Anda di halaman 1dari 18

Toni Pransiska | Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu (Sebuah Kajian Epistemologis)

KONSEP I’RAB DALAM ILMU NAHWU


(Sebuah Kajian Epistemologis)

Toni Pransiska
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
tonyelnoory@gmail.com

DOI:
Naskah diterima: 10-09-2015 direvisi: 15-10-2015 disetujui:15-11-2015

Abstrak
Ilmu Nahwu sebagaimana yang kita kenal sekarang ini yang sarat
dengan berbagai aturan dan teori merupakan hasil dari sebuah proses
yang cukup panjang dalam sejarah linguistik Arab. Salah kajian dalam
ilmu Nahwu misalnya tentang konsep I’rab. Dalam hal I’rab yang sering
dianggap sebagai keistimewaan yang menyulitkan kemudian berusaha
untuk dihindari dengan berbagai metode yang dianjurkan dalam Ta’līm
al-Lughah al-‘Arabiyah lī Ghair an-Nāthiqīn bihā, maka sebetulnya itu
adalah penyelesaian manipulasi. Masalah itu akan selalu muncul selama
inti permasalahan belum diselesaikan dengan tuntas. Konsep tentang I’rab
harus diluruskan. I’rab selama ini masih didefinisikan sebagai taghyîr
(pengubahan) atau taghayyur (perubahan) atau atsar (gejala alamat
I’rab).

Kata Kunci: Epistemologi, Ilmu Nahwu, Konsep I’rab

al-Mahāra, Vol. 1, No.1, Desember 2015/1437H | P-ISSN: 2477-5827/E-ISSN: 2477-5835 65


tonyelnoory@gmail.com

DOI: 10.15121/amjpba.2015.151. 1 - 26
Naskah diterima: 10-09-2015 direvisi: 15-10-2015 disetujui: 15-11-2015
Toni Pransiska | Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu (Sebuah Kajian Epistemologis)

‫ﺍﳌ��ﺺ‬

���‫ﻣﻦ�ﺍﳌﻌﺮﻭﻑ�ﺃﻥ�ﻋﻠﻢ�ﺍﻟﻨﺤﻮ�ﻓﻦ�ﻣﺤ�ﻮﻡ�ﺑﺎﻟﻘﻮﺍﻋﺪ�ﻭﺍﻟﻘﻮﺍﻧ�ﻥ�ﻭﺍﻟﻨﻈﺮ�ﺎﺕ�ﺍﻟ‬
�‫�ﻭ�ﺃﺣﺪ�ﺍﳌﺒﺎﺣﺚ����ﻋﻠﻢ‬.‫ﺗﺤﺼﻞ�ﻋﻠ��ﺎ�ﻣﻦ�ﻋﻤﻠﻴﺔ�ﻃﻮ�ﻠﺔ����ﺗﺎﺭ�ﺦ�ﻋﻠﻢ�ﺍﻟﻠﻐﺔ�ﺍﻟﻌﺮ�ﻲ‬
�‫��ﻭ�ﺎﻟ�ﺴﺒﺔ�ﺇ���ﻣﻔ�ﻮﻡ�ﻹﺍﻋﺮﺍﺏ�ﺍﻟﺬﻱ��ﻌﺘ���ﺍﻣﺘﻴﺎﺯﺍ�ﻳﺼﻌﺐ‬.‫ﺍﻟﻨﺤﻮ��ﻮ�ﻣﻔ�ﻮﻡ�ﻹﺍﻋﺮﺍﺏ‬
���‫ﺑﻪ �ﺍﳌﺘﻌﻠﻢ �ﻓﻴ��ﺄ �ﺇ�� �ﺍﻟﺴ�ﻮﻻﺕ �ﺑﺘﻘﺪﻳﻢ �ﻋﺪﺓ �ﺍﻟﻄﺮﻕ ��� ��ﻌﻠﻴﻢ �ﺍﻟﻠﻐﺔ �ﺍﻟﻌﺮ�ﻴﺔ �ﻟﻐ‬
�‫��ﺳﺘ�ﺒﻌﺚ��ﺬﻩ�ﺍﻟﻘﻀﻴﺔ�ﻃﺎﳌﺎ��ﺎﻧﺖ�ﺟﻮ�ﺮﺓ‬.‫�ﻓﺈﻥ�ﺫﻟﻚ�ﻋﻼﺝ�ﻣﻀﺎﺭ�ﻲ‬،‫ﺍﻟﻨﺎﻃﻘ�ﻥ���ﺎ‬
���‫ �ﻭﻟﺬﻟﻚ �ﻻﺑﺪ �ﺃﻥ �ﻳﺼ�� �ﻣﻔ�ﻮﻡ �ﻹﺍﻋﺮﺍﺏ �ﺻﺎ‬.‫ﺍﻟﻘﻀﻴﺔ �ﻟﻢ ��ﻌﺎ���ﺎ �ﻋﻼﺟﺎ ���ﺎﺋﻴﺎ‬
�‫��ﻟﺬﺍ�ﻣﻦ�ﺍﳌ�ﻢ�ﺃﻥ‬.‫��ﻃﺎﳌﺎ��ﺎﻥ�ﻹﺍﻋﺮﺍﺏ��ﻌﺮﻑ�ﺑﺄﻧﻪ��ﻐﻴ���ﻭ��ﻐ���ﻭ�ﺃﺛﺮ‬.‫ﺍﳌﻔ�ﻮﻡ�ﺍﳌﻘﺼﻮﺩ‬
.‫ﻳﻨﻈﻢ�ﻭ�ﻳﺼﻴﻎ�ﻣﻔ�ﻮﻡ�ﻹﺍﻋﺮﺍﺏ�ﺗﻨﻈﻴﻤﺎ�ﺣﻘﻴﻘﻴﺎ‬
‫�ﻭ�ﻋﻠﻢ�ﺍﻟﻨﺤﻮ‬،‫�ﺍﻟﺘﻨﻈﻴﻢ�ﻭﺍﻟﺘﺼ�ﻴﻎ‬،‫�ﻣﻔ�ﻮﻡ�ﻹﺍﻋﺮﺍﺏ‬:�‫ﺍﻟ�ﻠﻤﺎﺕ�ﺍﻟﺮﺋ�ﺴﻴﺔ‬

A. Pendahuluan
Ilmu Nahwu merupakan salah satu cabang pengetahuan
Pendahuluan
tradisional Islam terpenting, khususnya terkait dengan masalah
Ilmu Nahwu
kebahasaan. Nahwu merupakan
sebagai suatusalah satu cabang
disiplin keilmuan pengetahuan tradisional
muncul pertama kali
Islam
pada terpenting,
abad ke-1 Hkhususnya
di Bashrah terkait
atasdengan masalah
prakarsa Abu alkebahasaan. Nahwu
Aswad al-Dualiy.
sebagai suatu disiplin keilmuan muncul pertama kali pada abad ke-1 H di
Bashrah atas prakarsa Abu al Aswad al-Dualiy. Nahwu merupakan ilmu
yang lebih dahulu muncul dibanding dengan ilmu-ilmu bahasa Arab
lainnya.1
al Mahāra, Vol.1, No.1, Desember 2015/1436H
Dalam al-Muqaddimah-nya, Ibnuonline:
ISSN print: 2477-5835/ISSN Khaldun memandang “Ilmu
2477-5827
Nahwu” sebagai bagian integral dari seluruh pilar linguistik Arab (‘Ulûm
al-Lisân al Arab) yang terdiri empat cabang ilmu, yakni: Ilmu Bahasa (‘Ilm
al Lughah), Ilmu Nahwu (‘Ilm al Nahwi), Ilmu Bayan (‘Ilm al Bayân) dan Imu
Sastra (‘Ilm al Adab).2Disiplin Nahwu ini pada masa formasinya sangat
sederhana dan bersifat praktis. Didorong semangat rasa tanggung jawab
terhadap agama, ilmu Nahwu dimaksudkan sebagai pelurusan terhadap
bacaan-bacaan bahasa Arab (terutama ayat-ayat al-Qur’an) yang dianggap
menyalahi bacaan konvensional. Kesalahan-kealahan bacaan tersebut dalam

1 Tallal Allamah, Tatawwur Al Nahwi Al Arabi Fi Madrasatai Al Bashrah Wa Al Kufah.


(Beirut: Darl Al Fikr Al Lubnani, 1993). hlm. 15.
2 Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.). hlm. 453.

66 al-Mahāra, Vol. 1, No.1, Desember 2015/1437H | P-ISSN: 2477-5827/E-ISSN: 2477-5835


Toni Pransiska | Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu (Sebuah Kajian Epistemologis)

tradisi bahasa dan bangsa Arab disebut “al-Lahn”3, yaitu kekeliruan dalam
berbahasa yang karenanya telah dianggap tidak fasih lagi.
Teori-teori nahwu ini kian tambah rumit setelah ilmu ini juga
dikembangkan oleh para teolog (al-Mutakallimûn) dan juga para filosof (al-
Falâsifah) yang berupaya memasukkan prinsip-prinsip logika dan rasionalitas
ke dalam ilmu nahwu.4 Kesan rumit dan pelik ini diperparah lagi dengan
munculnya aliran-aliran dalam nahwu; aliran Basrah, Kufah, Baghdad dan
Andalusia yang masing-masing memiliki karakter dan mengembangkan
prinsip-prinsipnya sendiri.
Dalam hal i’rab misalnya, yang sering dianggap sebagai keistimewaan
yang menyulitkan kemudian berusaha untuk dihindari dengan berbagai
metode yang dianjurkan dalam Ta’lîm al-Lughah al-‘Arâbiyah li Ghair an-
Nâthiqîna bihâ, maka sebetulnya itu adalah penyelesaian manipulasi. Masalah
itu akan selalu muncul selama inti permasalahan belum diselesaikan dengan
tuntas. Oleh karena itu, konsep tentang i’rab harus diluruskan. Maka aspek
terakhir inilah yang menjadi fokus kajian ini, yakni upaya mereformulasi
konsep i’rab dalam ilmu nahwu.

Cikal Bakal Lahirnya Nahwu


Ilmu nahwu merupakan salah satu bidang ilmu bahasa yang
merupakan salah satu unsur terpenting dalam memahami bahasa Arab.
Kata nahwu ditinjau dari bahasa adalah bentuk mashdar dari kata ‫اوحن‬, yang
artinya menuju, arah, sisi, seperti, ukuran, bagian, dan tujuan.5 Sedangkan
menurut istilah adalah ilmu yang membahas keadaan setiap akhir kata baik
yang mu’rab (berubah) atau yang mabni (tetap) dalam sebuah kalimat.6
Di dalamnya kita mengetahui apa yang wajib terjadi dari harakat
akhir dari suatu kata, dari rafa’ atau nashab, atau jar atau jazm, atau tetap saja

3 Persoalan “Lahn” sebenarnya telah mulai muncul sejak Nabi saw masih ada. terjadi
pula pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun. tetapi lahn baru menjadi perhatian dan kesadaran
kolektif terjadi pada masa pemerintahan Bani Umayyah dimana pada masa ini yang membuat
kesalahan berbahasa (lahn) tidak saja kalanagan masyarakat awam, bahkan kalangan yang
dianggap ahli bahasa juga melakukan hal yang sama. LihatSaid al-Afghani, Min Târîkh al-
Nahwi, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 8-9.
4 Penerapan prinsip-prinsip logika formal (mantiq) dalam nahwu ini dikembangkan
oleh Abu Hasan al-Rummani yang hidup pada tahun 296-394 H. di samping seorang teolog
Mu’tazilah, ia juga dikenal sebagai pakar dibidang nahwu, fiqih dan bahasa. Karena teori
nahwunya yang sangat bernuansa logika itulah al-Rummani mendapat kecaman pedas dari
Ali Al-Farisi yang juga seorang pakar nahwu. Lihat Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Mesir:
Maktabah Al-Nahdah Al-Mishriyyah, 1974), Cet. VIII, hlm. 277.
5 Lois Ma’luf, Al Munjid Fi Al Lunghah Wa Al A’lam. (Beirut: Al Maktabah Al Syarqiyah,
1986). hlm. 796. Lihat pula Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1397.
6 Muhammad Al Thanthawiy, Nasy`Ah Al Nahw Wa Tarîkh `Asyhar Al Nuhâh. (Lubnan:
Alam Al Kutub, 1997), hlm. 1.

al-Mahāra, Vol. 1, No.1, Desember 2015/1437H | P-ISSN: 2477-5827/E-ISSN: 2477-5835 67


Toni Pransiska | Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu (Sebuah Kajian Epistemologis)

pada suatu keadaan setelah kata tersebut tersusun di dalam satu kalimat.
Mengetahui ilmu nahwu adalah satu kepastian bagi setiap orang yang ingin
betul dalam menulis, berpidato dan mempelajari sejarah kesusasteraan.
Berbagai literatur Arab yang membahas historisitas nahwu hampir da­
pat dipastikan bahwa pada umumnya memiliki nuansa pengkajian yang se­
irama, yaitu terfokus pada dua hal: peletak dasar (penggagas) disiplin nah­
wu, dan kedua latarbelakang kelahirannya. Terkait dengan soal pertama, per­
bincangan yang mewarnai berbagai literatur Arab berkisar pada “pro-kontra”
dalam memastikan nama utama yang dianggap sebagai penggagas ilmu nahwu
ini. Paling tidak terdapat lima nama yang disebut-sebut secara kon­troversial
sebagai panggagasnya, yaitu; Abu al-Aswad al-Du’ali, Ali bin Abi Thalib, Umar
bin Khattab, Abdurrahman bin Hurmuz dan Nashr bin Ashim al-Laitsi.7
Sementara terkait dengan latar belakang yang mendorong lahirnya
ilmu nahwu ini hampir semua literatur yang tersedia sependapat yaitu
disebabkan karena semakin meluasnya kesalahan-kesalahan berbahasa
secara baik dan benar menurut standar bahasa Arab yang fasih, atau yang
lebih akrab disebut dengan istilah “al-Lahn”.8
Terlepas dari faktor utama yang mendorong proses ilmiah bahasa Arab
(kodifikasi dan perumusan gramatikanya), misalnya saja demi menjaga ke­
mur­­nian bahasa al-Quran atau karena meluasnya “lahn” seperti di tengah
masyarakat seperti disinggung di atas, atau siapapun penggagas utama ca­
bang pengetahuan nahwu ini, yang pasti aktifitas ilmiah tersebut telah men­
ja­di catatan penting dalam sejarah intelektual Islam yang menandai adanya
suatu perubahan radikal dalam dunia kebahasaan Arab. Aktifitas intelektual
ter­sebut telah merubah bahasa Arab dari sebuah bahasa non ilmiah (tidak
dapat dipelajari dengan metode ilmiah) menjadi bahasa ilmiah, bahasa yang
memiliki aturan dan sistem seperti lazimnya obyek ilmiah lainnya.
Dalam kaitan ini, Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-170 H) dipandang
sebagai orang yang paling berjasa dalam proses ilmiah yang sebenarnya
dalam bahasa Arab. Pengetahuannya yang begitu luas baik tentang hadits,
fikih, bahasa, matematika dan logika formal (manthiq) dan didukung dengan
kecerdasan yang luar biasa, ilmu nahwu ia kembangkan sedemikian rupa
baik secara teoretik maupun cakupan kajiannya. Dengan kata lain, bahasa
Arab mulai benar-benar menjadi bahasa yang ilmiah dan dapat dipelajari
secara metodologis dan sistematis sejak ia dibuat rumusan tatabahasanya
7 Lihat, Abd Al- ‘Al Salim Mukrim, Al-Qurân Al-Karîm Wa Atsaruhu Fi Al-Dirâsat Al-
Nahwiyyah, (Mesir: Dar Al-Maarif, t.t.), hlm. 49. Bandingkan, Abdul Aziz Ahmad Allam, Min
Târîkh Al-Nahwi Al-Arabidalam Majalah “Majallah”, Jami’ah Al-Imam Bin Saud, Edisi II, 1401-
1402, Lihat pula, Syauqi Dhaif, Al-Madâris Al-Nahwiyyah (Mesir: Dar Al-Maaris, t.t.), hlm. 11-
13.
8 Lihat. Syathir Ahmad Muhammad, Al-Mujaz Fi Nasy’ah Al-Nawy, (Cairo: Maktabah
Al-Kulliyah Al-Azhariyah, 1983), hlm. 5-14. Dalam masalah “Lahn’ ini. Syahthir mengatakan
bahwa istilah “lahn” telah dikenal dan ada sejak masa jahiliyah dan masa Rasulullah saw.

68 al-Mahāra, Vol. 1, No.1, Desember 2015/1437H | P-ISSN: 2477-5827/E-ISSN: 2477-5835


Toni Pransiska | Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu (Sebuah Kajian Epistemologis)

yang komprehensif oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi ini.9

Aliran (Mazhab) dalam Nahwu


Dalam sejarah keilmuan tradisional Islam, nahwu merupakan salah
satu pengetahuan yang telah mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Bahkan cabang yang satu ini tingkat kemajuannya dapat disejajarkan
dengan-misalnya-disiplin Fikih dan Kalam. Ketiga disiplin ilmu tersebut
dalam kategori keilmuan tradisinal Islam termasuk sebagai “’ilmun qad
nadaja wa ikhtaraqa”10, secara harfiah berarti pengetahuan yang telah matang
dan terbakar (gosong). Artinya bahwa ketiga pengetahuan tersebut telah
mengalami tingkat kesempurnaan sebagai sebuah disiplin pengetahuan.
Dalam cabang ilmu nahwu telah muncul berbagai kelompok aliran
tak kurang dari lima aliran. Tidak seperti disiplin lain yang alirannya pada
umum­nya lebih ditentukan oleh individu-individu tokohnya, aliran dalam
nahwu melibatkan sentimen dan fanatisme kedaerahan (kota) atau kewila­
ya­han yang lebih luas lagi (negara). Dalam fikih tradisional, misalnya, kita
kenal adanya aliran (mazhab) Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali dan yang
lain, semuanya dinisbatkan kepada mereka yang dianggap sebagai pendiri
mazhab tersebut yaitu Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan
Imam Ahmad bin Hanbal. Atau dalam disiplin “Kalam”, di antaranya yang
sangat terkenal adalah mazhab al-Asy’ariyah dan al-Maturidiyah dan lain
seba­gainya yang semuanya juga dinisbatkan kepada tokoh yang dianggap
seba­gai pendirinya yaitu Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu
Manshur al-Maturidi. Sementara dalam nahwu kita kenal mazhab Bashrah,
Kufah, Bagdad, Andalusia dan Mesir.11

1. Mazhab Kufah – Basrah12


9 Lihat, Syauqi Dhaif, Al-Mâdaris Al-Nahwiyyah...hlm. 34-46. Bandingkan pula dengan
Abid Al-Jabiri, Takwîn Al-Aql Al-Arabi...hlm. 81.
10 Menurut klasifikasi pengetahuan Arab tradisional, khususnya pada masa abad
pertengahan, pengetahuan dibagi ke dalam tiga kategori; ‘Ilmun nadaja wa ikhtaraqa, yaitu
‘ilmu al-Ushûl (kalam) dan al-Nahwu, ilmun la nadaja wa la ikhtaraqa, yaitu ilmu al-Bayân dan
al-Tafsîr, dan ilmun nadaja wa ma ikhtaraqa, yaitu ilmu al-Fiqh dan al-Hadîts . Lihat, Amîn
al-Khûli, Manâhij Tajdîd: Fi al-Nahwi wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adab, (Mesir: Dar al-
Ma’rifah, 1961), Cet. 1, hlm. 127.
11 Lihat Zamzam Affandi Abdillah,Ilmu Nahwu: Prinsip-Prinsip dan Upaya
Pembaharuannya, http//blogzamzam.com. Diakses pada 25 Desember 2013.
12 Perlu diketahui bahwa sesungguhnya periode Kufah dan Basrah ini disebut
sebagai periode ekstensifikasi. Pada dasarnya perkembangan awal atau periode perintisan
dan penumbuhan nahwu berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman Abul Aswad sampai
munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad ke-satu Hijriyah. Periode ini masih
bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa pengembangan.
Masa kepeloporan tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah. Ciri-cirinya ialah belum
munculnya metode qiyas (analogi), belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih
minimnya usaha kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa pengembangan ialah makin banyaknya

al-Mahāra, Vol. 1, No.1, Desember 2015/1437H | P-ISSN: 2477-5827/E-ISSN: 2477-5835 69


Toni Pransiska | Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu (Sebuah Kajian Epistemologis)

Pada abad ke-2 hijriyah nahwu dikembangkan oleh al Khalil bin Ahmad
al-Farahidi (w.175 H) dengan mematangkan teori  nahwu yang disusun
Sibawaih (w.180 H) yang nota bene sebagai murid al Khalil sendiri. Langkah
ter­sebut diikuti oleh al-Akhfash al-Ausath (w.211 H) dan al- Mubarrad ( w.
286 H) dan ulama-ulama lain yang berkembang di negara Bashrah yang
digolongkan menjadi al-Nuhât al-Basharîyûn. Kemudian lahirlah kitab-
kitab nahwu sebagai karya-karya monumental seperti alfiyah Ibnu Malik,
Alfiyah al Suyuthi dan Alfiyah Ibnu Mu’thi. Nahwu juga mengalami per­
kem­bangan dan kejayaan di daerah Kufah diantara ulama-ulama yang me­
ngem­bangkannya adalah al-Kisai ( w.189 H), al-Farra’ (w.208 H) Tsa’lab
(w. 291 H) dll yang selanjutnya dikenal sebagai al–Nuhât al-Kûfiyûn. Pasca
perkembangan  di  Bashrah dan Kuffah sebagaimana dijelaskan dalam kitab
al-Madâris al-Nahwiyah nahwu mengalami kemajuan di Bagdad, Andalus
dan Mesir. Periode ini nahwu sudah mengalami efesiensi dan reformulasi
seperti yang disusun oleh Ibn Jinny ( w. 392 H) di Bagdad, Ibn Madha Al-
Qurtuby ( W. 592 H) di Andalus, Al-Sayuthi  (911 H) di Mesir.13
Seperti telah banyak ditulis dalam sejarah peradaban Islam, Irak adalah
pusat peradaban dan pengetahuan tradisional Islam terkemuka sebelum kota-
kota lain yang termasuk dalam wilayah kekuasaan kekhalifahan. Sebelum
tampilnya kota Bagdad sebagai pusat intelektual, Bashrah dan Kufah adalah
dua kota utama yang bersaing menjadi pusat aktifitas intelektual. Bashrah
mewarisi tradisi intelektual dari generasi sebelumnya yang akrab dengan
ber­­bagai pengetahuan yang bersifat Hellenis dengan karakternya yang ra­
sio­nal. Sementara Kufah kental akan sikap konservatif yang mengawal
dengan ketat warisan tradisional Islam. Itu sebabnya, maka pengetahuan
yang muncul dan berkembang dari kedua kota tersebut, yang dalam konteks
ini khususnya ilmu nahwu, memiliki karakter masing-masing.14
pakar, pembahasan tema-temanya semakin luas, mulai munculnya perbedaan pendapat,
mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan mulai
dipakainya metode analogi. Yang menarik pada masa ini para ulama nahwu terjun langsung
kesetiap kampung-kampung Arab Badui (pedalaman) untuk meneliti dan mengambil
banyak sampel tentang kosakata Arab yang murni atau pun susunan kalimat bahasa Arab
yang belum tercampur dengan dialek ‘ajam dan masuknya lahn. Setelah itu ditulis, seperti
yang dilakukan imam khalil Ahmad al-Farahidi dalam menyusun kitab Al-A’in. Disamping
itu aliran ini terpengaruh oleh logika formal karena lebih cendrung menggunakan metode
qiyas/silogisme karena melihat dari historisnya aliran ini mewarisi budaya hellenis Yunani,
juga ilmu mantiq dan ilmu kalam berkembang pesat dikota Basrah ini.
13 Lihat Ahmad Afify. Al-Mandzumah Al Nahwiyah Al- Mansubah Li al-Khalil bin Ahmad
Al Farahidy. (Cairo: Al Daar Al Manshuriyah Al Baniyah, 2003), hlm. 11.
14 Nahwu mazhab Bashrah bersifat rasional, sedang mazhab Kufah berkarakter
sebaliknya, yaitu lebih mengandalkan dan bertumpu pada “riwayat dan menerima atau
mendengar kasus kebahasaan yang terjadi di tengah masyarakat. Pendek kata, nahwu
mazhab Bashrah dibangun di atas tiga prinsip utama yaitu: al-Qiyâs, al-Ta’lîl dan al-Ta’wîl.
Atau menurut Abd al-‘Âl Salim al-Mukrim ketika mendeskripsikan karakter nahwu mazhab
Bashrah ia menyatakan:”karakter paling menonjol mazhab Bashrah ialah menjadikan
persoalan-persoalan nahawu dikaji dengan pendekatan logika formal (manthiq) dengan

70 al-Mahāra, Vol. 1, No.1, Desember 2015/1437H | P-ISSN: 2477-5827/E-ISSN: 2477-5835


Toni Pransiska | Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu (Sebuah Kajian Epistemologis)

Sementara Ahmad Amin menyimpulkan bahwa perbedaan menonjol


ka­rakter kedua mazhab tersebut adalah bahwa mazhab Bashrah bersifat lebih
bebas (tidak terikat tradisi berbahasa yang telah ada), lebih rasional, lebih
terorganisir atau teratur dan lebih berpengaruh. Sementara mazhab Kufah
kurang memberi nuansa kebebasan, lebih mempertahankan apa yang diwarisi
dari orang Arab meskipun kurang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya
sekalipun. Mazhab Bashrah berupaya menjadikan bahasa me­mi­liki sistem yang
dapat dinalar dan menghindari segala aspek periwayatan (untuk menentukan
kaidah bahasa) yang dapat mengacaukan sistem bahasa. Se­­baliknya mazhab
Kufah berkarakter sebaliknya, segala yang terdengar dari orang Arab tanpa
memperdulikan tingkat keabsahan atau tidaknya ri­­wayat tersebut, dijadikan
rujukan dalam mengambil keputusan sebuah kai­dah bahasa.15

2. Mazhab Baghdad16
Di akhir periode ekstensifikasi, Imam Al-Ru’asi (dari Kufah) telah
meletakkan dasar-dasar ilmu sharf. Selanjutnya pada periode penyem­
pur­naan, ilmu sharf dikembangkan secara progresif oleh Imam Al-Mazini.
Implikasinya, semenjak masa ini ilmu sharf dipelajari secara terpisah dari
ilmu nahwu, sampai saat ini.17 Masa ini diawali dengan hijrahnya para pakar
Bashrah dan Kufah menuju kota baru Baghdad.18Meskipun telah berhijrah,
berbagai silogismenya, alasan rasionalitasnya, kemungkinan-kemungkinannya dan
interpretasinya, kemudian setelah itu semua, baru mengacu kepada Kalam Allah dan kalam
orang Arab. Itu sebabnya, yang menjadi fokus atau konsern utama nahwu mazhab ini adalah
al-Qiyas (silogisme)”. Lihat Abd al-Al Salim Mukrim, al-Qurân al-Karîm wa atsaruhu Fi al-
Dirâsât al-Nahwiyyah... hlm. 91.
15 Ahmad Amin, Dhuha al-Islâm,...hlm. 296.
16 Selain dua kota Bashrah dan Kufah yang menjadi pusat kebudayaan dan intelektual
Irak, saat itu muncul sebuah kota baru yang menjadi pesaing pusat intelektual dua kota yang
telah berdiri lebih dahulu, yaitu kota Bagdad. Kota Bagdad ini didirikan dan dibangun oleh
al-Manshur Billah Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin
Abdul Muthallib atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Ja’far al-Manshur, khalifah kedua
dinasti Abbasiyyah. Namun sebenarnya rencana pendirian kota teresebut telah dicanangkan
oleh saudaranya Abul Abbas al-Saffah, dan pembangunannya dimulai pada tahun 125 hijriah
dan mulai ditempati pada tahun 129 hijriah. Lihat Abd al’Al Salim Mukrim, al-Qur’an al-
Karim Wa Atsaruhu Fi al-Dirasah al-Nahwiyyah,...hlm. 137.
17 Lihat Ukon Purkonudin, Sejarah Penyusunan Nahwu. http://ukonpurkonudin.blogspot.
com/2010/09/pendahuluan-salah-satu-cara-untuk.html. Diakses pada tanggal 25 Desember 2013.
18 Imigrasi para intelektual ke Bagdad ini dimulai oleh para intelektual Kufah yang
memang jarak antara kedua kota tersebu relatif lebih dekat dari pada jarak antara Bashrah
dengan Bagdad. Mereka yang berimigrasi ke Bagdad ini oleh para penguasa diberi posisi
terhormat dan sangat dihargai yang pada akhirnya bukan saja penghormatan tinggi ini
dirasakan oleh para intelektualnya, tetapi sekaligus juga mengangkat citra dan pamor mazhab
Kufah yang selama ini kalah citranya dengan mazhab Bashrah. Menyaksikan realitas ini, maka
para intelektual Bashrah pun banyak yang berminat meninggalkan kotanya untuk mencari
posisi dan penghormatan seperti yang telah diraih oleh rival mereka dari Kufah. Hal ini tentu
semakin meramaikan kota Bagdad, khususnya di aspek keintelektualan. Pada mulanya para
intelektual imigran dari dua kota yang telah lama bersaing itu, membawa bendera dan segala
kecirikhasan masing-masing kota asalnya dan tetap mengembangkan persaingan yang telah
lama ada sebelum akhirnya sama-sama menyadari perlunya mengakhiri persaingan tersebut

al-Mahāra, Vol. 1, No.1, Desember 2015/1437H | P-ISSN: 2477-5827/E-ISSN: 2477-5835 71


Toni Pransiska | Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu (Sebuah Kajian Epistemologis)

pada awalnya mereka masih membawa fanatisme alirannya masing-


masing. Namun lambat laun, mereka mulai berusaha mengkompromikan
antara Kufah dan Bashrah, sehingga memunculkan aliran baru yang disebut
sebagai Aliran Baghdad.19
Di antara perintis atau penggagas mazhab baru tersebut adalah Abu
Hanîfah Ahmad bin Dâwud al-Dinawari, Abu al-Thayyib Mihammad bin Ahmad
bin Ishâq al-A’rabi al-Wasyâ’, Ibnu Kaisân Muhammad bin Ahmad bin Ibrâhim
bin Kaisân20, al-Akhfash al-Shagîr, Ali bin Sulaiman bin al-Fadhl al-Nahwiyyi.21
Oleh karena sifatnya yang ekletis atau pengkombinasian itu, maka
mazhab Bagdad tersebut memiliki karakternya sendiri, yaitu tidak terlalu
ber­sifat rasional seperti yang menjadi ciri khas mazhab Bashrah, dan tidak
pula terlalu tekstual seperti karakter khas mazhab Kufah. Namun demikian,
para peneliti nahwu sering mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi
mazhab Bagdad ini. Sebab, meskipun disebut sebagai mazhab ekletis dari
dua mazhab (Bashrah dan Kufah), para tokoh mazhab ini masih sering
menam­pakan ego masing-masing mazhab asal mereka.

3. Mazhab Andalus (Spanyol)


Tidak lama setelah Bani Umayyah mendirikan kekhalifahan di
Andalusia (138 H-1422H), di negeri baru Islam di Barat ini muncul banyak
buda­yawan dan sastrawan mensejajarkan diri dengan rivalnya di negeri
Timur yang sudah lebih dahulu dikenal dengan para intelektualnya. Para
di kota baru mereka.
19 Kesadaran perlunya mengakhiri persaingan lama inilah yang pada akhirnya
memunculkan mazhab baru dalam nahwu, yaitu mazhab Bagdad. Sebuah mazhab yang
mencoba mensinkretiskan dua mazhab (Bashrah dan Kufah) yang telah ada sebelumnya.
Itu sebabnya, mazhab ini memiliki banyak sebutan diantaranya adalah “al-Khâlithaini baina
al-Naz’ataini” (pengkombinasi antara dua mazhab), “Ashâb al-Madrasah al-Intikhâbiyyah”
(penganut mazhab eklektisme) dan “al-Bagdadiyyûn”. Lihat Abdul Aziz Ahmad Allam,
“Min Târikh al-Nahwi al-Arabi”, Majallah, edisi II, tahun ke –2 , 1401/1402 H. KSA.
20 Adapun tokoh utama mazhab Bagdad ini diantaranya adalah Ibnu Kaisân yang
memiliki nama lengkap Abu al-Hasan Muhammad bin Ahmad bin Kaisan (w.299 H). Ia
dikenal sebagai tokoh pertama nahwu mazhab Bagdad meskipun oleh sebagian penulis
biografi lain semisal Brooklman ia dimasukkan sebagai imam nahwu mazhab Bashrah. Ia
belajar nahwu dari al-Mubarrad dan Tsa’lab, mendalami mazhab Bashrah dan Kufah, banyak
menulis tentang nahwu diantaranya adalah “Kitâb Ikhtilâfi al-Bashriyyîn Wa al-Kûfiyyîn Fî
al-Nahwi, al-Kâfi Fi al-Nahwi, Kitâb al-Tashârif dan Kitâb al-Mukhtâr Fi ‘Ilal al-Nahwi” yang
terdiri dari tiga jilid”. Juga Abu “Ali al-Farisi (al-Hasan bin Ahmad bin Abdul Ghaffar al-
Farisi). Disamping dikenal pakar dibidang nahwu, ia juga sangat mendalami filsafat, manthiq
dan kalam seperti pada umumnya penganut aliran Mu’tazilah lainnya. Diantara tokoh
mazhab Bagdad yang cukup terkenal terdapat nama Ibnu Jinni (Abu al-Fath Utsman bin Jinni
al-Mosuli). Ia adalah murid langsung Abu Ali al-Farisi, terkenal sangat cerdas dan cermat dan
sangat produktif menulis buku. Tak kurang dari lima puluh buku yang kebanyakan berkaitan
dengan linguistik atau nahwu telah ia tulis. Salah satu buku karyanya yang monumental
adalah “al-Khashâ’ish”, sebuah buku yang terdiri dari tiga jilid yang hingga sekarang masih
menjadi rujukan utama dalam kajian linguistik klasik Arab.
21 Abd al-‘Al Salim Mukrim, al-Qur’ân al-Karîm Wa Atsaruhu Fi al-Dirâsât al-Nahwiyyah,
...hlm. 143.

72 al-Mahāra, Vol. 1, No.1, Desember 2015/1437H | P-ISSN: 2477-5827/E-ISSN: 2477-5835


Toni Pransiska | Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu (Sebuah Kajian Epistemologis)

ilmuan di Andalusia yang banyak menimba ilmu ke Timur ini pada umumnya
ada­lah memiliki latar belakang sebagai ahli qira’ât (aneka ragam bacaan al-
Qur’an) dan huffâdz (penghafal al-Qur’an). Itu sebabnya, pengetahuan yang
ber­kembang lebih dahulu di negeri ini juga seputar ilmu qira’at disamping
juga ilmu fikih.22
Sementara disiplin nahwu baru muncul dan berkembang belakangan
setelah beberapa ilmuan Andalusia belajar ke Timur. Di antara mereka
yang populer adalah Jaudi bin Utsman al-Maururi. Ia mempelajari ilmu
nahwu kepada al-Kissâi dan al-Farrâ’. Jaudi adalah orang pertama yang
memperkenalkan karya-karya nahwu mazhab Kufah di Andalusia dan
sekaligus juga ilmuan negeri tersebut yang menyusun buku tentang nahwu.
Baru setelahnya muncul tokoh-tokoh lain seperti Abu Abdullah. Seperti
Jaudi, ia juga belajar nahwu ke Timur kepada Utsman bin Said al-Mishri
atau yang lebih terkenal dengan sebutan al-Warsh.23
Oleh karena yang pertama kali nahwu yang dikenal dan dipelajari
oleh para ilmuan Andalusia adalah nahwu mazhab Kufah dan langsung
dari para pakarnya sendiri, maka nahwu yang berkembang lebih di sana
juga nahwu mazhab Kufah.24 Dan baru pada akhir abad ke-3 H, para ilmuan
Andalusia berkenalan dengan nahwu mazhab Bashrah dirintis oleh al-
Ufushniq Muhammad bin Musa bin Hisyam (w. 307 H). Ia pergi ke Timur
dan belajar ilmu nahwu kepada Abu Ja’far al-Dinawari di Mesir. Buku
yang ia pelajari adalah karya Sibawaih yang sangat terkenal itu, al-Kitab. Ia
‎mempelajari nahwu dari Ahmad bin Yûsuf bin Hajjâj (w. 336 H). Meskipun
tidak dikenal sebagai ahli nahwu, tetapi Ahmad selalu membaca dan
mempelajari karya Sibawaih di atas. Selain al-Ushfuniq, tokoh Andalusia
lain yang juga mempelajari karya Sibawaih semisal Muhammad bin Yahya
al-Mahlabi al-Rabâhi al-Jayyâni (w.353 H), seorang ahli filsafat, manthiq dan
kalam.25

22 SyauqiDhaif, al-Madâris al-Nahwiyyah...hlm. 288.


23 Ibid.
24 Prinsip-prinsip qiyas (analogi), ta’lil dan lainya yang menjadi karakter nahwu
Bashrah dikembangkan sedemikian rupa oleh para ahli nahwu Andalusia. Sekedar contoh
saja, apabila nahwu Bashrah telah melahirkan teori nahwu tentang hukum atau ketentuan-
ketentuan tertentu pada sebuah jabatan kalimat, maka nahwu Andalusia akan memperlus
ketentuan tersebut. Misalnya dalam kasus “mubtada”, nahwu Bashrah telah merumuskan
teori dan ketentuan bahwa hukum mubtada’ adalah harus dibaca rafa’, maka nahwu
Andalusia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan lanjutan mengapa ia harus dibaca rafa’,
kenapa tidak dibaca nasab saja, apa alasannya, kemudian mereka memberinya alasan-alasan
(ta’lîlât) yang panjang lebar. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan “kenapa, mengapa” semacam
itu dalam tradisi nahwu klasik dengan sebutan “al-Illah al-Tsâniyyah” atau alasan kedua.
Lihat. Syauqi Dhaif, al-Madâris al-Nahwiyyah...hlm. 293.
25 Ibid., hlm. 290

al-Mahāra, Vol. 1, No.1, Desember 2015/1437H | P-ISSN: 2477-5827/E-ISSN: 2477-5835 73


Toni Pransiska | Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu (Sebuah Kajian Epistemologis)

Reformulasi Konsep I’rab dalam Nahwu


KONSEP I’RAB DALAM ILMU NAHWU
90 (Sebuah Kajian Epistemologis)
1. Kerancuan
Tony dalam
KONSEP
Fransisca
KONSEP Konsep
I’RABI’RAB
DALAMDALAM I’rab
ILMU ILMU NAHWU
NAHWU
90 90 (Sebuah(Sebuah
BahasaTony
KajianKajian
Arab
Epistemologis)
Epistemologis)memang memiliki keistimewaan, tetapi keistimewaan
Tony Fransisca Fransisca
itu bukan berarti suatu hal yang menimbulkan kesulitan. Dalam hal i’rab
yang
yang sering
seringdianggap dianggapsebagai sebagaikeistimewaan
keistimewaanyang yangmenyulitkan
menyulitkankemudian kemudian
berusaha
be­ yang
rusaha
yang seringuntuk
sering
untuk dianggap dihindari
dianggap
dihindari sebagai dengan
sebagai
dengan berbagai
keistimewaan
berbagai metode
keistimewaan metode
yang yang
menyulitkan
yang dianjurkan
yang menyulitkan dianjurkankemudian
dalam
kemudian
Ta’lim
dalam al-Lughah
Ta’lim
berusaha untuk al-‘Arabiyah
al-Lughah dihindari li Ghair
al-‘Arabiyah
berusaha untuk dihindari dengan berbagai metode yang dianjurkan dengan an’Natiqin
li Ghair
berbagai biha, maka
an’Natiqin
metode sebetulnya
biha,
yang maka itu
dianjurkan
adalah
sebetulnya penyelesaian
itu adalah
Ta’lim manipulasi.
penyelesaian
al-Lughah Masalah
manipulasi.
al-‘Arabiyah itu
li akan selalu
Masalah
Ghair muncul
itu
an’Natiqin akan selama
selalu
dalamdalam Ta’lim al-Lughah al-‘Arabiyah li Ghair an’Natiqin biha,biha, makamaka
inti
muncul permasalahan
selama
sebetulnya itu belum
intiadalahpermasalahan diselesaikan
penyelesaian belum dengan tuntas.
diselesaikan
manipulasi. Konsep
dengan
Masalah tentang
tuntas.
itu akan selalu
sebetulnya itu adalah penyelesaian manipulasi. Masalah itu akan selalu
i’rab harus diluruskan. I’rab selama ini masih didefinisikan sebagai taghyîr
Konsepmuncul
muncul tentang
selama selama i’rab
inti inti harus
permasalahan
permasalahan diluruskan.
belum belum I’rab selama
diselesaikan
diselesaikan denganini masih
dengan tuntas.
(pengubahan) atau taghoyyur (perubahan) atau atsar (gejala alamattuntas.
i’rab)26
didefinisikan
Konsep
Konsep sebagai
tentang taghyîr
i’rab (pengubahan)
harus diluruskan. atau taghoyyur
I’rab (perubahan)
selama ini ini masih
atau juga tentang
didefinisikan i’rab harus
sebagai diluruskan.
bayan (keterangan I’rab selama
tentang jabatan masih
kata
atau atsar
didefinisikan
dalam (gejala
didefinisikan
kalimat). sebagai alamat
sebagai taghyîri’rab)
taghyîr 26 atau juga didefinisikan
(pengubahan)
(pengubahan) atauatautaghoyyur sebagai
taghoyyur bayan
(perubahan)
(perubahan)
(keterangan
atauatauAbbas
atsar atsar tentang
(gejala
Hasan
(gejala jabatan
alamat
menyebutkan
alamat kata
i’rab) dalam
i’rab)
26 atauatau
26
bahwa kalimat).
27
juga: juga didefinisikan
didefinisikan sebagai sebagaibayanbayan
Abbastentang
(keterangan
(keterangan Hasantentang menyebutkan
jabatan jabatan katakata bahwa
dalam dalam 27 : kalimat).
kalimat).
�Abbas َ َ
‫ﻮ ِﺍﻣ ِﻞ‬Abbas
‫�ﺍﻟﻌ‬Hasanّ
�ِ �‫��ﻐ‬Hasan َ َ
�‫��ﺴ‬menyebutkan
‫ ِﺐ‬menyebutkan‫ﻆ‬ ْ
‫�ﺍﻟﻠﻔ‬ ‫ﺮ‬ ‫��ﺁﺧ‬ bahwa
����‫�ﺍﻟ‬
bahwa
27
27: ‫�ﺍﻟﻌﻼﻣﺔ‬
ّ ‫ﺍﺏ ُ�� َﻮ‬
َ : �ُ �‫��ﻐ‬ ُ ‫َﻹﺍ ْﻋ َﺮ‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
�َ ‫ﻞ‬ َ ‫ﺍﻣ‬‫ﻮ‬ َ ّ ��‫��ﻐ‬
َ ‫�ﺍﻟﻌ‬ ْ ‫�ﺍﻟ������ﺁﺧﺮ‬
ّ َ َ ‫�ﺍﻟﻠﻔﻆ ْ�� َﺴ َ�ﺐ‬ َ ‫ﺔ‬ ‫�ﺍﻟﻌﻼﻣ‬ َ ّ ُ ‫ﺍﺏ َ َ ُ�� َ ُﻮ‬
َ ُ ّ َ �ُ �‫��ﻐ‬ ْ ُ ‫َﻹﺍ ْﻋ َﺮ‬
ِ
ِ �ِ �‫�ﺍﻟﻠﻔ ِﻆ ِ��ِﺴ� ِﺐ ِ��ﻐ‬
�‫�ﺍﻟﻌﻮ ِﺍﻣ ِﻞ‬ ِ
ِ ‫��ﺁﺧ ِﺮ‬ ِ
ِ ِ ����‫�ﺍﻟ‬ ِ ‫�ﺍﻟﻌﻼﻣﱡ‬ِ ْ ��‫��ﻐ‬ َ ‫��ﻮ‬ َ
‫ﺍﻟﺪﺍﺧ ِﻠﺔﻹﺍ�ﻋﻋﻠ ْﻴﺮ ِﻪﺍﺏَ�ﻭ َ�ﻣ‬
ِ ‫ﻪ��ﻞ ِﺔ‬
ِ ‫�ﻋﺎﻣ ٍﻞ‬ ‫ﻀﻴ‬ ‫ﺎ�ﻳﻘﺘ‬
ْ َ ‫ﻘﺘ‬ َ َ ‫ﺎ�ﻳ‬ َِ
َ َ ‫�ﻋ َﻠ ْﻴﻪ َ َ�ﻭ ْ َ�ﻣ‬
‫ﻞ‬ ‫ﱡ‬
‫�ﻋﺎﻣ‬ ‫ﱡ‬
‫ﻪ��ﻞ‬ ْ َ ‫ﻀﻴ‬
ِ ‫ﺍﻟﺪﺍﺧ ِﻠﺔ ِ�ﻋﻠﻴ ِﻪ�ﻭ�ﻣﺎ�ﻳﻘﺘﻀﻴ‬
ِ ٍ ‫ﻪ��ﻞ‬
‫�ﻋﺎﻣ ٍﻞ‬
(I’rab adalah berubahnya tanda di akhir kata yang disebabkan oleh ِ ‫ﺍﻟﺪﺍﺧ ِﻠﺔ‬
ِ
(I’rab
berubahnya adalah berubahnya
faktor-faktor yang tanda
masuk dipada
akhir kata
di yang disebabkan olehdisebabkan
berubahnya
(I’rab(I’rab
adalah adalah berubahnya
berubahnya tanda dikata
tanda akhir tersebut
akhir
kata katadan yang
yang karena
disebabkantuntutan
oleh oleh
faktor-faktor
setiap yang
faktor yang
berubahnya masuk pada
mempengaruhinya)
faktor-faktor kata tersebut dan karena tuntutan setiap faktor yang
berubahnya
mempengaruhinya)faktor-faktor yangyang masukmasukpadapada
kata kata tersebut
tersebut dan dan karena
karena tuntutan
tuntutan
setiap Sementara
setiap faktor
faktor yangyang Abdullah bin Ahmad al-Fakihi menyebutkan bahwa2828:
mempengaruhinya)
mempengaruhinya)
Sementara Abdullah bin Ahmad al-Fakihi َ menyebutkan
ً ‫ﺎ�ﺃﻭ َ�ﺗ‬ َ
ْ ‫ ًﻈ‬Sementara
ْ �ْ ‫�ﻋﻠ‬ َ
َ Abdullah َbin‫ﻼﻑ‬ ْ al-Fakihi ُ ‫ﺮ‬bahwa
ُ ��َ ‫ﺍﺏ‬
َ menyebutkan ْ bahwa :
ِAbdullah Ahmad bahwa 28:
‫ﻘﺪﻳﺮﺍ‬ ‫�ﺎ�ﻟﻔ‬
Sementara ‫�ﺍﻟﺪﺍﺧﻠ ِﺔ‬ ‫ ِﻞ‬bin
‫ﻮﺍﻣ‬
ِ ‫�ﺍﻟﻌ‬
Ahmad ِ ‫�ﻻﺧ ِﺘ‬ ‫ ِﺮ�ﺍﻟ� ِﻠ ِﻢ‬menyebutkan
al-Fakihi ‫�ﺃﻭ ِﺍﺧ‬��‫ﻐﻴ‬ ‫ﻹﺍﻋ‬ 28:

ً َ ْ ‫ﺎ�ﺃﻭ ً َ�ﺗ‬ ْ َ َ �ْ ‫�ﻋ َ َﻠ‬


ْ ْ ‫�ﺎ�ﻟﻔ ًﻈ‬ َ ‫�ﺍﻟﻌﻮﺍﻣ َﻞ�ﺍﻟﺪﺍﺧ َﻠﺔ‬
َ ‫ﻼﻑ‬ ْ َ َ َ ُ َ َُ ُ َ ْ ُ ْ
ً ‫ﻘﺪﻳﺮﺍ‬
‫ﻘﺪﻳﺮﺍ‬ ‫(�ﺗ‬I’rab ‫�ﻋﻠ ْ��ﺎ�ﻟﻔ‬
‫ﻈﺎ�ﺃﻭ‬adalah ‫ﺔ‬ ِ ِ ِ ‫ﻮﺍﻣ ِﻞ‬
‫�ﺍﻟﺪﺍﺧﻠ‬
ِpengubahan ِ ِ ‫ﻼﻑ‬
‫�ﺍﻟﻌ‬
ِ akhir ِ ْ ‫�ﻻﺧﻢ ِﺘ‬
‫�ﻻﺧ ِﺘ‬
ِmasing-masing ِ ‫�ﺍﻟ� ِ ِﻠﺮ ِﻢ�ﺍﻟ� ِﻠ‬ ‫ﺍﺧ ِﺮ‬
‫ ِﺍﺧ‬kata
‫�ﺃﻭ‬ِ ‫�ﺃﻭ‬
��‫ﻐﻴ‬��‫ﻐﻴ‬
��‫��ﺮﺍﺏ‬perbe-daan
karena
‫ﻹﺍﻋﺮﺍﺏ‬
‫ﻹﺍﻋ‬
faktor-faktor
(I’rab yang
(I’rab
adalah memasukinya
adalah
pengubahan baikakhir
pengubahan diucapkan
akhir maupun diperkirakan)
masing-masing
masing-masing kata kata
karenakarena perbe-daan
perbe-daan
(I’rab adalah pengubahan akhir masing-masing kata karena perbe-daan faktor-
Definisi
faktor-faktor
faktor-faktor i’rab
yang
yang memasukinya yang lainnya
memasukinya baik
baik diucapkan berbeda,
diucapkan dikemukakan
maupun
maupun oleh
diperkirakan)
diperkirakan) Ibn
faktor yang memasukinya baik diucapkan maupun diperkirakan)
Hisyam Definisi
al-Anshori,
Definisi demikian
i’rab i’rab
yang
29:
yanglainnyalainnya berbeda, berbeda, dikemukakan
dikemukakan oleholeh
Ibn Ibn
Definisiّ i’rab ُ yang lainnya berbeda, dikemukakan َ oleh Ibn Hisyam
َ ُ ‫ﱠ‬ َ ْ
Hisyam
Hisyam
al-Anshori, ‫ﻦ َ�ﻭ‬demikian
‫�ﻵﺍﺳﻢ�ﺍﳌﺘ َﻤﻜ‬
al-Anshori,
�al-Anshori, ْ 29: ‫ﺮ‬demikian
demikian ‫����ﺁﺧ‬29‫ﻞ‬:ُ ‫�ﺍﻟﻌﺎﻣ‬
ِ ِ ّ َ ُ ّ َِ َ ُ ِ ْ ِ
29:
‫�ﺃﻭ ُ�ﻣﻘﺪ ٌﺭ َ�ﻳ ْﺠﻠ ُﺒﻪ‬
ِ
ْ ‫ﺍﺏ�ﺃﺛ ٌﺮ�ﻇﺎ� ٌﺮ‬
ِ ُ ْ ‫ِْ َ ﱠ‬
ُ ‫ﻹﺍﻋﺮ‬
َ ُْ ْ
َ�‫�ﻭﻜ�ﻦ�ﻭ‬ َ‫�ﺍﳌ ِ َﺘﻦﻤ‬
‫ﻜ‬ِ ‫ﻤ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬ ْ
‫�ﺍﳌ‬
‫�ﻵﺍﺳ‬‫ﻢ‬ِ ‫�ﻵﺍﺳ‬
‫ﺮ‬ ‫ﺮ‬ ِ
‫����ﺁﺧ‬
ِ ُ
‫����ﺁﺧ‬
‫ﻞ‬ ‫ﻞ‬ُ ِ
‫�ﺍﻟﻌﺎﻣ‬ ُ
‫ﻪ‬ ُ
‫�ﺍﻟﻌﺎﻣ‬
‫ﺒ‬ ‫ﻠ‬ ْ ‫�ﻣ َ�ﻳﻘ ﱠﺠﺪ ِ ٌﻠﺭ ُﺒ َ�ﻳﻪ‬
‫ﺠ‬ ‫ﺭ‬ ْ ‫�ﻇﺎ� ٌُ�ﻣﺮﻘ‬
ُ ٌ ‫�ﺃﻭﺪ‬ ‫�ﺃﻭ‬
‫ﺮ‬ ٌ �‫�ﻇﺎ‬
ِ
‫ﺮ‬ ٌ َ ‫�ﺃﺛ ٌ ُﺮ‬
‫�ﺃﺛ‬ ‫ﺍﺏ‬ ‫ْﻹﺍﻋﺮ ُﺍﺏ‬
‫ﻹﺍﻋﺮ‬
ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ﻀﺎﺭ ِﻉ‬
ِ ‫ﺍﻟﻔ ُﻌ ِﻞ ُ�ﺍﳌ‬ِ ْ
ْ
ِ ‫ﻀﺎﺭ ِﻉ‬
‫ﻀﺎﺭ ِﻉ‬ ِ ‫�ﺍﳌ ِﻞ‬
‫�ﺍﳌ‬ ِ ‫ﺍﻟﻔﻌ ِﻞ‬
‫ﺍﻟﻔﻌ‬ ِ
���������������������������������������������������������������������������
26 Muhammad Muhyiddin
Muhammad Muhyiddin Abd Abdal-Hamid,
al-Hamid, Audloh
Audloh al-Masalik
al-MasalikIla Alfiyah Ibn Malik
Ila Alfiyah Ibn
(Beirut: Shida, Al-Maktabah al-’Ashriyah, t.t.). Vol. I, hlm. 39.
Malik (Beirut: Shida, Al-Maktabah al-’Ashriyah, t.t.). Vol. I, hlm. 39.
27 26Muhammad
26Muhammad Muhyiddin
MuhyiddinAn Nahwu Abd
Abdal-Wafi al-Hamid,
al-Hamid, DarAudloh
(Kairo:Audloh al-Maarif,al-Masalik
Lihat ��������������������������������������������������������������������������
Abbas Hasan, 1966)
al-Masalik Ila hlm.
Vol.I,
Ila1966) Alfiyah
Alfiyah 69. Ibn
Ibn
27Lihat
Malik Abbas
(Beirut: Hasan,
bin Ahmad
Shida, An
al-Nahwu al-Wafi (Kairo:
Fakihi, al-’Ashriyah,
Al-Maktabah Syarh al-Fawakih Dar
t.t.). al-Maarif,
�����������������������������������������������������������������������������
Abdullah al-Janiyah
Vol. I, ‘ala39.
hlm. Vol.I,
Mutammimah
Malik
hlm. 69.(Beirut: Shida, Al-Maktabah al-’Ashriyah, t.t.). Vol. I, hlm. 39.
al- Ajrumiyah (Bandung:
27Lihat Abbas Syirkah
Hasan,al-Ma’arif,
An Nahwu t.t ), hlm. 7 (Kairo: Dar al-Maarif, 1966) Vol.I,
al-Wafi
28
27Lihat
Abdullah Abbas
binHasan,
Ahmad AnbinNahwu
Hisyam,
al- al-Wafi
Fakihi, Syarh (Kairo:
SyarhSyudhur Daral-Dhahab
������������������������������������������������������������������������
Ahmad bin Abdullah al-Maarif,
al-Fawakih 1966) Vol.I,
(Surabaya:
al-Janiyah ‘alaAl-
hlm.hlm.
69. 69.
Maktabah
Mutammimah as-Saqofiyah, t.t.), hlm. 12.
al- Ajrumiyah (Bandung: Syirkah al-Ma’arif, t.t ),al-Fawakih
hlm. 7
28Abdullah
28Abdullah bin bin
Ahmad Ahmad al- al- Fakihi,
Fakihi, Syarh
Syarh al-Fawakih al-Janiyah
al-Janiyah ‘ala ‘ala
29Ahmad
Mutammimah bin Abdullah
al- Ajrumiyah bin Hisyam, Syarh Syudhur al-Dhahab (Surabaya: Al-
74
Mutammimah al- Ajrumiyah
al-Mahāra, No.1,(Bandung:
Vol. 1, (Bandung: Syirkah
Syirkah
Desember al-Ma’arif,
al-Ma’arif,
2015/1437H ), t.t ), hlm.
7 7 2477-5835
t.t2477-5827/E-ISSN:
| P-ISSN: hlm.
Maktabah as-Saqofiyah,
29Ahmad bin t.t.), hlm. 12.
Abdullah bin Hisyam, Syarh Syudhur al-Dhahab (Surabaya:
29Ahmad bin Abdullah bin Hisyam, Syarh Syudhur al-Dhahab (Surabaya: Al- Al-
Maktabah as-Saqofiyah, t.t.),
Maktabah as-Saqofiyah, t.t.), hlm. 12. hlm. 12.

al Mahāra, Vol.1, No.1, Desember 2015/1436H


ISSN print: 2477-5835/ISSN online: 2477-5827
Toni Pransiska | KonsepKONSEP
I’rab dalam Ilmu
I’RAB NahwuILMU
DALAM (Sebuah Kajian Epistemologis)
NAHWU
(Sebuah Kajian Epistemologis) 91
Tony Fransisca

(I’rab
(I’rabadalah
adalah gejala
gejala yang
yang tampak nyata atau
tampak nyata atau yang
yang diperkirakan
diperkirakandidiakhir
akhirisim
isim
yangyang “memungkinkan”
“memungkinkan” dan fi’ilkarena
dan fi’il mudlori’ mudlori’ karena
faktor yang faktor yang
mempengaruhi)
mempengaruhi)
Definisi yang terakhir lebih panjang, demikian : 30

Definisi yang terakhir lebih panjang, demikian30:


ْ ‫�ﺍ�� ْﻤ َﻠﺔ �ﻣ ْﻦ َ�ﻭﻇ َﻴﻔﺔ ُ�ﻟ َﻐﻮ َ�ﺔ‬
�‫�ﺃﻭ ِﻣ ْﻦ ِ�ﻗ َﻴﻤ ٍﺔ‬ ُ ‫�ﺃﻭ‬ْ ‫ﺎﻥ َ�ﻣﺎ�ﻟ ْﻠ�ﻠ َﻤﺔ‬ُ ‫ﺍﺏ َ�ﺑ َﻴ‬ ْ
ُ ‫ﻹﺍﻋﺮ‬
ٍ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ً َ ْ ً ُْ َْ ْ ْ ً َ ُ ْ َْ ً َ ْ ُ َْ َ َ ْ َ
�‫�ﺣﺎﻻ �ﺃﻭ‬ ‫�ﻓﺎﻋﻼ�ﺃﻭ�ﻣﻔﻌﻮﻻ �ﺃﻭ‬ ِ ‫ﺎ�ﺇﻟﻴﻪ �ﺃﻭ‬ ِ ‫ﻧﺤ ِﻮ� ٍﺔ �ﻛ�ﻮ ِ� َ�ﺎ�ﻣﺴﻨﺪﺍ�ﺇﻟﻴ ِﻪ �ﺃﻭ�ﻣﻀﺎﻓ‬
َ
�‫�ﺍ�� َﻤ ِﻞ �ﻭ�ﺗﺆ ِﺩ ���ﺎ‬ُ ‫�ﺍﻟ�ﻠﻤﺎﺕ ��� �ﺛﻨﺎﻳﺎ‬ُ ّ ‫�ﺍﻟﻮﻇﺎﺋﻒ �ﺍﻟ�� ُ�ﺗ‬
‫ﺆﺩ ���ﺎ‬ َ ‫َﻏ ْ� َ��ﺫﻟﻚ �ﻣ ْﻦ‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ٌ ُ
.‫ﻼﻡ‬ِ ‫ﺍ��ﻤﻞ����ﺛﻨﺎﻳﺎ�ﺍﻟﻜ‬
(I’rab adalah keterangan tentang kata atau frasa (jumlah) dari segi fungsi
(I’rab adalah
atau nilai-nilai keterangan
sintaksis, seperti tentang kata atau
keberadaan kata frasa (jumlah)musnad
itu sebagai dari segiilaih
fungsi
atau nilai-nilai
(subyek), sintaksis,
atau mudlof ilaih, seperti keberadaan
atau fa’il, atau maf’ulkataatau
itu sebagai
hal ataumusnad
lainnyailaih
dari(subyek),
segi
atau mudlofkata
fungsi-fungsi ilaih, atausuatu
dalam fa’il,frasa
atau atau
maf’ul ataufrasa
fungsi hal dalam
atau lainnya dari segi fungsi-
suatu kalimat)
fungsiPerbedaan
kata dalam suatu frasa atau fungsi frasa dalam suatu
definisi bukan hanya pada redaksinya, tetapi pada kalimat)
Perbedaan definisi bukan hanya pada redaksinya, tetapi pada sub­
substansinya. Secara singkat perbedaan itu menunjukkan belum
stan­sinya. Secara singkat perbedaan itu menunjukkan belum ditemukannya
ditemukannya hakekat i’rab. Untuk itu perlu verifikasi definisi agar dapat
hakekat i’rab. Untuk itu perlu verifikasi definisi agar dapat diperoleh hakekat
diperoleh
i’rab. hakekat i’rab.
2. Verifikasi Definisi I’rab
Definisi kelompok
2. Verifikasi Definisi I’rab pertama dan kedua yang menyebutkan bahwa
Definisi
i’rab adalah kelompok pertama
“pengubahan” dan kedua yang
atau “perubahan” akhirmenyebutkan
masing-masing bahwakatai’rab
adalah “pengubahan” atau “perubahan” akhir
karena perbedaan faktor yang memasukinya, menganggap bahwa i’rab masing-masing kata karena
ituperbedaan
adalah suatu faktor yangperubahan
proses memasukinya, yang menganggap
abstrak, tidakbahwa i’rabkonkret.
kelihatan itu adalah
suatu proses perubahan yang abstrak, tidak kelihatan konkret. Berubahnya
Berubahnya akhir kata itu tidak kelihatan, tiba-tiba saja tanda i’rab itu
akhir kata itu tidak kelihatan, tiba-tiba saja tanda i’rab itu berubah menjadi
berubah menjadi tanda i’rab yang lain.
tanda i’rab yang lain.
Definisi
Definisi iniini menganggap
menganggapbahwa bahwa i’rab
i’rab itu berada
itu berada di ketentuan
di antara antara
ketentuan
tanda i’rabtandayangi’rab
satuyang
dengansatu yang
dengan yang Padahal
lainnya. lainnya. masing-masing
Padahal masing- i’rab,
masing i’rab, yakni i’rab rofa’, nashab, jir dan jazm itu adalah
yakni i’rab rofa’, nashab, jir dan jazm itu adalah ketentuan setelah selesainya ketentuan
‘perubahan’
setelah itu, misalnya
selesainya ‘perubahan’ berubah
itu, menjadi
misalnya i’rab nashab,menjadi
berubah berubah i’rab
menjadi
i’rab jirberubah
nashab, atau menjadi
menjadi i’rab jazm
i’rab jiratau
ataumenjadi
menjadii’rab rafa’.
i’rab jazmJadi i’rab
atau itu bukan
menjadi
berada pada saat perubahan itu tetapi pada saat ketentuan setelah selesai
30Mahdi al-Mahzumi, Fi Fi
an-Nahwi
an-Nahwial-’Arabiy
al-’ArabiyNaqd
Naqdwawa
Taujih
Taujih(Beirut:
(Beirut:Shida,
������������������������������������������������������������������������������
Mahdi al-Mahzumi, Shida, Al-
Al-Maktabah
Maktabahal-’Ashriyah, 1964),
al-’Ashriyah, 1964),hlm. 67. 67.
hlm. Empat
Empatmacam
macam pengertian tentang
pengertian i’rabi’rab
tentang tersebut
merupakan
tersebut hasil pengelompokan
merupakan dari berbagai definisi
hasil pengelompokan dariyangberbagai
dikemukakan oleh para
definisi penulis
yang
buku-buku ilmu nahwu selama ini. Masing-masing kelompok definisi tersebut diwakili oleh
dikemukakan
satu definisi. oleh para penulis buku-buku ilmu nahwu selama ini. Masing-
masing kelompok definisi tersebut diwakili oleh satu definisi.
al-Mahāra, Vol. 1, No.1, Desember 2015/1437H | P-ISSN: 2477-5827/E-ISSN: 2477-5835 75
al Mahāra, Vol.1, No.1, Desember 2015/1436H
ISSN print: 2477-5835/ISSN online: 2477-5827
Tony Fransisca
i’rab rafa’. Jadi i’rab itu bukan berada pada saat perubahan itu tetapi pada
i’rab
saat rafa’. Jadi
ketentuan i’rab itu
setelah bukan
selesai berada pada
perubahan itu. saat perubahan itu tetapi pada
saat ketentuan
Pada saat setelah
i’rab rafa’.selesai
perubahanJadi itu perubahan
i’rab itu bukan
tidak itu.
berada pada
ada namanya, hanya saat perubahan
sekedar prosesitu tetapi pada
Pada
perubahan saja. saat perubahan
saat Kalau
ketentuan itu
setelah
divisualkan
Toni tidak
Pransiska ada
selesai
maka
| Konsepnamanya,
perubahan
tampak hanya
itu.
I’rab dalamseperti sekedar
pada
Ilmu Nahwu proses
tabel
(Sebuah Kajian Epistemologis)
perubahan
berikut ini: saja. Kalau divisualkan maka tampak seperti pada
Pada saat perubahan itu tidak ada namanya, hanya sekedar proses tabel
berikut ini: perubahan Perubahan
itu.
saja. KalauI’rab divisualkan
Kata Isim maka
dan tampak
Fi’il seperti pada tabel
Pada
berikut ini: saat perubahan
Perubahan itu
I’rab tidak
Kata ada
Isim namanya,
dan Fi’il hanya sekedar proses
Kata I’rab PP
perubahan saja. Kalau divisualkan I’rab PP I’rab
maka PP I’rab
tampak seperti pada tabel berikut
Perubahan I’rab Kata Isim dan Fi’il
Isim Rafa’ Kata I’rab
ini: Nashab PP I’rab PP I’rab
Jar Rafa’PP I’rabdst
Isim
Fi’il Rafa’ Perubahan
Rafa’ JazmNashab Kata Jar
I’rabI’rab
KataPP
Nashab IsimRafa’
I’rab PP
Jazm
dan dstPP I’rab
I’rab
Fi’il dst
Fi’il Rafa’ IsimJazm
Rafa’ Nashab Jar Jazm dst Rafa’ dst
Kata I’rab PP I’rab PP I’rab PP I’rab
Isim Rafa’ Fi’il
NashabRafa’
Jar Jazm Nashab dst Jazm dst
Rafa’
Tanda panah ( ) adalah keadaan kata sewaktu dalam proses
Tanda Fi’il
panahRafa’( Jazm
) adalah keadaan Nashab
katanashab sewaktu Jazm dalam dst
perubahan (PP) untuk berubah menjadi rafa' atau atau jazm proses atau
jarperubahan (PP) untuk
dan seterusnya. Tanda
Pada berubah
saat panah menjadi
proses ( perubahan )rafa'
adalahatau itu nashab
keadaan
tidak ada atau
kata jazmI’rab
sewaktu
i’rab. atau dalam proses
Tanda panah ( ) adalah keadaan kata sewaktu dalam proses
jar dan seterusnya.
itu ketentuan perubahan
sebelum dan Pada (PP) saat proses
untukproses
setelah perubahan
berubah itu
menjadi rafa'
perubahan. tidak ada
atau nashab i’rab. I’rab
atau jazm atau
perubahan (PP) untuk berubah menjadi Jadi rafa’kelihatan atau nashab jelas atau jazm atau
itu ketentuan
bahwa prosesjar sebelum
dan
perubahan dan
seterusnya.
itu setelah
bukan Pada proses
i'rab saat
atau perubahan.
proses
i'rab perubahan
itu Jadi
bukan kelihatan
itu
pengubahan tidak jelas
ada i’rab. I’rab
jar dan seterusnya. Pada saat proses perubahan itu tidak ada i’rab. I’rab itu
bahwa proses
dan juga bukan ituperubahan
ketentuan
perubahan.
ketentuan sebelumitu bukan
sebelum
Dengan danbahasai'rab
dan
setelah atau
setelah
Arab i'rab
proses proses
bisa itu bukan
perubahan.
dinyatakan
perubahan. pengubahan
Jadi bahwa: Jadi kelihatan
kelihatan jelas bahwajelas
َ bukan
�َ ْ ‫ ْ�ﻟ‬i'rab
dan juga bukan pro­sperubahan.
bahwa proses perubahan Dengan bahasa
ituّ i’rab Arab
bukan bisa atau dinyatakan
َ itu ُ ‫ﻹﺍﻋ َﺮ‬ ْ itubahwa:
es perubahan itu bukan ��‫�ﻭ�ﻻ�ﺑﺘﻐ‬
ّ �i'rab
atau �‫ﺘﻐﻴ‬i’rab
‫ﺲ ِ�ﺑ‬ ‫ﺍﺏ‬
َ ُ َ ْ
bukan pengubahan
pengubahan dan juga
bukan
dan jugaperubahan.
bukan perubahan. Dengan bahasa Dengan Arabbahasa bisa
��‫ﻹﺍﻋﺮﺍﺏ�ﻟ�ﺲ�ﺑﺘﻐﻴ���ﻭ�ﻻ�ﺑﺘﻐ‬ Arab dinyatakan bisa bahwa:
dinyatakan bahwa:
I’rab itu ada setelah selesai perubahan. Dengan ّ ِ demikian tidaklah َ �ْ ‫ﺍﺏ َ�ﻟ‬ ْ
ُ ‫ﻹﺍﻋ َﺮ‬
I’rab itu ada setelah selesai
tepat menyatakan bahwa i’rab itu pengubahan atau perubahan.perubahan. Dengan � �‫�ﻭ�ﻻ�ﺑﺘﻐ‬
demikian � �‫ﺘﻐﻴ‬ ‫�ﺑ‬
ِ ‫ﺲ‬
tidaklah
tepat menyatakan
Selanjutnya definisiI’rab bahwa
I’rab itu
kelompok ituada adai’rab
setelah
setelah
ketiga itumenyatakan
pengubahan
selesai perubahan.bahwa atau Dengan
Dengan
i’rab perubahan. demikiantidaklah
demikian
adalah tidaklah
Selanjutnya definisi
tepat
atsar (gejala) yang dianggap kelompok
menyatakan
menyatakan ketiga
bahwa
berubah-ubahbahwa dii’rabmenyatakan
itu
i’rab pengubahan
akhiritu bahwa
kata.pengubahan atau
Kelompok ketiga i’rab adalah
perubahan. Selanjutnya
atau perubahan.
atsar (gejala)
ini menyatakan definisi
yang
Selanjutnya kelompok
dianggap
bahwa definisi definisi ketiga
berubah-ubah
kelompok
inilah menyatakan
yang benar di akhir bahwa
ketigadengan kata.
menyatakan i’rab
Kelompok
alasan bahwa adalah atsari’rab
ketiga (gejala) yang
adalah
ini menyatakan dianggap berubah-ubah di akhir kata. Kelompok ketiga ini menyatakan
yang atsarbahwa
berubah-ubah (gejala) definisi
itu memang yang dianggapinilah
harakat yang yang benar
berubah-ubah adadengan di di akhirakhir alasan kata.
kata. bahwa
Kelompok ketiga
Jadi
yang bahwa
berubah-ubah definisi
itu inilah
memang yang
harakat benar yangdengan ada alasan
di akhir bahwa kata. yang Jadi berubah-ubah
ini menyatakan
itulah yang namanya i’rab. harakat
31 bahwa definisi inilah yang benar dengan alasan bahwa
itu memang yang ada di akhir kata. Jadi itulah yang namanya
itulahPadahal
yang namanya
yang sudah i’rab.
31berubah-ubah
31
disepakati ituoleh memang semua harakat
ulama yang nahwu ada di
bahwa akhir kata. Jadi
i’rab.
Padahal
itulahsudah
yang
Padahal
disepakati
ٌ ‫”ﺭ‬sudah
namanya oleh
i’rab. 31 semua ulama nahwu bahwa
harakat di akhir kata “‫ﺟﻞ‬ dan disepakati
“‫ ”ﺭﺟﻼ‬atauoleh “‫ﺟﻞ‬ semua
‫ “ﺭ‬adalah
ٍ KONSEP ulama
I’RAB tanda DALAMnahwu i’rab,
ILMU bahwa NAHWU harakat di
akhir kata Padahal
kata ٌ sudah
“‫ ”ﺭﺟﻞ‬dan “‫ ”ﺭﺟﻼ‬atau “‫ﺟﻞ‬ disepakati oleh semua
adalah tandaulama
Kajiani’rab, nahwu
i’rab,yang kadang- bahwa93
harakat di akhir
yang kadang-kadang berupa huruf bahkan membuang
ٍ ‫ “ﺭ‬huruf (Sebuah
atau
tanda
dikenal
Epistemologis)
Tony Fransisca
kadang berupa
harakat diberupa
akhir huruf
katabahkan ٌ ‫ ”ﺭ‬membuang
‫ﺟﻞ‬
“bahkan dan “‫ ”ﺭﺟﻼ‬huruf atau “atau‫ﺟﻞ‬ ‫“ﺭ‬dikenaladalahdengan tanda hadzaf,
i’rab,
yang kadang-kadang huruf membuang
: huruf ٍ
atau dikenal
dengan hadzaf,se­ perti dalam
seperti dalamkata-katakata-kataberikut berikutini ini :‫�ﻻﺗﺘﺨﻴﻠﻮﺍ‬,‫ﺍﳌﺴﻠﻤﻮﻥ‬.. Perlu dicermati de­
dengan hadzaf, yang
ngan kadang-kadang
seksama
seperti dalam bahwa berupa
alamat
kata-kata huruf
atau
berikut tandabahkan
ini :‫�ﻻﺗﺘﺨﻴﻠﻮﺍ‬,
sesuatu membuang ‫ﺍﳌﺴﻠﻤﻮﻥ‬
itu bukan.huruf sesuatu
Perlu atau itudikenal
sendiri.
dicermati dengan sesuatu
seksama itu sendiri.
bahwa Tanda
alamat i'rab
atau kata
tanda itu sesuatu
tidak sama itu dengan
bukan i'rab kata. I'rab
Tan­da i’rab
dengan hadzaf, kata itu tidak
seperti dalam sama
kata-katadengan i’rab ini
berikut kata. :‫�ﻻﺗﺘﺨﻴﻠﻮﺍ‬, I’rab adalah ‫ﺍﳌﺴﻠﻤﻮﻥ‬ i’rab dan
Perlu
dicermati dengan adalah
tanda
seksama
i’rabi'rabadalah
bahwa
dan tanda
tanda
alamati'rab
i’rab
atau
adalah
dan
tanda
bukan tanda sesuatu
i’rab. i'rab Dengan danitu bukan
bukan
demikian, i'rab..definisi
Dengan
yangdemikian,
dicermati dengan
menyatakan definisi bahwayangi’rab
seksama menyatakan
bahwa alamat
itu adalah bahwa ataui'rab
harakat tanda atau itusesuatu
adalah harakat
dinyatakan itu bukan
denganatau
31Ahmad bin Abdullah bin Hisyam, Syarh Syudhur al-Dhahab....hlm. 12.
dinyatakan
(atsar) sebetulnya denganbukan (atsar)
definisi sebetulnya
i’rab, karena bukan memangdefinisiI’rab i'rab,itu karena
bukan memang
tanda
31Ahmad bin Abdullah bin Hisyam, Syarh Syudhur al-Dhahab....hlm. 12.
I'rab
i’rab. itu bukan
Dengan bahasatanda Arabi'rab. dapatDengan dinyatakanbahasa bahwa: Arab dapat dinyatakan bahwa:
31Ahmad bin Abdullah bin Hisyam, Syarh Syudhur al-Dhahab....hlm. 12.
al Mahāra, Vol.1, No.1, Desember 2015/1436H ‫ﻹﺍﻋﺮﺍﺏ�ﻟ�ﺲ�ﺑﺄﺛﺮ�ﻭﻻ��ﻌﻼﻣﺔ�ﻹﺍﻋﺮﺍﺏ‬
ISSN print: 2477-5835/ISSN
al Mahāra, online:2015/1436H
Vol.1, No.1, Desember 2477-5827
ISSNJadi
Jadi i’rabi’rab
print: itu itu bukan
bukan
2477-5835/ISSN atsar.
atsar.
online: Definisikeempat
Definisi
2477-5827 keempatmenerangkan
menerangkanbahwa
bahwa
al Mahāra, Vol.1, No.1, Desember 2015/1436H
i’rab adalah
i’rab adalahbayân
bayân(keterangan).
ISSN(keterangan). Definisi
Definisi
print: 2477-5835/ISSN ini
inimenekankan
2477-5827 fungsi
menekankan
online: fungsii’rab
i’rabyang
yang
dimanfaatkan
dimanfaatkan sebagai
sebagai petunjuk
petunjuk tentang
tentangfungsi
fungsikata
katadalam
dalamsuatusuatukalimat.
kalimat.
Misalnya
Ahmaddiketahui bahwa
bin Abdullah i’rab suatu
bin Hisyam, Syarh kata itual-Dhahab....hlm.
Syudhur rafa’ maka yang
�������������������������������������������������������������������� 12. dipahami
dari i’rab kata tersebut adalah bahwa kata itu memiliki fungsi kata-kata
76 al-Mahāra, Vol. 1, No.1, Desember 2015/1437H | P-ISSN: 2477-5827/E-ISSN: 2477-5835
yang beri’rab rafa’, yang mungkin sedang berfungsi sebagai fa’il atau
mubtada’ atau na’ib al-fa’il dan sebagainya.
Dengan demikian maka penyebutan i’rab rafa’ untuk kata tersebut
tidak lain adalah untuk menentukan fungsi kata, yang selanjutnya dapat
Toni Pransiska | Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu (Sebuah Kajian Epistemologis)

Misalnya diketahui bahwa i’rab suatu kata itu rafa’ maka yang dipahami
dari i’rab kata tersebut adalah bahwa kata itu memiliki fungsi kata-kata yang
beri’rab rafa’, yang mungkin sedang berfungsi sebagai fa’il atau mubtada’
atau na’ib al-fa’il dan sebagainya.
Dengan demikian maka penyebutan i’rab rafa’ untuk kata tersebut
tidak lain adalah untuk menentukan fungsi kata, yang selanjutnya dapat
di­pahami maksud kalimat dengan sempurna sesuai dengan fungsi masing-
masing kata yang telah diketahui i’rabnya. Definisi keempat sampai se­
batas ini bisa dinyatakan sebagai definisi praktis. Orientasinya adalah ke­
gu­naan i’rab itu sendiri. Sebuah kalimat bisa dipahami maksusdnya bila
fungsi masing-masing kata itu dipahami berdasarkan uraian menurut jaba­
tan­nya, misalnya sebagai subyek atau mubtada’, sebagai fa’il atau maf’ul
dan seterusnya. Jabatan masing-masing kata itu diketahui melalui macam
i’rabnya. Macam i’rab kata tersebut menunjukkan fungsi dan jabatan kata
itu dalam sebuah kalimat.
Dalam pandangan selintas tampaknya dapat dipahami bahwa i’rab
itu merupakan suatu keterangan tentang fungsi kata dalam suatu kalimat.
Akan tetapi definisi demikian tidak menerangkan tentang hakekat i’rab.
Definisi tersebut menunjukkan guna atau faedah i’rab dalam suatu kalimat
bu­kan hakekat i’rab. I’rab bisa digunakan untuk menerangkan fungsi kata
RAB DALAM ILMU NAHWU
dalam kalimat, dan fungsi atau guna ideal i’rab itu bukan hakekat i’rabnya.
ajian Epistemologis)
isca Jadi definisi keempat tersebut tidak menunjukkan hakekat i’rab, tetapi
fungsinya. Dari uraian-uraian tersebut di atas perlu kiranya diinsafi bahwa
sampai sejauh ini sebetulnya hakekat i’rab belum dimunculkan. Oleh karena
pang siur mengenai i’rab. Ini salah satu alasan perlu
itu tidak heran bila banyak keterangan simpang siur mengenai i’rab. Ini salah
ang tentang satui’rabalasan
agar pembelajaran
perlu adanyailmu kajiannahwu
ulangmenjadi
tentang i’rab agar pembelajaran ilmu
harus menghindari keberadaan i’rab sepeti
nahwu menjadi mudah tanpa harus menghindari dalam keberadaan i’rab sepeti
gan bahasa Arab dalam Amiyah.
percakapan dengan bahasa Arab Amiyah.
dan Fungsi Tanda I’rab
mempermudah 3. Realitas I’rab dan
pembelajaran ilmuFungsi
nahwu Tanda I’rab cara
dengan
salah i’rab, yaitu Upaya mempermudah
dengan cara pembelajaran
selalu mewaqafkan dalam ilmu nahwu dengan cara
menghindari masalah i’rab,
kata-kata dalam suatu kalimat berkaitan erat denganyaitu dengan cara selalu mewaqafkan dalam
tiap pembacaan kata-kata dalam suatu kalimat berkaitan erat dengan ang­
a ilmu nahwu itu sebagai alat untuk membaca kitab
ga­­pan bahwa ilmu nahwu itu sebagai alat untuk membaca kitab gundul.
tetapi cara Akandemikian
tetapi ini
carapada gilirannya
demikian ini padaakan tetapakan tetap menemui kesulitan
gilirannya
tan karena karena
kata-kata Arab meskipun
kata-kata Arab meskipun diwaqafkan tetaptetap saja memiliki tanda i’rab
diwaqafkan
nda i’rab dan dan tidak
tidak bisa dihilangkan,
dihilangkan,misalnya
misalnyadalam
dalamkalimat: Ja’a al-Muslimuna
Muslimuna (‫)ﺟﺎءﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ‬,, tetap
tetap saja
sajaadaada tanda
tanda i’rabnya
i’rabnya meskipun dibaca waqaf, karena
a waqaf, karenapada pada
dasarnya mewaqafkan
dasarnya mewaqafkanitu bukan
itu menghilangkan
bukan tanda i’rab.
anda i’rab. Dari kajian tentang definisi-definisi tersebut kelihatan bahwa ternyata
an tentang definisi-definisi tersebut kelihatan bahwa
u hanyalah sebuah istilah
al-Mahāra, untuk
Vol. 1, No.1, mengklasifikasikan
Desember kata-
2015/1437H | P-ISSN: 2477-5827/E-ISSN: 2477-5835 77
gga berada dalam klasifikasi rafa’, nashab, jir dan jazm
da keadaan akhir kata yang menjadi tanda i’rab.32Dengan
kian maka setiap kata yang memiliki tanda i’rab berarti ia
Toni Pransiska | Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu (Sebuah Kajian Epistemologis)

i’rab itu hanyalah sebuah istilah untuk mengklasifikasikan kata-kata Arab


sehingga berada dalam klasifikasi rafa’, nashab, jir dan jazm berdasarkan
pada keadaan akhir kata yang menjadi tanda i’rab.32 Dengan penjelasan
demikian maka setiap kata yang memiliki tanda i’rab berarti ia mu’rab dan
apabila kata itu tidak memiliki tanda i’rab, sehingga tidak ada bedanya
meskipun diklasifikasikan dalam klasifikasi rafa’, atau nashab, atau jir atau
jazm, maka kata itu disebut mabni. Jadi munculnya istilah mabni ini karena
adanya usaha mengklasifikasikan kata yang tidak memerlukan klasifikasi.
Selanjutnya definisi i’rab demikian menjadikan istilah alamat i’rab
muqaddar atau i’rab taqdiri tidak berlaku. Tanda i’rab itu tidak muqaddar. Bila
tanda i’rab itu muqaddar itu berarti berlawanan dengan namanya sendiri.
Sebuah tanda itu konkret, atau hissiy atau inderawi, bisa dilihat ketika ditulis
dan bisa diketahui melalui pendengaran ketika diucapkan.
Sangat jauh dari pemahaman logis ketika dinyatakan bahwa tanda
i’rab itu muqaddar atau diperkirakan. Kalau diperkirakan itu berarti tidak
ada tanda. Cukup saja dinyatakan kata itu tidak memiliki tanda i’rab yang
mem­bedakan ketika dalam klasifikasi rafa’ atau nashab atau jir atau jazm.
Oleh karena itu kata-kata demikian ini, yang tidak memiliki tanda i’rab,
apabila dii’rabi atau diklasifikasikan maka cara mengi’rabinya terbalik.
Artinya, kegiatan menentukan i’rab atau klasifikasi kata itu berdasarkan
pada fungsinya dalam kalimat atau posisinya dalam struktur kalimat.
Proses mengi’rabi demikian ini berarti harus mengerti dulu maksud
kalimat atau fungsi kata itu dalam kalimat supaya tahu i’rabnya. Proses
demikian ini proses mubaddzir yang sia-sia, karena tidak ada gunanya kata
itu dii’rabi bila sudah diketahui maksudnya. Lagi pula setelah dii’rabi atau
diklasifikasi ternyata kata tersebut tetap saja tidak ada tanda yang perlu
dibenahi. Ini berbeda dengan kata-kata yang memiliki tanda i’rab dimana
cara mengi’rabinya berdasarkan pada tanda i’rab yang ada pada kata itu,
baru kemudian diketahui fungsi kata itu dalam kalimat. Setelah diketahui
fungsinya maka diketahui makna kalimat secara utuh. Dengan demikian
kelihatan jelas fungsi tanda i’rab itu, yaitu untuk menunjukkan i’rab atau
klasifikasi kata.33
Setelah tahu i’rab suatu kata atau klasifikasi kata maka diketahui fungsi
kata dalam kalimat dan dipahami maksud kalimat secara utuh. Kajian ini
sekaligus memberikan informasi tentang fungsi tanda i’rab. Adapun sebutan
mabni maka istilah tersebut muncul karena adanya kata yang tidak memiliki
tanda i’rab tetapi tetap saja dipaksakan untuk dii’rabi atau diklasifikasikan

32 Lihat ��������������������������������������������������������������������������������
Saidun Fiddaroini, Falsafat al-I’rab (Surabaya: Lajnah al-Ta’lif Wa al-Nasyr li
Nahdlati al-’Ulama’I Jawa Timur, 2004), 105.
�����������������������������������������������������������������������������
Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya:
Jauhar, 2006), 104.

78 al-Mahāra, Vol. 1, No.1, Desember 2015/1437H | P-ISSN: 2477-5827/E-ISSN: 2477-5835


Toni Pransiska | Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu (Sebuah Kajian Epistemologis)

menjadi rafa’, nashab, jir, atau jazm. Padahal kata-kata demikian tidak
memerlukan i’rab karena tidak punya tanda i’rab yang bisa membedakan.
Dari sini dapat dipahami bahwa i’rab taqdiri dan mahalli adalah i’rab main-
main, karena tidak ada manfaatnya sama sekali kecuali justru mempersulit
dan menjadikan langkah mundur ketika sedang belajar bahasa Arab.
Bila sudah paham maksud kalimat maka tidak lagi diperlukan mencari
i’rab kata itu. Boleh jadi, ini yang menyebabkan orang berpendapat bahwa
i’rab itu sebetulnya tidak ada. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa i’rab itu
ada dan perlu. Hanya saja keberadaan dan keperluannya itu tidak harus
mempersulit atau menjadikan proses pemahaman bahasa Arab itu terhambat
atau mundur. Inilah gunanya konsep baru tentang i’rab yang dikemukakan
dalam tulisan ini.34
Dengan hadirnya konsep baru tentang i’rab ini diharapkan konsep
lama sudah tidak perlu dihadirkan lagi kecuali dalam tataran wacana dan
untuk tinjauan ulang. Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran ilmu nahwu
sesuai dengan orientasi ilmu nahwu itu sendiri sebagai gramatika, bukan
sebagai alat untuk mencari-cari ketentuan i’rab suatu kata yang tidak
memiliki tanda i’rab.35 Kata-kata dalam sebuah kalimat itu sendiri yang
telah menunjukkan i’rabnya melalui tanda i’rabnya yang tidak muqaddar,
baru kemudian setelah diketahui i’rabnya maka dengan ilmu nahwu dapat
diketahui fungsi kata dalam kalimat tersebut, yang selanjutnya dapat
dipahami maksud kalimat.36
Dengan orientasi demikian maka pembahasan ’jelimet’ tentang i’rab
kata dalam sebuah kalimat tidak akan terjadi, karena penentuan i’rab kata
dan kegunaan ilmu nahwu itu sendiri sudah berada jauh di belakang kepala
bila suatu kalimat itu sudah dapat dipahami. Dari sini dapat diinsafi bahwa
pada dasarnya ilmu nahwu itu hanya diperlukan bagi orang yang berbahasa
Arab sebagai bahasa kedua, bukan bagi orang yang berbahasa Arab secara
otomatis seperti bangsa Arab yang memakainya sebagai bahasa ibu. Itulah
guna gramatika bahasa Arab atau ilmu nahwu bagi pembelajaran bahasa
Arab dalam konteknya sebagai alat komunikasi.37

Simpulan
Ilmu nahwu merupakan sebuah ilmu penting dalam menjaga kaidah
tata bahasa arab supaya bahasa arab itu terjaga dari kerusakan dan bercampur
dengan dialek amiyah. Dalam penyusunannya terdapat berbagai polemik
dimulai dari berdirinya mazhab Basrah sebagai sumber dan mazhab nahwu
34 Ibid., hlm. 106
35 Ibid., hlm. 109
��������������������������������������������������
Saidun Fiddaroini, Falsafat al-I’rab....hlm. 110
������������������������������������������������������������������������������
Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab....hlm. 111.

al-Mahāra, Vol. 1, No.1, Desember 2015/1437H | P-ISSN: 2477-5827/E-ISSN: 2477-5835 79


Toni Pransiska | Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu (Sebuah Kajian Epistemologis)

tertua, dalam periodesasinya munculah mazhab Kufah sebagai saingan


mazhab Basrah kemudian disusul mazhab Bagdad, mazhab Andalus dan
Mesir. Setiap mazhab mempunyai metode dan analisis berbeda dalam
penyusunan ilmu nahwu terkadang dengan adanya mazhab-mazhab tersebut
ilmu nahwu dirasakan sulit untuk dipelajari tetapi dalam perkembangannya
ilmu nahwu mencapai taraf kematangan dan kesempurnaan sehingga lebih
mudah dipelajari dan dipahami.
Namun demikian adanya terdapat kerancuan dalam konsep i’rab
dalam pembahasan ilmu nahwu. Konsep tentang i’rab harus diluruskan. I’rab
selama ini masih didefinisikan sebagai taghyîr (pengubahan) atau taghoyyur
(perubahan) atau atsar (gejala alamat i’rab) atau juga didefinisikan sebagai
bayân (keterangan tentang jabatan kata dalam kalimat). Konsep-konsep i’rab
tersebut belum menyentuh aspek substansinya itu sendiri. Sehingga perlu
diadakannya proses verifikasi konsep-konsep tersebut agar dapat diperoleh
hakekat i’rab yang sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas Hasan, An Nahwu al-Wafi, Kairo: Dar al-Maarif, Vol.I. 1966.


Abd al-Al Salim Mukrim, al-Qurân al-Karîm wa atsaruhu Fi al-Dirâsât al-
Nahwiyyah,Mesir: Dar al-Maarif, t.t.
Abdul Aziz Ahmad Allam, Min Târihk al-Nahwi al-Arabi, dalam majalah
“Majallah”, edisi II, tahun ke –2 , 1401/1402 H. KSA.
Abdullah bin Ahmad al- Fakihi, Syarh al-Fawakih al-Janiyah ‘ala Mutammimah
al- Ajrumiyah, Bandung: Syirkah al-Ma’arif, t.t.
Ahmad Afify. Al-Mandzumah Al Nahwiyah Al- Mansubah Li al-Khalil bin Ahmad
Al Farahidy.Cairo: Al Daar Al Manshuriyah Al Baniyah, 2003.
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Mesir: Maktabah Al-Nahdah Al-Mishriyyah,
1974.
Ahmad bin Abdullah bin Hisyam, Syarh Syudhur al-Dhahab, Surabaya: Al-
Maktabah as-Saqofiyah, t.t.
Amîn al-Khûli, Manâhij Tajdîd: Fi al-Nahwi wa al-Balâgah wa al-Tafsîr wa al-
Adab,Mesir: Dar al-Ma’rifah, 1961.
Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah, Beirut: Dar Al-Fikr, tt.
Lois Ma’luf, Al Munjid Fi Al Lunghah Wa Al A’lam. Beirut: Al Maktabah Al
Syarqiyah, 1986.
Mahdi al-Mahzumi, Fi an-Nahwi al-’Arabiy Naqd wa Taujih, Beirut: Shida, Al-
Maktabah al-’Ashriyah, 1964.
Muhammad Al Thanthawiy, Nasy`Ah Al Nahw Wa Tarîkh `Asyhar Al Nuhâh.

80 al-Mahāra, Vol. 1, No.1, Desember 2015/1437H | P-ISSN: 2477-5827/E-ISSN: 2477-5835


Toni Pransiska | Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu (Sebuah Kajian Epistemologis)

Lubnan: Alam Al Kutub, 1997.


Muhammad Muhyiddin Abd al-Hamid, Audloh al-Masalik Ila Alfiyah Ibn
Malik Beirut: Shida, Al-Maktabah al-’Ashriyah, t.t.
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Said Al-Afghani, Min Târîkh Al-Nahwi, Beirut: Dar Al-Fikr, tt.
Saidun Fiddaroini, Falsafat al-I’rab, Surabaya: Lajnah al-Ta’lif Wa al-Nasyr li
Nahdlati al-’Ulama’I Jawa Timur, 2004.
, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab, Surabaya: Jauhar,
2006.
Syathir Ahmad Muhammad, Al-Mujaz Fi Nasy’ah Al-Nawy,Cairo: Maktabah
Al-Kulliyah Al-Azhariyah, 1983.
Syauqi Dhaif, Al-Madâris Al-Nahwiyyah, Mesir: Dar Al-Maaris, t.t.
Tallal Allamah, Tatawwur Al Nahwi Al Arabi Fi Madrasatai Al Bashrah Wa Al
Kufah. Beirut: Darl Al Fikr Al Lubnani, 1993.
Ukon Purkonudin, Sejarah Penyusunan Nahwu. http://ukonpurkonudin.blogspot.
com/2010/09/pendahuluan-salah-satu-cara-untuk.html. 2013.
Zamzam Affandi Abdillah, Ilmu Nahwu: Prinsip-Prinsip Dan Upaya
Pembaharuannya, www. http//blogspotzamzam.com. 2013.

al-Mahāra, Vol. 1, No.1, Desember 2015/1437H | P-ISSN: 2477-5827/E-ISSN: 2477-5835 81


Toni Pransiska | Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu (Sebuah Kajian Epistemologis)

82 al-Mahāra, Vol. 1, No.1, Desember 2015/1437H | P-ISSN: 2477-5827/E-ISSN: 2477-5835

Anda mungkin juga menyukai