Anda di halaman 1dari 10

USHUL AN-NAHWI AL-ARABY (LANDASAN ILMU NAHWU) QIYAS DAN ISTISHAB

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH USHUL AN-NAHWI WA AS-


SHORFI

OLEH

KUSNIADIN (80400222010)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB PASCASARJANA UIN ALAUDDIN


MAKASSAR 2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Puji syukur atas rahmat Allah SWT,


berkat rahmat serta karunia-Nya sehingga makalah dengan berjudul Ushul An-Nahwi Al-Araby
(Landasan Ilmu Nahwu) Qiyas Dan Istishab. Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas
mata kuliah Ushul An-Nahwi Wa As-Shorf Semester 2 dari ibu Dr. Asriyah, M.Pd.I.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih berkat tugas yang diberikan ini, karena dapat
menambah wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan
terima kasih yang sebesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan
makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketidaksempurnaan yang
pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran dari
pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Selayar, 1 mei 2023

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ushul nahwi dapat dikatakan sebagai pondasi tata bahasa Arab. Kedudukannya
terhadap nahwu sama seperti kedudukan ushul fiqh terhadap fiqh. Yang pertama
meletakan landasan bagi yang kedua. Kedudukan keduanya bisa dianggap lebih tinggi
daripada nahwu atau fiqh, tetapi ushul nahwu tetap bersifat khusus karena berkaitan
dengan bidang yang spesifik yaitu, tata bahasa Arab (nahwu).
Ilmu nahwu adalah disiplin ilmu yang bertujuan untuk dapat memahami teks-teks
berbahasa Arab, ilmu nahwu dikodifikasi oleh Imam Abu Aswad alDu’aly atas instruksi
Imam Ali bin Abi Thalib saat beliau menjabat sebagai khalifah. Ide ini dilatar belakangi
oleh beberapa faktor diantaranya faktor agama dan faktor sosial budaya. Dari faktor
agama, nahwu memiliki tujuan untuk menjaga al-Qur’an dari kesalahan (lahn). Dari
faktor sosial budaya sesungguhnya bahasa tidak dapat dipisahkan dari realitas kehidupan
manusia. Bahasa berkembang sesuai dengan berkembangnya kebudayaan manusia itu
sendiri.1
sejarah munculnya ilmu nahwu disebutkan bahwa khalifah Ali beserta para tokoh
bahasa Arab dan al Qur’an telah menyusun sedikit demi sedikit teori ilmu nahwu yang
merupakan cikal bakal munculnya ilmu nahwu. Selanjutnya ilmu nahwu berkembang
tahap demi tahap sehingga menjadi suatu ilmu yang sempurna yang mengkaji tata bahasa
Arab dan menjadi unsur penunjang bagi siapa saja yang mempelajari bahasa Arab fusha
baik dari orang Arab sendiri mapun dari orang non Arab. Ushul nahwi sangat penting
dipelajari oleh para pembelajaran bahasa Arab, karena ia merupakan landasan dan
epistemologi nahwu. Dalam ushul nahwi dibahas mengenai sumber-sumber, dalil-dalil
dan prinsip penemuan nahwu serta mengkaji berbagai perbedaan pendapat di kalangan
ulama.2

B. RUMUSAN MASALAH
1
Ummi Nurun Ni’mah, Qiyas sebagai sebuah Metode dalam Nahwu, jurnal Adabiyat :( jurnal bahasa dan
Sastra, 2008) hal.5
2
M. Thoriqussua, al Sama‟ Kajian Epistemologi Ilmu Nahwu, Jurnal Pusaka, (jurnal al Qolam.ac.id, ed.
5., 2015). Hal. 7
1. Apa pengertian qiyas?
2. Apa pengertian istishab?
3. Apa macam-macam qiyas dalam ushul nahwu dan shorf?
4. Apa macam-macam istishab dalam ushul nahwu dan shorf?

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN QIYAS
Secara etimologi, qiyas berasal dari bahasa Arab. Merupakan bentuk masdar dari
kata (‫اس‬DDD‫ ق‬, ‫يقيس‬, ‫ا‬DDD‫)قياس‬. Kata tersebut memiliki arti membandingkan, mengukur,
menyamakan dan menganalogikan. Dengan kata lain, memiliki arti “mengukur sesuatu
melalui sesuatu lainnya”. meng-qiyaskan memiliki arti menyamakan atau mengira-
ngirakan sesuatu melalui sesuatu yang lain. Secara terminologis, menurut seorang ulama
ushul fiqh pengertian qiyas adalah menyamakan sesuatu yang hukumnya tidak nas.
Akan disamakan dengan sesuatu yang ada nash hukumnya, sebab ada sebuah
persamaan ‘illat hukum.
Pengertian qiyas dalam ushul nahwi adalah mengikuti orang Arab tentang metode
berbahasa mereka, membawa bahasa kita kepada bahasa mereka dalam hal sumber
materi bahasa serta cabang-cabangnya, pengucapan huruf serta cara menyusun kata-kata
dan lain sebagainya. Para linguis sepakat bahwa yang pertama kali menggunakan qiyas
dalam ilmu nahwu adalah Abdullah bin Abi Ishaq al-Hadhromain, kemudian baru
diteruskan oleh al-Khalil dan Sibawaih. Selanjutnya qiyas mengalami perkembangan
dan setelah Sibawaih kaidah qiyas semakin sempurna, sebagaimana yang dilakukan oleh
Abi Ali al-Farisi3
B. MACAM-MACAM QIYAS
1. Qiyas terapan (‫)القياس االستعمالي‬.
Adapun yang dimaksud dengan qiyas istim’al yaitu proses peniruan yang
dilakukan oleh orang non Arab (ghair al-manqul) terhadap pengguna bahasa Arab
Asli/fusha (al-manqul). Contoh kita merafakan fail dan menasabkan maf’ul pada saat
mengucapkan kalimat dalam bahasa Arab, hal itu tentu saja tidak dapat dilakukan tanpa
adanya proses peniruan dari al-manqul sebagai sumber, ke ghair al-manqul sebagai
imitasi. Maka qiyas dalam makna isti’mal adalah proses peniruan terhadap bagaimana
orang Arab berbicara (berkaitan dengan tehnik) sehingga seseorang mampu berbicara
sebagaimana orang Arab asli berbicara, baik dalam penyusunan kalimat, pembentukan
kata dan lain-lain. Berdasarkan pengertian ini, maka qiyas membutuhkan dua hal berikut
ini:

3
D. Hidayat, al ushul, Dirasat Estimologi li nahwi, fiqh lughah wa balaghah , 2008, hal. 25
Pertama, Mengetahui dengan pasti siapa yang dimaksud dengan orang Arab yang kita tiru
bahasanya dan dijadikan sebagai sumber rujukan, dan yang kedua, Mengetahui secara
pasti bahasa Arab yang dijadikan sebagai sumber qiyas, apakah bahasa yang telah
disepakati oleh qabilah-qabilah Arab atau bahasa yang masih menimbulkan perdebatan
dan dianggap syadz (menyalahi qaidah).
2. Qiyas teoritis (al-qiyas al-nahwi).
Qiyas ini berkaitan dengan masalah-masalah atau teori-teori yang terdapat dalam
kaidah bahasa Arab. Dalam menjelaskan qiyas ini, penulis buku al-Qiyas fi al-Lughah al-
Arabiyah mengutip dari apa yang disampaikan al-Anbari, bahwa qiyas adalah “
menggiring cabang (furu’) ke dalam sumber (ashl) karena alasan tertentu, dan selanjutnya
menerapkan hukum asal ke dalam furu’
(‫رع‬DD‫ل على الف‬DD‫راء حكم األص‬DD‫ وإج‬،‫ة‬DD‫ل بعل‬DD‫رع على أص‬DD‫ل ف‬DD‫)حم‬. Sebagai contoh, (‫ة للجنس‬DD‫)ال النافي‬
menasabkan ism dan merafakan khabar, karena diqiyaskan pada (‫)إن‬, dengan alasan
adanya persamaan illah antara keduanya, yakni sama-sama berfungsi sebagai taukid. (‫)ال‬
digunakan sebagai taukid pada kalimat negatif, sedangkan (‫ )إن‬digunakan sebagai taukid
pada kalimat positif.4
C. PENGERTIAN ISTISHAB
al-Istishab secara terimologi berasal dari kata “istashhaba” dalam sighat istif’al (
‫ ( استفعال‬yang bermakna ‫ الصحبة استمرار‬kalau kata ‫ الصحبة‬diartikan dengan teman atau
sahabat dan ‫ استمرار‬diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara etimologi
artinya selalu menemani atau selalu menyertai. pengertian al-istishhab menurut Hasby
Ash-Shiddiqy adalah Mengekalkan apa yang sudah ada atas keadaan yang telah
ada,karena tidak ada yang mengubah hukum atau karena sesuatu hal yang belum di
yakini.
Istishab terjadi pada suara, kata dan kalimat. Terdapat dua bagian dalam istishab
yaitu, pertama, Asl al-Wadh‟i (makna asal) atau disebut juga kaidah asli, kedua, al-udul
(lafadz yang dikembalikan ke kaidah asli). Contohnya adalah kaidah asli dalam kalimat
bahasa Arab bahwa kalimat terdiri dari mubtada’ khabar untuk jumlah ismiyah dan
terdiri dari fi‟il dan fail untuk jumlah fi‟liyah. Selanjutnya dalam kalimat boleh al-udul
(tidak mengikuti kaidah dasar) dengan syarat tetap menjaga manfaatnya dan tidak

4
Muhammad Hasan Abd al-Aziz, al-Qiyas fi al-Lughah al-Arabiyah, hal. 100
membingungkan. Contoh lainnya adalah kaidah rafa al-fa‟il dan mubtada‟ serta
mendahulukan mubtada‟ dari khabar, boleh al-udul (penyimpangan dari kaidah asal)
dengan tetap menjaga manfaatnya dan tidak membingungkan. Al-udul ada yang tetap
dan tidak tetap. al-udul yang tidak tetap ahli nahwu menyebutnya dengan syadz,
dhoruroh, qalil, nadir atau salah.
Kalimat yang mengikuti kaidah asal tidak pernah diperselisihkan oleh ahli nahwu,
dan ahli nahwu tidak harus mendatangkan syawahid (saksi) terdapat ketentuan ism fa‟il
marfu‟ dan mubtada ma‟rifah karena hal ini merupakan kaidah dasar. Syawahid (bukti)
dibutuhkan dari al Qur’an, hadits atau perkataan orang Arab terhadap persoalan nahwu
yang mana terdapat udul yang bertentangan dengan kaidah dasar. Ahli nahwu
mengatakan bahwa istishab adalah dalil yang paling lemah.5
D. MACAM-MACAM ISTISHAB
1. ashl al-Wadh'i
tegas Tamam Hasan dikategorisasikan al-ittija>h Vol. 10 No. 02 (Juli-Desember
2018) 58 menjadi tiga, yaitu (1) terjadi pada harf; (2) terjadi pada kata (Isytiqaqiyah dan
Tarkibiyah); dan (3) terjadi pada kalimat. Alsh al-Wad'i yang terjadi pada harf bahwa
pakar nahwu mengaitkan prinsip peletakan huruf melalui ide rasa huruf, untuk mencapai
itu---tegas al-Khalil dan Imam Sibaweh---memberi harakat huruf dengan tanda sukun
setelah hamzah maksurah, yang menjelaskan tempat keluar huruf dan sifatnya yang
menggambarkan (ashl).
2. Ashl al-Qa'idah
Adalah kaidah-kaidah nahwu yang telah disebutkan di atas dalam aktualisasinya
terhadap restriksi dan ramifikasi seperti kaidah merafa'kan fa'il, naib al-fa'il, al-mubtada',
taqdim al-fi'il 'ala al-fa'il, taqdim al-maushul 'ala shilatihi, dan iftiqar al-harf ila
madkhulihi. Kaidah asli yang paling besar adalah kaidah utilitas, dan berikutnya adalah
aktualisasi konteks seperti al-I'rab, alRatbah, al-Tadham…dan lain-lain.
3. al-Udhul 'an Ashl al-Qa'idah
Al-Udhul 'an ashl al-Qa'idah sesungguhnya bisa terjadi pada 3 aspek, yaitu al-
udhul pada huruf, kata dan kalimat. al-Udhul yang terjadi pada huruf akan mengalami
perubahan pada sektor asal keluarnya huruf atau sifatnya, akan tetapi membayangi intuisi

5
D. Hidayat, al ushul, Dirasat Estimologi Li Nahwi, Fiqh Lughah Wa Balaghah, 2008, Hal. 23
al-kalam terkait dengan originalitas, kendati bertentangan dengan asimilasi lisannya. Dari
term ini dapat diperhatikan perbedaan antara originalitas dan ramifikasitas dalam
pengucapan huruf "nun" pada kata "naama", huruf "qaaf" pada kata "qaama", huruf
"shad" pada kata "shaama", huruf "ra" pada kata "raama", dan huruf "lam" pada kata
"laama".
4. al-Rad ila al-Ashli/Ta'wil
Kajian tentang al-Rad ila al-Ashli/Ta'wil terdiri dari 2 dimensi, yaitu al-Rad ila
alAshli/Ta'wil pada huruf, dan kata. Pengertian pertama, bahwa terjadi penyimpangan
pembicara terhadap prinsip-prinsip bunyi bahasa terhadap cabang-cabangnya, karena
prinsip-prinsip itu tidak diucapkan, akan tetapi yang diucapkan itu adalah bunyi-bunyi
bahasa, yaitu cabangcabangnya. Dan Penulis sesungguhnya bukan merupakan simbol
tulisan terhadap bunyi-bunyi bahasa yang diucapkan, yaitu banyak divisionalnya, akan
tetapi penulis itu merupakan simbol terhadap term prinsip-prinsip huruf.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara etimologi, qiyas berasal dari bahasa Arab. Merupakan bentuk
masdar dari kata (‫ قاس‬, ‫يقيس‬, ‫)قياسا‬. Kata tersebut memiliki arti membandingkan,
mengukur, menyamakan dan menganalogikan. Dengan kata lain, memiliki arti
mengukur sesuatu melalui sesuatu lainnya. Qiyas terdiri dari 2 macam yaitu qiyas
terapan dan teoritis.
al-Istishab secara terimologi berasal dari kata “istashhaba” dalam sighat
istif’al (‫ ( استفعال‬yang bermakna ‫ الصحبة استمرار‬kalau kata ‫ الصحبة‬diartikan dengan
teman atau sahabat dan ‫ استمرار‬diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab
secara etimologi artinya selalu menemani atau selalu menyertai. pengertian al-
istishhab menurut Hasby Ash-Shiddiqy adalah Mengekalkan apa yang sudah ada atas
keadaan yang telah ada,karena tidak ada yang mengubah hukum atau karena sesuatu
hal yang belum di yakini. Istishab ada 4 macam yaitu ashl al-wadh'i, ashl al-qa'idah,
al-udhul 'an ashl al-qa'idah, dan al-rad ila al-ashli/ta'wil.
B. SARAN/KRITIK
Dalam makalah ini tentunya sudah pasti ada kekurangannya baik dari segi
kaidah penulisan maupun isi dari makalah itu sendiri. Oleh karena itu saran/kritik
dengan senang hati akan diterima.

DAFTAR PUSTAKA
Ummi Nurun Ni’mah, Qiyas sebagai sebuah Metode dalam Nahwu, jurnal Adabiyat, jurnal
bahasa dan Sastra, 2008
M. Thoriqussua, al Sama‟ Kajian Epistemologi Ilmu Nahwu, Jurnal Pusaka, jurnal al
Qolam.ac.id, ed. 5., 2015
D. Hidayat, al ushul, Dirasat Estimologi li nahwi, fiqh lughah wa balaghah , 2008,
Muhammad Hasan Abd al-Aziz, al-Qiyas fi al-Lughah al-Arabiyah,

Anda mungkin juga menyukai