Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TELAAH MINHAJ SAID HAWA DALAM

TAFSIR AL-ASAS

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 11

NAMA : NIM:

1. DINA ROSDIANA (2030304090)


2. SUCI ADELIA (2030304082)

DOSEN PEBIMBING :

DEDDY ILYAS, M. Us

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH

PALEMBANG
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Karena hanya
dengan rahmat-Nya lah, kami pada akhirnya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Telaah Minhaj Said Hawa Dalam Tafsir Al-Asas” ini, guna memenuhi tugas kelompok Mata
Kuliah Manahij Al-Mufassirin dengan baik dan tepat pada waktunya. Tidak lupa kami
menyampaikan rasa terimakasih kepada dosen pembimbing kami, Bapak Deddy Ilyas, M. Us,
yang telah memberikan bimbingan baik moril maupun materil yang bermanfaat dalam proses
penyusunan makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini
bisa selesai pada waktu yang telah ditentukan.

Meskipun kami sudah mengumpulkan banyak referensi untuk menunjang penyusunan


makalah ini, namun kami menyadari bahwa di dalam makalah yang telah kami susun ini masih
terdapat banyak kesalahan serta kekurangan. Sehingga kami mengharapkan saran serta
masukan demi tersusunnya karya ilmiah lain yang lebih baik lagi. Akhir kata, kami berharap
agar makalah ini bisa memberikan banyak manfaat, Aamiinn.

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i

DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ii

BAB I .......................................................................................................................................... 3

PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 3

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 3

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 3

C. Tujuan ............................................................................................................................. 4

BAB II ........................................................................................................................................ 5

PEMBAHASAN ......................................................................................................................... 5

1.1 Profil Sa’id Hawa ......................................................................................................... 5

1.2 Sistematika Penulisan .................................................................................................. 7

1.3 Metode Tafsir Sa‘id Hawa ........................................................................................... 8

1.4 Contoh Penafsiran dan Analisis Orientasi Pemikiran Tafsir Said Hawwa ................... 9

BAB III ..................................................................................................................................... 14

PENUTUP ................................................................................................................................ 15

A. KESIMPULAN.............................................................................................................. 15

B. KRITIK dan SARAN .................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah AWT kepada Rasul-Nya Nabi
Muhammad Saw, sebagai Pedoman atau petunjuk bagi seluruh umat manusia. Untuk memahami
ayat-ayat dalam Al-Qur’an diperlukan intelektualitas dan metodologi penafsiran yang tepat.
Dengan metodologi penafsiran yang tepat tersebut al-Qur’an baru dapat “diajak” berdioalog dalam
susana bagaimanapun dan kapanpun.1

Sesungguhnya termasuk perkara yang penting dalam setiap cabang ilmu adalah
mempelajari ilmu-ilmu dasarnya. Dimana hal itu bisa membantu memahami suatu cabang ilmu
dan mentahrijnya berdasarkan ilmu-ilmu dasar. Di antara cabang-cabang ilmu yang paling mulia,
bahkan yang paling agung adalah tafsir, dimana tafsir menjelaskan tentang makna-makna yang
terkandung dalam kalammullah.2 Banyak para ahli ilmu (ulama) yang telah berupayah menyusun
karya yang memerlukan intelektualitas dan metodologi yang tepat ini, salah satunya adalah Said
Hawa yang telah berhasil membuahkan karya tafsir dengan nama “Al-Asas Fi Tafsir”.

Said Hawa mempunnyai potensi besar dalam menulis, beliau bisa menyelesaikan tulisan
hanya dalam beberapa hari. Ini berawal dari kegemarannya dalam membaca buku, kegemarannya
dalam menorehkan pemikirannya kedalam buku tidak bisa dipungkiri. Dalam hal ini, kami para
penulis ingin mencoba mengkaji kembali, bagaimana Minhaj Said Hawa dalam karyanya Tafsir
Al-Asas.3

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami penulis akan mencoba untuk menjawab persoalan inti yang perlu
dianalisis. Masalah pokok kajian ini adalah tentang siapa Said Hawa (Profil), dan bagaimana
Minhaj Said Hawa dalam karyanya Tafsir Al-Asas.

1
Failasufatunnnisa, “Studi Kitab “Al-Asas Fi At Tafsir Al-Qur’an” Said Hawa”,
https://tentangquran.wordpress.com/2014/01/02/studi-kitab-al-asas-fi-at-tafsir-al-quran-said-hawa/, Diakses
pada 23 Agustus 2021
2
Asy Syaikh Muhammad Sholih Al Utsaimin Rahimahullah, “Dasar-dasar Ilmu Tafsir Al-Qur’an”, (Yogyakarta :
Warosatul Anbiya’ Press, 2015)
3
Failasufatunnnisa, “Studi Kitab “Al-Asas Fi At Tafsir Al-Qur’an” Said Hawa”,
https://tentangquran.wordpress.com/2014/01/02/studi-kitab-al-asas-fi-at-tafsir-al-quran-said-hawa/, Diakses
pada 23 Agustus 2021

3
C. Tujuan
1. Mengenal dan mengetahui Profil Said Hawa dan karya nya.
2. Mengetahui dan memahami bagaimana Minhaj Said Hawa dalam Tafsir Al-Asas.
3. Mengetahui sistematika penulisan dan metode penafsiran, beserta contoh penafsirannya.

4
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Profil Sa’id Hawa


Said Hawa memiliki nama lengkap Sa‘id bin Muhammad Daib Hawa, lahir tahun 1935 di
kota Hamah,Syria. Dalam usia 2 tahun, ia sudah ditinggal wafat oleh ibunya. Pendidikan dan
pengasuhannya dilanjutkan oleh ayahnya yang kemudian pindah dan tinggal bersama neneknya.
Ayahnya seorang pemberani dan pejuang dalam melawan kolonial Perancis.
Darah pejuang yang terpatri dalam jiwanya dipengaruhi oleh perjuangan ayahnya dalam
melawan colonial Prancis. Situasi Syria yang sedang menghadapi penjajahan Perancis membuat
Sa‘id Hawa tumbuh menjadi pemuda yang tegar.
Perjalanan intelelektualnya diawali dengan menggali ilmu kepada beberapa orang syaikh
di Syria. Diantara ulama yang terkenal adalah syuyukh yang berasal dari kota Hamah, yaitu;
syaikh Muhammad al–Hamid, syaikh Muhammad al–Hashimi, syaikh Abdul Wahab Dabas
Wazit, syaikh Abdul Karim ar–Rifa’i, syaikh Ahmad al–Murad dan syaikh Muhammad Ali al–
Murad. Selain itu, Sa‘id Hawa juga belajar kepada Mustafa as–Siba‘i, Mustafa az–Zarqa, Fauzi
Faidullah dan beberapa guru lainnya.
Karakter kesufian Sa‘id Hawa tampaknya diawali dari bimbingan beberapa syaikh yang
dijumpainya sehingga membekas dalam kehidupannya.
Pada usianya masih muda, Sa‘id Hawa untuk pertama kalinya berkenalan dengan
pergerakan jama‘ah Ikhwanul Muslimin. Pikiran–pikiran dari gerakan Ikhwan sangat
membentuk kepribadian dan pola pikir Sa‘id Hawa yang kemudian hari ia ikut terlibat bahkan
sebagai tokoh dalam pergerakan Ikhwan di Syria.
Selain itu pemikiran Said Hawa di manifestasikan lewat buku–buku yang tersebar dan
dapat dibaca dan dijangkau oleh siapapun. Dari beberapa karya Sa‘id Hawa bisa dikategorikan
bahwa pandangan gerakan Islam Sa‘id Hawa sealiran dengan tokoh pendiri Ikhwan Hasan al–
Banna. Faktor guru yang mendidiknya juga berpengaruh membentuk pola pikir keagamaannya.
Secara umum pemikiran keagamaan Sa‘id Hawa bagian dari kelompok Islam Sunni yang dikenal
sebagai Ahli Sunnah wa al-Jama’ah. Hal ini dapat dilihat melalui penafsirannya tentang masalah
fiqh, aqidah, tasawuf dalam kitab tafsir yang terdiri dari 11 jilid besar. Nama Kitab dan Latar
Belakang Penulisan kitab.
Untuk mengenali lebih jauh tafsir, Sa‘id Hawa ini, pertama harus diketahui nama asli
kitabnya. Kitab tafsir karya Sa‘id Hawa ini dinamakan oleh penyusunnya dengan al-Asas Fi al-
Tafsir. Bila dipahami dengan pengertian bahasa Indonesia berarti dasar dalam penafsiran.

5
Pengertian ini bisa dimaksudkan bahwa penafsiran yang digunakan kitab ini sangat
memperhatikan hubungan antar ayat yang ada kesesuaian yang dalam ilmu tafsir dikenal dengan
munasabah Alquran. Kedua, tafsir ini sering mengutip atsar baik dari Nabi atau sahabat. Dua hal
diatas merupakan pokok atau dasar dalam menafsirkan Alquran yang bagi Sa‘id Hawa menjadi
perhatian utama dalam tafsirnya.
Latar belakang penyusunan kitab ini karena Said Hawa ingin menyumbangkan
pemikirannya yang ketika dia berada dalam penjara karena menentang penetapan undang-undang
Syiria tahun 1973 selama 5 tahun.
Selain itu, dari sudut pandang ilmiah ada beberapa hal yang melandasi penulisan kitab ini,
antara lain :
a. Said Hawa ingin mengembangkan lebih luas konsep munasabah dalam al-Quran dengan
membuat konsep baru yang disebut Wahdatul Quraniyah.
b. Karena zaman sekarang ilmu pengetahuan sangat berkembang sehingga muncul
pemahaman yang baru terhadap nash.
c. Banyaknya syubhat dan pertentangan dengan al-Quran yang terjadi pada masa
sekarang.
d. Sudah banyak pribadi muslim saat ini yang sudah semakin jauh dari al-Quran dan umat
islam yang dicontohkan al-Quran.
Kitab tafsir ini terdiri dari 11 (sebelas) jilid besar yang termasuk karya monumental Sa‘id
Hawa. Hal ini mencerminkan bahwa ia seorang mufasir dengan berupaya menggali hubungan
ayat dan surat dalam Alquran. Dalam jilid pertama kitab tersebut dicantumkan pengantar penerbit
oleh Abdul Qadir Mahmud al- Bukar yang terdiri dari dua halaman. Kemudian disusul pengantar
penyusun (al–Asas fi al–Manhaj) tentang metode pembahasan mengenai uraian kitab tafsir yang
digunakan oleh penulisnya. Masih dalam jilid yang sama, dikemukakan pengantar kitab tafsir al–
Asas ( Muqaddimah al-Asas Fi al- Tafsir) yang memberikan penjelasan tentang karakteristik
kitab tafsir ini serta keistimewaannya dibandingkan kitab tafsir lain.
Tafsir ini disusun seperti kitab tafsir besar lain dengan menguraikan penafsiran secara
mendalam dan rinci hingga mencapai 11 jilid tebal. Penulisan kitab tafsir ini seperti diterangkan
oleh Sa’id Hawa dalam pendahuluan kitabnya yaitu ketika ia menjalani masa tahanan politik
semasa pemerintahan Hafiz al–Asad dalam kurun waktu sekitar 1973–1978.
Cara penyajian uraian seperti ini dikenal juga dalam dunia tafsir dengan metode tahlili.
Penulisan tafsir ini menggunakan 4 kitab tafsir sebagai rujukan utama yaitu tafsir Ibnu Katsir,
an–Nasafi, al–Alusiy dan Sayyid Qutb. Karakteristik kitab ini terletak pada analisis aspek
munasabah dengan konsep seperti ditegaskan penyusunnya yaitu kesatuan Alquran (al–Wahdah
6
al-Quraniyyah).
Selain itu, dinyatakan juga dalam pendahuluan tafsir ini bahwa orientasi penulisan tafsir
ini berorientasi untuk menjelaskan aspek aqidah (ushuluddin), fiqh, ruhiyyah, dan sulukiyyah.
Dua hal terakhir berkenaan dengan kajian tasawuf dan prilaku menempuh jalan tasawuf.
1.2 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan kitab al-asas fi al-tafsir oleh S’id Hawa adalah setiap jilid beliau
selalu mengemukakan pendahuluan sebelum masuk dalam penafsiran surat-surat Alquran.
Paparan menyangkut kategorisurat sesuai yang dibagi menurut jumlah ayat oleh Sa‘id Hawa.
Setiapsurat yang ditafsirkan terlebih dahulu pada awal surat dijelaskanmunasabahnya dengan
surat–suratlainnya. Biasanya dikutip daripenjelasan Sayyid Qutb dalam tafsir Fi Zilalil Quran
dan al–Alusiy dalamtafsir Ruhul Ma‘ani. Runtutan penafsiran disesuaikan dengan urutansurat–
surat seperti yang terdapat dalam Mushaf. Jilid kesatu, penafsiran diawalidengan surat al–Fatihah
(1) dan al-Baqarah (2) sampai ayat 286. Jilid II, dari Surat Ali Imran (3) sampai an-Nisa’ (4)
ayat 176. Jilid III, al-Maidah(5) sampai al-An‘am (6) ayat 165. JilidIV, al–A‘raf (7) sampai at-
Taubah (9) Ibrahim (14) ayat 52. Jilid VI, al-Hijr (15) sampai Maryam (19) ayat 98. Jilid VII,
Taha (20) sampai al-Qasas (28)ayat 88. Jilid VIII, al-‘Ankabut (29)sampai Sad (38) ayat 88. Jilid
IX, az-Zumar (39) sampai Qaf (50) ayat 45Jilid X, adz-Dhariyat (51) sampai al-Qalam (68) ayat
52 Jilid XI, al-Haqqah (69) sampai an-Nas (114) ayat 6.

Untuk memudahkan penyajiannya disusunlah sistematika dengan membagi kelompok


surat–surat dalam Alquran. Sa‘id Hawa memberikan pengkategorisasian pada 4 macam atau
qism:

a. Thiwal yaitu (al-Baqarah/2 sampai surat Bara-ah / 9 ).


b. Mi-in yaitu (Yunus/10 sampai al– Qasas/28), kelompok ini dibagi pula oleh Sa‘id Hawa
menjadi tiga bagian yang disebutnya dengan al- Majmu‘at berdasarkan kepada makna
yang dikandungnya. Untuk al-Majmu‘ah pertama dimulai dari surat Yunus, Hud,
Yusuf, ar–Ra’d dan Ibrahim. Al-Majmu’ah kedua dimulai dari surat al–Hijr, an–Nahl,
al–Isra’, al–Kahfi dan Maryam. Al– Majmu’ah ketiga dimulai dari surat Taha, al–
Anbiya’, al–Hajj, al– Mukminun, an–Nur, al–Furqan, ash–Shu‘ara’, an–Naml dan al-
Qasas. Dijelaskan oleh Sa‘id Hawa surat al–Qasas terdiri dari 88 ayat yang mendekati
mi-ah (100), sedangkan setelah surat al-Qasas yaitu surat al–‘Ankabut yang memuat 69
ayat. Dari itu dijadikanlah surat al–‘Ankabut ini sebagai awal dari qism mathani.
c. Matsani yaitu (al–‘Ankabut/29 sampai surat Qaf / 50). Sama dengan qism mi’in yang
sebelumnya, pada qism matsani ini juga dibagi menjadi 4 al-Majmu‘at. Al–Majmu‘ah

7
I dari surat al– ‘Ankabut sampai surat Yasin, al– Majmu‘ah II dari surat as-Saffat dan
surat Sad, al–Majmu‘ah III dari surat az-Zumar, al-Mukmin (Ghafir) dan Fussilat
(hamim sajadah), al–Majmu‘ah IV dari surat ash–Shura sampai surat Qaf.
d. Mufassal yaitu (adh– Dhariyat/51 sampai surat an–Nas/114 ). Qism Mufassal ini terbagi
pula kepada 15 al–Majmu‘at. Al–Majmu‘ah I dari surat adh- Dhariyat sampai surat al–
Waqi’ah, al–Majmu‘ah II terdiri dari surat al–Hadid dan al– Mujadalah, al- Majmu‘ah
III terdiri dari surat al–Hashr dan al– Mumtahanah, al –Majmu‘ah IV dari surat as–
Saff, al –Jumu‘ah dan al–Munafiqun, al–Majmu‘ah V dari surat at–Taghabun, at–Talaq,
at– Tahrim, al–Mulk dan al–Qalam, al- Majmu‘ah VI dari surat al–Haqqah sampai al–
Muddaththir. Sedangkan al – Majmu‘ah VII terdiri dari surat al–Qiyamah dan al–Insan,
al– Majmu‘ah VIII terdiri dari al– Mursalat dan an–Naba’, al-Majmu‘ah IX dari an–
Nazi‘at, ‘Abasa, at–Takwir dan al–Infitar. Sementara itu al–Majmu‘ah X terdiri dari
surat al–Mutaffifin dan al–Inshiqaq, al–Majmu‘ah XI dari surat al–Buruj, at–Tariq, al–
A‘la dan al–Ghashiyah, al–Majmu‘ah XII meliputi surat al–Fajr, al– Balad, ash–Shams,
al–Layl, ad– Duha dan ash–Sharh. Adapun al– Majmu‘ah XIII yaitu surat at–Tin, al–
‘Alaq, al-Qadr, al–Bayyinah dan az–Zalzalah. Al–Majmu‘ah XIV terdiri dari surat al–
‘Adiyat, al-Qari‘ah dan at–Takatsur. Kelompok terakhir al-Majmu‘ah XV meliputi
surat al-‘Asr, al– Humazah, al–Fil, Quraish, al– Ma’un, al–Kautsar, al–Kafirun, an–
Nasr, al–Lahab (al-Masad), al– Ikhlas, al–Falaq dan an–Nas.

Pembagian seperti ini merupakan suatu cara bagi Sa‘id Hawa menyajikan susunan surat
dengan pertimbangan melihat aspek munasabahnya.

1.3 Metode Tafsir Sa‘id Hawa


Rangkaian metode penafsiran Sa’id Hawwa dapat dirumuskan sebagai berikut :

• Pertama, menampilkan beberapa ayat sesuai kelompok munasabahnya.


Beberapa ayat tersebut bisa tergabung dalam satu maqtha’ dengan beberapa faqrahnya.
Pada setiap surat terlebih dahulu dijelaskan keberadaan surat tersebut baik menyangkut
identifikasi surat, tema surat, hubungan dengan surat lain atau kandungan surat secara global.
Biasanya disini ditampilkan riwayat bila menyangkut sebab turun dari suatu surat.
• Kedua, Menafsirkan ayat.
Bentuk penafsiran yang dikemukakan Sa’id Hawwa mengenai ayat yang sudah disusun
dalam kelompok ayat yaitu dengan menjelaskan makna secara umum atau memberikan
pengertian secara global kemudian menerangkan pengertian teks ayat ( makna harfi ) dengan

8
tinjauan bahasa serta uslub ayat. Dalam hal ini ia sering menggunakan rujukan dari kitab tafsir
an-Nasafi dan Ibnu katsir juga tafsir Sayid Qutb dan al-Alusi. Dengan demikian makna harfi
yang dijelaskan cukup panjang berbeda dengan tafsir Jalalain yang sangat singkat. Penjelasan
makna umum dan makna harfi dengan terlebih dahulu mencantumkan ayat atau potongan ayat
yang ditulis dalam kurung.
• Ketiga, Menjelaskan hubungan susunan ayat ( Munasabah ).
Disini Sa’id Hawwa mengkaji struktur ayat dalam surat. Misalnya hubungan dalam satu
kelompok ayat seperti hubungan kesamaan tema dalam satu maqtha’, atau satu faqrah.
Menerangkan hubungan antar faqrah atau antar maqtha’ bahkan dijelaskan hubungan dengan
ayat lain pada surat yang berbeda.
• Keempat, Menjelaskan hikmah ayat.
Bagian ini dikenal dalam rangkaian penafsirannya dengan fawaid. Dalam poin ini ada
juga dibahas tentang munasabah ayat khususnya hubungan suatu ayat dengan beberapa ayat lain
atau dengan hadis Nabi. Poin ini merupakan penafsiran yang lebih luas dan komprehensif oleh
Sa’id Hawwa dengan memahami ayat berdasarkan konteks.

Demikian langkah dari metode penafsiran Sa’id Hawwa yang lebih banyak menyorot
aspek munasabah dalam tafsirnya. Dua poin terakhir ini merupakan keunggulan dari tafsir Sa’id
Hawwa yang membedakannya dengan mufasir lain baik dari sisi ide ataupun metode.

1.4 Contoh Penafsiran dan Analisis Orientasi Pemikiran Tafsir Said Hawwa
1. Ayat tentang Kalam dan Analisa Orientasi Pemikiran Tafsirnya
Ayat yang kami jadikan contoh dalam pembahasan kalam disini ialah ayat yang berbicara
tentang kebebasan manusia. Sehubungan dengan kebebasan manusia yang merupakan salah
satu poin perdebatan aliran kalam. Perdebatan penafsiran tersebut dapat dilihat dalam
penafsiran ayat 29 surat al-Kahfi.

ْ َّ‫س َرا ِدقُه َْۗا َوا ِْن ي‬


‫ست َ ِغ ْيث ُ ْوا‬ َ ‫ار ۙا اَحَا‬
ُ ‫ط بِ ِه ْم‬ ّٰ ‫ق مِ ْن َّربِ ُك ْۗ ْم َف َم ْن ش َۤا َء َف ْليُؤْ مِ ْن َّو َم ْن ش َۤا َء َف ْليَ ْكفُ ْۚ ْر اِنَّا ٓ ا َ ْعت َ ْدنَا لِل‬
ً َ‫ظلِمِ ْينَ ن‬ ُّ ‫َوقُ ِل ا ْل َح‬
‫س ۤا َءتْ ُم ْرتَفَقًا‬ َ ‫اب َو‬ ُ ْۗ ‫ش َر‬
َّ ‫ْس ال‬ ْ َ‫يُغَاث ُ ْوا ِب َم ۤاءٍ كَا ْل ُم ْه ِل ي‬
َ ‫ش ِوى ا ْل ُو ُج ْو ْۗهَ ِبئ‬

29. Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa
menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah
dia kafir.” Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya
mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi air
seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) minuman yang paling buruk
dan tempat istirahat yang paling jelek.

9
Sa’id Hawwa menjelaskan bahwa manusia bebas memilih apa yang dikehendaki untuk
dirinya, apa mau mengambil jalan menuju keselamatan atau memilih jalan menuju
kehancuran. Kemudian Allah kemukakan ancaman bagi orang yang memilih kekufuran yaitu
neraka dengan api yang bergejolak
Penafsiran Sa’id Hawwa terkait ayat diatas terlihat, manusialah yang menentukan pilihan
hidupnya, bebas menggunakan daya yang ada dalam dirinya. Kalau begitu manusia juga siap
dengan segala akibat yang ditimbulkan seperti mendapat pahala dari pilihan baiknya dan
menerima hukuman atau azab dari pilihan salah yang diambilnya. Kebebasan memilih oleh
manusia muncul dari diri sendiri, bukan Tuhan yang mengarahkan. Pandangan Sa’id Hawwa
diatas ada kesejalanan dengan paham Mu’tazilah bahwa perbuatan manusia diwujudkan oleh
manusia sendiri yang bebas menentukan pilihan. Walaupun penafsiran Sa’id Hawwa tentang
ayat tersebut cenderung ke aliran Mu’tazilah namun ia tidak menyebut bahwa ia mengikuti
Mu’tazilah. Artinya ia tidak mempersoalkan antara Mu’tazilah atau Asy’ariyah tentang
penafsiran ayat – ayat kalam. Sama halnya ketika ia menafsirkan ayat 96 ash- Shaffat ( 37 )
tentang perbuatan manusia juga.

َ‫ّٰللاُ َخلَقَكُمۡ َو َما ت َ ۡع َملُ ۡون‬


ّٰ ‫َو‬

“Dan Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.”
Sa’id Hawwa menjelaskan, Allah sebagai pencipta ( Khalik ) mu dan pencipta perbuatan
– perbuatanmu ( a’malu kum ), maka mengapa kamu menyembah juga selainNya?
Bila diperhatikan ada kesan Sa’id Hawwa menilai perbuatan manusia diciptakan oleh Allah
seperti yang pernah dikemukakan oleh aliran Asy’ariyah bahwa perbuatan manusia
diwujudkan oleh Tuhan. Berbeda sekali dengan aliran Qadariyah / Mu’tazilah yang
memandang perbuatan manusia diwujudkan oleh daya yang ada pada mereka sendiri bukan
diwujudkan oleh Tuhan.
Terkait penafsiran Sa’id Hawwa terhadap ayat diatas yang cenderung ke paham
Asy’ariyah, Sa’id Hawwa tidak menyebutkan bahwa pendapatnya mengikuti Asy’ariyah atau
mencela aliran Mu’tazilah. Ini merupakan indikator bahwa Sa’id Hawwa tidak tertarik
memperdebatkan persoalan kalam sebagaimana yang populer terjadi diantara mutakallimin.
Melalui penafsiran – penafsiran ayat kalam diatas terlihat Sa’id Hawwa tidak menegaskan
bahwa ia penganut salah satu aliran kalam. Memperhatikan rujukan tafsirnya yang sering
mengutip an – Nasafi seorang pengikut Asy’ariyah bisa digambarkan Sa’id Hawwa bisa
menerima paham Asy’ariyah walaupun ia tidak menyebut aliran tersebut dalam menafsirkan
ayat.

10
Indikator lain yang mendukung pernyataan ini dapat ditelusuri penafsiran Sa’id Hawwa
terhadap surat al Qiyamah ( 75 ) : 22-23.
ٌ‫ إِلَى َربِهَا نَاظِ َرة‬, ٌ‫اض َرة‬
ِ َ‫ُو ُجوهٌ يَ ْو َمئِ ٍذ ن‬
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat.”
Wajah orang mukmin senang karena memperoleh nikmat yaitu melihat Tuhan dengan
mata kepala sendiri. Ia memperkuat pendapatnya dengan mengutip tafsir Ibnu Katsir ketika
menafsirkan nazhirah, ( yaitu tarahu ‘iyanan - ‫ ) تراه عيانا‬melihat dengan mata sendiri.
Disamping itu Ibnu Katsir mengungkapkan sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan Bukhari
mengatakan Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu dengan mata sendiri. Penafsiran
Sa’id Hawwa tentang ayat melihat Tuhan sejalan dengan yang dipegang oleh paham
Asy’ariyah bahwa setiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat, Tuhan berwujud karena
itu dapat dilihat. ( Ibanah . h. 76 ).
Pandangan Sa’id Hawwa dalam hal ini sangat berbeda dengan yang dipegang oleh aliran
Mu’tazilah yang mengatakan Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Surat al-Qiyamah diatas
mengenai kata nazhirah menurut Mu’tazilah bermakna menunggu. Jadi orang mukmin
menunggu pahala dari Tuhannya. Alasan lain adalah Tuhan tidak mengambil tempat karena
itu tidak bisa dilihat sebab yang dapat dilihat hanyalah sesuatu yang mengambil tempat.
Pendapat Mu’tazilah ini sejalan dengan paham mereka yang meniadakan sifat tajassum (
antropomorfisme ) pada Tuhan. Setentangan sifat Tuhan-berbeda dengan pandangan diluar
Mu’tazilah-bagi mereka ( aliran mu’tazilah ), Tuhan mengetahui dengan pengetahuan
sedangkan pengetahuan itu adalah zatNya sendiri. Walaupun berbeda pemahaman dengan
Mu’tazilah, Sa’id Hawwa dalam tafsirnya tidak menyebut paham Mu’tazilah atau Asy’ariyah
yang menjadi dasar pemikirannya. Namun demikian dari penafsirannya terkait ayat diatas
membuktikan secara implisit Sa’id Hawwa bukanlah pengikut aliran Mu’tazilah.
Penafsirannya menyangkut ayat-ayat yang bernuansa kalam tidak pula secara tegas ia
mengikuti pandangan Asy’ariyah. Artinya Sa’id Hawwa tidak terikat dengan aliran-aliran
kalam yang berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa Sa’id Hawwa tidak memberikan
perhatian besar kepada wacana pemikiran kalam dalam tafsirnya.
2. Ayat tentang Fiqih dan Analisa Orientasi Pemikiran Tafsirnya
Berkenaan dengan pemikiran fiqh Sa’id Hawwa dalam tafsirnya seperti dijelaskan diawal
bahwa ia tidak terlalu mempersoalkan perbedaan mazhab baik hukum atau teologi / kalam.
Terkait ayat hukum misalnya tentang ayat bersuci, QS. An-Nisa’ (4 ) : 43. “Dan jika kamu
sakit, keadaan musafir atau selesai buang hajat atau lamastumun nisa’, kemudian kamu tidak
11
menjumpai air maka bertayammumlah dengan tanah yang baik.”
Menurut penafsiran Sa’id Hawwa kata lamastumun nisa’ menunjukkan arti bersetubuh. Ini
merupakan pendapat yang kuat dikalangan para mufasir, sebagaimana Ibnu Katsir juga
berpendapat demikian. Mengenai tafsiran tentang tanah yang baik, disini Sa’id Hawwa
menjelaskan pendapat dari berbagai ulama mazhab seperti menurut Imam Malik, Sha’idan
termasuk tanah padat, pasir, pohon, batu, tumbuhan ( nabat ) artinya secara umum benda
yang berada dimuka bumi. Hampir sama dengan itu pendapat mazhab Hanifah, termasuk jenis
tanah seperti pasir, kapur ( tanah kapur ).Sedangkan menurut mazhab Syafe’i dan Hanbali
yang dimaksud sha’idan adalah tanah saja.
Disini Sa’id Hawwa tidak menegaskan, Ia mengikuti salah satu pendapat tersebut. Namun
yang jelas ia terbuka dalam masalah perbedaan mazhab dan tidak terlalu mempersoalkan
perbedaan-perbedaan dalam pemikiran keislaman baik yang terlihat juga ketika menyikapi
persoalan kalam. Sa’id Hawwa tampaknya mengemukakan dalam penafsirannya pandangan-
pandangan yang menurutnya sesuai dengan pemikirannya, tidak harus terikat dengan salah
satu mazhab pemikiran apalagi fanatik dengan kelompok tertentu. Melihat cara Sa’id Hawwa
mengungkapkan pendapat dari berbagai aliran, seperti persoalan kalam Sa’id Hawwa tidak
menyebut nama aliran kalam ketika menafsirkan ayat yang terkait masalah tersebut.
Sementara itu menyangkut persoalan fiqh, dikemukakan berbagai pandangan serta nama
mazhabnya.
Dengan demikian bertambah jelas bahwa Sa’id Hawwa tidak mau berpolemik masalah
perbedaan mazhab. Apalagi ia sering mengemukakan perbedaan pandangan mazhab tersebut
dengan menyandarkan kepada berbagai kitab tafsir sebagai rujukan utama yaitu Ibnu Katsir
dan an-Nasafi. Hal ini menunjukkan ia sepaham dengan aliran yang dianut oleh kedua mufasir
tersebut. Suatu pendapat yang dikemukakan oleh seseorang dalam uraiannya dan ia tidak ada
persoalan berarti ia setuju dengan pendapat tersebut.
Contoh lain, menyangkut persoalan haid sebagaimana tercantum dalam surat al- Baqarah
(2) ; 222.
َّ‫طه َّْرنَ َفأْت ُْوهُن‬
َ َ ‫َو ََل ت َ ْق َربُ ْوهُنَّ َحتّٰى يَ ْط ُه ْرنَ ْۚ َف ِاذَا ت‬
“Janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka itu suci, bila mereka telah suci maka
campurilah …”
Ayat diatas berkaitan dengan waktu suci, ditafsirkan oleh Sa’id Hawwa bahwa bolehnya
mencampuri isteri yaitu bila selesainya haid dan telah mandi wajib atau bertayammum bila
ada uzur. Disamping itu, ia juga mengemukakan pendapat Ibnu Katsir dimana ulama sepakat
kecuali Abu Hanifah bahwa wanita yang sudah selesai haid tidak halal dicampuri sebelum
12
mensucikan diri dengan mandi. Adapun menurut Abu Hanifah bila wanita telah selesai haid
sudah boleh dicampuri. Bagi wanita yang masa haidnya 10 hari bila berhenti haidnya kurang
dari 10 hari diwajibkan mandi sebelum bercampur. Berdasarkan keterangan Sa’id Hawwa
terkait ayat tersebut dalam tafsirnya terlihat berbagai pendapat di kemukakannya dan ia tidak
secara tegas menyatakan ikut pada mazhab tertentu. Kalau diperhatikan penafsirannya
mengenai kata yath-hurna ia sependapat dengan Ibnu Katsir.
Pada penjelasan berikutnya, ditambahkan oleh Sa’id Hawwa untuk membuktikan wanita
betul-betul selesai haidnya yaitu dengan cara memasukkan kapas kedalam farajnya. Jika
kapas tersebut dikeluarkan dari faraj masih bersih tanpa ada noda berarti suci. Penjelasan
Sa’id Hawwa ini mengulas dari pandangan Abu Hanifah tentang berhentinya haid sebagai
tanda suci. Disini sangat nyata bahwa Sa’id Hawwa tidak fanatik kepada mazhab fiqh tertentu
walaupun dari penafsirannya boleh dikatakan cenderung ke mazhab Hanafi. Bila dikatakan
Sa’id Hawwa terpengaruh dengan mazhab Hanafi sebagaimana terlihat dalam tafsirnya sangat
mungkin terjadi karena an-Nasafi sebagai rujukan pokok dalam tafsirnya merupakan pengikut
mazhab Hanafi dan berpaham teologi Asy’ariyah.
3. Ayat tentang Tasawuf dan Analisa Orientasi Pemikiran Tafsirnya
Ajaran tasawuf yang sempat dikritik oleh Sa’id Hawwa ialah mengenai konsep ittihad
tasawuf falsafi yang menyatakan kedekatan Tuhan dengan manusia sampai membentuk
kesatuan. Berdasarkan ini mereka sufi falsafi memperkuat keyakinan mereka akan konsep
ittihad sebagai hal dalam jalan tasawuf. Ayat yang dijadikan dasar adalah surat Qaf (50 : 16).
ُ ‫س ٗه َۖونَ ْح ُن ا َ ْق َر‬
‫ب اِلَ ْي ِه مِ ْن َح ْب ِل ا ْل َو ِر ْي ِد‬ ُ ‫س بِ ٖه نَ ْف‬ ْ ‫سانَ َونَ ْعلَ ُم َما ت َُو‬
ُ ‫س ِو‬ ِ ْ ‫َولَقَ ْد َخلَ ْقنَا‬
َ ‫اَل ْن‬
“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.”
Ibnu Arabi, misalnya memaknainya bahwa tidak ada jarak antara juzu dengan kulli.
Hubungan antara juzu dengan sesuatu yang disaksikan sehingga membentuk bergabungnya
dua unsur yang mulia dalam Ittihad hakiki.
Menurut Sa’id Hawwa, ketika menafsirkan ayat itu dinyatakan bahwa yang dekat dengan
manusia dalam ayat itu adalah malaikat bukan Allah seperti yang dipahami oleh penganut
konsep ittihad atau hulul. Kalau Allah yang dimaksud seharusnya secara tegas dinyatakan
dengan lafaz ana ( aku ); 22[. ‫ ]أنا أقرب إليه من حبل الوريد‬Dalam ayat disebutkan dengan lafaz
nahnu maka untuk memaknainya dipahami dulu pengertian lahirnya. Secara lahiriyah makna
nahnu umumnya menyangkut berbagai pihak, dalam hal ini pengertian nahnu tidak mutlak
ditujukan kepada Allah.
Ditambahkan oleh Sa’id Hawwa, posisi malaikat atau pihak lain yang dimaksud ayat yaitu
13
dengan melihat korelasi pada ayat lain. Pada ayat 18 surat Qaf dijelaskan bahwa ada dua
malaikat yang mengawasi manusia tentu merekalah yang selalu “ menempel “ dimanapun
berada. Ayat lain yang memperkuat alasannya yaitu tentang pemeliharaan Alquran.
‫إنا نحن نزلنااذكروإناله لحافظون‬
Kata nahnu dalam ayat ini ditafsirkan bahwa ada keterlibatan pihak lain yang ikut menjaga
Alquran disamping Allah sendiri. Kami yang menurunkan Zikra; malaikat yang mewahyukan
Alquran kepada Nabi, kami juga akan menjaganya. Dengan demikian bisa di bandingkan
pemakaian ungkapannya.[23] Menurut para ulama yang ikut memelihara keberadaan Alquran
termasuk malaikat dan para penghafal Alquran.
Tampak disini, penafsiran Sa’id Hawwa terhadap ayat tasawuf masih memegang makna
zahir ayat disamping mencari makna isyarinya. Dengan begitu, corak tasawuf Sa’id Hawwa
bisa dikatakan berbeda atau malah menyangkal pendapat kelompok para sufi falsafi.
Pemahaman Sa’id Hawwa ini menggunakan takwil dekat yang masih mempertahankan
makna zahir ayat. Kalau bagi kelompok tasawuf falsafi menakwilkan ayat dengan takwil jauh
dibalik pengertian lafaz.
Dari penafsiran Sa’id Hawwa diatas dapat ditegaskan bahwa Ia tidak termasuk pengikut
aliran falsafi dalam paham tasawuf. Akan tetapi ia mengikuti aliran tasawuf amali yang dalam
kategori penafsiran disebut dengan tafsir sufi isyari dimana menafsirkan ayat dengan tetap
memperhatikan makna zahir disamping makna isyari.

14
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

B. KRITIK dan SARAN


Kami penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik saran yang sifatnya membangun
demi kesempurnaan makalah ini untuk masa yang akan datang.

15
DAFTAR PUSTAKA

Asy Syaikh Muhammad Sholih Al Utsaimin Rahimahullah, “Dasar-dasar Ilmu Tafsir Al-
Qur’an”, (Yogyakarta : Warosatul Anbiya’ Press, 2015).
Failasufatunnnisa, “Studi Kitab “Al-Asas Fi At Tafsir Al-Qur’an” Said Hawa”,
https://tentangquran.wordpress.com/2014/01/02/studi-kitab-al-asas-fi-at-tafsir-al-
quran-said-hawa/, Diakses pada 23 Agustus 2021.

16

Anda mungkin juga menyukai