PENDAHULUAN
A. Latar belakang
1
Sejak 1661, As Singkel mengajar di Aceh. Muridnya luar biasa banyak
jumlahnya, tak hanya dari Melayu, tapi juga dari seluruh nusantara. Laman
Melayu Online menggambarkan sosok As Singkel sebagai mualim yang
menaruh perhatian besar pada murid-muridnya. Setiap karyanya selalu
bertolak dari perhatiannya pada mereka. Dia sangat perhatian agar para
muridnya mendapat pemahaman Islam yang baik, teguh kesalihan, dan
terhindar dari kesalahan.
2
Kemudian, Daqaiq Al Hurf mengenai pengajaran tasawuf dan teologi serta
Kifayat al-Muhtajin ila Masyrah al- Muwahhidin al-Qailin bi Wahdatil Wujud
berisi konsep wihdatul wujud. Setelah kiprah yang banyak ia torehkan untuk
perkembangan Is lam di nusantara, As Singkel meng hembuskan napas
terakhir di usia 73 tahun. Dia meninggal di Kuala Aceh pada 110 Hijriyah atau
1693 Masehi.
B. Rumusan masalah
Makalah ini dibuat untuk membahas lebih dalam mengenai siapa abdul
rauf as singkili secara mendetail kembali.
C. Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
1
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
&XVIII, edisi revisi. Jakarta, 2004: Kencana. hal: 189.
2
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf Syaikh Abdurrauf Al-Singkili. Dalam Islamic
Moment Journal, Volume 1 nomor 1. Banda Aceh, Januari-Juni 2013: IAIN Ar-Raniry, hal:
105.
3
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin Rujukan Tarekat Syattariyah Nusantara, dalam Jurnal
Studi Keslaman, Volume 17 nomor 2. Banda Aceh, Desember 2013: IAIN Ar-Raniry, hal:
306.
4
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 306. Pernyataan serupa dijelaskan pula dalam
Harun Hadiwijono, Kebatinan Islam dalam Abad Enambelas. Jakarta, 1971: BPK. Gunung
Mulia, hal: 14.
4
Ayahnya berasal dari Arab bernama Syeikh Ali, seorang ulama terkenal
yang membangun dan memimpin Dayah Simpang Kanan di Pedalaman Singkel.
Sedangkan ibunya, berasal dari Fanzur yang merupakan bandar yang sangat ramai
pada masanya. Sebab itu, Abdurrauf sering dinisbatkan kepada dua nama
tersebut.5
5
Syamzan Sukur, Kontroversi Pemikiran Abdul Rauf Al-Singkili, dalam Jurnal Adabiyyah
Volume 15 Nomor 1. Makassar, 2015: UIN Alauddin, hal: 76.
6
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 105.
7
Syamzan Sukur, Kontroversi Pemikiran.., hal: 76.
8
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 106.
9
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 308.
5
Singkili sendiri juga belajar langsung pada Ahmad Qusyasi dan Ibrahim al-Kurani
serta puteranya, Muhammad Thahir di Mekkah dan Madinah. 10 Sebelumnya, al-
Singkili telah berguru kepada Mufti Abdul Qadhir al-Barkhali di Jeddah dan
Syeikh Ali at-Thabary seorang ahli fiqih di Mekkah.11
Al-Singkili juga terkenal di Aceh dan juga seorang sufi yang mencari
keseimbangan antara berbagai pandangan para pendahulunya dan mengajarkan
zikir wirid Syatariyah. Banyak murid yang datang padanya seperti Daud Rumi
dan Burhanuddin Ulakkan dari Minangkabau yang pada masa selanjutnya sangat
10
Amiruddin, M.Hasbi, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik. Yogyakarta, 2004: :
Ceninnets Press, hal.29-30. Lihat pula dalam Ahwan Mukarrom, Konsep Abdul Rauf
Singkel Tentang Kematian dalam Naskah Lubb Al-Kashf wa al-Bayan, dalam ISLAMICA
Volume 4 nomor 1. Surabaya, Desember 2009: IAIN Sunan Ampel, hal: 133.
11
Syamzan Sukur, Kontroversi Pemikiran.., hal: 76.
12
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 107. Lihat pula dalam Hawash Abdullah,
Perkembangan Tashawwuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara. Surabaya,1980: Al-Ikhlas),
hal: 51.
13
Syamzan Sukur, Kontroversi Pemikiran.., hal: 76.
14
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 308.
15
Syamzan Sukur, Kontroversi Pemikiran.., hal: 77.
6
berpengaruh dalam proses islamisasi di Minangkabau, Abdul Muhyi dari
Pamijahan, dan Abdul Malik bin Abdullah dari Semenanjung Melayu.16
16
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta,2007: Rajagrafindo
Persada, hal.250.
17
Fairuzah Basri, dkk. Manuskrip Umdah al-Muhtajin, Sumber Biografi Abdul Rauf al-
Singkili. Dalam Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN) IV, 25-26 November 2011.
Selangor: Universitas Kebangsaan Malaysia, hal: 178.
7
Nomor Nama Guru Jabatan Asal
1. Umar Fursan Mufti Mokha Mokha, Yaman
2. Syeikh Abd al-Fattah al-Has Mufti Zabid Zabid, Yaman
3. Faqih Tayyib Jam`an Faqih Bait al-Faqih
Yaman
4. Faqih Muhammad Jam’an Faqih Bait al-Faqih
Yaman
5. Faqih ‘Ali ‘Aqibah Faqih Ta’iz, Yaman
6. Faqih Tahir Faqih Hadidah, Yaman
7. Qadi Muhammad bin Mutayr Qadhi Yaman
8. Faqih ‘Ali bin Mutayr Faqih Yaman
9. Faqih ‘Ahmad bin Mutayr Faqih Yaman
10. Syeikh ‘Abd al-‘Aziz Ulama Mekkah Mekkah
Zamzani
11. Qadi Tajuddin Ulama Mekkah Mekkah
12. Syeikh Muhammad Yabali Ulama Mekkah Mekkah
13. Syeikh Zayn al-Din al-Tabari Ulama Mekkah Mekkah
14. Syeikh ‘Ali Jamal Ulama Mekkah Mekkah
15. Syeikh ‘Abdullah Baal- Ulama Mekkah Mekkah
Qushairi
16. Syeikh Zanjabil Ulama Mekkah Mekkah
17. Syeikh Isa Maghzi Ulama Mekkah Mekkah
18. Syeikh ‘Abd al-Wahid al- Ulama Mekkah Mekkah
Dawqi
19. Syeikh Yasin Ulama Madinah Madinah
20. Syeikh Ibrahim Khayari Ulama Madinah Madinah
21. Syeikh ‘Ali Basir Ulama Madinah Madinah
22. Syeikh Barri Ulama Madinah Madinah
23. Imam Barri Ulama Madinah Madinah
24. Mulla Nafi’ Ulama Madinah Madinah
25. Syeikh ‘Abd al-Rahman Hijaz Ulama Madinah Madinah
26. Sayyid Muhammad Barzanji Ulama Madinah Madinah
Kurdi
27. Mulla Muhammad Sharif Ulama Madinah Madinah
Kurdi
Tabel 2. Rekan Diskusi al-Singkili dari Ahli Fiqih18
8
5. Syeikh ‘Ali Hubali -
6. Syeikh Sayyid Husayn -
7. Syeikh Maqbul Muhjab -
8. Syeikh Muhammad Hadar -
9. Syeikh Muhammad al-Baqi Zuriat Syeikh ‘Ali Ahdal
10. Sayyid Tahir Zuriat Syeikh ‘Ali Ahdal
11. Syeikh ‘Abd al-Qadir Mashra’ -
12. Syeikh Muhammad Shiri -
13. Syeikh Murza -
14. Syeikh Ma’sum -
15. Syeikh Sayyid Sulayman -
Tabel 3. Rekan Diskusi al-Singkili dari Ahli Sufi19
Pertama, talqin. Menurut al-Qusyasyi, di antara tata cara talqin adalah calon
murid terlebih dahulu menginap di tempat tertentu yang ditunjuk oleh syeikhnya
selama tiga malam dalam keadaan suci (berwudhu). Dalam setiap malamnya, ia
harus melakukan sholat sunnat sebanyak enam rakaat, dengan tiga kali salam.
Pahala sholat tersebut dihadiahkan kepada Nabi SAW seraya berharap mendapat
pertolongan dari Allah SWT. Selanjutnya, pada rakaat pertama dari dua rokaat
kedua, pahalanya dihadiahkan untuk arwah para Nabi, Keluarga, Sahabat, serta
para pengikutnya. Terakhir, pada rakaat pertama dari dua rakaat ketiga, pahalanya
dihadiahkan untuk para arwah guru-guru tarekat, keluarga, sahabat, serta para
pengikutnya. Rangkaian sholat sunnah ini kemudian diakhiri dengan pembacaan
19
Fairuzah Basri, dkk. Manuskrip Umdah al-Muhtajin, Sumber Biogrfai Abdul Rauf al-
Singkili. Dalam Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN) IV, 25-26 November 2011.
Selangor: Universitas Kebangsaan Malaysia, hal: 179.
9
sholawat kepada Nabi sebanya sepuluh kali. Kedua, bai’at. Secara hakiki, bai’at
menurut al-Qusyasyi merupakan ungkapan kesetiaan dan penyerahan diri dari
seseorang murid secara khusus kepada seikhnya (kepatuhan mutlak), dan secara
umum kepada lembaga tarekat yang dimasukinya. Seorang murid yang telah
mengikrarkan diri masuk ke dalam dunia tarekat, tidak dimungkinkan lagi untuk
kembali keluar dari ikatan tarekat tersebut.20
Dilihat dari berbagai karyanya, Abdul Rauf seperti sang guru, al-Kurani
menunjukkan bahwa perhatiannya diarahkan pada rekonsiliasi antara syari’at dan
tasawuf, atau dalam istilahnya sendiri antara ilmu dzahir dan ilmu bathin. Karena
itu, ajaran-ajaran yang diusahakannya menyebar di Melayu-Indonesia bersifat
neo-Sufisme.21
20
Mulyana, Tarekat Syatariyyah. Diunggah pada 24 Juni 2013 dan diunduh pada 28
September 2016.
21
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama.., hal: 201.
10
Singkili di atas, disadur dan dikembangkan oleh Syeikh Burhan al-Din Ulakan
seperti yang terdapat dalam Kitab Tahqiq. Kajian mengenai ketuhanan yang
dimuat dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid
dalam pengertian Tauhid syari'at, Tauhid tarekat, dan Tauhid hakekat, yaitu
tingkatan penghayatan tauhid yang tinggi.
Bagian kedua, Insan Kamil atau manusia ideal. Insan Kamil lebih mengacu
kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya).
Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensi-Nya, yang
sebenarnya manusia adalah esensi dari esensi-Nya yang tak mungkindisifatkan
itu. Oleh karenanya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya,
mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya, sehingga "Ia adalah Dia."
Manusia adalah kutub yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya.
Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama yang sesuai dengan pakaiannya.
Manusia yang merupakan perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir dalam
rupa-rupa para Nabi (dari Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad SAW) dan para
qutub (wali tertinggi pada satu zaman) yang datang sesudah mereka. Hubungan
wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya.
Pembahasan tentang Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama,
Masalah Hati. Kedua, kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan kharijiyyah
dan a’yan tsabitah. Ketiga, akhlak, takhalli, tahalli dan tajalli.
Bagian ketiga, jalan kepada Tuhan (Tarekat). Dalam hal ini Tarekat
Syatariyah menekankan pada rekonsiliasi syari'at dan tasawuf, yaitu memadukan
tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah,
tauhid sifat, tauhid zat dan tauhid af'al. Segala martabat itu terhimpun dalam
kalimah laa ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya
diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna
bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat
alikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga al-mawat al-ma'nawi (kematian
ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah).
11
Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang
tidaklah boleh menafikan jalan syari’at.22
22
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 114. Lihat pula dalam Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama.., hal: 207.
23
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 115.
24
Sri Mulyati dkk., Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta, 2005: Prenada Media.
Jelasnya, Tarekat Syatariyah adalah suatu macam tarekat muktabarah yang dinisbahkan
kepada Abdullah al-Syattar (W. 890 H/1485 M) yang masih memiliki hubungan
kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh, Umar Suhrawardi (539-632 H/1145-1234
M), ulama yang mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyah. Awalnya tarekat ini lebih dikenal
di Iran dan Transoxiana (Asia Tengah) dengan nama Insyiqiah sedangkan di wilayah Turki
Usmani tarekat ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid
Al-Isyqi yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan
selanjutnya Tarekat Syatariyah tidak menganggap sebagai cabang dari persatuan sufi
manapun. Lihat dalam Rian Hidayat Abi El-Bantany, Melacak Tarekat Syattariyah dalam
http://www.kompasiana.com/rianhidayat.abi/melacak-tarekat-syattariyah_5517a541a
333118207b65fbf.Diunggah pada 12 September 2012, diperbarui pada 25 Juni 2015, dan
diunduh pada 28 September 2016.
25
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 310.
12
Menurut Hawasy Abdullah,te rsebarnya tarekatSyattariyah dari Aceh adalah
melalui jalur Sumatera Barat,menyusur hingga ke Sumatera Selatan. Selain itu
berkembang pula hingga ke Cirebon Jawa Barat.Berhubung letak daerah Aceh ini
di bagian utara pulau Sumatera, setiap jama’ah yang akan pergi ke Mekah, akan
singgah dan tinggal sementara di Banda Aceh untuk mengambil bekal perjalanan.
Alasan lain adalah karena para jama’ah menunggu angin musim, mereka turut
juga belajar hukum-hukum agama dan mempelajari serta mengamalkan tarekat
ini. Selain itu, tentunya terdapat juga para murid yang sengaja datang untuk
belajar agama Islam dan tarekat tersebut. Melalui mereka inilah Tarekat
Syattariyah tersebar dan dianut oleh banyak orang di luar kawasan Kerajaan
Aceh.26
26
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 311.
27
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 311.
13
Tarekat Syattariyah sampai ke Jawa berdasarkan silsilah Syattariyah dari
seorang kiai di Tulung Agung. Salinan dari sebuah naskah dari Banyuwangi
(1905), menurut Rinkes adalah:
28
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 311.
29
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 312.
14
delegasi Mekkah yang datang menghadap Sultanah Zakiyyat al-Din memberikan
prestise bagi kedudukannya. Mulailah konflik intern terjadi di Kesultanan Aceh
yang mempertanyakan hukum bagi seorang sultanah, karena para ulama ketika itu
beranggapan tidak sesuai dengan hukum jika suatu urusan dipimpin oleh seorang
wanita.30 Disinilah peran al-Singkili membela sultanah dapat dilihat. Setelah
membaca dan memahami pertentangan ide dan kondisi politik Aceh seperti itu,
akhirnya Abdul Rauf dapat mengendalikan dan meredam pergolakan yang terjadi
dengan jalan mengkompromikan kedua belah pihak. Syeikh Abdul Rauf tetap
berpendapat bahwa Tajul ‘Alam Safiyatuddin dapat diangkat menjadi Sultanah,
sebagai pengganti suaminya Iskandar Thani. Namun pengangkatan tersebut harus
dibatasi dengan syarat urusan nikah, talaq, fasakh dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan hukum agama tetap dipegang oleh ulama yang bergelar
Qadhi Malik al-‘Adil.31
Dengan campur tangannya Syeikh Abdul Rauf lambat laun stabilitas politik
dan kehidupan keagamaan dapat dipulihkan. Sebagai balas jasa Tajul
‘AlamSafiyatuddin mengangkat Syeikh Abdul Rauf sebagai mufti kerajaan dan
sekaligus sebagai penasehatnya. Sebenarnya tawaran sebagai mufti kerajaan
ditolak Syeikh Abdul Rauf, karena ia tidak berambisi untuk menduduki jabatan
tersebut. Namun dengan berbagai pertimbangan seperti untuk tetap menjaga
ukhuwah yang hampir retak, akhirnya ia memenuhi permintaan Tajul ‘Alam
Safiyatuddin. Sultanah inilah yang meminta Syeikh Abdurrauf untuk menulis
sebuah kitab fiqh yang diberi nama Mir‘at al-Thullab.32
30
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama.., hal: 200.
31
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 108.
32
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 108.
15
al-Alam Syarif Hasyim Baal Alawi al-Husaini yang mendirikan Dinasti Arab
Jamal al-Layl di Aceh.33
33
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama.., hal: 201.
34
Syamzan Sukur, Kontroversi Pemikiran.., hal: 77.
16
23. Syamsul Ma’rifah.
24. Tanbihul ‘Amil Fi Tahqiq Kalamin Nawafil.
25. Umdatul Ansab.35
17
F. Pemikiran al-Singkili: Studi Karya al-Singkili
Pemikiran al-Singkili, terutama dalam bidang tasawuf, menjadi menarik
untuk diangkat dan dikaji. Pertama, al-Singkili hidup dalam suasana iklim
pemikiran tasawuf pasca persinggungan paham antara pengikut Hamzah Fansuri
dan Syams al-Din al- Sumatrani yang dikenal tasawuf wujudiyah dengan pengikut
Nur al-Din al- Raniry yang lebih mengedepankan syari’ah. Perseteruan tersebut
bahkan telah menyebabkan tragedi besar di Aceh, yakni berupa pembakaran
karya-karya serta pembunuhan terhadap pengikut-pengikut Hamzah Fansuri dan
al-Sumatrani oleh al-Raniry dan pengikutnya. Kedua, al-Singkili lama tinggal di
Arab dan bersentuhan dengan perkembangan intelektual Islam secara luas,
terutama di Haramayn, banyak memberikan pengalaman padanya dalam
menyelesaikan konflik di Aceh. Ketiga, seperti kebanyakan murid-murid
Nusantara lainnya yang belajar di Arab, umumnya mereka banyak mencari juba
(khirqah) tarekat dari berbagai tarekat yang berkembang di sana waktu itu, tetapi
al-Singkili nampaknya cenderung untuk mengembangkan salah satu tarekat saja
yaitu Tarekat Syatariyah.
38
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama.., hal: 208.
18
Al-Singkili, dalam karyanya ini mempertahankan tendensi Tuhan atas
ciptaan-Nya. Dia menolak pendapat Wujudiyah yang menekankan imanensi
Tuhan dalam ciptaan-Nya. Al-Singkili beragumen, sebelum Tuhan menciptakan
alam raya (al’alam), Dia selalu memikirkan tentang diri-Nya sendiri, yang
mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (Cahaya Muhammad). Dari Nur
Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar permanen (al-ayan al-
stabitah), yaitu potensi alam raya, yang menjadi sumber dari pola-pola dasar luar
(al-a’yanKharijiyyah), ciptaan dalam bentuk konkretnya. Al-Singkili
menyimpulkan, meski al-a’yan Kharijiyyah merupakan emanasi dari wujud
mutlak, mereka berbeda dari Tuhan itu sendiri, hubungan keduanya adalah seperti
tangan dan bayangannya, yang terakhir itu tidak sama dengan yang pertama.
Dengan ini, al- Singkili menegaskan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya. Jhons
telah menunjukkan, bahwa al-Singkili dengan sadar menafsirkannya dalam
pengertian ortodoks, yang membuktikan bahwa Tuhan dan alam raya itu tidak
sama.39
39
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 111. Lihat pula dalam Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama.., hal: 206.
40
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 112. Lihat pula dalam Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama.., hal: 207.
19
hakiki. Menurutnya jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam. Walaupun
demikian, antara bayangan (alam) dengan yang memancarkan bayangan (Allah)
tentu memperoleh keserupaan. Maka sifat-sifat manusia adalah bayangan-
bayangan Allah, seperti yang hidup, yang tahu, dan melihat. Pada hakikatnya,
setiap perbuatan adalah perbuatan Allah. Al-Singkili juga mempunyai pemikiran
tentang zikir. Zikir, dalam pandangan al-Singkili, merupakan suatu usaha untuk
melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan zikir inilah hati selalu mengingat
Allah. Tujuan zikir ialah mencapai fana’ (tidak ada wujud selain wujud Allah),
berarti wujud hati yang berzikir dekat dengan wujud-Nya.41
41
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 112.
42
Dicky Wirianto, Meretas Konsep Tasawuf.., hal: 113.
20
Pemaparan karya ini, penulis mengutip pemaparan Damahuri. Menurutnya,
Naskah Umdah al-Muhtajini al Suluk Maslak al-Mufradin karya Syeikh
Abdurrauf Singkel ditulis dalam bahasa Melayu dengan menggunakan tulisan
Arab Jawi. Dalam pemaparan isinya, pada setiap awal bab ditulis dengan bahasa
Arab, dan ditulis dengan bahasa Melayu. Dalam pemaparan itu, terdapat ayat-ayat
al-Qur’an, hadis-hadis Nabi dan pendapat-pendapat para ulama sufi yang
dijadikan sebagai landasan keterangannya. Naskah tersebut masih dapat diperoleh
secara utuh di beberapa tempat, antara lain pada Museum Negeri Aceh di Banda
Aceh yang disatukan denganbeberapa karya al-Singkili lainnya dengan halaman
secara keseluruhan berjumlah 232 halaman. Dalam hal ini khusus naskah ‘Umdah
al-Muhtājīn sejumlah 115 halaman.43
43
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 314.
44
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 315. Selengkapnya dapat dilihat langsung dari
pengantar Kitab Umdah al-Muhtajin.
21
tauhid af’al. Setelah itu, barulah belajar ajaran tarekat dengan berbagai adab zikir
dan ketentuannya. Adab sebelum berzikir, adab dalam berzikir dan adab di luar
prosesi rutinitas zikir. Semuanya harus memahami dasar-dasarnya. Seterusnya
memahami tujuan dan hasil yang hendak dicapai dari zikir. Setelah itu barulah
dipahami tentang bai’at yang harus dijalani dalam tarekat sebagai pengakuan ilmu
dan untuk pengamalannya. Setelah itu baru dilakukan berbagai amaliah lainnya
seperti shalat-shalat sunat dan sebagainya. Bagian ini secara singkat sebagai
berikut:
Faidah pertama, berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan ilmu tauhid.
Pemaparannya meliputi pengetahuan tentang sifat-sifat wajib, yang mustahil dan
sifat-sifat ja’iz. Faidah kedua, berisi tentang adab dan tata cara melakukan zikir.
Faidah ketiga, berisi tentang dasar-dasar dan faedah zikir, yang dilandasi dengan
hadis Nabi. Di sini dikemukakan secara rinci bahwa amaliyah di dalam tarekat ini
bukan hanya dibuat-buat, tetapi harus dipahami sebagai amaliyah yang didasarkan
kepada amaliyah Nabi Muhammad Saw. Faidah keempat, menerangkan tentang
hasil zikir yang diperoleh seorang salik. Seseorang yang melakukan zikir dengan
benar dan kaifiyat betul, maka seseorang salik akan merasakan hasil dan pengaruh
dari zikirnya itu. Fadiah kelima, berisi tentang talqin dan bai’at dalam
pengalaman zikir. Di sini dikemukakan beberapa pengesahan ilmu dan
pengijazahannya kepada seseorang murid, artinya seseorang yang hendak
mengamalkan ilmu tarekat ini diharuskan mengambil pengesahannya dari guru.
Jadi, pengamalan ini tidak bisa sekedar ikut-ikutan, tetapi haruslah benar-benar
yaitu melalui bai’at di hadapan guru. Faidah keenam, berisi tentang keterangan
salat-salat sunat dan wirid-wirid lainnya yang sepatutnya diamalkan oleh seorang
salik.45
3. Lubb al-Kashf wa al-Bayan limayarah al-Muhtadar bi al-A‘yan
Secara garis besar, isi naskah Lubb al-Kashf wa al-Bayan limayarah al-
Muhtadar bi al-A‘yan terbagi dalam dua bahasan pokok. Masing-masing adalah:
Pertama, pembahasan tentang Allah SWT dan hal-hal yang berhubungan dengan
45
Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin.., hal: 316-317.
22
itu. Kedua, pembahasan tentang dua jenis kematian, yakni mati ikhtiyari(mati
dalam kehidupan) dan maupun mati yang sebenarnya (lepasnya nyawa dari jasad)
yang disebut dengan mati ittirari.46
Menurut Syeikh al-Singkili, Allah bertajalli dengan apa saja yang Dia
kehendaki. Ketika Allah bertajalli dengan nur-Nya yang sha’sha’ani (memancar
dan berbaur dengan yang dipancari/disinari) maka niscaya tidak akan bisa
dipandang. Konsepsi al-Singkili tentang tajalli ini pada dasarnya bermula dari
adanya pemahaman bahwa Allah sebagai Dzat mutlak ketika masih dalam wujud
yang azali (tidak bisa diidrak ataudihinggakan) berkeinginan untuk bisa dikenal
makhluq, alam. Persepsi ini berdasar atas hadits Qudsi, yang artinya: “Aku adalah
perbendaharan yang tersembunyi. Aku ingin supaya dikenal, maka Aku ciptakan
kejadian (alam) ini sehingga dengan itu mereka mengenal Aku.48
46
Ahwan Mukarrom, Konsep Abdul Rauf Singkel.., hal: 135.
47
Ahwan Mukarrom, Konsep Abdul Rauf Singkel.., hal: 136.
48
Ahwan Mukarrom, Konsep Abdul Rauf Singkel.., hal: 136.
23
sekaligus sebagai madhar (tempat dhahir Allah) dimanaAllah bisa diidrak
(dihinggakan).49
24
Maka dianjurkan bagi setiap manusia untuk mengucap kalimat lailaaha
illaAllah. Kalimat ini dilafalkan dengan dzikir yang samar di hati sebagaimana
biasa dilakukan dalam proses mati ikhtiyari.Tentu ini bukan pekerjaan mudah bagi
orang yang tidak membiasakan diri membaca dzikir kalimat tayyibah
sebagaimana proses mati ikhtiyari. Jadi bisa dikatakan bahwa mati ikhtiyari itu
merupakan latihan, membiasakan diri berlatih menuju mati idtirari (mati yang
sesunguhnya) Bagi siapapun yang terbiasa tenggelam dalam ‘adam, mati ikhtiyari
niscaya tidak akan kesulitan dalam menghadapi sakaratul mautmati (mati yang
sesunguhnya).52
Menurut kitab ini ada beberapa hal yang bisa digunakan mendeteksi
datangnya ajal, diantaranya adalah dengan melihat bayang-bayang dirinya di terik
sinar matahari. Apabila bayang-bayang tersebut tidak menampakkan kepala,
niscaya yang bersangkutan hanya berumur tiga hari lagi. Jika terlihat bayang-
bayang tak bertelinga, niscaya yang bersangkutan tinggal berumur satu bulan saja.
Jika terlihat bayang-bayang tanpa kedua tangan, niscaya ia tinggal hidup satu
tahun saja, dan seterusnya.53
52
Ahwan Mukarrom, Konsep Abdul Rauf Singkel.., hal: 138.
53
Ahwan Mukarrom, Konsep Abdul Rauf Singkel.., hal: 139.
25
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
Nama lengkap Abdul Rauf Singkel adalah Abdul Al-Rauf bin 'Ali al- Jawi
al-Fansuri, sufi besar asal Aceh yang pertama kali membawa dan
mengembangkan tarekat Syatariyyah di Nusantara. dari Fansur, singkel di
wilayah pantai barat Laut Aceh.
26