Anda di halaman 1dari 21

KEGIATAN BELAJAR 1:

ILMU NAHWU DAN POLA KALIMAT DASAR

CAPAIAN PEMBELAJARAN, SUB CAPAIAN


PEMBELAJARAN

Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Mengidentifikasi takrif ilmu nahwu, objek kajiannya, dan urgensinya, serta pola struktur / kalimat dasar.

Sub capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Menjelaskan definisi ilmu nahwu, objek kajiannya, dan urgensinya
Menjelaskan pola kalimat dasar dalam bahasa Arab.

URAIAN MATERI

A. Ilmu Nahwu dan Urgensinya

Kata nahwu ditinjau dari bahasa adalah bentuk mashdar dari kata ‫ نحا‬- ‫ينحو‬, yang artinya
menuju, arah, sisi, seperti, ukuran, bagian, dan tujuan (Ma’luf, 1986: 796). Kata “Nahwu” ( ‫و˚ ْح‬
‫)ن ال‬,
َ menurut Mar’i bin Yusuf bin Abi Bakr bin Ahmad al-Karami al-Maqdisi al-Hanbali (1033 H),
penulis Dalîl al-Thâlibîn li Kalâm al-Nahwiyyîn, memiliki beberapa arti, yaitu:

1. ‫( د˚ الَقص‬sengaja/maksud)

.2 ‫) َا ْل ِم ْق َدا ˚ر‬ukuran/takaran (

.3 ˚‫) ا ْل ِج َهة‬arah (

4. K‫( ل˚ ِمثْ ْل َا‬padanan/seperti/contoh)

5. ‫˚ع‬
‫) النَّ ْو‬jenis(
6. ‫ض‬ ‫) ال َب ْع‬sebagian(
1
Secara umum, kata “nahwu” berarti contoh. Hal ini tampak pada ulasan-ulasan dalam
ilmu nahwu yang selalu menyertakan contoh. Misalnya, dalam satu kaidah nahwu, akan
ditampilkan banyak contoh yang sesuai dengan kaidah, sehingga orang yang menguasai suatu
kaidah dalam ilmu nahwu pun mampu membuat contoh-contoh dari kaidah tersebut. Selain itu,
dikisahkan bahwa Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib r.a. memerintahkan Abu al-Aswad al-Du’ali untuk
menyusun secara sistematis kaidah-kaidah bahasa Arab sambil berkata: "“‫ذا انح‬KK‫و ه‬KK‫ ;النح‬unhu
hâdzan nahwa!” (ikutilah yang semisal ini)". Dari perkataan ‘Ali bin Abi Thalib r.a. tersebut,
tercetuslah istilah “nahwu”.

Para ahli nahwu dan tata bahasa Arab, seperti Ibnu Malik, Ibnu ‘Aqil, dan al-Ghalayaini,
mendefinisikan ilmu nahwu atau sintaksis Arab sebagai pengetahuan yang membahas tentang
berbagai kaidah (ushûl) yang berkaitan dengan perubahan (i‘râb) atau ketetapan (binâ’) akhir
kata dalam struktur kalimat. Perubahan akhir kata ini, biasanya pada bunyi harakatnya atau
hurufnya, disebabkan oleh ‘âmil (faktor) yang mempengaruhinya. Menurut al-Thanthawi, ilmu
nahwu ialah ilmu yang membahas keadaan setiap akhir kata dalam struktur kalimat, baik yang
mu’rab (berubah) atau yang mabnî (tetap).

Dalam tinjauan linguis terkini, perubahan tersebut berkaitan dengan fungsi-fungsi kata
dalam struktur/kalimat. Perubahan akhir kata, baik pada bunyinya (harakatnya) maupun
konsonannya (hurufnya), karena perbedaan fungsi kata di dalam struktur kalimat atau adanya
‘âmil (faktor) yang mempengaruhinya disebut dengan i’râb. Karena itu, ilmu nahwu juga disebut
ilmu I’râb (‫)اإلعراب علم‬. Ilmu nahwu disebut juga dengan “qawâ‘id al-lughah al-‘arabiyyah” (kaidah-
kaidah tata bahasa Arab).

Ilmu nahwu merupakan salah satu bidang ilmu bahasa Arab yang mengkaji struktur
kalimat yang menjadi unsur terpenting dalam memahami bahasa. Ilmu nahwu membahas
tentang kaidah- kaidah yang mengatur tentang perubahan (i’râb) atau penetapan (binâ’) pada
bunyi akhir struktur kata (kalimah) berbahasa Arab. Penetapan bunyi akhir kata diatur dalam
kaidah tentang binâ’. Kata yang akhirnya selalu tetap (tidak berubah dalam kalimat apa pun)
disebut dengan mabnî. Sedangkan, perubahan bunyi akhir kata (kalimah) diatur dalam kaidah
i‘râb yang terdiri atas rafa’ (marfu‘), nashab (manshûb), jar (majrûr), atau jazm (majzûm).

Dengan kata lain, ilmu nahwu membahas tentang kaidah-kaidah dan dasar-dasar untuk
mengetahui keadaan suatu kata apakah ia termasuk dalam kategori i’rab (mu‘rab) atau bina’
(mabnî). Apabila kata tersebut mabnî, maka apa tanda bina‘-nya (tetapnya). Apabila kata
tersebut mu’rab, maka apa tanda i’rab-nya (perubahannya). Namun, pembahasan yang paling
dominan

2
dalam ilmu nahwu adalah i’râb karena mayoritas kata bahasa Arab adalah mu’rab (berubah
akhirnya). Para ahli nahwu mentakrifkan i’râb sebagai berikut.

.‫اإلعراب هو تغيير أواخر الكلم الختالف العوامل الداخلة عليها فل ظا أو تقديرا‬

Artinya: "i'râb ialah perubahan pada akhir kata yang disebabkan oleh perbedaan 'amil (faktor)
yang masuk ke kata tersebut, baik perubahan itu nyata (tampak) maupun tidak nyata
(diperkirakan)".

Secara umum, objek kajian ilmu nahwu adalah semua kata bahasa Arab yang tersusun
di dalam struktur kalimat ditinjau dari perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhinya atau
fungsi kata tersebut di dalam kalimat. Para ahli nahwu sepakat untuk mengatakan sebagai
berikut.

.‫ الكلمات العربية من حيث اختالف أحوال الداخلة عليها في حال تركيبها‬:‫وموضوعه‬

Dari ungkapan tersebut, dapat diketahui bahwa semua kata bahasa Arab yang tersusun di
dalam struktur kalimat selalu berkaitan dengan aturan/kaidah ilmu nahwu. Artinya, ketika kita
membaca suatu teks, misalnya ayat Al-Quran, maka kaidah ilmu nahwu selalu hadir
bersamanya. Sebagai contoh, di dalam ayat pertama Surah Al-Fâtihah,
“bismillâhirrahmânirrahîm” terdapat kaidah- kaidah nahwu: jârr wa majrûr, idhafah, dan na‘at-
man‘ut/shifah-maushuf. Sedangkan dalam ayat kedua Surah Al-Fâtihah, “alhamdu lillâhi
Rabbil-‘âlamîn”, terdapat kaidah nahwu: mubtada wa khabar, jârr wa majrûr, dan idhâfah.

Tujuan dan manfaat pembelajaran ilmu nahwu ialah menjaga otentisitas bahasa Arab,
khususnya Al-Quran dan hadis Nabi Saw., dari aspek-aspek interferensi bahasa, seperti
kesalahan penggunaan kaidah bahasa terstandar dan kekeliruan tuturan yang mengakibatkan
kesalahpahaman antara penutur dan petutur serta kekacauan sistem linguistik. Para ahli nahwu
mengungkapkannya sebagai berikut.

‫ ومخاطبة العرب بعضهم‬- ‫ صلى هلال عليه وسلم‬- ‫ االحتراز عن الخطأ في اللسان واالستعانة على فهم معاني كالم هلال ورسوله‬:‫وفائدته‬
.‫لبعض‬

Seorang guru bahasa Arab di Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs),
dan Madrasah Aliyah (MA) atau yang sederajat, dituntut untuk mengusai kaidah-kaidah tata
bahasa di dalam ilmu nahwu, minimal kaidah dasar. Sebab, dengan menguasai ilmu nahwu,
seorang guru bahasa Arab telah berperan dalam menjaga keaslian, ketepatan, dan kebenaran
bahasa Al-Quran dan hadis, serta bahasa Arab secara umum, dari aspek-aspek yang merusak
bahasa, seperti interferensi, kesalahan penggunaan tata bahasa, dan kekeliruan penuturan.

3
Adapun para siswa yang belajar bahasa Arab Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah
Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA) atau yang sederajat tidak perlu mempelajari ilmu
nahwu secara khusus. Sebab, pembelajaran bahasa Arab di tingkat satuan pendidikan tersebut
menggunakan bahan ajar yang berorientasi pada sistem pembelajaran terpadu, integrated
system, atau all in one system (nazhariyyah wahdah). Pada sistem ini, bahasa dipandang
sebagai sesuatu yang utuh, dan saling berhubungan, bukan sebagai bagian yang terpisah-
pisah. Oleh karena itu, hanya ada satu mata pelajaran, yaitu bahasa Arab, satu buku teks, satu
evaluasi, dan satu nilai hasil belajar.

Ilmu nahwu atau sintaksis Arab memiliki posisi yang sentral dan utama dalam
pengkajian bahasa. Sebab, dengan ilmu nahwu, kita dapat membedakan mana perkataan,
tuturan, atau struktur kalimat yang benar dan mana pula yang salah atau keliru. Orang yang
menguasai ilmu nahwu (sintaksis) akan mampu menangkap maksud yang tepat dari sebuah
perkataan atau tuturan yang tertulis dalam rangkaian kalimat. Sebaliknya, yang tidak menguasai
ilmu nahwu akan kesulitan dalam memahami maksud dari rangkaian struktur kalimat. Dengan
pemahaman terhadap struktur kalimat tersebut, ia pun dapat memahami makna yang tersurat
dari teks (nashsh). Selanjutnya, apabila penguasaan ilmu nahwu ini ditunjang dengan ilmu
balaghah, semantik, pragmatik, dan analisis wacana, ia pun akan mampu menemukan makna-
makna yang tersirat dan tersembunyi dari teks.

Selanjutnya, penggagas ilmu nahwu secara sistematis adalah Abu al-Aswad al-Du’ali,
seorang tabi’in yang lahir pada masa kenabian dan wafat pada tahun 69 H (670 M) karena
wabah ganas yang menjangkit pada waktu itu. Usianya diperkirakan 85 tahun. Nama aslinya
adalah Zhalim bin ‘Amr, lebih dikenal dengan Abu al-Aswad al-Du’ali. Ia pernah menjadi hakim
(qadhi) di Basrah. Karena kepakarannya dalam bahasa Arab, Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a.
meminta Abu al-Aswad untuk menumuskan kaidah-kaidah ilmu nahwu. Menurut catatan Ibnu
Khallikan dalam Wafayât al-A‘yân, kodifikasi ilmu bahasa Arab dimulai oleh Ali bin Abi Thalib
yang telah menyusun pembagian kalimat, bab inna wa akhawatuhâ, idhâfah, imâlah, ta‘ajjub,
istifhâm, dan sebagainya. Kemudian, Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu al-Aswad ad-Du’ali
untuk mengembangkannya sambil berkata: "“‫ ;النحو هذا انح‬unhu hâdzan nahwa!” (ikutilah yang
semisal ini)". Dari perkataan Ali r.a. tersebut, tercetus pula istilah ilmu nahwu.

Abu al-Aswad al-Du’ali kemudian mengembangkan bahasa Arab dengan motivasi yang
besar, yaitu menjaga kemurnian dan keaslian Al-Quran serta otentisitas bahasa Arab. Pada
masa itu, seperti diwartakan oleh pakar sejarah, Islam telah berkembang ke berbagai negara
sehingga banyak orang asing (‘ajam) atau non-Arab yang memeluk Islam. Mereka pada
umumnya
4
kesulitan dalam membaca mushaf Al-Quran yang masih belum lengkap tanda bacanya serta
belum jelas perbedaan titik pada huruf-huruf yang mirip. Akibatnya, banyak di antara non-Arab
yang salah dalam berbahasa Arab. Dalam istilah Arab, gejala ini disebut dengan “lahn”
(kesalahan bertutur).

Fenomena “lahn” atau kesalahan bertutur dan membaca Al-Quran yang merebak pada
kaum muslimin non-Arab di pertengahan abad pertama Hijriah ini telah menumbuhkan minat
yang besar bagi Abu al-Aswad al-Du’ali untuk menyusun secara sistematis kaidah bahasa Arab.
Bahkan, fenomena “lahn” juga menimpa putri dari sang penggagas ilmu nahwu tersebut.

Dikisahkan bahwa yang membuat Abu al-Aswad al-Du’ali semakin semangat


mengembangkan kaidah tata bahasa Arab adalah pada suatu malam ia berjalan dengan
putrinya,
kemudian putrinya berkata:" “ِ ‫ َما ء َما‬Kَ‫ ; ال ل˚ َم ْج أ‬mâ ajmalus samâ’i” (Apa yang paling indah di langit?),
‫س‬
kemudian Abu al-Aswad Ad-Du’aliy berkata: "“‫ ;نجومها‬nujumuha” (bintang-bintangnya), kemudian
putrinya berkata, “Saya bermaksud mengungkapkan ketakjuban (kekaguman)”. Abu al-Aswad
al-
Du’ali pun kemudian membenarkan ucapan putrinya sambil berkata, “ucapkanlah: “َ ‫ ْج َم َل ال ء َما‬Kَ‫; َما أ‬
‫“ س‬maa ajmalas sama’a”, (betapa indahnya langit!).
Dikisahkan pula, Abu al-Aswad al-Du'ali pernah melewati seseorang yang sedang
membaca al-Qur’an Surah at-Taubah ayat 3 dengan ucapan: (˚ ِ ‫له‬
‫ َّن َ لهال ِر ’م َن ش ِر‬K‫ َأ‬.) Pada
‫سو˚ َر و‬
‫ى ٌء ا ْل ˚م ِكي َن‬
kata “rasûlihi”, sang qari tersebut meng-kasrah-kan huruf lam yang seharusnya di-dhammah
sehingga berarti: “…Sesungguhnya Allah Swt. berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasul-
Nya...” Hal ini menyebabkan arti dari penggalan ayat tersebut rusak dan menyesatkan.
Seharusnya kalimat tersebut dibaca: (˚ ˚ْ‫هلال َب ِرىء م َن ش ِر َ ه‬
َ ‫ َّن‬K‫ َأ‬,) dengan dibaca “rasûlihi” kata
‫ول س‬ ْ
‫ا ل ˚م ِكي َن ر‬
‫و‬
“rasûluhu” sehingga artinya: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang
musyrik.”

Setelah mendengar bacaan tersebut, Abu al-Aswad ad-Du'ali merasa sangat gelisah dan
ketakutan. Ia sangat khawatir suatu saat keindahan dan keistimewaan bahasa Arab menjadi
rusak dan lenyap. Kemudian hal ini diadukan kepada khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia
memerintahkan Abu al-Aswad al-Du’ali untuk Menyusun ilmu Nahwu secara sistematis.

5
Dari kisah-kisah tersebut di atas, dapat dipahami bahwa struktur kalimat yang sama
apabila dibaca dengan harakat yang berbeda akan menghasilkan makna yang berbeda. Dalam
kasus putri Abu al-Aswad al-Du’ali di atas, ia bermaksud mengungkapkan kekaguman (ta’ajjub),
tetapi karena salah membaca harakatnya, maka yang dimaksud adalah “pertanyaan”.
Sedangkan pada kasus kedua, bacaan Surah at-Taubah ayat 3, memiliki makna yang
sangat bertolak

6
belakang karena perbedaan harakat “rasûluhu” dan “rasûlihi”. Di sinilah letak urgensi ilmu
nahwu dalam menjaga kebenaran maksud ungkapan bahasa Arab, khususnya menjaga
kemurnian atau orisinalitas Al-Quran. Di sinilah pentingnya kaidah tata bahasa Arab dalam
menentukan perubahan bunyi akhir kata atau fungsi kata di dalam struktur kalimat. Kesalahan
dalam penerapan tata bahasa akan mengakibatkan kesalahan arti dan maksud kalimat.

B. Pola Kalimat Dasar Bahasa Arab

Salah satu bahasan penting dalam kaidah ilmu nahwu adalah kalâm, tuturan, atau
kalimat dasar. Secara umum, kalâm ialah tuturan yang memiliki maksud tertentu yang
disepakati oleh penutur (penulis) dan petutur (pembaca). Dalam kajian ilmu nahwu klasik,
persoalan kalâm, kalimah, kalim, dan qaul merupakan persoalan pokok yang menjadi acuan
pembahasan kaidah- kaidah nahwu. Muhammad bin Abdullah bin Malik al-Tha’i al-Jayyani al-
Andalusi (600-672 H), penulis nazham Alfiyyah mengantarkan persoalan nahwu dan sharf
dengan bab kalam, yaitu: “al- kalâm wa mâ yata’allafu minhu” (Kalimat dan strukturnya).

Dalam nazham yang sangat ringkas tersebut (Alfiyyah disebut juga nazham mukhtashar
al-nahwi [ringkasan nahwu] karena isinya sangat padat), Ibnu Malik menjelaskan persoalan
sebagai berikut.

‫َكالَُمَنا َْلف ـ ٌظ ُمِ فْي ٌد َكا ْس ـَتِ ق م * وا ْس م و ْفِ عل ُُ َ ْح ر ٌف اْل َكلِ ْم‬
ٌ َ ٌ َ ْ
‫ث‬
َ

‫َوا ِح ـ ـ ُدُه َك ـ ـلِ َمٌة َوا َْل ق ـْ ُو ل َع ـ ْم * ََوك ـْل َمٌة ب َـِها َك ـ ـ ـا ٌَل م َق ـ ْد يـُ ـ ـَ ْؤم‬

Kalam (menurut) kami (Ulama Nahwu) adalah lafazh yang memberi pengertian, seperti
“Istaqim!” (Luruslah). Isim, Fi’il, dan Harf adalah (tiga aspek) Kalim.

Satuan dari (kalim) disebut kalimah, sedangkan qaul itu umum. “Kalimah” kadang dimaksudkan
sebagai Kalam.

Definisi kalam (kalimat dasar) menurut ulama nahwu adalah lafazh (ucapan/tuturan)
yang mengandung maksud yang jelas sehingga yang mengucapkan dan yang mendengarnya
memahaminya tanpa keraguan. Contohnya, lafazh “istaqim” / ‫ استقم‬yang artinya: “istiqomahlah” /
“luruslah”. Lafazh “istaqim” termasuk kalam karena mengandung unsur-unsur pembentuk
kalam, yaitu lafazh (ucapan/perkataan) dan mufid (memberi makna).

7
Penulis Matn al-Âjurûmiyyah, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Dawud al-
Shinhaji (672-723 H), lebih dikenal dengan Ibnu Ajurum, mendefinisikan kalam sebagai berikut.

‫الكالم هو ا لفظ املركب املفيد ابلوضع‬

“Kalam ialah lafazh (ucapan) yang tersusun dan memiliki maksud yang jelas serta
disengaja.” Dari definisi ini, dipahami bahwa unsur pembentuk kalam ada 4 (empat), yaitu: lafzh
(ucapan/kata-kata), murakkab (tersusun), mufîd (memiliki maksud yang jelas), dan bil-wadh‘i
(sesuai aturan atau kesepakatan bersama).

Dalam kajian nahwu kontemporer, khususnya sintaksis atau qawa‘id nahwiyyah, istilah
kalam mulai jarang digunakan. Para linguis modern lebih menggunakan istilah baru, yaitu
jumlah (kalimat). Namun, istilah kalam dalam kajian bahasa Arab secara umum tetap
digunakan, misalnya dalam kajian balaghah, semantik, pragmatik, dan fiqh lughah.

Dalam bahasa Arab, struktur Kalimat Dasar (kalâm) dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Struktur Jumlah Fi‘liyyah (Kalimat Verba).

Secara umum, struktur jumlah fi’liyyah ialah pola kalimat yang diawali dengan kata fi’il
(verba) sebagai pangkal kalimat lalu diikuti dengan fa’il (subjek) atau naibul fa’il (pengganti
subjek). Contohnya sebagai berikut.

‫ َق َا م َز ٌْي د‬1-

ِ‫ جاء ن ص ر لال‬2-
ُ ْ َ َ َ

‫ ْت َي دا أَِِب َََل „ب‬3-


‫َتـب‬
َ

‫ قد أفلح املؤمنون‬4-

‫ تبارك الذي جعل يف السماء بروجا‬5-

8
2. Struktur Jumlah Ismiyyah (Kalimat Nomina)

Secara umum, struktur jumlah ismiyyah ialah pola kalimat yang diawali dengan kata isim
(nomina) sebagai mubtada yang merupakan pangkal kalimat lalu diikuti oleh khabar (predikat)
sebagai pelengkap mubtada. Contohnya sebagai berikut.

‫ َز ٌْي د َق َا م‬1-

‫ َن ْ ُص ر لالِ َجاَء‬2-

‫ َي دا َِأِب َََل „ب‬3-


‫َتـّب‬
‫َـَتا‬

ِ‫ املؤمنون ْم فل‬4-
ُ

‫ الذي جعل يف السماء بروجا‬5- ‫ُحْ ون‬

‫تبارك‬

Untuk mengantarkan Anda memahami struktur kalimat dasar bahasa Arab, ada baiknya
Anda mengingat kembali klasifikasi kata dalam bahasa Arab yang sedikit berbeda dengan
bahasa lainnya. Salah satunya adalah: kata fi’il (verba bahasa Arab) sedikit berbeda
tinjauannya dengan kata verba dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; kata sifat
diklasifikasikan ke dalam isim (nomina), serta kata sambung dan kata hubung diklasifikasikan
kepada kata harf, melengkapi kata fi‘il (verba) dan kata benda (isim/nomina). Padahal, harf
sendiri dalam bahasa lain tidak termasuk kata tetapi hanya partikel. Untuk itu, guru bahasa Arab
sangat dianjurkan untuk mendalami ilmu sharf (morfologi Arab).

Silakan Anda perhatikan peta konsep kata isim (nomina), fi‘il (verba), dan partikel (harf)
dalam bahasa Arab yang sangat berkaitan dengan kaidah-kaidah nahwu. Selain itu, perhatikan
juga peta konsep Isim Dhamir / Pronomina, Isim Isyarah / Pronomina Demonstatif, Pronomina
Relatif / Isim Maushul, Zharf / Adverbia, I’rab Isim / Kasus Nomina, I’rab Fi’il / Modus Verba, Isim
Adad / Numeria, Fi’il Muta’addi & Lazim / Verba Transitif & Intransitif, Fi’il Ma’lum & Majhul /
Diatesis Aktif dan Pasif, Majrurat / Kasus Genitif, dan lain sebagainya.

9
PETA KONSEP NOMINA

1
0
PETA KONSEP VERBA

11
PETA KONSEP PARTIKEL

12
PETA KONSEP ISIM DHAMIR / PRONOMINA

13
PETA KONSEP ISIM ISYARAH / PRONOMINA DEMONSTRATIVA

14
PETA KONSEP ISM AL-MAUSHUL / PRONOMINA RELATIF

15
PETA KONSEP ZHARF (ZHURÛF) / ADVERBIA

16
PETA KONSEP ISIM ADAD / NUMERIA

17
PETA KONSEP KLASIFIKASI VERBA / TAQSÎMÂT AL-FI’IL

PETA KONSEP ASPEKTUAL VERBA / ZAMAN & SHIGAH FI‘IL

18
PETA KONSEP VERBA TRANSITIF & INTRANSITIF

PETA KONSEP DIATESIS AKTIF & PASIF (MA’LUM & MAJHUL)

19
PETA KONSEP VERBA BERATURAN & TAKBERATURAN

PETA MODUS VERBA / I’RAB FI’IL

20
PETA KASUS NOMINA / I’RAB ISIM

PETA KASUS GENITIF / MAJRURAT

21

Anda mungkin juga menyukai