Anda di halaman 1dari 8

Syaikh Abdur Rauf

As Singkili

1|Abdur Rauf As Singkili


Nama dan Asal Usul
Nama lengkapnya Abdurrauf bin Ali Al-Jawi al-
Fansuri as-Singkili (1024-1105 H/1615-1693 M).
Dilihat dari namanya beliau adalah seorang
Melayu dari Fansur, Singkil (Modern: Singkel). Di
Aceh beliau dikenal juga dengan julukan Syiah
Kuala atau Teungku di Kuala. Kuala adalah sebagai
nisbah kepada tempatnya mengajar, yang
kemudian menjadi tempat pemakamannya.
Mengenai asal-usul keturunannya, belum dapat
dipastikan secara meyakinkan. Dilihat dari
namanya yang tertulis dalam beberapa karyanya,
diduga bahwa dia adalah seorang berkebangsaan
Melayu dari Fansur. A. Hasjmy berpendapat,
nenek moyang Abdurrauf berasal dari Persia yang
datang ke kesultanan Samudera Pasai pada abad
ke XIII. Mereka kemudian menetap di Fansur, yaitu
daerah yang menjadi tempat kelahirannya.

2|Abdur Rauf As Singkili


Karir Mengajar
Abdurrauf belajar pada ayahnya, lalu pada ulama
di Fansur dan Banda Aceh. Lalu mendalami Islam
pada berbagai ulama di Timur Tengah. Abdurrauf
telah memulai mengajar di Haramain karena
sebelum berkunjung ke Makkah dan Madinah, ia
telah memiliki pangetahuan yang memadai untuk
disampaikan kepada sesama muslim Melayu-
Indonesia saat mereka menjalankan ibadah haji.
Perjalanan Abdurrauf dalam menuntut ilmu
berakhir di Madinah al-Munawarah, karena di
kota Nabi ini dia baru merasa puas, karena dapat
menyelesaikan pelajarannya.
Abdurrauf belajar di Madinah pada Ahmad al-
Qushashi sampai sang guru wafat pada tahun
1071 H/ 1660 M dan Ibrahim al-Kurani. Dari al-
Qushashi ia belajar ilmu tasawuf dan ilmu lainnya.
Setelah selesai belajar, Imam al-Qushashi
menunjuknya sebagai khalifah syattariyah dan
Qadiriyah.

3|Abdur Rauf As Singkili


Tarekat Syattariyah
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas,
syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-
Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama
Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia
menjadi orang pertama yang memperkenalkan
Syattariyah di Indonesia. Namanya juga
dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-
Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi
berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang
pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884.
Karena itu pula silsilah Tarikat Syattariyah di Jawa,
ada yang mengacu kepada Abdurrauf juga ada
yang mengacu kepada al-Qushashi langsung.
Abdurrauf memperoleh ijazah Syattariyah dan
Naqsyabandiyah. Abdurrauf memilih Tarekat
Syattariyah karena lebih mudah dan lebih tinggi,
dasar amalannya dari Al Quran dan hadits dan
lebih banyak diamalkan para sahabat.

4|Abdur Rauf As Singkili


Kembali ke Indonesia
Semasa Abdurrauf mengabdi kepada al-Qushashi,
sang guru pernah memerintahkannya agar
kembali ke Jawa, untuk membantu perkembangan
Islam di tanah kelahirannya. Namun Ia belum mau
pulang saat itu, karena masih ingin mendalami
ilmu yang sudah diperolehnya. Setelah merasa
puas Ia pun meninggalkan Madinah menuju Aceh.
Abdurrauf tidak memberikan angka tahun
kembalinya ke tanah airnya. Namun ia
mengisyaratkan bahwa kembalinya tidak lama
setelah wafatnya al-Qushashi, juga setelah al-
Kurani mengeluarkan ijazah untuknya dan
menyebarkan ilmu yang telah diterima. Atas dasar
ini, kebanyakan ahli berpendapat, ia kembali ke
Aceh sekitar tahun 1584 H/ 1661 M. Menurut
riwayat, Abdurrauf mengambil tempat di
Peunayong, Bandar Aceh Darussalam, di tepi
sungai Aceh. Di tempat inilah ia tinggal sejak
pertama kedatangannya dari Arab Saudi hingga ia
meninggal dunia.
5|Abdur Rauf As Singkili
Ujian Pembuktian Kealiman
Sepulang dari pendidikannya, Aceh di bawah
Sultanah Zakiyatuddin. Di Aceh Abdurrauf
menghadapi ujian pembuktian kealimannya tidak
lama setelah kedatangannya, ketika seorang
saudara seagamanya di ibukota Aceh Darussalam:
Katib Seri Raja bin Hamzah Al-Asyi, yang diduga
kuat menjadi sekretaris rahasia Sultanah datang
membawa kitab berbahasa melayu, yang
menceritakan keadaan ketika menghadapi
sakaratul maut.
Abdurrauf menjawab bahwa isi buku itu tidak dia
temukan dalam kitab hadis maupun tulisan ahli
Sufi. Sebagai koreksi buku itu, beliau menyusun
tiga buah risalah yaitu: (1) tentang sakaratul maut,
berjudul Lubb al-Kasyaf wa al-Bayan liman yarahu
al-muntadhar bi al’iyan. (2) Sebuah karangan
tentang cara meramal saat kematian seseorang
yang disadur dari buku berbahasa Arab berjudul
Tibbi al-Mar’i min nafsi (di Aceh dikenal dengan

6|Abdur Rauf As Singkili


kitab teh) dan (3) Pernyataan zikir yang paling
utama pada saat sakarat adalah La Ilaha Illa Allah.
Risalah tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan
banyak di antaranya diterjemahkan sendiri ke
bahasa Melayu. Di akhir naskah ada keterangan
tambahan yaitu bahwa naskah itu setelah ia tulis,
dia kirim kepada gurunya al-Kurani di Madinah
untuk dikoreksi. Setelah dibaca oleh gurunya, lalu
disetujui isinya, dikirim kembali pada Abdurrauf.
Ia diangkat menjadi mufti dan Qadiy Malik al-‘Adil,
ia membuka pesantren dan tetap mengajar. Pada
saat itulah Sultanah memintanya mengarang buku
fiqih untuk digunakan sebagai rujukan di seluruh
wilayah Aceh Darussalam. Buku tersebut di
berinya judul: Mir’at al–Tullab fi Tafsii li Ma’rifati
Ahkami al-Shari’ati li al-Wahhab.
Kemudian, Abdur Rauf as-Singkili menjadi Mufti
Aceh ketika diperintah oleh Sultanah Safiatuddin
Tajul Alam.

7|Abdur Rauf As Singkili


Dakwah dan Karya
Abdurrauf kembali ke Aceh sekitar 1083 H/ 1662
M. Murid yang berguru kepada antara lain Syekh
Burhanudin Ulakan (Pariaman, Sumatera Barat),
Syekh Nur Qodim Al Baharudin (Sumatera Barat)
dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (Tasikmalaya,
Jawa Barat).
Abdur Rauf as-Singkili memiliki beberapa karya
antara lain:
a. Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat
al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab,
bidang fiqh permintaan Sultanah Safiyatuddin
b. Turjuman al Mustafid (Terjemah Pemberi
Faedah), yakni merupakan kitab tafsir pertama
yang dihasilkan di Indonesia.
c. Tanbih al Masyi ila Thariq Al Qusyasyi (panduan
orang yang menempuh tarekat Qusyasyi)
d. Daqaiq al Hurf (mengenai tasawuf dan teologi)
e. Umdat Al Muhtajin ila Suluk Maslak Al
Mufradin (pijakan yang menempuh tasawuf).
8|Abdur Rauf As Singkili

Anda mungkin juga menyukai