Anda di halaman 1dari 4

Mabadi' Asyrah Ilmu Nahwu

ILMU NAHWU 

Definisi. Dua definisi berikut saling menjelaskan:


         Menurut al-Qannuji, “Ilmu yang mengkaji tentang keadaan pola-pola kalimat yang
disusun secara sengaja menurut jenisnya masing-masing, dimana setiap pola mempunyai
satu makna tersendiri tergantung kepada maksud pembentukannya tersebut.”
         Menurut penulis Syarh al-Lubb, “Ilmu yang dengannya bisa diketahui tatacara
penyusunan kalimat dalam bahasa Arab yang benar maupun salah, juga tatacara yang
berkenaan dengan berbagai kosakata ketika berada dalam suatu pola kalimat.”
Ruang lingkup. Berikut diuraikan obyek yang dikaji dalam ilmu ini, menurut berbagai
pendapat, yaitu:
         Murakkabat (pola-pola kalimat atau susunan kata-kata), mufradaat (kata-kata secara
mandiri) ketika berada dalam suatu pola kalimat, dan adawaat (berbagai perangkat
kalimat) yang berfungsi untuk merangkaikan kata-kata; atau
         Lafazh yang dibuat secara sengaja, baik dalam kondisi tersusun maupun sendirian.
Maksudnya, ilmu ini mengkaji kosakata yang secara sengaja diletakkan dalam suatu pola
tertentu ditinjau dari kondisinya ketika berada dalam susunan tersebut, serta bagaimana ia
dapat mengungkapkan makna yang diinginkan.
         Al-kalimah (kata) dan al-kalam (susunan kalimat).
         Pola kalimat yang dibuat dengan isnad (sandaran) asli.
Manfaat. Tujuan ilmu ini adalah menghindari kesalahan dalam menerapkan pola-pola
kalimat berbahasa Arab ketika ingin mengungkapkan suatu makna yang dikehendaki.
Manfaatnya adalah memperoleh suatumalakah (ketrampilan) untuk menyampaikan pola-
pola kalimat yang ditujukan untuk mengungkap makna tertentu, juga untuk memahami
makna yang dikehendaki dari suatu pola kalimat secara tepat.
Keutamaan. Sebagai bagian dari ilmu alat, nahwu adalah perangkat untuk memahami Al-
Qur’an dan Sunnah yang keduanya berbahasa Arab. Jika seseorang ingin memahami Al-
Qur’an dan Sunnah dengan benar, makanahwu adalah salah satu alat yang harus
dimilikinya.
Menurut Haji Khalifah, penulis Kasyfu azh-Zhunun, ilmu ini adalah bagian dari ‘uluum lisani
al-‘arab (ilmu-ilmu bahasa Arab) yang mencakup al-lughah, nahwu,
bayan dan adab (sastra). Keempat ilmu ini merupakan piranti dasar bagi pengkaji ilmu-
ilmu syari’ah, sebab sumber-sumber pengambilan hukumnya berbahasa Arab. Perbedaan
dalam memahami dalil dan kekuatan argumen seseorang juga tergantung seberapa baik ia
menguasai ilmu-ilmu diatas. Secara sekilas, dapat dikemukakan bahwa yang terpenting
adalah nahwu, sebab dengan menguasai ilmu ini maka dasar tujuan yang melatari
pemakaian suatu dalil menjadi gamblang. Tanpanahwu seorang pengkaji ilmu syari’ah akan
terpaku tidak mengerti harus berbuat apa terhadap deretan dalil-dalil yang ada di
hadapannya. Bahkan, ia sangat berpeluang untuk salah ketika tidak
menguasai nahwudengan baik. Maka, sudah seharusnya ilmu ini didahulukan dibanding
tiga yang lainnya.
Hubungan dengan ilmu lain. Semula, salah satu bagian nahwu adalah tashrif atau sharf,
sebelum akhirnya berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri, walau tetap tidak
terpisahkan dari induknya. Oleh karenanya, berbagai karya di bidang nahwu seringkali
masih menyertakan bab tashrif di belakangnya, dan para ahlinahwu adalah sekaligus
ahli tashrif.
Sejarah dan tokoh. Awalnya, kefasihan berbahasa Arab adalah ketrampilan yang
diwariskan turun-temurun, tanpa kaidah yang ditetapkan secara ilmiah dan terinci. Setelah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat dan bangsa Arab bertebaran ke berbagai
penjuru, mereka pun bercampur dengan berbagai bangsa lainnya. Pada generasi
berikutnya, kefasihan itu meluntur dan bahkan nyaris hilang. Para ulama’ pun merasa
khawatir jika bahasa Arab rusak dan ditinggalkan, yang berakibat terkuncinya pintu untuk
memahami Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karenanya mereka merumuskan berbagai kaidah
yang diambil dari tradisi percakapan sehari-hari, seperti fa’il itu harus
dibaca rafa’ dan maf’ul harus dibaca nashab. Mereka juga melihat bahwa perubahan
maksud suatu kata tergantung perubahan harakat-nya. Mereka menyebut perubahan-
perubahan tersebut sebagai i’rab, sementara faktor-faktor yang mendorongnya
disebut ‘amil.Kaidah-kaidah tersebut kemudian semakin berkembang dan berbagai karya
ditulis untuk mengumpulkannya, sehingga tumbuh menjadi disiplin ilmu tersendiri.
Tokoh pertama yang menulis di bidang ini adalah Abu al-Aswad Zhalim bin ‘Amr bin Sufyan
ad-Du’ali al-Bashri (w. 69 H) dari Bani Kinanah. Konon hal itu diperintahkan oleh Imam ‘Ali
bin Abi Thalib radhiya-llahu ‘anhu. Setelah itu tampil berturut-turut Maimun al-Aqran,
‘Anbasah bin Ma’dan al-Mahri, ‘Abdullah bin Abi Ishaq al-Hadhrami dan Abu ‘Amr bin al-‘Ala’,
dimana masing-masing menambahkan ke dalam ilmu ini aspek-aspek yang belum disentuh
pendahulunya. Demikianlah ilmu ini terus tumbuh sampai tampilnya Abu ‘Abdirrahman al-
Khalil bin Ahmad al-Azdi al-Farahidi al-Bashri (wafat sesudah tahun 160-an hijriyah), di
zaman kekhilafahan Harun ar-Rasyid. Pada masa ini kefasihan asli bangsa Arab sudah
nyaris punah sehingganahwu menjadi kebutuhan mutlak.
Setelah tahap seleksi dan penyempurnaan oleh al-Farahidi, tampillah muridnya yang paling
cemerlang dalam bidang ini, yakni Abu Bisyr ‘Amr bin ‘Utsman bin Qunbur al-Bashri, atau
lebih dikenal sebagai Sibawaih (w. 180 H atau 188 H). Karyanya yang diberi judul al-
Kitab merupakan induk seluruh karya nahwuyang ditulis setelahnya, sehingga al-Mazini –
salah seorang muridnya – berkata, “Siapa pun yang ingin menulis sebuah kitab besar di
bidang nahwu setelah (adanya) kitab Sibawaih, maka hendaklah ia merasa malu.” Dan,
setiap kali ada orang yang ingin membaca kitab tersebut di hadapan al-Mubarrad (Abu
al-‘Abbas Muhammad bin Yazid al-Azdi al-Bashri) – ulama’ nahwu di Baghdad setelah
Sibawaih – beliau selalu berkata, “Saya rela menyeberangi lautan karena menghormati
beliau (Sibawaih), dan karena mengakui kehebatan isi kitab ini.”
Di belakang mereka ada Abu Ishaq az-Zajjaj (w. 311 H) dan Abu ‘Ali al-Farisi (w. 377 H)
yang menulis karya-karya ringkas sebagai pegangan bagi para pelajar. Metodenya masih
menganut metode Sibawaih. Setelahnya bermunculan karya-karya dengan berbagai ukuran,
aliran dan metode pengajaran. Jumlahnya nyaris tak terhitung. Aliran-aliran klasik, modern,
Kufah, Bashrah, Baghdad, maupun Andalusia berbeda satu sama lain. Diantara
ulama’ nahwu yang paling menonjol pada masa lebih akhir adalah Abu ‘Abdillah
Muhammad bin ‘Abdillah bin Malik ath-Tha’iy (w. 672 H), penyusun Alfiyah Ibnu Malik yang
termasyhur; lalu Abu Muhammad ‘Abdullah bin Yusuf bin Ahmad al-Anshari (w. 761 H di
Mesir), atau lebih dikenal sebagai Jamaluddin Ibnu Hisyam an-Nahwi, penulis kitab Mughni
al-Labib.
Nama. Selain nahwu, disebut juga Ilmu I’rab. Konon, sebab penamaan
dengan nahwu adalah agar dalam berbicara orang memperhatikan atau mengarahkan
pandangannya kepada tradisi bangsa Arab, baik dalami’rab maupun bina’-nya. Sebab, arti
kata nahwu adalah “menuju”. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa nama itu berasal dari
kata-kata Imam ‘Ali radhiya-llahu ‘anhu, dimana setelah mendiktekan pokok-pokok kaidah
bahasa Arab kepada Abu al-Aswad ad-Du’ali, beliau kemudian menyuruhnya
membuat nahwu (contoh, misal, padanan) untuk masing-masing kaidah tersebut.
Sumber bahan kajian. Studi dalam disiplin ilmu ini berpangkal kepada berbagai premis
(muqaddimah) yang diperoleh dari penelusuran yang cermat terhadap berbagai pola
kalimat yang dipergunakan oleh bangsa Arab dalam kehidupan mereka sehari-hari. Oleh
karenanya, dalam kitab-kitan nahwu sangat sering kita dapati syawahid atau bukti otentik
dari suatu kaidah tertentu yang berasal dari syair-syair Arab klasik. Sebab, syair
merupakan salah satu "bukti arkeologis" paling otoritatif dalam penelusuran akar
kebahasaan mereka.
Hukum mempelajarinya. Mengkaji ilmu nahwu adalah fardhu kifayah, sebab diantara
fungsinya adalah meraih kemampuan menarik dalil dari suatu nash Al-Qur’an dan Sunnah
untuk masalah-masalah yang ada; dan menarik dalil adalah tugas para ulama’.
Masalah yang dikaji. Ilmu Nahwu membahas berbagai definisi atau batasan yang
dijadikan dasar untuk mengupas masalah-masalah di dalamnya, seperti definisi
tentang mubtada’ dan khabar, atau premis-premis yang mendasari penentuan suatu bentuk
kaidah. Premis tersebut, misalnya mengapa fa’il (subyek, pelaku) harus dibaca rafa’?
Argumen yang diberikan: sebab fa’il adalah pilar kalimat yang paling kuat dan dominan,
sementara rafa’ sendiri merupakan harakat yang paling kuat.
Dari sinilah dibangun hukum-hukum yang ditetapkan terhadap masing-masing obyek
kajiannya, misalnya “setiap kata itu bisa mu’rab (berubah-ubah akhirnya) dan bisa
pula mabni (selalu tetap akhirnya)”; atau bagian dari obyek tersebut, misalnya “akhir kata
adalah tempat bagi i’rab (perubahan keadaan akibat adanya faktor tertentu)”; atau bersifat
partikular (juz’iyyah), seperti “suatu isim (kata benda) itu tidak bisa
menerima tanwin dikarenakan dua sebab”; atau berisi paparan obyek kajiannya, seperti
“khabar itu bisa berupa satu kata atau satu susunan kalimat”; atau kekhususan obyek
kajiannya, seperti “idhafah (susunan kalimat majemuk) itu akan mendesak
keberadaan tanwin, walau dengan perantara”; atau pendahuluan yang menjadi penyebab
timbulnya hukum lain, misalnya “suatu perintah itu menjadi wajib jika ada fa’ di dalam
kalimatnya”; perintah adalah bagian dari kalimat insya’, dan insya’ sendiri merupakan
bagian dari kalam; dan lain sebagainya.
Literatur penting. Diantara rujukan penting di bidang ini adalah al-Jumal fi an-
Nahwi karya al-Khalil bin Ahmad, al-Kitaab karya Sibawaih, al-Luma’ fi al-‘Arabiyyah karya
Ibnu Jinniy, al-Kafiyah karya Ibnu al-Hajib yang sangat populer, Lubb al-I’rab karya
Taajuddin al-Isfara’ini, al-Mishbah karya al-Mathrizi, al-‘Umdah danAlfiyah karya Ibnu
Malik, Alfiyah karya Jalaluddin as-Suyuthi, Asraru al-‘Arabiyyah karya Abu al-Barakat al-
Anbari, dan Muushilu ath-Thullab ila Qawa’idi al-I’rab karya Khalid bin ‘Abdillah al-Azhari.
Masih banyak lagi kitab lainnya yang jumlahnya tak terhitung. [*]

Anda mungkin juga menyukai