Anda di halaman 1dari 10

ARTIKEL

ILMU NAHWU
_________________________________________________
“SEJARAH ILMU NAHWU DAN PERKEMBANGANNYA”

NINIS DUROTUNNISWAH

BAHASA DAN SASTRA ARAB UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN


MAULANA HASANUDDIN BANTEN
Email : ninisniswah5@gmail.com

ABSTRAK
Ilmu nahwu yaitu ilmu yang berkaitan satu sama lain dengan ilmu sharof,
mempunyai peranan penting didalam pembelajaran Bahasa arab, yang lahir karena
kesalahan orang-orang Ajamy (orang atau masyaratakat non-Arab) dalam
berbahasa pada masa khalifah Ali Bin Abdul Thalib. Perkembangan ilmu nahwu
pada abad pertama hijriyah yaitu dimulai dari kota basrhrah, kemudian meluas
hingga sampai kekota mekkah dan Madinah. Hampir semua ahli Bahasa arab
menyepakati bahwasanya Ali bin Abi Thalib yang pertama mendirikan dan
mengembangkan ilmu nahwu. Hasil pemikiran ini diungkapkan oleh Ali Bin Abi
Thalib ketika dia mendirikan pemerintahan, gagasan ini muncul karena beberapa
faktor penyebabnya, antara lain faktor agama terutama dalam upaya
penyempurnaan Al-Quran dari lahn (salah baca). Masalah ini sebenarnya sudah ada
pada zaman kenabian, kemudian berlanjut ke khalifah Arrasyidin. Kemudian, lahn
menjadi unggulan dan kesadaran serta perhatian secara kolektif pada zaman dinasti
Bani Umayyah karena kebanyakan orang melakukan kesalahan dalam
menggunakan Bahasa arab, tidak hanya dilakukan oleh masyarakat saja, akan tetapi
juga oleh ahli Bahasa arab

Kata kunci : Ulama ilmu nahwu, pakar Bahasa dan lahn


ABSTRACK

The science of nahwu, namely the science that connects one another with the
science of sharof, has an important role in learning Arabic, which was born because
of the mistakes of Ajamy people (non-Arabic people or people) in language during
the time of caliph Ali Bin Abdul Talib. The development of nahwu science in the
first century of Hijriyah, starting from the city of Basrah, then extending to the cities
of Mecca and Medina. Almost all Arabic linguists agree that it was Ali bin Abi
Talib who first founded and developed the science of nahwu. The results of this
thought were put forward by Ali Bin Abi Talib when he founded the government,
this idea arose due to several factors, including religious factors, especially in
efforts to perfect the Al-Quran from land (misreading). This problem actually
existed during the prophetic era, then continued to the caliph Arrasyidin. Then, land
became a priority and collective awareness and attention during the Umayyad
dynasty because most people made mistakes in using Arabic, not only by the public,
but also by Arabic linguists.

Keywords: nahwu scholars, linguist and land experts

PENDAHULUAN

Ilmu nahwu (gramatika Bahasa arab) sejak awal perkembangannya sampai


sekarang senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis di kalangan para pakar
Bahasa arab. Ilmu nahwu yaitu sebagai salah satu cabang untuk kita berbahasa
(ilmu lughoh), ilmu nahwu dapat di pelajari untuk dua keperluan. Pertama, ilmu
nahwu dipelajari sebagai syarat atau sarana untuk mendalami dibidang ilmu-ilmu
lainnya yang mereferensikan utama ditulis dengan Bahasa arab, misalnya ilmu
tafsir, ilmu hadist, dan ilmu fiqih. Kedua, ilmu nahwu juga dipelajari sebagai tujuan
utama yaitu (sebagai spesialisasi linguistic Bahasa arab). Dua bentuk tersebut yaitu
pembelajaran tentang ilmu nahwu yang telah menjadi tradisi yaitu berkembang
secara berkesinambungan dikalangan masyarakat arab (islam) pada zaman dahulu
sampai sekarang.
Hampir semua masyarakat Islam dari sejak akhir abad pertama sampai sekarang
memiliki banyak keterampilan yang baik. Yaitu Informasi tentang ilmu Nahwu.
Bahkan tidak semua mereka yang menjadi ahli dalam bidang ilmu nahwu itu di
samping keahlian agamanya. Misalnya, imam Ibnu Katsir, An-Nawawi, Jalaluddin
as-Suyuthi, lbnu Hisyam dan al-Zamakhsyari, beliau adalah tokoh-tokoh yang
handal dalam bidang ilmu agama, sekaligus keahliannya dalam nahwu juga diakui
di kalangan ulama bahkan terkenal didunia sampai saat ini.

Di Indonesia tokoh agama yang masyhur yaitu seperti Syekh Nawawi Al-Bantani,
Buya Hamka, Prof. Mahmud Yunus dan K.H. Bisri Mustafa juga memiliki
penguasaan Nahwu yang mendalam, bahkan rata-rata mereka menulis atau
menerjemahkannya lebih dari satu kitab Nahwu. Sedangkan tokoh nahwu seperti
Imam Sibawaih, Al-Farra', Ibnu Jinny dan Ibnu Yaisy lebih dikenal sebagai ahli
ilmu nahwu.

Syauqi Dlaif yaitu membagi pengembangan ilmu nahwu dari beberapa, menurut
mazhab, mengidentifikasi beberapa tokoh dominan di masing-masing mazhab. Dia
menamai lima sekolah Nahwu secara kronologis yaitu: (1) sekolah Basra, (2)
sekolah Kufah, (3) sekolah Bagdad,

(4) sekolah Andalusia, dan (5) sekolah Mesir. Dia menamai dua sekolah pertama
yaitu di Basr dan Kufah arus utama, karena sama-sama memiliki wibawa dan
kemandirian yang tinggi, kedua aliran tersebut juga memiliki pendukung yang
banyak dan fanatik, sehingga dapat mewarnai aliran-aliran berikutnya. Tiga aliran
yang tersisa disebut aliran turunan, yang didasarkan pada salah satu aliran utama
atau merupakan hasil kombinasi keduanya.

Di Indonesia, menurut perkembangan Islam yaitu ilmu yang banyak belajar namun.
Akan tetapi ilmu nahwu di Indonesia lebih merupakan alat (belajar bahasa Arab)
daripada tujuannya. Akibatnya, buku-buku praktis dan berorientasi pada buku teks
yang isinya menunjuk pada peran nahwu sebagai sarana belajar agama (Islam)
banyak menjadi referensi kajian-kajian, sedangkan buku-buku sejarah teoretis
umumnya kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu tidak mengherankan jika
referensi nahwu yang terdapat di pesantren dan perguruan tinggi Islam adalah kitab-
kitab seperti Al-Ajrumtyyah dengan berbagai syarahnya, Al.fiyah Ibnu Malik
dengan berbagai syarahnya dan Al-Umrithiy. Sementara kitab-kitab yang mengacu
pada aspek sejarah kurang populer, seperti Ibnu Jinny Sirru Shina'atil l'rab, Jalaludd
As-syuyuthi Al-Mazhar dan lbnu Hisyami Mizanudz Dzahab. 1

PEMBAHASAN

Ushul ilmu nahwu adalah ilmu yang membahas atau mempelajari aladillah an-
nahwiyah (sumber hukum nahwu), tata cara mengeluarkan kaidah nahwu dan
penerapannya. Adapun yang dimaksud dengan al-adillah, an-nahwiyah adalah
sama', qiyâs, ijmâ' dan istishâb. Konsep ushul nahwu pertama kali muncul pada
abad ke-4 H oleh Ibnu as-Sarraj, kemudian dikemukakan oleh Ibnu Jinni, kemudian
pada abad ke-6 H, disusul lagi oleh al-Anbari dan as-Suyuti. Istilah ushul an-nahwu
muncul dalam berbagai bentuk di kalangan ulama nahwu yang diilhami oleh fiqh
atau wacana keilmuan yang dikembangkan oleh ulama ushul fiqh. Ilmu Ushul-fiqh
merupakan ilmu yang paling banyak mempengaruhi kajian Ushul nahwu. Hal ini
terlihat dari banyaknya ungkapan yang digunakan dalam ilmu ushul nahwu yang
diambil dari syarat-syarat ushul-fiqh.2

Seiring meluasnya wilayah daulani, banyak terjadi percampuran antara orang Arab
asli dan non-Arab lainnya. Seperti yang telah disebutkan di atas, mereka mulai
menggunakan bahasa Arab dalam percakapan mereka, dan di sini mulai muncul
penyimpangan dari bahasa Arab. Masalah ini sangat memprihatinkan dan menjadi
perhatian para pemikir bahasa Arab sehingga para ahli berusaha untuk mencari
solusi dari suatu masalah yang jika tidak ditanggulangi akan mempengaruhi
keberlangsungan bahasa Arab itu sendiri. Imam Ali bin Abi Thalib menjadi salah
seorang yang paling bertanggung jawab pada masa itu ketika menjadi khalifah dan
pemimpin daulat Islam. 3 Jadi tentu saja jika dia yang pertama memikirkan cara
untuk menyelesaikan masalah ini. Apalagi beliau adalah orang yang sangat paham
fasyahih dan balaghah, sehingga beliau tidak bisa diam ketika menghadapi
masalah ini. Namun karena saat itu beliau mengkhawatirkan perang di negeri yang
tidak bisa ditolak, beliau memilih salah satu muridnya yaitu Abu al-Aswad ad-

1
Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya, (Yogyakarta;Pustaka Pelajar, 2004)
2
Jurnal ilmu-ilmu keislaman 4 (1), 15-15 2019
3
Dendy Sugono dkk, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta; Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008), 993.
Du'al. Ilmu Nahwu merupakan pencipta peradaban yaitu agama Islam masuk ke
dunia Arab. Perkembangan ilmu Nahwu pada abad pertama tahun Hijriah dimulai
di kota Bashra, yang kemudian meluas hingga Mekkah di bawah peran Ibnu Abbas
dan Madinah berkat peran Abdurrahman bin Hurmuz. al-Madani. Begitulah ilmu
nahwu menyebar dan berkembang di berbagai kota bahkan negara sejak hijriah
pertama hingga saat ini. 4 Semakin meluasnya ekspansi islam ke negara-negara
timur tengah yang disebabkan karena penaklukan yang terjadi pada Khalifah Ali
Bin Abdul Thalib dan semakin banyaknya orang-orang Ajamy yang memeluk
agama islam menyebabkan bertambahnya Lahn daan juga atau kesalahan karena
orang-orang Ajamy juga belum pernah berbahasa dengan Bahasa arab yang baik.5
Kesalahan-kesalahan tersebut semakin menguatkan akan adanya kebutuhan
mengenai dirumuskannya dasar kaidah-kaidah dalam bahassa arab, masalah
pertama yang untuk dipeajari dalam bahsa arab adalah ilmu nahwu. Karena Lahn 6
(miss grammatical) banyak sekali yang terjadi dikalangan mawali (non arab) dan
muta’arrib (orang asing) dimasa nabi Muhamma Saw.

Hampir semua ahli bahasa Arab sepakat bahwa gagasan awal yang kemudian
berkembang menjadi ilmu Nahwu berasal dari Ali bin Abi Thalib ketika menjadi
khalifah. Gagasan ini muncul karena didorong oleh beberapa faktor, antara lain
faktor agama dan faktor sosial budaya. 3 Faktor agama di sini terutama adalah mumi
Zahn (salah membaca) Al-Quran. Padahal, fenomena Zahn sudah muncul saat Nabi
Muhammad Saw masih hidup, namun efeknya masih jarang. Dalam salah satu
riwayat dikatakan bahwa ada yang mengatakan sesuatu yang salah (dalam hal
bahasa) di depan Nabi, maka dia berkata kepada para sahabatnya: "Arsyidii
akhiikum fa innahu qad dZalla" (Bimbinganlah temanmu, dia memang telah
tersesat). Kata dZalla “hilang” dalam Hadits merupakan peringatan keras dari Nabi.
Kata tersebut memiliki makna yang lebih kuat daripada akhtha'a 'salah' or.zal/a.
'senonoh'. Dalam riwayat lain, Umar bin Khattab berpapasan dengan orang-orang

4
Umi Nurun Ni’mah, Dasar-Dasar Penyusunan Nahwu Syauqi Dhaif (Kajian Epistemologi atas
Karya Syauqi Dhaif Tajdid an-Nahwu dan Taisir an-Nahwu at-Ta’limy Qadiman wa Haditsan),
dalam Adabiyyat Jurnal Bahasa dan Sastra Arab Vol.6, No. I Maret 2007, (yogyakarta; Fakultas
Adab Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga), 63.
5
‘Abdul Hadi Fadli. Marâkiz ad-Dirâsat An-Nahwiyyah. (Yordania; Makatabah alManar 1986), 7
6
Lahn adalah kesalahan didalam bahasa
yang menyakiti Romawi, kemudian Nabi memarahi mereka, kemudian mereka
menjawab: “innii qawmun muta’allimin” artinya kita adalah orang terpelajar, tetapi
dalam kata bisu tata bahasanya salah. allimin, apa sebenarnya bodoh 'allimim.
Kemudian Umar bin Khattab menjadi marah kepada mereka dan berkata: "Demi
kekuasaan Allah! Kesalahan lidahmu lebih mematikan daripada kesalahan yang
kamu lakukan terhadap orang Romawi." Negara atau bangsa non-Arab lainnya.
Saat itu, budaya dan pengaruh timbal balik bahasa Arab dan bahasa lain mulai
terjadi. Orang non-Arab di Arab sering berbicara zahn dalam bahasa Arab,
sehingga mereka khawatir hal ini juga terjadi saat membaca Al-Qur'an.

Masalah “Zahn” sebenarnya mulai muncul setelah Nabi saw. itu masih. Hal ini juga
terjadi pada masa al-Khulafa' al-Rasyidin. Namun, pada masa pemerintahan Bani
Umayyah, muncul wilayah perhatian dan kesadaran kolektif baru, ketika kesalahan
linguistik dilakukan tidak hanya oleh orang biasa (lahn), tetapi juga oleh orang-
orang yang dianggap ahli bahasa. Dari segi sosial budaya, orang Arab bisa memiliki
kebanggaan besar dan bahasa fanatiknya. Hal ini mendorong mereka untuk
mencoba memurnikan bahasa Arab dari pengaruh asing. Kesadaran ini semakin
mengkristal, sehingga setahap demi setahap mereka mulai berpikir untuk
membakukan bahasa dalam bentuk kaidah. Selain itu, atas prakarsa Khalifah Ali
dan dengan dukungan tokoh-tokoh yang bertentangan pada bahasa Arab dan
Alquran, kerangka teori secara bertahap dikembangkan, yang kemudian menjadi
pelopor pertumbuhan ilmu Nahwu. Seperti yang terjadi pada ilmu-ilmu lainnya,
ilmu nahwu tidak hanya muncul dalam waktu singkat dan menjadi sempurna, tetapi
justru sebaliknya. dikembangkan secara bertahap dalam jangka waktu yang lama.7

a. Tokoh peletak pertama ilmu nahwu

Mengenai sosok yang bisa disebut sebagai landasan ilmu nahwu, yaitu terdapat
perbedaan di kalangan para ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa pendiri ilmu
Nahwu adalah Abu al-Aswad Al-Dualiy. Sebagian yang lain mengatakan Nasr bin
'Ashim. Ada juga yang mengatakan: Abdurrahman bin Hurmus. 8 Akan tetapi, dari

7
Sirajuddin, Dinamika Kaligra.fi Islam. Terjemahan dari Ruh al-Khaththi a-t. Arabi oleh Kami! Al-
Baba (Jakarta: Darul Ulum Press, 1992) h. 33
8
Syauqi Dlaif, op. cit.,h.13
perbedaan-perbedaan ini, pendapat yang paling populer dan diterima oleh sebagian
besar sejarawan adalah pendapat Abu al-Aswad. Sejarawan terdahulu yang
mendukung pandangan ini antara lain Ibnu Qutaibah (wafat 272 H), Al-Mubarrad
(wafat 285 H), As-Sairafiy (wafat 368 H), Ar-· Raghib Al-Ashfahaniy (wafat 502
H) dan As-Suyuthiy wafat 911 H), sedangkan kelompok ahli nahwu kontemporer
antara lain Kamal Ibrahim, Musthofa As-Saqa dan Ali an-Najdiy Nashif. 9
Penokohan Abu al-Aswad ini merupakan jasa-jasanya yang mampu dalam
membidani lahirnya ilmu nahwu. Abu al-Aswad Al-Dualiy (wafat 69 H) adalah
orang pertama yang mendapatkan kepercayaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib
untuk menangani dan mengatasi masalah lahn yang dimulai mewabah di kalangan
masyarakat awam. Ali bin Abi Thalib yaitu memilih untuk hal itu karena ia adalah
salah seorang pendudukan Basrah yang berontak genius berwawasan luas, dan
berkemampuan tinggi dalam Bahasa arab10 Dalam sebuah Riwayat disebutkan
bahwa suatu saat Ketika, Abu al-Aswad melihat Ali sedang temenung memikirkan
sesuatu, makai ia mendekatinya dan bertanya “Wahai Amirul Mu’minin” apa yang
sedang kamu pikirkan? “ Ali menjawab: “saya dengar di negeri ini banyak terjadi
Lahn, maka aku ingin menulis sebuah buku tentang dasar-dasar Bahasa Arab”
setelah beberapa hari, Abu al-Aswad mendatangi Ali dengan membawa lembaran
yang bertulis yaitu: "Bismillähi al-rahmâni al- rahim. Al-kalamu kulluhu ismun wa
filun wa harfun. Fa al- ismu mã anba 'a 'an al-musammã, wa al-filu mã anba'a
harakatil "'an al-musammã, wal harfu mã anba'a 'an ma'nan laisa bisminwa là filin"
"Dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Ujaran itu terdiri dari
isim, fril dan harf. Isim adalah kata yang mengacu pada sesuatu (nomina), fi'il
adalah kata yang menunjukkan aktifitas, dan huruf adalah kata yang menunjukkan
makna yang tidak termasuk kategori isim dan fi'il"11

Atas peristiwa tersebut, Abu al-Aswad Ad-Duali kemudian meminta izin kepada
gubernur Basrah, Ziyad bin Abieh, untuk menulis buku tentang dasar-dasar kaidah
bahasa Arab 9 Ibnu Salam dalam bukunya “Thabaqiitu Fuhiil! al- Syu'arii
"mengatakan bahwa Abu al-Aswad pertama kali meletakkan dasar untuk

9
Abdul hadi al-Fadlali, op. cit., h.17
10
Ibid,.h.8
11
hatibul Umam, Imam Al-Khalil Al-Farahidi Gudang I/mu Yang Terlupakan. Pidato ilmiyah
disampaikan pada upacara pengukuhan Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1992.
pengetahuan bahasa Arab. Dia melakukan ini ketika dia melihat bahwa Lahn telah
menjadi wabah di kalangan orang Arab. Dia menulis antara lain: bah fa'il, maf. "iil,
harfjar, rafa", nashab dan jazm." 12

b. Kota kelahiran ilmu nahwu

Abu 'al-Aswad kemudian dikenal sebagai pendiri ilmu i'rabi, dan setelah itu banyak
orang datang kepadanya untuk mempelajari ilmu qira'ab dan dasar-dasar i'rabi.
ilmu. Dia mengajar di Masjid Jami' Basra. Di sini kota Basra dikenal sebagai tempat
kelahiran ilmu Nahwu. Banyak santri yang berhasil dan kemudian menjadi generasi
penerus untuk mengembangkan pemikiran para pionirnya, antara lain Anbasah bin
Ma'dan yang dikenal dengan Anbasah Al-fil, Nashr bin 'Ashim al-Laitsiy (wafat
89) dan Yahya bin Ya'mur al. -Adwaniy (w. 0,129 H). Anbasah kemudian memiliki
murid yang sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu Nahwu, yaitu Maun al-
Aqran.13 Perkembangan ilmu Nahwu yang dicapai pada masa Yahya di Ya'mur dan
Nashr bin Ashim meliputi:

1. standarisasi beberapa istilah Nahwu seperti rafa', keturunan, guci, tanwin


dan i'rab.
2. perluasan beberapa topik nahwu,
3. penggunaan pendekatan nahwiyyah dalam pembahasan topik keilmuan di
kalangan ulama lama.
4. esai mulai bermunculan di lapangan. ilmu nahwu sekalipun belum
berbentuk buku.

Disamping itu dikenalnya kota basrah dengan kota kelahiran nahwu juga karena
kota itu selalu menjadi pusat kegiatan pengajian dan penelitian dibidang itu
tersebut. Kemudian para ahli nahwu setelah generasi Yahya dan Ashim, seperti
Ibnu Abi Ishaq (wafat 117 H) dan Abu “Amr bin al-Ala (wafat 154 H) beliau selalu
rajin dalam mengkaji dan meneliti bebagai masalah yang berkaitan dengan ilmu
nahwu. Merekalah yang pertama mengembangkan metode-metode induksi dan
deduksi serta analagi dalam penyusunan imu nahwu14

12
Ibnu salam, thabaqotu fuhuli al-syu’ard (mesir)
13
Abdul Hadi al-Fadalali, op. tsit., h. 26.
14
Ibnu Salam, op. cit., h. 12
KESIMPULAN

Untuk memperluas pandangan tentang perkembangan ilmu nahwu, para linguis


tidak lepas dari penelitian sejarah. Ulama terdahulu telah meninggalkan begitu
banyak warisan berharga dalam bidang ilmu nahwu dan perkembangannya. Inisiatif
para ahli generasi pertama disambut baik dan generasi berikutnya mengikutinya,
sehingga kajian nahwu selalu berkesinambungan sebagai mata rantai yang tidak
terputus. Hal ini dibuktikan dengan tumbuhnya sekolah-sekolah penting di bidang
nahw, seperti sekolah Bashrah, sekolah Kuffah, sekolah Bagdad, sekolah
Andalusia, dan sekolah Mesir. Ilmu nahwu merupakan salah satu ilmu yang
menjadi dasar penafsiran al-Qur'an dan kitab-kitab yang menjadi sumber hukum
Islam. Salah satu kitab yang memuat prinsip-prinsip ilmu nahwu yaitu Kitab
Jurumiyah. Kitab Jurumiyah biasanya diajarkan di lembaga pendidikan Islam
seperti pesantren. Pengenalan kitab Jurumiyah ke dalam proses pembelajaran di
pondok pesantren tidak cukup membantu santri dalam memahami prinsip-prinsip
ilmu nahwu dengan baik dan benar. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
tentang penerapan Kitab Jurumiyah untuk meningkatkan pemahaman ilmu Nahwu
Santri. Kajian ini membahas tentang penerapan kitab Jurumiyah untuk
meningkatkan pemahaman ilmu Nahwu. Masalah penelitian ini adalah penerapan
kitab Jurumiyah dan tingkat pemahamannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi, mendeskripsikan dan menganalisis secara kritis faktor-faktor
yang mempengaruhi proses pembelajaran dan penerapan Kitab Jurumiyah untuk
meningkatkan pemahaman ilmu Nahwu. Menerapkan kitab Jurumiyah dalam
proses pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman ilmu Nahwu.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Afghani, Said. Min Tarfkh al-Nahwi Beirut: Dar al-Filcr, ttp.

Sejarah I/mu Na/nvu Dlaif, Syauqi. Al-Madiirisun al-Nahwiyyah, Mesir: Darul


Ma'arif, 1968.

al-Fadlali, Abdul Hadi, Mariikizu al-Diriisat al-Nahwiyyah. Bairut: Maktabah AI-


Manar, 1986.

Kasim, Amrah. Bahasa Arab di Tengah-Tengah Bahasa Dunia. Cet. I; Yogyakarta:


Kota Kem bang, 2009.

Salam, Ibnu, Thabaqiitu Fuhiili al-Syu'arii' Mesir: Dar al-Ma'arif, t.th.

Sirajuddin, D. Dinamika Kaligraji Islam. Terjemahan dari Ruh al-Khaththi a- f


Arabi oleh Kamil Al-Baba Jakarta: Darul Ulum Press, 1992.

Umarn, Chatibul. Imam Al-Khalil Al-Farahidi Gudang I/mu Yang Ter/upakan.


Pidato ilmiyah disampaikan pada upacara pengukuhan Guru Besar IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1992.

Anda mungkin juga menyukai