Anda di halaman 1dari 10

IBNU MALIK:

Pemikiran dan Kontribusinya dalam Ilmu Nahwu

Oleh:

Anita Hayu Solikhah

Muhammad Washil Yusytaq

Abstrak

Pemikiran dalam ilmu nahwu mengalami perkembangan dan perubahan dari


waktu ke waktu. Pemikiran yang tertuang di dalamnya tidak dapat dipisahkan
dari kontribusi para tokoh nahwu. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui
pemikiran dan kontribusi Ibnu Malik, sebagai salah satu tokoh linguis arab
yang berasal dari Andalusia. Biografi, perjalanan intelektual, dan karya-
karyanya perlu dihadirkan untuk mengetahui sanad pemikirannya. Terdapat
beberapa madzhab nahwu yang dijadikan sumber hukum dalam penetapan
kaidah nahwu Ibnu Malik. Kaitannya dengan studi tokoh, pemikiran dan
kontribusi tokoh akan berhubungan dengan konsep continuity, change, dan
pembentukan.

Kata kunci: Studi tokoh, Ibnu Malik, biografi, karya, pemikiran dan
kontribusi

PENDAHULUAN

latar Belakang

Ilmu nahwu merupakan sebuah disiplin ilmu bahasa yang


mengatur ketentuan-ketentuan dalam berbahasa Arab agar terhindar
dari lahn ( kesalahan berbahasa). Menurut Abu Toyib, Kesalahan
pertama orang Arab yaitu I’rab, di mana hal ini muncul karena adanya
kesalahan logat yang dibawa oleh kaum budak (‫(الموالى‬.

Kemunculan ilmu nahwu dilatarbelakangi oleh dua faktor,


yaitu faktor agama dan faktor nasionalisme. Faktor Agama, orang Arab
1
merasa perlu mempelajari ilmu nahwu agar dapat memahami nash-
nash yang terdapat dalam al-Qur’an. Faktor Nasionalisme atau ke arab-
araban, orang Arab merasa sangat bangga dengan bahasa Arab,
sehingga mereka takut apabila mereka berbaur dengan non-Arab dapat
menyebabkan kerusakan atau penyimpangan bahasa. Selain dua faktor
utama tersebut, terdapat Faktor Sosial yang membuat orang Arab sadar
terhadap pentingnya orientasi dalam I’rab, Tashrif yaitu agar dapat
merepresentasikannya dengan baik, menguasai cara pelafalannya, dan
terampil dalam penggunaan gaya bahasanya.1

Dalam Studi Tokoh, terdapat tiga konsep dalam pemikiran


tokoh nahwu. Pertama, continuity atau keberlanjutan, yaitu melanjutkan
pemikaran ahli nahwu terdahulu. Kedua, change atau perubahan, yaitu
merubah gagasan atau pemikiran yang berbeda sehingga menghasilkan
sebuah kontribusi atau pemikiran baru. Ketiga, pembentukan, setelah
menghasilkan kontribusi, maka kaidah tersebut akan terbentuk dan
dapat dijadikan rujukan bagi orang setelahnya. Dalam makalah ini,
kami akan menjabarkan sebuah pemikiran nahwu dan akan
memfokuskan pembahasan ini pada pemikiran salah satu tokoh nahwu
yaitu Ibnu Malik.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana riwat hidup Ibnu Malik?

2. Bagaimana riwayat perjalan Ibnu Malik dalam mendapatkan


pedidikan?

3. Apa saja karya-karya Ibnu Malik?

4. Bagaimana pemikiran dan kontibusi Ibnu Malik dalam bidang


nahwu?

Tujuan

a. Mengetahui biografi Ibnu Malik

b. Mengetahui perjalanan intelektual Ibnu Malik

c. Mengetahui karya-karya Ibnu Malik

1
Syauqi Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyah, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1968) hal.11-12.
2
d. Mengetahui pemikiran dan kontribusi Ibnu Malik dalam bidang
Nahwu

PEMBAHASAN

A. Biografi

(sumber: Chromee, Fatwa Pedia)

Ibnu Malik merupakan salah satu tokoh dalam studi bahasa


Arab. Nama lengkapnya Jamaluddin Muhammad bin Abdullah bin
Abdullah bin Malik al-Tha’i al-Jassayani.2 Beliau lahir di kota Jayyan,
Andalusia. Terdapat beberapa pendapat mengenai tahun kelahiran
Ibnu Malik. Pertama, dilahirkan pada tahun 597H, ini didasarkan pada
sebuah pernyataan wafatnya Ibnu Malik di usia 75 tahun. Kedua, tahun
598H, pendapat oleh al-Hawari, Ibnu Qadhi Syuhbah, Ibnu Maktum,
Ibnu Ghozi, Ibnu Thulun, dan al-Jazari dari al-Khudori. Ketiga, tahun
600H, pendapat Abdul Baqi al-Yamani, Ibnu Syakir, Ibnu Katsir, al-
Fairuzabadi, Suyuti dalam al-Muzhir. Keempat, tahun 601H, yang
membuat Ibnu Aybak puas. Wafat pada tahun 672 H di usia ke-74 dan
di makamkan di Solihiyyat, Damaskus. 3

Semasa hidupnya, Ibnu Malik memiliki budi pekerti yang luhur.


Dalam perkataan imam al-Dzahabi, ia tekun dalam beribadah wajib

2
Syauqi Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyah, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1968) hal.309.
3
Sulaiman al-‘Uyuni, Alfiyyah Ibnu Malik fi al-Nahwi wa al-Shorfi al-Musammah al-
Khulasoh, (Riyadh: Maktabah Dar al-Manhaj, 1816) hal.15-16.
3
maupun sunnah, cerdas, hatinya lembut, dan jiwa sosialnya tinggi.
selain itu, ibnu malik merupakan seseorang yang giat dalam menulis
karya dalam bidang bahasa.

Ibnu Malik termasuk ahli dalam bidang qira'at (bacaan al-


Qur'an) dan riwayat hadis Nabi. Kemampuan ini membuatnya sering
mengutip al-Qur'an dalam karyanya. Jika tidak ditemukan bukti dari
al-Qur'an, dia akan merujuk kepada hadis. Jika tidak ada pada al-
Qur’an dan Hadis, beliau akan merujuk pada puisi Arab. Beliau
merupakan salah satu dari yang pertama dalam sejarah yang banyak
menggabungkan riwayat hadis dalam ilmu tata bahasa Arab (nahw).
Sebelumnya, Ibn Khuruf dan al-Suhayli sudah lebih dulu
menggunakan riwayat hadis, namun tidak lebih luas dari periwayatan
Ibnu Malik.4

B. Perjalanan Intelektual

Pendidikan Ibnu Malik sangat komprehensif. Di Jayyan, ia


sudah berkenalan dengan ilmu bahasa arab, Hadits, dan Qiroa’at. Ia
menyempurnakan studinya dengan mengadakan rihlatul’ilmi ke
berbagai kota di Timur

Ibnu Malik merupakan seorang imam para ahli tata bahasa


(Nahwu) dan seorang linguis. Beliau mempelajari bahasa Arab dari
berbagai sumber di tanah airnya, mendengarkan dari ulama Syubban.
Pada tahun 630 H, ia pergi ke timur dan belajar dari ibnu al- Hajib. Dia
menetap di Alepo, belajar dengan Ibnu Ya’ish dan jadi terkenal sebagai
Qari’ ulung. 5

Ibnu Malik tinggal di Hamah selama 5 tahun, di mana dia


menulis Al-Khalasah, sebuah kitab yang berfokus pada ilmu nahw.
Setelah itu, dia kembali ke Damaskus pada tahun 660 Hijri dan tinggal
di sana hingga wafatnya pada tahun 672 Hijri. Selama waktu ini, dia
menjadi seorang ulama yang sangat dihormati oleh semua kalangan
masyarakat. Banyak pelajar datang kepadanya untuk belajar. Selain itu,
dia juga mengajar berbagai qira'at (bacaan al-Qur'an).

4
Syauqi Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyah, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1968) hal.310.
5
Syauqi Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyah, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1968) hal.309.
4
Ibnu Malik kemudian menjabat sebagai pemimpin Sekolah
Adiliyah dan masjid al-Qarawiyyin. Posisi ini merupakan tanggung
jawab yang besar, mengajar ilmu qira'at dan ilmu Arab. Ibnu Malik
sangat berdedikasi dalam pekerjaannya, bahkan sampai pada titik
ketika dia tidak menemukan siapa pun yang mendekat ke jendela
rumahnya, dia akan berteriak, "Al-Qira'at! Al-Qira'at! Al-Arabiyyah!
Al-Arabiyyah!" kemudian dia akan memanggil seseorang untuk
datang, kemudian pergi, dan dia akan berkata, "Saya merasa aman
hanya dengan ini. Kadang-kadang orang mungkin tidak tahu bahwa
saya duduk di sini untuk itu."

Ibnu Malik memiliki beberapa guru yang berpengaruh dalam


pembentukan pemahamannya terhadap ilmu nahw dan qira'at.
Beberapa guru terkemuka Ibnu Malik di antaranya:

 Abu al-Muzaffar Thabit ibn Muhammad ibn Yusuf ibn Hayyan


(Khayyar al-Kalai al-Lubbli): Guru besar Jaén yang mengajar
Ibnu Malik dan memainkan peran penting dalam
perkembangannya sebagai seorang ahli nahwu.
 Abu Ali Omar ibn Muhammad al-Shallubin al-Ishbili
 Abu al-Fadl ibn Abi al-Saqr Mukarram Najm al-Din ibn
Muhammad ibn Hamzah al-Qurashi al-Dimashqi

Pengaruh guru-guru ini dan penelitian yang mendalam membantu


Ibnu Malik dalam mengembangkan pemahamannya dalam ilmu nahw
dan qira'at, yang kemudian diwariskan melalui karya-karya tulisannya
dan pengajaran di Sekolah Adiliyah Damaskus.6

C. Karya-Karya

Ibnu Malik memiliki banyak tulisan yang berhubungan dengan


ilmu nahwu, tashrif, bahasa, dan qiroat. 7

o Bidang Nahwu: Tashilul Fawaaid wa takmilul Maqosid ( karya


terbesar), Alfiyyah ( yang paling terkenal), Syarh ‘Umdatil

6
Sulaiman al-‘Uyuni, Alfiyyah Ibnu Malik fi al-Nahwi wa al-Shorfi al-Musammah al-
Khulasoh, (Riyadh: Maktabah Dar al-Manhaj, 1816) hal.17-20.
7
Sulaiman al-‘Uyuni, Alfiyyah Ibnu Malik fi al-Nahwi wa al-Shorfi al-Musammah al-
Khulasoh, (Riyadh: Maktabah Dar al-Manhaj, 1816) hal.24-25.
5
hafidz wa’Uddatil Lafdzi, Syawahidut Tawdhih waTaskhih
limusykilaatil jaami’ al-Sakhih, al-Kafiyah asy-Syafiyah, an-
Nukat an-Nahwiyah ‘ala Muqadimah Ibnul Khajib.
o Dalam Tashrif: at-Ta’rif fi Dhoruriyut Tashrif, Lamiyyatul Af’al,
dan iijazut Ta’rif fi ‘ilmit Tashrif.
o Dalam Bahasa: al- i’tidhod fil Farqi bainad Dho-i wad Dhodi dan
syarhnya, al-I’timad fin Nadhoirid Dho-i wad Dhodi, I’lamu bi
Tatsliyatsil Kalam, Ikmalul I’lam bi Tatsliyatsil Kalam, al-Alfadz
al-Mukhtalifah fil Ma’ani al-mu,talifah, dan masih banyak lagi.
o Dalam qiroat: al-Malikiyah, yang merupakan sistem semantik.

Ibnu Malik juga menghasilkan karya seperti Al-Muqaddimah al-


Asadiyah untuk anaknya, Taqi al-Din al-Asad dan Fawa'id fi al-Nahw.
Keseluruhan karyanya berjumlah sekitar tiga puluh, termasuk yang
berbentuk puisi maupun prosa.8

Di dalam kitab Tarjamatul Sulaiman Al 'Uyuuniy. Beliau


mengatakan bahwa Syekh Ibnu Malik ingin menggabungkan
pengalaman ilmiahnya dalam ilmu nahw dan mengorganisasi
pandangan pribadinya dalam sebuah karya besar, "Taysir al-Fawa'id
wa Takmil al-Maqsad”. Dalam buku ini, terkandung esensi
pengetahuan dan pandangan Ibnu Malik. Sepanjang hidupnya, beliau
terus merevisi, memeriksa, dan mengubahnya. Ibnu Malik bahkan
mulai menjelaskan karyanya, tetapi, ketika beliau wafat, karya ini
belum selesai diuraikan. Meskipun begitu, karyanya ini tetap menjadi
salah satu sumbangan terbesar dalam bidang ilmu nahwu dan tata
bahasa Arab.9

D. Pemikiran dan Kontribusi

Dalam pemikiran Nahwu, selain pendapat ijtihadnya sendiri, Ibnu


Malik mengikuti banyak madzhab nahwu dari Bashrah, Kuffah,
Baghdad, dan para pendahulunya di Andalusia.10

8
Syauqi Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyah, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1968) hal.310.
9
Sulaiman al-‘Uyuni, Alfiyyah Ibnu Malik fi al-Nahwi wa al-Shorfi al-Musammah al-
Khulasoh, (Riyadh: Maktabah Dar al-Manhaj, 1816) hal.21.
10
Syauqi Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyah, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1968) hal.310-317.
6
Dari Madzhab Bashrah, ia merujuk pada Sibawaih bahwa huruf
"‫" نون الرفع‬dengan kata kerja masdar (infinitif) itu dihilangkan, contoh
(‫)تأمرونى‬. Selain itu, dari Sibawaih, dia sependapat bahwa kata "‫"عسى‬
dalam kalimat seperti "‫ "عسيت أن تفعل‬memiliki makna mendekati. oleh
karena itu, "‫ "أن تفعل‬dalam konteks ini berfungsi sebagai kasus 'mansub'
pada objek. selain dari sibawaih, ibnu malik juga mengikuti pendapat
al-Mubarrad bahwa penggunaan "‫ابتداء‬-‫ "الم ال‬dapat memasuki kata
benda dalam konteks mubtada' (subjek kalimat) jika itu adalah kata
keterangan atau kata sifat dan dalam hubungan mufrad-majrur
(hal.310).

Dari Yunus, Ibn Malik mengikuti pendapat bahwa kata "‫"إما‬


dalam kalimat seperti "‫ "قام إما زيد وإما عمرو‬bukanlah afṭiḥah (penanda
afektif), tetapi afṭif (Waw yang mendahuluinya) yang menunjukkan
afektif dan bahwa huruf "‫ "الذى‬yang digunakan sebagai kata pembentuk
dalam kalimat awal, seperti "‫ "وخصم كالذي خاضوا‬memiliki makna yang
sama seperti "‫"كخوضهم‬.

Di antara banyaknya persoalan nahwu orang-orang Kuffah,


Ibnu Malik mengikuti pemikiran mereka bahwa kata "‫ "مذ‬dan "‫ "منذ‬ketika
diikuti oleh kata benda yang dalam keadaan nasab (marfu'), seperti ( ‫ما‬
‫)رأيته مذ أو منذ شهران‬, maka kata kerja (fi’il) dihilangkan dan pelaku (fa’il)
tetap ada sehingga asalnya yaitu "‫مذ كان شهران‬." Mubarrad, Ibn al-Saraj,
dan al-Farisi berpendapat bahwa "‫ "مذ‬dan "‫ "منذ‬merupakan mubtada dan
kata setelahnya berkedudukan sebagai khobar. Sementara itu, al-
Akhfash, al-Zajjaj, dan al-Zujjaji berpendapat bahwa "‫ "مذ‬dan "‫"منذ‬
merupakan Dzaraf yang mengindikasikan waktu dan memberi
keumuman kata setelahnya. Ibnu Malik juga mengikuti kaidah mereka
dalam kebolehan memposisikan mufrad dan jama’ di akhir kalimat
seperti perkataan Amr al-Qais: "‫بها العينان تنهل‬," yaitu ‫( تنهالن‬hal. 312).

Dari orang-orang Baghdad, Ibn Malik memilih pendapat al-


Zujjaji bahwa kata "‫ "سوى‬memiliki makna dan penggunaan yang sama
seperti "‫( "غير‬selain) dalam konteks kalimat. Sehingga, kata "‫ "سوى‬dapat
menjadi kata kerja dalam kalimat seperti "‫ "جاءنى سواك‬yang berarti "dia
datang bersamamu," atau menjadi kata benda dalam kalimat seperti
"‫ "رأيت سواك‬yang berarti "aku melihatmu." Selain itu, "‫ "سوى‬juga dapat
digunakan sebagai pengganti atau dihubungkan dengan istithna
(pengecualian) dalam kalimat seperti "‫ "ما جاءنى أحد سواك‬yang berarti "tak

7
seorang pun datang kepadaku kecuali kamu." Pendapat al-Zujjaji
tentang hal ini berbeda dengan pendapat mayoritas seperti Sibawaih
dan yang lainnya, yang menganggap "‫ "سوى‬merupakan dzharaf makan
yang menyertai nasob dalam kalimat. (al madaris al nahwiyah: 313-314)

Ibn Malik merujuk pada al-Farisi, yang berpendapat bahwa


"‫( "غير‬selain) dalam beberapa kasus, seperti dalam kalimat " ‫قام القوم غير‬
‫ "زيد‬berfungsi sebagai pelengkap yang berhubungan dengan keadaan
(mubtada) dan bahwa "‫ "ما‬dapat digunakan dalam konteks waktu,
seperti dalam perkataan "‫ "فما استقاموا لكم فاستقيموا لهم‬yang berarti "maka
ketika mereka telah lurus untukmu, kamu pun luruslah untuk mereka”.
Selain itu, Ibn Malik mengikuti pendapat Ibn Jinni yang berpendapat
bahwa tidak ada alasan untuk menganggap sebuah kata sebagai isim
(kata benda) kecuali jika memiliki kesamaan dengan huruf
(karakteristik) lain.

Ibn Malik terkadang mengikuti pendapat para leluhurnya dari


Andalusia. Dia mengambil pandangan Ibn al-Sayyid tentang mencegah
frasa atributif (ʿatf) menjadi bergantung pada kata yang diperjelas
(mudmar). Menurut Ibn al-Tarawwa, dia percaya bahwa ‘athof ini tidak
dimulai dengan kata pertama. Misalnya, dalam mengutip ( ‫وترى كل أمة‬
‫ جاثية كل أمة تدعى إلى كتابها‬dan Anda akan melihat setiap bangsa tunduk,
setiap bangsa dipanggil ke kitabnya), sesuai dengan konstruksi
alternatif (baḍāla). Dia juga mengikuti pendapat Shulūbīn dan
pendahulunya seperti al-Rummānī, isim yang terletak setelah ‫لوال‬
adalah mubtada, dan setiap mubtada’ diikuti oleh khobar (kondisi
umum). Jika setelah ‫ لوال‬al-Imtinaiyyah terdapat mubtada’, maka
khobarnya wajib disembunyikan atau dihilangkan, seperti " ‫لوال على‬
‫ " لسافرت‬tetapi jika itu dibatasi (muqayyad) seperti ‫ السفر‬dan sejenisnya,
maka wajib untuk menyebutkannya seperti ucapan " ‫”لوال على مسافر لزرتك‬.
(hal. 314-315)

Ibnu Malik memiliki pemikiran nahwu tersendiri di antara


banyaknya pemikiran nahwu para pendahulunya. Salah satunya, Ia
berpendapat bahwa tanda-tanda i’rab merupakan bagian dari hakikat
kalimat mu’rab. Pendapat beliau berbeda dengan mayoritas ahli nahwu
yang mengatakan tanda-tanda i’rab merupakan tambahan. Ia
berpendapat bahwa ( ‫ )ذان وتان واللذان واللتان‬sebenarnya dua atau bersifat

8
ganda, oleh karena itu ( ‫ )ذان وتان واللذان واللتان‬bersifat mu’rab, bukan mabni
(hal. 315).

Ibnu Malik menyebutkan, di antara ciri-ciri isim adalah


kema’rifahannya. Ahli nahwu sering menyebutkan kema’rifahan isim
itu ditandai dengan alif dan lam seperti kata ‫الرجل‬. Ibnu malik
menambahkan, kema’rifahan isim itu ditandai dengan adanya huruf
alif dan mim dalam suatu kata, seperti kata ‫ امصيام‬dan ‫ امسقر‬seperti yang
terdapat dalam salah satu hadist nabi, ‫( ليس من امير امصيام في امسقر‬Aang
saeful dalam Syarh al-Umdah: hal.Ixxxi)

Dalam mengikuti kaidah-kaidah nahwu, Ibnu Malik selalu


menyebutkan apa yang jarang terjadi (shadz) dan tidak mengeneralisasi
atau menjadikannya dasar , seperti yang sering dilakukan oleh orang
Kufah. Beliau juga tidak menafsirinya seperti yang sering dilakukan
oleh orang Basrah. Pendekatan utama Ibn Malik adalah mendengarkan
dengan cermat. Beliau tidak akan memberikan fatwa atau hukum tanpa
memiliki sanad (rantai perawi) yang kuat untuk mendukungnya.
Pikirannya sangat tajam, ia tidak hanya menggunakannya untuk
meneruskan pemikiran para pendahulu nahwu dan menghasilkan
pandangan baru, tetapi untuk ia gunakan dalam merinci masalah-
masalah tata bahasa, bab-bab, terminologi, serta mengatasi kesulitan
dan tantangan yang muncul dalam nahwu (hal. 317).

KESIMPULAN

Ibnu malik merupakan seorang tokoh ahli bahasa arab atau


nahwu yang berasal dari Jayyan, Andalusia. Pendekatan Nahwu Ibn
Malik yang cermat dan sistematis, telah memberikan kontribusi besar
dalam perkembangan tata bahasa Arab. Dalam pemikiran Ibnu Malik,
ia mengikuti pendapat para ahli nahwu terdahulu, yaitu dari orang-
orang Baghdad, Kuffah, Bashrah, dan Andalusia. Dalam studi tokoh,
ini berkaitan dengan konsep continuity, yaitu melanjutkan atau
meneruskan pemikiran tokoh sebelumnya. Selain mengikuti beberapa
pendapat ahli nahwu sebelumnya, Ibnu Malik juga memiliki pendapat
tersendiri mengenai kaidah nahwu yang berbeda dari mayoritas ahli
nahwu. Pendapat Ibnu Malik ini, dalam studi tokoh, berkaitan dengan
konsep change, yaitu melakukan perubahan pada kaidah nahwu

9
pendahulunya dan memberikan sebuah kaidah pemikiran baru yang
merupakan bagian dari kontrubusi Ibnu Malik dalam mengembangkan
pemikiran ilmu nawhu.

DAFTAR PUSTAKA

al-'Uyuni, S. (1816). Alfiyyah Ibnu Malik fi al-Nahwi wa al-Shorfi al-Musammah al-


Khulasoh. Riyadh: Maktabah Dar al-Manhaj.

Dhaif, S. (1968). al-Madaris al-Nahwiyah. Kairo: Dar al-Ma'arif.

Milah, A. S. (2009). Otorisasi Hadis Sebagai Sumber Kaidah Bahasa.


Tesis Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 81.

10

Anda mungkin juga menyukai