MAKALAH
Oleh
Ahmad Musyarraf Irfam
NIM: 80100322253
Dosen Pemandu:
Ilmu nahwu (sintaksis) adalah disiplin ilmu yang membahas kedudukan suatu
kalimat dalam bahasa arab, dengan mempelajari ilmu nahwu memberikan solusi untuk
mengatasi berbagai kesulitan yang ada dalam kitab, khusus kitab-kitab berbahasa arab,
karena bahasa arab selain bahasa pergaulan adalah bahasa pemersatu umat Islam, bahasa
al-Qur’an dan al-Hadis. Agama Islam diturunkan di tengah – tengah kultural arab maka
bahasa arab sangat identik dengan komunitas, wilayah kultur arab itu sendiri. Bahasa yang
digunakan al-Quran dan al-Hadis adalah bahasa arab Quraiys sesuai dengan kesepakatan
Seiring dengan perkembangan dari mulai di turunkan agama Islam di tanah arab, di
utusnya Nabi Muhammad sebagai pelopor pembaharu dalam berbagai sosial kebudayaan
jahiliyah, terutama sekali konstruksi bahasa arab oleh para ulama setelah nabi wafat.
Penomena peristiwa yang berlaku saat itu adalah banyaknya pengikut Islam dari berbagai
wilayah di luar arab, yang tentunya memiliki cara pandang dan teori membaca al-Quran.
Denagan demikian, para ulama mulai menyususun konsep untuk pemberlakuan tata
perkembangan ilmu nahwu mulai dari periode pertama hingga akhir. Di samping itu kami
Andai saja kita mengenal bahasa dalam konsepsinya yang paling luas –
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Jani – yakni “suara yang diucapkan oleh setiap
kaum untuk menyatakan tujuannya” atau dalam definisi yang lain sebagaimana yang
dikemukakan oleh Edward Sabr yakni “instrumen manusiawi yang dikhususkan untuk
menyatakan pikiran, sikap, dan keinginan, melalui aturanaturan yang sistematis, yang
dilakukan dengan sadar. Apabila kita mengenal konsepsi seperti diatas, maka kita akan
memahami bahasa sebagai sesuatu yang bersifat menyeluruh, atau bahwa bahasa
merupakan aturan umum yang tersusun dari aturan-aturan parsial yang satu sama lain
tidaklah saling bertentangan. Pada akhirnya kita akan menyadari bahwa kita tidak akan
mungkin bisa terlepas dari bahasa apabila bahasa memang memerankan posisinya
nahwiy) 2. Aturan perubahan bentuk kata (al-nizham al-sharfiy) 3. Aturan pelafalan (al-
Aturan sintaksis (nahwu) secara khusus berbicara tentang aturan dalam menyusun
kalimat. Dari sini kita memahami bahwa titik tekan kajian nahwu ialah pada kalimat (al-
jumlat), yang ditinjau makna umumnya dalam batas-batas tertentu. Maksudnya, ilmu
nahwu secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum
berbicara tentang aturan mengenai hubungan antara elemen tersebut. Demikianlah, ilmu
nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat
serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik kita
disebut sebagai hubungan penyandaran (isnad), atau dalam analisis yang dipakai oleh
Imam Abdul Qohhar Al-Jurjaniy dimana beliau menjadikan ilmu nahwu sebagai landasan
dalam mengungkap keajaiban Al-Qur’an (I’jaz Al-Qur’an). Beliau menulis dalam kitabnya
“Ketahuilah bahwa apabila Anda melakukan refleksi terhadap diri Anda sendiri,
maka Anda akan memahami sesuatu yang tidak bisa diragukan lagi, yakni bahwasanya
dalam berbicara tidak ada aturan maupun tata urutan tertentu kecuali bahwa sebagian mesti
tergantung pada yang lain dan sebagian mesti dibangun diatas yang lain. Demikian pula,
suatu keadaan ini mesti disebabkan oleh sesuatu yang lain. Yang demikian ini merupakan
sesuatu yang tidak akan dipungkiri oleh mereka yang berakal sehat, juga merupakan
sesuatu yang tidak tersembunyi bagi satu orang manusia pun. Apabila kita mengamati yang
demikian itu, kita akan mengetahui bahwa, tidak bisa tidak, apabila Anda menggunakan
sebuah isim maka isim tersebut pasti menjadi fa’il atau maf’ul bagi fi’il-nya. Apabila Anda
menggunakan dua buah isim maka salah satu akan menjadi khabar bagi yang lainnya.
Apabila Anda meletakkan isim mengikuti isim yang lain maka isim yang kedua pasti
merupakan shifat bagi yang pertama, penegasan (ta’kid) baginya, atau pengganti (badal)
baginya. Apabila Anda meletakkan isim dibelakang sebuah kalimat sempurna maka isim
tersebut akan menjadi shifat, hal atau tamyiz. Apabila Anda menginginkan bahwa dari dua
fi’il, salah satu menjadi syarat bagi yang lainnya, maka Anda harus memakai huruf atau
isim dengan makna yang sesuai. Demikian seterusnya, kita bisa menganalogikannya”.
lain. Demikianlah sampai kalimat-kalimat kita menjadi teratur dan tersusun secara
sempurna, dalam rangka mengungkapkan makna tertentu. Dalam hal ini, beliau menulis :
“Persoalannya ialah sebagai berikut. Anda tidak akan menemukan sesuatu yang
kebenarannya – jika memang benar - merujuk pada aturan dan kekeliruannya – jika
memang keliru - merujuk pada aturan, kecuali itu semua termasuk dalam makna ilmu
nahwu. Maka Anda tidak akan melihat suatu kalimat bisa dinyatakan benar atau salah
susunannya, dan dinyatakan sebagai kalimat yang bagus dan indah, kecuali Anda harus
mempunyai rujukan tentang kebenaran dan kekeliruannya, atau tentang kebagusan dan
keindahannya, yang semua itu terdapat dalam makna-makna dan hukum-hukum ilmu
Adapun ilmu atau aturan perubahan kata (sharf), ia banyak berkaitan dengan
(wazan) dan indikasinya, serta bentuk-bentuk perubahan yang sangat beragam seperti
pencacatan (al-i’lal), serta keadaan saat terus (washl) dan saat berhenti (waqf). Dari sana
kita bisa mengatakan bahwa titik tekan kajian sharf ialah al-shighat wa al-bunyat atau,
Adapun ilmu atau aturan pelafalan, ia secara khusus mempelajari pelafalan bahasa,
sesungguhnya ia menitikberatkan pada aspek makna dan aspek penunjukan makna. Titik
berat pada aspek makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang makna leksikon (al-
ma’na al-mu’jami, al-ma’na al-qamusi) dari suatu kata, makna kontekstualnya (al-ma’na
al-siyaqi) yang disebabkan oleh susunan disekitarnya, makna individual, makna sosial, dan
sebagainya. Titik berat pada penunjukan makna berarti bahwa disana akan dipelajari
tentang perkembangan makna suatu kata, yang dipengaruhi oleh banyak variabel seperti
aspek individu, bahasa, sosial, kebudayaan, militer, politik, peradaban, dan lain-lain.
Cabang-cabang ilmu diatas secara bersama-sama membentuk bangunan ilmu bahasa secara
keseluruhan. Kita tidak mungkin memisahkan sama sekali satu cabang dari yang lainnya
karena bahasa, semuanya saja, bukan merupakan sesuatu yang bisa dipisah-pisah. Bahasa
tidak akan bisa berfungsi sebagaimana mestinya apabila salah satu atau beberapa
tertentu dari beberapa angka, misalnya 751265. Setiap nomor dalam susunan tersebut
1. Demikian seterusnya. Ada yang berada pada posisi satuan, puluhan atau ratusan. Angka
5 pada posisi satuan berbeda dengan angka yang sama pada posisi puluhan ribu. Yang
pertama berarti 5 sementara yang belakangan berarti 50000. Demikianlah nomor telepon
melakukan fungsinya dimana semua persyaratan yang telah diterangkan diatas harus
terpenuhi tanpa kecuali. Apabila salah satu angka dihilangkan, atau salah satu angka diubah
seperti 5 diubah menjadi 4, atau angka-angkanya ditukar tempatnya, maka fungsinya pun
akan hilang.
Demikian pula dengan bahasa, tidak bisa tidak. Kita harus memahaminya dari
segenap aturan-aturannya baik itu dari aspek nahwu, sharf, pelafalan, atau penunjukan
maknanya. Satu pun dari aspek-aspek tersebut tidak mungkin bisa ditinggalkan. Kita
menjadikannya sebagai disiplin ilmu yang bisa dipelajari secara terpisah, karena masing-
masing aturan tersebut memiliki manhaj, tema, tujuan, persoalan, dan kaidahnya sendiri-
sendiri. Semua itu hanyalah dilakukan dalam rangka studi dan pengkajian, serta untuk
Dari sini jelas sudah kaitan antara nahwu dan bahasa yakni bahwa nahwu
merupakan bagian dari bahasa. Demikian juga telah jelas pula kaitan antara nahwu dan
sharf, pelafalan, serta penunjukan makna. Semuanya merupakan elemen-eleman dari satu
Berdasarkan apa yang sudah dikemukakan diatas tentang karakteristik fungsi ilmu
nahwu, kiranya sudah jelas bagi pembaca bahwa nahwu tidaklah sebagaimana yang
didefinisikan oleh sebagian orang, yakni “mengetahui harakat dari akhir kata serta
i’rabnya”. Nahwu, ternyata, lebih luas daripada sekedar masalah harakat akhir kata. Ia
merupakan ilmu yang mengkhususkan diri berbicara tentang aturan menyusun dan
merangkai ucapan. Kata-kata harus disusun berdasarkan pola-pola tertentu dan kaidah-
kaidah yang sudah ada. Demikianlah kata-kata itu tersusun berdampingan satu sama lain,
memiliki harakat yang berbeda-beda, dan memiliki posisi yang berbeda-beda, sesuai
dengan aturan umum berbahasa. Nahwu merupakan ilmu mengatur kata-kata atau ilmu
menyusun katakata, yang banyak mempelajari tentang pengaturan kalimat dalam berbagai
macam dan bentuknya. Ia juga mempelajari tentang elemen-elemen kalimat baik dari sisi
kedudukannya, fungsinya, kaitannya, i’rabnya, dan hal-hal lain yang termasuk dalam
aturan-aturan nahwu.
penyusunan (peletakan) ilmu nahwu. Para ahli tata bahasa kontemporer – di Timur maupun
di Barat – hanya bisa tercengang dengan penuh rasa takjub, karena ilmu nahwu ternyata
sangat sempurna, memiliki kaidah yang teliti, dan hukumhukumnya senantiasa konsisten.
Ini, sungguh, merupakan sebuah penemuan ilmiah sekaligus prestasi pioner dalam bahasa,
yang dicapai dibawah petunjuk Kitab Suci Rabb semesta alam dan sunnah Nabi saw.
Disamping itu, semua ini juga karena lingkungan yang khas dengan ketercerahan,
kejernihan pikiran, kejelasan pandangan, dan kejelasan akan kebenaran. Karakter pikiran
yang demikian itu telah menghasilkan ingatan yang kuat, ketajaman rasa, kemampuan
solving melalui kajian yang mendalam. Namun sebelum semua itu, akal Arab telah
memiliki orientasi yang amat mulia, yang menjadi bagian dari aqidah dan iman, yakni
untuk menjaga Al-Qur’an yang mulia serta memeliharanya dari berbagai kesalahan dan
kekeliruan.
kebatilan dengan baju kebenaran, yakni dengan mengatakan bahwa asal muasal dan
referensi tata bahasa Arab ialah tata bahasa lain. Mereka menyebarluaskan paham bahwa
para ahli tata bahasa Arab telah dipengaruhi oleh para ahli tata bahasa lain.
Berangkat dari sini, kita hendaknya memahami bahwa bahasan tentang penyusunan
ilmu nahwu merupakan bahasan penting yang harus dicermati oleh para generasi muda
kita. Mereka harus melakukan pengkajian yang detail atas bahasan tersebut. Dengan
demikian pemahaman mereka atas khazanah klasik akan bertambah. Disamping itu,
mereka juga akan sanggup membela kemuliaan generasi terdahulu mereka, membentengi
diri mereka dari gelombang keragu-raguan dan inferioritas, dan penghancuran khazanah
yang cukup banyak. Siapakah yang menyusunnya? Sebelum pertanyaan ini ialah
pertanyaan “Apa sebab-sebab yang mendorong penyusunannya?” Bab apa yang pertama
kali disusun dalam ilmu nahwu? Atau barangkali ilmu nahwu disusun secara sekaligus?
Dimana dan kapan ia disusun? Lalu apa saja bahasan ilmu ini? Apa tujuan dan fungsinya?
Dari mana ia dikembangkan? Demikian seterusnya, yang semua persoalan tersebut akan
Orang-orang Arab pra-Islam merupakan model sebuah masyarakat yang khas dan
unik. Mereka memiliki tradisi bahasa yang menjadi patron bagi aturan bahasa secara
umum. Pada masa mereka tidak terjadi pergumulan dengan bangsabangsa lain yang sampai
menimbulkan pengaruh yang signifikan pada bahasa mereka. Ini berkebalikan dengan apa
yang terjadi pada zaman sesudah Islam, dengan beberapa alasan yang akan dibahas
kemudian.
1. Pertama, tingkatan bahasa fasih, yang berupa bahasa patron yang disepakati, dan
berkiblat pada dialek Quraisy yang digunakan dalam bidang keagamaan, politik,
2. Kedua, tingkatan dialek, yang terdiri dari dialek-dialek berbagai kabilah yang
sangat banyak jumlahnya, yang mana cara dan tradisinya berbeda satu sama lain sampai
Orang-orang Arab saat itu mampu berbicara dalam kedua tingkatan tersebut, yang
fasih maupun dialek. Mereka menggunakan bahasa dialek apabila sedang bercakap-cakap
santai dengan keluarga. Apabila mereka pada saat yang lain dituntut untuk memakai bahasa
yang fasih maka mereka pun akan melakukannya tanpa merasa kesulitan.
KELAHIRANNYA
Al-Jabiri dalam salah satu bukunya yang sangat terkenal ”Takwîn al-Aql al-Arabi”
menyatakan bahwa “jika filsafat disebut sebagai mukjizat bangsa Yunani, maka
terpenting bangsa Arab terhadap peradaban yang diwariskan kepada dunia adalah “agama
1
Muhammad Abid al-Jabiri, Takwin al-͚Aql al-Arabi, (Beirut: Markaz Dirasah Wahdah alArabiyyah, 1989),
cet. IV, h. 76.
dan bahasa”. Keduanya saling terkait erat dan tidak dapat dipisahkan. Munculnya berbagi
perselisihan mazhab, baik dalam fiqih maupun kalam jika dicermati, di antaranya, juga
disebabkan oleh bahasa, dalam hal ini adalah masalah interpretasi teks (bahasa) al-Qur’an.
Begitu pula dalam perselisihan politik, meskipun berlatar belakang sosial, ekonomi dan
golongan, namun adakalanya pula timbul dari soal pemahaman teks (bahasa) agama.
Itu sebabnya, aktifitas ilmiah pertama yang dilakukan dalam tradisi intelektual
Islam adalah terkait dengan masalah kebahasaan seperti kodifikasi bahasa, meletakkan
dalam pembahasan bahasa ini lalu dijadikan mode dalam berbagai aktifitas intelektual
lainnya. Karenanya, tradisi keilmuan Islam yang berkembang setelah ilmu bahasa sangat
terwarnai oleh metode dan cara berpikir para linguist dan grammarian generasi pertama.
Oleh karena itu, pada bagian ini penting rasanya menelusuri kembali mula pertama
aktifitas dunia kebahasaan yang kemudian disebut dengan ilmu nahwu, terutama yang
Berbagai literatur Arab yang membahas historisitas nahwu hampir dapat dipastikan
bahwa pada umumnya memiliki nuansa pengkajian yang seirama, yaitu terfokus pada dua
hal: peletak dasar (penggagas) disiplin nahwu, dan kedua latarbelakang kelahirannya.
Terkait dengan soal pertama, perbincangan yang mewarnai berbagai literatur Arab berkisar
pada “pro-kontra” dalam memastikan nama utama yang dianggap sebagai penggagas ilmu
nahwu ini. Paling tidak terdapat lima nama yang disebut-sebut secara kontroversial sebagai
panggagasnya, yaitu; Abu al-Aswad al-Du’ali, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab,
2
Abd al-͚Al Salim Mukrim, al-Quran al-Karim wa Atsaruhu Fi al-Dirasat al-Nahwiyyah, (Mesir: Dar al-
Maarif, t.t), h. 49.
Kajian ini tidak akan larut dan terjebak pada kontroversi di atas, sebab hampir dapat
dipastikan semua nama yang tersebut tadi memiliki peran masingmasing dalam membidani
kelahiran dan pertumbuhan nahwu. Abu al-Aswad alDu’ali dan para muridnya yaitu
Anbasah al-Fil, al-Aqran, Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur, misalnya, dalam
berbagai literatur diakui sebagai penggagas awal ilmu nahwu. Abu Aswad al-Du’ali berjasa
Kemudian murid dari para murid Abu Aswad terutama Ibnu Abi Ishaq al-Hadhrami, Isa
bin Umar alTsaqafi dan Abu Amr bin al-Ala’ lebih jauh mengembangkan teori-teori yang
telah dirintis di atas dengan cara membuat rumusan tatabahasa yang sedikit lebih luas
dengan melakukan penelitian mendalam mengenai karakter bahasa Arab, ia juga dianggap
sebagai penggagas metode “ta’lil dan qiyas” dalam nahwu. 3 Lebih dari itu, generasi ini
juga telah membukukan teori-teori mereka seperti yang dilakukan oleh Isa bin Umar dalam
Sementara terkait dengan latar belakang yang mendorong lahirnya ilmu nahwu ini
hampir semua literatur yang tersedia sependapat yaitu disebabkan karena semakin
meluasnya kesalahan-kesalahan berbahasa secara baik dan benar menurut standar bahasa
Arab yang fasih, atau yang lebih akrab disebut dengan istilah “alLahn”. 5
Terlepas dari faktor utama yang mendorong proses ilmiah bahasa Arab (kodifikasi
dan perumusan gramatikanya), misalnya saja demi menjaga kemurnian bahasa al-Quran
atau karena meluasnya “lahn” seperti di tengah masyarakat seperti disinggung di atas, atau
3
Sauqi Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyyah, (Mesir: Dar al-Maaris, t.t), h. 18.
4
Abdul Aziz Ahmad Allam, Min Tarikh al-Nahwi al-Arabi, dalam majalah ”Majallah”, Jamı͛ ah
al-Imam bin Saud, edisi II, 1401-1402
5
Abd al-͚Al Salim Mukrim, al-Quran al-Karim wa Atsaruhu Fi al-Dirasat al-Nahwiyyah, h. 45- 50.
siapapum penggagas utama cabang pengetahuan nahwu ini, yang pasti aktifitas ilmiah
tersebut telah menjadi catatan penting dalam sejarah intelektual Islam yang menandai
adanya suatu perubahan radikal dalam dunia kebahasaan Arab. Aktifitas intelektual
tersebut telah merubah bahasa Arab dari sebuah bahasa non ilmiah (tidak dapat dipelajari
dengan metode ilmiah) menjadi bahasa ilmiah, bahasa yang memiliki aturan dan sistem
Dalam kaitan ini, Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-170 H) dipandang sebagai
orang yang paling berjasa dalam proses ilmiah yang sebenarnya dalam bahasa Arab.
Pengetahuannya yang begitu luas baik tentang hadits, fikih, bahasa, matematika dan logika
formal (manthiq) dan didukung dengan kecerdasan yang luar biasa, ilmu nahwu ia
kembangkan sedemikian rupa baik secara teoretik maupun cakupan kajiannya. Dengan
kata lain, bahasa Arab mulai benar-benar menjadi bahasa yang ilmiah dan dapat dipelajayjri
komprehensif oleh Khalil bin Ahmad al- Farahidi ini.6 Oleh karena itu, pada umumnya
kajian seputar metode dalam proses ilmiah bahasa Arab lebih terfokus pada penelusuran
metode yang digunakan oleh Khalil tersebut. Tulisan ini juga akan bertitik tolak dari hal
Ilmu nahwu merupakan bagian dari ilmu bahasa secara umum. Secara keseluruhan,
ilmu bahasa meliputi ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu pelafalan, dan ilmu semantik. Ilmu sharf
(wazan) berikut indikasinya, serta bentuk-bentuk perubahan yang sangat beragam seperti
6
Sauqi Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyyah, h. 34-46.
penghapusan, penambahan, perentangan, pemendekan, peleburan, pembalika,
penggantian, pencacatan, serta keadaan saat terus dan saat berhenti. Dengan kata lain, kata
Adapun kata kunci dalam ilmu pelafalan ialah suara. Sementara, ilmu semantik
menitikberatkan kajiannya pada aspek makna dan penunjukan makna. Titik berat pada
aspek makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang makna leksikon dari suatu kata,
makna kontekstualnya, makna individual, makna sosial, dan sebagainya. Titik berat pada
penunjukan makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang perkembangan makna
suatu kata, yang dipengaruhi oleh banyak variabel seperti individu, sosial, kebudayaan,
militer, politik, peradaban, dan lainlain. Adapun ilmu nahwu, kata kuncinya ialah kalimat.
Ia secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara
bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang
dalam tradisi klasik kita sebut sebagai hubungan penyandaran. Jadi ilmu nahwu tidaklah
hanya berbicara tentang harakat di akhir kata serta i’rabnya, namun ia juga mengatur
tentang bagaimana cara yang baik dalam menyusun dan merangkai kalimat. Semua cabang
ilmu bahasa diatas saling melengkapi satu sama lain. Ilmuilmu tersebut dibeda-bedakan
hanyalah untuk kemudahan mempelajarinya saja. Kita tidak bisa mengkaji bahasa secara
sempurna dengan hanya menggunakan salah satu atau sebagian ilmu-ilmu tersebut dan
sekarang senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis di kalangan para pakar linguistik
bahasa Arab. Sebagai salah satu cabang linguistik (ilmu lughah), Ilmu Nahwu dapat
dipelajari untuk dua keperluan. Pertama, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai prasyarat atau
sarana untuk mendalami bidang ilmu lain yang referensi utamanya ditulis dengan bahasa
Arab, misalnya Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan Ilmu Fiqih. Kedua, Ilmu Nahwu dipelajari
sebagai tujuan utama. Dua bentuk pembelajaran (learning) Ilmu Nahwu itu telah menjadi
Hampir semua pakar agama Islam sejak akhir abad kesatu Hijriah sampai sekarang
mempunyai penguasaan yang baik terhadap Ilmu Nahwu. Bahkan tidak jarang dari mereka
yang menjadi pakar dalam bidang nahwu di samping kepakaran mereka dalam bidang
agama. Sebagai contoh, Imam Ibnu Katsir, An-Nawawi, Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu
Hisyam, dan Az- Zamakhsyari adalah tokoh-tokoh handal dalam bidang ilmu agama, dan
pada saat yang sama kepakaran mereka dalam bidang Ilmu Nahwu juga diakui di kalangan
ulama. Di Indonesia, tokohtokoh agama semisal Syekh Nawawi Banten, Buya Hamka,
Prof. Mahmud Yunus, dan K.H. Bisri Musthafa juga mempunyai penguasaan nahwu yang
mendalam, bahkan rata-rata mereka telah menulis atau menerjemahkan lebih dari satu
judul buku tentang nahwu. Sementara itu, tokoh-tokoh nahwu seperti Imam Sibawaih,
AlFarra', Ibnu Jinny, dan Ibnu Yaisy, lebih dikenal sebagai pakar dalam bidang Ilmu
perkembangan Ilmu Nahwu secara kronologis berdasarkan kurun waktu dan peta
penyebarannya. Di bagian akhir bukunya dia membuat skema perkembangan Ilmu Nahwu
sebagai berikut.
G. PETA PERKEMBANGAN ILMU NAHWU
Dari peta di atas tampak bahwa Al-Fadlali tidak memasukkan negara-negara Asia
negara-negara itu perkembangan nahwu cukup pesat. Di samping itu, ia juga tidak
mengemukakan alasan mengapa ia langsung melompat dari abad ke 8 menuju abad ke14
dengan mengabaikan lima abad yang ada di antaranya. Namun, terlepas dari
kekurangannya, bagan tersebut cukup berarti dalam memberikan gambaran secara global
aliran-aliran (madzhab) dengan menyebutkan sejumlah tokoh yang dominan pada setiap
aliran. Ia menyebutkan secara kronologis lima aliran nahwu sebagai berikut. (1) aliran
Bashrah, (2) aliran Kufah, (3)aliran Baghdad, (4) aliran Andalusia, dan (5) aliran Mesir.
7
Agus Bajang, Perkembangan dan Sejarah Ilmu Nahwu, http://agusbajang.blogspot.com
/2009/12/perkembangan-dan-sejarah-ilmu-nahwu.html diunduh pada 14 Maret 2023 pukul 22.30 wita.
Dua aliran pertama, Bashrah dan Kufah, disebutnya sebagai aliran utama, karena keduanya
mempunyai otoritas dan independensi yang tinggi, kedua aliran tersebut juga mempunyai
pendukung yang banyak dan fanatik, sehingga mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya.
Adapun tiga aliran yang lain disebutnya sebagai aliran turunan yang berinduk pada salah
banyak dipelajari. Akan tetapi, pembelajaran nahwu di Indonesia lebih banyak sebagai alat
(untuk mempelajari bahasa Arab) dan bukan sebagai tujuan. Karena itu, referensi yang
banyak dipelajari adalah buku-buku yang bersifat praktis dan textbook oriented yang
substansinya mengacu pada peran nahwu sebagai alat bantu pembelajaran agama (Islam),
sementara buku-buku yang bersifat historis teoretis cenderung kurang mendapat perhatian.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika referensi nahwu yang banyak ditemukan
semacam Al- Ajrumiyyah dengan berbagai syarah1-nya, Alfiyah Ibnu Malik dengan
aspek historis seperti Sirru Shina'atil I'rab karya Ibnu Jinny, Al-Mazhar karya Jalaluddin
Assuyuthi, dan Mizanudz Dzahab 1 Syarah adalah kitab perluasan dari matan. Matan
adalah karya orisinil yang ditulis oleh seorang ulama yang biasanya bersifat ringkas dan
padat isi, sedangkan syarah berfungsi memperjelas atau memperluas keterangan kata-kata,
kalimat atau wacana yang ada pada matan, karya Ibnu Hisyam kurang populer.
Bagi para linguis bahasa arab, atau pemerhati Ilmu Nahwu pada khususnya,
pembelajaran nahwu dari perspektif sejarah merupakan suatu hal yang penting untuk
dilakukan, karena dengan itu cakrawala mereka tentang dinamika Ilmu Nahwu menjadi
lebih luas dan pada akhirnya dalam diri mereka akan tumbuh toleransi yang tinggi terhadap
perbedaan - perbedaan yang ada. Selain itu, karyakarya monumental para pakar Ilmu
Nahwu sejak abad permulaan sampai- pertengahan abad 20 M itu ada khazanah yang
terlalu mahal untuk disia-siakan. Atas dasar kenyataan dan alasan diatas, pada kesempatan
ini penulis memaparkan secara global dinamika Ilmu Nahwu pada abad permulaan.
Paparan itu mencakupi cikal bakal Ilmu Nahwu, Bashrah sebagai kota kelahiran Ilmu
Selain itu kami paparkan perkembangan ilmu nahwu dapat diruntut menjadi tiga
periode:
Abul Aswad sampai munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad
kesatu Hijriyah. Periode ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa
mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan
Kufah. Hal ini tidak terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu
dibangun daripada kota Kufah. Pada masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya.
Terjadi perdebatan yang ramai antara Bashrah dan Kufah yang senantiasa berlanjut
sampai menghasilkan apa yang disebut sebagai Aliran Bashrah dengan panglima
besarnya Imam Sibawaih dan Aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam
AlKisa’i. Pada masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas
semenjak masa ini ilmu sharf dipelajari secara terpisah dari ilmu nahwu, sampai
saat ini. Masa ini diawali dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju
kota baru Baghdad. Meskipun telah berhijrah, pada awalnya mereka masih
aliran baru yang disebut sebagai Aliran Baghdad. Pada masa ini, prinsip-prinsip
keemasannya pada awal abad keempat Hijriyah. Masa ini berakhir pada kira-kira
pertengahan abad keempat Hijriyah. Para ahli nahwu yang hidup sampai masa ini
lalu di Mesir, dan akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke zaman kita saat ini.
1. Tahap Pertama
Sejak sebelum masa Islam bahasa Arab telah menjadi bahasa yang sempurna.
bahasa Arab cukup memenuhi kehidupan pemiliknya, baik untuk keperluan komunikasi
antar anggota masayarakat dalam berbagai bidang kehidupan maupun untuk menciptakan
kesusasteraan.
Pergaulan orang Arab dengan orang-orang non-Arab sebelum Islam masih terbatas,
sehingga lahn yang timbul akibat pergaulan merekapun tidak seberapa banyak dan tidak
dikuatirkan akan merusak bahasa Arab itu. Akan tetapi setelah memasuki masa Islam
pergaulan orang Arab dengan bangsa-bangsa sekitarnya semakin meningkat dan lahn pun
meningkat pula sehingga dirasa akan merusak bahasa Arab. Pada abad 1 H. lahirlah lahiran
nahwu untuk memberantas lahn itu. Kelahiran nahwu juga bertujuan agar orang-orang
terutama non-Arab dapat menguasai bahasa Arab dengan baik. 8oleh karena itu, mualilah
Atas perintah Ali bin Abi Thalib, Abu al-Aswad al-Du’ali mulai kegiatannya
menunjukan contoh yang benar dari kalimat-kalimat dalam al-Qur’an al-Hadist atau
ungkapan-ungkapan yang baik dan benar dari orang Arab. Oleh karena itu, kaidah yang
8
Said al-Afghani, Min Tarikh al-Nahwi, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h, 26
dibuat pada waktu itu selalu sejalan dengan keperluan masyarakat dan berkaitan dengan
Abu al-Aswad al-Du’ali mengajarkan nahwu itu di masjid jami Basrah. Banyak
murid-muridnya, antara lain Yahya ibn Ya’mur yang bersama Atha, anak Abu al-Aswad al-
Sebagai ilmu yang baru dan masih tahap awal pertumbuhannya, kaidah-kaidah
yang dihasilkan pada periode awal oleh angkatan pertama ini baru merupakan kaidah
umum yang dibuat atas dasar sima’(yang didengar dari orang Arab). Periode awal angkatan
pertama belum menghasilkan kitab-kitab yang disusun secara sistematis yang ditinggalkan
angkatan kedua periode kedua terjadi loncatan pemikiran nahwu dalam prisip
pengembangan nahwu. Abu Amr al-‘Ala (w. 154 H) memasukan qiyas kedalam prisip
penyusunan kaidah nahwu. Ia membuat kaidah atas dasar qiyas kepada ungkapan-
ungkapan orang Arab yang banyak terpakai, sedangkan ungkapan-ungkapan yang kurang
banyak terpakai tidak dijadikan sumber qiyas dan disebut olehnya dengan nama lahjah. 11
Selanjutnya qiyas ini disebut qiyas bashri Berbeda dengan Abu ‘Amr ibn al-‘ala, Abdullah
ibn Abi Ishak menggunakan ungkapan-ungkapan yang oleh Abu ‘Amr ibn al-A’la sisebut
9
Abd. Al-hadi al-fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, (t.t: maktabah al-Manar, t.t), h.21
10
Abd. Al-hadi al-fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 26.
11
Abd. Al-hadi al-fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 30.
lahjah sebagai qiyas, tidak hanya terbatas pada ungkapan-ungkapan yang banyak terpakai
saja.
Apabila ulama Basrah untuk sumber qiyas hanya mengambil teks atau kata yang
banyak dipakai oleh orang-orang yang diakui ke-fasihannya saja, maka ulama kuffah tidak
membuat prinsip qiyas, kecuali prisip yang diambil dari gurunya, yaitu ulama Basrah
terutama al-Hadrami. Tetapi penerapannya longgar. Karena tidak prisip membuat qiyas
yang ketat itu, maka ketika menemukan kalimat syadz atau lahn bahkan yang sebenarnya
salah, mereka membuat kaidah khusus untuk mereka sendiri. Akibatnya terjadi bermacam
2. Tahap kedua
Pada tahap pertama Abu ‘Amr ibn al-‘Ala’ telah menghasilkan beberapa buku
sebagai karya tulisnya, hanya saja tidak ada yang sampai kepada generasi berikutnya. 13
Adapun prinsip qiyas yang dicetuskan mendapat perhatian generasi berikutnya bahkan
pada periode kedua ini qiyasnya Abu ‘Amr ibn al- ‘Ala itu disempurnakan oleh al-Khalil,
Dengan munculnya yunus ibn Habib al-Khalil, nahwu memasuki fase baru, yang
berbeda denghan fase sebelumnya. Periode ini ditandai, anatara lain dengan 15:
analisis kalimat,
12
Said al-Afghani, Min Tarikh al-Nahwi, h. 72.
13
Said al-Afghani, Min Tarikh al-Nahwi, h. 70.
14
Muhammad khairuddin al-Halwani, al-Mufassal fi Tarikh al- Nahwi al-͛Araby, (Baerut: Muassah al-
Risalah, t.t), h.176.
15
Abd. Al-Hadi al-Fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 35.
2) Meningkatnya penggunaan qiyas nahwu sebagai pengaruh dari fiqh, terutama oleh
al-Khalil al-Faharadi,
4) Penggunaan peninggalan bahasa zaman jahili dan zaman Islam dalam argumentasi
Pada masa ini nahwu mulai tegak sendiri, mempunyai sumber data yang banyak
terutama terdiri dari fenomena kebahsaan dan kekayaan budaya. Tokoh-tokonya yang
utama adalah Yunus ibn Habib yang berorientasi kepada gurunyaAbu ‘Amr ibn al-‘Ala
yaitu berpegang kepada sima’.16 tokoh yang lain adalah al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi
Pada masa al-Khalil nhwu sangat dekat dengan ilmu fiqh dan ilmu kalam,17
terutama dikota basarah. Sebenarnya sejaka abad 1 H, masa guru-guru Abu Hanifah, guru-
guru imam Syafi’i dan wasil ibn Atha telah banyak terjadi perdebatan dalam bidang
pemikiran keagamaan antara para ulama, termasuk ulama nahwu. Jadi pengaruh fiqih
terhadap nahwu terjadi sejak periode pertama, yaitu pada saat mereka menganggap fiqih
sebagai salah satu pokok ilmu keIslaman. Semua ulama, termasuk ulama nahwu sangat
menaruh perhatian, banyak yang menekuni dan memanfaatkan ilmu fiqh. Sebagai contoh
Al-Laits ibn al Mudzaffar bertanya kepada al-Khalil. Kata ﻋﺸريﻦadalah jamak dari
kata ﻋﺸر,jadi ﻋﺸريﻦsama dengan tiga kali Sembilan atau dua puluh tujuh. Mengapa
16
Abd. Al-Hadi al-Fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 202.
17
Abd. Al-Hadi al-Fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 280-281.
Al-Khalil menjawab ﻋﺸريﻦsama dengan 2 X 9 ATAU 18 ( ) ﺛﻤﺎﻧية ﻋﺸرDua lagi
20 atau ﻋﺸريﻦjadi benar bahwa ﻋﺸريﻦsama denga 20, jamak dari ﻋﺸر.
Al- Laiy berkata mengapa begitu? Bukankah itu belum sempurna 3X ? ﻋﺸرapa
boleh saya katakana bahwa satu dirham ditambah satu danaq sama dengan tiga dirham?
dengan ucapan Abu Hanifah. Anda mengetahui Abu Hanifah mengatakan bahwa kalimat
saya talak dia dengan dua talak dan sepuluh talak ( )طلقتهﺎ ﻋﺸر تﻄليقﺎتsama dengan talaq tiga.
Sebabnya sepuluh talak ﻋﺸر تﻄليقﺎتyang terakhir itu berkedudukan sebagai talak yang
ketiga. Hitungan Abu hanifah sepuluh ﻋﺸرitu sama dengan hitungan saya dua tadi. Jadi 18
ditambah dua sama dengan ﻋﺸرانditambah ﻋﺸرjadi ﻋﺸريﻦsama dengan 20, karena تﻄليقتيﻦ
Di samping itu, ulama nahwu menggunakan ijtihad dalam member fatwa dan
menggunakan ta’wil pada teks-teks untuk menyesuaikan dengan kaidah yang telah dibuat,
Adapun kedekatannnya dengan ilmu kajian tampak pada pengambilan kaidah induk
terutama dalam hal ’amil. Mereka menyatakan bahwa semua kejadian, dalam hal ini ilmu
nahwu menyebutkan I’rab, tentu ada penyebabbnya. Mereka menamakan penyebab ini
dengan ‘amil. Apabila ada 2 ‘amil tentu ada 2 ma’mul. Demikian sebaliknya. Kemudian
tidak mungkin 2 ‘amil bertemu dengan satu ma’mul, karena akan terjadi dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama adalah bahwan dua ‘amil mempunyai fungsi yang sama, yaitu
fungsi. Umpamanya yang satu me-rafa’-kan, sedangkan yang lain me-nashab-kan. Hal ini
Pengaruh ilmu kalam dalam pembentukan kaidah nahwu tampak jelas diterapkan
dalam menganalisis pola tanazu’ seperti kalimat ( )جﺎء وجلس الﻄﻼبDalam kalimat ini ada
dua ‘amil, yaitu ( )جلس( و )جﺎءsedangkan ma’mul-nya hanya ada satu, yaitu ( )الﻄﻼبDalam
hal ini terjadi dua pendapat. Pertama, menurut ulama Bashrah yang beramal hanya ‘amil
yang kedua, yaitu kata ()جلسkarena ‘amil itu dengan mu’mil, sedangkan ‘amil yang
pertama, yaitu() جﺎءdiberi ma’mul lain, yaitu dhamir yang sesuai dengan ma’mul, maka
kalimat itu menjadi ()جﺎؤوا وجلس الﻄﻼبKedua, ulama Kufah berpendapat sebaliknya.
Mereka menganggap bahwa yang beramal adalah ‘amil yang pertama. ‘Amil yang kedua
diberi ma’mul lain, yaitu dhamir yang sesuai dengan mu’mil tersebut ( )الﻄﻼبMaka kalimat
itu berubah menjadi ()جﺎء وجلسوا الﻄﻼبsesuai dengan kaidah tanazu’ pada bait=bait berikut.
Dalam pola tanaz’u ulama nahwu tampak jelas menerapkan kaidah tersebut di atas,
yang memberikan gambaran keterpengaruhan dan kedekatan mereka dengan ilmu kalam.
Padahal dalam Al-Qur’an dan lain-lain banyak terdapat pola yang disebut mempunyai dua
‘amil itu, seperti ( أن جﺎءه اﻷﻋﻤى. )ﻋﺒس وتولىJuga dalam syair seperti
ﻧﻤخﻞ فﺎستﺎكت به ﻋواد اسحﻞ+ إذا هي لم تستك يعود أراكة
وأبي فكﺎن وكنت غير غدور+ إﻧي ضﻤنت لﻤﻦ أتﺎﻧي مﺎ جنى
Keterpengaruhan nah bisa di-tashrifkan wu oleh ilmu kalam dan ilmu fikih
tampak pada gagasan al-Khalil tentang teori ‘amil, terutama dalam pola tanazu’ seperti
dijelaskan di atas. Lebih lanjut al-Khalil membagi ‘amil menjadi ‘amil lafzhi dan ‘amil
Al-khalil orang pertama yang menyatakan bahwa ‘amil ada yang kuat dan ada yang
lemah atau yang disebut masing-masing ‘amil asli dan ‘amil cabang. Contoh ‘amil yang
lemah adalah ( )إنyang mempunyai dua amal, yaitu mubtada’dan khabar seperti )إن السﺎﻋة
(آتية أكﺎد أخفيهﺎTetapi ‘amil إ نitu lemah dibanding, كﺎنkarena إنitu tidak dapat di-tashrif dan
mempunyai isim dhamir, sedangkan كﺎنbiasa di-tasrif menjadi fi’l mudhari seperti يكون
fi’il amr seperti كﻦ, dan mashdar seperti كوﻧﺎ.masing-masing kata yang ditasrif dari كﺎن
itu ber-amal pula seperti amal كﺎن.bahkan kata-kata yang ditasrif itu dalam bentuk
mudzakar dan mua’nast, baik mufrad (tunggal), mutsanna, jama’, semuanya ber-amal
يﺎ آبت إﻧي أخﺎف أن يﻤسك ﻋذاب مﻦ الرحﻤﻦ فتكون للﺸيﻄﺎن وليﺎ
Demikian pula saudara-saudara كﺎنseperti بﺎت، كﺎد ظﻞ، برح، ليس، صﺎر، أصﺒحdan
lain-lain lebih kuat dari saudara-saudara إنseperti أن, لكﻦ, لعﻞdan كأن.
Al-Khalil berperan besar dalam meletakan dasar-dasar penciptaan kaidah nahwu.
Ia menyempurnakan dasar-dasar yang telah diletakan oleh Abu alAswad al-Du’ali dan
ulama berikutnya hingga akhir angkatam periode pertama, yaitu sampai masa Abu Amr ibn
al-A’la mereka telah mengadakan penelitian, membuat prinsip analisis, kemudian menarik
Tidak berlebihan kiranya al-Khalil disebut sebagai ulama nahwu terbesar di Irak,
Dorongan utama dari penyusun nahwu ini adalah semata-mata untuk membentengi
bahasa arab Arab dari kesalahan ungkapan (lahn) yang ada pada masa itu mulai menular
serta merusak “edisi” Arab fusha. Dengan dilemma yang ada, maka para ulama mersa
khawatir atas keautentikan bahsa Arab yang akan berimplikasi pada pengkontaminasian
cara membaca dan memahami al-Quran. Keprihatinan ini amatlah wajar sebab, sebelum
bahasa arab jerjankit lahn, masyarakat Arab senddiri sudah mendapat masalah internal
dalam keterbatasan : mereka terbagi kedalam klan (suku) yang bermacam-macam, tiap klan
memiliki bahasa yang berbeda-beda antara suku satu dan yang lain. Upaya menyatukan
bahasa menduduki urutan penting pertama sebelum memerangi virus lahn lain yang dating
setelah agenda penaklukan (Arab : al-futuhat). Atas perintah Ali bin Abi Thalib, Abu al-
Aswad al-duali (Dhalim ibn ‘Amru ibn Hambal ibn Jundl ibn Sulaiman ibn Hils al-Duali
18
Muhammad Khairaddin al-Halwani, al-Mufassal fi Tarikh al- Nahwi al-͛Araby, h. 263.
al-Kinnani) 1 SH-69 H/605-688 M. Berjuang untuk menyusun kaidah-kaidah dasar bahasa
Arab yang akan menjadi rujukan dikala terjadi kesalahan ungkapan tersebut.
Meski para sarjana bahasa berbeda pendapat tentang Abu al-Aswad sebagai peletak
dasar ilmu Nahwu. Namun tidak boleh dilupakan bahwa disana banyak sekal;I pendapat
yang menguatkan keabsahannya sebagai pioneer ilmu nahwu (Arab : wadhi’-u ‘ilm al-
Nahwu) itu sendiri, seperti disinggung dengan bagus oleh Ahmad Amien, bahwa Ibn
Qutaybah dalam kitab al ma’arif mangafirmasi posisi Abu al-Aswad sebagai orang:” yang
pertama kali meletakan dasar pondasi Nahwu” orang yang pertama kali memberikan titik
di mushaf dan meletkan pondasi nahwu adalah Abu al-Aswad. Inovasi yang digagas oleh
Abu alAswad ini, lambat laun, kemudian disambut hangat oleh para penduduk Arab dikala
itu. Maka tak heran jika ilmu ini berkembang begitu pesatnya sehingga melahirkan banyak
Setelah Abu al-Aswad wafat, dua muridnya yaitu : Nashr ibn Ashim al-Laitsi (wafat
89 H) dan Yahya ibn ya’mur (Wafat 129 H) langsung siagap mengambil tongkat estafeta
gurunya dalam mempelopori perkembangan Bahasa Arab dari masa ke masa. Selang
beberapa tahun kemudian, setelah kematian muridmurid Abu al-Aswad, munculah seorang
ulama popular yang karya agungnya menjadi disiplin ilmu terkenal dalam sastra arab yaitu
: Khalil ibn Ahmad alFarahidi. Estafeta al-Khalil ini melahirkan murid brilian, sibaweh
Sibaweh tercatat sebagai murid Khalil ibn Ahmad al-Farahidi, pengarang alKitab “Mu’jam
al-Ayn”, darinya pula ia belajar gramatika bahasa Arab dengan benar. Ahmad Amien
memuji Khalil telah member sumbangsih banyak dalam memperkaya khazanah Nahwu,
tetapi herannya selepas al-Kitab Sibaweh muncul pamor nomer satu Khalil merosot. Malah
seperti amatan Ahmad Amien, dalam kitab al-Zubaidi Mukhtasar kitab al-‘Ain misalnya
menyebut al-Kitab karya Sibaweh telah melumpuhkan kitab-kitab nahwu sebelumnya dan
mematahkan kitabkitab Nahwu yang dating setelahnya. Ini adalah isyarat bahwa peran
mulus apa adanya, disana ada pergolakan yang akut. Kiranya tiga kota besar : Basrah,
Kuffah, dan Baghdad patut diperhitungkan untuk meninjau kasus polemik ilmu nahwu.
Di antara tiga kota besar itu adalah Basrah dan Kuffah yang banyak mewarnai
polemik pembahasan ilmu bahasa Arab. Factor penyebabnya tiada lain karena kedua kota
tersebut sama-sama memiliki ulama ahli bahasa andalan. Basrah memiliki pakar bahasa
sekaliber khalil ibn Ahmad al-Farahidi dan sibaweh, sedangkan di Kuffah, sejak
munculnya Abu Ja’far al-Ruasi kemudian disusul dua orang muridnya : al-Farra’ dan al-
Penting diketahui bahwa imbas perbedaan ulama Basrah dan Kuffah, dengan
berpijak pada qiyas karena terpengaruh pada logika Yunani yang kuat waktu itu, sedangkan
sistematis, masing-masing dari dua kubu tersebut memiliki sebuah majlis bagi pecinta
bahasa maupun syi’ir. Majlis hanya dipergunakan untuk mengkaji, mendalami, dan
meningkatkan bakat bahsa Arab. Kelompok ini kemudian dikenal dengan “Madrasah”
dalam perkembangannya. Basrah telah mendirikan madrasa lebih lama dari pada Kuffah,
dengan selisih 100 tahun lamanya. Di Basrah nama madrasah itu “Ukadz” yang berdiri
Dalam mempelajari ilmu tata Arab, prioritas yang harus diutamakan adalah ilmu
Nahwu dan Sharf sebagaimana kata sebagian ulama : اﻋلم أن الصرف أم العلوم والنحو أبوهﺎilmu
Sharaf diasumsikan induk segala ilmu, sebab ilmu inilah yang dapat melahirkan semua
bentuk kalimat, sedangkan kalimat-kalimat itu menjadi petunjuk segala ilmu. Adapun ilmu
Nahwu diasumsikan sebagai bapaknya karena ilmu inilah yang mengatur susunan kalimat
tersebut.19
Ilmu Nahwu adalah ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui
keadaan akhir kata bahasa arab yang berhubungan denganya. Adapun faktor yang
mendorong di rumuskanya ilmu Nahwu adalah keinginan adanya fasilitas ilmu yang
memadai untuk memahami pesan-pesan agama dalam al-Qur’an dan al Hadits yang
berbahasa Arab, Implikasi dari bahasa al Qur’an dan al-Hadits dalam melakukan amal
bahasa Arab. Di samping itu dalam sejarah hidup para ulama Nahwu kebanyakan dari
mereka adalah para ahli Qira’ah, ahli bacaan al Qur’an, yang berkepentingan untuk
menjaga otentitas bacaan al Qur’an Imam Sibawaih terkenal dengan julukan ‘ajam yang
menunjukan bahwa beliau berasal dari Persia. Nama lengkapnya ‘Amr bin ‘Usman Qunbar,
19
Syekh Makruf, Perkembangan Ilmu Nahwu, h p://syekhmakruf.blogspot.com/2011/01/ perkembangan-
ilmu-nahwu.html diunduh pada tanggal 17 maret 2023 Pukul 13.30 wita.
lahir di daerah Baidha sebuah desa di negeri persia berdekatan dengan Syiraz pada tahun
148 H bertepatan dengan tahun 765 M. Beliau adalah salah satu murid dari Al-khalil bin
Ahmad al Farahidi yang diakui kecerdasan dan kepandaianya dalam masalah Nahwu
tentang ‘amil dan ‘awamil yang kemudian oleh beliau di kumpulkan ilmuilmu tersebut
menjadi Al Kitab. Beliau termasuk ulama yang paling berjasa dalam pengembangan dan
Di antara para linguis yang turut serta mengembangkan ilmu Nahwu adalah Imam
Sibawaih karena di tangan Beliaulah bermacam-macam istilah Nahwu lahir. Kota Bashrah
merupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Dalam skripsi ini bermaksud untuk meneliti lebih
lanjut tentang peran serta karya Imam Sibawaih dan kontribusinya terhadap perkembangan
Allam, Abdul Aziz Ahmad. Min Tarikh al-Nahwi al-Arabi. dalam majalah
”Majallah”, Jami’ah al-Imam bin Saud, edisi II, 1401-1402.
Bajang, Agus. Perkembangan dan Sejarah Ilmu Nahwu,
http://agusbajang.blogspot.com/2009/12/perkembangan-dan-
sejarah-ilmu-nahwu.html diunduh pada pada 14 Maret 2023
pukul 22.30 wita.
Dhaif, Sauqi. al-Madaris al-Nahwiyyah. Mesir: Dar al-Maaris. t.t.
al-fadhli, Abd. Al-hadi. Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat. t.t: maktabah al-
Manar. t.t.
al-Halwani, Muhammad khairuddin. al-Mufassal fi Tarikh al- Nahwi al-
’Araby. Baerut: Muassah al-Risalah. t.t.
al-Jabiri, Muhammad Abid. Takwin al-‘Aql al-Arabi. Beirut: Markaz
Dirasah Wahdah al-Arabiyyah. cet. IV. 1989.
Syekh Makruf. Perkembangan Ilmu Nahwu,
http://syekhmakruf.blogspot.com/2011/01/perkembangan-ilmu-
nahwu.html diunduh pada tanggal 17 maret 2023 Pukul 13.30
wita.
Mukrim, Abd al-‘Al Salim. al-Quran al-Karim wa Atsaruhu Fi al-Dirasat
alNahwiyyah. Mesir: Dar al-Maarif. t.t.