Anda di halaman 1dari 32

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU NAHWU

PADA MASA ISLAM

MAKALAH

Disampaikan dalam forum seminar Mata Kuliah


Perkembangan Bahasa dan Sastra Arab di Dunia Islam
Pada Program Doktor (S3) UIN Alauddin Makassar

Oleh
Ahmad Musyarraf Irfam
NIM: 80100322253

Dosen Pemandu:

Dr. Hj.Amrah Kasim, M.A


Dr. Hj. Haniah, Lc., M.A

PROGRAM PASCA SARJANA


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ilmu nahwu (sintaksis) adalah disiplin ilmu yang membahas kedudukan suatu

kalimat dalam bahasa arab, dengan mempelajari ilmu nahwu memberikan solusi untuk

mengatasi berbagai kesulitan yang ada dalam kitab, khusus kitab-kitab berbahasa arab,

karena bahasa arab selain bahasa pergaulan adalah bahasa pemersatu umat Islam, bahasa

al-Qur’an dan al-Hadis. Agama Islam diturunkan di tengah – tengah kultural arab maka

bahasa arab sangat identik dengan komunitas, wilayah kultur arab itu sendiri. Bahasa yang

digunakan al-Quran dan al-Hadis adalah bahasa arab Quraiys sesuai dengan kesepakatan

dan perkembangan berbagai bahasa suku-suku yang mendiami jazirah arab.

Seiring dengan perkembangan dari mulai di turunkan agama Islam di tanah arab, di

utusnya Nabi Muhammad sebagai pelopor pembaharu dalam berbagai sosial kebudayaan

jahiliyah, terutama sekali konstruksi bahasa arab oleh para ulama setelah nabi wafat.

Penomena peristiwa yang berlaku saat itu adalah banyaknya pengikut Islam dari berbagai

wilayah di luar arab, yang tentunya memiliki cara pandang dan teori membaca al-Quran.

Denagan demikian, para ulama mulai menyususun konsep untuk pemberlakuan tata

bahasa(gramer) untuk menjaga kesalahan berbahasa baik, membaca al-Quran, hadis,

maupun kitab-kitab ilmu arab lainnya.

Dalam pendahuluan ini, kami mencoba menunaikan tugas dengan nmenganalisis

perkembangan ilmu nahwu mulai dari periode pertama hingga akhir. Di samping itu kami

paparkan sejarah pemberlakuan nahwu dan para tokohnya. Mingingat keterbatasan


referensi, kemampuan, kami menerima koreksi, saran yang kontsruktif, demi perbaikan

makalah ini selanjutnya .

B. BAHASA DAN TATA BAHASA

Andai saja kita mengenal bahasa dalam konsepsinya yang paling luas –

sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Jani – yakni “suara yang diucapkan oleh setiap

kaum untuk menyatakan tujuannya” atau dalam definisi yang lain sebagaimana yang

dikemukakan oleh Edward Sabr yakni “instrumen manusiawi yang dikhususkan untuk

menyatakan pikiran, sikap, dan keinginan, melalui aturanaturan yang sistematis, yang

dilakukan dengan sadar. Apabila kita mengenal konsepsi seperti diatas, maka kita akan

memahami bahasa sebagai sesuatu yang bersifat menyeluruh, atau bahwa bahasa

merupakan aturan umum yang tersusun dari aturan-aturan parsial yang satu sama lain

tidaklah saling bertentangan. Pada akhirnya kita akan menyadari bahwa kita tidak akan

mungkin bisa terlepas dari bahasa apabila bahasa memang memerankan posisinya

sebagaimana disebutkan diatas.

Aturan-aturan parsial yang dimaksud ialah: 1. Aturan sintaksis (al-nizham al-

nahwiy) 2. Aturan perubahan bentuk kata (al-nizham al-sharfiy) 3. Aturan pelafalan (al-

nizham al-shautiy) 4. Aturan semantik (al-nizham al-dalaliy)

Aturan sintaksis (nahwu) secara khusus berbicara tentang aturan dalam menyusun

kalimat. Dari sini kita memahami bahwa titik tekan kajian nahwu ialah pada kalimat (al-

jumlat), yang ditinjau makna umumnya dalam batas-batas tertentu. Maksudnya, ilmu

nahwu secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum

berbicara tentang aturan mengenai hubungan antara elemen tersebut. Demikianlah, ilmu

nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat
serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik kita

disebut sebagai hubungan penyandaran (isnad), atau dalam analisis yang dipakai oleh

Imam Abdul Qohhar Al-Jurjaniy dimana beliau menjadikan ilmu nahwu sebagai landasan

dalam mengungkap keajaiban Al-Qur’an (I’jaz Al-Qur’an). Beliau menulis dalam kitabnya

Indikasi-indikasi Keajaiban (Dalaa-il al-I’jaz) :

“Ketahuilah bahwa apabila Anda melakukan refleksi terhadap diri Anda sendiri,

maka Anda akan memahami sesuatu yang tidak bisa diragukan lagi, yakni bahwasanya

dalam berbicara tidak ada aturan maupun tata urutan tertentu kecuali bahwa sebagian mesti

tergantung pada yang lain dan sebagian mesti dibangun diatas yang lain. Demikian pula,

suatu keadaan ini mesti disebabkan oleh sesuatu yang lain. Yang demikian ini merupakan

sesuatu yang tidak akan dipungkiri oleh mereka yang berakal sehat, juga merupakan

sesuatu yang tidak tersembunyi bagi satu orang manusia pun. Apabila kita mengamati yang

demikian itu, kita akan mengetahui bahwa, tidak bisa tidak, apabila Anda menggunakan

sebuah isim maka isim tersebut pasti menjadi fa’il atau maf’ul bagi fi’il-nya. Apabila Anda

menggunakan dua buah isim maka salah satu akan menjadi khabar bagi yang lainnya.

Apabila Anda meletakkan isim mengikuti isim yang lain maka isim yang kedua pasti

merupakan shifat bagi yang pertama, penegasan (ta’kid) baginya, atau pengganti (badal)

baginya. Apabila Anda meletakkan isim dibelakang sebuah kalimat sempurna maka isim

tersebut akan menjadi shifat, hal atau tamyiz. Apabila Anda menginginkan bahwa dari dua

fi’il, salah satu menjadi syarat bagi yang lainnya, maka Anda harus memakai huruf atau

isim dengan makna yang sesuai. Demikian seterusnya, kita bisa menganalogikannya”.

Selanjutnya, beliau melanjutkan dengan menjelaskan pentingnya berpegang pada

kaidah-kaidah dan hukum-hukum nahwu, serta menjaga keterkaitan antara bagian-bagian


kalimat di satu sisi dan keterkaitan antara satu kalimat dengan kalimat lainnya di sisi yang

lain. Demikianlah sampai kalimat-kalimat kita menjadi teratur dan tersusun secara

sempurna, dalam rangka mengungkapkan makna tertentu. Dalam hal ini, beliau menulis :

“Persoalannya ialah sebagai berikut. Anda tidak akan menemukan sesuatu yang

kebenarannya – jika memang benar - merujuk pada aturan dan kekeliruannya – jika

memang keliru - merujuk pada aturan, kecuali itu semua termasuk dalam makna ilmu

nahwu. Maka Anda tidak akan melihat suatu kalimat bisa dinyatakan benar atau salah

susunannya, dan dinyatakan sebagai kalimat yang bagus dan indah, kecuali Anda harus

mempunyai rujukan tentang kebenaran dan kekeliruannya, atau tentang kebagusan dan

keindahannya, yang semua itu terdapat dalam makna-makna dan hukum-hukum ilmu

nahwu, serta prinsip-prinsip dan bahasan-bahasannya”.

Adapun ilmu atau aturan perubahan kata (sharf), ia banyak berkaitan dengan

pembentukan kata (al-bunyat wa al- shighat). Ilmu ini mempelajari timbangan-timbangan

(wazan) dan indikasinya, serta bentuk-bentuk perubahan yang sangat beragam seperti

penghapusan (al-hadzf), penambahan (al-ziyadat), perentangan (al-tathwil), pemendekan

(al-taqshir), peleburan (al-idgham), pembalikan (al-qalb), penggantian (al-ibdal),

pencacatan (al-i’lal), serta keadaan saat terus (washl) dan saat berhenti (waqf). Dari sana

kita bisa mengatakan bahwa titik tekan kajian sharf ialah al-shighat wa al-bunyat atau,

dengan kata lain, kata (alkalimat).

Adapun ilmu atau aturan pelafalan, ia secara khusus mempelajari pelafalan bahasa,

dari sisi karakteristiknya, sifat-sifatnya, macam-macamnya, serta cara pelafalan dan

perpindahannya dari mulut pembicara ke telinga orang yang mendengarkan. Dengan

demikian titik tekan kajian pelafalan ialah suara (al-shaut).


Mengenai yang terakhir, yakni ilmu atau aturan penunjukan (indikasi) makna,

sesungguhnya ia menitikberatkan pada aspek makna dan aspek penunjukan makna. Titik

berat pada aspek makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang makna leksikon (al-

ma’na al-mu’jami, al-ma’na al-qamusi) dari suatu kata, makna kontekstualnya (al-ma’na

al-siyaqi) yang disebabkan oleh susunan disekitarnya, makna individual, makna sosial, dan

sebagainya. Titik berat pada penunjukan makna berarti bahwa disana akan dipelajari

tentang perkembangan makna suatu kata, yang dipengaruhi oleh banyak variabel seperti

aspek individu, bahasa, sosial, kebudayaan, militer, politik, peradaban, dan lain-lain.

Cabang-cabang ilmu diatas secara bersama-sama membentuk bangunan ilmu bahasa secara

keseluruhan. Kita tidak mungkin memisahkan sama sekali satu cabang dari yang lainnya

karena bahasa, semuanya saja, bukan merupakan sesuatu yang bisa dipisah-pisah. Bahasa

tidak akan bisa berfungsi sebagaimana mestinya apabila salah satu atau beberapa

bagiannya ditiadakan. Ambillah gambaran tentang nomor telepon. Ia merupakan susunan

tertentu dari beberapa angka, misalnya 751265. Setiap nomor dalam susunan tersebut

memiliki posisi numeralnya sendirisendiri. 5 bukanlah 6. Keduanya pun bukanlah 2 atau

1. Demikian seterusnya. Ada yang berada pada posisi satuan, puluhan atau ratusan. Angka

5 pada posisi satuan berbeda dengan angka yang sama pada posisi puluhan ribu. Yang

pertama berarti 5 sementara yang belakangan berarti 50000. Demikianlah nomor telepon

melakukan fungsinya dimana semua persyaratan yang telah diterangkan diatas harus

terpenuhi tanpa kecuali. Apabila salah satu angka dihilangkan, atau salah satu angka diubah

seperti 5 diubah menjadi 4, atau angka-angkanya ditukar tempatnya, maka fungsinya pun

akan hilang.
Demikian pula dengan bahasa, tidak bisa tidak. Kita harus memahaminya dari

segenap aturan-aturannya baik itu dari aspek nahwu, sharf, pelafalan, atau penunjukan

maknanya. Satu pun dari aspek-aspek tersebut tidak mungkin bisa ditinggalkan. Kita

membedakan atau memilah-milah aturan-aturan tersebut hanyalah sebatas untuk

menjadikannya sebagai disiplin ilmu yang bisa dipelajari secara terpisah, karena masing-

masing aturan tersebut memiliki manhaj, tema, tujuan, persoalan, dan kaidahnya sendiri-

sendiri. Semua itu hanyalah dilakukan dalam rangka studi dan pengkajian, serta untuk

tujuan-tujuan pengajaran dan pendidikan.

Dari sini jelas sudah kaitan antara nahwu dan bahasa yakni bahwa nahwu

merupakan bagian dari bahasa. Demikian juga telah jelas pula kaitan antara nahwu dan

sharf, pelafalan, serta penunjukan makna. Semuanya merupakan elemen-eleman dari satu

kesatuan yakni bahasa.

Berdasarkan apa yang sudah dikemukakan diatas tentang karakteristik fungsi ilmu

nahwu, kiranya sudah jelas bagi pembaca bahwa nahwu tidaklah sebagaimana yang

didefinisikan oleh sebagian orang, yakni “mengetahui harakat dari akhir kata serta

i’rabnya”. Nahwu, ternyata, lebih luas daripada sekedar masalah harakat akhir kata. Ia

merupakan ilmu yang mengkhususkan diri berbicara tentang aturan menyusun dan

merangkai ucapan. Kata-kata harus disusun berdasarkan pola-pola tertentu dan kaidah-

kaidah yang sudah ada. Demikianlah kata-kata itu tersusun berdampingan satu sama lain,

memiliki harakat yang berbeda-beda, dan memiliki posisi yang berbeda-beda, sesuai

dengan aturan umum berbahasa. Nahwu merupakan ilmu mengatur kata-kata atau ilmu

menyusun katakata, yang banyak mempelajari tentang pengaturan kalimat dalam berbagai

macam dan bentuknya. Ia juga mempelajari tentang elemen-elemen kalimat baik dari sisi
kedudukannya, fungsinya, kaitannya, i’rabnya, dan hal-hal lain yang termasuk dalam

aturan-aturan nahwu.

C. PENYUSUNAN ILMU NAHWU

Di antara prestasi cemerlang yang senantiasa diabadikan oleh sejarah ialah

penyusunan (peletakan) ilmu nahwu. Para ahli tata bahasa kontemporer – di Timur maupun

di Barat – hanya bisa tercengang dengan penuh rasa takjub, karena ilmu nahwu ternyata

sangat sempurna, memiliki kaidah yang teliti, dan hukumhukumnya senantiasa konsisten.

Ini, sungguh, merupakan sebuah penemuan ilmiah sekaligus prestasi pioner dalam bahasa,

yang dicapai dibawah petunjuk Kitab Suci Rabb semesta alam dan sunnah Nabi saw.

Disamping itu, semua ini juga karena lingkungan yang khas dengan ketercerahan,

kejernihan pikiran, kejelasan pandangan, dan kejelasan akan kebenaran. Karakter pikiran

yang demikian itu telah menghasilkan ingatan yang kuat, ketajaman rasa, kemampuan

analisis dan sintesis,

kemampuan metodologis dalam menggali hukum, dan kemampuan problem

solving melalui kajian yang mendalam. Namun sebelum semua itu, akal Arab telah

memiliki orientasi yang amat mulia, yang menjadi bagian dari aqidah dan iman, yakni

untuk menjaga Al-Qur’an yang mulia serta memeliharanya dari berbagai kesalahan dan

kekeliruan.

Sesungguhnya sebagian kalangan telah mengakui prestasi pioner ini. Adapun

orang-orang yang menyimpan kedengkian, maka mereka berusaha untuk menyuarakan

kebatilan dengan baju kebenaran, yakni dengan mengatakan bahwa asal muasal dan
referensi tata bahasa Arab ialah tata bahasa lain. Mereka menyebarluaskan paham bahwa

para ahli tata bahasa Arab telah dipengaruhi oleh para ahli tata bahasa lain.

Berangkat dari sini, kita hendaknya memahami bahwa bahasan tentang penyusunan

ilmu nahwu merupakan bahasan penting yang harus dicermati oleh para generasi muda

kita. Mereka harus melakukan pengkajian yang detail atas bahasan tersebut. Dengan

demikian pemahaman mereka atas khazanah klasik akan bertambah. Disamping itu,

mereka juga akan sanggup membela kemuliaan generasi terdahulu mereka, membentengi

diri mereka dari gelombang keragu-raguan dan inferioritas, dan penghancuran khazanah

klasik kita yang dilakukan oleh musuhmusuh Islam dan Arab.

Berbicara tentang penyusunan ilmu nahwu akan berhubungan dengan persoalan

yang cukup banyak. Siapakah yang menyusunnya? Sebelum pertanyaan ini ialah

pertanyaan “Apa sebab-sebab yang mendorong penyusunannya?” Bab apa yang pertama

kali disusun dalam ilmu nahwu? Atau barangkali ilmu nahwu disusun secara sekaligus?

Dimana dan kapan ia disusun? Lalu apa saja bahasan ilmu ini? Apa tujuan dan fungsinya?

Dari mana ia dikembangkan? Demikian seterusnya, yang semua persoalan tersebut akan

dibahas berikut ini.

D. SEBAB-SEBAB YANG MENDORONG DISUSUNNYA ILMU NAHWU

Orang-orang Arab pra-Islam merupakan model sebuah masyarakat yang khas dan

unik. Mereka memiliki tradisi bahasa yang menjadi patron bagi aturan bahasa secara

umum. Pada masa mereka tidak terjadi pergumulan dengan bangsabangsa lain yang sampai

menimbulkan pengaruh yang signifikan pada bahasa mereka. Ini berkebalikan dengan apa
yang terjadi pada zaman sesudah Islam, dengan beberapa alasan yang akan dibahas

kemudian.

Bahasa di jazirah Arab pra-Islam bisa dibedakan atas dua tingkatan:

1. Pertama, tingkatan bahasa fasih, yang berupa bahasa patron yang disepakati, dan

berkiblat pada dialek Quraisy yang digunakan dalam bidang keagamaan, politik,

perdagangan, dan kebudayaan, sampai-sampai kabilah-kabilah Arab menjadikannya

sebagai kiblat dalam berbagai bidang kehidupan.

2. Kedua, tingkatan dialek, yang terdiri dari dialek-dialek berbagai kabilah yang

sangat banyak jumlahnya, yang mana cara dan tradisinya berbeda satu sama lain sampai

pada batas-batas tertentu.

Orang-orang Arab saat itu mampu berbicara dalam kedua tingkatan tersebut, yang

fasih maupun dialek. Mereka menggunakan bahasa dialek apabila sedang bercakap-cakap

santai dengan keluarga. Apabila mereka pada saat yang lain dituntut untuk memakai bahasa

yang fasih maka mereka pun akan melakukannya tanpa merasa kesulitan.

E. NAHWU SEBAGAI PROSES ILMIAH BAHASA ARAB DAN LATARBELAKANG

KELAHIRANNYA

Al-Jabiri dalam salah satu bukunya yang sangat terkenal ”Takwîn al-Aql al-Arabi”

menyatakan bahwa “jika filsafat disebut sebagai mukjizat bangsa Yunani, maka

pengetahuan tentang bahasa adalah mukjizat bangsa Arab. 1 Menurutnya, sumbangan

terpenting bangsa Arab terhadap peradaban yang diwariskan kepada dunia adalah “agama

1
Muhammad Abid al-Jabiri, Takwin al-͚Aql al-Arabi, (Beirut: Markaz Dirasah Wahdah alArabiyyah, 1989),
cet. IV, h. 76.
dan bahasa”. Keduanya saling terkait erat dan tidak dapat dipisahkan. Munculnya berbagi

perselisihan mazhab, baik dalam fiqih maupun kalam jika dicermati, di antaranya, juga

disebabkan oleh bahasa, dalam hal ini adalah masalah interpretasi teks (bahasa) al-Qur’an.

Begitu pula dalam perselisihan politik, meskipun berlatar belakang sosial, ekonomi dan

golongan, namun adakalanya pula timbul dari soal pemahaman teks (bahasa) agama.

Itu sebabnya, aktifitas ilmiah pertama yang dilakukan dalam tradisi intelektual

Islam adalah terkait dengan masalah kebahasaan seperti kodifikasi bahasa, meletakkan

dasar-dasar linguistik dan merumuskan gramatikanya. Metode ilmiah yang digunakan

dalam pembahasan bahasa ini lalu dijadikan mode dalam berbagai aktifitas intelektual

lainnya. Karenanya, tradisi keilmuan Islam yang berkembang setelah ilmu bahasa sangat

terwarnai oleh metode dan cara berpikir para linguist dan grammarian generasi pertama.

Oleh karena itu, pada bagian ini penting rasanya menelusuri kembali mula pertama

aktifitas dunia kebahasaan yang kemudian disebut dengan ilmu nahwu, terutama yang

terkait dengan penggagas disiplin tersebut dan perkembangannya.

Berbagai literatur Arab yang membahas historisitas nahwu hampir dapat dipastikan

bahwa pada umumnya memiliki nuansa pengkajian yang seirama, yaitu terfokus pada dua

hal: peletak dasar (penggagas) disiplin nahwu, dan kedua latarbelakang kelahirannya.

Terkait dengan soal pertama, perbincangan yang mewarnai berbagai literatur Arab berkisar

pada “pro-kontra” dalam memastikan nama utama yang dianggap sebagai penggagas ilmu

nahwu ini. Paling tidak terdapat lima nama yang disebut-sebut secara kontroversial sebagai

panggagasnya, yaitu; Abu al-Aswad al-Du’ali, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab,

Abdurrahman bin Hurmuz dan Nashr bin Ashim al-Laitsi. 2

2
Abd al-͚Al Salim Mukrim, al-Quran al-Karim wa Atsaruhu Fi al-Dirasat al-Nahwiyyah, (Mesir: Dar al-
Maarif, t.t), h. 49.
Kajian ini tidak akan larut dan terjebak pada kontroversi di atas, sebab hampir dapat

dipastikan semua nama yang tersebut tadi memiliki peran masingmasing dalam membidani

kelahiran dan pertumbuhan nahwu. Abu al-Aswad alDu’ali dan para muridnya yaitu

Anbasah al-Fil, al-Aqran, Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur, misalnya, dalam

berbagai literatur diakui sebagai penggagas awal ilmu nahwu. Abu Aswad al-Du’ali berjasa

merumuskan “i’rab” dan pembagiannya, semenatra para muridnya mengembangkannya

dan menemukan istilah-istilah teknis semisal “al-mubtada’, al-fa’il dan al-maf’ul”.

Kemudian murid dari para murid Abu Aswad terutama Ibnu Abi Ishaq al-Hadhrami, Isa

bin Umar alTsaqafi dan Abu Amr bin al-Ala’ lebih jauh mengembangkan teori-teori yang

telah dirintis di atas dengan cara membuat rumusan tatabahasa yang sedikit lebih luas

dengan melakukan penelitian mendalam mengenai karakter bahasa Arab, ia juga dianggap

sebagai penggagas metode “ta’lil dan qiyas” dalam nahwu. 3 Lebih dari itu, generasi ini

juga telah membukukan teori-teori mereka seperti yang dilakukan oleh Isa bin Umar dalam

karyanya”Kitâb al-Jâmi’ dan Kitâb al-Mukammil ”.4

Sementara terkait dengan latar belakang yang mendorong lahirnya ilmu nahwu ini

hampir semua literatur yang tersedia sependapat yaitu disebabkan karena semakin

meluasnya kesalahan-kesalahan berbahasa secara baik dan benar menurut standar bahasa

Arab yang fasih, atau yang lebih akrab disebut dengan istilah “alLahn”. 5

Terlepas dari faktor utama yang mendorong proses ilmiah bahasa Arab (kodifikasi

dan perumusan gramatikanya), misalnya saja demi menjaga kemurnian bahasa al-Quran

atau karena meluasnya “lahn” seperti di tengah masyarakat seperti disinggung di atas, atau

3
Sauqi Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyyah, (Mesir: Dar al-Maaris, t.t), h. 18.
4
Abdul Aziz Ahmad Allam, Min Tarikh al-Nahwi al-Arabi, dalam majalah ”Majallah”, Jamı͛ ah
al-Imam bin Saud, edisi II, 1401-1402
5
Abd al-͚Al Salim Mukrim, al-Quran al-Karim wa Atsaruhu Fi al-Dirasat al-Nahwiyyah, h. 45- 50.
siapapum penggagas utama cabang pengetahuan nahwu ini, yang pasti aktifitas ilmiah

tersebut telah menjadi catatan penting dalam sejarah intelektual Islam yang menandai

adanya suatu perubahan radikal dalam dunia kebahasaan Arab. Aktifitas intelektual

tersebut telah merubah bahasa Arab dari sebuah bahasa non ilmiah (tidak dapat dipelajari

dengan metode ilmiah) menjadi bahasa ilmiah, bahasa yang memiliki aturan dan sistem

seperti lazimnya obyek ilmiah lainnya.

Dalam kaitan ini, Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-170 H) dipandang sebagai

orang yang paling berjasa dalam proses ilmiah yang sebenarnya dalam bahasa Arab.

Pengetahuannya yang begitu luas baik tentang hadits, fikih, bahasa, matematika dan logika

formal (manthiq) dan didukung dengan kecerdasan yang luar biasa, ilmu nahwu ia

kembangkan sedemikian rupa baik secara teoretik maupun cakupan kajiannya. Dengan

kata lain, bahasa Arab mulai benar-benar menjadi bahasa yang ilmiah dan dapat dipelajayjri

secara metodologis dan sistematis sejak ia dibuat rumusan tatabahasanya yang

komprehensif oleh Khalil bin Ahmad al- Farahidi ini.6 Oleh karena itu, pada umumnya

kajian seputar metode dalam proses ilmiah bahasa Arab lebih terfokus pada penelusuran

metode yang digunakan oleh Khalil tersebut. Tulisan ini juga akan bertitik tolak dari hal

yang serupa pula.

F. PERKEMBANGAN ILMU NAHWU

Ilmu nahwu merupakan bagian dari ilmu bahasa secara umum. Secara keseluruhan,

ilmu bahasa meliputi ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu pelafalan, dan ilmu semantik. Ilmu sharf

berbicara tentang aturan pembentukan kata. Ia mempelajari timbangan-timbangan kata

(wazan) berikut indikasinya, serta bentuk-bentuk perubahan yang sangat beragam seperti

6
Sauqi Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyyah, h. 34-46.
penghapusan, penambahan, perentangan, pemendekan, peleburan, pembalika,

penggantian, pencacatan, serta keadaan saat terus dan saat berhenti. Dengan kata lain, kata

kunci dalam ilmu sharf ialah kata .

Adapun kata kunci dalam ilmu pelafalan ialah suara. Sementara, ilmu semantik

menitikberatkan kajiannya pada aspek makna dan penunjukan makna. Titik berat pada

aspek makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang makna leksikon dari suatu kata,

makna kontekstualnya, makna individual, makna sosial, dan sebagainya. Titik berat pada

penunjukan makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang perkembangan makna

suatu kata, yang dipengaruhi oleh banyak variabel seperti individu, sosial, kebudayaan,

militer, politik, peradaban, dan lainlain. Adapun ilmu nahwu, kata kuncinya ialah kalimat.

Ia secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara

tentang aturan mengenai hubungan antar elemen tersebut.

Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara sintaktik

bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang

dalam tradisi klasik kita sebut sebagai hubungan penyandaran. Jadi ilmu nahwu tidaklah

hanya berbicara tentang harakat di akhir kata serta i’rabnya, namun ia juga mengatur

tentang bagaimana cara yang baik dalam menyusun dan merangkai kalimat. Semua cabang

ilmu bahasa diatas saling melengkapi satu sama lain. Ilmuilmu tersebut dibeda-bedakan

hanyalah untuk kemudahan mempelajarinya saja. Kita tidak bisa mengkaji bahasa secara

sempurna dengan hanya menggunakan salah satu atau sebagian ilmu-ilmu tersebut dan

meninggalkan ilmu yang lain.

Ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab) sejak awal perkembangannya sampai

sekarang senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis di kalangan para pakar linguistik
bahasa Arab. Sebagai salah satu cabang linguistik (ilmu lughah), Ilmu Nahwu dapat

dipelajari untuk dua keperluan. Pertama, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai prasyarat atau

sarana untuk mendalami bidang ilmu lain yang referensi utamanya ditulis dengan bahasa

Arab, misalnya Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan Ilmu Fiqih. Kedua, Ilmu Nahwu dipelajari

sebagai tujuan utama. Dua bentuk pembelajaran (learning) Ilmu Nahwu itu telah menjadi

tradisi yang berkembang secara berkesinambungan di kalangan masyarakat Arab (Islam)

dahulu sampai sekarang.

Hampir semua pakar agama Islam sejak akhir abad kesatu Hijriah sampai sekarang

mempunyai penguasaan yang baik terhadap Ilmu Nahwu. Bahkan tidak jarang dari mereka

yang menjadi pakar dalam bidang nahwu di samping kepakaran mereka dalam bidang

agama. Sebagai contoh, Imam Ibnu Katsir, An-Nawawi, Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu

Hisyam, dan Az- Zamakhsyari adalah tokoh-tokoh handal dalam bidang ilmu agama, dan

pada saat yang sama kepakaran mereka dalam bidang Ilmu Nahwu juga diakui di kalangan

ulama. Di Indonesia, tokohtokoh agama semisal Syekh Nawawi Banten, Buya Hamka,

Prof. Mahmud Yunus, dan K.H. Bisri Musthafa juga mempunyai penguasaan nahwu yang

mendalam, bahkan rata-rata mereka telah menulis atau menerjemahkan lebih dari satu

judul buku tentang nahwu. Sementara itu, tokoh-tokoh nahwu seperti Imam Sibawaih,

AlFarra', Ibnu Jinny, dan Ibnu Yaisy, lebih dikenal sebagai pakar dalam bidang Ilmu

Nahwu. Al-Fadlali (1986) dalam bukunya Marakizud-Dirasat an- Nahwiyyah membagi

perkembangan Ilmu Nahwu secara kronologis berdasarkan kurun waktu dan peta

penyebarannya. Di bagian akhir bukunya dia membuat skema perkembangan Ilmu Nahwu

sebagai berikut.
G. PETA PERKEMBANGAN ILMU NAHWU

Pusat Perkembangan Abad Hijriah ke

1. Bashrah, Mekah, Medinah Kufah,Baghdad, Mushal, Irbal, Andalus (1) kesatu

2. Marocco, Persi (2) kedua

3. Mesir (3) ketiga

4. Damaskus, Haleb (4) keempat

5. Nejed, Yaman (5) kelima

6. Hulah, Eropa (6) keenam

7. India (7) ketujuh

8. Romawi (8) kedelapan.

Dari peta di atas tampak bahwa Al-Fadlali tidak memasukkan negara-negara Asia

Tenggara sepertiIndonesia dan Malaysia dalam peta. Padahal bagaimanapun juga di

negara-negara itu perkembangan nahwu cukup pesat. Di samping itu, ia juga tidak

mengemukakan alasan mengapa ia langsung melompat dari abad ke 8 menuju abad ke14

dengan mengabaikan lima abad yang ada di antaranya. Namun, terlepas dari

kekurangannya, bagan tersebut cukup berarti dalam memberikan gambaran secara global

tentang peta perkembangan Ilmu Nahwu. 7

Sementara itu, Dlaif (1968) membagi perkembangan Ilmu Nahwu berdasarkan

aliran-aliran (madzhab) dengan menyebutkan sejumlah tokoh yang dominan pada setiap

aliran. Ia menyebutkan secara kronologis lima aliran nahwu sebagai berikut. (1) aliran

Bashrah, (2) aliran Kufah, (3)aliran Baghdad, (4) aliran Andalusia, dan (5) aliran Mesir.

7
Agus Bajang, Perkembangan dan Sejarah Ilmu Nahwu, http://agusbajang.blogspot.com
/2009/12/perkembangan-dan-sejarah-ilmu-nahwu.html diunduh pada 14 Maret 2023 pukul 22.30 wita.
Dua aliran pertama, Bashrah dan Kufah, disebutnya sebagai aliran utama, karena keduanya

mempunyai otoritas dan independensi yang tinggi, kedua aliran tersebut juga mempunyai

pendukung yang banyak dan fanatik, sehingga mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya.

Adapun tiga aliran yang lain disebutnya sebagai aliran turunan yang berinduk pada salah

satu aliran utama atau merupakan hasil paduan antara keduanya.

Di Indonesia, sejalan dengan perkembangan agama Islam, Ilmu Nahwu juga

banyak dipelajari. Akan tetapi, pembelajaran nahwu di Indonesia lebih banyak sebagai alat

(untuk mempelajari bahasa Arab) dan bukan sebagai tujuan. Karena itu, referensi yang

banyak dipelajari adalah buku-buku yang bersifat praktis dan textbook oriented yang

substansinya mengacu pada peran nahwu sebagai alat bantu pembelajaran agama (Islam),

sementara buku-buku yang bersifat historis teoretis cenderung kurang mendapat perhatian.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika referensi nahwu yang banyak ditemukan

di pesantren-pesantren maupun di kalangan perguruan tinggi Islam adalah buku-buku

semacam Al- Ajrumiyyah dengan berbagai syarah1-nya, Alfiyah Ibnu Malik dengan

berbagai syarahnya, dan Al-'Umrithiy. Sementara, buku-buku yang banyak menyinggung

aspek historis seperti Sirru Shina'atil I'rab karya Ibnu Jinny, Al-Mazhar karya Jalaluddin

Assuyuthi, dan Mizanudz Dzahab 1 Syarah adalah kitab perluasan dari matan. Matan

adalah karya orisinil yang ditulis oleh seorang ulama yang biasanya bersifat ringkas dan

padat isi, sedangkan syarah berfungsi memperjelas atau memperluas keterangan kata-kata,

kalimat atau wacana yang ada pada matan, karya Ibnu Hisyam kurang populer.

Bagi para linguis bahasa arab, atau pemerhati Ilmu Nahwu pada khususnya,

pembelajaran nahwu dari perspektif sejarah merupakan suatu hal yang penting untuk

dilakukan, karena dengan itu cakrawala mereka tentang dinamika Ilmu Nahwu menjadi
lebih luas dan pada akhirnya dalam diri mereka akan tumbuh toleransi yang tinggi terhadap

perbedaan - perbedaan yang ada. Selain itu, karyakarya monumental para pakar Ilmu

Nahwu sejak abad permulaan sampai- pertengahan abad 20 M itu ada khazanah yang

terlalu mahal untuk disia-siakan. Atas dasar kenyataan dan alasan diatas, pada kesempatan

ini penulis memaparkan secara global dinamika Ilmu Nahwu pada abad permulaan.

Paparan itu mencakupi cikal bakal Ilmu Nahwu, Bashrah sebagai kota kelahiran Ilmu

Nahwu, dan tokoh-tokoh pemrakarsa Ilmu Nahwu.

Selain itu kami paparkan perkembangan ilmu nahwu dapat diruntut menjadi tiga

periode:

1. Periode Perintisan (Periode Bashrah)

Perkembangan pada periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman

Abul Aswad sampai munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad

kesatu Hijriyah. Periode ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa

kepeloporan dan masa pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki

masa Daulah Abbasiyah. Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas

(analogi), belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha

kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa pengembangan ialah makin banyaknya pakar,

pembahasan tema-temanya semakin luas, mulai munculnya perbedaan pendapat,

mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan

mulai dipakainya metode analogi.

2. Periode Ekstensifikasi (Periode Bashrah-Kufah)


Periode ini merupakan masa ketiga bagi Bashrah dan masa pertama bagi

Kufah. Hal ini tidak terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu

dibangun daripada kota Kufah. Pada masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya.

Terjadi perdebatan yang ramai antara Bashrah dan Kufah yang senantiasa berlanjut

sampai menghasilkan apa yang disebut sebagai Aliran Bashrah dengan panglima

besarnya Imam Sibawaih dan Aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam

AlKisa’i. Pada masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas

tema-tema yang saat ini kita kenal sebagai ilmu sharf

3. Periode Penyempurnaan dan Tarjih (Periode Baghdad)

Di akhir periode ekstensifikasi, Imam Al-Ru’asi (dari Kufah) telah

meletakkan dasar-dasar ilmu sharf. Selanjutnya pada periode penyempurnaan, ilmu

sharf dikembangkan secara progresif oleh Imam Al-Mazini. Implikasinya,

semenjak masa ini ilmu sharf dipelajari secara terpisah dari ilmu nahwu, sampai

saat ini. Masa ini diawali dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju

kota baru Baghdad. Meskipun telah berhijrah, pada awalnya mereka masih

membawa fanatisme alirannya masing-masing. Namun lambat laun, mereka mulai

berusaha mengkompromikan antara Kufah dan Bashrah, sehingga memunculkan

aliran baru yang disebut sebagai Aliran Baghdad. Pada masa ini, prinsip-prinsip

ilmu nahwu telah mencapai kesempurnaan. Aliran Baghdad mencapai

keemasannya pada awal abad keempat Hijriyah. Masa ini berakhir pada kira-kira

pertengahan abad keempat Hijriyah. Para ahli nahwu yang hidup sampai masa ini

disebut sebagai ahli nahwu klasik.


Setelah tiga periode diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Andalusia (Spanyol),

lalu di Mesir, dan akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke zaman kita saat ini.

H. TAHAP PERKEMBAGAN SEJARAH NAHWU KONTEMPORER

1. Tahap Pertama

Sejak sebelum masa Islam bahasa Arab telah menjadi bahasa yang sempurna.

bahasa Arab cukup memenuhi kehidupan pemiliknya, baik untuk keperluan komunikasi

antar anggota masayarakat dalam berbagai bidang kehidupan maupun untuk menciptakan

kesusasteraan.

Pergaulan orang Arab dengan orang-orang non-Arab sebelum Islam masih terbatas,

sehingga lahn yang timbul akibat pergaulan merekapun tidak seberapa banyak dan tidak

dikuatirkan akan merusak bahasa Arab itu. Akan tetapi setelah memasuki masa Islam

pergaulan orang Arab dengan bangsa-bangsa sekitarnya semakin meningkat dan lahn pun

meningkat pula sehingga dirasa akan merusak bahasa Arab. Pada abad 1 H. lahirlah lahiran

nahwu untuk memberantas lahn itu. Kelahiran nahwu juga bertujuan agar orang-orang

terutama non-Arab dapat menguasai bahasa Arab dengan baik. 8oleh karena itu, mualilah

dibahas masalah i’rab dan kaidah-kaidahnya.

Atas perintah Ali bin Abi Thalib, Abu al-Aswad al-Du’ali mulai kegiatannya

dengan mengumpulkan masalah-masalah lahn. Setiap orang mendengar lahn segera ia

menunjukan contoh yang benar dari kalimat-kalimat dalam al-Qur’an al-Hadist atau

ungkapan-ungkapan yang baik dan benar dari orang Arab. Oleh karena itu, kaidah yang

8
Said al-Afghani, Min Tarikh al-Nahwi, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h, 26
dibuat pada waktu itu selalu sejalan dengan keperluan masyarakat dan berkaitan dengan

lahn yang terjadi pada lisan pemkai bahasa Arab itu.9

Abu al-Aswad al-Du’ali mengajarkan nahwu itu di masjid jami Basrah. Banyak

murid-muridnya, antara lain Yahya ibn Ya’mur yang bersama Atha, anak Abu al-Aswad al-

Du’ali mengembangkan dan mengelompokan bahasanya menjadi bab-bab dan

menambhkan beberapa masalah nahwu dalam lingkup al-Qur’an. 10

Sebagai ilmu yang baru dan masih tahap awal pertumbuhannya, kaidah-kaidah

yang dihasilkan pada periode awal oleh angkatan pertama ini baru merupakan kaidah

umum yang dibuat atas dasar sima’(yang didengar dari orang Arab). Periode awal angkatan

pertama belum menghasilkan kitab-kitab yang disusun secara sistematis yang ditinggalkan

untuk generasi berikutnya.

Namun, studi nahwu terus berkembang. Kaidah-kaidahnya bertambah. Pada masa

angkatan kedua periode kedua terjadi loncatan pemikiran nahwu dalam prisip

pengembangan nahwu. Abu Amr al-‘Ala (w. 154 H) memasukan qiyas kedalam prisip

penyusunan kaidah nahwu. Ia membuat kaidah atas dasar qiyas kepada ungkapan-

ungkapan orang Arab yang banyak terpakai, sedangkan ungkapan-ungkapan yang kurang

banyak terpakai tidak dijadikan sumber qiyas dan disebut olehnya dengan nama lahjah. 11

Selanjutnya qiyas ini disebut qiyas bashri Berbeda dengan Abu ‘Amr ibn al-‘ala, Abdullah

ibn Abi Ishak menggunakan ungkapan-ungkapan yang oleh Abu ‘Amr ibn al-A’la sisebut

9
Abd. Al-hadi al-fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, (t.t: maktabah al-Manar, t.t), h.21
10
Abd. Al-hadi al-fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 26.
11
Abd. Al-hadi al-fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 30.
lahjah sebagai qiyas, tidak hanya terbatas pada ungkapan-ungkapan yang banyak terpakai

saja.

Apabila ulama Basrah untuk sumber qiyas hanya mengambil teks atau kata yang

banyak dipakai oleh orang-orang yang diakui ke-fasihannya saja, maka ulama kuffah tidak

membuat prinsip qiyas, kecuali prisip yang diambil dari gurunya, yaitu ulama Basrah

terutama al-Hadrami. Tetapi penerapannya longgar. Karena tidak prisip membuat qiyas

yang ketat itu, maka ketika menemukan kalimat syadz atau lahn bahkan yang sebenarnya

salah, mereka membuat kaidah khusus untuk mereka sendiri. Akibatnya terjadi bermacam

kaidah yang kurang singkron antara satu sama lainnya.12

2. Tahap kedua

Pada tahap pertama Abu ‘Amr ibn al-‘Ala’ telah menghasilkan beberapa buku

sebagai karya tulisnya, hanya saja tidak ada yang sampai kepada generasi berikutnya. 13

Adapun prinsip qiyas yang dicetuskan mendapat perhatian generasi berikutnya bahkan

pada periode kedua ini qiyasnya Abu ‘Amr ibn al- ‘Ala itu disempurnakan oleh al-Khalil,

sedang qiyas Abdullah ibn Abi Ishak al-Hadrami dibatalkan. 14

Dengan munculnya yunus ibn Habib al-Khalil, nahwu memasuki fase baru, yang

berbeda denghan fase sebelumnya. Periode ini ditandai, anatara lain dengan 15:

1) Munculnya teori ‘amil nahwu, kemudian berkembang dan mendominasi proses

analisis kalimat,

12
Said al-Afghani, Min Tarikh al-Nahwi, h. 72.
13
Said al-Afghani, Min Tarikh al-Nahwi, h. 70.
14
Muhammad khairuddin al-Halwani, al-Mufassal fi Tarikh al- Nahwi al-͛Araby, (Baerut: Muassah al-
Risalah, t.t), h.176.
15
Abd. Al-Hadi al-Fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 35.
2) Meningkatnya penggunaan qiyas nahwu sebagai pengaruh dari fiqh, terutama oleh

al-Khalil al-Faharadi,

3) Meningkatnya penggunaan ‘llah nahwu, dan

4) Penggunaan peninggalan bahasa zaman jahili dan zaman Islam dalam argumentasi

Pada masa ini nahwu mulai tegak sendiri, mempunyai sumber data yang banyak

terutama terdiri dari fenomena kebahsaan dan kekayaan budaya. Tokoh-tokonya yang

utama adalah Yunus ibn Habib yang berorientasi kepada gurunyaAbu ‘Amr ibn al-‘Ala

yaitu berpegang kepada sima’.16 tokoh yang lain adalah al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi

yang lebih berpegang pada qiyas dan ta’wil.

Pada masa al-Khalil nhwu sangat dekat dengan ilmu fiqh dan ilmu kalam,17

terutama dikota basarah. Sebenarnya sejaka abad 1 H, masa guru-guru Abu Hanifah, guru-

guru imam Syafi’i dan wasil ibn Atha telah banyak terjadi perdebatan dalam bidang

pemikiran keagamaan antara para ulama, termasuk ulama nahwu. Jadi pengaruh fiqih

terhadap nahwu terjadi sejak periode pertama, yaitu pada saat mereka menganggap fiqih

sebagai salah satu pokok ilmu keIslaman. Semua ulama, termasuk ulama nahwu sangat

menaruh perhatian, banyak yang menekuni dan memanfaatkan ilmu fiqh. Sebagai contoh

adalah keterpengaruhan al-Khalil oleh qiyas Abu Hanifah.

Al-Laits ibn al Mudzaffar bertanya kepada al-Khalil. Kata ‫ ﻋﺸريﻦ‬adalah jamak dari

kata ‫ ﻋﺸر‬,jadi ‫ ﻋﺸريﻦ‬sama dengan tiga kali Sembilan atau dua puluh tujuh. Mengapa

‫ﻋﺸريﻦ‬sama dengan dua puluh?

16
Abd. Al-Hadi al-Fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 202.
17
Abd. Al-Hadi al-Fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 280-281.
Al-Khalil menjawab ‫ ﻋﺸريﻦ‬sama dengan 2 X 9 ATAU 18 (‫ ) ﺛﻤﺎﻧية ﻋﺸر‬Dua lagi

merupakan bagian dari‫ﻋﺸر‬yang ketiga digabung dengan 18 (‫ )ﺛﻤﺎﻧية ﻋﺸر‬menjadi 18 + 2 =

20 atau ‫ﻋﺸريﻦ‬jadi benar bahwa ‫ ﻋﺸريﻦ‬sama denga 20, jamak dari ‫ﻋﺸر‬.

Al- Laiy berkata mengapa begitu? Bukankah itu belum sempurna 3X ‫ ? ﻋﺸر‬apa

boleh saya katakana bahwa satu dirham ditambah satu danaq sama dengan tiga dirham?

Al-khalil menjawab saya tidak senang mengqiyaskan dengan dirham, melainkan

dengan ucapan Abu Hanifah. Anda mengetahui Abu Hanifah mengatakan bahwa kalimat

saya talak dia dengan dua talak dan sepuluh talak ( ‫)طلقتهﺎ ﻋﺸر تﻄليقﺎت‬sama dengan talaq tiga.

Sebabnya sepuluh talak ‫ ﻋﺸر تﻄليقﺎت‬yang terakhir itu berkedudukan sebagai talak yang

ketiga. Hitungan Abu hanifah sepuluh ‫ ﻋﺸر‬itu sama dengan hitungan saya dua tadi. Jadi 18

ditambah dua sama dengan ‫ﻋﺸران‬ditambah ‫ ﻋﺸر‬jadi ‫ ﻋﺸريﻦ‬sama dengan 20, karena ‫تﻄليقتيﻦ‬

ditambah ‫ ﻋﺸر تﻄليقﺎت‬sama dengan .‫ﺛﻼث تﻄليقﺎت‬

Di samping itu, ulama nahwu menggunakan ijtihad dalam member fatwa dan

menggunakan ta’wil pada teks-teks untuk menyesuaikan dengan kaidah yang telah dibuat,

seperti halnya ulama fiqih.

Adapun kedekatannnya dengan ilmu kajian tampak pada pengambilan kaidah induk

terutama dalam hal ’amil. Mereka menyatakan bahwa semua kejadian, dalam hal ini ilmu

nahwu menyebutkan I’rab, tentu ada penyebabbnya. Mereka menamakan penyebab ini

dengan ‘amil. Apabila ada 2 ‘amil tentu ada 2 ma’mul. Demikian sebaliknya. Kemudian

tidak mungkin 2 ‘amil bertemu dengan satu ma’mul, karena akan terjadi dua kemungkinan.

Kemungkinan pertama adalah bahwan dua ‘amil mempunyai fungsi yang sama, yaitu

sama-sama me-rafa’-kan, men-nashab-kan atau men-jar-kan, sehingga disebut tahshil al-


hashil. Hal itu tidak masuk akal. Kemungkinan kedua adalah bahwa dua ‘amil itu berbeda

fungsi. Umpamanya yang satu me-rafa’-kan, sedangkan yang lain me-nashab-kan. Hal ini

tidak mungkin dan tidak masuk akal.

Pengaruh ilmu kalam dalam pembentukan kaidah nahwu tampak jelas diterapkan

dalam menganalisis pola tanazu’ seperti kalimat (‫ )جﺎء وجلس الﻄﻼب‬Dalam kalimat ini ada

dua ‘amil, yaitu (‫ )جلس( و )جﺎء‬sedangkan ma’mul-nya hanya ada satu, yaitu (‫ )الﻄﻼب‬Dalam

hal ini terjadi dua pendapat. Pertama, menurut ulama Bashrah yang beramal hanya ‘amil

yang kedua, yaitu kata (‫)جلس‬karena ‘amil itu dengan mu’mil, sedangkan ‘amil yang

pertama, yaitu(‫) جﺎء‬diberi ma’mul lain, yaitu dhamir yang sesuai dengan ma’mul, maka

kalimat itu menjadi (‫)جﺎؤوا وجلس الﻄﻼب‬Kedua, ulama Kufah berpendapat sebaliknya.

Mereka menganggap bahwa yang beramal adalah ‘amil yang pertama. ‘Amil yang kedua

diberi ma’mul lain, yaitu dhamir yang sesuai dengan mu’mil tersebut (‫ )الﻄﻼب‬Maka kalimat

itu berubah menjadi (‫)جﺎء وجلسوا الﻄﻼب‬sesuai dengan kaidah tanazu’ pada bait=bait berikut.

‫ قﺒﻞ فللواحد منهﻤﺎ العﻤﻞ‬+ ‫إن ﻋﺎمﻼن اقتضيﺎ في اسم ﻋﻤﻞ‬

‫ واختﺎر ﻋكسﺎغيرهم ذا أسرة‬+ ‫ولثﺎﻧي أول ﻋند أهﻞ الﺒصرة‬

‫ تنﺎزﻋﺎه والتزم مﺎ التزم‬+ ‫واﻋﻤﻞ الﻤهﻤﻞ في ضﻤير مﺎ‬

‫ وقد بغي واتديﺎ ﻋﺒداك‬+ ‫كيحسنﺎن ويسيء ابنك‬

Dalam pola tanaz’u ulama nahwu tampak jelas menerapkan kaidah tersebut di atas,

yang memberikan gambaran keterpengaruhan dan kedekatan mereka dengan ilmu kalam.

Padahal dalam Al-Qur’an dan lain-lain banyak terdapat pola yang disebut mempunyai dua

‘amil itu, seperti (‫ أن جﺎءه اﻷﻋﻤى‬.‫ )ﻋﺒس وتولى‬Juga dalam syair seperti
‫ ﻧﻤخﻞ فﺎستﺎكت به ﻋواد اسحﻞ‬+ ‫إذا هي لم تستك يعود أراكة‬

‫ وأبي فكﺎن وكنت غير غدور‬+ ‫إﻧي ضﻤنت لﻤﻦ أتﺎﻧي مﺎ جنى‬

Keterpengaruhan nah bisa di-tashrifkan wu oleh ilmu kalam dan ilmu fikih

tampak pada gagasan al-Khalil tentang teori ‘amil, terutama dalam pola tanazu’ seperti

dijelaskan di atas. Lebih lanjut al-Khalil membagi ‘amil menjadi ‘amil lafzhi dan ‘amil

ma’nawi. ‘Amil ada yang lebih kuat dari ‘amil.

Al-khalil orang pertama yang menyatakan bahwa ‘amil ada yang kuat dan ada yang

lemah atau yang disebut masing-masing ‘amil asli dan ‘amil cabang. Contoh ‘amil yang

lemah adalah (‫ )إن‬yang mempunyai dua amal, yaitu mubtada’dan khabar seperti ‫)إن السﺎﻋة‬

(‫آتية أكﺎد أخفيهﺎ‬Tetapi ‘amil ‫ إ ن‬itu lemah dibanding, ‫ كﺎن‬karena ‫ إن‬itu tidak dapat di-tashrif dan

mempunyai isim dhamir, sedangkan ‫ كﺎن‬biasa di-tasrif menjadi fi’l mudhari seperti ‫يكون‬

fi’il amr seperti ‫ كﻦ‬, dan mashdar seperti ‫ كوﻧﺎ‬.masing-masing kata yang ditasrif dari ‫كﺎن‬

itu ber-amal pula seperti amal ‫ كﺎن‬.bahkan kata-kata yang ditasrif itu dalam bentuk

mudzakar dan mua’nast, baik mufrad (tunggal), mutsanna, jama’, semuanya ber-amal

merafakan isism dan me-nasabkan khabar, seperti:

‫ومﺎ كﺎن ربك ﻧسيﺎ‬

‫كﺎن صديقﺎ ﻧﺒيﺎ إﻧه‬

‫يﺎ آبت إﻧي أخﺎف أن يﻤسك ﻋذاب مﻦ الرحﻤﻦ فتكون للﺸيﻄﺎن وليﺎ‬

‫كوﻧوا قردة خﺎسئيﻦ‬

Demikian pula saudara-saudara ‫ كﺎن‬seperti ‫ بﺎت‬،‫ كﺎد ظﻞ‬،‫ برح‬،‫ ليس‬،‫ صﺎر‬،‫ أصﺒح‬dan

lain-lain lebih kuat dari saudara-saudara ‫ إن‬seperti ‫أن‬, ‫لكﻦ‬, ‫ لعﻞ‬dan ‫كأن‬.
Al-Khalil berperan besar dalam meletakan dasar-dasar penciptaan kaidah nahwu.

Ia menyempurnakan dasar-dasar yang telah diletakan oleh Abu alAswad al-Du’ali dan

ulama berikutnya hingga akhir angkatam periode pertama, yaitu sampai masa Abu Amr ibn

al-A’la mereka telah mengadakan penelitian, membuat prinsip analisis, kemudian menarik

kesimpulan tentang aturan-aturannya, sedang al-Khalil meneliti kembali, memperdalam

analisis, kemudian memberikan deskripsi lebih luas dan jelas. 18

Tidak berlebihan kiranya al-Khalil disebut sebagai ulama nahwu terbesar di Irak,

bahkan terbesar sepanjang masa. Dari pikiran-pikirannya timbul karya-karya besar

ditangan murid-muridnya dan ulama sesudahnya, seperti, al-Kitab karya sibawih.

1. Penjelasan Singkat Perkembangan Ilmu Nahwu

Dorongan utama dari penyusun nahwu ini adalah semata-mata untuk membentengi

bahasa arab Arab dari kesalahan ungkapan (lahn) yang ada pada masa itu mulai menular

serta merusak “edisi” Arab fusha. Dengan dilemma yang ada, maka para ulama mersa

khawatir atas keautentikan bahsa Arab yang akan berimplikasi pada pengkontaminasian

cara membaca dan memahami al-Quran. Keprihatinan ini amatlah wajar sebab, sebelum

bahasa arab jerjankit lahn, masyarakat Arab senddiri sudah mendapat masalah internal

dalam keterbatasan : mereka terbagi kedalam klan (suku) yang bermacam-macam, tiap klan

memiliki bahasa yang berbeda-beda antara suku satu dan yang lain. Upaya menyatukan

bahasa menduduki urutan penting pertama sebelum memerangi virus lahn lain yang dating

setelah agenda penaklukan (Arab : al-futuhat). Atas perintah Ali bin Abi Thalib, Abu al-

Aswad al-duali (Dhalim ibn ‘Amru ibn Hambal ibn Jundl ibn Sulaiman ibn Hils al-Duali

18
Muhammad Khairaddin al-Halwani, al-Mufassal fi Tarikh al- Nahwi al-͛Araby, h. 263.
al-Kinnani) 1 SH-69 H/605-688 M. Berjuang untuk menyusun kaidah-kaidah dasar bahasa

Arab yang akan menjadi rujukan dikala terjadi kesalahan ungkapan tersebut.

Meski para sarjana bahasa berbeda pendapat tentang Abu al-Aswad sebagai peletak

dasar ilmu Nahwu. Namun tidak boleh dilupakan bahwa disana banyak sekal;I pendapat

yang menguatkan keabsahannya sebagai pioneer ilmu nahwu (Arab : wadhi’-u ‘ilm al-

Nahwu) itu sendiri, seperti disinggung dengan bagus oleh Ahmad Amien, bahwa Ibn

Qutaybah dalam kitab al ma’arif mangafirmasi posisi Abu al-Aswad sebagai orang:” yang

pertama kali meletakan dasar pondasi Nahwu” orang yang pertama kali memberikan titik

di mushaf dan meletkan pondasi nahwu adalah Abu al-Aswad. Inovasi yang digagas oleh

Abu alAswad ini, lambat laun, kemudian disambut hangat oleh para penduduk Arab dikala

itu. Maka tak heran jika ilmu ini berkembang begitu pesatnya sehingga melahirkan banyak

generasi mahir dibidang ilmu bahasa Arab.

Setelah Abu al-Aswad wafat, dua muridnya yaitu : Nashr ibn Ashim al-Laitsi (wafat

89 H) dan Yahya ibn ya’mur (Wafat 129 H) langsung siagap mengambil tongkat estafeta

gurunya dalam mempelopori perkembangan Bahasa Arab dari masa ke masa. Selang

beberapa tahun kemudian, setelah kematian muridmurid Abu al-Aswad, munculah seorang

ulama popular yang karya agungnya menjadi disiplin ilmu terkenal dalam sastra arab yaitu

: Khalil ibn Ahmad alFarahidi. Estafeta al-Khalil ini melahirkan murid brilian, sibaweh

dengan karya besarnya: “al-Kitab”

Lagi-lagi disini menarik sekali menyelipkan argument Ahmad Amien, bahwa

Sibaweh tercatat sebagai murid Khalil ibn Ahmad al-Farahidi, pengarang alKitab “Mu’jam

al-Ayn”, darinya pula ia belajar gramatika bahasa Arab dengan benar. Ahmad Amien

memuji Khalil telah member sumbangsih banyak dalam memperkaya khazanah Nahwu,
tetapi herannya selepas al-Kitab Sibaweh muncul pamor nomer satu Khalil merosot. Malah

seperti amatan Ahmad Amien, dalam kitab al-Zubaidi Mukhtasar kitab al-‘Ain misalnya

menyebut al-Kitab karya Sibaweh telah melumpuhkan kitab-kitab nahwu sebelumnya dan

mematahkan kitabkitab Nahwu yang dating setelahnya. Ini adalah isyarat bahwa peran

Sibaweh sudah melampaui gurunya sendiri.

Polemik ahli nahwu basrah dan kuffah

Sejarah mencatat bahwa formulasi gramatika bahasa arab tidak berjalan

mulus apa adanya, disana ada pergolakan yang akut. Kiranya tiga kota besar : Basrah,

Kuffah, dan Baghdad patut diperhitungkan untuk meninjau kasus polemik ilmu nahwu.

Di antara tiga kota besar itu adalah Basrah dan Kuffah yang banyak mewarnai

polemik pembahasan ilmu bahasa Arab. Factor penyebabnya tiada lain karena kedua kota

tersebut sama-sama memiliki ulama ahli bahasa andalan. Basrah memiliki pakar bahasa

sekaliber khalil ibn Ahmad al-Farahidi dan sibaweh, sedangkan di Kuffah, sejak

munculnya Abu Ja’far al-Ruasi kemudian disusul dua orang muridnya : al-Farra’ dan al-

Kisai’, tercatat. Menjadi lawan (oposan) bagi ulam bahasa Basrah.

Penting diketahui bahwa imbas perbedaan ulama Basrah dan Kuffah, dengan

sendirinya membuat madhab pemikiran keduanya berbeda dramatis. Aliran Basrah

berpijak pada qiyas karena terpengaruh pada logika Yunani yang kuat waktu itu, sedangkan

Kuffah lebih tergiur pada pendengaran (sama’ie).

Sementara itu kegiatan mengembangkan bahasa di Basrah dan Kuffah semakin

sistematis, masing-masing dari dua kubu tersebut memiliki sebuah majlis bagi pecinta

bahasa maupun syi’ir. Majlis hanya dipergunakan untuk mengkaji, mendalami, dan
meningkatkan bakat bahsa Arab. Kelompok ini kemudian dikenal dengan “Madrasah”

dalam perkembangannya. Basrah telah mendirikan madrasa lebih lama dari pada Kuffah,

dengan selisih 100 tahun lamanya. Di Basrah nama madrasah itu “Ukadz” yang berdiri

sejak zaman jahiliyah, sementara nama madrasah di Kuffah adalah “al-Naqasyah”.

Dalam mempelajari ilmu tata Arab, prioritas yang harus diutamakan adalah ilmu

Nahwu dan Sharf sebagaimana kata sebagian ulama :‫ اﻋلم أن الصرف أم العلوم والنحو أبوهﺎ‬ilmu

Sharaf diasumsikan induk segala ilmu, sebab ilmu inilah yang dapat melahirkan semua

bentuk kalimat, sedangkan kalimat-kalimat itu menjadi petunjuk segala ilmu. Adapun ilmu

Nahwu diasumsikan sebagai bapaknya karena ilmu inilah yang mengatur susunan kalimat

tersebut.19

I. Imam Sibawaih dan Ilmu Nahwu

Ilmu Nahwu adalah ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui

keadaan akhir kata bahasa arab yang berhubungan denganya. Adapun faktor yang

mendorong di rumuskanya ilmu Nahwu adalah keinginan adanya fasilitas ilmu yang

memadai untuk memahami pesan-pesan agama dalam al-Qur’an dan al Hadits yang

berbahasa Arab, Implikasi dari bahasa al Qur’an dan al-Hadits dalam melakukan amal

sehari-hari khususnya yang berkaitan dengan praktek kegamaan harus menggunakan

bahasa Arab. Di samping itu dalam sejarah hidup para ulama Nahwu kebanyakan dari

mereka adalah para ahli Qira’ah, ahli bacaan al Qur’an, yang berkepentingan untuk

menjaga otentitas bacaan al Qur’an Imam Sibawaih terkenal dengan julukan ‘ajam yang

menunjukan bahwa beliau berasal dari Persia. Nama lengkapnya ‘Amr bin ‘Usman Qunbar,

19
Syekh Makruf, Perkembangan Ilmu Nahwu, h p://syekhmakruf.blogspot.com/2011/01/ perkembangan-
ilmu-nahwu.html diunduh pada tanggal 17 maret 2023 Pukul 13.30 wita.
lahir di daerah Baidha sebuah desa di negeri persia berdekatan dengan Syiraz pada tahun

148 H bertepatan dengan tahun 765 M. Beliau adalah salah satu murid dari Al-khalil bin

Ahmad al Farahidi yang diakui kecerdasan dan kepandaianya dalam masalah Nahwu

tentang ‘amil dan ‘awamil yang kemudian oleh beliau di kumpulkan ilmuilmu tersebut

menjadi Al Kitab. Beliau termasuk ulama yang paling berjasa dalam pengembangan dan

penyempurnaan ilmu Nahwu Bashrah.

Di antara para linguis yang turut serta mengembangkan ilmu Nahwu adalah Imam

Sibawaih karena di tangan Beliaulah bermacam-macam istilah Nahwu lahir. Kota Bashrah

merupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Dalam skripsi ini bermaksud untuk meneliti lebih

lanjut tentang peran serta karya Imam Sibawaih dan kontribusinya terhadap perkembangan

ilmu Nahwu khususnya di Bashrah.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Afghani, Said. Min Tarikh al-Nahwi. Beirut: Dar al-Fikr. t.t.

Allam, Abdul Aziz Ahmad. Min Tarikh al-Nahwi al-Arabi. dalam majalah
”Majallah”, Jami’ah al-Imam bin Saud, edisi II, 1401-1402.
Bajang, Agus. Perkembangan dan Sejarah Ilmu Nahwu,
http://agusbajang.blogspot.com/2009/12/perkembangan-dan-
sejarah-ilmu-nahwu.html diunduh pada pada 14 Maret 2023
pukul 22.30 wita.
Dhaif, Sauqi. al-Madaris al-Nahwiyyah. Mesir: Dar al-Maaris. t.t.
al-fadhli, Abd. Al-hadi. Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat. t.t: maktabah al-
Manar. t.t.
al-Halwani, Muhammad khairuddin. al-Mufassal fi Tarikh al- Nahwi al-
’Araby. Baerut: Muassah al-Risalah. t.t.
al-Jabiri, Muhammad Abid. Takwin al-‘Aql al-Arabi. Beirut: Markaz
Dirasah Wahdah al-Arabiyyah. cet. IV. 1989.
Syekh Makruf. Perkembangan Ilmu Nahwu,
http://syekhmakruf.blogspot.com/2011/01/perkembangan-ilmu-
nahwu.html diunduh pada tanggal 17 maret 2023 Pukul 13.30
wita.
Mukrim, Abd al-‘Al Salim. al-Quran al-Karim wa Atsaruhu Fi al-Dirasat
alNahwiyyah. Mesir: Dar al-Maarif. t.t.

Anda mungkin juga menyukai