Oleh : M Nur, Lc
A. Prolog
Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap disiplin ilmu tidak serta-merta lahir dengan
kesempurnaan laiknya manusia yang mengalami pertumbuhan dari satu fase ke fase
lainnya. Demikian juga dengan disiplin ilmu 'Ilmu Ad-Dilalah' yang notabenenya
merupakan bagian dari disiplin ilmu 'Ilmu Al-Lughah' mengalami hal yang sama dalam
kemunculannya di tengah kerumunan para saintis bahasa. Bermula dari adanya
perselisihan antara saintis bahasa yang masih dan senantiasa mempertahankan paham al-
ashalah [kemurnian dan keaslian] dan saintis mu'asharah yang ingin melihat adanya
perubahan dalam bahasa Arab. Selanjutnya, saintis teloran baru ini berusaha menembus
aral dalam penelitian kebahasaannya tanpa menoleh ke arah kemurnian dan kekhususan
daya fikir dan daya ucap bahasa Arab. Hasilnya, mengakibatkan kerancuan pengetahuan
antara turats arabi ilmi dan kebutuhan ilmiah lughawiah.
Olehnya, jikalau kita ingin mendasarkan suatu pemikiran arab mua'sharah yang
menggeluti pembahasan bidang bahasa, tentunya kita mesti menghilangkan pemikiran
secara lughawi terhadap turats; menelitinya; mengklarifikasi bahasannya dan memilah
nilai-nilai positif dan negatifnya dalam cakupan standar tingkatan tema dan metode.
Namun hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan melihat kembali sejarah pemikiran arab
–secara umum- dan pemikiran bahasa –secara khusus- dan pastinya tuk kembali ke sana
ada begitu banyak jalan yang mesti kita lewati dan lalui, kita mesti mengetahui sejarah
perkembangan bahasa dalam pemikiran arab. Hal ini tentunya tidak akan terlepas dari
beberapa disiplin ilmu lain yang tanpa disadari berhubungan langsung dengan bahasa.
Dan pada akhirnya, kita dapat menjaga kemurnian dan keaslian turats, disamping
mengetahui metode pemikiran yang layak dan pantas dipergunakan dalam pembahasan
kebahasaan. Dan hasilnya, lahirlah teori daya ucap arab yang berbasis mu'asharah dan
mampu memberikan kontribusi bagi pemikiran manusia yang kian lama kian mengalami
perkembangan.
Teori daya ucap arab ini tidak akan ada jikalau kita tidak menggabungkan antara teori
daya ucap barat dan daya ucap arab sehingga menghasilkan teori daya ucap arab yang
bersifat mu'asharah. Dan dalam penggabungan keduanya ini, ada satu hal yang patut kita
ingat, yaitu corak pemikiran arab. ”Sebab untuk memahami metode arab pada setiap
disiplin ilmu turas, mesti mengaitkannya dengan kehidupan pemikiran orang arab,
disamping mengenal corak berifikir orang arab secara umum yang tumbuh, berkembang
dan mengakar dalam naungan AlQur'an. Sebagaimana diketahui bahwa para pemikir
Islam dalam menyikapi setiap cabang suatu disiplin ilmu mereka terlebih dahulu
memulainya dengan praktek sebelum meletakkan dasar-dasar metode dan teori. Sebagai
contoh, membaca AlQur'an dengan cara talaqqi dan musyaafahah adalah jauh lebih
dahulu keberadaanya dibandingkan dengan orang yang menyusun buku panduan dan
metode membaca AlQuran secara baik dan benar ...”.
Jikalau proses ini telah terealisasi dalam cakupan keilmiahan metodenya, maka sudah
barang tentu akan terlahir pemikiran daya ucap baru yang dapat menginterpretasikan dan
merangkul secara sempurna segala tingkatan studi baik lughawiah [bahasa], shautiah
[philology/suara penyebutan jenis huruf], tarkiibiah [susunan kata dan kalimat] dan
dilaaliah [arti dan makna]. Dan dengan cara ini, kita dapat mengaitkan antara pemikiran
bahasa sistem ala arab dahulu dengan pemikiran daya ucap sistem ala baru, sebab
peralihan teori daya ucap baru -dengan sifatnya yang manusiawi- telah mencakup
keseluruhan fenomena bahasa. Juga dengan terealisasinya, perhatian saintis bahasa di
masa sekarang dapat terangkul semua olehnya, sebab –dengan beralihnya teori daya ucap
ini menjadi suatu disiplin ilmu yang menjadikan bahasa manusia sebagai bahan
garapannya- tidak lagi terhalangi oleh batasan pengetahuan yang bersifat spesifik.
Dengan demikian, teori ini menjelma menjadi disiplin ilmu yang mencakup seluruh
bahasa.
Dan pembahasan ilmu ad-dilalah sendiri masuk dalam pemaparan teori ini sebagai
langkah peralihan menuju pembahasan turas dalam garapan disiplin ilmu bahasa. Sebagai
contoh, para ahli ushul fiqh memberikan beberapa sampel dalam hal bagaimana mereka
berinteraksi dengan bahasa laiknya bentuk aturan dari beberapa simbol daya ucap yang
dalam gaya bahasanya tunduk pada aturan bijak dalam menyelesaikan tugas dilalahnya.
Mereka juga sejak awal telah menyelesaikan masalah-masalah yang berkenaan dengan
bahasa. Menambahkan karya pengetahuan dengan secermat mungkin sebagai hasil dari
usaha mereka dengan menjadikan AlQur'an sebagai acuan utama dalam pengistinbatan
hukum, dengan tidak melupakan dasar-dasar hukum bahasa yang salah satu
keistimewaannya adalah ad-dilalah.
Jadi, pada awalnya pembahasan ad-dilalah dalam kajian turas bermula pada kajian
disiplin ilmu lain (baca: ilmu ushul fiqh). Olehnya, tidak salah jikalau ada yang
mengatakan ilmu ad-dilalah sangat erat kaitannya dengan ushul fiqh. Sebab, para ulama
ushul fiqh pada mulanya seringkali meminjam kebaikan ad-dilalah dalam menyelesaikan
suatu masalah. Dan dari situ pula, suatu pemasalahan bahasa dapat terpecahkan. Hal ini
dapat kita lihat dalam kitab Al-Ihkaam Fi Ushuul Al-Ahkam, karangan aalim ushuuly,
Saifuddin Al-Aamidy.
Bahasa semenjak lama telah berhasil menarik perhatian para pemikir, sebab bahasa
adalah salah satu roda utama yang menjalankan kehidupan manusia semenjak
diciptakannya, baik dalam berfikir terlebih lagi dalam hal berkomunikasi antar sesama
manusia. Peranan bahasa tak seorang pun akan memungkirinya. Dan dengan bahasa pula
sejarah pun tecatatkan dalam buku-buku. Bahkan kita-kitab suci yang dianggap sakral
bagi umat-umat terdahulu oleh manusia termaktubkan dengannya. Orang-orang
Hindustan, sebagai contoh, memiliki kitab suci, Weda yang tak lain juga merupakan
sumber studi bahasa dan daya ucap khususnya. Dan dari sinilah, sejarah permulaan
bahasa dianggap sebagai mata pelajaran dan studi.
Namun, tak ada yang luput dari perdebatan dan perselisihan terhadap sesuatau yang
belum jelas secara pasti keberadaannya atau kelahirannya. Demikian halnya dengan
bahasa, sejarah lahirnya pun menuai pedebatan. Banyak pendapa yang dilontarkan oleh
para saintis sejarah dan bahasa mengenai kapan dan dari mana awal kemunculan bahasa
di tengah manusia. Di antara sederetan pendapat itu, ada yang mengakatakan:
”keberadaan bahasa erat kaitannya dengan hubungan antara kata dan makna, sama halnya
eratnya hubungan antara api dan asap”. Jadi, Bahasan ad-dilalah pun lebih fokus pada
hubungan antara kata dan makna. Olehnya, ada dua sisi yang saling kait-mengait dalam
bahasan ini, hubungan antara kosakata dan kalimat dan hubungan lafadz dan makna.
Hal ini nampak pada studi dilalah orang Hindustan dulu yang membagi dilalah kata,
dalam empat bagian:
Pembahasan makna dalam bahasa (baca: ilmu ad-dilalah) jauh sebelumnya telah
mendapat perhatian baik dan hal ini terbukti dilakukan oleh para saintis Hindustan.
Hal serupa juga terjadi di Yunani, terdapat banyak istilah-istilah pengetahuan yang erat
hubungannya dengan ilmu ad-dilalah. ”Platon sendiri pernah berdialog dengan gurunya,
Socrates tentang tema hubungan lafadz dengan arti. Platon mengungkapkan pendapatnya
bahwa terdapat hubungan natural antara ad-daal (lafadz) dan al-madluul. (arti). Beda
halnya sang Guru, ia mengakui bahwa antara keduanya memang terdapat hubungan
namun hanya sekedar pengistilahan. Ia membagi kalimat dalam dua bagian, kalimat luar
dan kalimat dalam diri. Disamping ia membedakan antara fonem (suara) dan makna yang
sesuai dengan gambaran yang ada di akal. Sehingga di saat tenarnya pembahasan ini
bermunculanlah aliran-aliran yang membahas studi makna ini, seperti aliran Ar-
Ruwaqiyyin dan aliran Iskandaiah”
Di Roma juga demikian, para saintis Roma memiliki peran penting dalam studi bahasa,
khususnya berkenaan dengan ilmu An-Nahw (grammer). Dan hingga abada ke 17, buku-
buku hasil buah tangan mereka masih menjadi buku utama di sekolahan. Dan puncak
keemasan dan kegemilangan studi bahasa di Roma terjadi di masa lahirnya paham Iquest
Scola, dimana terjadi perdebatan sengit tentang hubungan kosakata dan arti-artinya. Para
pemikir pun terbagi dua dalam perdebatan ini, ada yang berpendapat bahwa hubungan
keduanya hanya sekedar hubungan biasa (besifata sementara). Sedang golongan kedua
mengatakan bahwa hubungan keduanya bersifat alami.
Sedangkan di jazirah Arab, sejarah muculnya ilmu dilalah ini sudah lama, semenjak
awal-awal abad. Hal ini nampak dari adanya perhatian yang amat besar dari para saintis
Arab. Dan sebagai contoh konkrit dan bukti nyata yang masih sempurna dan utuh hingga
sekarang pemberian titik dan baris pada AlQur'an. Hal ini dianggap sebagai bagian dari
cakupan ilmu dilalah, sebab AlQur'an pada mulanya hadir tanpa ada titik dan baris.
Selanjutnya, perubahan suatu kata, baik itu pemberian titik atau baris menjadikannya
beralih tugas dan secara otomatis memiliki makna baru. Dan ini peristiwa inilah termasuk
salah satu sebab munculnya ilmu Nahw.
Dan tentunya, studi bahasa yang dilakukan oleh para saintis Arab tidak sebatas itu.
Berbagai macam disiplin ilmu baru lahir dari keaktifan para saintis Arab menekuni
AlQuran sebagai kitab yang kaya akan ilmu pengetahuan. Dan untuk sampai pada
disiplin ilmu yang baru itu perlu mengkaji secara cermat dan teliti AlQuran dan pastinya
ilmu dilalah salah satu diantara prangkat untuk mengkaji AlQuran. Mulai dari masa Nabi
hidup hingga masa sekarang kajian terhadap AlQuran senantiasa ada dan ilmu dilalah
salah satu di antara sekian banyak disiplin ilmu yag mesti diketahui sebelum mengkaji
AlQuran khususnya dan Bahasa Arab umumnya.
Kemudian, tibalah masa kebangkitan ilmu ini dimana seorang saintis bernama Michelle
Breal pada tahun 1883 mengumumkan kelahiran suatu disiplin ilmu baru yang dalam
pembahasannya amat memperhatikan "makna/arti". Ia mengistilahkan dengan sebutan
semantic.
Laiknya disiplin ilmu lain yang defenisinya tiap saintis berbeda satu sama lain
tentangnya. Begitupula dengan disiplin ilmu ini, defenisinya pun tak kurang dari satu.
Namun penulis kira dari deretan pendapat tersebut intinya hanya satu sebagaimana yang
dikatakan oleh saintis Perancis Michele Breal bahwa akan hadir ilmu yang fokus
pembahasannya adalah makna atau arti. Jadi, ilmu ad-dilalah ialah ”ilmu yang
mempelajari tentang makna”.
Namun demikian, terdapat defenisi ilmu ad-dilalah yang lebih spesifik dari defenisi
sebelumnya. ”Ilmu Dilalah atau Semantic adalah disiplin ilmu bahasa yang baru,
membahas tentang dalalah bahasa dan tunduk apada aturan-aturan bahasa dan simbol-
simbolnya tanpa selainnya. Bahasannya ialah studi makna bahasa terhadap kosakata
(mufradaat)dan kalimat-kalimat (taraakiib)”. Jadi, kedua defenisi memiliki tujuan dan
bahasan yang sama, hanya defenisi pertama lebih umum dibandingkan defenisi kedua.
Dari awal sejarah kemunculan ilmu ini kita dapat mengetahui gambaran bahasan ilmu
dilalah secara menyeluruh. Dan setelah mengetahui defenisinya kita lebih yakin bahwa
gambaran bahasan ilmu dilalah adalah demikian. Namun penulis rasa tidak ada salahnya
jikalau penulis mencoba tuk berusaha berbagi dengan teman-teman pembaca dalam hal
ini. Sebab, init daripada ilmu dilalah itu sendiri adalah bahasannya. Dan setiap ilmu juga
demikian bahasan adalah inti dari suatu ilmu.
Diantara sekian banyaknya bahasan ilmu dilalah, penulis akan mencoba mengambil
sebagiannya yang penulis rasa amat penting dalam bahasan ilmu dilalah ini. Di antaranya,
bahasa itu sendiri, ad-daal wa madluul (kata dan makna), pembagian dilalah, tathawwur
dilaly dan hakikat dan majaz.
1. Bahasa
Tak dapat dipungkiri betapa penting dan berharganya bahasa dalam kehidupan manusia,
tidak terkecuali para saintis dalaly. Kemunculan disiplin ilmu ini tidak terlepas dari
peranan saintis bahasa yang ingin dan berusaha mengembangkan bahasa. Dan hasilnya,
hadirlah satu displin ilmu baru yang akan mewarnai dinamika studi bahasa.
Pada awal mula munculnya ilmu ini, bahasa mengalami pengkajian yang meluas dan
yang paling menyibukkan saintis bahasa adalah masalah asal muasal bahasa. Masalah
inilah yang membuat para saintis berpikir keras dan pada akhirnya mereka terbagi dalam
tiga golongan dari mereka. Pertama, ada yang berpendapat bahwa asal bahasa adalah
tauqifiah thabaiyyah. Kedua, golongan ini berpendapat bahwa bahasa adalah 'urfiah
isthilahiah. Ketiga, golongan yang berusaha menggabungkan kedua pendapat tersebut itu.
Dan sebagian besar saintis bahasa tetap berusaha mencari problem solving dalam hal ini.
Namun, masalah ini makin menjadi rumit dan sukar seiring dengan banyaknya pendapat
dan teori yang membahas masalah sala muasal bahasa. Sehingga organisasi bidang
kebahasan Perancis (la societe de linguistique) mengeluarkan undang-undang larangan
memberikan ceramah tentang asal muasal bahasa.
Di antara bahasan penting yang dibahas oleh ulama Alsun (fonology) dan Dilalah
(Semantic) adalah masalah kata dan makna. Pada mulanya, bahasan studi bahasa hanya
menyoal hubungan antara lafadz dan makna. Setelah ilmu dilalah mengalami
perkembangan, bahasannya pun meluas dan mencakup daal wa madluul, baik daal itu
adalah lafadz atau bukan lafadz. Dan pada akhirnya bahasa tak lain adalah hubungan
yang mengikat antara daal dan madluulnya dalam lingkup network yang teratur. Hal itu
karena daal sendiri tidak mengusung makna yang ia bawa sendiri melainkan sebagai
sumber dalalah yang menghubungkan daal dan madluulnya. Pendapat ini sendiri yang
dipegang oleh DR. Abdul Salam Al-Masdy dalam bukunya Al-Lisaniyyaat wa Ususuha.
Beda lagi dengan pendapat Souser mengenai daal dan madluul, ia mengistilahkanna
dengan Ad-dalil Al-lisany. Ad-Daal -menurutnya- adalah kualitas suara atau bentuk
acoustic. Sedangkan al-madluul adalah ide pokok.
3. Pembagian Dilalah
Ada beberapa makna dalalah bila ditinjau dari sisi daal dan madluul. Para saintis dalali
pun membedakan makna-makna tersebut, antaralain;
a. Makna Asaasi atau Gambaran, yaitu makna utama yang mengandung satu arti dalam
sistem perkamusan;
b. Makna Idhafi, yaitu makna tambahan atas makna utama yang hanya dapat diketahui
dari gaya bahasa kalimat tersebut;
c. Makna Usluubi, yaitu makna yang membatasi nilai-nilai ungkapan yang khusus dalam
bidang budaya dan sosial;
e. Makna Iihaai, yaitu makna isyarat yang berkaitan dengan kosakata yang dapat
digambarakan dan diungkapnkan dengan isyarat.
Kajian Balaghoh I
Historisitas dan Perkembangan Ilmu Balaghah
Albadi’ Abad 2 H.
Albadi’ Abad 3 H.
1. Alistiarah
2. Altasybih
3. Aljinas
4. Atthibaq
5. Alighal
6. Almubalaghah
7. Aliltifat
8. Attaghlib
9. Husnuttaqsim
Menurut Jahidz[10]
Al-Badi’ Abad 4 H.
1. Al-Tasybih
2. Shihhatu al-taqsim
3. Shihhatu al-Muqabalah
4. Shihhatu al-Tafsir
5. Al-Tatmim
6. Al-Mubalaghah
7. Al-takâfu`
8. Al-Iltifat
9. Al-Musawat
10. Al-Isyarah
11. Al-Irdaf
12. Al-Tamtsil
13. Al-Muthabiq
14. Al-Mujanis
15. Al-tarshi’
17. Al-Tausyih
18. Al-Iqhal
19. Al-Isti’arah
20. Al-Tashri’[13]
Albadi’ Abad 5 H.
1. Al-tajnis
2. Al-Saja’
3. Al-I’tiradh
4. Al-tathbiq
5. Al-Isti’arah[14]
6. Husnu al-Ta’lil
7. Al-tajrid
8. Al-Muzawajah
9. Al-Taqsim[15]
1. Al-Muthâbaqah
2. Al-Muqâbalah
3. Al-Musyârakah
4. Al-Muzâwajah
5. Murâ’atu an-Nadzar
6. Al-Laffu wa al-Nasyr
7. Al-Jam’u
8. Al-Tafrîq
10. Al-Taqsîm
15. Al-Taujîh
17. Al-Istittbâ’
18. Al-I’tirâdl
19. Al-Iltifât
1. Al-Tajnîs
3. Al-Qalbu
5. Al-Tarshî’[24]
1. Al-Muthâbaqah
2. Murâ’atu an-Nadzir
4. Al-Musyâkalah
5. Al-Istithrâd
6. Al-Muzâwajah
7. Al-‘Aksu wa al-Ta’dîl
8. Al-Rujû’
10. Al-Istikhdâm
12. Al-Jam’u
13. Al-Tafrîq
14. Al-Taqsîm
18. Al-tajrîd
22. Al-tafrî’
25. Al-Istitbâ’
26. Al-Idmâj
27. Al-Taujih
28. Al-Hazl
31. Al-Ithrad[27]
1. Al-Jinas
3. Al-Saja’
4. Al-Muwazanah
5. Al-Qalbu
6. Al-Tasyri’
7. Luzûmu ma yulzam[28]
Penutup
Sedangkan pada masa Sakaki dan Khotib serta para ulama yang
dating setelah mereka berdua, badi’ masuk pada bagian daripada
balaghah. Artinya, badi’ pada masa ini mengalami degradasi
makna dan ruang lingkup yang semakin sempit, yang awalnya
standard an barometer utama dalam penentuan estetika bahasa,
selanjutnya menjadi pelengkap atau sekender[32] dari pada
primer[33]. Karena posisinya setelah kesesuaian kondisi dengan
keadaannya[34]. Dan ini adalah fase kedua dari perkembangan
ilmu balaghah.
Daftar Pustaka
3. Al-Asma’I,fuhûl al-Syu’arâ.
9. Abu Ya’kub Yusuf bin Muhammad bin Ali Assakaki, Miftah Al-
Ulum, Dar Kutub Ilmiyah, Beirut Lebanon. Cet. 1 tahun
2008.
[1]Makalah ini ditulis oleh Talqis Nurdianto, Mahasiswa Pasca Sarjana, Fakultas Bahasa
Arab, Jurusan Balaghah dan Kritik, Al-Azhar University, disampaikan pada kajian
regular Ilmu Balaghah di Sekretariat Senat Bahasa Arab tanggal 6 Agustus 2009.
[2]Sakaki adalah penulis buku Miftah al-Ulum termasuk hazanah islam dalam bidang
ilmu balaghah dan menjadi rujukan para ulama yang dating setelahnya.
[3]Masa jahiliyah adalah masa sebelum kedatangan risalah islamiyah yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW., sekitar 150-200 tahun sebelumnya. Disebut jahiliyah (yang
berarti bodoh) bukan karena kebodohan masyarakat pada waktu itu dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, melainkan kejahiliyahan mereka dalam menyembah
berhala, yang tidak bisa bergerak, tidak mampu memberi dan menerima serta
mengabulkan permintaan mereka.
[4] Masa Islamiyah atau disebut sebagai awal kedatangan islam adalah masa yang
terhitung sejak diutusnya Muhammad sebagai utusan Allah, menyampaikan risalah
ilahiyah di bumi, sampai berakhirnya masa khulafaur arrasyidin (para pemimpin yang
cerdas), tahun 40 H., mereka adalah; Abu Bakar Assidiq, Umar bin Khatab, Utsman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib.
[9] Lihat di kitab Almuwassyakh hal. 292 dan kitab AlAghani karya Alasfhani vol.3
hal.147
Tokoh daripada ulama Muktazilah pada abad ke-2 H. dengan karyanya yang ada
[10]
sampai sekarang berjudul al-Bayan wa al-Tabyin, al-Hayawan dan sebagainya.
[14]Dalam bab isti’arah ini, Abdul Qahir membagi dalam dua bentuk yaitu tashrihiyyah
dan makniyyah.
[16]Pendapat abdul Qahir juga seperti ulama sebelumnya semisal Ibn Rasyiq Al-Qirwani
(w. 456 H.) dalam bukunya al-‘Umdah yang membagi al-badi’ mencapai 30 macam dan
Ibn Sinan Al-Khaffaji (w. 466 H.) membagi al-badi’ dalam bukunya Sirru al-fashahah
menjadi 35 macam.
[17]Abu Ya’kub Yusuf bin Muhammad bin Ali Assakaki, Miftah Al Ulum, Dar Kutub
Ilmiyah, Beirut Lebanon. Cet. 1 tahun 2008.
[19] Dalam bukunya Miftâh al-‘Ulûm, Sakaki mendefinisikan balaghah sebagai berikut;
البلغة هي بلوغ المتكلم في تأدية المعاني حدا له اختصاص بتوفية خواص التراكيب حقها وايراد أنواع التشبيه
والمجاز والكناية على وجهها
[20]Ta’kid adalah kerancauan makna yang ditimbulkan dari susunan redaksi kalimat yang
tidak beraturan, hal bisa terjadi karena terjadi fasl antar kata dengan urutan yang sulit
dipahami oleh mukhotob atau pendengar.
[22] Ibnu Sinan Al-Khoffaji dalam bukunya “Sirr Al-Fashahah” lebih awal berbicara
tentang pembagian yang kembali pada kata dan makna.
[23] Lihat buku Miftahu al-Ulum karya Assakaki
[24] Ibid
[25] Abdul Qahir al-Jurjani memposisikan badi’ pada martabat yang tinggi dalam
posisinya sejajar dengan nadzm . Sedangkan Assakaki sebatas pemoles keindahan makna
dan kata dalam kalimat Arab saja. Terlihat ketika membahas al-Tajnis, keduanya berbeda
pandangan dan sitematika penjabarannya. Yang pertama membahasa dan panjang lebar
menerangkan rahasia kalimat dalam bentuk tajnis ini, dengan menyebutkan rahasia dan
keindahan maknanya. Sedangkan ulama yang kedua, sebatas menerangkan arti dari istilah
tajnis, menyebutkan pembagiannya dan contoh setiap bagian tanpa menyebutkan rahasia
dan keindahan bahasanya.
[26] Khotib mendefinisikan ilmu badi’ dalam bukunya al-Idhâh sebagai berikut;
هو علم يعرف به وجوه تحسين الكلم بعد رعاية المطابقة لمقتضى الحال ووضوح الدللة
[28] Ibid
[29] Ibid
[30]Sedangkan Ibnu Mu’taz menjadikan husnu al-ibtida` bagian daripada ilmu badi’,
begitu juga dengan husnu al-takhallush (husnu al-khurûj), juga Tsa’lab dalam bukunya
Qawâ’id al-Syi’ir, dan ibn Sinan dalam Sirru al-fashahah dengan nama Shihhatu al-nasq
wa an-nadzm. Pendapat Khotib ini sesuai dengan pendapat Abu Hilal al-Askari.
:التمهيد
وفي هذا البحث المتواضع ,اراد الباحث ان يعرض بعض الراء في القياس ,للستيلء علي أراءهم
حتي يظهر لنا وجهة نظر كل واحد منهم.
القياس في اللغة
هو التقدير ,جاء في لسان العرب :قاس الشيء يقيسه قيسا و قياسا ,واقتاسه ,وقيسه اذا قدره علي
مثاله .و في القاموس المحيط :قاسه بغيره و عليه يقيسه قيسا وقياساواقتاسه قدره علي مثاله
فانقاس ,و المقدار مقياس ,وقيس رمح بالكسر وقاسه قدره .وفي المعجم الوسيط :القياس – )في
اللغة( :رد الشيء الي نظيره.
وهو ايضا التسوية بين شيئين ,لن تقدير الشيء بما يماثله تسوية بينهما ,يقال فلن يقاس بفلن
أي يساويه وفلن ل يقاس بفلن أي ل يساويه.
في اصطلح الصوليين :اختلف الصوليون في تعريف القياس تبعا لختلف وجهات نظرهم في
اعتبار القياس ,فمنهم من يعده عمل من أعمال المجتحد ,لنه هو اللذي يجريه و منهم من يعده من
عمل ال تعالي ,فهو دليل كالقران الكريم ول دخل للمجتحد فيه ,فهو موجود سواء أوجد المجتحد أم
لم يوجد.
و ايا ما كان المر فقد عرفه البعض :مساواة فرع لصل في علة حكمه ,وهذا التعريف قاله المدي
وابن الحاجب ,كما ذكره ابن عبد الشكور في مسلم الثبوت] . [2وعرفه الفخر الرازي والقاضي
البيضاوي بأنه اثبات مثل حكم معلوم في معلوم آخر لشتراكهما في علة الحكم عند المثبت.
في الصطلح النحوي :عرفه النبري بتعريفات مختلفة فهو :تقدير الفرع بحكم الصل ,و حمل
فرع علي أصل بعلته ,واجراء الصل علي الفرع ,والحاق الفرع بالصل بجامع ,واعتبار الشيء
بالشيء بجامع.
و عرف –كذالك -في جدله] [3هو حمل غير المنقول علي المنقول اذا كان في معناه ,كرفع الفاعل
ونصب المفعول في كل مكان وان لم يكن كل ذالك مقول عنهم ,وانما لما كان غير المنقول عنهم من
ذالك في معني المنقول كان محمول عليه ,وكذالك كل مقيس في صناعة العراب.
للقياس أربعة أركان :أصل وهو المقيس عليه ,و فرع وهو المقيس وحكم وعلة جامعة.
و هذه الركان الربعة بنفسها هي أركان القياس الفقهي عند الصوليين مما يؤكد علي أن النحاة
حملو أصولهم علي أصول الفقهي.
وقد وضع النبري مثال لذالك و نقله السيوطي في القتراح فيقول :وذالك مثل أن تركب قياسا في
الللة علي رفع ما لم يسمي فاعله فتقول :اسم أسند الفعل اليه مقدما عليه ,فوجب أن يكون
مرفوعا قياسا علي الصل.
فالصل هو الفاعل.
والحكم هو الرفع.
و الصل في الرفع أن يكون للصل الذي هو الفاعل ,وانما أجري علي الفرع الذي هو ما لم يسمي
فاعله بالعلة الجامعة التي هي السناد][4
والذي نلحظه علي هذا المثال أن العرب نطقو نائب الفاعل مرفوعا ,فهذا هو الصل في نطقهم
واستعمالهم ,ولم ينطق به منصوبا أو مجرورا ,فليس ما لم يسم فاعله –اذن -فرعا عن الفاعل لن
كليهما مرفوع بحسب استعمال العرب ,وبذا يمكننا أن نقول :اننا لم نفد هذا الحكم اي الرفع ,من
هذا القياس ,وانما الذي أفادنا ذالك هو الستعمال العربي الفصيح[5].
واذن-وكما يري الدكتور حمودة -فإن الحكام النحوية انما ثبتت أول عن طريق النقل عن العرب
ولم تثبت لنا عن طريق هذا القياس ,ولذا فان هذا القياس ليس ال تحصيل حاصل في اثبات الحكم,
ولكن النحاة يذكرونه للتنبيه علي علة الحكم ل لثبات الحكم نفسه.
لعل أهم ما يميز المدرسة الكوفية من المدرسة البصرية اتساعها فى رواية الشعار وعبارات اللغة
عن جميع العرب بدويهم وحضريهم ،بينما كانت المدرسة البصرية تتشدد تشددا جعل أئمتها ل
يثبتون فى كتبهم النحوية إل ما سمعوه من العرب الفصحاء الذين سلمت فصاحتهم من شوائب
التحضر وآفاته ،وهم سكان بوادى نجد والحجاز وتهامة من )) قياس وتميم وأسد فإن هؤلء هم
الذين عنهم أكثر ما أخذ ومعظمه وعليهم اتكل فى الغريب وفى العراب والتصريف ،ثم هذيل
وبعض كنانة وبعض الطائيين ،ولم يؤخذ عن غيرهم من سائر قبائلهم .وبالجملة فإنه لم يؤخذ
عن حضري فقط ول عن سكان البرارى ممن كان يسكن أطراف بلدهم المجاورة لسائر المم الذين
حولهم (([6].
وليس معنى ذلك أن أئمة الكوفة لم يكونوا يرحلون إلى هذه القبائل الفصيحة ،فقد كانوا يكثرون
من الرحلة إليها ،على نحو ما يحدثنا الرواة عن الكسائي ،فقد قالوا إنه خرج إلى نجد وتهامة
والحجاز ))ورجع وقد أنفذ خمس عشرة قنينة حبر فى الكتابة عن العرب سوى ما حفظ (( .ولكن
معناه أن الكوفيين وفى مقدمتهم إمامهم الكسائي كانوا ل يكتفون بما يأخذون عن فصحاء
العراب ،إذ كانوا يأخذون عمن سكن من العرب فى حواضر العراق ،وكثير منهم كان البصريون
ل يأخذون عنهم ول عن قبائلهم المقيمة فى مواطنها الصلية مثل تغلب وبكر لمخالطتهما الفرس
ومثل عبد القيس النازلة فى البحرين لمخالطتها الفرس والهند .
وقد حمل البصريون على الكوفيين حملت شعواء حين وجدوهم يتسعون فى الرواية على هذه
الشاكلة ،وخصوا الكسائي بكثير من هذه الحملت ،قائلين )) إنه كان يسمع الشاذ الذى ل يجوز ،
من الخطاء واللحن وشعر غير أهل الفصاحة والضرورات ،فيجعل ذلك أصل ،ويقيس عليه حتى
أفسد النحو (( وقالوا إنه لقي عشيرة من بنى عبد القيس تسمى الحطمة كانت نازلة ببغداد ،فأخذ
عنها كثيرا من الخطأ واللحن ،مما اتضح أثره فى مناظرته المشهورة لسبويه ،فإن سيبويه تمسك
فيها بما سمعه عن العرب الفصحاء فى مثل )) :قد كنت أظن أن العقرب أشد لسعة من الزنبور فإذا
هو هي (( حتى إذا قال الكسائي إنه يجوز )) فإذا هو إياها (( أنكر ذلك إنكارا شديدا .وسرعان ما
استعان عليه الكسائي بأعراب عشيرة الحطمة ،فأيدوه ،وتأييدهم ل قيمة له فى رأى سيبويه
ومدرسته ،لنهم ليسوا من الفصحاء المتبدين فى قيعان نجد وتهامة والحجاز ،ممن يؤخذ عن
لسانهم النحو واللغة .
وكان ذلك بدءا لخلف واسع بين المدرستين ،فالبصرة تتشدد فى فصاحة العربي الذي تأخذ عنه
اللغة والشعر ،والكوفة تتساهل ،فتأخذ عن العراب الذين قطنوا حواضر العراق ،مما جعل بعض
البصريين بفخر على الكوفيين بقوله )) :نحن نأخذ اللغة عن حرشة ) أكلة ( الضباب وأكلة
اليرابيع ) أي البدو الخلص ( وأنتم تأخذونها عن أكله الشواريز وباعة الكواميخ ) أي عرب
المدن ( ((.
ولم تقف المسألة عند حد التساع فى الرواية ،بل امتدت إلى التساع فى القياس وضبط القواعد
النحوية ،ذلك أن البصريين اشترطوا فى الشواهد المستمد منها القياس أن تكون جارية على ألسنة
العرب الفصحاء وأن تكون كثيرة بحيث تمثل اللهجة الفصحى وبحيث يمكن أن تستنتج منها
القاعدة المطردة .وبذلك أحكموا قواعد النحو وضبطوها ضبطا دقيقا ،بحيث أصبحت علما واضحا
المعالم بّين الحدود والفصول .وجعلهم ذلك يرفضون ما شذ على قواعدهم ومقاييسهم لسبب
طبيعي ،وهو ما ينبغي للقواعد فى العلوم من اطرادها وبسط سلطانها على الجزئيات المختلفة
المندرجة فيها .ولم يقفوا عند حد الرفض أحيانا ،إذ وصفوا بعض ما شذ على قواعدهم مما جرى
على ألسنة بعض العرب بأنه غلط ولحن ،وهم ل يقصدون اتهامهم بذلك حسب المدلول الظاهر
للكلمتين ،إنما يقصدون أنه شاذ على القياس الموضوع وخارج عليه فل يلتفت إليه .وتوقف كثير
من المعاصرين الذين يخوضون فى المباحث النحوية عند هذين اللفظين وحاولوا الرد على
البصريين غير متنبهين لمدلول الكلمتين عندهم ومقصدهم منهما ].[7
رأى ابن مضاء فى فكرة القياس
ليس ابن مضاء طويل النفس فى رأيه عن القياس ،فليس فى رأيه عنه تقليب الفكرة ومواجهة
احتمالتها كما فعل فى آرائه الخرى عن العامل أو التأويل مثل ،فقد ذكر رأيه فى القياس عرضا
اثناء حديثه عن التعليل ،كما أن له جزئيات عنه متناثرة بين دفتي كتابه ) الرد على النحاة ( فإذا
أضيف هذا لذلك ،اتضحت فكرة تقريبية عن رأيه فى ذلك الموضوع [8].
القياس النحوي هو الحكام النحوية التى تصدق على النصوص اللغوية الواردة بطريقة واحدة
أخذت منها القاعدة ،ثم تعمم تلك القاعدة على النصوص التى لم ترد.
وهناك نوع أخر من القياس يتردد أيضا فى كتب النحو ،وهو قياس أحكام على أحكام لنوع من
المشابهة ،فهذا الحكم كذا لنه مشابه أو قياس على كذا ،وهذا القياس يطلق عليه ) القياس العقلي
( لن للعقل فيه دورا فى عقد المشابهة وإقامة الصلة بين الحكام.
وهذا بيان موقف ابن مضاء من فكرة القياس بمعنييها السابقين [9].
أما النوع الول فلم يتعرض له ابن مضاء نصا ،لكن يعرف رأيه مع ما ورد فى كتابه من جزئيات
عنه :
-وأما ) كان ( وأخواتها ،فإن ) كان ( منها تجرى مجرى الفعال المقتضية مفعول ،تقول ) كنت
وكان زيد قائما ( و ) كنت وكانه زيد قائما ( فقائما خبر كنت ،وقال الفرزدق :
إنى ضمنت لمن أتانى ما جنى وأبي فكان ،وكنت غير غدور .
وكذلك ) ليس ( تقول ) لست وليس زيد قائما ( و ) لست وليس زيد إياه قائما ( – والظهر أن
يوقف فيما عدا ) كان ( على السماع من العرب ،لن ) كان ( اتسع فيها ،وأضمر خبرها .
إن فكرة ابن مضاء عن هذا النوع من القياس ترتبط ارتباطا اساسيا بفكرته عن النصوص اللغوية،
فهو يجيزه إن ورد له من النصوص ما يصححه ،وهو يرفض إذا لم ترد له نصوص تؤيده .
وفى النموذج السابق توقف المر فى قياس ما عدا ) كان ( على السماع من العرب )) والظهر أن
يوقف فيما عدا ) كان ( على السماع من العرب (( وأدخل ) كان ( من بقية الفعال اتساعا ،
ولضمار خبرها :
أما )) القياس العقلي (( فقد واجهه بصراحة ،مبينا أن النحاة لم يتحروا الدقة فى هذا النوع من
القياس ،وذلك لنهم يحملون الشياء على الشياء دون أن تكون هناك صلة كاملة بين المرين ،
هذا من ناحية ،ومن ناحية أخرى يدعون أنهم فى ذلك تابعون للعرب ،وأن العرب قد أرادت ذلك .
وهم فى كل المرين قد جانبهم التوفيق )) والعرب أمة حكية ،فكيف تشبه شيئا بشيء وتحكم عليه
بحكمه ،وعلة حكم الصل غير موجودة فى الفرع ،وإذا فعل واحد من النحويين ذلك جهل ولم يقبل
قوله ،فلم ينسبون إلى العرب ما يجهل به بعضهم بعضا ،وذلك أنهم ل يقيسون الشيء ويحكمون
عليه بحكمه إل إذا كانت علة حكم الصل موجودة فى الفرع ،وكذلك فعلوا فى تشبيه السم بالفعل
فى العمل ،وتشبيههم ) إن وأخواتها ( بالفعال المتعدية فى العمل .
فإبن مضاء يرفض هذا النوع من القياس معتمدا على أساسين :
أحدهما :عقلي بلخصة أن المشابهة غير كاملة بين المقيس والمقيس عليه .
والخر :لغوي ،وهو إنكار أن العرب أرادت ذلك ،أو بعبارة أخرى ،إنكار أن يكون هذا مما له
صلة ينطق العرب واستعمالتهم .
ولقد التزم ابن مضاء هذا الرفض فى المثلة التى وردت لهذا القياس فى ثنايا الكتاب وهذا بعضها :
-فى السم الذى ل ينصرف – قال :فإن كان فى السم علتان أو واحدة تقوم مقام العلتين ،فإن كل
واحدة من العلتين تجعله فرعا منع ما منع الفعل وهو الخفض والتنوين ......والوجه عندهم
لسقوط التنوين من الفعل ثقله ،وثقله لن السم أكثر استعمال منه ،والشيء إذا عاوده اللسان
خف ،وإذا قل استعماله ثقل ،وهذه السماء غيرها أكثر استعمال منها ،فثقلت !! فمنعت ما منع
الفعل من التنوين ،وصار الجر تبعا له .
وليس يحتاج من هذه إل إلى معرفة تلك العلل التى تلزم عدم النصراف ،وأما غير ذلك ففضل ،
هذا لو كان بينا ،فكيف به وهو ما هو فى الضفع !! لنه ادعاء أن العرب أرادته !! ول دليل على
ذلك إل سقوط التنوين وعدم الخفض ،وهذان إنما هما للفعال ،فلو ل شبه الفعال ،لما سقط منها
ما يسقط من الفعال .
ففى القتباس الول تأييد للفكرة مع الرتباط بمنهجه فى احترام النصوص فقد عقد النحاة مشابهة
بين السماء التى ل تنصرف والفعال فى أن كل منهما يمنع الخفض والتنوين ،وراحوا يلتمسون
لذلك الوسائل من الثقل والخفة والمشابهة فى علل الفروع.
وابن مضاء يرفض هذا القياس معتمدا على أساسين لغويين .
الول :معرفة تلك الصفات التى توجد فى السماء غير المنصرفة )) للعلل (( بصرف النظر عن
تلك المشابهة المدعاة.
الثاني :أن النحاة يدعون أن العرب أرادت هذا القياس ،والعرب لم ترد ذلك أو بعبارة قريبة :
العرب لم تستعمل ذلك ،وهل أعطينا مفاتيح الغيب حتى نحكم على الرادة !![10].
الخاتمة
ان القياس ثروة ثمينة ,لكن الخلف يحيط حوله ,بعض العلماء يبلغ في اخذه وبعضهم يبلغ في رده,
وما لنا ال التفحص لنستخرج منه الصواب و نبعد عن الخطاء والمبالغة.
] [1عبد الرحمن بن خلدون ,مقدمة ,تحقيق حامد أحمد الطاهر ,دار الفجر للتراث القاهرة س , 2004:ص .700
] [2ابن عبد الشكور هو محب الدين بن عبد الشكور البهاري الهندي من أصل بهار بالهند توفي سنة 1119و من
مصنفاته :سلم العلوم في المنطق ,ومسلم الثبوت.
] [4جلل الدين السيوطي ,القتراح علقه الدكتور سليمان ياقوت,دار المعرفة الجامعية ,ص.208 :
] [5عصام عيد فهمي ,أصول النحو عند السيوطي بين النظرية و التطبيق ,الهيئة المصرية العامة للكتاب-
, 2006ص .261
] [8د\محمد عيد,أصول النحوي العربي في نظر النحاة ورأي ابن مضاء وضوء علم اللغة الحديث ,عالم الكتب,ص:
83