Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Nama lengkapnya ‘Abdur- Rauf bin ‘Ali Al Jawi Al Fansuri As Singkili


atau sering kali disebut Abdur Ra’uf As Singkel. Dia lahir pada 1024 Hijriyah
atau 1615 Masehi di Singkil, Aceh.

Ayahnya adalah Syaikh Ali Fansuri yang memiliki hubungan saudara


dengan Hamzah Fansuri, penyair dan ulama sufi ternama Melayu. Sang ayah
pun merupakan ulama ternama Aceh. Dari sang ayah lah, pendidikan agama
As Singkel bermula.

As Singkel kemudian belajar ke Barus atau Fansur, sebuah kawasan di


Sumatra Utara yang menjadi pusat pembelajaran Islam bangsa Melayu dan
Asia kala itu. Baru kemudian, pada usia remaja ia menuntut ilmu di Banda
Aceh. Beberapa sejarawan juga menyebut Syekh sempat menjadi murid dari
Hamzah Fansuri.

Di usia menginjak dewasa, As Singkel pergi m e n u n t u t ilmu ke Timur


Tengah. Dari Doha, k e m u d i a n ke Yaman, Jeddah, kemudian menetap
lebih lama di Makkah dan Madinah. Disebut kan, ia berguru pada 19 ulama di
berbagai bidang ilmu agama ditambah lagi 27 ulama yang berhubungan akrab
dengannya.

Salah satu gurunya, yakni Ahmad Kusyasyi yang mengajarkan As Singkel


mempelajari ilmu tasawuf. Guru tersebut wafat saat As Singkel masih belajar
padanya. Hingga kemudian, Kusyasyi digantikan muridnya, Mula Ibrahim
Kurani. Dari murid Kusyasyi inilah As Singkel mendapat izin untuk mengajar
dan mendirikan sekolah Islam di Aceh. Setelah 19 tahun belajar di Haramain,
ditambah mengantongi banyak izin dari ulama, As Singkel pun pulang ke
Aceh dan mulai mengajar.

1
Sejak 1661, As Singkel mengajar di Aceh. Muridnya luar biasa banyak
jumlahnya, tak hanya dari Melayu, tapi juga dari seluruh nusantara. Laman
Melayu Online menggambarkan sosok As Singkel sebagai mualim yang
menaruh perhatian besar pada murid-muridnya. Setiap karyanya selalu
bertolak dari perhatiannya pada mereka. Dia sangat perhatian agar para
muridnya mendapat pemahaman Islam yang baik, teguh kesalihan, dan
terhindar dari kesalahan.

Tak lama setelah pulang dari Haramain, As-Singkel diangkat sebagai


mufti atau qadi oleh Sultan Aceh kala itu. Ia juga diangkat menjadi ulama
besar bergelar Syekh Jamiah Ar Rahman. Ia pun kemudian sibuk mengajar
dan menjadi hakim Kesultanan Aceh. Sekitar 30 tahun, As Singkel bergelut
dibidang tersebut, mengajar dan menjadi hakim.

Selama hidupnya, syekh sangat produktif menghasilkan karya. Salah satu


karya fenomenalnya, yakni di bidang tafsir. Tarjuman Al Mustafid merupakan
karya tafsirnya yang pertama di nusantara. Hingga kini, karya tersebut masih
dapat ditemui. Tafsir tersebut juga tak hanya dicetak dan diterbitkan di
nusantara, melainkan juga di Istanbul Turki; Singapura; Penang, Malaysia;
Bombay, India; Afrika Selatan, serta kawasan Timur Tengah, seperti Kairo
dan Makkah.

Selain tafsir, masih banyak karyanya yang terkenal. Sedikitnya, 22 karya


dia hasilkan di bidang fikih, hadis, tauhid, hingga tasawuf. Tak hanya dalam
bahasa Melayu, dia juga menghasilkan karya dalam bahasa Arab. Di antara
karyanya, selain tafsir, yakni Syarh (penjelasan) Hadits Arba’in Imam An-
Nawawi. Dia menulisnya atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin. Kemudian,
di bidang fikih, Mir’at al- Thullab fî Tasyil Mawa’iz al-Badî’rifat al-Ahkam
al-Syar’iyyah li Malik al- Wahhab yang ditulis atas permintaan Sultanah
Safiyatuddin. Selain itu, terdapat Mawa’iz Al Badi yang berisi nasihat tentang
akhlak Muslimin.

2
Kemudian, Daqaiq Al Hurf mengenai pengajaran tasawuf dan teologi serta
Kifayat al-Muhtajin ila Masyrah al- Muwahhidin al-Qailin bi Wahdatil Wujud
berisi konsep wihdatul wujud. Setelah kiprah yang banyak ia torehkan untuk
perkembangan Is lam di nusantara, As Singkel meng hembuskan napas
terakhir di usia 73 tahun. Dia meninggal di Kuala Aceh pada 110 Hijriyah atau
1693 Masehi.

B. Rumusan masalah

Makalah ini dibuat untuk membahas lebih dalam mengenai siapa abdul
rauf as singkili secara mendetail kembali.

C. Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas serta menjadikannya media


belajar bagi pembaca.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Abdul Rauf al-Singkili


Nama lengkapnya Abdul Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri as-Sinkili, 1dalam
sumber lain Aminuddin Abdul Rauf bin Ali al-Jawi Tsumal Fansuri al-Singkili. 2
Di Aceh ia dikenal juga dengan sebutan Syiah Kuala atau Teungku di Kuala,
sebagai nisbah kepada tempat mengajarnya, yakni Desa Kuala yang kemudian
menjadi tempat pemakamannya, yang sekarang masuk di kawasan Kota Banda
Aceh. Ia dilahirkan di Suro, sebuah desa pinggiran sungai simpang kanan,
sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Singkil. Tahun kelahirannya tidak
diketahui secara pasti, namun suatu pendapat mengatakan bahwa ia dilahirkan
sekitar tahun 1620 M.3

Kemudian, Rinkes mengadakan kalkulasi ke belakang dari sekembalinya


beliau dari Timur Tengah ke Aceh, ia berpendapat bahwa ia dilahirkan sekitar
tahun 1024 M/1615 H. Pendapat terakhir ini telah disetujui oleh sebagian besar
ahli, berdasarkan buku yang ditulisnya yang bertarikh 1683 (1105 H). Dalam
buku ini dijelaskan bahwa buku tersebut disusun di Peunayong di tepi kanan
Krueng Aceh, Banda Aceh. Para sarjana berpendapat, di tempat dan tahun inilah
beliau wafat. Jadi, sekiranya tahun 1620 M ditetapkan sebagai tahun kelahirannya,
dan beliau meninggal dunia dalam usia 63 tahun.4

1
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
&XVIII, edisi revisi. Jakarta, 2004: Kencana. hal: 189.
2
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf Syaikh Abdurrauf Al-Singkili. Dalam Islamic
Moment Journal, Volume 1 nomor 1. Banda Aceh, Januari-Juni 2013: IAIN Ar-Raniry, hal:
105.
3
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin Rujukan Tarekat Syattariyah Nusantara, dalam Jurnal
Studi Keslaman, Volume 17 nomor 2. Banda Aceh, Desember 2013: IAIN Ar-Raniry, hal:
306.
4
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 306. Pernyataan serupa dijelaskan pula dalam
Harun Hadiwijono, Kebatinan Islam dalam Abad Enambelas. Jakarta, 1971: BPK. Gunung
Mulia, hal: 14.

4
Ayahnya berasal dari Arab bernama Syeikh Ali, seorang ulama terkenal
yang membangun dan memimpin Dayah Simpang Kanan di Pedalaman Singkel.
Sedangkan ibunya, berasal dari Fanzur yang merupakan bandar yang sangat ramai
pada masanya. Sebab itu, Abdurrauf sering dinisbatkan kepada dua nama
tersebut.5

B. Riwayat Pendidikan Abdul Rauf al-Singkili


Abdul Rauf muda belajar agama pada ayahnya sendiri di Singkel. Menurut
A. Hasjmy, al-Singkili kemudian belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda
Aceh seperti ke Dayah Manyang di Barus pimpinan Hamzah Fanshuri, kemudian
dilanjutkan berguru kepada Syamsuddin al-Sumaterani di dayah tinggi yang
berada di Samudera Pasai.6Setelah sang guru diangkat menjadi qadhi oleh Sultan
Iskandar Muda ke Banda Aceh,7 al-Singkili melanjutkan studinya dengan rute
meliputi Dhuha (Doha), Qatar, Yaman, Jeddah dan akhirnya Mekkah dan
Madinah selama 19 tahun.8 Keberangkatannya dari Aceh ke Arab diperkirakan
tahun 1642 M/1042 H.9

Menurut catatan al-Singkili sendiri yang ditulis dalam Umdat al-Muhtajin


ila Suluk Maslak al-Mufridin, ada 19 orang guru yang dia datangi dalam
mempelajari bermacam disiplin ilmu. Selain itu juga dia mempunyai hubungan
pribadi dengan sejumlah ulama-ulama lain yang sangat mungkin merupakan
teman diskusi dalam ilmu-ilmu tertentu. Beberapa guru yang disebutkan al-
Singkil adalah Abd al-Qadir al-Mawrir ketika di Doha (Wilayah Teluk Persia).
Namun ia tinggal tak berapa lama dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju
Yaman dan berguru pada Keluarga Ja’man (Muhammad bin Ja’man dan Ibrahim
bin ‘Abdullah bin Ja’man) dan Qadhi Ishaq. Guru-gurunya di Yaman nampaknya
ahli dalam bidang Hadits dan Fiqh. Seperti dipetakan kebanyakan ulama Yaman
adalah murid dari Ahmad Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, yang pada akhirnya al-

5
Syamzan Sukur, Kontroversi Pemikiran Abdul Rauf Al-Singkili, dalam Jurnal Adabiyyah
Volume 15 Nomor 1. Makassar, 2015: UIN Alauddin, hal: 76.
6
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 105.
7
Syamzan Sukur, Kontroversi Pemikiran.., hal: 76.
8
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 106.
9
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 308.

5
Singkili sendiri juga belajar langsung pada Ahmad Qusyasi dan Ibrahim al-Kurani
serta puteranya, Muhammad Thahir di Mekkah dan Madinah. 10 Sebelumnya, al-
Singkili telah berguru kepada Mufti Abdul Qadhir al-Barkhali di Jeddah dan
Syeikh Ali at-Thabary seorang ahli fiqih di Mekkah.11

Setelah belajar di Madinah pada Syeikh Tarekat Syatariyah, Ahmad al-


Qusyasyi (w.1661/1082 H) dan kemudian pada khalifah atau penggantinya,
Ibrahim al-Kurani, Abdul Rauf memperoleh ijazah dari pimpinan tarekat tersebut.
Ini berarti ia telah beroleh pengakuan dan hak untuk mengajarkan tarekat
Syattariyah itu kepada orang lain atau untuk mendirikan cabang baru di tempat
lain.12Perlu diketahui, pada al-Qusyasyi-lah Abdul Rauf mendapatkan kepuasan
dalam mempelajari ilmu mistik, sebab dari al-Kurani, ia hanya mendapatkan ilmu
intelektual Islam. karena itu, menurut penilaian Azyumardi Azra, Al-Qusyasyi
adalah guru spiritual Abdul Rauf, sedangkan al-Kurani adalah guru spiritualnya.13

Ia kembali ke Aceh sepeninggal sang guru sekitar tahun 1661 M. Menurut


riwayat, Abdul Rauf mengambil tempat di Peunayong, sebuah daerah di Bandar
Aceh Darussalam, di tepi sungai Aceh. Di tempat inilah ia tinggal sejak pertama
kedatangannya dari Arab Saudi sampai ia meninggal dunia. 14Ia diberi kepercayaan
memangku jabatan selaku Qadhi Malikul Adil atau Mufti yang bertanggungjawab
terhadap administrasi masalah-masalah kenegaraan.15

Al-Singkili juga terkenal di Aceh dan juga seorang sufi yang mencari
keseimbangan antara berbagai pandangan para pendahulunya dan mengajarkan
zikir wirid Syatariyah. Banyak murid yang datang padanya seperti Daud Rumi
dan Burhanuddin Ulakkan dari Minangkabau yang pada masa selanjutnya sangat
10
Amiruddin, M.Hasbi, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik. Yogyakarta, 2004: :
Ceninnets Press, hal.29-30. Lihat pula dalam Ahwan Mukarrom, Konsep Abdul Rauf
Singkel Tentang Kematian dalam Naskah Lubb Al-Kashf wa al-Bayan, dalam ISLAMICA
Volume 4 nomor 1. Surabaya, Desember 2009: IAIN Sunan Ampel, hal: 133.
11
Syamzan Sukur, Kontroversi Pemikiran.., hal: 76.
12
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 107. Lihat pula dalam Hawash Abdullah,
Perkembangan Tashawwuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara. Surabaya,1980: Al-Ikhlas),
hal: 51.
13
Syamzan Sukur, Kontroversi Pemikiran.., hal: 76.
14
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 308.
15
Syamzan Sukur, Kontroversi Pemikiran.., hal: 77.

6
berpengaruh dalam proses islamisasi di Minangkabau, Abdul Muhyi dari
Pamijahan, dan Abdul Malik bin Abdullah dari Semenanjung Melayu.16

Berikut penulis merangkum riwayat pendidikan al-Singkili, dimlai dari


guru-gurunya, rekan diskusinya baik dari kalangan ahli fiqih ataupun ahli sufi:

Nomor Nama Guru Keahlian Asal


1. Syeikh ‘Abd al-Qadir Murir - Mokha (Doha,
Qatar)
2. Syeikh Imam ‘Ali al-Tabari - Mekkah
3. Syeikh ‘Abd al-Qadir al- Mufti/ ahli fiqih Jeddah
Barkhali
4. Syeikh ‘Abd al-Wahid - Bait al-
al-Hashiriy Faqih,Yaman
5. Syeikh Ibrahim bin Ilmu Zahir Bait al-Faqih,
‘Abdullah Jam’an Ibn ‘Ujayl
6. Syeikh Ibrahim bin - Bait al-Faqih
Muhammad Jam’an
7. Syeikh Ahmad Junnah - Bait al-Faqih
8. Qadhi Ishaq bin - Zabid, Yaman
Muhammad Jam’an
9. Syeikh Muhammad Thabati - Zabid, Yaman
10. Syeikh ‘Abd al- Rahim Khas - Zabid, Yaman
11. Syeikh Sadiq Mizjaji Zabid, Ahli qura’ Zabid, Yaman
Yaman ‘Abdullah ‘Adni
12. Faqih ‘Ali bin Muhammad Qari’ & ahli Hadis Zabid, Yaman
Dayba’
13. Abdullah ‘Adni Ahli - Zabid, Yaman
qura’/guru
14. Qadi Muhammad Luhayya - Yaman
15. Qadi ‘Umar Mahy al-Din - Yaman
Mawzi’
16. Syeikh Ahmad al-Qushashi - Madinah
17. Syeikh Burhan al-Din Mulla - -
Ibrahim bin Hasan
Tabel 1. Guru-Guru Abdul Rauf al-Singkili17

16
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta,2007: Rajagrafindo
Persada, hal.250.
17
Fairuzah Basri, dkk. Manuskrip Umdah al-Muhtajin, Sumber Biografi Abdul Rauf al-
Singkili. Dalam Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN) IV, 25-26 November 2011.
Selangor: Universitas Kebangsaan Malaysia, hal: 178.

7
Nomor Nama Guru Jabatan Asal
1. Umar Fursan Mufti Mokha Mokha, Yaman
2. Syeikh Abd al-Fattah al-Has Mufti Zabid Zabid, Yaman
3. Faqih Tayyib Jam`an Faqih Bait al-Faqih
Yaman
4. Faqih Muhammad Jam’an Faqih Bait al-Faqih
Yaman
5. Faqih ‘Ali ‘Aqibah Faqih Ta’iz, Yaman
6. Faqih Tahir Faqih Hadidah, Yaman
7. Qadi Muhammad bin Mutayr Qadhi Yaman
8. Faqih ‘Ali bin Mutayr Faqih Yaman
9. Faqih ‘Ahmad bin Mutayr Faqih Yaman
10. Syeikh ‘Abd al-‘Aziz Ulama Mekkah Mekkah
Zamzani
11. Qadi Tajuddin Ulama Mekkah Mekkah
12. Syeikh Muhammad Yabali Ulama Mekkah Mekkah
13. Syeikh Zayn al-Din al-Tabari Ulama Mekkah Mekkah
14. Syeikh ‘Ali Jamal Ulama Mekkah Mekkah
15. Syeikh ‘Abdullah Baal- Ulama Mekkah Mekkah
Qushairi
16. Syeikh Zanjabil Ulama Mekkah Mekkah
17. Syeikh Isa Maghzi Ulama Mekkah Mekkah
18. Syeikh ‘Abd al-Wahid al- Ulama Mekkah Mekkah
Dawqi
19. Syeikh Yasin Ulama Madinah Madinah
20. Syeikh Ibrahim Khayari Ulama Madinah Madinah
21. Syeikh ‘Ali Basir Ulama Madinah Madinah
22. Syeikh Barri Ulama Madinah Madinah
23. Imam Barri Ulama Madinah Madinah
24. Mulla Nafi’ Ulama Madinah Madinah
25. Syeikh ‘Abd al-Rahman Hijaz Ulama Madinah Madinah
26. Sayyid Muhammad Barzanji Ulama Madinah Madinah
Kurdi
27. Mulla Muhammad Sharif Ulama Madinah Madinah
Kurdi
Tabel 2. Rekan Diskusi al-Singkili dari Ahli Fiqih18

Nomor Nama Rekan Sufi Catatan


1. Syeikh Ahmad ‘Ujayl -
2. Syeikh Abu al-Qasim Mashra’ -
3. Syeikh Junayd -
4. Syeikh Muhammad Farwa -
18
Fairuzah Basri, dkk. Manuskrip Umdah al-Muhtajin, Sumber Biogrfai Abdul Rauf al-
Singkili. Dalam Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN) IV, 25-26 November 2011.
Selangor: Universitas Kebangsaan Malaysia, hal: 179.

8
5. Syeikh ‘Ali Hubali -
6. Syeikh Sayyid Husayn -
7. Syeikh Maqbul Muhjab -
8. Syeikh Muhammad Hadar -
9. Syeikh Muhammad al-Baqi Zuriat Syeikh ‘Ali Ahdal
10. Sayyid Tahir Zuriat Syeikh ‘Ali Ahdal
11. Syeikh ‘Abd al-Qadir Mashra’ -
12. Syeikh Muhammad Shiri -
13. Syeikh Murza -
14. Syeikh Ma’sum -
15. Syeikh Sayyid Sulayman -
Tabel 3. Rekan Diskusi al-Singkili dari Ahli Sufi19

C. Tarekat Syatariyyah dan Abdul Rauf al-Singkili


Tarekat Syatariyah adalah suatu macam tarekat muktabarah yang
dinisbahkan kepada Abdullah al-Syattar (W. 890 H/1485 M). Dalam kitab Al-Simt
al-Majid, Syeikh Ahmad al-Qusyasyi, khalifah Tarekat Syattariyah di Haramayn,
menjelaskan berbagai tuntutan dan ajaran bagi para penganut tarekat, termasuk di
dalamnya Tarekat Syattariyah. Kitab ini berisi aturan dan tata tertib menjadi
anggota tarekat, serta juga berisi tuntutan tentang tata cara dzikirnya. Menurut al-
Qusyasyi, gerbang pertama bagi seseorang untuk masuk ke dunia tarekat adalah
talqin dan bai’at.

Pertama, talqin. Menurut al-Qusyasyi, di antara tata cara talqin adalah calon
murid terlebih dahulu menginap di tempat tertentu yang ditunjuk oleh syeikhnya
selama tiga malam dalam keadaan suci (berwudhu). Dalam setiap malamnya, ia
harus melakukan sholat sunnat sebanyak enam rakaat, dengan tiga kali salam.
Pahala sholat tersebut dihadiahkan kepada Nabi SAW seraya berharap mendapat
pertolongan dari Allah SWT. Selanjutnya, pada rakaat pertama dari dua rokaat
kedua, pahalanya dihadiahkan untuk arwah para Nabi, Keluarga, Sahabat, serta
para pengikutnya. Terakhir, pada rakaat pertama dari dua rakaat ketiga, pahalanya
dihadiahkan untuk para arwah guru-guru tarekat, keluarga, sahabat, serta para
pengikutnya. Rangkaian sholat sunnah ini kemudian diakhiri dengan pembacaan

19
Fairuzah Basri, dkk. Manuskrip Umdah al-Muhtajin, Sumber Biogrfai Abdul Rauf al-
Singkili. Dalam Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN) IV, 25-26 November 2011.
Selangor: Universitas Kebangsaan Malaysia, hal: 179.

9
sholawat kepada Nabi sebanya sepuluh kali. Kedua, bai’at. Secara hakiki, bai’at
menurut al-Qusyasyi merupakan ungkapan kesetiaan dan penyerahan diri dari
seseorang murid secara khusus kepada seikhnya (kepatuhan mutlak), dan secara
umum kepada lembaga tarekat yang dimasukinya. Seorang murid yang telah
mengikrarkan diri masuk ke dalam dunia tarekat, tidak dimungkinkan lagi untuk
kembali keluar dari ikatan tarekat tersebut.20

Dilihat dari berbagai karyanya, Abdul Rauf seperti sang guru, al-Kurani
menunjukkan bahwa perhatiannya diarahkan pada rekonsiliasi antara syari’at dan
tasawuf, atau dalam istilahnya sendiri antara ilmu dzahir dan ilmu bathin. Karena
itu, ajaran-ajaran yang diusahakannya menyebar di Melayu-Indonesia bersifat
neo-Sufisme.21

Tarekat Syatariyah yang dikembangkan oleh 'Abd al-Rauf al-


Singkilimemiliki tiga ajaran pokok, antara lain:

Bagian Pertama, Ketuhanan dan hubungannya dengan alam. Paham


ketuhanan dalam hubungannya dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan
paham Wahdat a1- Wujud, dengan pengertian bahwa Tuhan dan alam adalah satu
kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam, bedanya oleh al- Singkili ini
dijelaskannya dengan menekankan pada transendennya Tuhan dengan alam. la
mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya
bukan wujud yang hakiki. Bagaimana hubungan Tuhan dengan alam dalam
transendennya, al-Singkili menjelaskan bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam
raya (al-'alam), Dia selalu memikirkan (berta'akul) tentang diri-Nya, yang
kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (cahaya Muhammad). Dari
Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar (al-'ayan tsabitah), yaitu
potensi dari semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola dasar luar (al-‘ayan
alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam bentuk konkritnya. Ajaran tentang ketuhanan al-

20
Mulyana, Tarekat Syatariyyah. Diunggah pada 24 Juni 2013 dan diunduh pada 28
September 2016.
21
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama.., hal: 201.

10
Singkili di atas, disadur dan dikembangkan oleh Syeikh Burhan al-Din Ulakan
seperti yang terdapat dalam Kitab Tahqiq. Kajian mengenai ketuhanan yang
dimuat dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid
dalam pengertian Tauhid syari'at, Tauhid tarekat, dan Tauhid hakekat, yaitu
tingkatan penghayatan tauhid yang tinggi.

Bagian kedua, Insan Kamil atau manusia ideal. Insan Kamil lebih mengacu
kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya).
Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensi-Nya, yang
sebenarnya manusia adalah esensi dari esensi-Nya yang tak mungkindisifatkan
itu. Oleh karenanya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya,
mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya, sehingga "Ia adalah Dia."
Manusia adalah kutub yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya.
Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama yang sesuai dengan pakaiannya.
Manusia yang merupakan perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir dalam
rupa-rupa para Nabi (dari Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad SAW) dan para
qutub (wali tertinggi pada satu zaman) yang datang sesudah mereka. Hubungan
wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya.
Pembahasan tentang Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama,
Masalah Hati. Kedua, kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan kharijiyyah
dan a’yan tsabitah. Ketiga, akhlak, takhalli, tahalli dan tajalli.

Bagian ketiga, jalan kepada Tuhan (Tarekat). Dalam hal ini Tarekat
Syatariyah menekankan pada rekonsiliasi syari'at dan tasawuf, yaitu memadukan
tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah,
tauhid sifat, tauhid zat dan tauhid af'al. Segala martabat itu terhimpun dalam
kalimah laa ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya
diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna
bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat
alikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga al-mawat al-ma'nawi (kematian
ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah).

11
Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang
tidaklah boleh menafikan jalan syari’at.22

Pendekatan al-Singkili pada pembaharuan berbeda dari pendekatan al-


Raniry. Abdul Rauf adalah mujaddid bergaya evoluasioner, bukan radikal.
Karenanya, seperti Ibrahim al-Kurani, dia lebih suka mendamaikan pandangan-
pandangan yang saling bertentangan daripada menolak salah satu di antaranya.
Meski dia tidak setuju pada aspek tertentu doktrin Wujudiyah hanya secara
implisit dia menyatakan pandangan-pandangan itu. Begitu pula, dia menunjukkan
ketidaksukaannya pada pendekatan radikal yang ditempuh al-Raniry sematamata
dengan cara yang tidak mencolok, seperti dikemukakan.23

Dalam bidang tasawuf, Abdul Rauf dianggap sebagai pembawa pertama


tarekat Syattariyah ke wilayah Nusantara.24 Sebetulnya beliau memperoleh ijazah
dari dua tarekat, Syattariyah dan Naqsyabandiyah. Abdul Rauf tidak sama dengan
teman seperguruannya Syekh Yusuf al-Makassari. Syekh Yusuf menyebarkan
tarekat Naqsyabandiyah sedang Abdul Rauf memilih Tarekat Syattariyah. Pilihan
ini kelihatannya mempunyai sebab khusus. Dalam Pasal Masyaikh Ahli al-
Tariqah, Abdul Rauf menyebutkan bahwa tarekat Syattariyah lebih mudah dan
lebih tinggi, dasar amalannya dari Al-Qur’an dan Hadits dan dikerjakan oleh
sekalian sahabat.25

22
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 114. Lihat pula dalam Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama.., hal: 207.
23
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 115.
24
Sri Mulyati dkk., Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta, 2005: Prenada Media.
Jelasnya, Tarekat Syatariyah adalah suatu macam tarekat muktabarah yang dinisbahkan
kepada Abdullah al-Syattar (W. 890 H/1485 M) yang masih memiliki hubungan
kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh, Umar Suhrawardi (539-632 H/1145-1234
M), ulama yang mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyah. Awalnya tarekat ini lebih dikenal
di Iran dan Transoxiana (Asia Tengah) dengan nama Insyiqiah sedangkan di wilayah Turki
Usmani tarekat ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid
Al-Isyqi yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan
selanjutnya Tarekat Syatariyah tidak menganggap sebagai cabang dari persatuan sufi
manapun. Lihat dalam Rian Hidayat Abi El-Bantany, Melacak Tarekat Syattariyah dalam
http://www.kompasiana.com/rianhidayat.abi/melacak-tarekat-syattariyah_5517a541a
333118207b65fbf.Diunggah pada 12 September 2012, diperbarui pada 25 Juni 2015, dan
diunduh pada 28 September 2016.
25
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 310.

12
Menurut Hawasy Abdullah,te rsebarnya tarekatSyattariyah dari Aceh adalah
melalui jalur Sumatera Barat,menyusur hingga ke Sumatera Selatan. Selain itu
berkembang pula hingga ke Cirebon Jawa Barat.Berhubung letak daerah Aceh ini
di bagian utara pulau Sumatera, setiap jama’ah yang akan pergi ke Mekah, akan
singgah dan tinggal sementara di Banda Aceh untuk mengambil bekal perjalanan.
Alasan lain adalah karena para jama’ah menunggu angin musim, mereka turut
juga belajar hukum-hukum agama dan mempelajari serta mengamalkan tarekat
ini. Selain itu, tentunya terdapat juga para murid yang sengaja datang untuk
belajar agama Islam dan tarekat tersebut. Melalui mereka inilah Tarekat
Syattariyah tersebar dan dianut oleh banyak orang di luar kawasan Kerajaan
Aceh.26

Perkembangan Tarekat Syattariyah secara signifikan di luar Aceh,


khususnya di Sumatera Barat melalui upaya dakwah Syekh Burhanuddin Ulakan
(w. 1111 H/1691 M), seorang murid Abdul Rauf, tarekat ini memperoleh banyak
pengikut dan pengamalnya di kawasan Pariaman, Sumatera Barat dan
sekitarnya.Menurut Van Bruinesen, sampai menjelang tahun 1995, Tarekat
Syattariyah di daerah ini masih tetap eksis. Ia menyebutkan daftar pusat tarekat di
Sumatera Barat, yakni di Pasaman 7 buah, Agam 18 buah, Tanah Datar 25 buah,
Solok 11 buah, Padang Pariaman 24 buah, Pesisir Selatan 4 buah, dan Sawah
Lunto 8 buah.27

Tarekat Syattariyah berkembang ke Sulawesi dengan dibawa oleh salah


seorang murid Abdul Rauf bernama Syekh Yusuf Tajul Khalwati Makassar. Di
Jawa, khususnya Jawa Barat, tarekat ini telah tersebar dan memperoleh pengikut
dari pengajaran dakwah Syekh Abdul Muhyi. Menurut riwayatnya, Abdul Muhyi
belajar tarekat Syattariyah dari Syekh Abdul Rauf kala singgah di Aceh dalam
perjalannya ke Mekah menunaikan ibadah haji.

26
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 311.
27
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 311.

13
Tarekat Syattariyah sampai ke Jawa berdasarkan silsilah Syattariyah dari
seorang kiai di Tulung Agung. Salinan dari sebuah naskah dari Banyuwangi
(1905), menurut Rinkes adalah:

“Abdul Rauf, Abdul Muhyi Ing Karang, Tuan Haji


Abdurrahman, Ing Karta Negarane, Syekh Zamakhsyari, Ing Salakarta
Negarane, Kiai Muhammad Sirajuddin, Sarpani Maring Karang Maja,
Abdu as-Samad Ing Janganan, Ahmad Saliha Ing Pati Miring”.28
Menurut keterangan lain bahwa Tarekat Syattariyah yang masuk ke Cirebon
silsilahnya adalah:

“Abdul Rauf menerima, dari Syeikh Ahmad al-Qushashi, dari


Sayyidina Rabbi Mawahib Abdullah Ahmad, dari Syeikh
Syibghatillah, dari Sayyid Wahiduddin Alwi, dari Syekh Sayyid
Muhammad Ghauts, dari Syekh Haji Mushri, dari Syekh Abdullah as-
Syatari, dari Syekh Muhammad Arif, dari Syekh Muhammad Hadaquli
Mawara al-Nahar, dari Qutub Abi Muzaffar Maulana Rumi al-Tusi,
dari Syekh Yazid al-Isyqi, dari Syekh Muhammad Maghribi, dari Abu
Yazid al-Bustami, dari Imam Muhammad al-Baqir, dari Sayyidina
Husein al-Syahid, dari Ali bin Abi Talib, dari Nabi Muhammad
SAW”.29
D. Peran al-Singkili di Kesultanan Aceh
Sekembalinya Abdul Rauf dari Arab pada 1661 M, ia sampai di Aceh
bertepatan dengan masa kekuasaan Sultanah Safiyyat al-Din, pengganti suaminya,
Sultan Iskandar Thani.Kepulangan Abdul Rauf ke Aceh mengundang rasa
penasaran dari lingkungan istana. Abdul Rauf didatangi oleh seorang pejabat
istana, Katib Seri Raja B. Hamzah selaku sekertaris rahasia Sultanah yang
mengujinya mengenai ilmu-ilmu keagamaan. Setelah “lulus ujian”, Abdul Rauf
ditunjuk oleh Sultanah menjadi Qadhi Malik Adil (mufti). Sultanah Safiyyat al-
Din memerintah sampai tahun 1675 M dimana Kesultanan Aceh mengalami
kemunduran dengan memisahkan dirinya Semenanjung Melayu dan Sumatera dari
wilayah integralnya juga kekacauan agama.Selanjutnya, mandat diserahkan
kepada Nur al-Alam Naqiyyat al-Din kemudian Zakiyyat al-Din. Meski
mengalami berbagai kemunduran, Kesultanan Aceh masih eksis dengan adanya

28
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 311.
29
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 312.

14
delegasi Mekkah yang datang menghadap Sultanah Zakiyyat al-Din memberikan
prestise bagi kedudukannya. Mulailah konflik intern terjadi di Kesultanan Aceh
yang mempertanyakan hukum bagi seorang sultanah, karena para ulama ketika itu
beranggapan tidak sesuai dengan hukum jika suatu urusan dipimpin oleh seorang
wanita.30 Disinilah peran al-Singkili membela sultanah dapat dilihat. Setelah
membaca dan memahami pertentangan ide dan kondisi politik Aceh seperti itu,
akhirnya Abdul Rauf dapat mengendalikan dan meredam pergolakan yang terjadi
dengan jalan mengkompromikan kedua belah pihak. Syeikh Abdul Rauf tetap
berpendapat bahwa Tajul ‘Alam Safiyatuddin dapat diangkat menjadi Sultanah,
sebagai pengganti suaminya Iskandar Thani. Namun pengangkatan tersebut harus
dibatasi dengan syarat urusan nikah, talaq, fasakh dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan hukum agama tetap dipegang oleh ulama yang bergelar
Qadhi Malik al-‘Adil.31

Dengan campur tangannya Syeikh Abdul Rauf lambat laun stabilitas politik
dan kehidupan keagamaan dapat dipulihkan. Sebagai balas jasa Tajul
‘AlamSafiyatuddin mengangkat Syeikh Abdul Rauf sebagai mufti kerajaan dan
sekaligus sebagai penasehatnya. Sebenarnya tawaran sebagai mufti kerajaan
ditolak Syeikh Abdul Rauf, karena ia tidak berambisi untuk menduduki jabatan
tersebut. Namun dengan berbagai pertimbangan seperti untuk tetap menjaga
ukhuwah yang hampir retak, akhirnya ia memenuhi permintaan Tajul ‘Alam
Safiyatuddin. Sultanah inilah yang meminta Syeikh Abdurrauf untuk menulis
sebuah kitab fiqh yang diberi nama Mir‘at al-Thullab.32

Namun, selanjutnya Delegasi Mekkah kemudian mengadakan sidang di


Haramayn yang keputusan sidangnya sampai ke Istana Aceh pada masa Sultanah
Kamalat al-Din dengan fatwa yang menyatakan “bertentangan dengan syari’at
Islam jika suatu kerajaan Islam diperintah oleh seorang wanita. Maka Sultanah
Kamalat al-Din digantikan oleh Umar bin Qadi al-Malik dengan gelar Sultan Badr

30
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama.., hal: 200.
31
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 108.
32
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 108.

15
al-Alam Syarif Hasyim Baal Alawi al-Husaini yang mendirikan Dinasti Arab
Jamal al-Layl di Aceh.33

E. Karya-Karya Abdul Rauf al-Singkili


Menurut Liaw Yock Fang, hasil karya al-Singkili tidak kurang dari 21 buah
kitab.34 Sedangkan menurut Dicky Wiranto, setidaknya ada 25 kitab karya al-
Singkili, diantaranya:

1. Syarh Lathif ‘ala Arbain Hadistan lil Imamin Nawawi.


2. Sullamul Mustafidin
3. Risalah Mukhtasharah fi Bayani Syuruthisi Syaikhi wal Murid.
4. Fatihah Syeikh Abdur Rauf.
5. Daqaiqul Huruf.
6. Sakratul Maut.
7. Risalah Simpan.
8. Mun-yatul I’tiqad.
9. Bayanul Ithlaq/ Bayanut Tajalli.
10. Risalah A’yan Stabitah.
11. Risalah Jalan Ma’rifatullah.
12. Kifayatul Muhtajin ila Masyrabil Muwahhidi nal Qa-ilin bi Wihdatul
13. Wujud.
14. ‘Umdah Muhtajin ila Sulukil Mufarridin. Washiyah.
15. Mir’atul Thulab fi Tas-hili Ma’ritah Ahkamisy Syar’iyah lil Mulkil
16. Wahhab.
17. Turjumanul Mustafid.
18. Mawa’izhul Badi’ah.
19. Idhahul Bayan li Tahqiqi Masailil Ad-yan.
20. Majmu’ul Masail.
21. Hujjatul Balighah ‘ala Jumu’atil Muqasamah.
22. Ta’yidul Bayan Hasyiyah Idhahil Bayan.

33
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama.., hal: 201.
34
Syamzan Sukur, Kontroversi Pemikiran.., hal: 77.

16
23. Syamsul Ma’rifah.
24. Tanbihul ‘Amil Fi Tahqiq Kalamin Nawafil.
25. Umdatul Ansab.35

Ahwan Mukarrom kemudian menambahkan:


1. Tanbih al-Mashy;
2. al-Dhikr;
3. Bayan al-Arkan;
4. Lubb al-Kashf wa al-Bayan;
5. Syair Ma‘rifat
6. Tafsir Abdurrauf (Tasfsir pertama dengan bahasa Melayu)36

Abdul Rauf cukup menonjol peranannya sebagai tokoh agama di Daulah


Aceh Darussalam. Keadaan selain kealimannya juga perolehan kedudukan yang
mulia dari Sultanah Ratu Shafiatuddin (1641-1675 M).Selain sebagai mufti istana,
dia juga seorang penulis yang cukup produktif. Kitab-kitab yang ditulisnya terdiri
atas berbagai bidang ilmu keislaman seperti: fiqh, akidah, hadis, mistik, tafsir,
ilmu kalam dan lain-lain. Belum diketahui secara pasti berapa banyak kitab
karyanya. Voorhoeve menyebutkan 21 karangannya,Peunoh Daly dalam
disertasinya menyebutkan 12 buah karya dan ia mengaku hanya menyebutkan
sebagiannya. Enam karya yang disebutkan Daly berbeda dari karya yang
disebutkan Voorhoeve. Sumber tersebut menyebutkan ada 27 naskah yang
dianggap sebagai karya Abdul Rauf. Selain itu di Tanoh Abeedisebutkan sebagian
naskah lain sebagai karyanya. Dengan demikian, terdapat 36 naskah yang sudah
ditemukan. Sejumlah karya beliau tersimpan di Perpustakaan Tanoh Abee, Aceh
Besar. Berkemungkinan masih ada karangannya yang belum teridentifikasi.
Asumsi ini didasarkan atas adanya buku-buku karya lainnya yang tidak termasuk
di dalam 36 buah itu, seperti terdapat di dalam buku “Identifikasi Museum Negeri
Aceh”.37
35
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 107-108.
36
Ahwan Mukarrom, Konsep Abdul Rauf Singkel.., hal: 134-135. Lihat pula dalam Karel A.
Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abad ke 19. Jakarta,1984: Bulan
Bintang, hal 123.
37
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 310-311.

17
F. Pemikiran al-Singkili: Studi Karya al-Singkili
Pemikiran al-Singkili, terutama dalam bidang tasawuf, menjadi menarik
untuk diangkat dan dikaji. Pertama, al-Singkili hidup dalam suasana iklim
pemikiran tasawuf pasca persinggungan paham antara pengikut Hamzah Fansuri
dan Syams al-Din al- Sumatrani yang dikenal tasawuf wujudiyah dengan pengikut
Nur al-Din al- Raniry yang lebih mengedepankan syari’ah. Perseteruan tersebut
bahkan telah menyebabkan tragedi besar di Aceh, yakni berupa pembakaran
karya-karya serta pembunuhan terhadap pengikut-pengikut Hamzah Fansuri dan
al-Sumatrani oleh al-Raniry dan pengikutnya. Kedua, al-Singkili lama tinggal di
Arab dan bersentuhan dengan perkembangan intelektual Islam secara luas,
terutama di Haramayn, banyak memberikan pengalaman padanya dalam
menyelesaikan konflik di Aceh. Ketiga, seperti kebanyakan murid-murid
Nusantara lainnya yang belajar di Arab, umumnya mereka banyak mencari juba
(khirqah) tarekat dari berbagai tarekat yang berkembang di sana waktu itu, tetapi
al-Singkili nampaknya cenderung untuk mengembangkan salah satu tarekat saja
yaitu Tarekat Syatariyah.

Pendekatan al-Singkili pada pembaharuan berbeda dari pendekatan al-


Raniry, dia adalah mujaddid bergaya evoluasioner, bukan radikal. Karenanya,
seperti Ibrahim al-Kurani, dia lebih suka mendamaikan pandangan-pandangan
yang saling bertentangan daripada menolak salah satu di antaranya. Meski dia
tidak setuju pada aspek tertentu doktrin Wujudiyah hanya secara implisit dia
menyatakan pandangan-pandangan itu. Begitu pula, dia menunjukkan
ketidaksukaannya pada pendekatan radikal yang ditempuh al-Raniry sematamata
dengan cara yang tidak mencolok.38

1. Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al- Muwahhidin al-Qailin bi Wahdat


al-Wujud

38
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama.., hal: 208.

18
Al-Singkili, dalam karyanya ini mempertahankan tendensi Tuhan atas
ciptaan-Nya. Dia menolak pendapat Wujudiyah yang menekankan imanensi
Tuhan dalam ciptaan-Nya. Al-Singkili beragumen, sebelum Tuhan menciptakan
alam raya (al’alam), Dia selalu memikirkan tentang diri-Nya sendiri, yang
mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (Cahaya Muhammad). Dari Nur
Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar permanen (al-ayan al-
stabitah), yaitu potensi alam raya, yang menjadi sumber dari pola-pola dasar luar
(al-a’yanKharijiyyah), ciptaan dalam bentuk konkretnya. Al-Singkili
menyimpulkan, meski al-a’yan Kharijiyyah merupakan emanasi dari wujud
mutlak, mereka berbeda dari Tuhan itu sendiri, hubungan keduanya adalah seperti
tangan dan bayangannya, yang terakhir itu tidak sama dengan yang pertama.
Dengan ini, al- Singkili menegaskan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya. Jhons
telah menunjukkan, bahwa al-Singkili dengan sadar menafsirkannya dalam
pengertian ortodoks, yang membuktikan bahwa Tuhan dan alam raya itu tidak
sama.39

Penafsiran al-Singkili mengingatkan kita pada ‘Ibrahim al-Kurani, yang


menekankan pentingnya instuisi(kasyf) dalam mistis, sementara mengakui
keterbatasan akal memahami hakikat Tuhan. Al-Singkili mengungkapkan kaitan
intelektualnya dengan al-Kurani mengenai Tawhid al-‘Uluhiyyah (Keesaan
Tuhan), Tawhid al-‘Af’al (Kesatuan Tindakan Tuhan), Tawhid al-Shifat (Keesaan
sifat-sifat), Tawhid al-Dzat (Keesaan Esensi), dan Tawhid al Haqiqi (Keesaan
Realitas Mutlak).40

Pemikiran tasawuf al-Singkili dapat dilihat antara lain pada persoalan


kecenderungannya untuk “merekonsiliasi” antara tasawuf dan syariat. Dari ini
ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsuddin al-Sumatrani dan Nuruddin al-
Raniri, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah. Sedangkan
alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan Wujud hakiki, tetapi bayangan dari yang

39
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 111. Lihat pula dalam Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama.., hal: 206.
40
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 112. Lihat pula dalam Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama.., hal: 207.

19
hakiki. Menurutnya jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam. Walaupun
demikian, antara bayangan (alam) dengan yang memancarkan bayangan (Allah)
tentu memperoleh keserupaan. Maka sifat-sifat manusia adalah bayangan-
bayangan Allah, seperti yang hidup, yang tahu, dan melihat. Pada hakikatnya,
setiap perbuatan adalah perbuatan Allah. Al-Singkili juga mempunyai pemikiran
tentang zikir. Zikir, dalam pandangan al-Singkili, merupakan suatu usaha untuk
melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan zikir inilah hati selalu mengingat
Allah. Tujuan zikir ialah mencapai fana’ (tidak ada wujud selain wujud Allah),
berarti wujud hati yang berzikir dekat dengan wujud-Nya.41

Ajaran tasawuf al-Singkili yang lain adalah bertalian dengan martabat


perwujudan. Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan:

1. Martabat ahadiyyah atau la ta’ayyun, yang mana alam padawaktu itu


masih merupakan hakikat ghaib yang masih berada di dalam ilmuTuhan.
2. Martabat wahdah atau ta’ayyun awwal, yang mana sudah terciptahaqiqat
Muhammadiyyah yang potensial bagi terciptanya alam.
3. Martabat wahdiyyah atau ta’ayyun tsani, yang disebut juga dengan
a’ayyan al-tsabitah dan dari sinilah alam tercipta. Menurutnya, tingkatan
itulahyang dimaksud Ibn’ Arabi dalam sya’ir-sya’nya. Tetapi pada
tingkatan wahidiyyah atau ta’ayyun tsani, alam sudah memiliki sifatnya
sendiri, tetapi Tuhan adalah cermin bagi insan kamil dan sebaliknya.
Namun, Ia bukan ia bukan pula yang lainnya. Bagi al-Singkili, jalan
untuk mengesakan Tuhan adalah dengan zikir: “la illaha Illa’llah”
sampai tercipta kondisi fana’.42

2. Umdah al-Muhtajin ila al-Suluk Maslak al-Mufradin

41
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 112.
42
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 113.

20
Pemaparan karya ini, penulis mengutip pemaparan Damahuri. Menurutnya,
Naskah Umdah al-Muhtajini al Suluk Maslak al-Mufradin karya Syeikh
Abdurrauf Singkel ditulis dalam bahasa Melayu dengan menggunakan tulisan
Arab Jawi. Dalam pemaparan isinya, pada setiap awal bab ditulis dengan bahasa
Arab, dan ditulis dengan bahasa Melayu. Dalam pemaparan itu, terdapat ayat-ayat
al-Qur’an, hadis-hadis Nabi dan pendapat-pendapat para ulama sufi yang
dijadikan sebagai landasan keterangannya. Naskah tersebut masih dapat diperoleh
secara utuh di beberapa tempat, antara lain pada Museum Negeri Aceh di Banda
Aceh yang disatukan denganbeberapa karya al-Singkili lainnya dengan halaman
secara keseluruhan berjumlah 232 halaman. Dalam hal ini khusus naskah ‘Umdah
al-Muhtājīn sejumlah 115 halaman.43

Dari beberapa naskah yang ditemui, tidak ada keterangan tahun


penulisannya. Memperhatikan sejarah dan kiprah Abdul Rauf di Kesultanan Aceh,
Kitab ‘Umdah ditulis antara tahun 1645 dan 1655. Pada sisi lain, Abdul Rauf
sejak awal kepulangannya ke Aceh sudah berkiprah dalam pengembangan tarekat
Syattariyah, dan diketahui kitab inimenjadi panduan murid dalam pengalamanya.
Dikutip dari Damanhuri, dalam pengantar kitab Umdah al-Muhtajin, al-Singkili
menyatakan,

“...Kemudian dari itu, ini suatu risalah yang menghimpun


beberapa faidah yang dapat dari padanya orang-orang yang menjalani
jalan kepada Allah yang benar-benar lagi sungguh-sungguh ia berjalan
kepada Allah. Kusurati dalam bahasa Jawi untuk memudahkan segala
fakir yang mengikuti dan menuntut pahala yang amat besar dari pada
Tuhan yang memerintah pekerjaanku. Aku namai akan dia Umdah al-
Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin, artinya pegangan segala
mereka yang berkehendak menjalani jalan segala orang yang
meninggalkan dirinya.”44

Secara sistematis masalah pokok dalam kitab ini dimaksudkan agar


seseorang yang hendak menjalani tarekat (salik) harus terlebih dahulu mendalami
akidah Islam dengan memahami tauhid yang benar; tauhid zat, tauhid sifat, dan

43
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 314.
44
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 315. Selengkapnya dapat dilihat langsung dari
pengantar Kitab Umdah al-Muhtajin.

21
tauhid af’al. Setelah itu, barulah belajar ajaran tarekat dengan berbagai adab zikir
dan ketentuannya. Adab sebelum berzikir, adab dalam berzikir dan adab di luar
prosesi rutinitas zikir. Semuanya harus memahami dasar-dasarnya. Seterusnya
memahami tujuan dan hasil yang hendak dicapai dari zikir. Setelah itu barulah
dipahami tentang bai’at yang harus dijalani dalam tarekat sebagai pengakuan ilmu
dan untuk pengamalannya. Setelah itu baru dilakukan berbagai amaliah lainnya
seperti shalat-shalat sunat dan sebagainya. Bagian ini secara singkat sebagai
berikut:

Faidah pertama, berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan ilmu tauhid.
Pemaparannya meliputi pengetahuan tentang sifat-sifat wajib, yang mustahil dan
sifat-sifat ja’iz. Faidah kedua, berisi tentang adab dan tata cara melakukan zikir.
Faidah ketiga, berisi tentang dasar-dasar dan faedah zikir, yang dilandasi dengan
hadis Nabi. Di sini dikemukakan secara rinci bahwa amaliyah di dalam tarekat ini
bukan hanya dibuat-buat, tetapi harus dipahami sebagai amaliyah yang didasarkan
kepada amaliyah Nabi Muhammad Saw. Faidah keempat, menerangkan tentang
hasil zikir yang diperoleh seorang salik. Seseorang yang melakukan zikir dengan
benar dan kaifiyat betul, maka seseorang salik akan merasakan hasil dan pengaruh
dari zikirnya itu. Fadiah kelima, berisi tentang talqin dan bai’at dalam
pengalaman zikir. Di sini dikemukakan beberapa pengesahan ilmu dan
pengijazahannya kepada seseorang murid, artinya seseorang yang hendak
mengamalkan ilmu tarekat ini diharuskan mengambil pengesahannya dari guru.
Jadi, pengamalan ini tidak bisa sekedar ikut-ikutan, tetapi haruslah benar-benar
yaitu melalui bai’at di hadapan guru. Faidah keenam, berisi tentang keterangan
salat-salat sunat dan wirid-wirid lainnya yang sepatutnya diamalkan oleh seorang
salik.45
3. Lubb al-Kashf wa al-Bayan limayarah al-Muhtadar bi al-A‘yan

Secara garis besar, isi naskah Lubb al-Kashf wa al-Bayan limayarah al-
Muhtadar bi al-A‘yan terbagi dalam dua bahasan pokok. Masing-masing adalah:
Pertama, pembahasan tentang Allah SWT dan hal-hal yang berhubungan dengan

45
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 316-317.

22
itu. Kedua, pembahasan tentang dua jenis kematian, yakni mati ikhtiyari(mati
dalam kehidupan) dan maupun mati yang sebenarnya (lepasnya nyawa dari jasad)
yang disebut dengan mati ittirari.46

Pembahasan pertama, al-Singkili membahas mengenai Allah dan yang


berhubungan dengan-Nya (manusia selaku makhluk-Nya). Perihal pendapatnya
tentang Allah, dimulai dengan bahasan tentang suatu i’‘iqad (keyakinan) bahwa
Allah tidak memiliki rupa, bentuk dan sifat sebagaimana rupa, bentuk dansifat
makhluq. Adapun hadits Nabi, “Telah aku lihat Tuhanku dengan sebaik-baiknya
rupa..”, Abdul Rauf memberikan penjelasan (tafsiran) bahwa rupa, bentuk
maupun sifat Allah tidak seperti rupa, bentuk dan sifat manusia, sebab itu semua
hanyalah madhar (tempat penampakan) belaka.47

Menurut Syeikh al-Singkili, Allah bertajalli dengan apa saja yang Dia
kehendaki. Ketika Allah bertajalli dengan nur-Nya yang sha’sha’ani (memancar
dan berbaur dengan yang dipancari/disinari) maka niscaya tidak akan bisa
dipandang. Konsepsi al-Singkili tentang tajalli ini pada dasarnya bermula dari
adanya pemahaman bahwa Allah sebagai Dzat mutlak ketika masih dalam wujud
yang azali (tidak bisa diidrak ataudihinggakan) berkeinginan untuk bisa dikenal
makhluq, alam. Persepsi ini berdasar atas hadits Qudsi, yang artinya: “Aku adalah
perbendaharan yang tersembunyi. Aku ingin supaya dikenal, maka Aku ciptakan
kejadian (alam) ini sehingga dengan itu mereka mengenal Aku.48

Dalam konsepsinya tentang tajalli, al-Singkili mengakui adanya tujuh


martabat (level) tajalliyat sebagaimana konsepsi para sufi lain di kalangan
wujudiyah dan atau martabat tujuh. Masing-masing adalah: Pertama Ahadiyah;
kedua Wahdah; ketiga Wahidiyah. Ketiga martabat tersebut dinamakan dengan
martabat ‘‘keilahian”. Kemudian, keempat martabat berikutnya adalah martabat
alam arwah; kelima martabat alam mithal; keenam martabat alam ajsam; ketujuh
martabat alam insan. Empat martabat ini adalah martabat ‘‘kemanusiaan” yang

46
Ahwan Mukarrom, Konsep Abdul Rauf Singkel.., hal: 135.
47
Ahwan Mukarrom, Konsep Abdul Rauf Singkel.., hal: 136.
48
Ahwan Mukarrom, Konsep Abdul Rauf Singkel.., hal: 136.

23
sekaligus sebagai madhar (tempat dhahir Allah) dimanaAllah bisa diidrak
(dihinggakan).49

Selanjutnya, menurut al-Singkili Allah SWT memiliki tujuh sifat utama


yang menjadi induk dari segala sifat. Tujuh sifat tersebut adalah : Sifat hayah,sifat
‘ilm, sifat qudrah, sifat iradah, sifat sama’, sifat basar, dan sifat kalam. Dengan
sifat-sifat tersebut Abdul Rauf mengatakan bahwa manusia dan makhluk yang ada
ini merupakan bayang-bayang dari ‘‘sifat” Allah SWT. Dengan demikian konsep
beliau tentang Allah yang terkait dengan posisi manusia sebagai (madhar) tempat
penampakan, adalah tingkat kondisi tertentu di mana kesadaran manusia telah
sampai puncak dakian setinggi-tinginya hingga sampai pada suatu perasaan di
mana ia merasa ‘‘adam” (tidak ada/kosong). Itulah mati Ikhtiyari. Kondisi ini
adalah tenggelamnya diri pada dzikir kepada Allah dengan tiada putus-putusnya
dengan mengucap kalimat tayyibah (lailaha illaAlllah) dengan hati dan nafas yang
tertahan disertai perasaan bahwa ia benar-benar sudah hapus dan tenggelam dalam
kekosongan.50

Pada pembahasan kedua, al-Singkili membahas mengenai kematian dan


sakaratul maut, Syeikh al-Singkili merujuk kitab Tadhkirah karya Syeikh
Jamaluddin al-Kurtubi. Dikatakan bahwa jika seseorang sudah dekat dengan ajal
akan datang kepadanya pasukan Iblis yang menyerupai diri sendiri atau anggota
keluarganya.Dengan suatu provokasi mereka menyuruh masuk ke dalam
kelompok agama Yahudi. Jikatidak tergoda dengan provokasi ini, maka datang
berikutnya pasukan yang menggoda denganprovokasi untuk masuk agama
Nasrani. Dan jika masih tidak tergoda, artinya Allah menghendakimemberi
petunjuk kepada jalan yang lurus dan mati dalam keadaan muslim, maka
datangkepadanya malaikat yang mengenyahkan pasukan Iblis tersebut. Malaikat
kemudianmenyampaikan salam dari Allah yang artinya: ‘‘Sejahtera bagimu wahai
Wali Allah. Allah SWTmengirimkan salam kepadamu.” Maka setelah itu
dicabutlah nyawanya.51
49
Ahwan Mukarrom, Konsep Abdul Rauf Singkel.., hal: 136.
50
Ahwan Mukarrom, Konsep Abdul Rauf Singkel.., hal: 137.
51
Ahwan Mukarrom, Konsep Abdul Rauf Singkel.., hal: 137.

24
Maka dianjurkan bagi setiap manusia untuk mengucap kalimat lailaaha
illaAllah. Kalimat ini dilafalkan dengan dzikir yang samar di hati sebagaimana
biasa dilakukan dalam proses mati ikhtiyari.Tentu ini bukan pekerjaan mudah bagi
orang yang tidak membiasakan diri membaca dzikir kalimat tayyibah
sebagaimana proses mati ikhtiyari. Jadi bisa dikatakan bahwa mati ikhtiyari itu
merupakan latihan, membiasakan diri berlatih menuju mati idtirari (mati yang
sesunguhnya) Bagi siapapun yang terbiasa tenggelam dalam ‘adam, mati ikhtiyari
niscaya tidak akan kesulitan dalam menghadapi sakaratul mautmati (mati yang
sesunguhnya).52

Menurut kitab ini ada beberapa hal yang bisa digunakan mendeteksi
datangnya ajal, diantaranya adalah dengan melihat bayang-bayang dirinya di terik
sinar matahari. Apabila bayang-bayang tersebut tidak menampakkan kepala,
niscaya yang bersangkutan hanya berumur tiga hari lagi. Jika terlihat bayang-
bayang tak bertelinga, niscaya yang bersangkutan tinggal berumur satu bulan saja.
Jika terlihat bayang-bayang tanpa kedua tangan, niscaya ia tinggal hidup satu
tahun saja, dan seterusnya.53

52
Ahwan Mukarrom, Konsep Abdul Rauf Singkel.., hal: 138.
53
Ahwan Mukarrom, Konsep Abdul Rauf Singkel.., hal: 139.

25
BAB III

PEMBAHASAN

A. Kesimpulan

Nama lengkap Abdul Rauf Singkel adalah Abdul Al-Rauf bin 'Ali al- Jawi
al-Fansuri, sufi besar asal Aceh yang pertama kali membawa dan
mengembangkan tarekat Syatariyyah di Nusantara. dari Fansur, singkel di
wilayah pantai barat Laut Aceh.

26

Anda mungkin juga menyukai