Anda di halaman 1dari 51

BAB V

PEMIKIR DAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM

A. Pemikiran Hukum Islam Syeikh Abdurrauf Syiah Kuala


1. Biografi Syeikh Abdurrauf Syiah Kuala
Namanya adalah Abdurrauf ibn 'Ali al-Fansuri as-Singkil.
Penulisan nama Abdurruf dari berbagai kitab karagannya masih
terdapat perbedaan-perbedaan. Hal itu disebabkan salinan dari para
muridnya dan orang-orang yang berkepentingan dengan masalah
tersebut.
Pembahasan terhadap rangkaian nama Abdurrauf, seperti Syeikh
al-Alim al-Allamah dan sebagainya merupakan sesuatu yang wajar,
karena penggunaan kata-kata di atas menunjukkan luas dan
didalamnya ilmu pengetahuan yang dimiliki Abdurrauf. Sebagai
contoh dalam kitab Mir'at al-Tullab yang sudah dipublikasikan, nama
Abdurrauf ditulis al-Alim al-Allamah al-Fahhamah Syaikhuna wa Maulana
Abdurrauf. Selanjutnya dalam Bayan Tajjali ditulis Abdurrauf ibn Ali al-
Fansury.
Dari hasil penelitian Peunoh Daly menunjukkan bahwa penulisan
nama Abdurrauf terdapat perbedaan antara naskah yang tersimpan di
Museum Nasional Jakarta dengan kitab tafsir cetakan ke 4 yang
diterbitkan oleh Mustafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1951. Meskipun
penulisan tersebut tidak jauh berbeda, hanya saja pada penulisan nama
diakhir antara al-Jawi al-Fansuri dengan Ali al-Fansuryal-Jawi. Lebih
lengkap misalnya, dalam naskah yang tersimpan di meusium Nasional
nama Abdurrauf ditulis Amin al-Din Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri.

89
Sedangkan dalam cetakan Mesir di tulis Abdurrauf bin Ali al-Fansuryal-
Jawi.1 Nama sebutannya yang paling populer adalah Syiah Kuala. Pada
masa sekarang lebih populer lagi nama itu, karena Universitas Negeri
Darussalam telah mengambil namanya manjadi nama Unversitas Syiah
Kuala.
Mengenai dengan tanggal, tahun, dan temapat kelahirannya
sampai saat ini belum bisa diungkap dengan pasti, karena tidak ada
catatan yang lengkap mengenai hal ini.Para sejarawan seperti D.A.
Ringkes dan H.J.De Graaf malacak tahun kelahiran Abdurrauf lewat
karangan singkat yang ditulis dalam karyanya yang berjudul Umdat
al-Muhtajin fi Suluk al-Maslak al-Mufridin. Pada bagian terakhir
kitabnya ini Abdurrauf mengatakan bahwa sembilan belas tahun
lamanya ia belajar di negeri Arab, dan pulang setelah gurunya Ahmad
al-Qusyasyi meninggal dunia pada tahun 1661 M.2 Berdasarkan
informasi ini D.A. Ringker menetapkan tahun 1642 M sebagai tahun
Abdurrauf berangkat ke negeri Arab. Alasan yang diajukan adalah
bahwa seorang yang mampu merantau jauh berusia sekitar 25 sampai
30 tahun. Dari perkiraan inilah ia menetapkan tahun 1615 M sebagai
tahun kelahirannya. Tahun ini diterima sebagian para ahli tentang
kelahiran Abdurrauf.
Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa Abdurrauf
lahir pada tahun 1620 M, seperti Van Hoeve.3 Bahkan A. Hasjimy
mengatakan tahun 1593 M.4 Kedua penulis ini tidak mengemukakan
atas dasar apa mereka menetapkan tahun tersebut sebagai tahun
kelahiran Abdurrauf.
Dalam menetapkan tempat kelahiran, para ahli juga masih
memperdebatkan di mana sesungguhnya Abdurrauf lahir. Ada yang

1
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam; Studi Perbandingan dalam kalangan
Ahlu Sunnah dan Negara-negara Islam, cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 16.
2
H.J. De Graaf, Islam di Asia Tenggara sampai Abat 10, dalam Perspektif
Islam di Asia Tenggara, Peny. Azumardi Azra, Ed. Ke-1, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1989), h. 21.
3
Van Hoeve, The Encyclopedy of Islam, vol. I, (Leiden: E.J. Brill, 1960), h.88.
4
A. Hasjimy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, cet. I, (Jakarta: Beuna, 1983), h.
202.

89
mengatakan ia lahir di Singkil, 5 sehingga namanya sering ditulis
Abdurrauf al-Singkily. Ada juga yang mengatakan bahwa Abdurrauf
lahir di Fansur, dan menulis namanya Abdurrauf al-Fanshury. Sebagai
akibat adanya perbedaan pendapat ini Hamka pernah ragu apakah
Abdurrauf itu satu atau dua orang. Dalam bukunya sejarah umat Islam
Hamka berkata bahwa Abdurrauf al-Singkily berbeda dengan
Abdurrauf al-Fanshury. Yang pertama masyhur dengan ajaran
tarikatnya syatariyah, sedangkan yang kedua karena kealimannya
dalam bidang fiqh dan tafsir. Namun kemudian Hamka menarik
pendapatnya dan mengakui bahwa Abdurrauf dari Aceh hanya satu
orang saja.6
Menurut Peunoh Daly, dihubungkannya nama Abdurrauf
dengan Fansur atau Singkil tidak ada masalah yang mendasar, karena
Fansur termasuk kedalam wilayah Singkil juga, meskipun demikian,
menghubungkan nama Abdurrauf dengan Singkil lebih tepat karena di
kampung Suro Singkil itulah tempat ia dilahirkan. Sebagaimana
dipopulerkan nama sebutannya Syiah Kuala karena ia dikuburkan di
kuala sungai Aceh.7
Penulis berpendapat bahwa analisa Peunoh Daly di atas agaknya
cukup tepat dalam memutuskan masalah ini. Menghubungkan nama
Abdurrauf dengan Fansur saja kuranglah tepat, karena daerah Fansur
adalah tempat lahir ibunya, bukan tempat kelahirannya. Selanjutnya
mengenai asal-usul Abdurrauf, Peunoh Daly menjelaskan bahwa
ayahnya seorang Arab asli bernama Syeikh Ali, ia datang ke Barus dari
negeri Arab. Di Barus Ali kawin dengan seorang gadis yang berasal
dari desa Fansur Barus, pada waktu itu Barus termasuk dalam wilayah
kerajaan Aceh8. Kemudian Syeikh Ali bersama isterinya pindah ke
Singkil. Setelah beberapa lama berada di tempat yang baru itu, yaitu
bekerja sebagai guru dan mubaghlig lahirlah putranya yang
5
Voot Hoeve, Bayan Tajalli; Bahan-bahan untuk Mengadakan Penyelidikan Lebih
Mendalam Tentang Abdurrauf Singkel, terj. Aboe Bakar, (Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1980), h. 21.
6
Hamka, Antara Fakta dan Khayalan Tuanku Rao, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974),
h. 290.
7
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, h.16.
8
Ibid. h. 15

89
diberinama Abdurrauf di sebuah desa yang bernama Gampong Suro
Singkil.9
Dari keterangan ini dapat kita analisa bahwa kemungkinan besar
orang tua Abdurrauf bukan orang Melayu, karena Samudera Pasai
merupakan kota perdagangan penting yang banyak dikunjungi
pedangang Arab, Persia, India, Cina dan lain-lain. Analisa ini diperkuat
oleh A. Hasyimi sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra bahwa
nenek moyang Abdurrauf berasal dari Persi yang datang ke Kesultanan
Samudera Pasai pada abad ke-13.10 Samudera Pasai dianggap sebagai
kota pelabuhan dan sudah banyak dikunjungi pedangang asing sekitar
abad kesembilan.
Para pedagang Arab, Persia dan India yang datang ke Kesultanan
Pasai, di sampang mempunyai kepentingan ekonomi juga
mangandung misi keagamaan. Kepentingan ekonomi dimaksudkan
untuk meningkatkan taraf masyarakat setempat seperti tukar menukar
barang dan lain-lain. Misi kegamaan dimaksudkan untuk menyiarkan
dan mengembangkan agama Islam.
Meskipun demikian, keterangan yang lebih lengkap mengenai
asal usul dan keturunan Abdurrauf sampai sekarang belum diketahui
secara pasti karena tidak ada catatan tentang itu. Seperti terbaca dari
nama yang dituliskannya, kelihatan ia tidak merasa begitu penting
tentang asal usul dan keturunannya, dibandingkan dengan kebiasaan
ulama pada waktu itu yang cenderung menuliskan nama sampai
beberapa generasi ke atas. Kiranya layak untuk berpendapat bahwa dia
berasal dari rakyat biasa bukan keturunan bangsawan. Karena rakyat
biasalah yang umumnya tidak memiliki catatan silsilah. Seandainya ia
keturunan bangsawan atau sayid, tentu di dalam buku-bukunya atau
di dalam salah satu bukunya (seperti mendoakan orang tuanya),
silsilah ini akan disambung beberapa generasi ke atas. Namun

9
Dada Meuraxa, Sejarah Masuknya Islam ke Bandar Barus Sumatera Utara,
(Medan: Sastrawan, 1973), h. 55.
10
Azumardi Azra, Jaringan Ulama Timur dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII; Melacak akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, cet. 2, (Bandung:
Mizan, 1995), h. 190.

89
demikian Puenoh Daly tetap mengatakan ayah Abdurrauf berasal dari
Arab yang datang ke Fansur, Barus.
Dari gambaran di atas kita dapat menempatkan sosok orang tua
Abdurrauf sebagai seorang pedagang atau ulama yang senantiasa
membimbing masyarakat agar melaksanakan ajaran Islam sebagaimana
mestinya. Kenyataan ini terbukti setelah ayah Abdurrauf kawin di
Fansur, Barus lalu pindah ke Singkil dan mendirikan sebuah pesantren
yang mendidik para murid dari berbagai wilayah kesultanan Aceh.
2. Aktivitas Ilmiah
Syeikh Abdurrauf Syiah Kuala telah memulai aktivitas ilmiyah
sejak kecil di bawah bimbingan orang tuanya Syeikh Ali. Kemudian ia
melanjutkan pendidikannya ke ibu kota Kesultanan Aceh. Namun
sebelumnya ia pernah belajar di Barus. Hal itu mungkin dilakukan
karena Barus merupakan pusat Islam yang terpenting dan merupakan
titik penghubung antara orang Melayu dengan umat Islam dari Asia
Barat dan Asia Selatan.11 Menurut Ali Hasjimy, di kesultanan Aceh
Abdurrauf tidak mungkin bertemu dengan Hamzah, sebab Hamzah
meninggal sekitar tahun 1016 H/ 1607 M pada saat itu Abdurrauf
bahkan belum lahir.12
Sekalipun demikian, kita tidak dapat mengesampingkan
kemungkinan Abdurrauf belajar dengan Syamuddin. Jika kita
berasumsi dia belajar dengan Syamsuddin (wafat 1630 M) dalam tahun
tahun terakhirnya. Maka Abdurrauf pasti berada dalam usia belasan
tahun saat itu. Tapi tidak ada indikasi untuk mendukung kemungkinan
ini.Menurut Peunoh Daly, Abdurrauf pernah juga belajar di Gresik. 13
Untuk memperluas wawasan kelimuannya, Abdurrauf berangkat
ke negeri Arab sekitar tahun 1642 M. Mengenai aktivitas keilmuan
yang ia tempuh di negeri Arab, kita dapat merujuk kepada salah satu
karyanya Umdat al-Mutajin ila Suluk Maslak al-Mufridin. Dalam karya ini
ia menjelaskan kegiatan ilmiyahnya, berupa tempat belajar, guru-
gurunya dan beberapa ulama yang dijadikan teman dialog dalam
11
Ibid.
12
Ibid.
13
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, h. 17.

89
menyelasaikan berbagai persoalan agama yang muncul. Meskipun
penjelasan itu ditulis secara ringkas, tetapi dapat memberi gambaran
yang jelas tentang bagaimana seorang alim Melayu Indonesia
mengadakan perjalanan jauh mencari Ilmu agama.Ia mengungkapkan
bukan hanya saling silang jaringan ulama, tetapi juga proses
penyebaran pengetahuan Islam dan keilmuan di kalangan para ulama.
Di tanah Arab Abdurrauf belajar pada sembilan belas orang guru
dan dua puluh tujuh ulama lainnya.Kebanyakan ulama ini adalah
mufti dan praktisi hukum yang secara langsung memecahkan dan
menangani masalah umat.Ia belajar di sejumlah tempat yang tersebar
di sepanjang rute haji. Dari Duha di wilayah teluk Persia, Qatar,
Yaman, Jeddah, Makkah dan akhirnya Madinah. Di Duha, Abdurrauf
melanjutkan pelajarannya di Yaman, terutama di bait al-Faqih dan
Zabit. Di sampaing itu ia juga mempunyai sejumlah guru di Mawza,
Mukha, al-Luhayyah, Hudaidah dan Taiz Bait al-Faqih dan Zabit yang
merupakan pusat-pusat pengetahuan Islam yang penting di wilayah
ini.14 Di Bait al-Faqih ia belajar dengan keluarga Jaman, seperti
Ibrahaim bin Muhammad bin Jaman, Qadi Ishak bin Jaman dan
Ibrahim bin Abdullah bin Jaman. Keluarga Jaman merupakan pilar
masyarakat Yaman. Sebagai ulama, Jaman adalah murid Ahmad al-
Qushasyi dan Ibrahim al-Kurani.
Di antara guru-guru Abdurrauf dari keluarga Jaman yang
terkenal adalah Ibrahim bin Abdullah bin Jaman (wafat 1672 M),
terutama karena beliau masyhur sebagai muhaddis dan faqih sekaligus
seorang pemberi fatwa yang produktif.
Setelah belajar di tempat-tempat pendidikan yang ada di sekitar
Yaman, kemuadian Abdurrauf sampai di tanah harem, yaitu Jeddah,
Makkah dan Madinah. Di Jeddah beliau belajar dengan Abdu al-Qadir
al-Bakhali, di Makkah belajar dengan Badr al-Din al-Lahuri dan
Abdullah al-Lahuri. Guru Abdurrauf yang terpenting di Makkah
adalah Ali bin Abd al-Qadir al-Tabari. Ia seperti saudaranya Zain
al-Abidin adalah seorang faqih terkemuka di Makkah. Keluarga al-
Tabari mempunyai jaringan dengan para ulama di Yaman. Tahap
14
Azyumardi Azra, h. 193.

89
terakhir perjalanan beliau menuntut ilmu adalah Madinah. Di kota
inilah ia dapat meneyelesaikan pelajarannya bersama gurunya Ahmad
al-Qushyasyi sampai gurunya meninggal dunia pada tahun 1660 M.
dan khalifahnya Ibrahim al-Kurani. Dengan al-Qushasyi Abdurrauf
mempelajari limu-ilmu yang dinamakan dengan ilmu-ilmu batin, yaitu
ilmu tasawuf.15
Sebagai tanda tamat studinya dalam bidang tasawuf al-Qushasyi
menunjuknya sebagai khalifah syatariyah dan qadariyah. Hal itu
berarti bahwa ia sudah diakuai dan diberikan kewenangan untuk
menyebarkan dua tarikat tersebut ke tempat lain. Dalam Umat al-
Muhtajin Abdurrauf menjelaskan silsilah tarikat syatariyah yang
sampai kepadanya. Ia juga mengungkapkan titik temu antara silsilah
tarikat syatariyah denga silsilah tarikat qadariyah. 16 Perjalanan jauh
yang ditempuhnya dan lamanya waktu yang dihabiskan cukuplah
menjadi bukti kesungguhan dan keterangan hati Abdurrauf dalam
menyelami lautan ilmu pengetahuan.
Dari uraian di atas dapat dianalisa bahwa Abdurrauf merupakan
pembawa dan pengembang tarikat syatariyah bukan saja di Sumatera
tapi juga di pulau Jawa. Analisa ini didukung oleh fakta yang
menunjukkan bahwa silsilah tarikat syatariyah yang tersebar di
semenanjung Sumatera dan jawa berasal dari Abdurrauf.
Tarikat Sayatariyah berkembang pesat di Sumatera, Jawa dan
semenanjung Melayu, karena pada waktu itu Aceh juga merupakan
pusat kajian keislaman yang cukup penting. 17 Di samping itu Aceh juga
merupakan tempat persinggahan bagi mereka yang ingin melakukan
ibadah haji. Pada saat ini tarikat syatariyah ini dikembangakan oleh
KH. Munawar Efendi bersama para santrinya melalui lembaga Yayasan
li al-Muqarrabin yang berpusat di Nganjuk Jawa Timur.
Daftar Nama Guru dan Tempat Abdurrauf Belajar di Luar Negeri:

15
Abdurrauf As-Singkili, Umdat al-Muhtajin ila Suluk al-Mufridin, Naskah yang
tersimpan di Perpustakaan dan Yayasan Ali Hasjimi, No.09/NKT/YPAH, h.126-127.
16
Silsilah Kedua Terikat ini Dapat dilihat pada Lampiran II Skripsi ini.
17
Nicholson, The Inroduction of Islam into Sumatera and Jawa; A Study in Cultural
Chinge, (Miching: University Microfilm, 1985), h. 7

89
No Guru Tempat
1. Abd al-Qadir Mawrir Mokha
2. Imam Ali al-Tabariy Makkah
3. Abd al-Qadir Barkhaly Jeddah
4. Syeikh Abd al-Wahid al-Khusyasyi Bayt al-Faqih, Yaman
5. Syeikh Ibrahim ibn Abd Allah Bayt al-Faqih ibn Ujayl,
Jaman Yaman
6. Ibrahim ibn Muhammad Jaman Bayt al-Faqih ibn Ujayl,
Yaman
7. Qadhi Ishak ibn Muhammad Zabit
Jaman
8. Syeikh Muhammad Thabati Zabit
9. Syeikh Abd al-Rahim Khas Zabit
10. Syeikh Shiddiq Misjaji Zabit
11. Faqih Ali ibn Muhammad Rabi Zabit
12. Syeikh Abd Allah Adnani Qadhi Yaman
13. Qadhi Muhammad Lahiya
14. Qadhi Muhammad Muhyi al-Din Mawza
15. Syeikh Ahmad al-Qusyasyi Madinah
16. Burhan al-Din Mulla Ibrahim ibn Madinah
Hasan al-Qurany
Sumber: Abdurrauf al-Fansury, Umdat al-Muhtajin li Maslak al-Mufridin, Meuseum
Nasional Jakarta, halaman terakhir, tanpa nomor.
Selain dikenal sebagai tokoh tarikat syatariyah, Abdurrauf juga
dikenal sebagai penulis produktif yang menghasilkan berbagai karya
besar dan kecil. Ia adalah seorang sarjana yang dekat dengan buku-
buku dan hampir dalam semua karyanya ia menunjukkan sejumlah
kitab yang dijadikan sumber kutipan dan rujukan dalam suatu
masalah. Karyanyapun terdiri dari berbagai cabang ilmu yang meliputi
tafsir, fiqh, hadist, akhlak, tasawuf dan lain-lain.Hingga sekarang yang
diduga sebagai karya Abdurrauf berjumlah 21 buah. Satu di antaranya
adalah kitab tafsir pertama dalam bahasa Melayu, dua buah membahas
tentang hadis, tiga tentang fiqh dan selebihnya dalam bidang tasawuf
atau tarikat. Karya-karya yang dimaksud adalah:
a. Tarjumah al-Mustafid, adalah kitab tafsir lengkap dan pertama dalam
bahasa Melayu. Kitab ini ditulis sekembalinya dari negeri Arab.
Dalam usahanya menulis tafsir ini, ia mendapatkan bantuan

89
muridnya Ali Arumi. Sumber utama tafsir ini adalah kitab Tafsir al-
Khazin yang diberi namaal-Lubab fi Maan al-Tanzil karya Ala al-Din
Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi al-Sufi. 18 Menurut
Snock Hurgronje tafsir ini merupakan terjemahan dari tafsir al-
Baidawi. Pendapat ini didukung oleh Vorhoeve dan Ringkes yang
mengatakan bahwa selain dari tafsir al-Baidawi Tarjuman al-Mustafid
juga bersumber pada tafsir Jalalain yang ditulis oleh Jalal al-Din al-
Sayuti dan Jalal al-Din al-Mahli (wafat 864). Pendapat Snock di atas
terbantah dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salam Harun
yang menyebutkan bahwa Tajuman al-Mustafid bukanlah terjemahan
dari tafsir al-Baidawi, akan tetapi terjemahan dari tafsir tafsir jalalain
dengan beberapa pengurungan dan penambahan.19
Unsur yang dikurangi antara lain Irab, asbab al-nuzul, perbedaan
qiraat dan penafsirannya yang agak panjang. Sedang unsur yang
mengalami penambahan adalah penkonkritan kata atau kata
penunjuk dan penegasan kembali suatu kata untuk menghilangkan
karancauan kalimat bila disambung dengan penjelasan baru. 20 Tafsir
ini telah mengalami enam kali cetak yaitu, di Instanbul, Singapura,
Karoke, Bombay, Penang dan Jakarta.Kenyataan ini menunjukkan
tingginya nilai karya dan intelektualitas Abdurrauf.
b. Mirat al-Tullab fi Tashil Marifat Alkalam al-Syariyyah li Maliki al-
Wahhab, adalah sebuah kitab yang ditulis Abdurrauf tentang Hukum
Islam. Kitab ini ditulis permintaan Ratu Tajul Alam Safiatuddin
Syah. Semula ia keberatan atas tersebut karena kurang fasihannya
dalam bahasa Melayu disebabkan lamanya ia tinggal di Arab.
Namun demikian atas bantuan khatib seri Raja Faqh Indera Salih
dalam bidang bahasa, maka Abdurrauf akhirnya bersedia untuk
menulis kitab tersebut.Penulisan kitab ini dimaksudkan untuk
menjadi pedoman bagi para hakim di wilayah taklukan kesultanan
Aceh.Dalam menyususun kitab ini, beliau merujuk kepada beberapa
kitab fiqh karangan-karang ulama-ulama terdahulu.
18
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, h. 30.
19
Salman Harun, Hakikat Tafsir Tarjuman al-Mustafid Syeikh Abdurrauf Singkil,
Dertasi yang tidak dipublikasikan, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1988, h. 273.
20
Ibid.

89
Kitab rujukannya tersebut antara lain adalah Fath al-Wahhab
karya Abi yahya Zakariya al-Anshari, Tuhfat al-Muhtaj karya Ibnu
Hajar al-Haitamy, Nihayat al-Muhtaj karya Syamsuddin al-Ramli,
Tafsir al-Baidawi karya Umar al-Baidawy, al-Irsyad karya al-Muqry
al-Yamany dan Syarh al-Muslim karya Imam al-Nawawy.21 Kitab ini
membahas tentang masalah-maslah muamalah sebagai lanjutan dari
kitab Sirat al-Mustaqim yang ditulis oleh ar-Raniry yang membahas
tentang masalah ibadah.Kitab karya Abdurruf ini mengupas
masalah jual beli, sewa-menyewa, perkawinan dan jinayah.Melalui
karyanya ini beliau ingin menyampaikan bahwa Islam sebagai
agama tidak hanya mengantar urusan ibadah ansich, melainkan
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
c. Umdat al-Muhtajin li Suluk Maslak al-Mufridin, dalam bidang tasawuf
kitab ini terdiri dari 7 bab yang dinamakan faedah.Di dalamnya
diuraikan ilmu tasawuf yang sebenarnya menurut ajaran Islam.Di
akhir kitab inilah beliau menuliskan silsilahnya dan pertalian guru-
gurunya sampai kepada Muhammad SAW.
d. Majmu al-Masail, yang berisi beberapa statemen tentang tasawuf.
Sebagaian kitab ini memberikan aneka ragam pelajaran dan uraian
yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan.
e. Umdat al-Ahkam, sebuah kitab mengenai Hukum Islam.
f. Hidayah al-Balighah Ala Jumat al-Mukhassamah, sebuah kitab fiqh yang
mengupas tentang pembuktian dalam persidangan, serta kesaksian
dan sumpah. Kitab ini bertujuan untuk memberikan bimbingan
praktis kepada para hakim dalam menyelesaikan dan menyidang
sebuah perkara.
g. Kitab al-Faraid adalah sebuah risalah tentang hukum kewarisan
Islam.
h. Al-Tariqat al-Syatariyah, yang membahas tentang pokok-pokok ajaran
tarikat Syatariyah. Di akhir kitab ini terdapat Syair-syair dalam
bahasa Arab yang berisi nasehat-nasehat keagamaan, akhlak, Tanya-
jawab malaikat dengan Muhammad SAW. Sifat-sifat rohaniah dan
jasmaniyah Rasullah yang sempurna, tentang fahala bagi orang
21
Ibid. h. 201.

89
mukmin yang berbuat baik, dan melukiskan tentang syurga berikut
keindahannya.
i. Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahhidin al-Qailin bi Wahdat al-
Wujud, yang berisi bebebrapa fragmen tentang ilmu tasawuf berikut
penjelasannya mudah dipahami oleh masyarakat yang membacanya.
j. Mawaiz al-Badiah, adalah risalah yang berisi 32 hadist berikut
syarahnya yang kaitan dengan tauhid, akhlak, dan ibadah dan
tasawuf. Di samping itu, kitab ini juga berisi tentang doa-doa dan
nama obat-obatan.
k. Daqaiq al-Huruf, yang berisi penafasiran Abdurrauf terhadap
beberapa syair Ibnu Araby.
l. Syams al-Marifat. Tulisan kitab ini kurang jelas, namun dalam
halaman yang masih bias dibaca terdapat uraian tentang tasawuf
dan ilmu marifat yang diambil dari Syeikh Muhammad al-
Qusyasyi.
m. Tambih al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyassyi, yang berisi tentang
potret penyebaran tasawuf Abdurrauf dengan gurunya Ahmad
Qusyasyi. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab.
n. Bayan Tajally, sebuah pertanyaan-pertanyaan yang merupakan
kumpulan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang pernah
diajukan oleh pembesar kerajaan yang menyangkut masalah zikir
yang paling utama dibaca ketika sakaratul maut.
o. Syarah terhadap Arbain Hadisan karangan an-Nawawy. Penjelasan ini
ditulis atas permintaan Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah. Ini
merupakan koleksi 40 hadis yang menyangkut kewajiban-kewajiban
dasar dan praktis bagi kaum muslimin. Koleksi ini ditunjukkan
untuk masyarakat awam.
p. Bayan al-Arkan, kitab pedoman dalam melaksanakan ibadah terutama
shalat.
q. Risalah adab murid kepada Syeikh.
r. Sullam al-Mustafit berisi penjelasan dalam bahasa Melayu mengenai
manzuma ahmad Qusyasyi.

89
s. Risalah al-Mukhtasarah fi bayan al-Syurut al-Syeikh wa al-Tullab, kitab
berisi tentang kewajiban-kewajiban murid kepada guru mereka,
terutama tentang zikir syatariyah.
t. Lubb al-Kasyaj wa al-Bayan Lima Yardhu al-Muntadar bi al-Iyan, yang
berisi penjelasan tentang sakaratul maut. Kitab ini ditulis Abdurrauf
dalam bahasa Arab dan diterjemahkan kedalam bahasa Melayu oleh
Kati Seri Raja.
u. Bayan Agmad al-Masail wa al-Sifat al-Wajibat li Rabb al-Ard wa al-
Samawat, yang berisi mengenai al-Ayan al-Sabiyah. Sebuah masalah
yang dianggap sangat rumit oleh para sufi termasuk ar-Raniry.
3. Peran dan Pengaruh Syeikh Abdurrauf Syiah Kuala.
Sebagai ulama besar di negaranya ia mendapat tempat di hati
rakyat. Sebagai guru ia adalah tempat orang bertanya dalam masalah
keagamaan. Sebagai seorang muballig dan mufti segala petunjuk dan
fatwanya didengar orang. Sebagai hakim putusannya selalu ditaati
karena bisa menyentuh rasa keadilan dan sebagai syeikh sufi, ia
laksana lentera, pembimbing keyakinan dan keimanan rakyat kepada
jalan yang benar menurut sunnah.22
Kedudukan semacam itulah yang menyebabkan Abdurrauf
sangat dekat di hati rakyat dan pemerintah. Ia mampu menerjemahkan
ajaran Islam kedalam bahasa yang mudah dicerna oleh semua lapisan
masyarakat. Karena reputasi dan kejujuran yang dimiliki, Sultanah
meminta kesediaannya untuk menjadi mufti yang disebut Qadi al-Malik
al-Adil dan penasehat kerajaan.
Di samping itu, dalam pergulatan agama dan adat di Aceh, J.
Kremer sebagaimana dikutip Peunoh Daly menulis:
Dalam pemerintahan Aceh, Ulee Balang adalah pegawai yang
mempertahankan hukum adat Aceh, sedangkan ulama dan tengku
adalah orang-orang yang mempertahankan hukum agama yang telah
berlaku dalam masyarakat. Terutama dalam masa kekuasaan Belanda
di Indonesia.Hal ini sangat terasa karena baik Mr. C. Van Vollen
Hoeven maupun C. Snock Hurgronje mamasukkan hukum Islam
kedalam hukum adat, misalkan hukum keluarga dan keturunan.Tetapi
22
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, h. 33

89
semua itu tidak ada hasilnya, terutama karena begitu mendalam
pengaruh Abdurrauf pada semua lapisan masyarakat yang tergambar
dalam pepatah aceh adat bak po teumeurhom, hukum bak Syiah Kuala. 23
Adat adalah Hukum adat setempat dan hukum adalah
Hukum Agama, Puteumeureuhom adalah Sultan, pada umumnya atau
Meukuta Alam (Iskandar Muda) pada khususnya, dan Syiah Kuala
adalah Syeikh Abdurrauf.Tetapi pengertian yang terbaik adalah bahwa
adat adalah masalah-masalah keduniaan dan hukum adalah masalah-
masalah keagamaan. Oleh karena itu, pengaruh Syeikh Abdurrauf itu
seharusnya dimengerti tidak hanya dalam hukum, tetapi dalam bidang
agama pada umumnya. Pepatah itu sesungguhnya melukiskan
pembagian wewenang, artinya keharmonisan antara kedua pemegang
kekuasaan itu di masa mereka.
Di samping itu, ketika terjadi konflik dan perdebatan yang hebat
antara para pembesar kerajaan tentang diangkatnya Safiatuddin Syah
sebagai penguasa tertinggi di Kesultanan Aceh, peran Abdurrauf
sangatlah besar. Pada saat itu kaum laki-laki keturunan sultan Aceh
ingin merebut tahta kesultanan yang didukung oleh para ulama yang
mengatakan bahwa wanita tidak boleh menjadi imam shalat dan oleh
kerena itu pula maka perempuan tidak sah diangkat menjadi wali am.24
Padahala ketika itu, Sultanah memiliki pengaruh yang besar dan kaya.
Ia juga dapat menggerakkan bala tentara kerajaan Aceh di bawah
pimpinan saudara ibunya Abdul Karim dengan gelar Maha Raja Lela.
Pertentangan dan pergolakan semakin dahsyat dan bergejolak,
sehingga terjadi peristiwa berdarah dengan terbunuhnya beberapa
orang ulama, salah satu di antaranya Fakih Hitam. Ia adalah seorang
yang menentang keras rencana pengangkatan Tajul Alam Safiatuddin
Syah.25

23
Ibid.
24
Muhammad Husein al-Aqil, al-Mujmu Syarh al-Muhazzab, (Mesir: alAdam,
tt), XVIII, hal. 206; lihat juga Atiyah Mustafa Musyarrfah, al-Qada fi al-Islam, cet. 2
(Mesir: Syrkah al-Syarqy al-Ausat, 1986), h. 76.
25
H.M. Zainuddin, Tarich Aceh dan Nusantara, (Medan: Pusaka Iskandar Muda,
1961), h. 406.

89
Akibat pergolakan dan pertentangan yang tidak kunjung
berujung, akhirnya Abdurrauf sebagai ulama tempatan turun tangan.
Dalam menghadapi kondisi semacam ini ia cukup hati-hati, karena
akan berakibat fatal apabila konfilk ini tidak ditangani secara serius
dan bijaksana. Setelah membaca dan memahami pertentangan kedua
belah pihak dan kondisi politik Aceh ketika itu, akhirnya Abdurrauf
dapat mengendalikan dan meredam pergolakan yang terjadi dengan
mengkompromikan ide kedua belah pihak. Abdurrauf tetap
berpendapat bahwa Sultanah dapat diangkat menjadi penguasa
tertinggi, sebagai pengganti suaminya Iskandar Tsani. Namun
pengangkatan tersebut harus dibatasi dengan syarat urusan nikah,
talak dan hal-hal lain yang berhubungan dengan hukum agama tetap
dipengang oleh ulama yang bergelar Qadi Malikal-Adil.26 Setelah
campur tangan Abdurrauf, lambat laun stabilitas politik dan
kehidupan beragama dapat dipulihkan, di mana Abdurrauf ini dibantu
oleh orang-orang besar dan kaum yang setia kepada al-Marhum
Mahkota Alam (Sultan Iskandar Muda). Atas jasanya inilah Safiatuddin
Syah mengangkat Abdurrauf menjadi mufti kerajaan sekaligus
penasehatnya. Sultanah inilah yang memintanya untuk menulis kitab
yang berjudul Mirat al-Tullab fi Tashil Marifat Ahkam al-Syariyyah li
Malik al-Wahhab.
Di samping berperan dalam kancah politik, sebagai seorang tokoh
pengajar tarikat syatariyah beliau juga mengajar dan meneliti silsilah
tarikat tersebut, dan ternyata Abdurrauf merupakan mata rantai
pertama yang mengajar di Sumatera, Jawa, dan tempat-tempat lainnya
di Nusantara.27 Kemudia tarikat ini berkembang di seluruh pelosok
nusantara lewat murid-muridnya. Murid-muridnya yang termasyhur
antara lain adalah Syeikh Burhanuddin dari Ulaka Minang Kabau,
Abdul Muhyi dari Jawa Barat, Abdul Malik bin Abdullah dari

26
Hasan Muarif Ambary, Kedudukan dan Peran Tokoh Sejarah Syeikh
Abdurrauf Syiah Singkil dalam Birokrasi dan Keagamaan Kesultanan Aceh, Makalah,
disampaikan pada seminar Festival Baiturrahman II, 16 Januari 1994, h. 8
27
Ensiklopedi Islam Indonesia, Harun Nasution, (ed), (Jakarta: Djambatan,
1992), h. 32.

89
Trenggono, dan Daud Ibnu ar-Rumy yang diduga ayahnya berasal dari
Turki.
Murid-muridnya ini memegang peranan penting dalam
mengembangkan tarikat syatariyah di daerah masing-masing. Karena
setelah selesai pendidikan di kesultanan Aceh, mereka kembali ke
kampung halamannya dan langsung mendirikan lembaga pendidikan
semacam surau atau pesantren. Lewat lembaga ini mereka memperoleh
pengikut yang banyak.
Sejarah pemikiran di nusantara mencatat bahwa Abdurrauf
adalah seorang penganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki
adalah Allah SWT. Amal ciptaanNya adalah wujud bayangan, yakni
bayangan dari wujud hakiki. Meskipun wujud hakiki (Allah) berbeda
dengan wujud bayangan (Alam) terdapat kesertaan antara kedua
wujud ini. Tuhan merupakan Tajalli (penampakan diri dalam bentuk
alam), sifat-sifat Tuhan secara tidak langsung tanpak pada manusia
ciptaanNya dan secara relatif yang sempurna tampil pada insan kamil.
Abdurrauf tidak setuju dengan tindakan pengkafiran seperti yang
dilakukan oleh ar-Raniry terhadap pengikut Hamzah dan Syamsuddin
yang berpaham wujudiyah. Sekalipun dalam sejarah mencatat pula
bahwa tindakan keras Abdurrauf terhadap para ajaran Salik Buta. 28
Meskipun para pakar sejarah belum ada konsensus tentang asal
usul dan tahun kelahiran Abdurrauf, namun yang jelas ia adalah ulama
yang cukup berhasil memegang peran penting di Kesultanan Aceh. Ia
telah berhasil menyambung kembali tali persatuan dan persaudaraan
antara ulama dan umara yang pernah retak pada waktu itu.Keretakan
antara ulama dan umara, sebagaimana dijelaskan di atas adalah akibat
dari pertentangan paham keagamaan dan pertikaian serta perdebatan
politik-pemerintahan tentang pengangkatan wanita menjadi penguasa
tertingngi.
Dengan demikian jelaslah bahwa ia cukup berpengaruh bagi
seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah. Abdurrauf meninggal
dunia pada tahun 1693 M dan dimakamkan didekat Kuala atau Muara

28
Ambary, Kedudukan dan Peran, h.11.

89
Sungai Aceh, sehingga orang memanggilnya dengan Teungku di Kuala
atau Syiah Kuala.
Meskipun Abdurrauf telah tiada, ia tetap dikenang sepanjang
sejarah. Namanya telah diabadikan pada sebuah perguruan tinggi
termegah di daerah Darussalam Banda Aceh yang diambil menjadi
nama Universitas yakni Universitas Syiah Kuala. Jasanya tertanam
dalam dada masyarakat Aceh dan para Ilmuan lainnya lewat buah
pena yang dihasilkannya. Banyak sarjana baik dalam maupun luar
negeri telah melakukan penelitian untuk menyelidiki konstribusi
Abdurrauf terhadap Aceh pada khususnya dan dunia Islam pada
umumnya.
4. Fikih Sensitif Gender Syiah Kuala
Sebelum memasuki diskursus mengenai pandangan Abdurrauf
tentang hak-hak politik perempuan dan faktor-faktor yang
melatarbelakangi pandangannya, terlebih dahulu di sini akan ditelaah
pandangan Abdurrauf tentang perempuan sehingga mendiskripsikan
dengan jelas bagaimana pandangan Abdurrauf tentang hak-hak politik
perempuan.
Abdurrauf memandang sama antara laki-laki dan perempuan
dalam hal eksistensi kemanusiaan. 1) Pandangan ini didasarkan pada
firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 30, An-Nis (4) ayat
1, dan Az-Zariyt (51) ayat 56. Abdurrauf menafsirkan kata min nafs
wahidah yang terdapat dalam surat An-Nis (4) ayat 1, sebagai
Adam.2) Kemudian Allah SWT. menciptakan dari diri Adam isterinya
yaitu Hawa. Hal ini sesuai dengan maksud sebuah hadis, yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa perempuan itu diciptakan
dari tulang rusuk Penciptaan Hawa dari diri Adam bukan
menunjukkan perempuan lebih rendah dari laki-laki, akan tetapi
merupakan pelengkap dan merupakan bagian yang tak terpisahkan

1)
Abdurrauf Ibn Ali al-Fansuri al-Jawi, Terjumn al-Mustafid, (ttp.: Dar al-
Maarif, 1990, h. 7, 78, dan 564.
2)
Abdurrauf, Tarjumn., h. 78; Lihat juga Danial, Hak-hak Politik Perempuan
dalam Perspektif Syeikh Abdurrauf Syiah Kuala; Studi terhadap Kitab Mirat al-Tullab
tentang Hak-hak Politik Perempuan, Skripsi, (Yogakarata: IAIN Sunan Kalijaga, 2007).

89
dari laki-laki.3) Oleh karena itu laki-laki dan perempuan sama-sama
bertanggung jawab dalam kapasitasnya sebagai khalifah Allah di muka
bumi ini.
Selanjutnya Abdurrauf menjelaskan bahwa laki-laki dan
perempuan adalah ciptaan Allah yang berada dalam derajat yang
sama. Tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa perempuan
pertama (Hawa) mempunyai martabat yang lebih rendah dari laki-laki
pertama (Adam). Untuk mendukung pendapatnya Abdurrauf merujuk
kepada firman Allah SWT. yang berbunyi sebagai berikut:



Artinya: Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan
dikeluarkan dari Keadaan semula dan Kami berfirman:
"Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang
lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan
kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." (QS. Al-
Baqarah: 36)



Artinya: Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi telah
pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka
menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah,
dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk. (QS.
al-Araf: 30)
Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa Adam dan Hawa telah
dipengaruhi oleh rayuan dan bujukan syetan, sehingga keduanya
dikeluarkan oleh Allah dari syurga. Kata fainna lhum dan faakhraja
hum menunjukkan dua orang yaitu Adam dan Hawa. Jadi yang
dibujuk dan dirayu syetan bukanlah Hawa saja, tetapi juga Adam.
Pendapat Abdurrauf tentang penciptaan Adam dan Hawa, sejalan
dengan az-Zamakhsyari yang mengatakan bahwa yang dimaksud
3)
Ahmad Ibn Hambal, Musnad Ahmad Ibn Hambal, pasal 5 fi al-Tasyyi, cet. 2,
Juz VI, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), h. 256. Hadis dari al-Arj dari Abi Hurairah, Hadis
sahih, riwayat Muslim.

89
dengan nafs whidah adalah Adam dan zaujah adalah Hawa yang
diciptakan dari tulang rusuk Adam.6) Pendapat senada juga
dikemukakan oleh al-Alusi dengan menambahkan bahwa tulang rusuk
yang dimaksud adalah tulang rusuk sebelah kiri Adam. 7) Berbeda
dengan Az-Zamakhsyari yang tidak menyebutkan dalil, al-Alusi
mendasarkan argumennya pada sebuah hadis riwayat Bukhari-
Muslim, yang berbunyi:

8)

Menurut Abu Muslim, Allah tidak menciptakan Hawa dari tulang


rusuk Adam, tetapi dari tanah seperti penciptaan Adam. Apa guna
Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk padahal ia mampu
menciptakan dari tanah? Dengan maksud seperti itu maka Abu Muslim
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kalimat wakhalaqa minh
zaujah adalah, Dia menciptakan Hawa dari jenis yang sama dengan
Adam (maksudnya manusia) seperti pada firma-Nya ...fa jaala lakum
min anfusikum azwj (...Dia menjadikan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri).9)
Al-Alsi menolak pendapat Abu Muslim di atas dengan
argumentasi bahwa, apabila benar seperti yang dikatakan Abu Muslim,
tentu manusia makhluk yang diciptakan bukan berasal dari satu diri
(baca; nafs whidah) tetapi dari dua diri (nafsain). Hal ini tentu
bertentangan dengan nas ayat itu sendiri dan akhbar sahihah dari
rasulullah SAW.10) Sedangkan apa gunanya Allah menciptakan Hawa
dari tulang rusuk Adam, padahal ia mampu menciptakannya dari
tanah seperti Adam, al-Alusi menjawab bahwa selain hikmah yang
tidak kita ketahui, adalah untuk menunjukkan bahwa Allah mampu

6)
Abu al-Qasim Jarullah Mahmud Ibn Umar al-Zamakhsyari al-Kawarizmi,
al-Kasyf al-Daqiq al-Tanzil wa Uym al-Takwil, (Beirut: Dr al-Fikr, 1977), I: 492.
7)
Abu Fadal Sihb al-Din al-Sayyid Mahmud Affandi al-Alsi al-Bagdadi, Rh
al-Mani fi Syarh al-Qurn al-Azim wa Sabi al-Masni, (ttp.: Dr al-Fikr, tt.), II : 180-181.
8)
Ibid.
9)
Ibid., h. 181.
10)
Ibid., h. 182.

89
menciptakan makhluk hidup dari makhluk hidup yang lain tanpa
melalui proses reproduksi (tawlud), sebagaimana Ia mampu
menciptakan makhluk hidup dari benda mati.11)
Menurut Riffat Hasan konsep penciptaan Hawa seperti yang
dijelaskan di atas termasuk pendapat Abdurrauf berasal dari Injil.
Cerita injil ini berasal dari dua sumber yang berbeda, yaitu Rahib (the
Yahwist) dan Pendeta (the Priestly), dari mana lahir dua tradisi yang
menjadi subyek dari banyak kontroversi ilmiah di kalangan Yahudi
dan Kristen. Ada empat rujukan bagi penciptaan dalam Genesis, yakni
Genensis 1: 26-27, Genesisi 2: 7, Genesis 2:18-24, dan Genesisi 5: 1-2.
Yang pertama dan keempat berasal dari tradisi kependetaan,
sedangkan kedua dan ketiga berasal dari tradisi kerahiban. Oleh karena
itu, ia mengatakan bahwa menurut Al-Qur'an Allah menciptakan laki-
laki dan perempuan setara. Mereka diciptakan secara serempak dan
sama dalam substansinya, sama pula caranya. 12) Berbeda dengan Riffat,
Amina Wadud Muhsin seorang tokoh feminis lainnya tidak menolak
penafsiran bahwa yang dimaksud dengan nafs wahidah adalah Adam
dan zaujah adalah Hawa. Hal ini terlihat misalnya pada terjemahannya
terhadap surat An-Nis ayat 1 sebagai berikut:
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang
menciptakan kamu dari satu diri (nafs=Adam), dan dari padanya Allah
menciptakan zauj (pasangan=Hawa). Dan dari pasangan ini Allah
mengembang-biakan (dibumi) laki-laki dan perempuan yang banyak. 13)
Allah mengungkapkan dengan kata nafs yang secara bahasa
merupakan bentuk feminim (muannas), tetapi secara konseptual
mengandung makna netral, bukan bentuk laki-laki maupun
perempuan tetapi diri manusia itu sendiri.
Dalam penggunaan secara teknis, kata nafs menunjukkan bahwa
seluruh umat manusia memiliki asal-usul yang sama. 14) Dalam teknis
11)
Ibid.
12)
Danial, Hak-hak Politik, h. 30; Lihat juga Riffat Hasan dan Fatima
Mernissi, Setara di Hadapan Allah; Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam
Pasau Patriarkhi, cet. 1 (Yogyakarta: LSPPA-Yayasan Prakarsa, 1995), h. 61.
13)
Amina Wadud Muhsin, Perempuan di dalam Al-Quran, alih bahasa oleh
Yaziar Radianti cet. 1, (Bandung: Pustaka, 1994), h. 30.
14)
Ibid. h. 25.

89
penciptaan Hawa Amina tidak mengemukakan pendapatnya secara
tegas, ia hanya menjelaskan bahwa kata min dalam bahasa Arab,
pertama dapat digunakan sebagai preposisi (kata depan) dari untuk
menunjukkan makna menyarikan sesuatu dari sesuatu lainnya.
Kedua, dapat digunakan untuk mengatakan sama macam atau
jenisnya.15) Jika min pada kalimat minha dalam surat An-Nisa ayat 1
digunakan fungsinya yang pertama, maka maknanya Hawa diciptakan
dari jenis yang sama dengan Adam. Sebaliknya, bila digunakan fungsi
min yang kedua, maka maknanya Hawa diciptakan dari Adam.
Penggunaan min yang terakhir ini dapat dilihat contohnya dalam ayat
di bawah ini:



Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. al-Rum:
21)
Namun begitu yang terpenting bagi Amina, bukan bagaimana
Hawa diciptakan, tetapi kenyataan bahwa Hawa adalah pasangan
(zauj) dari Adam. Pasangan menurut Amina dibuat dari bentuk yang
saling melengkapi dari satu realitas tunggal dengan berbagai
perbedaan sifat, karakteristik, dan fungsi, tetapi kedua bagian yang
selaras ini pas sebagai sesuatu yang saling melengkapi sebagai suatu
kebutuhan keseluruhan. Setiap anggota pasangan mensyaratkan
adanya anggota pasangan lainnya dengan logis dan keduanya berdiri
tegak hanya atas dasar hubungan ini. Dengan pengertian seperti ini,
penciptaan Hawa, merupakan bagian rencana penciptaan Adam.
Dengan demikian keduanya sama pentingnya.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, menyoritas mufassir
menafsirkan bahwa nafs whidah adalah Adam bukan berdasarkan teks

Ibid. h. 24.
15)

89
ayat, tetapi berdasarkan keyakinan yang sudah diterima secara umum
pada waktu itu bahwa Adam adalah nenek moyang umat manusia (ab
al-basyar). Selanjutnya Ridha berkata, tanpa memandang pendapat
mana yang benar tentang manusia pertama, yang jelas teks ayat
menegaskan bahwa secara esensi bahwa semua manusia mepunyai asal
kemanusiaan yang sama. Oleh sebab itu semua bersaudara, tanpa
memandang warna kulit perbedaan bahasa atau keyakinan tentang asal
usul manusia itu sendiri. Menurutnya, ayat ini tidak bermaksud
menjelaskan asal kejadian manusia.17)
Memang benar kalau hanya menggunakan surat An-Nis ayat 1
saja, tidak dapat dipastikan bahwa nafs whidah itu adalah Adam dan
zaujah adalah Hawa. Karena secara konseptual kata nafs dan zauj
bersifat netral bisa laki-laki dan bisa juga perempuan. Sehingga secara
teoretis nafs whidah itu bisa Adam dan bisa juga Hawa. Untuk
menganalisis hal ini, maka harus mengingat metode penafsiran Al-
Qur'an bahwa penafsiran ayat tertentu tak bisa dipisahkan dari pesan
Al-Qur'an secara integral, karena ayat Al-Qur'an saling menafsirkan
satu sama lain. Oleh karena itu kami mencoba menunjukkan ayat-ayat
lain yang dapat memberikan jawaban siapakah nafs whidah itu.
Surat An-Nis ayat 1 menjelaskan bahwa umat manusia berasal
dari asal yang sama, yaitu nafs whidah. Kemudian dalam banyak ayat
dijelaskan, bahwa manusia pertama diciptakan dari tanah, di
antaranya:




Artinya: Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air
mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki
dan perempuan). dan tidak ada seorang perempuanpun
mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan
sepengetahuan-Nya. dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur
seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi
umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam kitab (Lauh

17)
As-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Quran al-Hakim, (Tafsir al-
Mar), cet. 3, (Beirut: Dr al-Fikr, 1973), IV: 327.

89
Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah
adalah mudah. (QS. Al-Fatir: 11)


Artinya: Maka Tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah
mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang
telah Kami ciptakan itu?" Sesungguhnya Kami telah
menciptakan mereka dari tanah liat. (QS. As-Shaffat: 11)

Artinya: Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam)
dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang
diberi bentuk. (QS. al-Hirj: 26)
Sementara itu dalam ayat lain Allah SWT. Menyatakan bahwa
Adam diciptakan dari tanah:


Artinya: Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah
seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari
tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah"
(seorang manusia), Maka jadilah Dia. (QS. Ali Imran: 59)
Dari penafsiran ayat dengan ayat, dapat disimpulkan bahwa
manusia pertama yang diciptakan oleh Allah dari tanah dan menjadi
asal muasal seluruh manusia itu adalah Adam. Hanya Adamlah satu-
satunya manusia yang disebut secara eksplisit oleh Al-Qur'an tercipta
dari tanah, karena dalam kesempatan lain seperti telah disebutkan di
atas, Al-Qur'an telah menjelaskan bagaimana pengembang-biakan
manusia melalui proses reproduksi. Tapi penisbahan itu bersifat idhafi,
artinya asal-usul seluruh umat manusia dari tanah (yaitu penciptaan
Adam), sedangkan untuk zaujah (Hawa) tidak pernah dijelaskan
secara eksplisit seperti itu. Hanya disyaratkan dengan kalimat wa
khalaqa minh zaujah.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa, sumber informasi
bahwa Adam manusia pertama adalah kitab suci Al-Qur'an sendiri,
bukan Taurat atau Genesis. Andaipun sumbernya adalah Taurat atau
Genesis, informasi Al-Qur'an tidak ditolak hanya karena adanya
kesamaan dengan Taurat atau injil. Semua informasi yang ada dalam

89
Taurat dan Injil dibenarkan oleh Al-Qur'an, karena salah satu fungsi
Al-Qur'an adalah sebagai batu ujian terhadap kebenaran kitab suci
sebelumnya.
Selanjutnya Abdurrauf juga mengakui, bahwa laki-laki dan
perempuan sama-sama mempunyai keahlian dalam memeluk agama,
beribadat, mendapat fahala jika berbuat baik dan mendapat siksa jika
berbuat jahat. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang berbunyi:







Artinya: Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,
Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu
ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan
dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-
lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS. Al-
Maidah: 48)



Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka
Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan. (QS. An-Nahl: 97)

89



(
24

Artinya: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya


(dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-
nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah
turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang
berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang
disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh,
pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan
pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang
mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi
Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." (QS. Ali
Imran: 195)
Dari kedua ayat di atas tampak jelas bahwa laki-laki dan
perempuan mempunyai kedudukan yang sama dihadapan Allah. Allah
tidak menyia-nyiakan perbuatan baik hamba-Nya baik laki-laki
maupun perempuan, demikian pula Allah tidakakan menunda siksaan
terhadap orang yang bermaksiat baik laki-laki maupun perempuan.
Dengan demikian tinggi rendahnya martabat atau kedudukan
seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelamin akan tetapi ketaatan dan
ketaqwaan kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam surat al-Hujurt ayat 13.
Perempuan dalam pandangan Abdurrauf juga mempunyai hak
yang sama dengan laki-laki. Perempuan berhak bertindak terhadap
harta miliknya, menjadi wali pengampu, hakim, dan bahkan kepala
negara.25) Untuk bisa berperan dan menduduki jabatan tertentu
perempuan hendaklah memiliki kemampuan dan keahlian,
sebagaimana hal ini juga berlaku bagi laki-laki. Dalam kaitan dengan
harta miliknya, perempuan yang sudah dianggap cakap berbuat
dapat dengan bebas bertindak terhadap hartanya. Ia tidak lagi terikat
dengan wali dan suaminya. Oleh karena itu, perempuan yang

24)
Bandingkan dengan Danial., Hak-hak Politik.
25)
Abdurrauf as-Singkili, Mirat al-Tullb fi Tashil al-Marifat al-Ahkm al-
Syariyyah li al-Malik al-Wahb, (Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala, 1971), h. 3-6.

89
dipandang cakap berbuat dapat memperjual-belikan harta milik
pribadinya, menghibah, mewakafkan, dan lain sebagainya tanpa harus
menunggu restu atau izin dari wali atau suaminya. Tindakan seperti ini
dapat dilakukan oleh perempuan, karena dipandang mampu atau
cakap untuk bertindak. Akan tetapi apabila dipandang tidak mampu,
seperti gila, masih di bawah umur, ediot, maka jangankan perempuan,
laki-lakipun tidak dibolehkan untuk melakukan perbuatan hukum.
Sejalan dengan hal ini Syeikh Abdurrauf menulis:
Jikalau gila ia tau pitam umpamanya, niscaya turunlah ia dari
jabatan qadi, maka tak kala itu tiadalah lulus hukumnya, maka
jika kembali sifatnya yang telah dahulu itu, maka tiada jua
kembali jabatannya itu melainkan dengan memalai mendirikan
ia.26)
Dari sini terlihat bahwa gila dan pitam bukan saja menjadi
penghambat untuk bertindak terhadap harta milik, akan tetapi juga
dapat dijadikan sebagai alasan untuk menurunkan qadi dan kepala
negara dari jabatannya. Qadi atau kepala negara yang diturunkan
karena gila tidak dengan sendirinya memangku kembali jabatannya,
kecuali telah diangkat dan dikukuhkan kembali oleh pihak yang
berwenang.
Oleh karena perempuan dipandang cakap bertindak dalam
masalah harta, maka ia dapat menjadi saksi apabila terjadi
persengketaan dalam masalah tersebut. Abdurrauf membolehkan
perempuan menjadi saksi dalam masalah harta dan hutang piutang. 27)
Ia mendasarkan pendapatnya pada firman Allah berikut ini:







Abdurrauf, Mirat al-Tullb., h. 489.


26)

27)
-------------, Tarjumn., h. 49.

89








Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah
akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak
mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada
dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis
hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan
lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu),
kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu,
(jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila
kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah
Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 282)
Ayat ini menjelaskan tentang kebolehan perempuan menjadi
saksi dalam masalah harta dan hutang piutang. Ketentuan ini

89
menunjukkan bahwa perempuan dipandang cakap untuk bertindak
sebagai saksi dalam masalah tersebut. Adanya perbandingan satu
orang saksi laki-laki dengan dua orang saksi perempuan sepintas lalu
menunjukkan rendahnya kualitas kesaksian perempuan. Lebih lanjut
Allah menegaskan bahwa dua orang saksi perempuan itu bertujuan
untuk saling mengingatkan apabila salah satu diantara mereka lupa.
Dari penjelasan di atas muncul tiga pertanyaan: Pertama,
bagaimana otentitas dan validitas hadis tentang tulang rusuk? Kedua,
kenapa apabila tidak ada dua orang saksi laki-laki harus diganti
dengan satu orang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan,
kenapa tidak satu laki-laki dan satu perempuan saja, apakah ketentuan
itu tidak merendahkan perempuan? Ketiga, apakah ketentuan itu
berlaku khusus untuk kesaksian dalam transaksi saja atau berlaku
untuk semua persoalan yang memerlukan persaksian?
Jawaban dari pertanyaan pertama adalah: dari segi sanad hadis
tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk bernilai sahih. 29) tetapi dari
segi matan kontroversi pemahaman tidak bisa dihindari. Namun
demikian, menurut hemat kami hadis di atas harus dipahami secara
simbolis, artinya tulang rusuk atau tulang rusuk yang bengkok yang
disebutkan dalam hadis di atas merupakan simbol yang
mengisyaratkan bagaimana seharusnya suami memperlakukan
isterinya, terutama metode memperbaiki kesalahan-kesalahan yang
mungkin dilakukan oleh isteri. Rasulullah SAW. memeasankan, suami
harus mewasiatkan kepada dirinya sendiri untuk selalu berbuat baik
kepada isterinya. Apabila ingin meluruskan kesalahan-kesalahan isteri,
lakukanlah dengan bijaksana, jangan kasar dan keras, karena hal itu
dapat mengakibatkan perceraian. Rasulullah SAW. memanfaatkan
penciptaan perempuan dari tulang rusuk yang bengkok untuk
menjelaskan bahwa betapa suami harus bijaksana dalam bermusyarah
dengan isterinya. Karena meluruskan perempuan sama dengan

29)
Sebuah matan hadis dapat didaifkan apabila bertentangan dengan Al-quran,hadis
yang lebih tinggi kualitasnya, akal sehat indera, dan sejarah serta apabila susunan
pernyataannya tidak menunjukkan ciir-ciri sabda kenabian. Lihat Salahuddin al-Adabi,
Manhj Naqd al-Matn Inda al-Ulam al-Hadis, (Beiru: Dr al-Afaq al-Jadidah, 1983) h.
238.

89
meluruskan tulang yang bengkok, kalau tidak hati-hati maka ia akan
patah. Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan patah adalah percerai.30) Dengan demikian, matan hadis ini
tidak terbukti bertentangan dengan Al-Qur'an.
Untuk menjawab pertanyaan kedua, Said Hawwa berasalan; (1)
karena perempuan tidak banyak berpengalaman dalam bidang
transaksi, sehinggamudah lupa persoalan-persoalan yang detail, dan
(2) karena sifat perempuan yang cenderung emosional. Satu sifat yang
memandang diperlukan bagi seorang ibu untuk merespon tuntutan
bayinya sehingga tidak perlu berfikir terlalu mendalam. 31) di samping
itu, al-Alsi menambahkan, karena perempuan mempunyai sifat
pelupa.32) Menurut Asghar prandingan satu laki-laki dan dua
perempuan itu tidak menunjukkan inferioritas perempuan. Hal itu a-
mata karena pada saat itu perempuan tidak mempunyai pengalaman
yang memadai dalam masalah keuangan dan karena itu dua saksi
perempuan dianjurkan oleh Al-Qur'an. Sehingga kalau terjadi kelupaan
karena kurangnya pengalaman dalam masalah tersebut, maka salah
seorang dapat mengingatkan yang lain. Karena laki-laki
pengalamannya cukup, maka pengingat semacam itu tidak diperlukan
lagi bagi mereka. Meskipun dua saksi perempuan dianjurkan sebagai
pengganti satu orang saksi laki-laki, hanya salah seorang diantara
keduanya yang memberikan kesaksian, yang lain berfungsi tidak lebih
dari pengingat jika ia bimbang.33)
Amina Wadud Muhsin mempunyai pandangan yang senada
dengan Asghar, hanya saja ia menambahkan, dipanggilnya dua saksi
yang kamu ridai menunjukkan adanya upaya mencegah terjadinya
kecurangan, jika seseorang melakukan kesalahan atau dibujuk untuk
memberi keterangan palsu ada saksi lain yang mendukung perjanjian
itu. Namun mengungat dalam masyarakat umumnya perempuan

30)
Ibn Hajr al-Asqalani, Fath al-Bri Syarh Sahih Imm Abi Abdillah Muhammad
bin Ismail al-Bukhari, (Beirut: Dr al-Fikr, tt.), IV : 368.
31)
Said Hawwa, al-Ass fi al Tafsir, (Cairo: Dr al-Salm, 1993), II : h.662.
32)
Al-Alsi, Rh al-Mani., h. 58.
33)
Ashgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, alih bahasa oleh Farid
Wadjidi dan Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994), h. 61.

89
mudah dipaksa, maka jika saksi yang dihadirkan hanya seorang
perempuan, ia akan menjadi sasaran empuk bagi laku-laki tertentu
yang ingin memaksanya agar memberikan kesaksian palsu. Oleh
karena itu, jika ada dua orang perempuan maka mereka bisa saling
mendukung satu sama lain.34) Apakah ketentuan ini khusus berlaku
pada masalah transaksi bisnis saja atau pada semua masalah yang
membuthkan persaksian? Mayoritas fukaha mensyaratkan kesaksian
dalam masalah hudud, pernikahan, dan perceraian haruslah laki-laki.
Alasannya karena Arsulullah SAW tidak membolehkan kesaksian
perempuan dalam ketiga kasus di atas. Berbeda dengan mayoritas
fukaha Ahnaf mebolehkan formulasi 1:2 untuk kesaksian dalam aqad
nikah. Mereka menggunakan qiyas, karena antara transaksi bisnis
dengan pernikahan sama-sama ada sesuatu yang ditawarkan. 35)
Menurut penulis, ketentuan kesaksian 1:2 (satu orang saksi laki-
laki sama dengan dua orang saksi perempuan) yang dijelaskan oleh
ayat 282 surat Al-Baqarah yang dijadikan dasar oleh Abdurrauf
ditetapkan berdasarkan konteks perempuan-perempuan Arab waktu
itu, bukan karena inferioritas yang melekat pada diri perempuan
seperti sifat pelupa dan emosional, karena kedua sifat ini merupakan
sesuatu yang alamiah dan juga dimiliki oleh laki-laki. Karena ketentuan
tersebut berdasarkan suatu konteks, maka apabila memang perempuan
yang akan menjadi saksi itu matang dan berpengalaman dalam kasus
seperti Khadijah, maka dapat dipakai formula 1:1, karena ini lebih
sesuai dengan prinsip kesetaran yang menjadi salah satu tujuan
diturunkan Al-Qur'an dan disyaratkannya hukum. Dengan demikian,
maka dalam semua persoalan perempuan bisa menjadi saksi
sebagaimana laki-laki, asal mempunyai keahlian dan kemampuan.
Selain keahlianmenj saksi, Abdurrauf juga berpendapat bahwa
perempuan (baca; isteri) dapat mengajukan gugat cerai kepengadilan
apabila ia tidak diberikan nafkah oleh suaminya, baik nafkah lahir

34)
Amina, Perempuan., h. 115-116.
35)
Sayyid as-Sbiq, Fiqh al-Sunnah, cet. 2 (Beirut: Dr al-Kitb al-Arabi, 1977),
II : 59-59.

89
maupun batin. Salh satu alasan yang membolehkan isteri berbuat
demikian adalah miskin.36)
Meskipun Abdurrauf telah menggulirkan ide persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan, namun ia tetap mengakui bahwa
dalam hal-hal tertentu laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan, 37)
seperti dalam bidang keluarga. Beliau menyadarkan pandangannya ini
pada firman Allah SWT. yang berbunyi:





(
38

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu
Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (QS. al-
Nisa: 34)
Berbicara mengenai pemikiran Abdurrauf tentang hak-hak politik
perempuan tidak bisa lepas dari sikap dan pandangannya terhadap
perempuan. Menurut Abdurrauf perempuan berhak menjadi kepala
negara. Selanjutnya ia mengakui pengangkatan perempuan sebagai
kepala negara dengan alasan kondisi dan situasi Aceh pada saat itu
memungkinkan perempuan untuk diangkat menjadi penguasa
tertinggi.

Abdurrauf, Mirat al-Tllb., h. 391.


36)
37)
-------------, Tarjumn., h. 85.
38)
Mengenai analisa terhadap ayat ini akan dibahas pada sub bab Pandangan
Abdurrauf dalam Konteks Agama

89
Keputusan ini diambil berdasarkan pada pertimbangan bahwa
perempuan di masa hidupnya, terutama dari kalangan istana
dipandang memiliki skill dan keahlian untuk mengatur tugas-tugas
kenegaraan. Perempuan dari kalangan istana di samping memperoleh
pengetahuan agama dari para ulama, juga memperoleh pengetahuan
militer dan ketatanegaraan dari para panglima sagi dan pembesar
kerajaan. Ini terbukti dengan lamanya Sultanah Safiatuddin Syah
berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam (lebih kurang 34 tahun). Fakta
ini menunjukkan bahwa perempuan Aceh menguasai urusan politik
dan pemerintahan.39) Apakah ia tidak mengetahui hadis Rasul yang
mengatakan:

29

Menurut Abdurrauf hadist ini harus dipahami secara kontekstual.


Karena kondisi perempuan dahulu jauh berbeda dengan perempuan
pada saat ia hidup, terutama dalam bidang pendidikan dan intelektual.
Bagi Abdurrauf yang terpenting setiap umat memiliki pemimpin dan
berbakti kepadanya.41) Apakah yang menjadi pemimpin itu laki-laki
atau perempuan tidak dipermasalahkan. Mengingat dalam kondisi
tertentu perempuan dapat diangkat menjadi pemimpin. Ibnu Hajar
lebih lanjut menjelaskan dalam keadaan darurat cukuplah syarat
bahwa pemimpin itu adalah seorang Muslim. 42)
Abdurrauf juga menyadari bahwa tugas yang dipikul oleh
kepada negara cukup berat. Salah satu di antaranya adalah
mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan keselamatan warga
masyarakat yang berada di bawah kekuasaannya. 43) Mengingat besar

39)
Muhammad Said, Atjech Sepanjang Abad, (Medan: Pengarang Sendiri, 1981)
h. 379.
29
Al-Karmani, Sahih Bukhari bi Syarih al-Karmani, (Mesir: An-Nihyt Al-
Misriah, 1957), XV. 231-232.
41)
Abdurrauf, Mirat al-Tullb., h. 4.
42)
Ibn Hajar Al-Haitami, Tuhfat al-Muhtj, (Cairo; Mustafa al-Bbi al-Halabi,tt)
IX : 78.
43)
Mengenai tugas kepala negara lihat Munawir Zadjali, Islam dan Tata Negara,
Ajaran, Sejarah, dan Pemikirannya, edisi ke 5 (Jakarta; UI Press, 1993) h. 41-2003; Yusuf
Musa, Nidam al-Hukm fi Islam, alih bahasa oleh M. Thalib, cet. 2 (Surabaya: al-Ikhlas,
tt.), h. 185, dll.

89
dan beratnya tugas kepala negara, hendaklah diangkat orang-orang
yang mampu dan layak untuk merealisasikan tugas tersebut.
Abdurrauf menganggap perempuan di masanya mampu dan layak
untuk mengemban tugas tersebut. Oleh karena itu, sebagian dari tugas
itu perlu didelegasikan kepada lembaga-lembaga negara yang lain,
yakni lembaga yudikatif (baca; Hakim dan Pengadilan), legislatif
(Majelis Mahkamah Rakyat), dan pertahanan keamanan. 44) Tugas
kehakiman merupakan bagian dari tugas kepala negara, maka kepala
negara hendaklah mengangkat hakim-hakim sebagai pembantunya
dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan yang dipercayakan rakyat
kepadanya. Sebagaimana dengan ulama lainnya, Abdurrauf
menginginkan hakim yang diangkat oleh penguasa adalah mereka
yang berkualitas, baik kualitas intelektual, spritual, moral, maupun
profesional. Sehingga ia mampu menyelesaikan berbagai kasus
gugatan dan persengketaan yang diajukan kepadanya. 45) Untuk itu
dalam kitabnya Mirat al-Tullb, Abdurrauf menetapkan syarat-syarat
bagi seorang calon hakim. Mengenai hal ini ia menulis:
Adapun segala syarat qadi itu, maka yaitu seperti kata Syeikh
Zakaria r.a dalam kitab Fath al-Wahb hendak ada ia Islam lagi aqil
baligh, dan merdeka lagi adil dan mendengar lagi melihat dan tahu
berkata-kata lagi memadai pada pekerjaan hukum dan mujtahid, yakni
orang yang tahu akan segala hukum Quran dan Hadis dan Qiyas
dengan segala bagiannya dan yang tahu akan segala hal orang yang
meriwayatkan hadis pada kuatnya dan dhaifnya dan yang tahu akan
lughah pada nahwunya dan sarafnya dan balaghahnya, maka jika tidak
diperoleh akan orang yang mengumpulkan segala syarat yang tersebut
itu maka dijadikan oleh raja-raja yang keras akan qadi seorang Islam,
yang tiada ia menghimpunkan segala syarat yang tersebut itu, niscaya
sah dan lulus hukumnya karena darurah. Kata Imam Abu Hasan al-
Bakri r.a.: Dan jika tiada dia tahu akan suatu dari pada segala hukum
yang tersebut itu sekalipun, niscaya sah jua hukumnya, tetapi tiada sah

44)
A. Hasjimi, 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu, cet. 2
(Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 123.
45)
Abdurrauf, Mirat al-Tullb., h. 6-7.

89
hukumnya melainkan apabila berbetulan hukumnya itu dengan
hukum yang sebenarnya, dan kata Imam Zakaria r.a.: Ketahuilah pada
kita bahwa akan qadi disyaratkan pada mendirikan qadi orang yang
tiada patut menjabat jabatan qadi itu, mengetahui ia akan suatu pihak
dari pada segala hukum syara yang muktamad... 46)
Dari syarat-syarat hakim ditentukan oleh Abdurrauf, ternyata ia
tidak menyebutkan laki-laki sebagai salah satu syarat hakim. Ini berarti
ia membolehkan perempuan untuk diangkat menjadi hakim. Ia tidak
mempersoalkan jenis kelamin sebagai salah satu syarat. Oleh karena
itu, maka hak politik perempuan yang kedua menurut Abdurrauf
adalah hak menjadi hakim.
Selanjutnya, dari kutipan di atas terlihat bahwa Abdurrauf
menyebutkan syarat hakim yang ia tulis dalam kitabnya itu adalah
kutipan dari syarat-syarat hakim yang ditulis oleh Syeikh Zakaria al-
Ansari dalam kitabnya Fath al-Wahb. Ternyata Zakaria al-Ansari
menyebutkan syarat-syarat menjadi hakim sebagai berikut:

47)

Melihat syarat-syarat hakim yang dikemukakan Syeikh Zakaria di


atas, terbukti Abdurrauf tidak mengutip dan menerjemahkan kata
zakar (laki-laki) kedalam kitabnya. Padahal kata tersebut termaktub
dalam kitab Fath al-Wahb. Tindakan dan pendapat Abdurrauf yang
membolehkan perempuan menjadi hakim berbeda dengan pendapat
ulama Syafiiyyah bahkan Imam Syarii sendiri yang tidak
membolehkan perempuan menjadi hakim, dengan alasan perempuan
memiliki kekurangan pikiran dan kelemahan dalam pemahaman
keagamaan. Meskipun demikian Abdurrauf tidak menyebutkan

46)
Ibid., h. 10-11.
47)
Syeikh al-Islam Abi Yahya Zakaria al-Ansari, Fath al-Wahb bi Syarh Minhj
al-Tullab, Juz I, (ttp.: Menara Qudus, tt.), h. 207.

89
dengan tegas alasan-alasan apa yang dipergunakannya untuk
mendukung tindakan dan pandangannya itu.
Lebih jauh Abdurrauf mengatakan dalam lanjutan kutipan di
atas, bahwa dalam kondisi darurat jangankan perempuan, orang
fasiqpun dapat diangkat menjadi hakim.48) Pernyataan ini didasarkan
pada persepsi bahwa adanya hakim jauh lebih baik daripada tidak ada
sama sekali. Karena membiarkan persengketaan tanpa ada
penyelesaian jauh lebih berbahaya dari pada persengketaan itu
ditangani dan diselesaikan oleh hakim yang fasiq.
Namun demikian, dalam kitabnya Abdurrauf tidak menyebutkan
secara rinci sejauh mana kewenangan mengadili yang diberikan
kepada hakim perempuan. Apakah hanya terbatas dalam kasus
perdata seperti pendapat Abu Hanifah, atau sama dengan kewenangan
yang diberikan kepada laki-laki sebagaimana pendapat Imam Abu Jarir
al-Tabari.
Di samping perempuan berhak menjadi hakim dan kepala negara,
menurut Abdurrauf perempuan juga berhak menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat. Orang yang mempelapori pembentukan Dewan
Perwakilan Rakyat (baca: Majelis Makamah Rakyat) di Aceh adalah
perempuan, yaitu putri Pahang permaisuri Sultan Iskandar Muda.
Sejak berdirinya, sebelum Abdurrauf menjadi qadi kerajaan Aceh
Darussalam, anggota-anggota Majelis Makamah Rakyat sudah terdiri
dari laki-laki dan perempuan, sekalipun jumlah perempuan masih
sangat sedikit.
Setelah ratu Tajul lam Syafiatuddin Syah berkuasa dengan
Abdurrauf sebagai mufti kerajaan sekaligus penasehat sultan, maka
usaha penyempurnaan lembaga Majelis Makamah Rakyat terus
dilakukan, antara lain yang terpenting adalah penambahan jumlah
anggota perempuan. Fenomena ini menunjukkan bahwa Abdurrauf
juga membolehkan perempuan menjadi anggota Dewan. Adapun
jumlah anggota Majelis Makamah Rakyat setelah disempurnakan oleh
Ratu Syafiatuddin Syah, yaitu:
1. Sahil.
Abdurrauf, Mirat al-Tullb., h. 10-11.
48)

89
2. Bujang Jumat.
3. Ahmat Bansu.
4. Abdul Yatim.
5. Abdul Rasyid.
6. Kimir Said
7. Iskandar Arsyad.
8. Ahmad Dewan.
9. Mayor Thalib.
10. Sinyak Bunga.49)
11. Amirullah.
12. Sinyak Halifah.
13. Al-Mudal.
14. Abdul Ghani.
15. Abdul Majid.
16. Sisah Gana.
17. Hidayah.
18. Sinyak Bunga.
19. Sinyak Meutia.
20. Siti Caya.
21. Sinyak Makiyah.
22. Sinyak Bulqiyah.
23. Muhammad Saman.
24. Ahmad Jamil.
25. Bin Muhammad.
26. Sinyak Ukah.
27. Khawaja Aksir.
28. Sinyak Manyak.
29. Abdul Wahid.
30. Malek Saleh Samir.
31. Khatib Muadham.
32. Imam Muadham.
33. Abdurrahman.
34. Badai.
35. Bujang Arfah.
36. Nadi Nasah.
37. Mayor Muhammad.
38. Zalmad Masah.
Semua nama yang dicetak miring dan dibold adalah perempuan. Dikutib
49)

dari A. Hasjimy, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977), h.124; Muhamad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Pengarang
Sendiri, 1978), h. 421.

89
39.Penghulu MUalim.
40.Seri Dewa.
41.Sisahab.
42.Simanyak.
43.Sisaid.
44.Sinyak Rihay.
45.Ahmad Ratib.
46.Simadijan.
47.Sinyak Habibah.
48.Mustafa Kalim.
49.Sinyak Cadin.
50.Sirajuan.
51.Siamankhan.
52.Zamzami Rajamegat.
53.Abu Kasiah.
54.Khawaja Rahsia.
55.Badal Maktuk.
56.Uli Puan.
57.Siti Awan.
58.Abdul Majid.
59.Sinyak Mangkah.
60.Siaman.
61.Sinyak Tampli.
62.Abdul Mukim.
63.Simawar.
64.Sinyak Maneh.
65.Abdul Majid.
66.Ibrahim.
67.Abdullah.
68.Umar.
69.Du Harun.
70.Abdul Harim.
71.Du Harun.
72.Abdurrahim.
73.Muhyiddin.
74.Abdulmutallib.
Dari tujuh puluh empat anggota Majelis Makamah Rakyat, dua
puluh tiga orang terdiri dari perempuan atau sekitar 32,4 %; suatu
perbandingan yang cukup besar bila dibandingkan dengan anggota

89
Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia di zaman sekarang ini. Bahkan,
anggota legislatif di dunia sekalipun.
Dari uraian di atas terlihat, bahwa Abdurrauf mempunyai
pendapat yang berbeda dengan Syafiiyah dalam memandang
perempuan dan keterlibatan mereka dalam dunia politik.

B. Pemikiran Hukum Islam Syeikh Nuruddin Ar-Raniry


1. Biografi Singkat Nuruddin al-Raniry
Nuruddin Ar-Raniry memiliki nama asli Nur al-Din Muhammad
Ibn Ali Ibn Hasanji al-Hamid al-Syafii al-Aydarusi al-Raniri. Dia
dilahirkan di Ranir sebuah kota di Gujarat. Meskipun ia dilahirkan di
Gujarat, secara umum ia lebih dikenal sebagai pemikir Islam Melayu
daripada India atau Arab. Tahun kelahirannya tidak diketahui,
diperkirakan ia lahir dipenghujung abad XVI M. ibunya seorang
Melayu, sedangkan ayahnya berasal dari Hadharamain. Leluhurnya
termasuk dalam keluarga al-Hamid dan Zuhra, salah satu dari keluarga
besar Quraisy.30
Al-Raniri mendapatkan pendidikan awal di Ranir, lalu
melanjutkannya ke Hadhara al-Maut.Salah satu guru al-Raniri yang
terkenal di India adalah Abu Hafs Umar Ibn Abdullah Syaiban al-
Tarimi al-Hadhrimi (1656 M). Abu Syaiban inilah yang menginisiasi al-
Raniri mempelajari tariqat Rifaiyyah. Di samping tariqat rifaiyyah, al-
Raniri juga mewarisi aliran tariqat aydarusiyyah dari gurunya Sayyid
Abdullah ibn al-Aydarus.
Pada tahun 1621 M, ia mengunjungi Makkah dan Madinah untuk
menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi. Di tanah haram
inilah Al-Raniri menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan
orang-orang yang selama ini sudah menetap dan belajar di Arab. Baik
yang sadah menetap maupun tidak, mereka kebetulan berasal dari
wilayah Nusantara. Dalam kapasitas seperti ini, Al-Raniri sudah dapat
dikategorikan telah menjalin hubungan dengan orang-orang Melayu,
khususnya dalam hal komunikasi intelektual Islam.Jalinan hubungan

30
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII-XVIII, Cet. 4, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 202-104.

89
inilah yang menjadi awal mula bagi perjalanan intelektual Islam Al-
Raniri di kemudian hari.
Dalam perkembangannya, Al-Raniri juga merupakan seorang
syeikh tarekat Rifa'iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M).
Ia belajar ilmu tarekat ini melalui ulama keturunan Arab Hadramaut,
Syeikh Said Abu Hafs Umar b. 'Abd Allah Ba Syaiban dari Tarim, atau
yang dikenal di Gujarat dengan sebutan Sayid Umar Al Aydarus.
Sementara Ba Syaiban sendiri belajar tarekat dari ulama-ulama
Haramain selama empat tahun, seperti Sayyid Umar b.'Abd Allah Al-
Rahim Al-Bashri (w. 1638), Ahmad Ibrahim b. Alan (w. 1624 M), dan
'Rahman Al-Khatib Al-Syaib 1605 M). Dari Ba Syaiban pulalah Al-
Raniri dibaiat sebagai khalifah (penggantinya) untuk menyebar-
luaskan tarekat Rifaiyyah di tanah Melayu (Aboebakar Atjeh: 1979).
Kendati demikian, Al-Raniri juga memiliki silsilah inisiasi dengan
tarekat Aydarusiyyah dan Qodiriyyah Maqassari.
Setelah beberapa tahun melakukan perjalanan intelektual di
Timur-Tengah dan wilayah anak benua India, Al-Raniri mulailah ia
merantau ke wilayah Nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat
tinggalnya. la datang di Aceh pada tanggal 31 Mei 1637 M (6
Muharram 1047 H). Namun hingga kini belum diketahui secara pasti
faktor-faktor apa saja yang membuat ia memilih Aceh sebagai tempat
domisili. Menurut para ahli, pilihan ini diduga karena ketika itu Aceh
berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, politik dan
agama Islam di kawasan Asia Tenggara, yang menggantikan posisi
Malaka setelah dikuasai oleh Portugis. Adapun kemungkinan lainnya,
Al-Raniri mengikuti pamannya, Syeikh Muhammad Jailani ibn Hasan
ibn Muhammad Hamid (1588 M).
Tidak hanya itu, tahun 1637 diragukan sebagai awal mula
kedatangan Al-Raniri di Aceh. Ada dua keraguan yang menyebabkan
hal itu.Pertama, jika dilihat dari kemahirannya dalam berbahasa
Malayu, sebagaimana ditunjukkan dalam kitab-kitabnya, maka sangat
mustahil Al-Raniri baru ke Aceh pada tahun tersebut.Sirat al-Mustaqim,
misalnya, yang berbahasa Melayu disusun pada tahun 1634 M, ketika
itu ia belum menetap di Aceh. Sementara keraguan kedua, jumlah

89
karyanya yang mencapai 29 (dua puluh sembilan) buku tidak mungkin
dapat diselesaikan hanya dalam waktu tujuh tahun selama di Aceh
(1637-1644 M).
Dua keraguan inilah yang memperkuat asumsi bahwa
sebelumnya Al-Raniri pernah datang ke Aceh, tetapi waktu itu tidak
memperoleh sambutan dan penerimaaan yang layak dari pihak istana
Sultan Iskandar Muda. Dari sini, ia melanjutkan perjalanannya ke
daerah lain di kawasan ini. Sebagaimana tercatat dalam sejarah
Kesultanan Aceh ketika Iskandar Muda berkuasa, ulama yang
berpengaruh dan berperan sebagai mufti kerajaan adalah Syeikh Syams
Al-Din Al-Sumaterani.Pada masa ini paham wujudiyyah menjadi
ajaran resmi kerajaan.Sementara Al-Raniri menyerukan ajaran Sunni
dan pada saat yang bersamaan menentang paham wujudiyyah. Hal ini
jelas kurang mendapat simpati dari Sultan.
Setelah Syeikh Al-Sumaterani meninggal, kemudian disusul pula
oleh Sultan Iskandar Muda, Al-Raniri memiliki kesempatan yang lebih
baik untuk menyebarluaskan ilmu-ilmu agamanya. Ketika itu, sultan
yang berkuasa, Sultan Iskandar Tsani, menantu Iskandar Muda,
memberikan penghormatan tinggi kepada Al-Raniri dengan
menjadikannya mufti kerajaan. Seperti Al-Raniri, Sultan Iskandar Tsani
juga menentang paham wujudiyyah. Dengan kedudukan dan
dukungan seperti ini, Al-Raniri dengan leluasa dapat memberikan
sanggahan terhadap paham yang dikembangkan oleh dua ulama Aceh
sebelumnya, yaitu Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumaterani.
Tidak hanya itu, Al-Raniri juga sering menerima permintaan dari
sultan untuk menulis berbagai kitab sebagai pedoman sekaligus upaya
untuk meminimalisir pengaruh paham wujudiyyah, khususnya melalui
karya al-Raniri tentang tasawuf.
Kedekatan Al-Raniri dengan Sultan ini membawa implikasi yang
cukup luas.Misalnya, dalam satu kesempatan dan didukung oleh
Sultan, Al-Raniri mengadakan konferensi tentang paham wujudiyyah
dengan 40 (empat puluh) ulama pendukung paham wujudiyyah.Dari
konferensi ini, lalu lahir fatwa Syeikh Al-Raniri dan para ulama istana
yang menvonis kafir terhadap para pengikut paham wujudiyyah,

89
sehingga darah mereka halal, karena itu boleh dibunuh.Tidak hanya
itu, Al-Raniri dengan penuh semangat menulis dan mengajak
berdiskusi dengan para penganut paham panteisme ini dalam berbagai
kesempatan.Bahkan, diskusi dengan para pengikut paham wujudiyyah
ini sering dilakukan dihadapan sultan.
Dalam berdiskusi/berdebat, dengan segala kemahirannya, ia
berupaya keras membongkar kelemahan dan kesesatan paham
wujudiyyah yang dianggapnya bertentangan dengan Al-Quran dan
Hadis, seraya meminta para pengikutnya untuk bertaubat dan kembali
pada jalan yang benar (Al-Quran dan Hadis). Namun, kegigihan Al-
Raniri ini tidak banyak memenuhi target yang diharapkan. Sebab para
pengikut paham wujudiyyah tetap bersikukuh pada pendiriannya.
Dengan demikian, akhirnya dengan penuh keterpaksaan, mereka harus
dihukum mati. Selain itu, untuk membumihanguskan paham
wujudiyyah, maka kitab-kitab Harnzah dan Syams Al-Din sebagai soko
guru penggagas paham dimaksud dibakar di depan masjid Raya
Baiturrahman Banda Aceh. Ini merupakan peristiwa memilukan dalam
catatan sejarah intelektual Aceh. Karena berbagai karya Hamzah dan
Sumaterani musnah, maka menghilangkan khazanah Islam yang begitu
besar berikut jejak intelektual yang dapat menjadi bahan kajian ilmuan
sesudahnya.
Setelah tujuh tahun sebagai mufti kerajaan, pada tahun 1644 M
Al-Raniri tiba-tiba kembali ke tanah kelahirannya, dan tidak kembali
lagi ke Aceh. Ketika itu, Al-Raniri sedang menulis kitab Jawahirbab
kelima. Selanjutnya, ia perintahkan salah seorang murid dekatnya
untuk menyelesaikan kitab tersebut. Kepulangan Al-Raniri yang
mendadak ini menimbulkan beberapa pertanyaan di kernudian hari.
Pertama, sebagaimana diungkapkan oleh A. Daudi dalam bukunya, Al-
Raniri kembali ke tanah leluhurnya karena ada ketidaksesuaian
pandangan dengan kebijakan Sultanah Safiyyat al-Din yang berencana
menghukum bunuh pada orang-orang yang menentang diperintah oleh
seorang pemimpin perempuan. Sebagaimana berkembang dalarn
tradisi masyarakat saat itu dan juga seiring dengan syari'at Islam yang
dipahami masyarakat setempat, perempuan tidak layak jadi penguasa.

89
Daudi memperkirakan bahwa Al-Raniri termasuk bagian dari tokoh
agama atau kelompok yang menentang perempuan menjadi kepala
negara.31Kedua, berdasarkan artikel Takeshi Ito pada tanggal 8 dan 22
Agustus 1643 M dilaporkan, bahwa kepulangan Al-Raniri disebabkan
oleh perdebatan antara dirinya dengan ulama baru keturunan
Minangkabau, Sayf Al-Rijal. Perdebatan ini terus berlarut-larut karena
Al-Raniri selalu menilai pandangan Sayf Al-Rijal sebagai doktrin
"sesat" karena termasuk paham wujudiyyah.Pada mulanya, Sultanah
mengikuti pikiran-pikiran Al-Raniri, tetapi saat itu pendapat Rijal
menemukan momentum terbaiknya di mata sultanah.
Nampaknya, alasan yang terakhir di atas lebih mendekati
kebenaran.Mengingat, jika Al-Raniri tergabung dalam kelompok
oposan yang menentang Sultanah, bagaimana mungkin Sultanah
memberikan banyak kemudahan dan fasilitas dalam menyelesaikan
karya-karyanya, termasuk beberapa waktu sebelum keberangkatannya.
Meski demikian, terlepas apa yang melatarbelakangi kepulangan Al-
Raniri, ia tergolong salah satu ulama besar yang telah memberikan
sumbangsih besar bagi dunia Islam Nusantara, terutama dalam bidang
tasawuf dan fiqh. Bahkan,secara metodologis pikiran-pikiran Al-Raniri
memiliki keterkaitan dengan kehidupan tradisional Islam Indonesia.
Banyak perkara menarik mengenai ulama ini, di antaranya kitab
fikih yang ditulisnya sebagai kitab fikih pertama dalam bahasa
Melayu.Kitab tersebut berjudul al-Sirath al-Mustaqim. Demikian juga
mengenai kitab hadis yang berjudul al-Fawaid al-Bahiyah fi al-Ahadits an-
Nabawiyah atau judul lainnya Hidayat al-Habib fi at-Targhib wa at-Tarhib.
Kedua kitab ini ditulis di semenanjung tanah Melayu dan dibawa ke
Aceh pada era Sultan Iskandar Tsani.32
Hampir semua penulis menyebut bahawa Syeikh Nuruddin ar-
Raniri dilahirkan di Ranir, berdekatan dengan Gujarat.Asal usul beliau
ialah bangsa Arab keturunan Quraisy yang berpindah ke India. Tetapi
salah seorang muridnya bernama Muhammad 'Ali atau Manshur yang

31
Lebih jauh tentang bantahan Al-Raniri terhadap wujudiyyah lihat Daudi.,
Syeikh Nuruddin, h. 27-39.
32
Ibid.,h. 19.

89
digelarkan dengan Megat Sati ibn Amir Sulaiman ibn Sa'id Ja'far
Shadiq ibn 'Abdullah dalam karyanya Syarab al-'Arifin li Ahli al-
Washilin menyebut bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah Raniri
negerinya, Syafi'ie nama mazhabnya, Bakri bangsanya.
Pendidikan asasnya dipercayai diperolehnya di tempat
kelahirannya Raniri atau Rander. Raniri/Rander, sebahagian riwayat
mengatakan berdekatan dengan Kota Surat, dan riwayat lain
mengatakan dekat Bikanir, kedua-duanya di negeri India. Syeikh
Nuruddin Al-Raniri berhasil berangkat ke Mekah dan Madinah dalam
tahun 1030 H/1621 M dan di sana beliau sempat belajar kepada Syeikh
Abu Hafash 'Umar bin 'Abdullah Ba Syaiban atau nama lain ulama ini
ialah Saiyid 'Umar al-'Aidrus. Kepada ulama ini beliau mengambil
bai'ah Tariqat Rifa'iyah. Dalam sektor Tariqat Rifa'iyah itu syeikh yang
tersebut adalah murid kepada Syeikh Muhammad al-Ayidrus. Selain
Tariqat Rifa'iyah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri juga pengamal Tariqat
Qadiriyah. Kedatangan Syeikh Nuruddin Al-Raniri buat pertama kali
ke Aceh diriwayatkan dalam tahun 1577 M, tetapi ada juga ahli sejarah
mencatat bahwa Al-Raniri sampai di Aceh pada tahun 1637 M. Ini
bererti setahun setelah mangkatnya Sultan Iskandar Muda
(memerintah dari tahun 1606 M hingga 1636 M).
Syeikh Nuruddin Al-Raniri seakan-akan kedatangan pembawa
satu pendapat baru, yang asing dalam masyarakat Aceh. Setiap sesuatu
yang baru selalu menjadi perhatian dan pengamatan orang, sama ada
pihak kawan atau pun pihak lawan. Fahaman baru yang dibawa masuk
oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu ialah fahaman anti atau penolakan
tasawuf ajaran model Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh
Syamsuddin as-Sumatra-i. Kedua-dua ajaran ulama sufi itu adalah
sesat menurut pandangan beliau. Saat itu, iamendapat tempat pada
hati Sultan Iskandar Tsani, walaupun pada zaman pemerintahan Sultan
Iskandar Muda beliau tidak begitu dikenal oleh masyarakat pada
umumnya.
Oleh sebab ketegasan dan keberaniannya ditambah lagi, Syeikh
Nuruddin Al-Raniri menguasai berbagai bidang ilmu agama Islam,
sehingga membuat iasangat cepat menonjol pada zaman pemerintahan

89
Sultan Iskandar Tsani. Akhirnya, Syeikh Nuruddin Al-Raniri berhasil
menduduki puncak karirnya dalam pemerintahan kerajaan Aceh, yakni
sebagai Mufti Kerajaan.Iamemang ahli dalam bidang ilmu Mantiq
(Logika), fikih, dan ilmu Balaghah (Retorika). Dalam ilmu Fikih, Syeikh
Nuruddin ar-Raniri adalah penganut Mazhab Syafii, walaupun ia juga
ahli dalam mazhab-mazhab yang lainnya. Dari segi akidah, Syeikh
Nuruddin Al-Raniri adalah pengikut Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-
Jama'ah yang berasal daripada Syeikh Abu Hasan al-Asy'ari dan Syeikh
Abu Manshur al-Maturidi. Sementara dalam bidang tasawuf, ia
mengikuti tasawuf yang mu'tabarah dan pengamal berbagai-bagai
tariqah sufiyah.
Tetapi suatu perkara yang aneh bagi ulama yang mendalami
tasawuf seperti Al-Raniri, akan tetapi sangat keras dalam menentang
Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumaterani.
Walau bagaimanapun Syeikh Nuruddin ar-Raniri tidak pernah
menyalahkan, bahkan menyokong Syeikh Muhyuddin ibn 'Arabi, Abi
Yazid al-Bistami, 'Abdul Karim al-Jili, Abu Manshur Husein al-Hallaj
dan lain-lain. Perkataan yang bercorak 'syathahiyat' yang keluar
daripada ulama-ulama sufi yang disebut terakhir tidak pernah ia
salahkan. Sebaliknya, perkataan yang bercorak 'syathahiyat' yang
berasal daripada Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin
as-Sumatrani selalu ditafsirkan secara salah oleh Syeikh Nuruddin ar-
Raniri. Di dalam karyanya Fath al-Mubin 'ala al-Mulhidin, Syeikh
Nuruddin Al-Raniri berpendapat bahwa al-Hallaj mati syahid.Padahal
jika kita teliti, sebenarnya Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh
Syamsuddin as-Sumatrani adalah pengikut paham al-Hallaj.
Ajaran Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-
Sumatra-i berpunca daripada ajaran Syeikh Muhyuddin ibn 'Arabi,
Syeikh Abi Yazid al-Bistami, Syeikh 'Abdul Karim al-Jili dalam satu
sektor.Dan bahagian lain juga berpunca daripada ajaran Imam al-
Ghazali, Syeikh Junaid al-Baghdadi dan lain-lain, adalah dipandang
muktabar, sah dan betul menurut pandangan ahli tasawuf. Bahawa
ajaran tasawuf telah berurat dan berakar di kalbi, bahkan telah mesra
dari hujung rambut hingga ke hujung kaki, dari kulit hingga daging,

89
dari tulang hingga ke sumsum pencinta-pencintanya, yang tentu saja
mereka mengadakan tentangan yang spontan terhadap Syeikh
Nuruddin ar-Raniri. Bahkan kepada siapa saja yang berani menyalah-
nyalahkan pegangan mereka.
Pengikut-pengikut Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh
Syamsuddin as-Sumatra-i menganggap kedua-dua guru mereka adalah
wali Allah, yang faham terhadap pengetahuan syariat, tarekat, haqiqat
dan makrifat. Mereka beranggapan, walaupun diakui bahawa Syeikh
Nuruddin ar-Raniri sebagai seorang ulama besar, yang dikatakan juga
telah mengetahui ilmu tasawuf, namun tasawuf yang diketahui oleh
Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu hanyalah tasawuf zahir belaka. Bahawa
beliau hanyalah mengetahui kulit ilmu tasawuf, tetap tidak sampai
kepada intipati tasawuf yang sebenar-benarnya. Bahawa beliau baru
mempunyai ilmu lisan sebagai hujah belaka, tetapi belum mempunyai
ilmu kalbi, yang dinamakan juga dengan ilmu yang bermanfaat. Oleh
itu, wajiblah mereka membela guru mereka yang mereka sanjung
tinggi itu.
Selama menetap di Pahang atau pun setelah beliau pindah ke
Aceh, ramai penduduk yang berasal dari dunia Melayu belajar kepada
ulama besar yang berasal dari India itu, namun sampai riwayat ini saya
tulis, belum dijumpai tulisan yang menyenaraikan nama murid-murid
Syeikh Nuruddin Al-Raniri. Untuk memulakan penjejakan
mengenainya di sini dapat saya perkenalkan hanya dua orang, iaitu:
Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi/al-Maqasari al-Khalwati yang berasal
dari Makasar/tanah Bugis. Tidak begitu jelas apakah Syeikh Yusuf
Tajul Khalwati ini belajar kepada Syeikh Nuruddin ar-Raniri sewaktu
beliau masih di Aceh atau pun Syeikh Yusuf datang menemui Syeikh
Nuruddin ar-Raniri di negerinya, India. Sementara pendapat lain
menyebut bahawa Syeikh Yusuf Tajul Khalwati benar-benar dapat
berguru kepada Syeikh Nuruddin Al-Raniri sewaktu masih di Aceh
lagi, dan Syeikh Yusuf Tajul Khalwati menerima bai'ah Tarekat
Qadiriyah daripada Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Yang seorang lagi ialah
Syeikh Muhammad 'Ali, ulama ini berasal dari Aceh.
2. Karya dan Aktivitas Intelektual

89
Al-Raniri memiliki pengetahuan luas yang meliputi tasawuf,
qalam, fiqih, hadits, sejarah, dan perbandingan agama. Selama masa
hidupnya, ia menulis kurang-lebih 29 kitab, yang paling terkenal
adalah "Bustanul Salatin". Namanya kini diabadikan sebagai nama
perguruan tinggi agama yakni Universitas Islam Negeri (UIN) Al-
Raniri di Banda Aceh.
Sebagaimana Syiah Kuala, Al-Raniri juga memiliki karya
intelektual yang mengagumkan di berbagai bidang studi keIslaman. Di
antara karya-karya Nuruddin yang berhasil ditemukan adalah sebagai
berikut:
a. Al-Sirat al-Mustaqim (1634).
b. Durrat al-Faraid bi Syarh al-Aqaid an Nasafiyyah (1635).
c. Hidayat al-Habib fi al-Targhib wa al-Tarhib (1635).
d. Bustanus al-Salatin fi Zikr al-Awwalin Wa al-Akhirin (1638).
e. Nubdzah fi Dawat al-Dhill maa al-Sahibihi.
f. Lataif al-Asrar.
g. Asrar al-Insan fi Marifat al-Ruh wa al-Rahman.
h. Tibyan fi Marifat al-Adyan
i. Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah
j. Hill al-Dhill
k. Mau al-Hayat li Ahl al-Mamat
l. Aina al-Alam Qabl an Yukhlaq
m. Syifa al-Qulub
n. Hujjat al-Shiddiq li Dafi al-Zindiq
o. Al-Fath al-Mubin al-Mulhiddin
p. Al-Lamaan fi Takfir Man Qala bi Khalq al-Quran
q. Shawarim al- Shiddiq li Qati al-Zindiq
r. Rahiq al-Muhammadiyyah fi Tariq al-Shufiyyah.
s. Badu Khalq al-Samawat wa al-Ard
t. Kaifiyat al-Salat
u. Hidayat al-Iman bi Fadhl al-Manan
v. Aqaid al-Sufiyyat al-Muwahhiddin
w. Alaqat Allah bial-Alam
x. Al-Fath al-Wadud fi Bayan Wahdat al-Wujud
y. Ain al-Jawad fi Bayan Wahdat al-Wujud
z. Awdah al-Sabil wa al-Dalil laisa li Abatil al-Mulhiddin Tawil
aa. Syadar al-Mazid

89
bb. Jawahir al-Ulum fi Kasyf al-Malum. 33
Kiprah Nuruddin al-Raniry di Aceh tidak lebih dari tujuh tahun
lamanya, sebagai alim, mufti dan penulis produktif ia telah memberi
perhatian mendalam guna menentang doktrin Wujudiyyah dan
mengembalikan kemurnian Islam baik secara dialog maupun represif.
Hingga pada tahun 1644, beliau secara tiba-tiba meninggalkan Aceh
menuju kota kelahirannya diIndia yaitu Ranir, diketahui melalui
tulisan muridnya dalam kitab Jawahir al-Ulum fi Kasf al-Malum yang
menyatakan bahwa ia berlayar ke tanah airnya Ranir pada tahun 1054
H, dan menyuruh salah seorang muridnya untuk menyelesaikannya.
3. Pengaruh Al-Raniri di Kerajaan Aceh Darussalam
Berdasarkan paparan sebelumnya, Al-Raniri merupakan sosok
ulama yang memiliki banyak keahlian. Dia seorang sufi, teolog, faqih
(ahli hukum), dan bahkan politisi. Keberadaan Al-Raniri seperti ini
sering menimbulkan banyak kesalahpahaman, terutama jika dilihat
dari salah satu aspek pemikiran saja. Maka sangat wajar, jika beliau
dinilai sebagai seorang sufi yang sibuk dengan praktek-praktek mistik,
padahal di sisi lain, Al-Raniri adalah seorang faqih yang memiliki
perhatian terhadap praktek-praktek syariat. Oleh karena itu, untuk
memahaminya secara benar, haruslah dipahami semua aspek
pemikiran, kepribadian dan aktivitasnya.34
Keragaman keahlian Al-Raniri dapat dilihat kiprahnya selama.di
Aceh. Meski hanya bermukim dalam waktu relatif singkat, peranan Al-
Raniri dalam perkembangan Islam Nusantara tidak dapat diabaikan.
Dia berperan membawa tradisi besar Islam sembari mengeliminasi
masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya tersebut.
Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan
Islam di negeri ini, Al-Ranirilah yang menghubungkan satu mata rantai
tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara.
Bahkan, Al-Raniri merupakan ulama pertama yang membedakan
penafsiran doktrin dan praktek sufi yang salah dan benar. Upaya
seperti ini memang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu,
33
Lihat Ahmad Daudi, Syeikh Nuruddin Ar-Raniry; Sejarah, Karya, dan Sangghan
terhadap Wujudiyyah di Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 18-26.
34
Azra., Jaringan Ulama, h. 222-227.

89
seperti Fadhl Allah Al-Burhanpuri. Namun, Al-Burhanpuri tidak
berhasil merumuskannya dalam penjabaran yang sisternatis dan
sederhana, malahan membingungkan para pengikutnya, sehingga
Ibrahim Al-Kurani harus memperjelasnya. Upaya-upaya lebih lanjut
tampaknya pernah juga dilakukan oleh Hamzah Fansuri dan
Samsuddin Al-Sumaterani, tetapi keduanya gagal memperjelas garis
perbedaan antara Tuhan dengan alam dan makhluk ciptaannya. 35
Oleh karena itu, dalam pandangan Al-Raniri, masalah besar yang
dihadapi umat Islam, terutama di Nusantara, adalah aqidah. Paham
immanensi antara Tuhan makhluknya sebagaimana dikembangkan
oleh paham wujudi"ah merupakan praktek sufi yang berlebihan.
Mengutip doktrin Asy'ariyyah, Al-Raniri berpandangan bahwa antara
Tuhan dan alam raya terdapat perbedaan (mukhalkfah), sementara
antara manusia dan Tuhan terdapat hubungan transenden.
Selain secara umum Al-Raniri dikenal sebagai syeikh tariqat
Rifaiyyah, ia juga memiliki mata rantai dengan tarekat Aydarusiyyah
dan Qadiriyyah. Dari tarekat Aydarusiyyah inilah Al-Raniri dikenal
sebagai ulama yang teguh mernegang akar-akar tradisi Arab, bahkan
simbol-simbol fisik tertentu dari budayanya, dalam menghadapi
budaya lokal. Tidak hanya itu, ketegasan Al-Raniri dalam menekankan
adanya keselarasan antara praktek mistik dan syari'at merupakan
bagian dari ajaran tarekat Aydarusiyyah.
Dari paparan di atas, sepintas memang belum banyak pembaruan
yang telah dilakukan oleh Al-Raniri, kecuali mempertegas paham
Asy'ariyyah, memperjelas praktek-praktek syariat, dan sanggahan
terhadap paham wujudiyyah.Di sinilah dibutuhkaan kejelian untuk
memandang Al-Raniri secara utuh, baik kiprah, pikiran maupun karya-
karyanya.36 Bahkan, dari catatan sanggahan Al-Raniri terhadap paham
wujudiyyahlah dapat ditemukan, sejumlah pembaruanterutama dalam
hal metodologi. Hal ini terlihat antara lain dari tulisannya, dimana
beliau selalu mencantumkaan argumentasi berikut referensinya.
Metode seperti ini, dalam perkembangannya ditemukan sejumlah

35
Ibid.
36
Ibid.

89
ulama baru yang belum pernah diungkap oleh penulis-penulis
sebelumnya, berikut pemikiran-pemikiran yang baru.
Meski Al-Raniri berpengaruh besar dalam perkembangan Islam
Nusantara, tetapi hingga kini belum ditemukan para muridnya secara
langsung, kecuali Syeikh Yusuf Al-Maqassari. Al-Maqassari dalam
kitabnya, Safinat al-Najah menjelaskan bahwa dari Al-Ranirilah
diperoleh silsilah tarekat Qadiriyyah, karena Al-Raniri adalah guru
sekaligus syeikhnya.Hanya saja, bukti ini belum dianggap valid, karena
belum diketahui kapan dan dimana mereka bertemu. Kesulitan lainnya
juga akan muncul ketika dicari hubungan dan jaringan Al-Raniri
dengan para ulama lain penyebar agama Islam di wilayah Nusantara,
ataupun para ulama asli Nusantara yang berkelana sampai ke Timur-
Tengah. Yang ada hanyalah kemungkinan bertemunya Al-Raniri
dengan para jamaah haji dan para pedatang dari Nusantara yang
kebetulan menuntut ilmu di tanah haram, tepatnya ketika Al-Raniri
bermukim di Makkah dan Madinah (1621 M). Pertemuan inilah yang
diduga adanya komunikasi langsung dengan para muridnya dari
Nusantara, termasuk dengan Al-Maqassari.
Kesulitan ini juga terus berlanjut, jika dikaitkan dengan
keingianan mencari hubungan Al-Raniri dengan dunia pesantren di
wilayah Nusantara. Pasalnya, selain tiada literatur yang menunjukkan
hal tersebut, manuskrip-manuskrip yang berkaitan dengan pesantren
pun tidak menunjukkan adanya hubungan tersebut. Meski demikian,
bukan berarti Al-Raniri tidak memiliki keterkaitan sama sekah dengan
dunia pesantren. Setidaknya, peran Al-Maqassari dan para jamaah haji
serta para muridnya di Makkah dan Madinah yang kemudian kembali
ke tanah air merupakan keterkaitan tidak langsung Al-Raniri dengan
dunia pesantren di Indonesia.
Ada yang berpendapat bahwa Al-Raniri meninggal dunia di
India. Pendapat lain menyebut bahawa beliau meninggal dunia di
Aceh. Ahmad Daudi, menulis: "Maka tiba-tiba dan tanpa sebab-sebab
yang diketahui, Syeikh Nuruddin ar-Raniri meninggalkan Serambi
Mekah ini, belayar kembali ke tanah tumpah darahnya yang tercinta,
Ranir untuk selama-lamanya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1054 H

89
(1644 M)." Bahwa beliau meninggal dunia pada 22 Zulhijjah 1069 H/21
September 1658 M.37 Tetapi Karel A. Steenbrink dalam bukunya,
Mencari Tuhan Dengan Kacamata Barat berpendapat lain. Ia mengatakan
bahwa hingga tahun 1644 M Syeikh Nuruddin masih berada di Aceh.
Menurutnya terjadi diskusi yang terlalu tajam antara beberapa
kelompok pemerintah: Seorang uskup agung (Al-Raniri) di satu pihak
dan beberapa hulubalang dan seorang ulama dari Sumatera Barat di
pihak lain. Pihak yang anti Al-Raniri akhirnya menang, sehingga ar-
Raniri dengan tergesa-gesa kembali ke Gujarat. 38 Tulisan Karel itu
barangkali ada benarnya, kerana secara tidak langsung Syeikh
Nuruddin mengaku pernah kalah berdebat dengan Saiful Rijal,
penyokong fahaman Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh
Syamsuddin as-Sumatrani, perkara ini beliau ceritakan dalam kitab
Fath al-Mubin.
Adapun tempat meninggalnya, H.M. Zainuddin, berbeda
pendapat dengan Ahmad Daudi di atas.Menurut Zainuddin dalam
Tarich Atjeh dan Nusantara, jilid 1, bahwa terjadi pertikaian di istana
yang motori oleh peristiwa telah terbunuh seorang ulama yang
bernama Faqih Hitam yang menentang tindakan Puteri Seri Alam.Saat
itu, Syeikh Nuruddin diculik orang, kemudian mayatnya diketemukan
di Kuala Aceh.Menurut H.M. Zainuddin pula, bahwa makam Syeikh
Nuruddin itu dikenal dengan makam keramat Teungku Syiahdin
(Syeikh Nuruddin ar-Raniri) terletak di Kuala Aceh. 39 Kemungkinan
yang dimaksudkan T. Zainuddin adalah makam Syeikh Abdurrauf al-
Singkili yang berada di Lam Dingin Banda Aceh.
Dalam masa pemerintahan Iskandar Muda, kerajaan Aceh maju,
ajaran sufi tidak menghalang kemajuan yang berasaskan Islam.
Sebaliknya masa pemerintahan Iskandar Tsani, ajaran sufi dianggap
sesat, ternyata kerajaan Aceh mulai menurun. Bantahan terhadap
sesuatu pegangan yang pernah berkembang di dunia Islam perlulah

37
Lihat Daudi., Syeikh Nuruddin, h. 17.
38
Karell A. Steenbrink, Mencari Tuhan dalam Kacamata Barat, (Jakarta: INIS,
1990).
39
Lihat T. Zainuddin, Tarech Atjeh dan Nusantara, (Jakarta: Bulan Bintang,
1976).

89
ditangani dengan penuh kebijaksanaan. Siapa saja yang memegang
urusan keislaman janganlah tersalah penilaian, sering terjadi yang
benar menjadi salah, atau sebaliknya yang salah menjadi benar.
Al-Raniri berperan penting saat berhasil memimpin ulama Aceh
menghancurkan ajaran tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri yang
dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam awam terutama yang
baru memeluknya. Tasawuf falsafi berasal dari ajaran Al-Hallaj, Ibnu
Arabi, dan Suhrawardi, yang khas dengan doktrin Wihdatul Wujud
(Menyatunya Kewujudan) di mana sewaktu dalam keadaan sukr
('mabuk' dalam kecintaan kepada Allah Ta'ala) dan fana' fillah ('hilang'
bersama Allah), seseorang wali itu mungkin mengeluarkan kata-kata
yang lahiriahnya sesat atau menyimpang dari syariat Islam.
Maka oleh mereka yang tidak mengerti hakikat ucapan-ucapan
tersebut, dapat membahayakan akidah dan menimbulkan fitnah pada
masyarakat Islam. Karena individu-individu tersebut syuhud
('menyaksikan') hanya Allah sedang semua ciptaan termasuk dirinya
sendiri tidak wujud dan kelihatan.Maka dikatakan wahdatul wujud
karena yang wajib wujudnya itu hanyalah Allah Ta'ala sedang para
makhluk tidak berkewajiban untuk wujud tanpa kehendak Allah. Sama
seperti bayang-bayang pada pewayangan kulit.
Konstruksi wahdatul wujud ini jauh berbeda malah dapat
dikatakan berlawanan dengan faham manunggaling kawula lan Gusti'.
Karena pada konsep manunggaling kawula lan Gusti', dapat
diibaratkan umpama bercampurnya kopi dengan susu, maka substansi
dua-duanya sesudah menyatu adalah berbeda dari sebelumnya.
Sedangkan pada faham wihdatul wujud, dapat di umpamakan seperti
satu tetesan air murni pada ujung jari yang dicelupkan ke dalam lautan
air murni. Sewaktu itu, tidak dapat dibedakan air pada ujung jari dari
air lautan. Karena semuanya kembali kepada Allah.
Maka pluralisme (menyamakan semua agama) menjadi lanjutan
terhadap gagasan beliau dimana yang penting dan utama adalah
Pencipta, dan semua ciptaan adalah sama, hadir di alam mayapada
hanya karena kehendak Allah saja.

89
Maka faham ini, tanpa dibarengi dengan pemahaman dan
kepercayaan syariat, dapat membelokkan aqidah. Pada zaman dulu,
para waliyullah di negara-negara Islam Timur Tengah sering, apabila
di dalam keadaan seperti ini, dianjurkan untuk tidak tampil di
khalayak ramai. Tasawuf falsafi diperkenalkan di Nusantara oleh
Fansuri dan Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar kemudian dieksekusi
mati oleh dewan wali (Wali Songo). Ini adalah hukuman yang
disepakati bagi pelanggaran syariat, manakala hakikatnya hanya Allah
yang dapat maha mengetahui. Al-Hallaj setelah dipancung lehernya,
badannya masih dapat bergerak, dan lidahnya masih dapat berzikir.
Darahnya pula mengalir mengeja asma Allah, ini semua karomah
untuk mempertahankan keberadaan Allah.
Di Jawa, tasawuf falsafi bersinkretisme dengan aliran kebatinan
dalam ajaran Hindu dan Budha sehingga menghasilkan ajaran Islam
kejawen. Ronggowarsito (Bapak Kebatinan Indonesia) dianggap
sebagai penerus Siti Jenar. Karya-karyanya, seperti Suluk Jiwa, Serat
Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat Hidayat Jati,
sering diaku-aku Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah.
Namun banyak terdapat kesalahan tafsir dan transformasi pemikiran
dalam karya-karyanya itu. Ronggowarsito hanya mengandalkan
terjemahan buku-buku tasawuf dari bahasa Jawa dan tidak melakukan
perbandingan dengan naskah asli bahasa Arab. Tanpa referensi kepada
kitab-kitab Arab yang ditulis oleh ulama ahli syariat dan hakikat yang
muktabar seperti Syekh Abdul Qadir Jailani dan Ibn Arabi, maka ini
adalah sangat berbahaya. Ar-Raniri dikatakan pulang kembali ke India
setelah beliau dikalahkan oleh dua orang murid Hamzah Fansuri pada
suatu perdebatan umum. Ada riwayat mengatakan beliau wafat di
India.
Pemikiran Fikih Al-Raniri

89

Anda mungkin juga menyukai