Anda di halaman 1dari 2

A.

Faktor penyebab munculnya ilmu balaghah


Para ulama bahasa ,ingin mengkaji kandungan al-Qur’an sehingga memaksa mereka untuk
menemukan ilmu lain untuk menyingkap rahasia kemukjizatan al-Qur`an ini.
Mereka berangapan bahwa ilmu bahasa (ilmu al-Qur’an) yang sudah ada pada saat itu,
yaitu Nahwu sharaf dan fiqh lughah, tidak cukup untuk mengkaji kemukjizatan Al quran,
mengingat bahwa nahwu sharaf hanya membahas seputar bangunan kata dan harakatnya,
sedangkan fikih lughah hanya membahas seputar mufradat dari sisi maknanya, sementara
kemukjizatan al-Qur`an terletak pada nashnya (teks).
B. Perkembangan Ilmu Balaghah
Secara historis istilah balaghah muncul belakangan. Sebelum ilmu ini dikenal, esensinya
telah mendarah daging dalam praktek berbahasa orang-orang Arab dulu. Ilmu yang membahas
tentang ketepatan dan keindahan berbahasa ini sebagai sebuah pengetahuan telah menghiasi
berbagai perkataan orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, bahkan jauh sebelum Al-Quran
turun.

Sebelum balaghah dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu seperti yang kita ketahui saat ini,
balaghah telah melalui sejarah yang cukup panjang untuk sampai pada titik yang kita pelajari saat
ini. Menurut Tamam Hasan, Balaghah telah melalui dua fase. Pada fase yang pertama, balaghah
bisa dikatakan lebih mirip dengan kritik sastra. Sedangkan pada fase kedua, balaghah menjadi
lebih mirip dengan uslubiyat atau stylistic.1 Atau juga bisa disebut dengan Madrasah Adabiyah
(Madzhab sastra) dan Madrasah kalamiyah (Madzhab ilmu kalam). Sedangkan al-Imam as-
Suyuthi menamainya dengan ‘thariqatul ‘arab al-bulagha’ dan ‘thariqatul ‘ajam wa ahlu al-
falsafah’
Pembahasan balaghah untuk pertama kalinya dibahas oleh para ulama bahasa. Pada
awalnya, pembahasan balaghah ini hanya bertujuan untuk mengidentifikasi mana komunitas atau
kabilah yang fushaha` (ahli fashahah) dan mana yang bukan. Kemudian setelah mereka dapat
memilah antara komunitas yang fushaha`dan kelompok yang tidak dianggap fushaha`, mereka
mulai mencatat atau meriwayatkan warisan sastra dari komunitas ahli fashahah tersebut dan
menolak untuk meriwayatkan warisan sastra dari selain mereka.

Fase ini ditandai dengan lahirnya karya Abu Ubaidah yaitu kitab “majaz al-Qur`an” dan
dengan karya al-Jahidz yaitu “al-Bayan wa at-tabyin” dan “I’jaz al-Qur`an”.

Kemudian pada abad ke 5 H, Qudamah bin Ja’far mengeluarkan sebuah karya dalam kritik
sastra dan karyanya yang dinamaikan dengan “Naqd Qudamah”. Dalam kitabnya itu, ia
melengkapi jenis-jenis badi’ yang digagas oleh Ibnu Mu’taz menjadi 30 jenis.

Pembagian yang ia lakukan itu masih bersifat formal lalu kemudian orang-orang yang
datang setelahnya menyempurnakan pembagian itu dengan membuatkan kaidah dan aturan.

Qudamah berkeinginan untuk membuat sebuah kerangka bangunan yang abstrak yang
memiliki klasifikasi dan memiliki definisi-definisi yang sangat menyerupai klasifikasi dalam ilmu
nahwu. Menurutnya, syair terdiri dari empat unsur: lafadz, wazan, qafiyah, dan ma’na, karena ia

1
Al-ushul, hal. 279
mendefinisikan syair dengan “perkataan yang berwazan dan berqafiyah yang menjelaskan suatu
makna”.

Setelahya datanglah Abu Hilal al-‘Askary, pemilik kitab “as-shina’atain”. yang membahas
tentang fashahah dan balaghah seperti pembahasan iijaz, hasywu, ithnab, dan tathwil, dan dalam
kitabnya itu ia telah mengumpulkan 35 jenis badi’.

Selain itu, muncul juga seorang ulama lain yang sangat cerdas yaitu Fakhruddin ar-Razi
yang memberikan sumbangsih yang besar dalam perkembangan Balaghah sebagai sebuah ilmu
atau bisa juga disebut madrasah kalamiyyah (aliran ilmu kalam/filssfat). Ar-razy mengarang
sebuah karya dalam kajian balaghah yaitu “Nihayatul ijaz fi dirayatil i’jaz”.2

Karya Abu Hilal dan karya Fakhruddin ar-Razy, kedua mengillhami dan sekaligus
memberikan mukaddimah bagi as-Sakaky yang hidup pada akhir abad ke 6 dan awal abad ke 7 H.
ia adalah seorang ilmuan atau ulama dalam bidang bahasa Arab, nahwu, sastra, ‘arud,
syair,kalam, dan fikih. Dalam kitabnya, “Miftah al-ulum”, ia membahas tiga ilmu secara berurut
dari sharf, nahwu, kemudian balaghah dengan tiga pembagiannya, ma’any, bayan, dan badi’.

Budaya intelektual as-Sakaky sebagai seorang ilmuan sangat mempengaruhi gayanya dalam
mengeksplorasi kajian balaghah. Ia tampak berlebihan dalam merancang definisi-definisi dan
kaidah-kaidah dalam balaghah yang akhirnya membuat balaghah itu sendiri sangat jauh dari
makna penghayatan cita rasa dan kritik teks. Dengan adanya definisi dan kaidah-kaidah tersebut
balaghah secara teori sangat mudah dikuasai .

Manhajilmu al-Balaghah yang diusung oleh as-Sakaky memang sangat memudahkan untuk
dimengerti dan diingat sehingga ia banyak diikuti oleh orang-orang setelahnya, dan bahkan
menjadi imam besar bagi disiplin ilmu ini. Kitabnya “miftah al-ulum”benar-benarbanyak sekali
dibahas oleh orang-orang setelahnya hingga kitabnya itu banyak disyarah dan juga diringkas. Ia
sendiri meringkas kitabnya itu dengan mengeluarkan kitab baru yang bernama “at-tibyan”,
kemudian ibnu Malik juga meringkasnya dalam kitab “al-mishbah” dan al-Qazwaini juga
melakukan hal yang sama dalam kitabnya “talkhish al-miftah” dan “Syarh al-idlah”. Kitab “mifath
al-ulum” beserta syarh dan talkhishnya yang dilakukan oleh Quzwaini benar-benar laku dan
mendulang banyak perhatian di pasaran sehingga banyak sekali ulama yang kembali mengulas
matan dan syarahnya, sebut saja dalam hal ini Sa’ad at-taftajany dan Sayyid al-Jurjany yang juga
membuat syarah bagi kitab tersebut. Bahkan setelah itu, tidak sedikit dari kitab-kitab syarah yang
bermunculan menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa asing (non Arab).

Akhirnya, pada fase ini para pemelajar balaghah asik tenggelam dalam kaidah-kaidah, dan
balaghah tidak lagi menjadi sebuah sarana untuk mencapai tadzwwuq atau mengapresiasi
keindahan sastra, meski kini balaghah menjadi pembahasan yang penting dalam ranah yang saat
ini dikenal dalam istilah linguistik modern dengan uslubiyat atau stylistics.3

2
Lihat: Husain, Abdul Qadir, al-Muhktashar fi tarikh al-balaghah, Daar Gharib, kairo 2001, hal. 13
3
Lihat: al-Ushul, hal. 277-278.

Anda mungkin juga menyukai