Anda di halaman 1dari 3

Mengenal Ilmu Nahwu

Ilmu nahwu merupakan bagian dari ilmu bahasa secara umum. Secara keseluruhan, ilmu bahasa
meliputi ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu pelafalan, dan ilmu semantik. Ilmu sharf berbicara tentang
aturan pembentukan kata (‫)البنية والصيغة‬. Ia mempelajari timbangan-timbangan kata (wazan) berikut
indikasinya, serta bentuk-bentuk perubahan yang sangat beragam seperti penghapusan (‫)الحذف‬,
penambahan (‫)الزيادة‬, perentangan (‫)التطويل‬, pemendekan (‫)التقصير‬, peleburan (‫)الدغام‬, pembalikan (‫)القلب‬,
penggantian (‫)البدال‬, pencacatan (‫)العلل‬, serta keadaan saat terus (‫ )الوصل‬dan saat berhenti (‫)الوقف‬.
Dengan kata lain, kata kunci dalam ilmu sharf ialah kata (‫)الكلمة‬. Adapun kata kunci dalam ilmu
pelafalan ialah suara (‫)الصوت‬. Sementara, ilmu semantik menitikberatkan kajiannya pada aspek makna
dan penunjukan makna. Titik berat pada aspek makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang
makna leksikon dari suatu kata (= ‫)المعني المعجمي المعني القاموسي‬, makna kontekstualnya (‫)المعني السياقي‬, makna
individual, makna sosial, dan sebagainya. Titik berat pada penunjukan makna berarti bahwa disana
akan dipelajari tentang perkembangan makna suatu kata, yang dipengaruhi oleh banyak variabel
seperti individu, sosial, kebudayaan, militer, politik, peradaban, dan lain-lain.

Adapun ilmu nahwu, kata kuncinya ialah kalimat (‫)الجملة‬. Ia secara khusus berbicara tentang
jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara tentang aturan mengenai hubungan antar
elemen tersebut. Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara sintaktik
bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang dalam
tradisi klasik kita sebut sebagai hubungan penyandaran (‫)السناد‬. Jadi ilmu nahwu tidaklah hanya
berbicar tentang harakat di akhir kata serta i’rabnya, namun ia juga mengatur tentang bagaimana cara
yang baik dalam menyusun dan merangkai kalimat.

Semua cabang ilmu bahasa diatas saling melengkapi satu sama lain. Ilmu-ilmu tersebut dibeda-
bedakan hanyalah untuk kemudahan mempelajarinya saja. Kita tidak bisa mengkaji bahasa secara
sempurna dengan hanya menggunakan salah satu atau sebagian ilmu-ilmu tersebut dan meninggalkan
ilmu yang lain.

SEBAB-SEBAB YANG MENDORONG DISUSUNNYA ILMU NAHWU

Bangsa Arab pada awalnya merupakan bangsa yang memiliki keahlian dalam menggunakan dua
bahasa sekaligus, yakni bahasa fasih dan bahasa dialek. Saat sedang bersantai dengan keluarga
misalnya, mereka menggunakan bahasa dialek. Namun apabila pada saat yang lain mereka harus
menggunakan bahasa fasih, mereka pun sanggup melakukannya secara sempurna. Al-Qur’an dan
sabda Nabi juga disampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.

Setelah Islam berhasil melakukan futuh ke berbagai negeri ajam (non Arab), bangsa Arab mau
tidak mau harus bergumul dengan bangsa-bangsa yang tidak berbahasa Arab tersebut. Akibat
pergumulan yang berlangsung secara intens dan dalam waktu lama, bahasa Arab mulai terpengaruh
oleh bahasa-bahasa lain. Orang-orang non Arab berusaha untuk berbicara dalam bahasa Arab namun
mereka melakukan banyak kekeliruan. Orang Arab sendiri sedemikian toleran atas berbagai kekeliruan
berbahasa Arab, baik yang dilakukan oleh orang non Arab maupun oleh orang Arab yang baru belajar
berbahasa. Saat itu, kesalahan bukan hanya dilakukan oleh orang awam namun juga oleh orang-orang
terpelajar dan para sastrawan. Dikisahkan, bahkan Al-Hajjaj, seorang yang sangat mahir berbahasa,
juga sempat melakukan kesalahan. Banyaknya kesalahan, terutama dalam mengucapkan ayat-ayat Al-
Qur’an, telah mendorong sebagian orang yang mahir berbahasa untuk menyusun kaidah-kaidah
bahasa, yang pada kemudian hari dikenal sebagi ilmu nahwu.

TUJUAN DISUSUNNYA ILMU NAHWU

Tujuan utama penyusunan ilmu nahwu ialah agar bahasa Arab yang fasih tetap terjaga sehingga
Al-Qur’an dan hadits Nabi juga terjaga dari kesalahan. Di sisi lain, ilmu nahwu juga bisa dipakai
sebagai sarana untuk mengungkap keajaiban bahasa Al-Qur’an (‫)اعجاز القرآن‬.

SIAPAKAH YANG MULA-MULA MENYUSUN ILMU NAHWU?

Melalui pengkajian yang teliti, para ahli menetapkan bahwa yang meletakkan gagasan awal dan
dasar-dasar serta metodologi ilmu nahwu ialah Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya, pekerjaan tersebut
dilanjutkan secara ekstensif oleh muridnya yang bernama Abul Aswad.

Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa metodologi ilmu nahwu diadopsi dari tata bahasa
lain – terutama Yunani – melalui perantaraan orang-orang Suryani, para ahli menyanggahnya dengan
mengatakan bahwa metodologi itu orisinil dari Arab, terutama dengan adanya Al-Qur’an. Para ahli
mengatakan bahwa tata bahasa Yunani memang sempat bergumul dan mempengaruhi ilmu nahwu,
namun itu terjadi setelah ilmu nahwu sendiri sudah berada di tengah-tengah formasinya.

BAB APA YANG MULA-MULA DISUSUN DALAM ILMU NAHWU?

Dalam hal ini para ahli berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa bab yang mula-mula
disusun sesuai dengan bentuk kesalahan berbahasa yang muncul bersamaan dengan mulai disusunnya
ilmu nahwu itu sendiri. Sebagian yang lain berpendapat bahwa bab yang mula-mula mesti selaras
dengan pola kerja akal manusia. Dengan demikian, bab yang mula-mula ialah yang paling sederhana,
lalu dilanjutkan dengan yang lebih rumit, dan demikian seterusnya.

PERKEMBANGAN ILMU NAHWU DARI MASA KE MASA

Perkembangan ilmu nahwu dapat diruntut menjadi tiga periode:

1. Periode Perintisan dan Penumbuhan (Periode Bashrah)

Perkembangan pada periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman Abul Aswad sampai
munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad kesatu Hijriyah. Periode ini masih bisa
dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa pengembangan. Masa kepeloporan
tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah. Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas
(analogi), belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha kodifikasi. Adapun ciri-
ciri masa pengembangan ialah makin banyaknya pakar, pembahasan tema-temanya semakin luas,
mulai munculnya perbedaan pendapat, mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan
hukum bahasa, dan mulai dipakainya metode analogi.

2. Periode Ekstensifikasi (Periode Bashrah-Kufah)

Periode ini merupakan masa ketiga bagi Bashrah dan masa pertama bagi Kufah. Hal ini tidak
terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu dibangun daripada kota Kufah. Pada
masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya. Terjadi perdebatan yang ramai antara Bashrah dan
Kufah yang senantiasa berlanjut sampai menghasilkan apa yang disebut sebagai Aliran Bashrah
dengan panglima besarnya Imam Sibawaih dan Aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam Al-
Kisa’i. Pada masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas tema-tema yang saat ini
kita kenal sebagai ilmu sharf.
3. Periode Penyempurnaan dan Tarjih (Periode Baghdad)

Di akhir periode ekstensifikasi, Imam Al-Ru’asi (dari Kufah) telah meletakkan dasar-dasar ilmu
sharf. Selanjutnya pada periode penyempurnaan, ilmu sharf dikembangkan secara progresif oleh Imam
Al-Mazini. Implikasinya, semenjak masa ini ilmu sharf dipelajari secara terpisah dari ilmu nahwu,
sampai saat ini. Masa ini diawali dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru
Baghdad. Meskipun telah berhijrah, pada awalnya mereka masih membawa fanatisme alirannya
masing-masing. Namun lambat laun, mereka mulai berusaha mengkompromikan antara Kufah dan
Bashrah, sehingga memunculkan aliran baru yang disebut sebagai Aliran Baghdad. Pada masa ini,
prinsip-prinsip ilmu nahwu telah mencapai kesempurnaan. Aliran Baghdad mencapai keemasannya
pada awal abad keempat Hijriyah. Masa ini berakhir pada kira-kira pertengahan abad keempat
Hijriyah. Para ahli nahwu yang hidup sampai masa ini disebut sebagai ahli nahwu klasik.
Setelah tiga periode diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Andalusia (Spanyol), lalu di Mesir, dan
akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke zaman kita saat ini. [selesai]

Nahwu: secara bahasa memiliki arti seperti atau misalnya (Kamus Al Munawwir)
secara istilah, sebagaimana yg dikatakan pengarang kitab Al Fawakih Al janiyyah, sebuah kitab
penjelasan dari kitab Mutammimah (yang merupakan penjelasan dari kitab jurmiyyah):
Nahwu adalah ilmu tentang pokok, yang bisa diketahui dengannya tentang harkat (baris) akhir
dari suatu kalimat baik secara i’rab atau mabniy… (baris atau harkat yg dimaksud disini adalah
baris atau harkat terakhir dari suatu kata, contoh Alhamdu, maka yg dibahas dalam ilmu nahwu
adalah harkat terakhir yaitu dhammah dri kata du)

biar pada ngerti maka kita make contoh dah… misalnya kita baca basmallah kan
bismillahIrrahmanIr ahimi.. pernah kepikir gak knp dibaca kayak gitu? kenapa bismillahi gak
BismillahA atau bismillahu? Arrahmani gak Arrahmana atau Arrahmanu? nah, disinilah fungsi
ilmu nahwu, yaitu membuat sebuah kata bisa dibaca dengan benar sehingga menghasilkan
makna atau arti yang benar.. karena bahasa arab itu, beda baris, maka bisa beda makna bahkan
ada yg gak bisa diartiin kalo barisnya salah… catet!

Sharaf: secara bahasa memiliki arti perubahan kata (kamus Al Munawwir) secara istilah
sharaf adalah perubahan bentuk kata dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain… misalnya,
dalam bahasa indonesia, kita bisa menggunakan kata teman, berteman, pertemanan, menemani,
ditemani.. maka begitu juga dengan bahasa arab.. dan ilmu sharaf lah yang membahas masalah
seperti itu…

Anda mungkin juga menyukai