Anda di halaman 1dari 6

Asal-Usul Terbentuknya Ilmu Nahwu Dan Perkembangannya

Gilang Muhammad Rifa'i

Bahasa Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, Indonesia

gilang.rifai19@mhs.uinjkt.ac.id

Abstrak
Tulisan ini menyuguhkan pembahasan tentang asal-usul terbentuknya ilmu nahwu dan
perkembangannya. Tujuan tulisan ini dibuat adalah agar dapat menjelaskan proses
terbentuknya ilmu nahwu dan perkembangannya pasca terbentuknya. Pengumpulan data
yang digunakan adalah studi pustaka serta sumber data data yang digunakan bersumber
dari ejurnal, dan pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini berupa pendekatan historis.
Ilmu nahwu adalah salah satu ilmu gramatikal bahasa Arab, sejarah munculnya pada masa
khalifah Ali bin Abi Thalib dikarenakan pada zaman tersebut mulai tersebarnya agama
Islam yang semakin luas, sehingga banyak orang luar Arab yang mempelajari Al Quran,
oleh karena itu banyak terjadi lahn (kesalahan membaca) kemudian khalifah Ali bin Abi
Thalib memerintahkan Abu Aswad ad-Duwali untuk membuat kaidah-kaidah bahasa Arab.
Pada awal perkembangan ilmu nahwu muncul dua madzhab yaitu madzhab Bashrah dan
madzhab Kufi.
Kata Kunci : bahasa Arab, nahwu, gramatikal,

PENDAHULUAN
Ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab) sejak awal perkembangannya sampai
sekarang senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis dikalangan para pakar
linguistik bahasa Arab.[1] Dalam sejarah perkembangan linguistik Arab, nahwu
merupakan cabang ilmu yang pertama kali mendapat perhatian serius dari khalifah Ali
bin Abi Thalib. Keseriusan ini dibuktikan dengan ditugaskannya Abul Aswad ad-
Duwali untuk memperhatikan kesalahan orang Arab dalam berbahasa Arab, dan
mencari solusi agar kesalahan itu tidak terulang kembali.[2] Disiplin ilmu nahwu pada
masa awal pembentukannya sangat sederhana dan bersifat praktis.[3] Dalam
pandangan Islam, bahasa Arab telah menjadi bahasa wajib bagi umat Islam dalam
memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW.[4] Bahasa Arab
juga menjadi standar mutlak yang harus dikuasai oleh seorang yang mendalami ilmu
agama Islam, baik ahli tafsir, ahli hadist, ahli fiqh maupun seorang da’i.[5]
Dalam sebuah penelitian pasti ada yang disebut rumusan masalah, karena
untuk memperjelas arah sebuah penelitian, rumusan masalah dalam penelitian ini
sebagai berikut:
• Bagaimanakah proses atau asal muasalnya ilmu nahwu?
• Bagaimana perkembangan ilmu nahwu?
Disetiap penelitian pasti ada tujuannya, karena sebuah penelitian terjadi
karena ada tujuan yang ingin dicapai, dan tujuan penelitian ini sebagai berikut:
• Dapat menjelaskan proses terbentuknya ilmu nahwu
• Dapat menjelaskan perkembangan ilmu nahwu setelah terbentuknya ilmu nahwu
METODOLOGI
Dalam sebuah penelitian dibutuhkan data-data yang berkaitan dengan
penelitian, maka dari itu sumber data penelitian ini bersumber dari e-journal.
Pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka dan teknik pengelolaan data
dalam penelitian ini adalah teknik dokumen serta teori analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori historis
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ilmu Nahwu adalah salah satu cabang dari ilmu bahasa Arab yang membahas
tentang bagaimana menyusun kalimat yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab, baik
yang berkaitan dengan letak kata dalam suatu kalimat atau kondisi kata (harakat akhir
dan bentuk) dalam suatu kalimat. Baik itu pelajar bahasa Arab pemula maupun yang
sudah mahir harus tetap mempelajari yang namanya ilmu Nahwu dan bagian-
bagiannya.[4]
Sejarah lahirnya ilmu nahwu itu bermula dari kerisauan seseorang yang
bertamu ke rumah putrinya di Bashroh ( sebuah Negeri di Irak), beliau adalah Abul
Aswad ad-Duwali dari Bani Kinanah. Pada saat itu puterinya mengatakan : “َ‫اَاشد‬
َ َ‫تَم‬َ ‫اَاَب‬
َ َ‫ي‬
َ‫”الحر‬, dengan membaca Rofa’ pada lafadz َ‫ اشد‬dan membaca jar pada lafadz َ‫الحر‬, yang
menurut bahasa yang benar َ‫ َما‬nya dilakukan sebagai huruf istifham yang artinya:
“Wahai Ayahku! Kenapa sangat panas? Dengan spontan Abul Aswad menjawab َ‫ش ْهرنا‬
ٰ
‫(هذا‬Wahai Puteriku, bulannya memang musim panas).Mendengar jawaban Ayahnya,
puterinya langsung berkata :”Wahai Ayah, saya tidak bertanya kepadamu tentang
panasnya bulan ini, tetapi saya memberi kabar kepadamu atas kekagumanku pada
panasnya bulan ini (yang semestinya jika dikehendaki Ta’ajub diucapkan َ‫ما َاشد َالحر‬,
dengan membaca fathah pada َ‫ اشد‬dan membaca nashob pada َ‫الحر‬. Itu menandakan
kedudukan tanda baca dalam suatu kalimat yang berbahasa Arab sangat
mempengaruhi maknanya. Kalimat pertama yang diungkapkan oleh puteri Abul
Aswad adalah berupa pertanyaan, dan kalimat yang kedua adalah pernyataan.[4]
Sejak kejadian itu, Abul Aswad lalu datang kepada sahabat, Amirul Mu’minin
Khalifah ‘Ali, Seraya berkata “ Wahai Amirul Mukminin, bahasa kita telah tercampur
dengan yang lain”, sambil menceritakan kejadian antara dia dan puterinya, maka
buatlah saya sebuah ilmu, kemudian Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali membacakan:
‫عنَاسمَوف ْع ٍلَوح ْرفٍ َالخَعلىَهذاَالنَّحو‬
ٍ َ‫َْالكالمَكلهَاليخرج‬
“Kalam itu tidak boleh lepas dari kalimat Isim, Fi’il, dan Huruf, dan
teruskanlah untuk semisal ini”. Kemudian Abul Aswad ad-Duwali mengarang bab
Istifham dan Ta’jub. Pada masa dahulu, bahasa Arab tak mengenal adanya harakat.
Masyarakat Arab menggunakan dialek kebiasaan saat mengucapkannya. Bayangkan
betapa sulitnya membaca Al Qur’an dengan arab gundul, tanpa tanda harakat satu pun.
Oleh karena itu, Abul Aswad ad-Duwali mejadi sosok yang berkiprah sangat penting
bagi Muslimin. Dialah yang menemukan kaidah tata bahasa Arab (Nahwu), salah
satunya kaidah pemberian harakat¸ Tak hanya harakat, Ad-Duwali melahirkan banyak
kaidah tata bahasa Arab yang hingga kini masih menjadi patokan atau rujukan. Sejak
dikenal sebagai peletak dasar ilmu i'rab, banyak orang datang untuk belajar ilmu
qira'ah ataupun dasar ilmu i'rab. Ia mencurahkan hidupnya untuk menelaah ilmua
nahwu, hingga wafat pada 688 masehi di Basrah. Kaidah nahwu Ad-Duwali ini
dikenal mengusung mazhab Bashrah. Pada perkembangan bahasa Arab, muncul dua
mazhab, yakni Bashrah dan Kufi. Kedua mazhab tersebut sangat gencar menyebarkan
ilmu nahwu ke penjuru dunia.[4]
Hampir semua pakar linguistik Arab bersepakat bahwa gagasan awal yang
kemudian berkembang menjadi ilmu nahwu muncul dari Ali bn Abi Thalib saat beliau
menjadi khalifah. Gagasan ini muncul karena didorong oleh beberapa faktor, antara
lain faktor agama dan faktor social budaya. Yang dimaksud faktor agama disini
terutama adalah usaha pemurnian Al-Qur’an dari Lahn (salah baca). Sebetulnya
fenomena Lahn itu sudah muncul pada masa Nabi Muhammad masih hidup, tetapi
frekuensinya masih jarang. Dalam sebuah riwayat dikatakn bahwa ada seorang yang
berkatab salah (dari segi bahasa) dihadapan Nabi, maka beliau berkata kepada sahabat:
“Arsyidii akhikhiikum fa innahu qad dzalla” (Bimbinglah teman kalian, sesungguhnya
ia telah tersesat). Perkataan Dzalla ‘tersesat’ pada hadits tersebut merupakan
peringatan yang cukup keras dari Nabi. Kata itu lebih keras artinya dari akhtha’a
‘berbuat salah’ atau zalla ‘keseleo lidah’. Lahn itu semakin lama semakin sering
terjadi terutama ketika bahasa Arab telah mulai menyebar ke Negara-negara atau
bangsa-bangsa lain non-Arab.[1]
Dari sisi sosial budaya bangsa Arab dikenal mempunyai kebanggaan dan
fanatisme yang tinggi terhadap bahasa yang mereka miliki. Hal ini mendorong mereka
berusaha keras untuk memurnikan bahasa Arab dari pengaruh asing. Kesadaran itu
semakin lama semakin mengkristal sehingga tahap demi tahap mereka mulai
memikirkan langkah-langkah pembakuan bahasa dalm bentuk kaidah-kaidah.
Selanjutnya dengan prakarsa khalifah Ali bin Abi Thalib dan dukungan para tokoh
yang mempunyai komitmen terhadap bahasa Arab dan al-Qur’an, sedikit demi sedikit
disusun kerangka-kerangka teoritis yang kelak kemudian menjadi cikal bakal
pertumbuhan ilmu nahwu. Sebagimana terjadi pada ilmu-ilmu lain ilmu nahwu tidak
begitu saja muncul dan langsung sempurna dalam waktu singkat melainkan
berkembang tahap demi tahap alam kurun waktu yang cukup panjang.[1]
Perkembangan ilmu nahwu dalam abad pertama hijriyah ini dimulai dari kota-
kota Bashrah yang kemudian meluas hingga ke kota mekkah atas peran Ibnu Abbas ke
kota Madinah atas perang Abdurrahman bin Hurmuz al-Madani.[6]
Kota Basrah merupakan kota perdagangan yang terletak di pinggir Arab, di
mana mengalir sungai Tigris dan Euprates yang bermuara ke laut. Kota Basrah terletak
300 mil di sebelah tenggara kota Bagdad. Di dalam sejarah perkembangan Ilmu
Nahwu, sejak diletakkan dan dirumuskannya dasar-dasar Ilmu Nahwu pada
pertengahan abad ke 1 H oleh Abul Aswad ad-Duwali (peletak dasar pertamailmu
nahwu), ilmu nahwu telah banyak mengalami perkembangan, dan menemukan
momentumnya dalam perjalanan historisitasnya serta kemajuannya pada masa dinasti
Abbasiyyah, yaitu pada pertengahan abad ke 2 H, di Basrah. Kota ini merupakan
center of knowledge and civilization bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya
bagi ilmu nahwu. Kota ini banyak melahirkan berbagai macam madzhab nahwu.
Nama aliran dalam ilmu nahwu terklasifiasikan menjadi dua arus kelompok besar,
pertama, madzhab nahwu Basrah, yang dimotori oleh Imam Sibawahi, kedua,
madzhab nahwu Kufah, yang dimotori oleh Imam al-Kisa’i.[6]
Secara umum, tumbuh dan berkembangnya nahwu disebabkan banyak faktor. al-
Fadli menyimpulkannya menjadi dua faktor, yaitu faktor sosiologi dan budaya.
Khusus dalam konteks Bashrah, menurut Rawway, paling tidak ada empat faktor
pendukung lain penyebab tumbuh dan berkembangnya ilmu nahwu tersebut. Kempat
faktor itu adalah sebagai berikut.
Pertama, letak geografis. Bashrah terletak pada jarak tiga ratus mil ke arah
tenggara dari kota Bagdad, terdapat sungai Tigris dan Euphrates yang mengalir dan
bermuara di laut. Kondisi strategis seperti ini tentunya akan berpengaruh kuat terhadap
pembentukan personalitas penduduk, dan membuat mereka terkenal dengan
kematangan berfikir, fasih dalam berbahasa yang murni, dan terbebas dari cacat lachn
dan kata-kata asing. Letak Kota Bashrah yang berada di pinggir pedalaman seringkali
dijadikan tujuan para ilmuwan dalam melakukan perjalanan. Di tengah perjalanan,
biasanya mereka bertemu dengan orang Arab asli dan melakukan pembicaraan dari
sumber bahasa yang asli. Namun, adakalanya juga para ilmuwan tersebut membawa
orang Badui ke kota mereka. Orang yang terkenal melakukan perjalanan ke pedalaman
untuk melakukan survey tentang bahasa Arab Fusha adalah Khalîl bin Ahmad, Yūnus
bin Chabīb, Nadhar bin Syāmil, dan Abū Zaidil-Anshāri. Hal ini tampak jelas dari
perkataan Khalīl ketika ditanyai oleh al-Kisāī tentang sumber-sumber ilmunya. Dia
menjelaskan bahwa sumbernya ada di pedalaman Hijaz, Najd dan Tihama, maka al-
Kisāī pun keluar menuju pedalaman tersebut dan menghabiskan lima belas botol tinta
untuk menulis bahasa Arab selain dari yang sudah dihafalnya. Ulama Bashrah
berpendapat bahwa bahasa Arab yang asli hanya ada di kabilah-kabilah pedalaman,
yang belum banyak berinteraksi dengan dunia luar, jadi bahasanya masih baik dan
benar. Di antara kabilah yang paling sering dikunjungi adalah Tamim dan Qais.
Mengingat Bashrah sebagai pelabuhan perdagangan bagi Irak di Teluk Arab, maka
datanglah unsur-unsur asing yang berimbas pada kemajuan di bidang perdagangan dan
investasi. Dari sinilah terjadi pertemuan antara orang-orang Arab, Persia, dan India,
sekaligus merupakan perjumpaan antara agama Nasrani, Yahudi, Majusi, dan Islam.
Kedekatan Bashrah dengan madrasah Jundisapur di Persia yang mempelajari
kebudayaan Persia, Yunani, dan India telah menghantarkan pada pertautan
kebudayaan secara menyeluruh. Karena itu, munculah upaya penerjemahan pada masa
Umar bin Abdul Aziz yang dilakukan oleh Masir Haubah dengan menerjemahkan
buku kedokteran. Hal yang sama juga dilakukan oleh Abdullah al-Muqaffa‟ yang
pandai berbahasa Arab dan Persia. Ia menerjemahkan peningalan-peninggalan sejarah
dan sastra Persia ke dalam bahasa Arab. Dari putranya yang bernama Muhammad,
lahirlah buku terjemahan bahasa Arab untuk ilmu mantiq-nya Aristoteles dan
terjemahan Kalilah wa Dimnah. Selain itu, di Bashrah sendiri, terdapat aliran Syi‟ah
dan Mu‟tazilah yang telah membuka lebar berkembangnya keilmuan Yunani. Ini
sangat berpengaruh dalam mazhab ilmu kalam mereka dan juga berimbas pula pada
ilmu nahwu dalam hal taqsim, ta’lil, ta’wil dan qiyas.[2]
Kedua, stabilitas masyarakat. Bashrah adalah kota yang mempunyai tingkat
keamanannya yang stabil. Di kota ini tidak ada konflik dalam masalah politik,
pergeseran antara mazhab, kerusuhan antara kelompok sosial masyarakat. Kondisi
yang damai ini banyak menarik perhatian orang asing untuk mengunjungi Bashrah,
dimana mereka akan mendapatkan ketenangan dan perlindungan keamanan. Dampak
dari stabilitas kota ini adalah banyaknya orang Bashrah yang terjun dalam dunia
perdagangan. Peradaban Bashrah jauh lebih cepat maju, aktivitas keilmuannya
berkembang pesat, masuknya budaya lain yang turut mewarnai corak kehidupan
masyarakat semakin beragam. Puncaknya, lahirlah di Bashrah pakar-pakar ilmu
pengetahuan dalam berbagai bidang kehidupan yang sangat dibutuhkan saat itu.[2]
Ketiga, Pasar Mirbad. Pasar Mirbad adalah pasar yang sangat terkenal yang
terletak di pintu barat kota Bashrah. Dahulu pasar ini dinamai Pasar Unta (sūqul-ibil)
karena terbatas hanya pada penjualan unta, kemudian dinamakan Mirbad karena unta
ditinggalkan di tempat tersebut. Oleh karena itu, setiap tempat yang digunakan untuk
menambatkan unta dinamakan mirbad. Kemudian jadilah tempat tersebut tempat yang
terkenal dan di sana diadakan unjuk kebolehan di bidang puisi dan khitabah. Adapun
sebab didirikannya Pasar Mirbad adalah karena orang-orang Arab yang datang ke
Bashrah dari tengah Jazirah Arab menemukan di pinggiran kota tersebut tempat yang
nyaman untuk menunda perjalanan. Mereka kemudian menjadi penduduk Bashrah.
Mereka menanti di tempat tersebut untuk berdagang dan saling bertukar hal-hal yang
bermanfaat. Kondisi ini berkembang dan Pasar Mirbad menjadi pusat perdagangan di
mana para empunya adalah para penyair dan sastrawan, sehingga hiduplah nuansa
sastra di pasar ini. Merekapun mampu bersaing dalam keindahan dengan para penyair
di Ukaz.[2]
Keempat, Masjid Bashrah. Masjid Basrah memiliki majelis-majelis yang
mengkaji beberapa disipilin ilmu pengetahuan, di antaranya majelis kajian tafsir, ilmu
kalam, dan bahasa. Para imamnya adalah penduduk Bashrah sendiri yang berbangsa
Arab, Persia, dan India dan sebagian lagi orang-orang Badui yang datang dari
pedalaman. Majelis-majelis tersebut antara lain adalah: (1) Majelis Himad bin Salmah
di mana Sibawaihi ikut bergabung dalam majelis tersebut; (2) Majelis Musa bin Siyar
al-Aswari, dan (3) Majelis Abu „Amru bin al-„Alla. Ia mengajar qira’ah, bahasa, dan
nahwu. Murid-muridnya berdesak-desakan di dalamnya. Suatu ketika, Hasan alBashri
lewat dan menyaksikan betapa berjejalnya murid-murid yang mengikuti majelis
tersebut, maka ia pun berkata:” la ilaha illallah, hamper para ulama menjadi tuhan-
tuhan baru. Jika setiap kemuliaan mereka tidak dibentengi dengan ilmu, maka
kehinaanlah yang berkuasa”.[2]
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa sejarah terbentuknya ilmu nahwu
dikarenakan beberapa faktor, diantaranya faktor agama dan social budaya. Contoh dari
faktor agama adalah pemurnian Al-Qur’an dari Lahn (salah baca) karena agama Islam
yang semakin menyebar luas, yang kedua faktor sosial budaya, karena orang Arab
mempunyai kebanggaan terhadap bahasa yang ia miliki dan ini yang mendorong
mereka untuk mempertahankan kemurnian bahasanya dari asing.
Ilmu nahwu berkembang di kota Bashrah, berkembangnya ilmu nahwu di
Bashrah karena beberapa faktor, faktor yang pertama letak geografis, kedua stabilitas
Masyarakat, ketiga, Pasar Mibrad yang terletak di pintu barat kota Bashrah, yang
keempat Masjid, Masjid di kota Bashrah memiliki majelis-majelis yang mengkaji
beberapa disiplin ilmu pengetahuan.

PENGAKUAN
Saya ucapkan syukur kepada Allah SWT. yang telah memberi nikmatnya sehingga saya
dapat menyelesaikan pembuatan artikel ini dan tidak lupa saya ucapkan terima kasih
kepada Dr. Zubair, M.Ag. yang telah membimbing saya dengan sabar dalam proses
pembuatan artikel ini.
REFERENSI

[1] A. A. Rahman, “Sejarah Ilmu Nahwu dan Perkembangannya,” Jurnal Adabiyah, vol.
10, no. 1, hlm. 98–109, 2010.
[2] M. F. Rohman, “Kajian Historis; Periodisasi Tokoh Ilmu Nahwu Madzhab Bashrah,”
Ummul Qura, vol. 11, no. 1, hlm. 50–72, 2018.
[3] B. Dihe, “Konstruksi Pemikiran Sibawaih Dalam Kajian Ilmu Nahwu,” Rausyan Fikr:
Jurnal Studi Ilmu Ushuluddin dan Filsafat, vol. 14, no. 1, hlm. 89–112, 2018.
[4] S. Sugirma, “Peran Khalifah Ali bin Abi Thalib Dalam Meletakan Dasar-Dasar Ilmu
Nahwu,” Foramadiahi, vol. 11, no. 1, hlm. 158–171, 2019.
[5] L. Muhyiddin, “Konsep Al-Qiyas Ibn Jinny,” At-Ta’dib, vol. 8, no. 1, 2013.
[6] Y. Ramdiani, “Kajian Historis; Perkembangan Ilmu Nahwu Mazhab Basrah,” El-
Hikam, vol. 8, no. 2, hlm. 293–318, 2015.

Anda mungkin juga menyukai