Anda di halaman 1dari 13

Tafsir Tarjuman al-Mustafid

Mata Kuliah :

Kajian Tafsir di Indonesia

Dosen Pengampu :

Dr. Saifuddin, M.Ag.

Oleh :

Alfian Anwar (180103020164)

Fatimah (180103020220)

Nada Rahmatina (180103020161)

Normalian Sari (180103020129)

Reza Fahlifi (180103020208)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

BANJARMASIN

2020
PENDAHULUAN

Selama ini, kebanyakan kitab tafsir ditulis dalam bahasa al-Qur’an, yakni bahasa Arab.
Hal ini bagus dalam perkembangan keilmuan Islam, namun tentu tak mudah bagi semua orang
untuk mempelajarinya, mengingat bahwa tidak semua orang mahir dalam memahami bahasa
Arab. Hal inilah yang kemudian menimbulkan harapan dari orang-orang ‘Ajam, termasuk
Indonesia, agar ada kitab tafsir yang bisa mereka pahami dengan mudah.

Kemudian, muncullah seorang ‘ulama yang menulis tafsir bernuansa lokal. ‘Ulama ini
bernama Abd ar-Rauf Singkel, penulis dari kitab Tafsir Turjuman al-Mustafid asal Aceh. Ia
membawa arah baru bagi perkembangan tafsir di Indonesia, jauh sebelum munculnya tafsir-tafsir
kenamaan lainnya seperti Tafsir Al-Azhar karangan Buya Hamka, dan Tafsir Al-Mishbah
karangan Prof. Quraish Shihab.
PEMBAHASAN

A. Biografi Abd Rauf al-Sinkili


Nama lengkap beliau adalah Abd-Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili. Lebih
lanjut, beliau dikenal dengan sebutan Syiah Kuala atau Teungku di Kuala, sebagai nisbah
tempatnya mengajar dan dimakamkan. Dilihat dari namanya, ia adalah orang melayu dari
Fanshur Sinkil (modern, singkel) yang terletak di wilayah barat laut Aceh. Riwayat
Rinkes melakukan kalkulasi ke belakang dari saat kembalinya dari Timur Tengah ke
Aceh bahwasanya Abd Rauf al-Sinkli dilahirkan sekitar tahun 1024/1615 M, dan riwayat
lain mengatakan sekitar 1620 M. Menurut Hamsy, nenek moyang al-Sinkli berasal dari
Persia yang datang dari kesultanan Samudra Pasai pada akhir abad XIII. Kemudian,
mereka menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan kota yang penting di pantai
Sumatra Barat, ayah Sinkli adalah kakak laki-laki dari Hamzah Fanshuri.
Menurut sumber lain, al-Sinkel adalah seorang Arab yang bernama Syeikh Ali
(al-Fanshuri) yang bertempat tinggal di Sinkel, bahkan bukan orang melayu, sebab
Samudra Pasai dan Fansuri setidaknya tempat ini seringkali dikunjungi para pedagang
Arab, Persia, India, Cina, dan Yahudi sejak abad IX.1
Semasa kecil, ia telah mendapatkan pendidikan dari ayahnya yang merupakan
seorang alim dan mendirikan Madrasah kemudian menarik murid-murid dari berbagai
tempat di Kesultanan Aceh. Menurut Hasjmi, al-Sinkili di kemudian hari mengadakan
perjalanan ke Banda Aceh, Ibu Kota Kesultanan Aceh untuk menimba ilmu. Tidak hanya
sampai disitu, Al-Sinkili melanjutkan rihlah al-‘ilm ke Jazirah Arab mulai tahun 1642 M
atau di usianya ke-27 tahun. Perjalanannya menyusuri rute-rute yang biasa ditempuh
dalam ibadah haji, mulai dari Dhuha (Doha, Qatar), Yaman, Jeddah, dan akhirnya
Mekkah dan Madinah.2
Di Dhuha, ia belajar kepada ‘Abd al-Qadir al-Mawrir meskipun hanya dalam
waktu yang cukup singkat. Setelah itu ia menuju Yaman, terutama di Bayt al-Faqih dan
Zabid yang menjadi pusat pengetahuan Islam di wilayah itu. Di Bayt al-Faqih, ia belajar

1
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara (Bandung: Mizan, 1994),hal.
189.
2
Afriadi Putra, “Khazanah Tafsir Melayu”, dalam Jurnal Syahadah Vol. II, No. 2, Oktober 2014, hal. 69-
72.
kepada keluarga Ja’man, terutama Ibrahim bin ‘Abd Allah bin Ja’man dengan menekuni
bidang hadis dan fikih. Sedangkan di Zabid, ia menjadi murid ‘Abd al-Rahim bin al-
Shiddiq al-Khash, ‘Abd Allah bin Muhammad al-‘Adani yang disebut Al-Sinkili sebagai
pembaca (qari’) al-Qur’an terbaik di wilayah itu. Al- Sinkili kemudian meneruskan
perjalanannya ke Jeddah untuk berguru kepada muftinya, ‘Abd al-Qadir al-Barkhali.
Selang beberapa waktu, Al-Sinkili berpindah ke Mekkah, di sana ia berguru kepada ‘Ali
bin ‘Abd al-Qadir al-Thabari, disamping itu ia juga melakukan kontak dengan ulama lain,
seperti Isa al-Maghribi, ‘Abd al-Aziz al-Zamzami,Taj al-Din bin Ya’kub dan lain
sebagainya.
Tahap terakhir perjalanan panjang Al-Sinkili adalah Madinah. Di Kota Nabi
inilah dia merasa puas, karena dia akhirnya dapat menyelesaikan pelajarannya. Di sana,
ia belajar kepada Ahmad al-Qusyasyi dalam bidang ‘ilm al-bathin (ilmu-ilmu “dalam”),
yaitu tasawuf dan ilmu-ilmu lainnya yang terkait sampai di kemudian hari ia ditunjuk
oleh al-Qusyasyi sebagai khalifah Tarekat Syatariyah dan Qadiriyahnya. Selain itu, ia
juga berguru kepada Ibrahim al-Kurani di bidang ilmu pengetahuan yang menimbulkan
pemahaman intelektual tentang Islam. Hubungan al-Sinkili dengan al-Kurani sangatlah
dekat, sehingga al-Kurani menulis sebuah karya besarnya, ‘Ithaf al-Dzaki, atas
permintaan Al-Sinkili untuk merespons cara Al-Raniri melancarkan pembaharuannya di
Aceh ketika itu.
Al-Sinkili telah menghabiskan waktu selama 19 tahun di Arabia untuk menuntut
ilmu. Pendidikannya sangat lengkap, mulai dari syari’at, fikih, Hadis dan disiplin-disiplin
eksoteris lainnya hingga kalam, dan tasawuf. Berbekal ilmu yang komplit, Al-Sinkili
memutuskan untuk kembali tanah airnya. Sekembalinya ke tanah air, ia dikunjungi oleh
pejabat istana, Katib Seri raja bin Hamzah al-Asyi atas perintah dari Sultanah Shafiyyah
al-Din untuk menyelidiki sekaligus menguji pemikiran keagamaannya. Jelaslah Al-
Sinkili lulus dari ujian tersebut dan berhasil merebut hati kalangan istana. Ia selanjutnya
ditunjuk sebagai Qadhi Malik al-‘Adil atau Mufti yang bertanggung jawab atas
administrasi masalah-masalah kagamaan. Dengan demikian, sepanjang kariernya di
Aceh, ia mendapat perlindungan dari Sultanah.3

3
Afriadi Putra, op.cit., hal. 72-73.
Dengan bekal ilmu yang dimilikinya, beliau berperan aktif dalam dunia dakwah,
pendidikan, penulis, pemimpin tarekat dan dalam bidang agama demi memajukan agama,
bangsa dan negaranya. Karena itulah, nama Abd Al-Rauf menjadi terkenal hampir di
seluruh Nusantara.4 Perannya sebagai seorang Mubaligh dan pengajar (guru) beliau
mendirikan sebuah tempat yang sangat strategis, yakni di muara sungai tanpa
memperhatikan upah atau jumlah bayaran yang beliau terima. Tempat tersebut mudah
untuk didatangi oleh masyarakat yang berada di pedalaman yang menggunakan sungai
sebagai sarana transportasi dan dari daerah luar yang melalui jalur laut. 5 Ketika itu juga,
Al-Sinkili menulis dan menyusun buku-buku agama dalam berbagai bidang disiplin ilmu.
Para muridnya mempelajari karya-karya tulisannya itu dengan tekun.
Al-Sinkili meninggal dunia pada tahun 1105 H/1693 M, dengan usia 78 tahun dan
dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, sekitar 15 Km dari
Banda Aceh. Sebab itulah, ia juga dikenal dengan sebutan Teungku Syiah Kuala (Syekh
Ulama di Kuala). 6

B. Karya Abdul Rauf al-Singkili


Ada sejumlah karya yang ditulis oleh Abdul Rauf al-Singkili, di antaranya:
1. Turjuman al-Mustafid (terjemah pemberi faedah), merupakan kitab tafsir pertama
dalam bahasa Melayu.
2. Mir’atuttullab fi tashil ma’rifat al-Ahkam asy-Syariat li al-Malik al-Wahhab, kitab
fiqih Syafi’i, bidang muamalah.
3. Hidayah al-Balighah, kitab fiqh yang isinya mengenai sumpah, kesaksian, peradilan,
dan pembuktian.7
4. ’Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin, kitab tasawuf yang isinya terdiri
atas tujuh bab. Di akhir kitab ini, Abdul Rauf menguraikan silsilah tarekat Syattariyah
sampai kepada Nabi Muhammad ‫ﷺ‬.

4
. Dikutip dari makalah Prof. Madya Dr. H. Fadhlullah Jamil, 2006, Seminar Serantau : Eksplorasi
Pemikiran dan Peranan Syaikh Abdul Rauf Al-Sinkili, dalam Abd Rauf Al-Singkli (Syiah Di Kuala):
Sumbangannya Terhadap Pembaharuan dan Kemajuan Islam serta Pengaruhnya di Nusantara dalam Konteks
Membangun Semula Aceh, Banda Aceh: IAIN Ar-Raniri.
5
.Ibid.
6
Afriadi Putra, op.cit., hal. 69-73.
7
Zaenuddin, “Akar Pembaharuan Islam di Indonesia”, dalam Wahana Akademika, Vol. 15, No. 1, April
2013, 66.
5. Kifayatul Muhtajin ila Masyrah al-Muwahhidin al Qailin bi Wahdat al-Wujud, berisi
mengenai ilmu tasawuf.
6. Daqaiqul Huruf, yang isinya terhadap beberapa bait syair Ibn Arabi
7. Bayan Tajalli, kitab ini berisi tentang penjelasan Abdul Rauf tentang zikir yang
utama dibaca ketika sakaratul maut.
8. Tanbihul Masyi Manshub ila Thariqi al-Qusyasyi, isinya mencerminkan perjalanan
tasawuf Abdul Rauf dengan gurunya Ahmad Qusyasyi.
9. Attariqat as-Syattariyah, berisi tentang pokok ajaran Syattariyah.
10. Mawaizil Badiah, berisi tiga puluh dua hadits beserta syarahnya yang berhubungan
dengan tauhid, akhlaq, ibadat dan tasawuf. Penjelasan tentang Matan al-Arba’in an-
Nawawi.
11. Bayan al-Arkan, pedoman dalam melaksanakan ibadah.
12. Al-Faraidh, risalah tentang hukum kewarisan dalam Islam.
13. Risalah adab murid dengan ‘Ulama.

C. Latar Belakang dan Sejarah Penulisan


Dinamika tafsir al-Qur’an di Indonesia sangat menarik untuk diteliti. Tercatat
banyak tafsir yang muncul semenjak masuknya Islam ke Nusantara. Karya tafsir awal
ditemukan di Nusantara yaitu, tafsir surat al-Kahfi [18]: 9 yang tidak diketahui siapa
penulisnya. Selanjutnya muncullah Tafsir Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh Abd
Rauf Al-Sinkili.8
Mengenai kitab Tafsir Turjuman al-Mustafid, tidak ada kenyataan yang tepat
untuk menunjukkan sebab disusunnya kitab tersebut. Namun, apabila menilik secara
historis susasana masyarakat Aceh ketika itu, mereka memang sangat berhajat pada
bahan rujukan agama yang berbahasa Melayu. Wujudnya kekacauan dan kekeliruan yang
terjadi di masyarakat pada masa itu disebabkan oleh tafsiran-tafsiran batin yang
dilakukan oleh golongan Wahdatul Wujud. Karena itulah, Abdurrauf al-Singkili berusaha
menyusun suatu kitab tafsir berbahasa Melayu untuk membantu masyarakat lebih
memahami ajaran Islam.9
8
Afriadi Putra, op.cit., hal. 69.
9
Rukiah Abdullah dan Mahfudz Masduki, “Karakteristik Tafsir Nusantara (Studi Metodologis atas Kitab
Turjuman Al-Mustafid Karya Syekh Abdurrauf al-Singkili”, dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis,
Vol. 16, No. 2, Juli 2015, 143.
Tafsir Tarjuman al-Mustafid merupakan tafsir pertama berbahasa Melayu yang
ditulis lengkap tiga puluh juz. Hal ini mengindikasikan bahwa Melayu sangat identik
dengan Islam karena memang persentuhan Melayu dengan Islam sudah terjadi sejak awal
lahirnya Melayu di tanah Malaya. Kerajaan Islam pertama di Indonesia yang terletak di
Aceh juga menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan, sehingga semua
literatur ditulis dengan bahasa Melayu dan juga bahasa Arab.10
Tafsir Tarjuman al-Mustafid diakui sebagai karya tafsir lengkap pertama (30 juz)
dalam bahasa Melayu-Jawi yang sampai saat ini naskahnya masih ada. Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, kitab tafsir ini ditulis oleh Syekh ‘Abd al-Rauf ibn ‘Ali al-
Jawi al-Fansuri al-Singkili. Ia tidak pernah menyebutkan angka tahun berhubungan
dengan penyelesaian karya tafsirnya, Tarjuman al-Mustafid. Namun, tidak ada keraguan
bahwa dia menulisnya semasa karier intelektualnya yang panjang di Kesultanan Aceh. A.
Hasjmi menyebutkan bahwa kitab Tarjuman al-Mustafid ditulis di India, ketika dia
mengadakan perjalanan ke sana. Akan tetapi, pendapat ini dinilai Azyumardi Azra terlalu
mengada-ada, sebab tidak ada indikasi sama sekali kalau ‘Abd al-Rauf pernah
menjejakkan kakinya di negeri India. Lebih jauh lagi, mustahil baginya melaksanakan
pekerjaan yang begitu besar pada saat dia berada dalam perjalanan. Sebaliknya,
perlindungan dan fasilitas yang diterimanya dari para penguasa Aceh semakin
mempertegas kenyataan bahwa dia menulis karya itu di Aceh. Sedangkan Peter G.
Riddel, setelah melihat informasi dari manuskrip tertua karya tafsir ‘Abd al-Rauf,
berkesimpulan bahwa kitab tersebut ditulis sekitar 1675 M.11
Sebagai karya tafsir paling awal di Melayu-Nusantara, tidak mengherankan jika
Tarjuman al-Mustafid beredar luas di kawasan ini. Bahkan, edisi cetakannya dapat
ditemukan di kalangan komunitas Melayu di tempat sejauh Afrika Selatan—
kemungkinan mereka adalah para pengikut Syekh Yusuf al-Maqassari. Di antara
manuskrip kitab Tarjuman al-Mustafid, salinan paling awal yang saat ini masih ada
berasal dari akhir abad XVII M dan awal abad XVIII M. Pada 1302 H/1884 M dan 1324
H/1906 M, karya tersebut diterbitkan di Istanbul (Konstatinopel) oleh percetakan al-
Mathba’ah al-‘Utsmaniyyah. Penerbitan ini konon dijadikan bukti persahabatan Kerajaan

10
Ibid.
11
Saifuddin dan Wardani, Tafsir nusantara Analisis Isu-Isu Gender dalam al-Mishbah Karya M. Quraish
Shihab dan Tarjuman al-Mustafid Karya ‘Abd al-Rauf Singkel (Yogyakarta: LKIS, 2020), hal 55-57.
Turki dengan umat Islam di Melayu-Nusantara. Setelah itu, karya yang sama dicetak
berkali-kali di berbagai belahan dunia Islam, seperti Singapura, Penang, Bombay, Afrika
Selatan, dan di kawasan Timur Tengah, antara lain oleh penerbit Sulaiman al-Maraghi di
Kairo, Mesir dan al-Amiriyyah di Makkah. Kenyataan bahwa Tarjuman al-Mustafid
diterbitkan di Timur Tengah pada masa yang berbeda-beda, mencerminkan nilai tinggi
karya ini serta ketinggian intelektual ‘Abd al-Rauf. Kemudian, edisi yang lebih
belakangan dicetak di Jakarta pada 1981. Hal demikian menunjukkan bahwa karya
monumental tersebut masih digunakan di kalangan kaum muslim Melayu-Indonesia pada
masa kini.12
Nilai signifikansi karya tafsir ‘Abd al-Rauf ini adalah merupakan suatu petunjuk
dalam sejarah perkembangan suatu petunjuk dalam sejarah perkembangan keilmuan
Islam di Melayu-Nusantara. Kitab ini banyak memberikan sumbangan berharga kepada
telaah tafsir al-Qur’an di Nusantara. Ia telah meletakkan dasar-dasar bagi sebuah
jembatan antara tarjamah (terjemahan) dan tafsir, dan karenanya mendorong telaah lebih
lanjut atas karya-karya tafsir dalam bahasa Arab. Banyaknya perhatian para sarjana
terhadap tafsir berbahasa Melayu ini dengan jelas menunjukkan tingginya bobot
keilmuan yang terkandung di dalamnya. Selama hampir tiga abad, Tarjuman al-Mustafid
merupakan satu-satunya terjemahan lengkap al-Qur’an di tanah Melayu.13
Studi yang dilakukan oleh beberapa sarjana belakangan terhadap tafsir Tarjuman
al-Mustafid berhasil membuktikan secara meyakinkan bahwa karya itu merupakan
terjemahan Melayu dari tafsir al-Jalalain. Peter G. Riddell, setelah mengkaji secara
cermat manuskrip tafsir ‘Abd al-Rauf Singkel, mengajukan kesimpulan bahwa Tarjuman
al-Mustafid adalah hasil terjemahan dari tafsir al-Jalalain, dan hanya pada bagian-bagian
tertentu saja ‘Abd al-Rauf memanfaatkan tafsir al-Baidhawi dan al-Khazin. Salman
Harun dalam penelitiannya juga berhasil membuktikan bahwa tafsir ‘Abd al-Rauf itu
bukan terjemahan dari tafsir al-Baidhawi sebagaimana diungkapkan Snouck Hurgronje,
tetapi merupakan terjemahan dari tafsir al-Jalalain.14
Tafsir al-Jalalain merupakan karya monumental dua ahli tafsir kenamaan Jalal al-
Din al-Mahalli (w. 864 H) dan Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H). Imam al-Jalal al-Din

12
Ibid., hal 57-58.
13
Saifuddin dan Wardani, op.cit., hal 58.
14
Ibid.,, hal 60-61.
al-Suyuthi sendiri adalah seorang tokoh utama tempat sebagian besar ulama terkemuka
dalam jaringan melacak silsilah intelektual dan spiritual mereka. Pemilikan ‘Abd al-Rauf
atas tafsir al-Jalalain sebagai sumber utama dari karya tafsirnya jelas karena dia
mempunyai isnad-isnad yang menghubungkannya dengan al-Suyuthi, baik melalui al-
Qusyasyi maupun al-Kurani. Setelah menerima ijazah dari al-Kurani untuk menyebarkan
semua ilmu yang telah diterimanya melalui rangkaian periwayat yang berkesinambungan,
yang mencakup al-Suyuthi, ‘Abd al-Rauf dapat diharapkan lebih memiilih tafsir al-
Jalalain daripada karya-karya tafsir al-Qur’an lainnya. Terlebih lagi, jika kita
mempertimbangkan fakta bahwa ‘Abd al-Rauf juga mengambil Fath al-Wahhab karya
Zakariya al-Anshari (w. 926 H/1520 M) sebagai sumber utama bagi karya-karyanya,
Mir’at al-Thullab.15
Berdasarkan koleksi naskah (manuskrip) yang tersimpan di Museum Nasional
Indonesia di Jakarta, A.H. Johns menyimpulkan bahwa tafsir al-Jalalain merupakan karya
tafsir yang paling banyak beredar di Nusantara. Karena itu, sekurang-kurangnya
popularitas tafsir al-Jalalain sudah tidak perlu diperdebatkan lagi dan sangat mungkin jika
karya tafsir ini diketahui dengan baik oleh penduduk muslim Melayu-Nusantara sebelum
‘Abd al-Rauf Singkel menyusun karya tafsirnya, Tarjuman al-Mustafid, dan dengan
demikian dia menulis kitab tafsir dalam bahasa Melayu—sebagai terjemahan dari tafsir
al-Jalalain—untuk menjawab kebutuhan tersebut. 16
Keunikan tafsir ini dapat dilihat pada dua hal; pertama, dari sisi konten, yaitu;
penggunaan analisis bahasa dalam penafsirannya, dalam hal ini al-Sinkili memakai ilmu
qira’at. Penggunaan ilmu qira’at ni mengindikasikan bahwa al-Sinkili adalah ulama yang
sangat dalam keilmuannya. Kedua, dari sisi historis, yaitu kitab ini ditulis oleh ulama
yang didukung oleh istana. Ketika itu, al-Sinkili hidup di masa kepemimpinan empat
orang Sultanah, yaitu; Shafiyyah al-Din (1641-1675), Nur al-Alam Naqiyyah al-Din
(1675-1678), Zakiyyah al-Din (1641-1675), dan Kamalat al-Din (1688-1699).17

D. Metode dan Corak Penafsiran Tarjuman Al-Mustafid

15
Saifuddin dan Wardani, op.cit., hal 61.
16
Ibid., hal 61-62.
17
Afriadi Putra, op.cit., hal. 70.
Penafsiran Alquran secara garis besar dilakukan dengan 4 metode, yaitu
penafsiran secara global (Ijmali), penafsiran secara teliti (Tahlili), penafsiran dengan
perbandingan (Muqarin), dan penafsiran secara tematik (Maudhu’i). Jika dilihat secara
garis besar, maka tafsir Tarjuman Al-Mustafid merupakan karya tafsir yang menjelaskan
Al-Qur’an tanpa bertele-tele dan lebih mengutamakan keringkasan penafsiran, maka
tafsir Tarjuman Al-Mustafid termasuk pada golongan tafsir yang menggunakan metode
penafsiran secara global (Ijmali).18 Penafsirannya pun digolongkan pada tafsir kategori
Tafsir bi ar-Ra’yi atau tafsir Al-Qur’an menggunakan nalar, tanpa mengenyampingkan
pendapat para sahabat dan tabiin.
Selain itu, kitab tafsir Tarjuman Al-Mustafid juga digolongkan dalam kitab tafsir
yang dalam sistematikanya penulisannya pada golongan Mushafi atau kitab tafsir yang
ditulis dengan pedoman susunan ayat-ayat dan surah-surah dalam mushaf.19
Kitab tafsir Tarjuman Al-Mustafid merupakan terjemahan dari kitab tafsir Al-
Jalalain. Oleh karena itu, metode dalam penafsirannya pun tidak jauh berbeda dengan
yang dilakukan oleh pengarang kitab Jalalain tersebut, yaitu Jalal ad-Din al-Mahalli dan
Jalal ad-Din as-Suyuthi. Kitab Jalalain sendiri merupakan kitab tafsir yang menerangkan
kandungan Al-Qur’an secara ringkas, padat dan lugas. 20
Adapun yang merupakan ciri-ciri dari tafsir Al-Jalalain adalah:
1. Menjelaskan makna dari sebuah kata (semantik) dan fungsi kata.
2. Mengutamakan pendapat yang paling kuat di antara sekian pendapat.
3. Menerangkan kedudukan sebuah kata (i’rab) dalam sebuah struktur kalimat.
4. Menjelaskan perbedaan cara baca (Qira’at).

Dengan ciri-ciri yang demikian, maka tafsir Al-Jalalain merupakan karya yang
bagus sebagai pendahuluan bagi kalangan muslimin yang ingin belajar tafsir. Namun
demikian, Abd ‘ar-Rauf Singkel membuat tafsir Tarjuman Al-Mustafid yang berpatokan
pada tafsir Al-Jalalain tersebut memiliki tujuan yang memerlukan sedikit modifikasi dari
beliau sendiri. Hal itu berupa penahanan atau tidak menonjolkan pendapat pribadi dalam
karya beliau dan menjauhi penjelasan tata bahasa Arab atau penafsiran-penafsiran
18
Arivaie Rahman, “Tafsir Tarjuman Al-Mustafid Karya ‘Abd Al-Rauf Singkel”, MIQOT, Vol. 42, No. 1,
Januari-Juni 2018, 12-13.
19
Afriadi Putra, op.cit.,, 77.
20
Saifuddin dan Wardani, op.cit.,, 62.
panjang yang dinilai menyulitkan pembacanya di kalangan masyarakat nusantara. Beliau
menjelaskan kata per kata dengan bahasa yang mudah agar pembacanya mudah
memahami maksud dari ayat yang sedang ditafsirkan, sehingga menjadi petunjuk praktis
dalam kehidupan mereka.21

Atas dasar itulah, kitab tafsir ini walau disebut sebagai duplikat dari Tafsir al-
Jalalain, namun sebenarnya tidaklah sama sepenuhnya, ada beberapa unsur yang dibuang
dan ditambahkan di dalam kitab ini. Unsur-unsur yang dibuang seperti;

1) penjelasan tentang kedudukan (i’rab) suatu kata


2) penjelasan makna kata (semantik)
3) interpretasi yang agak panjang
4) interpretasi yang sulit dicerna oleh pembaca
5) sebagian penjelasan al-Jalalain yang tidak termuat dalam tafsir pokoknya,
yakni tafsir al-Khazin
6) penjelasan tentang sebab turun ayat (asbab al-nuzul) dan perbedaan bacaan
(qiraat). Awalnya, kedua penjelasan itu tidak diambil oleh beliau, namun
kemudian beliau memuatnya kembali setelah menyadari pentingnya bahasan
ini.22

Selain meninggalkan beberapa unsur, al-Singkil juga menambahkan beberapa


unsur lain di luar tafsir al-Jalalain, di antaranya :

1) pengkonkretan kata ganti dan kata petunjuk, serta penegasan kembali apa yang
telah diungkapkan
2) memuat kembali penjelasan-penjelasan yang ditinggalkan al-Jalalain dari
sumber pokoknya, yakni tafsir al-Khazin
3) penjelasan tentang perbedaan bacaan (qiraat) beserta para pembawa qiraatnya
4) penjelasan tentang kisah-kisah dan sebab-sebab turunnya ayat (asbab al-
nuzul).23

21
Ibid., 63.
22
Ibid., 63-65.
23
Ibid., 65-66.
PENUTUP

Kitab Tafsir Tarjuman al-Mustafid karangan Abd ar-Rauf Singkel, seorang ‘ulama
asal Aceh, dianggap sebagai kitab tafsir lengkap 30 juz pertama yang ditulis dalam
bahasa Melayu. Ini tentu merupakan suatu hal yang membanggakan, mengingat
kebanyakan kitab tafsir ditulis dalam bahasa Arab oleh mufassir yang juga berasal dari
negeri Arab. Tafsir bernuansa lokal ini memudahkan umat Islam Indonesia—yang tidak
seluruhnya paham bahasa Arab—untuk bisa memperdalam ilmu agama secara umumnya,
dan tafsir al-Qur’an secara khususnya.

Kitab Tafsir ini diyakini sebagai terjemahan Tafsir al-Jalalain, karangan mufassir
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi yang sudah banyak dipelajari dan
tersebar luas di Indonesia. Namun, bukan berarti sama sekali tak ada hal yang
membedakan Turjuman al-Mustafid dengan Tafsir al-Jalalain. Nyatanya, ada beberapa
pengurangan dan penambahan yang dilakukan oleh Abd ar-Rauf Singkel untuk lebih
memudahkan orang Indonesia dalam memahami tafsir al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rukiah dan Mahfudz Masduki, “Karakteristik Tafsir Nusantara (Studi Metodologis atas Kitab
Turjuman Al-Mustafid Karya Syekh Abdurrauf al-Singkili”, dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-
Qur’an dan Hadis, Vol. 16, No. 2, Juli 2015.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara. Bandung, Mizan, 1994.

Putra, Afriadi, “Khazanah Tafsir Melayu”, dalam Jurnal Syahadah Vol. II, No. 2, Oktober 2014.

Rahman, Arivaie, “Tafsir Tarjuman Al-Mustafid Karya ‘Abd Al-Rauf Singkel”, MIQOT, Vol. 42, No. 1,
Januari-Juni 2018.

Saifuddin dan Wardani, Tafsir nusantara Analisis Isu-Isu Gender dalam al-Mishbah Karya M. Quraish
Shihab dan Tarjuman al-Mustafid Karya ‘Abd al-Rauf Singkel. Yogyakarta, LKIS, 2020.

Zaenuddin, “Akar Pembaharuan Islam di Indonesia”, dalam Wahana Akademika, Vol. 15, No. 1, April
2013.

Anda mungkin juga menyukai