Anda di halaman 1dari 28

Pengantar Ilmu Ad-Dilalah

Oleh : M Nur, Lc

A. Prolog

Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap disiplin ilmu tidak serta-merta lahir dengan
kesempurnaan laiknya manusia yang mengalami pertumbuhan dari satu fase ke fase
lainnya. Demikian juga dengan disiplin ilmu 'Ilmu Ad-Dilalah' yang notabenenya
merupakan bagian dari disiplin ilmu 'Ilmu Al-Lughah' mengalami hal yang sama dalam
kemunculannya di tengah kerumunan para saintis bahasa. Bermula dari adanya
perselisihan antara saintis bahasa yang masih dan senantiasa mempertahankan paham al-
ashalah [kemurnian dan keaslian] dan saintis mu'asharah yang ingin melihat adanya
perubahan dalam bahasa Arab. Selanjutnya, saintis teloran baru ini berusaha menembus
aral dalam penelitian kebahasaannya tanpa menoleh ke arah kemurnian dan kekhususan
daya fikir dan daya ucap bahasa Arab. Hasilnya, mengakibatkan kerancuan pengetahuan
antara turats arabi ilmi dan kebutuhan ilmiah lughawiah.

Olehnya, jikalau kita ingin mendasarkan suatu pemikiran arab mua'sharah yang
menggeluti pembahasan bidang bahasa, tentunya kita mesti menghilangkan pemikiran
secara lughawi terhadap turats; menelitinya; mengklarifikasi bahasannya dan memilah
nilai-nilai positif dan negatifnya dalam cakupan standar tingkatan tema dan metode.
Namun hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan melihat kembali sejarah pemikiran arab
–secara umum- dan pemikiran bahasa –secara khusus- dan pastinya tuk kembali ke sana
ada begitu banyak jalan yang mesti kita lewati dan lalui, kita mesti mengetahui sejarah
perkembangan bahasa dalam pemikiran arab. Hal ini tentunya tidak akan terlepas dari
beberapa disiplin ilmu lain yang tanpa disadari berhubungan langsung dengan bahasa.
Dan pada akhirnya, kita dapat menjaga kemurnian dan keaslian turats, disamping
mengetahui metode pemikiran yang layak dan pantas dipergunakan dalam pembahasan
kebahasaan. Dan hasilnya, lahirlah teori daya ucap arab yang berbasis mu'asharah dan
mampu memberikan kontribusi bagi pemikiran manusia yang kian lama kian mengalami
perkembangan.

Teori daya ucap arab ini tidak akan ada jikalau kita tidak menggabungkan antara teori
daya ucap barat dan daya ucap arab sehingga menghasilkan teori daya ucap arab yang
bersifat mu'asharah. Dan dalam penggabungan keduanya ini, ada satu hal yang patut kita
ingat, yaitu corak pemikiran arab. ”Sebab untuk memahami metode arab pada setiap
disiplin ilmu turas, mesti mengaitkannya dengan kehidupan pemikiran orang arab,
disamping mengenal corak berifikir orang arab secara umum yang tumbuh, berkembang
dan mengakar dalam naungan AlQur'an. Sebagaimana diketahui bahwa para pemikir
Islam dalam menyikapi setiap cabang suatu disiplin ilmu mereka terlebih dahulu
memulainya dengan praktek sebelum meletakkan dasar-dasar metode dan teori. Sebagai
contoh, membaca AlQur'an dengan cara talaqqi dan musyaafahah adalah jauh lebih
dahulu keberadaanya dibandingkan dengan orang yang menyusun buku panduan dan
metode membaca AlQuran secara baik dan benar ...”.
Jikalau proses ini telah terealisasi dalam cakupan keilmiahan metodenya, maka sudah
barang tentu akan terlahir pemikiran daya ucap baru yang dapat menginterpretasikan dan
merangkul secara sempurna segala tingkatan studi baik lughawiah [bahasa], shautiah
[philology/suara penyebutan jenis huruf], tarkiibiah [susunan kata dan kalimat] dan
dilaaliah [arti dan makna]. Dan dengan cara ini, kita dapat mengaitkan antara pemikiran
bahasa sistem ala arab dahulu dengan pemikiran daya ucap sistem ala baru, sebab
peralihan teori daya ucap baru -dengan sifatnya yang manusiawi- telah mencakup
keseluruhan fenomena bahasa. Juga dengan terealisasinya, perhatian saintis bahasa di
masa sekarang dapat terangkul semua olehnya, sebab –dengan beralihnya teori daya ucap
ini menjadi suatu disiplin ilmu yang menjadikan bahasa manusia sebagai bahan
garapannya- tidak lagi terhalangi oleh batasan pengetahuan yang bersifat spesifik.
Dengan demikian, teori ini menjelma menjadi disiplin ilmu yang mencakup seluruh
bahasa.

Dan pembahasan ilmu ad-dilalah sendiri masuk dalam pemaparan teori ini sebagai
langkah peralihan menuju pembahasan turas dalam garapan disiplin ilmu bahasa. Sebagai
contoh, para ahli ushul fiqh memberikan beberapa sampel dalam hal bagaimana mereka
berinteraksi dengan bahasa laiknya bentuk aturan dari beberapa simbol daya ucap yang
dalam gaya bahasanya tunduk pada aturan bijak dalam menyelesaikan tugas dilalahnya.
Mereka juga sejak awal telah menyelesaikan masalah-masalah yang berkenaan dengan
bahasa. Menambahkan karya pengetahuan dengan secermat mungkin sebagai hasil dari
usaha mereka dengan menjadikan AlQur'an sebagai acuan utama dalam pengistinbatan
hukum, dengan tidak melupakan dasar-dasar hukum bahasa yang salah satu
keistimewaannya adalah ad-dilalah.

Jadi, pada awalnya pembahasan ad-dilalah dalam kajian turas bermula pada kajian
disiplin ilmu lain (baca: ilmu ushul fiqh). Olehnya, tidak salah jikalau ada yang
mengatakan ilmu ad-dilalah sangat erat kaitannya dengan ushul fiqh. Sebab, para ulama
ushul fiqh pada mulanya seringkali meminjam kebaikan ad-dilalah dalam menyelesaikan
suatu masalah. Dan dari situ pula, suatu pemasalahan bahasa dapat terpecahkan. Hal ini
dapat kita lihat dalam kitab Al-Ihkaam Fi Ushuul Al-Ahkam, karangan aalim ushuuly,
Saifuddin Al-Aamidy.

B. Sejarah Lahirnya Ilmu Ad-Dilalah

Bahasa semenjak lama telah berhasil menarik perhatian para pemikir, sebab bahasa
adalah salah satu roda utama yang menjalankan kehidupan manusia semenjak
diciptakannya, baik dalam berfikir terlebih lagi dalam hal berkomunikasi antar sesama
manusia. Peranan bahasa tak seorang pun akan memungkirinya. Dan dengan bahasa pula
sejarah pun tecatatkan dalam buku-buku. Bahkan kita-kitab suci yang dianggap sakral
bagi umat-umat terdahulu oleh manusia termaktubkan dengannya. Orang-orang
Hindustan, sebagai contoh, memiliki kitab suci, Weda yang tak lain juga merupakan
sumber studi bahasa dan daya ucap khususnya. Dan dari sinilah, sejarah permulaan
bahasa dianggap sebagai mata pelajaran dan studi.
Namun, tak ada yang luput dari perdebatan dan perselisihan terhadap sesuatau yang
belum jelas secara pasti keberadaannya atau kelahirannya. Demikian halnya dengan
bahasa, sejarah lahirnya pun menuai pedebatan. Banyak pendapa yang dilontarkan oleh
para saintis sejarah dan bahasa mengenai kapan dan dari mana awal kemunculan bahasa
di tengah manusia. Di antara sederetan pendapat itu, ada yang mengakatakan:
”keberadaan bahasa erat kaitannya dengan hubungan antara kata dan makna, sama halnya
eratnya hubungan antara api dan asap”. Jadi, Bahasan ad-dilalah pun lebih fokus pada
hubungan antara kata dan makna. Olehnya, ada dua sisi yang saling kait-mengait dalam
bahasan ini, hubungan antara kosakata dan kalimat dan hubungan lafadz dan makna.

Hal ini nampak pada studi dilalah orang Hindustan dulu yang membagi dilalah kata,
dalam empat bagian:

1. dilalah kata yang bemakna umum, seperti: lelaki;

2. dilalah kata yang bermakna bentuk, seperti: tinggi;

3. dilalah kata yang bermakna pesitiwa atau pebuatan, seperti: datang;

4. dilalah kata yang bemakna diri atau person, seperti: Muhammad.

Pembahasan makna dalam bahasa (baca: ilmu ad-dilalah) jauh sebelumnya telah
mendapat perhatian baik dan hal ini terbukti dilakukan oleh para saintis Hindustan.

Hal serupa juga terjadi di Yunani, terdapat banyak istilah-istilah pengetahuan yang erat
hubungannya dengan ilmu ad-dilalah. ”Platon sendiri pernah berdialog dengan gurunya,
Socrates tentang tema hubungan lafadz dengan arti. Platon mengungkapkan pendapatnya
bahwa terdapat hubungan natural antara ad-daal (lafadz) dan al-madluul. (arti). Beda
halnya sang Guru, ia mengakui bahwa antara keduanya memang terdapat hubungan
namun hanya sekedar pengistilahan. Ia membagi kalimat dalam dua bagian, kalimat luar
dan kalimat dalam diri. Disamping ia membedakan antara fonem (suara) dan makna yang
sesuai dengan gambaran yang ada di akal. Sehingga di saat tenarnya pembahasan ini
bermunculanlah aliran-aliran yang membahas studi makna ini, seperti aliran Ar-
Ruwaqiyyin dan aliran Iskandaiah”

Di Roma juga demikian, para saintis Roma memiliki peran penting dalam studi bahasa,
khususnya berkenaan dengan ilmu An-Nahw (grammer). Dan hingga abada ke 17, buku-
buku hasil buah tangan mereka masih menjadi buku utama di sekolahan. Dan puncak
keemasan dan kegemilangan studi bahasa di Roma terjadi di masa lahirnya paham Iquest
Scola, dimana terjadi perdebatan sengit tentang hubungan kosakata dan arti-artinya. Para
pemikir pun terbagi dua dalam perdebatan ini, ada yang berpendapat bahwa hubungan
keduanya hanya sekedar hubungan biasa (besifata sementara). Sedang golongan kedua
mengatakan bahwa hubungan keduanya bersifat alami.

Sedangkan di jazirah Arab, sejarah muculnya ilmu dilalah ini sudah lama, semenjak
awal-awal abad. Hal ini nampak dari adanya perhatian yang amat besar dari para saintis
Arab. Dan sebagai contoh konkrit dan bukti nyata yang masih sempurna dan utuh hingga
sekarang pemberian titik dan baris pada AlQur'an. Hal ini dianggap sebagai bagian dari
cakupan ilmu dilalah, sebab AlQur'an pada mulanya hadir tanpa ada titik dan baris.
Selanjutnya, perubahan suatu kata, baik itu pemberian titik atau baris menjadikannya
beralih tugas dan secara otomatis memiliki makna baru. Dan ini peristiwa inilah termasuk
salah satu sebab munculnya ilmu Nahw.

Dan tentunya, studi bahasa yang dilakukan oleh para saintis Arab tidak sebatas itu.
Berbagai macam disiplin ilmu baru lahir dari keaktifan para saintis Arab menekuni
AlQuran sebagai kitab yang kaya akan ilmu pengetahuan. Dan untuk sampai pada
disiplin ilmu yang baru itu perlu mengkaji secara cermat dan teliti AlQuran dan pastinya
ilmu dilalah salah satu diantara prangkat untuk mengkaji AlQuran. Mulai dari masa Nabi
hidup hingga masa sekarang kajian terhadap AlQuran senantiasa ada dan ilmu dilalah
salah satu di antara sekian banyak disiplin ilmu yag mesti diketahui sebelum mengkaji
AlQuran khususnya dan Bahasa Arab umumnya.

Kemudian, tibalah masa kebangkitan ilmu ini dimana seorang saintis bernama Michelle
Breal pada tahun 1883 mengumumkan kelahiran suatu disiplin ilmu baru yang dalam
pembahasannya amat memperhatikan "makna/arti". Ia mengistilahkan dengan sebutan
semantic.

Defenisi Ilmu Ad-Dilalah

Laiknya disiplin ilmu lain yang defenisinya tiap saintis berbeda satu sama lain
tentangnya. Begitupula dengan disiplin ilmu ini, defenisinya pun tak kurang dari satu.

Namun penulis kira dari deretan pendapat tersebut intinya hanya satu sebagaimana yang
dikatakan oleh saintis Perancis Michele Breal bahwa akan hadir ilmu yang fokus
pembahasannya adalah makna atau arti. Jadi, ilmu ad-dilalah ialah ”ilmu yang
mempelajari tentang makna”.

Namun demikian, terdapat defenisi ilmu ad-dilalah yang lebih spesifik dari defenisi
sebelumnya. ”Ilmu Dilalah atau Semantic adalah disiplin ilmu bahasa yang baru,
membahas tentang dalalah bahasa dan tunduk apada aturan-aturan bahasa dan simbol-
simbolnya tanpa selainnya. Bahasannya ialah studi makna bahasa terhadap kosakata
(mufradaat)dan kalimat-kalimat (taraakiib)”. Jadi, kedua defenisi memiliki tujuan dan
bahasan yang sama, hanya defenisi pertama lebih umum dibandingkan defenisi kedua.

Bahasan-bahasan Ilmu Ad-Dilalah

Dari awal sejarah kemunculan ilmu ini kita dapat mengetahui gambaran bahasan ilmu
dilalah secara menyeluruh. Dan setelah mengetahui defenisinya kita lebih yakin bahwa
gambaran bahasan ilmu dilalah adalah demikian. Namun penulis rasa tidak ada salahnya
jikalau penulis mencoba tuk berusaha berbagi dengan teman-teman pembaca dalam hal
ini. Sebab, init daripada ilmu dilalah itu sendiri adalah bahasannya. Dan setiap ilmu juga
demikian bahasan adalah inti dari suatu ilmu.

Diantara sekian banyaknya bahasan ilmu dilalah, penulis akan mencoba mengambil
sebagiannya yang penulis rasa amat penting dalam bahasan ilmu dilalah ini. Di antaranya,
bahasa itu sendiri, ad-daal wa madluul (kata dan makna), pembagian dilalah, tathawwur
dilaly dan hakikat dan majaz.

1. Bahasa

Tak dapat dipungkiri betapa penting dan berharganya bahasa dalam kehidupan manusia,
tidak terkecuali para saintis dalaly. Kemunculan disiplin ilmu ini tidak terlepas dari
peranan saintis bahasa yang ingin dan berusaha mengembangkan bahasa. Dan hasilnya,
hadirlah satu displin ilmu baru yang akan mewarnai dinamika studi bahasa.

Pada awal mula munculnya ilmu ini, bahasa mengalami pengkajian yang meluas dan
yang paling menyibukkan saintis bahasa adalah masalah asal muasal bahasa. Masalah
inilah yang membuat para saintis berpikir keras dan pada akhirnya mereka terbagi dalam
tiga golongan dari mereka. Pertama, ada yang berpendapat bahwa asal bahasa adalah
tauqifiah thabaiyyah. Kedua, golongan ini berpendapat bahwa bahasa adalah 'urfiah
isthilahiah. Ketiga, golongan yang berusaha menggabungkan kedua pendapat tersebut itu.
Dan sebagian besar saintis bahasa tetap berusaha mencari problem solving dalam hal ini.
Namun, masalah ini makin menjadi rumit dan sukar seiring dengan banyaknya pendapat
dan teori yang membahas masalah sala muasal bahasa. Sehingga organisasi bidang
kebahasan Perancis (la societe de linguistique) mengeluarkan undang-undang larangan
memberikan ceramah tentang asal muasal bahasa.

2. Ad-daal wa Al-madluul (kata dan makna)

Di antara bahasan penting yang dibahas oleh ulama Alsun (fonology) dan Dilalah
(Semantic) adalah masalah kata dan makna. Pada mulanya, bahasan studi bahasa hanya
menyoal hubungan antara lafadz dan makna. Setelah ilmu dilalah mengalami
perkembangan, bahasannya pun meluas dan mencakup daal wa madluul, baik daal itu
adalah lafadz atau bukan lafadz. Dan pada akhirnya bahasa tak lain adalah hubungan
yang mengikat antara daal dan madluulnya dalam lingkup network yang teratur. Hal itu
karena daal sendiri tidak mengusung makna yang ia bawa sendiri melainkan sebagai
sumber dalalah yang menghubungkan daal dan madluulnya. Pendapat ini sendiri yang
dipegang oleh DR. Abdul Salam Al-Masdy dalam bukunya Al-Lisaniyyaat wa Ususuha.

Beda lagi dengan pendapat Souser mengenai daal dan madluul, ia mengistilahkanna
dengan Ad-dalil Al-lisany. Ad-Daal -menurutnya- adalah kualitas suara atau bentuk
acoustic. Sedangkan al-madluul adalah ide pokok.

3. Pembagian Dilalah

Ada beberapa makna dalalah bila ditinjau dari sisi daal dan madluul. Para saintis dalali
pun membedakan makna-makna tersebut, antaralain;

a. Makna Asaasi atau Gambaran, yaitu makna utama yang mengandung satu arti dalam
sistem perkamusan;

b. Makna Idhafi, yaitu makna tambahan atas makna utama yang hanya dapat diketahui
dari gaya bahasa kalimat tersebut;

c. Makna Usluubi, yaitu makna yang membatasi nilai-nilai ungkapan yang khusus dalam
bidang budaya dan sosial;

d. Makna Nafsi, yaitu makna yang mengandung secara khusus bidang


psychology/kejiwaan dalam diri seorang;

e. Makna Iihaai, yaitu makna isyarat yang berkaitan dengan kosakata yang dapat
digambarakan dan diungkapnkan dengan isyarat.

Kajian Balaghoh I
Historisitas dan Perkembangan Ilmu Balaghah

(Masa Jahiliyah – Abad 8 H.)[1]

Kata albadi’ secara etimologi menunjukkan sesuatu yang indah


dan tidak ada semisal dengannya. Allah berfirman [QS. Albaqarah
(2) : 117]:

Artinya: “ Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia


berkehendak(untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia
hanya mengatakan kepadanya: “jadinlah”. Lalu jadilah ia”.

Maka kata ‫ إبسسداع السسسموات والرض‬berarti menciptakan keduanya dan


memperindah tidak seperti asal mula keduanya, seperti hanya
kita mengatakan sesuatu baru yang baru dan diperbaharui, atau
sesuatu yang menakjubkan.

Para ulama balaghah mangatakan kata ‫ بسسسديع‬sebagai sinonim


daripada ‫ بلغة‬atau seni ‫ بلغة‬dan permasalahannya, seperti halnya
mereka mengatakan ‫ فصاحة‬. dan istilah ‫ بديع‬bukan bagian daripada
‫ بلغسسسة‬sebagai ilmu. Sampai dating masa Assakaki[2] dalam
kitabnya ‫ مفتسسسساح العلسسسسوم‬, ketika membahasa ilmu balaghah, ia
membaginya menjadi 3 bagian; ma’âni, bayân dan badi’.
Dari sini, kita ketahui bahwa ‫ البلغسسة‬tidak terbagi menjadi tiga
macam sebelum masa Assakaki atau sebelum pada abad ke-7 H.
Pertanyaannya adalah, apakah para ulama terdahulu, mulai masa
Jahiliyah[3], Islamiyah[4] dan Umawiyah[5] mengenal balaghah
sebagai ilmu atau sebatas seni keindahan bahasa dalam
masyarakat Arab?

Lantas apa yang membedakan antara badi’ pada masa sebelum


Assakaki dengan masa setelahnya, serta latar belakang Assakaki
membagi ilmu balaghah menjadi tiga bagian dalam bukunya
Miftah Alulum sehingga menjadi rujukan pendapat ulama yang
dating setelahnya.

Dalam makalah ini, saya sampaikan bahwa untuk mengetahui


posisi Badi’ dalam diskursus kajian balaghah, perlunya
mengetahui sejarah asal mula ilmu balaghah dan varian yang
mempengaruhi pertumbuhannya.

Albadi’ Abad 2 H.

Keindahan syiir pada jaman jahiliyah tidak terlepas dari


keindahan bahasa yang timbul dari al-badi’. Secara tabi’I
(natural), orang arab umumnya dan para santrawan yang
berprofesi sebagai penyair mengetahui keindahan dari syiirnya.
Tetapi belum bisa mendefinisikan dan indentifikasi dimana letak
keindahan serta namanya.

Orang yang pertama kali menyebut istilah al-badi’ adalah Muslim


bin Walid. Hal ini dikemukakan oleh Ibnu Qutaibah[6]. Jahihz
sendiri lebih cenderung pada Basyar bin Burd dikarenakan
keindahan bahasa dalam syiirnya[7].

Al-badi’ juga sudah menempel pada lidah orang Arab, bagaikan


dua mata uang yang tidak terpisahkan. Kealamiahan inilah yang
menjadikan ciri khas dari setiap perkataan dan karya buku yang
dicetak pada masa abad ke-2 ini.

Albadi’ Abad 3 H.

Menurut Asma’I[8] (w. 216 / 211 H.)

Alasma’I adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah


albadi, ia memakai badi’ dalam membedakan dua penyair besar,
basyar bin Burd dan Marwan bin Abi Hafshah, dengan badi’ ini, ia
memilih penyair yang pertama daripada yang kedua. Dalam
pandangannya, basyar bin burd memiliki penyusunan syiir yang
belum pernah dilakukan oleh para syuara dan sastrrawan
sebelumnya, yaitu membubuhi syiirnya dengan seni badi’.[9]

Pada masa Asma’I, badi tidak diartikan sebagai ilmu yang


berfungsi memperindah kata-kata sebagaimana yang diartikan
oleh ulama muttaakhirin yang sekarang mengalami penyempitan
makna dan arti. Tapi lebih diartikan dengan sesuatu yang baru
lagi menarik dan indah. Hal ini lebih dekat jika badi’ sinonim
daripada balaghah bukan salah satu bagian ilmu dalam balaghah.

Sedangkan macam-macam badi’ dalam pandangan Asma’I,


sebagian macam-macamnya adalah baru, penemuannya sendiri
dan sebagian yang lain, ia mengikuti ulama sebelumnya, adalah
sebagai berikut;

1. Alistiarah

2. Altasybih

3. Aljinas

4. Atthibaq

5. Alighal

6. Almubalaghah

7. Aliltifat

8. Attaghlib

9. Husnuttaqsim

10. Shihhatul muqabalah

11. husnul ibtida`

Dalam penjelasan ini, Asmai menjelaskan macam-macam badi’


ini setelah melalui perenungan dan pembelajaran yang sangat
lama dan teliti pada sastra maupun syiir. Pembahasan aljinas dan
althibaq tidak hanya dilakukan oleh asmai, tetapi sudah ada pada
ulama sebelumnya, khalil bin ahmad, dalam bukunya Mu’jamul
Ain, meskipun kholil bin ahmad sendiri, membahas kedua tema di
atas secara singkat. Sedangkan pembahasan lainnya adalah hasil
jerih payah dan usahanya sendiri.

Menurut Jahidz[10]

Di atas telah disebutkan, bahwa muslim bin walid adalah orang


pertama yang mengatakan badi. Sedangkan ulama sebelumnya
menyebutnya dengan kata allatif. Dan unsure seni ini banyak
terdapat pada syiir basyar bin burd dan abu nuwas dan muslim
dan penyair sertta satrawan yang dating setelah mereka.

Berbeda dengan Asmai, Jahidz berpendapat bahwa badi’ hanya


terdapat pada bahasa orang Arab, oleh karena itu, bahasa arab
menjadi lebih unggul di atas semua bahasa dan terpelihara
orisinalitas dan keindahannya.[11] Beberapa para khotib yang
penyair, mereka memperindah perkataan mereka dengan badi’
diantaranya kaltsum bin ‘Amr Al’ittabi (abu Amr) yang mengikuti
jejak basyar bin burd.[12]

Al-Badi’ Abad 4 H.

Qudamah bin Jakfar (w. 337 H.)

Qudamah membahas panjang lebar tentang badi sebagai


standarisasi keidahan syiir Arab dalam bukunya Naqd Asy-Syiir.
Hal ini dilakukan sebagai usaha ilmiah dalam menerapkan ilmu
mantiq dalam syiir Arab. Dalam bukunya, ia menyebutkan
macam-macam badi’ yang terbagi menjadi 20 macam.

1. Al-Tasybih

2. Shihhatu al-taqsim

3. Shihhatu al-Muqabalah

4. Shihhatu al-Tafsir

5. Al-Tatmim

6. Al-Mubalaghah
7. Al-takâfu`

8. Al-Iltifat

9. Al-Musawat

10. Al-Isyarah

11. Al-Irdaf

12. Al-Tamtsil

13. Al-Muthabiq

14. Al-Mujanis

15. Al-tarshi’

16. I`tilaf al-Qafiyah

17. Al-Tausyih

18. Al-Iqhal

19. Al-Isti’arah

20. Al-Tashri’[13]

Sekalipun Qaddamah bin Jakfar membagi badi’ dalam 20 macam,


tetapi makna badi’ tidak berbeda dengan definisi yang
dikemukakan oleh para ulama pada abad ke-2 dan ke-3. Artinya,
badi’ merupakan sinonim balaghah. Begitu juga dengan Abu Hilal
Askari yang masih menjaga makana badi sebagai sinonim dari
balaghah. Meskipun demikian, ia membagi bbadi’ menjadi 36
macam yang dijelaskan dalam bukunya yang berjudul “al-
Shinâ’atain”.

Albadi’ Abad 5 H.

Abdul Qahir Al-Jurjani (w. 471 H.)

Al-Badi’ dalam pandangan abdul Qahir al-Jurjani masih sejalan


dengan pendapat para ulama sebelumnya. Dalam ilmu balaghah,
ia bukan orang baru, hal ini bisa kita ketahui dengan 2 buku
karyanya yang nomumental sampai sekarang ini, yaitu Dalail al-
I’jaz dan Asrar al-balaghah.

Abdul Qahir menjadikan isti’arah bagian dari badi’. Adapun badi’


yang dimaksud oleh Abdul Qahir dalam Asrar Al-Balaghah
sebagai berikut;

1. Al-tajnis

2. Al-Saja’

3. Al-I’tiradh

4. Al-tathbiq

5. Al-Isti’arah[14]

6. Husnu al-Ta’lil

7. Al-tajrid

8. Al-Muzawajah

9. Al-Taqsim[15]

Pembahasan badi oleh abdul Qahir dibahas di bukunya Asrar al-


Balaghah, sedangkan dalam dalail al-I’jaz lebih banyak
membahas ilmu maani, seperti yang kita ketahui sekarang[16].

Albadi’ pandangan ulama Mutaakhirin

Assakaki (w. 626 H.)

Adalah salah satu ulama di abad ke-7 H dengan karyanya yang


nomumental di bidang ilmu bahasa dan balaghah yang bernama
“miftahul ulum”. Buku ini terbagi menjadi tiga disiplin ilmu
berbeda; pertama, ilmu sharaf, bagian kedua ilmu nahwu, ketiga
ilmu balaghah[17].

Dari sinilah awal mula pembagian ilmu balaghah menjadi tiga


bagian , seperti yang kita ketahui sekarang, Ma’âni, bayân dan
keindahan kata yang sekarang kita ketahui dengan sebutan
badi’.
Tiga macam bagian ilmu balaghah ini berkembang diantara
ulama mutaakhirin, setelah assakaki dan sampai masa sekarang.
Pengembangan 3 disiplin ilmu ini, juga dilakukan oleh badr addin
bin Malik di bukunya “Al-Misbah” dan menyebutkan pembagian
ilmu balaghah menjadi alma’âni, albayân dan albadi’. Begitu juga
dengan alkhotib alqozwini.[18]

Dalam diskursus balaghah, assakaki dikenal sebagai pendiri


“madrasah assakaki”, dan para ulama setelahnya mengikuti
metode yang dipakai oleh assakaki di sebut “althariqah
altaqririyah”. Metode ini lebih cenderung pada metode filosofis,
mempunyai banyak macamnya dan setiap macam disertai
contoh-contoh, terkadang terkesan dipaksakan ada contoh,
beberapa kaidah baru dan berlebihan dalam pemakaian istilah
mantiq dan falsafat yang begitu berkembang disetiap karya-
karya ulama mutaakhhirin dan ini tidak baik dalam meningkatkan
perkembangan taste dan malakah bayâniyah.

Ilmu balaghah menjadi pembahasan inti dalam buku miftah al-


Ulum ini. Yaitu dengan menjadikan badi’ sebagai istilah sepadan
dengan ma’âni dan bayân. Tidak salah ketika assakaki
mendefinisikan al-Balaghah sebagai kepiwaian pembicara dalam
melahirkan ungkapan sampai pada tahapan khusus dengan
menampilkan tasybih, majaz dan kinayahnya[19]. Kemudian ia
membagi fashahah dalam dua hal. Pertama kembali pada pada
makna, tidak ada unsure ta’kid [20], dan kedua kembali pada
kata. Dengan catatan, yang dimaksud dengan kalimat fashih jika
kalimat tersebut asli bahasa arab[21].

Dengan demikian, ilmu badi menjadi bagian dari balaghah di


masa ini, sedangkan dahulunya merupakan sinonim daripada
balaghah. Artinya, badi’ sendiri mengalami penyempitan dan
keterbatasan makna. Abdul Qahir Al-Jurjani memposisikan badi’
sebagai cabang ilmu seperti balaghah pada posisi yang agung
jika terpenuhi kelengkapan bagian dari pada an-nadzm, kuat
hubungan antar permulaan dengan akhirnya, dan alami tidak
dipaksakan.

Al-badi’ menurut Assakaki

Ulama assakaki membagi badi’ menjadi dua macam. Bagian


pertama kembali kepada kata dan keduanya kembali kepada
makna[22]. Semua macam badi’ yang disebutkan oleh Assakaki
dalam bukunya, sudah disinggung dan mejadi bahasa para ulama
sebelumnya dalam karya dan kitab-kitabnya, kecuali 2 dari 25
macam. Yaitu Tajâhu Al-‘Ârif dan Sûq Al-Ma’lûm Masâqu ghairu.
Yang dimaksud dengan 25 macam di atas adalah 20 macam
kembali pada keindahan makna dan 5 macam kembali pada
keindahan kata.

Adapun 20 macam pertama yang kembali pada keindahan makna


adalah;

1. Al-Muthâbaqah

2. Al-Muqâbalah

3. Al-Musyârakah

4. Al-Muzâwajah

5. Murâ’atu an-Nadzar

6. Al-Laffu wa al-Nasyr

7. Al-Jam’u

8. Al-Tafrîq

9. Al-Jam’u ma’a al-tafrîq

10. Al-Taqsîm

11. Al-jam’u ma’a al-taqsîm

12. Al-Jam’u ma’a al-Tafrîq wa al-Taqsim

13. Al-Îhâm (al-tauriyah)

14. Ta’kid al-Madhu bima Yusybihu al-dzam

15. Al-Taujîh

16. Sûq Al-Ma’lûm Masâqu ghairu

17. Al-Istittbâ’
18. Al-I’tirâdl

19. Al-Iltifât

20. Taqlil al-Alfadz wala taqliluhu[23]

Assakaki membahas 20 macam baadi di atas secara ringkas


dengan menyebutkan definisi disertai satu atau dua contoh
sebagai penjelas, tanpa ada analisa keindahan bahasa terhadap
setiap contoh yang dipilih pada tiap pembahasannya.

Sedangkan 5 macam badi yang kembali pada kata sebagai


berikut;

1. Al-Tajnîs

2. Raddu al-‘ajzi ‘ala al-Shadr

3. Al-Qalbu

4. Al-Asjâ’ wa al-Fawâsil al-Qur’âniyah

5. Al-Tarshî’[24]

Dalam pemabahasan ini, ia menjelaskan tiap macamnya dan


menyebutkan pembagian tiap macam jika ada disertai dengan
beberapa contoh dari syiir arab sebagai penjelasan tambahan.

Pembagian macam badi’ menjadi 25 macam bukan sesuatu yang


berlebihan. Abu Hilâl al-‘Askarî membagi badi menjadi 30
macam, Ibnu Rasyîq membaginya menjadi 35 macam, Ibnu Abu
al-Isba’ dalam buku Tahriru al-Tahbîr menjadi 90 macam, bahkan
Shofiyu Al-din (w. 750 H.) sampai pada 140 macam badi’.

Dari pembagian badi’ yang disebutkan Assakaki, badi’ mengalami


penyempitan makna dan keterbatasan pembahasan. Macam dan
bentuk pembagiannya juga berbeda dengan ulama balaghah
lainnya. Badi sendiri, menurut assakaki dalam bukunya,
terkadang masuk dalam ma’âni dan terkadang ke bayân. Seperti
al-Tasybîh, al-Tatmîm, al-Isyârah dan al-tamstsîl dan sejenisnya,
terkadang masuk pembahasan ma’âni dan terkadang masuk
dalam bayân.
Dalm pembahasan badi’ semakin jelas bagaimana Assakaki
memposisikan badi yang tidak sesuai pada porsinya dalam
pandangan Abdul Qahir Al-Jurjani[25].

Albadi’ Menurut khotib Al-Qozwini (w. 739 H.)

Badi’ menurutnya tidak jauh berbeda dengan pendapat Sakaki, ia


tetap menempatkan badi’ bagian dari pada baalaghah bukan
sinonimnya. Oleh karena itu, ulama mutaakhirin, mulai masa
Sakaki sampai pada masa khotib, mempunyai kesamaan dalam
persepsi definisi ilmu badi’ sebagai alat untuk menghiasai dan
memperindah kalimat dalam bahasa Arab.

Pengaruh pemikiran Sakaki pada pembagian ilmu balaghah


menjadi tiga bagian berlanjut pada masa Khotib di abad ke 8 H.
Tetapi, Khotib lebih sistmatis dalam pembahasan dan
penyuguhannya daripada Sakaki. Dengan penjelasan yang tidak
panjang, meletakkan beberapa kaidah yang dianggap perlu dan
relevan untuk dipakai.

Kekagumannya terhadap karya Sakaki dalam bukunya Miftahu Al-


Ulum memberikan inspirasi padanya untuk meringkas bagian
ketiga dalam kitab miftah yang diberi nama Talkhîs al-Miftâh.
Adalah ringkasan dari bagian ketiga dalam buku al-Miftah yang
konsentrasi di ilmu balaghah.

Sesuai dengan namanya, Talkhîs al-Miftah, buku ini lebih


sistematis dan mengumpulkan masalah yang terkait dengan ilmu
balaghah. Yang masih tertinggal di sini adalah metode
penyusunannya yang mengikuti madhab Sakaki, yaitu taqririyah.
Adalah dengan membuat kaidah-kaidah dan meletakkan batas-
batasan untuk diperhatikan sebagai penguat daripada kaidah di
atas. Nuansa pemikiran filsafat juga tidak sepi dalam setiap
kalimatnya.

Buku Talkhîs al-Miftâh, terdiri pembukaan (mukaddimah), 3


pembahasan ilmu balaghah dan penutup. Dalam pembukaan,
pembahasannya meliputi penjelasa al-Fashahah dan al-
Balaghah.Tentang ilmu badi’, sedangkan 3 pembahasan ilmu
balaghah meliputi;

Pertama; ilmu maâni


Kedua ; ilmu bayaân

Ketiga ; ilmu badi’

Dan ditutup dengan al-Sariqât al-Syi’riyah.

Buku al-Idhâh karya Khotib al-Qazwini

Setelah menulis buku ini, Khatib mendapatkan kejanggalan


dalam karnyanya. Perlu adanya penjelasan dari buku Talkhis
untuk memudahkan pemahaman para pembacanya. Oleh karena
itu, ia menulis al-Idhâh sebagai penjelas dari talkhis. Dengan
demikian, bahwa al-Idhâh adalah syarh dari talkhis yang tidak
hanya memuat ilmu balaghah dari sakaki, juga mengambil
pendapat Abdul Qahir Jurjani yang dipandang perlu untuk
ditambahkan sebagai pelengkap.

Sistematika penyusunan buku ini tidak berbeda dengan buku


Talkhis, yang meliputi pembukaan, pembahasan 3 pembagian
balaghah dan penutup. Ini berarti bahwa pembahasan ilmu
badi’[26] setelah 2 ilmu lainnya, ilmu maâni dan bayân.

Seperti dengan Sakaki dalam pembagian badi’, Khotib juga


melakukan hal yang sama, ia membagi ilmu badi’ menjadi 2
macam. Pertama kembali pada keindahan makna dan kedua
pada kata.

Adapun yang kembali pada keindahan makna sebagai berikut;

1. Al-Muthâbaqah

2. Murâ’atu an-Nadzir

3. Al-Irshâd atau al-Tashîm

4. Al-Musyâkalah

5. Al-Istithrâd

6. Al-Muzâwajah

7. Al-‘Aksu wa al-Ta’dîl
8. Al-Rujû’

9. Al-Tauriyah atau al-Îhâm

10. Al-Istikhdâm

11. Al-Laffu wa al-Nasyru

12. Al-Jam’u

13. Al-Tafrîq

14. Al-Taqsîm

15. Al-Jam’u ma’a al-Tafrîq

16. Al-Jam’u ma’a al-taqsîm

17. Al-Jam’u ma’a al-tafrîq wa al-Taqsîm

18. Al-tajrîd

19. Al-Mubalaghah al-Maqbûlah

20. Al-Madzhab al-kalâmi

21. Husnu al-ta’lil

22. Al-tafrî’

23. Ta’kid al-Madh bima yushbihu al-dzam

24. Ta’kid al-dzam bima syushbihu al-madh

25. Al-Istitbâ’

26. Al-Idmâj

27. Al-Taujih

28. Al-Hazl

29. Tajahul al-arif


30. Al-qaul bil mujab

31. Al-Ithrad[27]

Sedangkan keindahan bahasa yang kembali pada kata (lafdzi)


sebagai berikut;

1. Al-Jinas

2. Raddu al-‘Ajzi ‘ala al-Shadr

3. Al-Saja’

4. Al-Muwazanah

5. Al-Qalbu

6. Al-Tasyri’

7. Luzûmu ma yulzam[28]

Setelah memaparkan panjang lebar pembagian dan definisi serta


contoh-contoh dari ilmu badi’, ia mengatakan bahwa kata (lafadz)
itu mengikuti makna[29].

Dalam mensikapi husnu al-Ibtida[30]`, Khotib tidak


memasukkannya dalam ilmu badi’ begitu juga dengan husnu al-
takhallush, husnu al-intihâ`, dan barâ’atu al-muqaththa’[31].

Dalam ilmu balaghah, Khotib lebih banyak terpengaruh dengan


karya para ulama sebelumnya seperti; al-badi’ karya ibnu Mu’taz,
al-Shina’atain karya Abu hilal al-Askari, Naqd al-Syi’ir karya
Qudamah, al-‘umdah karya Ibn rasyiq, Asrar al-balaghah dan
Dalail al-I’jaz karya Abdul Qahir al-Jurjani, Miftah al-ulum karya
Sakaki, Al-badi’ karya Abu al-Isba’ dan al-Matsalu al-sair karya
Ibnu al-Atsîr.

Penutup

Demikianlah historisitas dan perkembangan badi’ yang awalnya


sebagai seni keindahan dan estetika bahasa dalam bahasa Arab,
menempati posisi sejajar dengan balaghah. Perkembangan dan
perjalanan masa yang silih berganti seiring dengan lahirnya para
ulama setiap masanya menjadikan al-badi bagian dari pada ilmu
balaghah setelah mengalami penyempitan makna dan
pembahasannya.

Maka ada dua fase penting yang telah dilewati ;

Pertama, al-Badi sebagai sinonim daripada balaghah yang berupa


istilah dan bersifat umum, seperti yang ada pada masa al-Asma’I,
al-Jahizh, Ibn Mu’taz, Qadamah, Abu Hilal al-Askari, Ibn Rasyif dan
Abdul Qahir Al-Jurjani. Pada fase ini, badi’ mendapatkan posisi
mulia dalam standarisasi estetika bahasa Arab (nazham).

Sedangkan pada masa Sakaki dan Khotib serta para ulama yang
dating setelah mereka berdua, badi’ masuk pada bagian daripada
balaghah. Artinya, badi’ pada masa ini mengalami degradasi
makna dan ruang lingkup yang semakin sempit, yang awalnya
standard an barometer utama dalam penentuan estetika bahasa,
selanjutnya menjadi pelengkap atau sekender[32] dari pada
primer[33]. Karena posisinya setelah kesesuaian kondisi dengan
keadaannya[34]. Dan ini adalah fase kedua dari perkembangan
ilmu balaghah.

Sedangkan dalam diskursus balaghah yang dilakukan oleh para


ulama yang dating setelah abad ke-8 tidak memberikan sesuatu
baru dalam perkembangan balaghah. Mereka lebih menekankan
pada syarh (penjelasan) dari karya para ulama sebelumnya,
seperti yang dilakukan oleh Sa’ad al-Din al-Tiftazani dalam
bukunya al-Muthawwal. Allhu A’lam

Daftar Pustaka

1. Ibnu Qutaibah, Al-Syi’ru wa al-Syu’ara

2. Al-Jahihz, al-Bayân wa al-Tabyîn.

3. Al-Asma’I,fuhûl al-Syu’arâ.

4. Al-Marzabani, Almuwassyakh, Dar kutub Ilmiah, Beirut.

5. Abu al-Faraj al-Ashfahani, Al-Aghani , penerbit Bulaq 1305 M.


6. Ibrahim Abdul Hamid Al-Sayyid Altilb, Albadi baina
almutaqaddimin wa almuaakhirin, cet. I, Al-Azhar litturats,
2008.

7. Qadamah bin Jakfar, Naqd as-Syi’ir

8. Abdul Qahir al-Jurjani, Asrar al-Balaghah

9. Abu Ya’kub Yusuf bin Muhammad bin Ali Assakaki, Miftah Al-
Ulum, Dar Kutub Ilmiyah, Beirut Lebanon. Cet. 1 tahun
2008.

10. Ibnu Sinan Al-Khoffaji , Sirru Al-Fashahah.

11. Dr. Syauqi Dhoif , Albalaghoh Tathawwur wa Tarikh

12. Ahmad Mustafa Almaraghi, Tarikh Ulum Al-balaghah

[1]Makalah ini ditulis oleh Talqis Nurdianto, Mahasiswa Pasca Sarjana, Fakultas Bahasa
Arab, Jurusan Balaghah dan Kritik, Al-Azhar University, disampaikan pada kajian
regular Ilmu Balaghah di Sekretariat Senat Bahasa Arab tanggal 6 Agustus 2009.

[2]Sakaki adalah penulis buku Miftah al-Ulum termasuk hazanah islam dalam bidang
ilmu balaghah dan menjadi rujukan para ulama yang dating setelahnya.

[3]Masa jahiliyah adalah masa sebelum kedatangan risalah islamiyah yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW., sekitar 150-200 tahun sebelumnya. Disebut jahiliyah (yang
berarti bodoh) bukan karena kebodohan masyarakat pada waktu itu dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, melainkan kejahiliyahan mereka dalam menyembah
berhala, yang tidak bisa bergerak, tidak mampu memberi dan menerima serta
mengabulkan permintaan mereka.

[4] Masa Islamiyah atau disebut sebagai awal kedatangan islam adalah masa yang
terhitung sejak diutusnya Muhammad sebagai utusan Allah, menyampaikan risalah
ilahiyah di bumi, sampai berakhirnya masa khulafaur arrasyidin (para pemimpin yang
cerdas), tahun 40 H., mereka adalah; Abu Bakar Assidiq, Umar bin Khatab, Utsman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib.

[5]Masa Umawiyah adalah masa kepemimpinan Khilafah Islamiyah dipegang orang-


orang keturunan Umayah bin Abi Sofyan, mulai tahun 40 H.- 132 H.)

[6] Ibnu Qutaibah, Al-Syi’ru wa al-Syu’ara


[7] Al-Jahihz, al-Bayân wa al-Tabyîn.

[8] Dalam bukunya yang berjudul fuhûl al-Syu’arâ.

[9] Lihat di kitab Almuwassyakh hal. 292 dan kitab AlAghani karya Alasfhani vol.3
hal.147

Tokoh daripada ulama Muktazilah pada abad ke-2 H. dengan karyanya yang ada
[10]
sampai sekarang berjudul al-Bayan wa al-Tabyin, al-Hayawan dan sebagainya.

[11]Ibrahim Abdul Hamid Al-Sayyid Altilb, Albadi baina almutaqaddimin dan


almuaakhirin, cet. I, Al-Azhar litturats, 2008.

[12] Aljahidz, Bayan wa Tabyin vol.1 hal. 51

[13] Qadamah bin Jakfar, Naqd as-Syi’ir

[14]Dalam bab isti’arah ini, Abdul Qahir membagi dalam dua bentuk yaitu tashrihiyyah
dan makniyyah.

[15] Abdul Qahir al-Jurjani, Asrar al-Balaghah

[16]Pendapat abdul Qahir juga seperti ulama sebelumnya semisal Ibn Rasyiq Al-Qirwani
(w. 456 H.) dalam bukunya al-‘Umdah yang membagi al-badi’ mencapai 30 macam dan
Ibn Sinan Al-Khaffaji (w. 466 H.) membagi al-badi’ dalam bukunya Sirru al-fashahah
menjadi 35 macam.

[17]Abu Ya’kub Yusuf bin Muhammad bin Ali Assakaki, Miftah Al Ulum, Dar Kutub
Ilmiyah, Beirut Lebanon. Cet. 1 tahun 2008.

[18]Ibrahim Abdul Hamid Al-Sayyid Altilb, Albadi baina almutaqaddimin dan


almuaakhirin, hal. 146. cet. I, Alazhar litturats, 2008.

[19] Dalam bukunya Miftâh al-‘Ulûm, Sakaki mendefinisikan balaghah sebagai berikut;

‫البلغة هي بلوغ المتكلم في تأدية المعاني حدا له اختصاص بتوفية خواص التراكيب حقها وايراد أنواع التشبيه‬
‫والمجاز والكناية على وجهها‬

[20]Ta’kid adalah kerancauan makna yang ditimbulkan dari susunan redaksi kalimat yang
tidak beraturan, hal bisa terjadi karena terjadi fasl antar kata dengan urutan yang sulit
dipahami oleh mukhotob atau pendengar.

[21] Op. Cit.

[22] Ibnu Sinan Al-Khoffaji dalam bukunya “Sirr Al-Fashahah” lebih awal berbicara
tentang pembagian yang kembali pada kata dan makna.
[23] Lihat buku Miftahu al-Ulum karya Assakaki

[24] Ibid

[25] Abdul Qahir al-Jurjani memposisikan badi’ pada martabat yang tinggi dalam
posisinya sejajar dengan nadzm . Sedangkan Assakaki sebatas pemoles keindahan makna
dan kata dalam kalimat Arab saja. Terlihat ketika membahas al-Tajnis, keduanya berbeda
pandangan dan sitematika penjabarannya. Yang pertama membahasa dan panjang lebar
menerangkan rahasia kalimat dalam bentuk tajnis ini, dengan menyebutkan rahasia dan
keindahan maknanya. Sedangkan ulama yang kedua, sebatas menerangkan arti dari istilah
tajnis, menyebutkan pembagiannya dan contoh setiap bagian tanpa menyebutkan rahasia
dan keindahan bahasanya.

[26] Khotib mendefinisikan ilmu badi’ dalam bukunya al-Idhâh sebagai berikut;

‫هو علم يعرف به وجوه تحسين الكلم بعد رعاية المطابقة لمقتضى الحال ووضوح الدللة‬

[27] Lihat di bukunya al-Idhâh

[28] Ibid

[29] Ibid

[30]Sedangkan Ibnu Mu’taz menjadikan husnu al-ibtida` bagian daripada ilmu badi’,
begitu juga dengan husnu al-takhallush (husnu al-khurûj), juga Tsa’lab dalam bukunya
Qawâ’id al-Syi’ir, dan ibn Sinan dalam Sirru al-fashahah dengan nama Shihhatu al-nasq
wa an-nadzm. Pendapat Khotib ini sesuai dengan pendapat Abu Hilal al-Askari.

Ibrahim Abdul Hamid Al-Sayyid Altilb, Albadi baina almutaqaddimin dan


[31]
almuaakhirin, cet. I, Al-Azhar litturats, 2008

[32] Menjadi tabi’(pengikut)

[33] Menjadi al-matbu’ (yang diikuti)

‫القياس في اللغة‬makalah KIBA

‫في نظر البصريين والكوفيين وابن مضاء القرطبي‬

:‫التمهيد‬

‫ فبها يتمّيز النسان علي‬, ‫ن ال بها علي بني البشر‬


ّ ‫مما ل شك فيه أن اللغة من أعظم النعم التي م‬
‫صصها للناس زادا لهم عند استخلفهم في‬ ّ ‫ خلق ال اللغة و خ‬.‫سائر ما سواه من المخلوقات‬
.‫ و بها يفكرون وينشؤون حضاراتهم و ثقافتهم و يحللون مشاكلهم‬, ‫الرض‬
‫أركان علوم اللسن العربي أربعة‪ :‬وهي اللغة و النحو و البيان و الدب‪ ,‬و الذي يتحصل أن الهم‬
‫المقدم منها النحو‪ ,‬اذ به يتبين أصول المقاصد بالدللة فيعرف الفاعل من المفعول والمبتدأ من‬
‫الخبر‪ ,‬ولوله لجهل أصل الفادة‪[1].‬‬

‫وفي هذا البحث المتواضع‪ ,‬اراد الباحث ان يعرض بعض الراء في القياس‪ ,‬للستيلء علي أراءهم‬
‫حتي يظهر لنا وجهة نظر كل واحد منهم‪.‬‬

‫القياس في اللغة و الصطلح‬

‫القياس في اللغة‬

‫هو التقدير‪ ,‬جاء في لسان العرب‪ :‬قاس الشيء يقيسه قيسا و قياسا‪ ,‬واقتاسه‪ ,‬وقيسه اذا قدره علي‬
‫مثاله‪ .‬و في القاموس المحيط ‪ :‬قاسه بغيره و عليه يقيسه قيسا وقياساواقتاسه قدره علي مثاله‬
‫فانقاس‪ ,‬و المقدار مقياس‪ ,‬وقيس رمح بالكسر وقاسه قدره‪ .‬وفي المعجم الوسيط ‪ :‬القياس – )في‬
‫اللغة( ‪ :‬رد الشيء الي نظيره‪.‬‬

‫وهو ايضا التسوية بين شيئين‪ ,‬لن تقدير الشيء بما يماثله تسوية بينهما‪ ,‬يقال فلن يقاس بفلن‬
‫أي يساويه وفلن ل يقاس بفلن أي ل يساويه‪.‬‬

‫القياس في الصطلح ‪:‬‬

‫في اصطلح الصوليين‪ :‬اختلف الصوليون في تعريف القياس تبعا لختلف وجهات نظرهم في‬
‫اعتبار القياس‪ ,‬فمنهم من يعده عمل من أعمال المجتحد‪ ,‬لنه هو اللذي يجريه و منهم من يعده من‬
‫عمل ال تعالي‪ ,‬فهو دليل كالقران الكريم ول دخل للمجتحد فيه‪ ,‬فهو موجود سواء أوجد المجتحد أم‬
‫لم يوجد‪.‬‬

‫و ايا ما كان المر فقد عرفه البعض ‪ :‬مساواة فرع لصل في علة حكمه‪ ,‬وهذا التعريف قاله المدي‬
‫وابن الحاجب‪ ,‬كما ذكره ابن عبد الشكور في مسلم الثبوت]‪ . [2‬وعرفه الفخر الرازي والقاضي‬
‫البيضاوي بأنه اثبات مثل حكم معلوم في معلوم آخر لشتراكهما في علة الحكم عند المثبت‪.‬‬

‫في الصطلح النحوي ‪ :‬عرفه النبري بتعريفات مختلفة فهو‪ :‬تقدير الفرع بحكم الصل‪ ,‬و حمل‬
‫فرع علي أصل بعلته‪ ,‬واجراء الصل علي الفرع‪ ,‬والحاق الفرع بالصل بجامع‪ ,‬واعتبار الشيء‬
‫بالشيء بجامع‪.‬‬

‫و عرف –كذالك‪ -‬في جدله]‪ [3‬هو حمل غير المنقول علي المنقول اذا كان في معناه‪ ,‬كرفع الفاعل‬
‫ونصب المفعول في كل مكان وان لم يكن كل ذالك مقول عنهم‪ ,‬وانما لما كان غير المنقول عنهم من‬
‫ذالك في معني المنقول كان محمول عليه‪ ,‬وكذالك كل مقيس في صناعة العراب‪.‬‬

‫وهذا التعريف قد اختاره السيوطي ونقله عن النبري في كتابه القتراح‪.‬‬


‫أركان القياس‬

‫للقياس أربعة أركان ‪ :‬أصل وهو المقيس عليه‪ ,‬و فرع وهو المقيس وحكم وعلة جامعة‪.‬‬

‫و هذه الركان الربعة بنفسها هي أركان القياس الفقهي عند الصوليين مما يؤكد علي أن النحاة‬
‫حملو أصولهم علي أصول الفقهي‪.‬‬

‫وقد وضع النبري مثال لذالك و نقله السيوطي في القتراح فيقول‪ :‬وذالك مثل أن تركب قياسا في‬
‫الللة علي رفع ما لم يسمي فاعله فتقول ‪ :‬اسم أسند الفعل اليه مقدما عليه‪ ,‬فوجب أن يكون‬
‫مرفوعا قياسا علي الصل‪.‬‬

‫فالصل هو الفاعل‪.‬‬

‫والفرع هو ما لم يسمي فاعله‪.‬‬

‫والحكم هو الرفع‪.‬‬

‫والعلة الجامعة هي السناد‪.‬‬

‫و الصل في الرفع أن يكون للصل الذي هو الفاعل‪ ,‬وانما أجري علي الفرع الذي هو ما لم يسمي‬
‫فاعله بالعلة الجامعة التي هي السناد]‪[4‬‬

‫والذي نلحظه علي هذا المثال أن العرب نطقو نائب الفاعل مرفوعا‪ ,‬فهذا هو الصل في نطقهم‬
‫واستعمالهم‪ ,‬ولم ينطق به منصوبا أو مجرورا‪ ,‬فليس ما لم يسم فاعله –اذن‪ -‬فرعا عن الفاعل لن‬
‫كليهما مرفوع بحسب استعمال العرب‪ ,‬وبذا يمكننا أن نقول ‪ :‬اننا لم نفد هذا الحكم اي الرفع‪ ,‬من‬
‫هذا القياس‪ ,‬وانما الذي أفادنا ذالك هو الستعمال العربي الفصيح‪[5].‬‬

‫واذن‪-‬وكما يري الدكتور حمودة‪ -‬فإن الحكام النحوية انما ثبتت أول عن طريق النقل عن العرب‬
‫ولم تثبت لنا عن طريق هذا القياس‪ ,‬ولذا فان هذا القياس ليس ال تحصيل حاصل في اثبات الحكم‪,‬‬
‫ولكن النحاة يذكرونه للتنبيه علي علة الحكم ل لثبات الحكم نفسه‪.‬‬

‫التساع فى الرواية والقياس في الكوفة‬

‫لعل أهم ما يميز المدرسة الكوفية من المدرسة البصرية اتساعها فى رواية الشعار وعبارات اللغة‬
‫عن جميع العرب بدويهم وحضريهم ‪ ،‬بينما كانت المدرسة البصرية تتشدد تشددا جعل أئمتها ل‬
‫يثبتون فى كتبهم النحوية إل ما سمعوه من العرب الفصحاء الذين سلمت فصاحتهم من شوائب‬
‫التحضر وآفاته ‪ ،‬وهم سكان بوادى نجد والحجاز وتهامة من )) قياس وتميم وأسد فإن هؤلء هم‬
‫الذين عنهم أكثر ما أخذ ومعظمه وعليهم اتكل فى الغريب وفى العراب والتصريف ‪ ،‬ثم هذيل‬
‫وبعض كنانة وبعض الطائيين ‪ ،‬ولم يؤخذ عن غيرهم من سائر قبائلهم ‪ .‬وبالجملة فإنه لم يؤخذ‬
‫عن حضري فقط ول عن سكان البرارى ممن كان يسكن أطراف بلدهم المجاورة لسائر المم الذين‬
‫حولهم ((‪[6].‬‬

‫وليس معنى ذلك أن أئمة الكوفة لم يكونوا يرحلون إلى هذه القبائل الفصيحة ‪ ،‬فقد كانوا يكثرون‬
‫من الرحلة إليها ‪ ،‬على نحو ما يحدثنا الرواة عن الكسائي ‪ ،‬فقد قالوا إنه خرج إلى نجد وتهامة‬
‫والحجاز ))ورجع وقد أنفذ خمس عشرة قنينة حبر فى الكتابة عن العرب سوى ما حفظ (( ‪ .‬ولكن‬
‫معناه أن الكوفيين وفى مقدمتهم إمامهم الكسائي كانوا ل يكتفون بما يأخذون عن فصحاء‬
‫العراب ‪ ،‬إذ كانوا يأخذون عمن سكن من العرب فى حواضر العراق ‪ ،‬وكثير منهم كان البصريون‬
‫ل يأخذون عنهم ول عن قبائلهم المقيمة فى مواطنها الصلية مثل تغلب وبكر لمخالطتهما الفرس‬
‫ومثل عبد القيس النازلة فى البحرين لمخالطتها الفرس والهند ‪.‬‬

‫وقد حمل البصريون على الكوفيين حملت شعواء حين وجدوهم يتسعون فى الرواية على هذه‬
‫الشاكلة ‪ ،‬وخصوا الكسائي بكثير من هذه الحملت ‪ ،‬قائلين )) إنه كان يسمع الشاذ الذى ل يجوز ‪،‬‬
‫من الخطاء واللحن وشعر غير أهل الفصاحة والضرورات ‪ ،‬فيجعل ذلك أصل ‪ ،‬ويقيس عليه حتى‬
‫أفسد النحو (( وقالوا إنه لقي عشيرة من بنى عبد القيس تسمى الحطمة كانت نازلة ببغداد ‪ ،‬فأخذ‬
‫عنها كثيرا من الخطأ واللحن ‪ ،‬مما اتضح أثره فى مناظرته المشهورة لسبويه ‪ ،‬فإن سيبويه تمسك‬
‫فيها بما سمعه عن العرب الفصحاء فى مثل ‪ )) :‬قد كنت أظن أن العقرب أشد لسعة من الزنبور فإذا‬
‫هو هي (( حتى إذا قال الكسائي إنه يجوز )) فإذا هو إياها (( أنكر ذلك إنكارا شديدا ‪ .‬وسرعان ما‬
‫استعان عليه الكسائي بأعراب عشيرة الحطمة ‪ ،‬فأيدوه ‪ ،‬وتأييدهم ل قيمة له فى رأى سيبويه‬
‫ومدرسته ‪ ،‬لنهم ليسوا من الفصحاء المتبدين فى قيعان نجد وتهامة والحجاز ‪ ،‬ممن يؤخذ عن‬
‫لسانهم النحو واللغة ‪.‬‬

‫وكان ذلك بدءا لخلف واسع بين المدرستين ‪ ،‬فالبصرة تتشدد فى فصاحة العربي الذي تأخذ عنه‬
‫اللغة والشعر‪ ،‬والكوفة تتساهل ‪ ،‬فتأخذ عن العراب الذين قطنوا حواضر العراق ‪ ،‬مما جعل بعض‬
‫البصريين بفخر على الكوفيين بقوله ‪ )) :‬نحن نأخذ اللغة عن حرشة ) أكلة ( الضباب وأكلة‬
‫اليرابيع ) أي البدو الخلص ( وأنتم تأخذونها عن أكله الشواريز وباعة الكواميخ ) أي عرب‬
‫المدن ( ((‪.‬‬

‫ولم تقف المسألة عند حد التساع فى الرواية ‪ ،‬بل امتدت إلى التساع فى القياس وضبط القواعد‬
‫النحوية ‪ ،‬ذلك أن البصريين اشترطوا فى الشواهد المستمد منها القياس أن تكون جارية على ألسنة‬
‫العرب الفصحاء وأن تكون كثيرة بحيث تمثل اللهجة الفصحى وبحيث يمكن أن تستنتج منها‬
‫القاعدة المطردة ‪ .‬وبذلك أحكموا قواعد النحو وضبطوها ضبطا دقيقا ‪ ،‬بحيث أصبحت علما واضحا‬
‫المعالم بّين الحدود والفصول ‪ .‬وجعلهم ذلك يرفضون ما شذ على قواعدهم ومقاييسهم لسبب‬
‫طبيعي ‪ ،‬وهو ما ينبغي للقواعد فى العلوم من اطرادها وبسط سلطانها على الجزئيات المختلفة‬
‫المندرجة فيها ‪ .‬ولم يقفوا عند حد الرفض أحيانا ‪ ،‬إذ وصفوا بعض ما شذ على قواعدهم مما جرى‬
‫على ألسنة بعض العرب بأنه غلط ولحن ‪ ،‬وهم ل يقصدون اتهامهم بذلك حسب المدلول الظاهر‬
‫للكلمتين ‪ ،‬إنما يقصدون أنه شاذ على القياس الموضوع وخارج عليه فل يلتفت إليه ‪ .‬وتوقف كثير‬
‫من المعاصرين الذين يخوضون فى المباحث النحوية عند هذين اللفظين وحاولوا الرد على‬
‫البصريين غير متنبهين لمدلول الكلمتين عندهم ومقصدهم منهما ]‪.[7‬‬
‫رأى ابن مضاء فى فكرة القياس‬

‫ليس ابن مضاء طويل النفس فى رأيه عن القياس ‪ ،‬فليس فى رأيه عنه تقليب الفكرة ومواجهة‬
‫احتمالتها كما فعل فى آرائه الخرى عن العامل أو التأويل مثل ‪ ،‬فقد ذكر رأيه فى القياس عرضا‬
‫اثناء حديثه عن التعليل ‪ ،‬كما أن له جزئيات عنه متناثرة بين دفتي كتابه ) الرد على النحاة ( فإذا‬
‫أضيف هذا لذلك ‪ ،‬اتضحت فكرة تقريبية عن رأيه فى ذلك الموضوع ‪[8].‬‬

‫القياس النحوي هو الحكام النحوية التى تصدق على النصوص اللغوية الواردة بطريقة واحدة‬
‫أخذت منها القاعدة ‪ ،‬ثم تعمم تلك القاعدة على النصوص التى لم ترد‪.‬‬

‫وهناك نوع أخر من القياس يتردد أيضا فى كتب النحو‪ ،‬وهو قياس أحكام على أحكام لنوع من‬
‫المشابهة ‪ ،‬فهذا الحكم كذا لنه مشابه أو قياس على كذا‪ ،‬وهذا القياس يطلق عليه ) القياس العقلي‬
‫( لن للعقل فيه دورا فى عقد المشابهة وإقامة الصلة بين الحكام‪.‬‬

‫وهذا بيان موقف ابن مضاء من فكرة القياس بمعنييها السابقين ‪[9].‬‬

‫أما النوع الول فلم يتعرض له ابن مضاء نصا ‪ ،‬لكن يعرف رأيه مع ما ورد فى كتابه من جزئيات‬
‫عنه ‪:‬‬

‫‪ -‬وأما ) كان ( وأخواتها ‪ ،‬فإن ) كان ( منها تجرى مجرى الفعال المقتضية مفعول ‪ ،‬تقول ) كنت‬
‫وكان زيد قائما ( و ) كنت وكانه زيد قائما ( فقائما خبر كنت ‪ ،‬وقال الفرزدق ‪:‬‬

‫إنى ضمنت لمن أتانى ما جنى وأبي فكان ‪ ،‬وكنت غير غدور ‪.‬‬

‫وكذلك ) ليس ( تقول ) لست وليس زيد قائما ( و ) لست وليس زيد إياه قائما ( – والظهر أن‬
‫يوقف فيما عدا ) كان ( على السماع من العرب ‪ ،‬لن ) كان ( اتسع فيها ‪ ،‬وأضمر خبرها ‪.‬‬

‫إن فكرة ابن مضاء عن هذا النوع من القياس ترتبط ارتباطا اساسيا بفكرته عن النصوص اللغوية‪،‬‬
‫فهو يجيزه إن ورد له من النصوص ما يصححه ‪ ،‬وهو يرفض إذا لم ترد له نصوص تؤيده ‪.‬‬

‫وفى النموذج السابق توقف المر فى قياس ما عدا ) كان ( على السماع من العرب )) والظهر أن‬
‫يوقف فيما عدا ) كان ( على السماع من العرب (( وأدخل ) كان ( من بقية الفعال اتساعا ‪،‬‬
‫ولضمار خبرها ‪:‬‬

‫أما )) القياس العقلي (( فقد واجهه بصراحة ‪ ،‬مبينا أن النحاة لم يتحروا الدقة فى هذا النوع من‬
‫القياس ‪ ،‬وذلك لنهم يحملون الشياء على الشياء دون أن تكون هناك صلة كاملة بين المرين ‪،‬‬
‫هذا من ناحية ‪ ،‬ومن ناحية أخرى يدعون أنهم فى ذلك تابعون للعرب ‪ ،‬وأن العرب قد أرادت ذلك ‪.‬‬

‫وهم فى كل المرين قد جانبهم التوفيق )) والعرب أمة حكية ‪ ،‬فكيف تشبه شيئا بشيء وتحكم عليه‬
‫بحكمه ‪ ،‬وعلة حكم الصل غير موجودة فى الفرع ‪ ،‬وإذا فعل واحد من النحويين ذلك جهل ولم يقبل‬
‫قوله ‪ ،‬فلم ينسبون إلى العرب ما يجهل به بعضهم بعضا ‪ ،‬وذلك أنهم ل يقيسون الشيء ويحكمون‬
‫عليه بحكمه إل إذا كانت علة حكم الصل موجودة فى الفرع ‪ ،‬وكذلك فعلوا فى تشبيه السم بالفعل‬
‫فى العمل ‪ ،‬وتشبيههم ) إن وأخواتها ( بالفعال المتعدية فى العمل ‪.‬‬

‫فإبن مضاء يرفض هذا النوع من القياس معتمدا على أساسين ‪:‬‬

‫أحدهما ‪ :‬عقلي بلخصة أن المشابهة غير كاملة بين المقيس والمقيس عليه ‪.‬‬

‫والخر ‪ :‬لغوي ‪ ،‬وهو إنكار أن العرب أرادت ذلك ‪ ،‬أو بعبارة أخرى ‪ ،‬إنكار أن يكون هذا مما له‬
‫صلة ينطق العرب واستعمالتهم ‪.‬‬

‫ولقد التزم ابن مضاء هذا الرفض فى المثلة التى وردت لهذا القياس فى ثنايا الكتاب وهذا بعضها ‪:‬‬

‫‪ -‬فى السم الذى ل ينصرف – قال ‪ :‬فإن كان فى السم علتان أو واحدة تقوم مقام العلتين ‪ ،‬فإن كل‬
‫واحدة من العلتين تجعله فرعا منع ما منع الفعل وهو الخفض والتنوين ‪ ......‬والوجه عندهم‬
‫لسقوط التنوين من الفعل ثقله ‪ ،‬وثقله لن السم أكثر استعمال منه ‪ ،‬والشيء إذا عاوده اللسان‬
‫خف ‪ ،‬وإذا قل استعماله ثقل ‪ ،‬وهذه السماء غيرها أكثر استعمال منها ‪ ،‬فثقلت !! فمنعت ما منع‬
‫الفعل من التنوين ‪ ،‬وصار الجر تبعا له ‪.‬‬

‫وليس يحتاج من هذه إل إلى معرفة تلك العلل التى تلزم عدم النصراف ‪ ،‬وأما غير ذلك ففضل ‪،‬‬
‫هذا لو كان بينا ‪ ،‬فكيف به وهو ما هو فى الضفع !! لنه ادعاء أن العرب أرادته !! ول دليل على‬
‫ذلك إل سقوط التنوين وعدم الخفض ‪ ،‬وهذان إنما هما للفعال ‪ ،‬فلو ل شبه الفعال ‪ ،‬لما سقط منها‬
‫ما يسقط من الفعال ‪.‬‬

‫ففى القتباس الول تأييد للفكرة مع الرتباط بمنهجه فى احترام النصوص فقد عقد النحاة مشابهة‬
‫بين السماء التى ل تنصرف والفعال فى أن كل منهما يمنع الخفض والتنوين ‪ ،‬وراحوا يلتمسون‬
‫لذلك الوسائل من الثقل والخفة والمشابهة فى علل الفروع‪.‬‬

‫وابن مضاء يرفض هذا القياس معتمدا على أساسين لغويين ‪.‬‬

‫الول ‪ :‬معرفة تلك الصفات التى توجد فى السماء غير المنصرفة )) للعلل (( بصرف النظر عن‬
‫تلك المشابهة المدعاة‪.‬‬

‫الثاني ‪ :‬أن النحاة يدعون أن العرب أرادت هذا القياس ‪ ،‬والعرب لم ترد ذلك أو بعبارة قريبة ‪:‬‬
‫العرب لم تستعمل ذلك ‪ ،‬وهل أعطينا مفاتيح الغيب حتى نحكم على الرادة !!‪[10].‬‬

‫الخاتمة‬

‫ان القياس ثروة ثمينة‪ ,‬لكن الخلف يحيط حوله‪ ,‬بعض العلماء يبلغ في اخذه وبعضهم يبلغ في رده‪,‬‬
‫وما لنا ال التفحص لنستخرج منه الصواب و نبعد عن الخطاء والمبالغة‪.‬‬

‫]‪ [1‬عبد الرحمن بن خلدون‪ ,‬مقدمة‪ ,‬تحقيق حامد أحمد الطاهر‪ ,‬دار الفجر للتراث القاهرة س‪ , 2004:‬ص ‪.700‬‬
‫]‪ [2‬ابن عبد الشكور هو محب الدين بن عبد الشكور البهاري الهندي من أصل بهار بالهند توفي سنة ‪ 1119‬و من‬
‫مصنفاته‪ :‬سلم العلوم في المنطق ‪ ,‬ومسلم الثبوت‪.‬‬

‫]‪ [3‬الغراب في جدل العراب‪.‬‬

‫]‪ [4‬جلل الدين السيوطي‪ ,‬القتراح علقه الدكتور سليمان ياقوت‪,‬دار المعرفة الجامعية ‪,‬ص‪.208 :‬‬

‫]‪ [5‬عصام عيد فهمي‪ ,‬أصول النحو عند السيوطي بين النظرية و التطبيق‪ ,‬الهيئة المصرية العامة للكتاب‪-‬‬
‫‪, 2006‬ص ‪.261‬‬

‫]‪ [6‬شوقي ضيف‪ ,‬المدارس النحوية‪ ,‬دار المعارف‪ ,‬ص ‪159‬‬

‫]‪ [7‬المرجع السابق‪ ,‬ص ‪.161‬‬

‫]‪ [8‬د\محمد عيد‪,‬أصول النحوي العربي في نظر النحاة ورأي ابن مضاء وضوء علم اللغة الحديث‪ ,‬عالم الكتب‪,‬ص‪:‬‬
‫‪83‬‬

‫]‪ [9‬المرجع السابق ‪:‬ص ‪84‬‬

‫]‪ [10‬المرجع السابق‪,‬‬

Anda mungkin juga menyukai