya adalah hadis pengulangan dalam beberapa tempat.
Sedang menurut Ibn Shalah hadis yang bersih hanya 2.602 saja.

Secara umum, ulama-ulama hadis memandang, Shahih Bukhari memiliki nilai paling
tinggi dibanding kumpulan kitab-kitab hadis lainnya. Hal ini dikarekan karakteristik
keshahihan dalam Shahih Bukhari lebih sempurna, demikian pula syarat yang diterapkannya
lebih ketat. Menurut Bukhari, sebuah hadis dapat dikatagorisasikan sebagai shahih jika
memenuhi persyaratan sebagai berikut. Pertama, sanadnya harus bersambung yang berarti
periwayatan sanadnya tidak terputus. Kedua, perawi harus memenuhi kriteria yang paling
tinggi dalam hal watak pribadi, keilmuan, dan standar akademis. Ketiga, harus ada informasi
positif tentang perawi yang menerangkan bahwa mereka saling bertemu muka, dan para
murid belajar langsung dari shekh hadisnya. Keempat, bagi tokoh seperti Nafi' dan Zuhri
misalnya, maka murid-murid yang meriwayatkan harus tergolong dalam kategori pertama,
yaitu mereka yang banyak pergaulannya dengan guru.
Sistematika lain yang menandai keunikan Shahih Bukhari adalah tentang peletakan
kitab dan bab. Dr Ahmad Amin dan Dr Ali Hasan Abd Kadir membagi Jami' al-Shahih dalam
97 kitab dan 3.450 bab. Sementara, dalam sejarah kirmani dan naskah sindi masing-masing
hanya terdapat 72 kitab dan 63 kitab. Perbedaan ini, disebabkan adanya beberapa bab yang
dihitung sebagai kitab atau sebaliknya. Dalam syarh kirmani semua dihitung sebagai bab,
sedang dalam naskah sindi semua dihitung sebagai kitab.

Para ulama hadis menetapkan beberapa kriteria, sehingga sejauh mana suatu hadis
dikatakan punya kualitas shahih, yakni: perawinya harus seorang Muslim; berakal; jujur;
tidak mudallis (dimana seseorang meriwayatkan hadis dari orang sejamannya seolah-olah ia
mendengarnya secara langsung, padahal ia tidak meriwayatkan darinya secara langsung dari
orang sejamannya itu); tidak mukhtalit (orang yang banyak melakukan kekeliruan disengaja
atau tidak karena faktor usia tau cacat yang disandangnya); ‘adil (dikenal takwa dan menjaga
kesucian dirinya); dhabit (kuat hapalan dan tulisan); emosi dan pemikirannya jernih; sedikit
sekali melakukan kekeliruan; dan mempunyai akidah yang benar.

Jika ditanyakan, apakah Imam Bukhari menetapkan kesemua kriteria diatas dengan
baik? Jawabnya ialah, tentu saja beliau menerpakan kriteria-kriteria diatas. Bahkan, tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa beliau sesungguhnya melampaui imajinasi para ulama hadis
lainnya dalam menyeleksi hadis.

Imam Bukhari memang tidak pernah secara eksplisit menyebut kriteria hadis shahih
yang diterapkannya dalam al-Jami’ al-Shahih. Namun begitu, kriteria kesahihan yang
dianutnya dapat diketahui dari penelaahan para ulama dan kritikus hadis sesudahnya. Dari
situ diketahui bahwa Imam Bukhari tidak saja menerapkan kriteria bagi hadis shahih
sebagaimana dikehendaki para ulama hadis, lebih dari itu beliau menyeleksi dan hanya
mengambil hadis dari para periwayat yang mempunyai derajat paling tinggi dalam semua
kategori penilaian bagi periwayat hadis shahih. Misalnya saja: jika ada riwayat dari Imam al-
Zuhry, maka beliau akan mengambil periwayat dari tingkat pertama (thabaqat al-`ula) murid-
murid Imam al-Zuhry, yang dalam berbagai segi paling unggul. Baik dari segi keadilannya
(‘adil), kekuatan hapalannya (al-dhabtu al-tam), keteguhan keyakinan dan kepercayaannya
(al-itqan wa al-amanah), serta lamanya bergaul dengan Imam al-Zuhry, baik ketika menetap
maupun ketika dalam lawatan ke tempat-tempat lain (musafir).

Perlu diketahui, murid-murid Imam al-Zuhry terbagi kepada lima tingkatan. Tingkat
pertama (thabaqat al-`ula) ialah murid-murid Imam al-Zuhry yang punya keunggulan
sebagaimana disebut diatas, seperti Imam Malik bin Anas dan Sufyan bin ‘Uyainah. Dari
tingkat inilah, Imam Bukhari banyak meriwayatkan hadis. Tingkat kedua (thabaqat al-
tsaniyah), ialah murid yang punya kriteria kredibilitas sebagaimana tingkat pertama, kecuali
pergaulannya dengan Imam al-Zuhry yang hanya terbilang sebentar, baik ketika menetap
maupun musafir, seperti al-Awzaa’iy dan al-Laits Ibn Sa’ad. Dari tingkatan ini, Imam
Bukhari hanya mengambil sedikit saja riwayat. Sebaliknya, Imam Muslim banyak
meriwayatkan dari tigkatan ini (didepan pembahasan ini akan lebih diperinci). Tingkatan
ketiga (thabaqat al-tsalits) ialah mereka yang tidak memenuhi kriteria kredibilitas dan
kriteria apapun sebagaimana pada tingkatan kedua, seperti Ja’far bin Barqan dan Zam’ah bin
Shaalih, dimana Imam Bukhari, tidak meriwayatkan satu hadis pun dari periwayat di
tingkatan ini. Kecuali, untuk keperluan dijadikan sebagai muttabi’ dan syawahid hadis.
Tingkatan keempat dan kelima (thabaqat al-rabi’ah wa al-khamisah) dari murid Imam al-
Zuhry ialah orang-orang yang dikenal dha’if dan rendah kualitasnya (majruh). Baik Imam
Bukhari maupun Imam Muslim, tidak meriwayatkan dari orang-orang yang berada pada
tingkatan ini.

Imam Bukhari tidak menjelaskan secara gamblang metode seleksi hadis yang dipakai
dalam menyusun kitabnya. Namun dilihat dari hadis-hadis yang dicantumkan dalam Shahih
Bukhari dan dari pernyataannya dalam kitabnya yang lain, at-Tarikh al-Kabir, maka para ahli
hadis menyimpulkan sebenarnya ada dua syarat:

A. Kualitas Rijal al-Hadis (para perawi hadis). Dalam masalah ini, Imam Bukhari hanya
memilih hadis yang status perawinya tidak dikomentari jelek oleh para pakar hadis.
Utamanya dalam hadis yang berkaitan dengan akidah atau dasar Islam. Kalaupun ada, tetapi
komentar itu tidak berpengaruh. Sedangkan Imam Muslim juga mencantumkan hadis yang
status perawinya diperselisihkan. Inilah alasan Shahih Bukhari lebih utama dari Shahih
Muslim.
B. Ittishal as-Sanad (ketersambungan sanad [perawi hadis]). Sedangkan dalam masalah
ini, Imam Bukhari menekankan murid mendengar langsung dari gurunya atau paling tidak
bertemu walaupun hanya sekali. Ia tidak mencantumkan hadis mu'an'an (hadis yang di
dalamnya ada perawi tidak dikenal). Kecuali jika berasal dari seorang perawi yang terbukti
secara kuat telah mendengar dari gurunya. Sedangkan Imam Muslim tidak menetapkan syarat
seketat ini.
Dalam menyusun himpunan hadis shahih-nya itu, beliau amat mengutamakan kehati-
hatian dan kecermatan. Sampai-sampai beliau shalat dua rakaat terlebih dahulu setiap kali
meneliti satu hadis, sehingga beliau yakin bahwa hadis yang tengah ditelitinya itu benar-
benar mempunyai kualitas shahih. Dari sejumlah 600.000 hadis yang ditelitinya, menurut Ibn
Hajar al-‘Asqalany, hanya sebanyak 7.397 hadis (dengan pengulangan disana-sini, namun
minus hadis yang masuk kategori muallaq, muttabi’, dan mauquf) yang beliau masukan
dalam himpunan al-Jami’ al-Shahih-nya. Jika tanpa pengulangan, jumlah hadis dengan
matan yang bersambung berjumlah sebanyak 2.602 hadis. Jika dihitung secara keseluruhan,
al-Jami’ al-Shahih memuat: 159 hadis berkategori muallaq; 7.397 hadis berkategori shahih
dengan pengulangan disana-sini; 1.341 hadis berkategori ta’liq (yang terkenal sebagai ta’liq
al-Bukhari); dan 344 hadis dengan kategori muttabi’, sehingga keseluruhannya berjumlah
9.072 hadis. Lepas dari itu, jika diperhatikan secara seksama, betapa Imam Bukhari begitu
ketat dan serius dalam mempersiapkan kitab hadis shahih-nya itu. Sebab dengan begitu,
beliau tak kurang menyisihkan 590.000 hadis yang pernah ditelitinya.

Al-Jami’ al-Shahih sendiri disusun berdasarkan pembagian kitab dan bab. Kitab dan
bab pertama diberi judul Bad`u al-Wahyi, tema yang dianggap merupakan dasar dari semua
syari’at Islam; selanjutnya Kitab al-Iman; Kitab al-‘Ilm; Kitab at-Thaharah; Kitab as-
Shalat; Kitab az-Zakaat; dan seterusnya. Secara keseluruhan terdapat 97 Kitab, yang
mencakup 3.450 bab. Jumlah hadis pada masing-masing bab amat beragam. Ada bab yang
banyak sekali memuat hadis, namun ada juga bab yang hanya memuat satu hadis. Pada
masing-masing bab, ada yang disisipkan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan ada juga yang tidak.
Banyak hadis, sebagiannya atau secara utuh, diulang-ulang pada beberapa kitab dan bab,
bahkan kadang dalam bentuk ringkasannya saja. Hal itu dilakukan karena menyesuaikan
hukum yang terkandung didalamnya.

3. Perbandingan

Shahih Bukhari memiliki otoritas tertinggi dibandingkan kitab kitab hadits yang lain,
dan menempati posisi pertama dalam sumber rujukan ajaran Islam. Meskipun masih terdapat
beberapa perbedaan pendapat antara Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, akan tetapi jumhur
ulama’ banyak memberikan keputusannya pada kitab ini. Kitab ini disebut-sebut sebagai
kitab yang paling otentik dan otoritatif setelah Al-Qur’an, yakni oleh Adz-Dhahabi dalam
syarah-nya.
Dibandingkan dengan kitab-kitab yang lain pula, metodologi penyeleksian serta
margin error yang didapat dari analisa terhadap kitab ini, merupakan yang paling ketat dan
paling tinggi. Dari sekian ratus ribu hadits yang diterima oleh Imam Bukhari, hanya sekitar
7000 hadits yang termaktub dalam kitab ini, dan hanya ada sekitar 2600 hadits yang ada bila
dihitung tanpa pengulangan.

B. Shahih Muslim
1. Profil

Sahih Muslim (Bahasa Arab: ‫صحيح مسلم‬, diromanisasi: Ṣaḥīḥ Muslim)[catatan 1]


adalah koleksi hadits abad ke-9 dan kitab sunnah yang disusun oleh ulama’ asal Persia
Muslim ibn al-Ḥajjāj (815–875). Kitab ini adalah salah satu buku paling berharga dalam
Islam Sunni setelah Quran, bersama Sahih al-Bukhari. Sahih Muslim juga merupakan salah
satu dari Kutub al-Sittah, enam kumpulan hadis Sunni utama dari nabi Muhammad. Buku ini
juga dijadikan rujukan oleh oleh Islam Syiah Zaidiyah. Kitab ini terdiri dari sekitar 7.500
riwayat hadits di pengantar dan 56 buku.

Dalam jagat per-hadis-an, karya Imam Muslim bernama al-Jami’ al-Shahih didaku
sebagai kitab kedua tershahih setelah al-Jami’ al-Shahih Imam Bukhari, selain al-Qur’an.
Kitabnya ini disusun selama 15 tahun. Imam Muslim tidak membuat daftar bab dengan
menggunakan kata kerja (betuk fi’il), melainkan mengumpulkan hadis yang secara tema
berhubungan. Kalaupun saat ini disebutkan daftar isi dan daftar bab dalam naskah
cetakannya, hal itu bukan bikinan Imam Muslim tetapi bikinan para pensyarah kitabnya
(orang yang paling baik melakukan hal ini ialah Imam Nawawi dengan syarah-nya).
Menyangkut jumlah hadis yang ada dikompliasi, para ahli berbeda pendapat dalam
menghitungnya. Ahmad bin Salmah mengatakan bahwa al-Jami’ al-Shahih berisi 12.000
hadis, sedangkan Ibn Shalah yang mengikuti Abi Quraisy al-Hafidz mengatakan, bahwa
didalamnya terdapat 4.000 hadis saja. Menurut Dr. Muhammad Muhammad Abu Syuhbah,
kedua pendapat itu bisa saja tidak bertentangan, sebabnya ialah, jika pendapat pertama
menjumlah dengan tidak menghitung hadis yang berulang, ang kedua justru melakukannya.

Ciri-ciri khusus yang dimiliki al-Jami’ al-Shahih Imam Muslim, diantaranya ialah:

[1] keseluruhan matan hadis beserta jalur periwayatannya diletakkan pada satu tempat, tidak
dipisah-pisah dalam beberapa bab, juga tidak diulang-ulang penyebutannya kecuali jarang
sekali. Kalaupun ada penyebutannya yang berulang, biasanya, karena terpaksa dan bukan
tanpa alasan, contohnya ialah seperti dalam pembahasan keterangan “tambahan” mengenai
sanad maupun matan;

[2] kompilasi hadis-hadis tidak dimaksudkan untuk menerangkan fiqh atau sebagai acuan
hukum (istinbath al-hukm) dan budi pekerti, sebagaimana dilakukan oleh Imam Bukhari
dengan al-Jami’ al-Shahih-nya;

[3] lafz atau gaya bahasanya halus;

[4] terdapat keterangan mengenai konstruksi perbedaan lafz, misalnya, bila ada dua orang
perawi yang meriwayatkan hadis, salah satunya menggunakan kata “haddatsana” dan yang
lain “akhbarana”, maka Imam Muslim akan menjelaskan apa yang melandasi perbedaan
penggunaan lafz itu, dan begitu juga jika hadis tersebut diriwayatkan oleh lebih dari dua
orang;

[5] hadis-hadis yang dikompilasi kesemuanya berstatus marfu’ (yang diyakini memang
bersandar kepada Nabi Saw.), sebab itulah perkataan Sahabat dan Tabi’in (qawl as-sahabah
wa at-Tabi’in) tidak turut disebutkan;

[6] tidak banyak mengandung hadis yang berkualitas mu’allaq (dimana satu atau lebih
periwayat pada awal sanad sengaja dibuang), yakni hanya sebanyak 12 buah hadis. Itu pun,
tidak disebut dalam redaksi di kitab asli, tapi dalam muttabi’at, sebagaimana disebut di muka.

2. Corak dan Karakteristik

Imam Muslim, sebagaimana Imam Bukhari tidak menyatakan secara eksplisit syarat-
syarat hadis yang bisa masuk kompilasi kitab shahih-nya. Namun, dari pengamatan para ahli,
dengan melihat strukturnya, hal itu bisa diketahui, yaitu: beliau tidak men-takhrij
(memasukkan hadis), kecuali dari para periwayat yang ‘adil dan dhabit, yang kejujuran dan
kepercayaan mereka dapat diyakini; punya kemampuan hapalan yang baik; tidak pernah
punya kekeliruan, sebagaimana diriwayatkan oleh orang-orang sebelumnya. Imam Muslim
memang tidak menerapkan kriteria ketat sebagaimana Imam Bukhari, dalam hal ini beliau
agaknya lebih longgar menetapkan kriteria dalam mengambil periwayat dari thabaqat
tertentu, sebagaimana contoh tentang murid-murid Imam al-Zuhry. Imam Muslim
meriwayatkan dari para periwayat yang punya tingkat kredibilitas pertama (thabaqat al-`ula)
dan kedua (thabaqat at-tsaniyah) secara seimbang, dan sedikit saja meriwayatkan dari
thabaqat at-tsalitsah (ketiga), ini pun dalam porsi sebagai muttabi’at dan syawahid, tidak
pada versi asli kitab. Pun demikian, sebagaimana dikatakan Dr. Muhammad Muhammad Abu
Syuhbah, dari pengantar pendahuluan kitab al-jami’ al-Shahih-nya, diketahui bahwa Imam
Muslim tak lupa membagi hadis kedalam tiga tingkatan: pertama, hadis yang diriwayatkan
oleh para penghapal yang dikenal takwa; kedua, hadis yang diriwayatkan oleh orang yang
mastur (tidak diketahui track record-nya), namun dikenal sebagai penghapal dan orang yang
takwa dengan tingkat sedang (moderat); ketiga, hadis yang diriwayatkan oleh orang yang
lemah kualitasnya (dhaif) dan lemah kredibilitasnya (matruk).

3. Perbandingan

Muslim Sunni menganggap Sahih Muslim sebagai kitab terpenting kedua dari Kutub
al-Sittah. Sahih Muslim dan Sahih al-Bukhari bersama-sama disebut sebagai Sahihhayn ('Dua
Sahih)'.Dalam Pengantar Ilmu Hadits, Ibn al-Salah menulis: "Orang pertama yang menulis
Sahih adalah Bukhari [...], diikuti oleh Abū al-Ḥusayn Muslim ibn al-Ḥajjāj an-Naysābūrī al-
Qushayrī, yang merupakan muridnya, berbagi banyak guru yang sama. Kedua kitab ini
adalah kitab yang paling shahih setelah Al-Qur'an. Adapun pernyataan Al-Syafi'i, yang
mengatakan, "Saya tidak tahu ada kitab yang berisi ilmu yang lebih benar dari kitab Malik.
buku [Muwatta Imam Malik]," [...] dia mengatakan ini sebelum kitab Bukhari dan Muslim.
Kitab Bukhari lebih otentik dari keduanya dan lebih bermanfaat."

Al-Nawawi menulis tentang Sahih al-Bukhari, "Para ulama, semoga Tuhan


mengasihani mereka, telah sepakat bahwa kitab yang paling otentik setelah Al-Qur'an adalah
dua Sahih Bukhari dan Muslim."Siddiq Hasan Khan (wafat 1890) menulis, "Semua Salaf dan
Khalaf menegaskan bahwa kitab yang paling sahih setelah kitab Allah adalah Sahih al-
Bukhari dan kemudian Sahih Muslim." Sentimen ini digaungkan baik oleh para sarjana Islam
kontemporer maupun masa lalu, termasuk Ibnu Taymiyyah (wafat 1328), Al-Maziri (wafat
1141), dan Al-Juwayni (wafat 1085). Amin Ahsan Islahi memuji susunan keilmuan dari
riwayat-riwayat dalam Sahih Muslim. Dia juga memuji kekhasan Muslim dalam menyoroti
perbedaan kata-kata di antara dua riwayat, bahkan ketika sampai pada satu huruf yang tidak
memiliki makna semantik, atau jika mereka berbeda tentang fakta yang berkaitan dengan
seorang perawi dalam isnad.

Terlepas dari reputasi buku dan konsensus para ulama bahwa ini adalah kumpulan
hadits paling otentik kedua setelah Sahih al-Bukhari, disepakati bahwa ini tidak berarti bahwa
setiap hadits dalam Sahih al-Bukhari lebih valid daripada setiap hadits dalam Sahih Muslim,
tetapi jumlah yang terkandung dalam Sahih al-Bukhari lebih valid daripada jumlah yang
terkandung dalam Sahih Muslim.

C. Sunan Abu Dawud


1. Profil
Sunan Abu Dawud (Arab: ‫سنن أبي داود‬, Sunan Abī Dāwūd) adalah salah satu Kutub al-
Sittah (enam kumpulan hadis besar), yang dikumpulkan oleh Abu Dawud al-Sijistani
(w.889). Abu Daud menyusun dua puluh satu buku yang berkaitan dengan Hadis dan lebih
memilih Hadits (jamak dari "Hadis") yang didukung oleh contoh para sahabat Muhammad.
Mengenai kontradiksi Hadits, beliau menyatakan di bawah judul 'Daging yang diperoleh dari
berburu seorang peziarah': "jika ada dua riwayat yang kontradiktif dari Nabi (SAW),
penyelidikan harus dilakukan untuk menetapkan apa yang diadopsi oleh para sahabatnya".
Dia menulis dalam suratnya kepada orang-orang Mekkah: "Saya telah mengungkapkan di
mana pun ada terlalu banyak kelemahan sehubungan dengan hadis mana pun dalam koleksi
saya. Tetapi jika saya meninggalkan sebuah Hadis tanpa komentar apapun, itu harus dianggap
masuk akal, meskipun beberapa dari mereka lebih otentik dari yang lain". Hadits Mursal
(tradisi di mana pendamping dihilangkan dan penerus meriwayatkan langsung dari
Muhammad) juga telah menjadi bahan diskusi di kalangan ahli hadis. Abu Daud menyatakan
dalam suratnya kepada orang-orang Mekkah: "Jika Musnad Hadis (tradisi yang tidak
terputus) tidak bertentangan dengan Mursal [Hadis], atau Musnad Hadis tidak ditemukan,
maka Mursal Hadis akan diterima meskipun tidak dianggap sekuat hadis muttasil (rantai tidak
terputus)”.

Tradisi dalam Sunan Abu Dawud terbagi dalam tiga kategori. Kategori pertama terdiri
dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Bukhari dan/atau Muslim. Jenis hadis yang kedua
adalah yang memenuhi syarat Bukhari atau Muslim. Pada titik ini, harus diingat bahwa
Bukhari berkata, "Saya hanya memasukkan dalam buku saya Sahih Bukhari hadis-hadis yang
sahih, dan meninggalkan lebih banyak hadis-hadis yang lebih shahih daripada ini untuk
menghindari kepanjangan yang tidak perlu".

2. Corak dan Karakteristik


Abu Daud mengumpulkan 500.000 hadits, tetapi hanya memasukkan 4.800 hadits.[2]
Sunni menganggap koleksi ini sebagai kekuatan keempat dari enam koleksi hadits utama
mereka. Butuh Abu Dawod 20 tahun untuk mengumpulkan hadits. Dia melakukan
serangkaian perjalanan untuk bertemu dengan sebagian besar ahli hadis terkemuka pada
masanya dan memperoleh dari mereka hadits yang paling dapat diandalkan, mengutip
sumber-sumber yang sampai kepadanya. Karena penulisnya mengumpulkan hadis-hadis yang
belum pernah dikumpulkan oleh siapa pun, sunannya telah diterima sebagai karya standar
oleh para sarjana dari berbagai belahan dunia Islam, terutama setelah Ibn al-Qaisarani
memasukkannya ke dalam kanonisasi formal kitab suci enam koleksi utama.

Abu Daud mulai bepergian dan mengumpulkan hadits di usia muda. Dia bepergian ke
banyak tempat di timur tengah, termasuk Mesir, Irak, dan Suriah. Abu Dawud juga berguru
kepada Imam Ahmad Ibnu Hanbal.
Dalam menyusun kitab hadisnya, Imam Abu Dawud menempuh cara berbeda dari
para ulama hadis lainnya yang menyusun kitab berdasakan susunan al-jami atau al-musnad,
yang keduanya biasanya memuat kompilasi hadis yang secara tematik meliputi permasalahan
keutamaan ibadah (fadhail al-a’mal), kisah-kisah (al-qashash), nasehat-nasehat (al-
mawaa’izh), budi pekerti (al-adaab), tafsir (at-tafsir), dan sebagainya. Berbeda dengan itu,
Imam Abu Dawud menyusun kitab hadisnya berdasarkan susunan as-sunan, yakni kompilasi
hadis yang disusun berdasarkan muatan urutan hukum fiqh, dimana bukan hanya
memasukkan hadis shahih tapi juga hadis-hadis yang berkualitas hasan dan dhaif (beliau tak
lupa juga memberi penjelasan dan catatan khusus sebagai peringatan jka ada sebuah hadis
yang kualitasnya dhaif sekali dalam kitab as-Sunan-nya).

3. Perbandingan
Dalam beberapa referensi, Sunan Abu Dawud disebutkan sebagai kitab ketiga dalam
urutan kutubussittah, atau tepat setelah Sahih Muslim. Meski terdapat rujukan lain yang tidak
mengatakan demikian, namun hal ini tidak terlepas dari kemiripan dan tipisnya perbandingan
dan penilaian dari keempat kitab sunan lainnya.
Menurut pengakuan Imam Abu Dawud, sebenarnya beliau mencatat tak kurang dari
500.000 hadis Nabi Saw., akan tetapi dalam kitab as-Sunan-nya hanya dimasukkan sebanyak
4.800 hadis, yang jika dihitung termasuk dengan yang diulang jumlahnya sebanyak 5.274
hadis. Sejumlah hadis ini, beliau bagi kedalam beberapa kitab dan bab. Jumlah Kitab secara
keseluruhan ialah 35 kitab, dimana 3 diantaranya tidak memiliki bab. Sedang jumlah Bab
keseluruhannya sebanyak 1.871 bab. Dan sebagaimana beliau katakan, didalamnya bukan
saja terdapat hadis shahih, namun yang hasan dan dhaif pun, termuat. Karena itulah,
kompilasi hadisnya menyebut hadis-hadis yang tidak terdapat dalam karangan al-Jami’ al-
Shahih Imam Bukhari dan Imam Muslim.

D. Sunan Tirmidzi
1. Profil
Jamiʽ at-Tirmidzi (Arab: ‫)جامع الترمذي‬, juga dikenal sebagai Sunan at-Tirmidzi, adalah
salah satu dari "enam kitab" (Kutub al-Sittah - enam kumpulan hadits utama). Itu
dikumpulkan oleh Al-Tirmidzi. Beliau mulai menyusunnya setelah tahun 250 H. (864/5 M.)
dan menyelesaikannya pada 10 Dhu-al-Hijjah 270 H. (884 M., 9 Juni). Sepanjang perjalanan
intelektualnya, Imam Tirmidzi berguru kepada banyak intelektual dan ulama para ahli hadis,
diantaranya: Imam Bukhari, dimana beliau juga meriwayatkan hadis darinya, Imam Muslim,
Imam Abu Dawud. Beliau juga berguru kepada guru-guru ketiga Imam hadis tersebut, seperti
kepada Qutaibah bin Sa’iid, Ishaaq bi Musa, Mahmuud bin Ghaylaan, Sa’iid bin
‘Abdirrahman, Muhammad bin Basyaar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Manii’, Muhammad bin
al-Matsna. Selain berguru, beliau juga mempunyai murid-murid, seperti: Makhuul ibn al-
Fadhl, Muhammad bin Mahmud ‘Anbar, Hamaad bin Syaakir, ‘Abd bin Muhammad an-
Nisfiyuun, Haitsam bin Kulaib asy-Syaasyiy, Ahmad bin Yuusuf an-Nasafiy, Abu al-‘Abbaas
Muhammad bin Mahbuub al-Mahbuubiy, dan masih banyak yang lainnya.

Beberapa karya Imam Tirmidzi, diantaranya: Kitab al-Jami’, Kitab al-‘Ilal, yang
digabungkan di bagian akhir kitab al-jami’-nya, Kitab at-Tarikh, Kitab asy-Syaamaa`il an-
Nubuwwah, Kitab al-Asma wa al-Kuna, Kitab az-Zuhd. Dari karya-karyanya ini, yang paling
terkenal ialah Kitab al-Jami’, yang namanya sering disebut berdasarkan pada penisbahan
pengarangnya hingga lebih masyhur dikenal sebagai Jami’ at-Tirmidziy.

2. Corak dan Karakteristik

Kitab al-Jami’ Imam Tirmidzi disusun berdasarkan bab fiqh, yang memuat hadis-
hadis beragam, dari yang kualitasnya shahih, hasan, dhaif, bahkan yang ber-‘llat (hadis yang
mempunyai cacat) tetapi dengan tak lupa menyebutkan kecatatannya. Ada penilaian bahwa
kompilasi hadis Imam Tirmidzi dalam kitabnya tersebut memang diperuntukkan bagi para
ahli fiqh sebagai acuan berdalil (hujjah), sehingga pada akhirnya ia tidak dimaksudkan
sebagai kompilasi yang memperhatikan secara serius apakah memuat hadis-hadis yang
shahih saja, atau sebaliknya. Bahkan, Imam Tirmidzi dikatakan cenderung menganggap
mudah (berlaku tasahul) memasukkan hadis-hadis kedalam kompilasinya. Sehingga dalam
kitabnya, terdapat juga hadis-hadis yang terhitung sebagai hadis munkar dan dhaif.
Meskipun, hal demikian masih dapat ditoleransi dengan alasan bahwa hadis-hadis tersebut
hanya membicarakan tentang keutamaan ibadah (fadha`il al-a’mal), bukan mengenai hal-hal
yang menyangkut halal dan haram. Bahkan, orang seperti Ibn al-Jauziy, Ibn Taimiyah, dan
adz-Dzahabiy (murdnya) mengatakan bahwa dalam kitab Jami’ at-Tirmidzi terdapat hadis
maudhu (palsu) sekitar 30 buah, meskipun pendapat ini dibantah oleh Imam Suyuthi dengan
mengatakan bahwa kalau memang benar hal itu ada, pasti Imam Tarmidzi memberikan
catatan peringatan untuk diperhatikan (tanbih).

Tetapi, kitab al-Jami’ beliau bukan tidak punya keistimewaan. Jami’ at-Tirmidziy
dianggap sebagai kitab yang baik susunannya, sedikit mengulang-ulang hadis yang sama, dan
terutama didalamnya memuat keterangan yang tidak dimliki kitab sejenis, seperti: memuat
keterangan pendapat berbagai mazhab, menunjukkan langkah-langkah pengambilan hukum
(istidlal), menerangkan kualitas hadis yang shahih, hasan, dan gharib dengan penyertaan
penilaian menurut ilmu al-jarh wa al-ta’dil.

3. Perbandingan
Jika diperbandingkan dengan lima kitab lainnya, Sunan Tirmidzi memuat beberapa
hadits yang kontroversial, beberapa ulama’ seperti Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa
terdapat hadits palsu yang dicantumkan oleh Imam Tirmidzi di dalamnya. Akan tetapi
kemudian pernyataan ini dibantah oleh Imam As-Suyuthi seperti yang telah diterangkan
sebelumnya.
Kriteria lain yang juga belum dimiliki pengumpul Hadis sebelumnya adalah perihal
istilah baru berkenaan dengan kualitas Hadis. Menurut Ibn Taimiyyah, al-Tirmidzi adalah
tokoh pertama yang secara resmi menggunakan istilah hasan (baik). Di samping itu ia juga
banyak menitikberatkan penialian tentang periwayat Hadis melalui kaidah al-Jarh wa Ta'dil.

Ketelitiaan dan kecermatan Tirmidzi terlihat jelas dalam penerapan sistematika isnad
dalam al-Sunan. Di samping mengikuti jejak gurunya, Imam Muslim, Tirmidzi merumuskan
sistem isnad baru dengan cara mengumpulkan beberapa isnad dalam satu Hadis. Ia juga
kadangkala memberi tambahan lafadz (komentar) terhadap perbedaan riwayat yang terjadi.
E. Sunan Nasa’i
1. Profil
Sunan al-Nasa'i (Arab: ‫)سنن النسائي‬, adalah salah satu dari Kutub al-Sittah (enam hadits
utama), dan dikumpulkan oleh al-Nasa 'i (214 – 303 H; c. 829 – 915 M). Sunan Nasa'i
merupakan karya terbesar Abu Abdurrahman Ahmad bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr
al-Khurasani al-Nasa'i. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa penulisan tentang Sunan
Nasa'i dimaksudkan sebagai persembahan karya terbesar kepada Gubernur Ramlah. Ketika
kitab tersebut hendak diserahkan, Gubernur Ramlah sempat bertanya pada Nasa'i, "Apakah
isi kitab itu shahih?" Nasa'i menjawab, "Ada yang shahih, ada yang hasan, dan ada pula yang
mendekati keduanya". Gubernur Ramlah lalu menyuruh Nasa'i untuk menyeleksi kembali
hadis-hadis yang semula bernama Sunan al-Kubra tersebut. Maka dari penyeleksian tersebut
lahirlah kitab Sunan As-Sughra atau yang lebih dikenal dengan Sunan Nasa’i.
2. Corak dan Karakteristik
Kitab as-Sunan Imam an-Nasaa`i disusun berdasarkan bab fiqh, sebagaimana kitab-
kitab jenis as-sunan lainnya. Tidak banyak keterangan menyangkut apa kriteria kesahihan
dari Imam an-Nasaa`i kescuali kompilasi hadisnya dalam as-Sunan al-Kubra terdapat
beragam kualitas hadis dimasukkan, baik shahih, hasan, dan dhaif meski hanya sedikit saja.
Sebagai catatan, sebagaimana pendapat al-Mundziriy dan al-Mazziy, bahwa jika ada
keterangan tentang adanya suatu hadis yang di-takhrij oleh Imam an-Nasaa`i, maka yang
dimaksud ialah riwayatnya yang ada pada as-Sunan al-Kubra, bukan yang ada dalam as-
Sunan ash-Shughra, yang saat ini justru lebih terkenal, baik di dunia Arab, India, maupun
daerah ‘ajam lainnya. Sebab, kitab yang kedua merupakan ringkasan dari yang pertama.
Nasa'i terkenal sangat selektif dalam meriwayatkan Hadis. Dalam mengomentari selektifitas
Nasa'i, Ibn Shalah mengatakan, bahwa Nasa'i berani meriwayatkan hadis yang
dipersengketakan. Artinya, pada setiap generasi, di mana saat itu muncul kritikus-kritikus
Hadis yang terkadang keras dan moderat, Nas'i mensikapinya dengan pemahaman yang
objektif.

3. Perbandingan
Naisaburi dalam komentarnya terhadap periwayatan al-Nasa'i mengatakan, "Syarat
yang dipakai Nasa'i lebih ketat dibanding syarat yang digunakan Muslim al-Hajjaj". Dan
mungkin karena faktor inilah Abu Abdillah al-Rasyid dalam muqadimah Sunan Nasa'i
mengungkapkan bahwa Sunan Nasa'i merupakan kitab terbaik, sebab di dalamnya
menggabungkan dua bentuk metodologi Bukhari-Muslim dan menambah banyak keterangan
yang menyangkut illat (cacat rawi).
Ada sebuah sumber yang mengatakan bahwa kitab Sunan Nasa’i menempati posisi
kelima dalam kutubussittah atau posisi ketiga dalam kitab-kitab sunan. Akan tetapi, sumber
lain menyatakan bahwa kitab ini menempati posisi ketiga yang paling otentik setelah dua
kitab sahih. Menurut al-Haafiz Ibn Hajar, kitab Sunan an-Nasa'i memuat perawi hadits dha'if
(lemah) paling sedikit di antara enam kitab setelah Shahih (Sahih al-Bukhari & Sahih
Muslim); tidak ada satupun hadis mawdhu (yang dibuat-buat) di dalamnya.

F. Sunan Ibn Majah


1. Profil
Sunan Ibn Mājah (Arab: ‫ )سُنن ابن ماجه‬adalah salah satu dari enam koleksi hadis Sunni
utama (Kutub al-Sittah). Sunan ini ditulis oleh Ibnu Mājah (lahir 824 M, meninggal 887 M).
Kitab ini memuat 4341 aḥādīth dalam 32 kitab (kutub) yang dibagi menjadi 1.500 bab
(abwāb). Sebanyak 1329 hadits hanya ditemukan di dalamnya, dan tidak ditemukan di lima
karya kanonik lainnya. Sekitar 20 tradisi yang dikandungnya kemudian dinyatakan palsu;
seperti yang berurusan dengan kebaikan individu, suku atau kota, termasuk kota asal Ibnu
Mājah di Qazwin.

2. Corak dan Karakteristik


Sunni menganggap koleksi ini sebagai yang keenam dalam hal keaslian koleksi Enam
hadis utama mereka. Meskipun Ibnu Mājah terkait hadits dari ulama di seluruh dunia Islam
timur, baik dia maupun Sunan nya terkenal di luar wilayah asalnya barat laut Iran sampai
abad ke-5/11. Muḥammad ibn Ṭāhir al-Maqdisī (w. 507/1113) mengatakan bahwa meskipun
Sunan Ibn Mājah sangat dihormati di Rayy, namun tidak dikenal luas di kalangan komunitas
ahli hukum Muslim yang lebih luas di luar Iran. Sementara Ibn Hajar mencatat bahwa jumlah
bab dan pasal yang terkandung dalam Sunan Ibn Majjah lebih sistematis dan tersusun lebih
rapi dibanddingkan dengan bab-bab yang ada dalam kitab Hadis lain. Keterangan-keterangan
yang termuat dalam Sunan Ibn Majah umumnya singkat tapi jelas. Sedang sitematika
pembahasannya tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab sunan pada umumnya.
3. Perbandingan
Dari semua karya Imam Ibn Majah, yang paling lekat dengan nama beliau sekaligus
membuat beliau termasyhur kitab as-Sunan-nya, yang terdiri dari 32 kitab, 1.500 bab, yang
mencakup 4.000 hadis. Kitab ini disusun menurut urutan hukum fiqh, sebagaimana kitab as-
Sunan lainnya. Tidak hanya hadis shahih termuat dalam kitab ini, ada pula yang statusnya
dhaif, dimana banyak sanadi-nya yang hanya terdiri dari satu periwayat (munfarid al-hadits).
Namun, kitab ini punya reputasi hampir setara dengan kitab yang lima, dimana tersebut
diatas, melebihi kitab al-Muwatha-nya Imam Malik. Sehingga, kitab ini masuk dalam
kategori kitab yang enam.
Muhammad b. Ṭāhir yang pertama kali mengusulkan gagasan mengenai enam buku
dari koleksi hadits Sunni paling otentik dalam syuruth imam as-sittah, yang mencakup Sunan
Ibn Mājah bersama Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasai, dan Jami
al-Tirmidzi. Meskipun demikian, konsensus di antara para ulama Sunni mengenai kanon
enam kitab ini, termasuk Sunan Ibn Mājah, baru terjadi pada abad ke-7/13, dan bahkan
kemudian konsensus ini sebagian besar terdapat pada komunitas ulama Sunni di dunia Islam
timur. Ulama seperti al-Nawawi (wafat 676/1277) dan Ibnu Khaldun (wafat 808/1405)
mengecualikan Sunan Ibnu Mājah dari daftar koleksi hadits Sunni kanonik mereka,
sementara yang lain menggantinya dengan Muwaṭṭaʾ dari Imām Mālik atau dengan Sunan ad-
Dārimī. Tidak sampai standarisasi formal hadits Sunni oleh Ibn al-Qaisarani menjadi enam
buku pada abad ke-11, koleksi Ibn Majah dianggap sebagai penghargaan yang juga diberikan
kepada lima buku lainnya.

Jika dibanding dengan Kutub al-Khamsah, Sunan Ibn Majah memiliki berbagai
kelemahan. Pertama, memuat banyak Hadis berkatagori zawaid atas Hadis-hadis yang ada
dalam Kutub al-Khamsah. Kedua, Hadis yang berkualitas dhaif tidak mendapat kejelasan
sebab kedhaifannya, dan karena persoalan inilah banyak ulama hadis memandang sebelah
mata terhadap Sunan Ibn Majjah. Fuad Abd Baqi' mencatat, ada sekitar 712 Hadis dhaif
dalam Sunan Ibn Majah dan dibiarkan begitu saja tanpa komentar dan penilaian sedikit pun.
Daftar Pustaka

A.C. Brown, Jonathan (2009). Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World

(Foundations of Islam series). Oneworld Publications. p. 32. ISBN 978-1851686636.

Afianto, Ahda Bina. “(PDF) Mengenal Kutubus Sittah | Ahda Bina.” Academia.edu,

https://www.academia.edu/10889565/Mengenal_Kutubus_Sittah. Accessed 7 December

2022.

al-Asqalani, Ibn Hajar. Hady al-Sari, the introduction to Fath al-Bari. Darussalam Publications. pp.

8–9.

“Selayang Pandang Mengenai Enam Kitab Hadits Induk (al-Kutub as-Sittah) dan Para

Penghimpunnya.” STAI Al Anwar, 3 April 2017, https://staialanwar.ac.id/selayang-pandang-

mengenai-enam-kitab-hadits-induk-al-kutub-as-sittah-dan-para-penghimpunnya/. Accessed 7

December 2022.

Dr. Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rahaab as-Sunnah al-Kutub ash-Shahaah as-

Sittah, (tth: Silsilah al-Buhuts al-Islamiyah, 1389 H / 1969 M), cet. VIII.

"About - Sahih al-Bukhari - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad ( ‫صلى هللا‬

‫")عليه و سلم‬. sunnah.com. Archived from the original on 2021-10-23. Retrieved 2021-09-20.

"Two most authentic books of Hadith". GulfTimes. 2021-11-04. Archived from the original on 2021-

12-27. Retrieved 2021-12-27.

"Introduction to Translation of Sahih Bukhari". International Islamic University Malaysia – Garden

of Knowledge and Virtue. Archived from the original on 2021-06-23. Retrieved 2021-12-27.

"Meaning of sahih". Islamic-Dictionary.com. Archived from the original on February 10, 2010.

Retrieved 2010-05-13.

Anda mungkin juga menyukai