1 Taufikurrahman, dkk, Akhlak Tasawuf, (Jawa Tengah, Wawasan Ilmu, 2023), 185.
2 Ahmad Zainal Abidin, dan Thoriqul Aziz, Khazanah Tafsir Nusantara, (Yogyakarta,
IRCiSoD, 2023), 11.
Pasai (kesultanan Samudera Pasai) akhir abad ke-13. 3 Setelah di Pasee
(Pasai) moyang As-Singkili menetap di Fansur (Barus). Fansur pada masa
itu merupakan salah satu kota pelabuhan yang terpenting di pantai Barat
Aceh.
Dari sejak kecil As-Singkili telah memulai pendidikannya dari
ayahnya yang merupakan seorang alim dan mendirikan Madrasah
kemudian menarik murid-murid dari berbagai tempat di Kesultanan Aceh.
Abdur Rauf melanjutkan pelajarannya di Fansur (Barus). Kota Fansur
(Barus) pada masa itu terkenal sebagai pusat pengkajian Islam yang
penting dan merupakan titik penghubung antara orang Melayu dengan
kaum muslim di Asia Barat dan Asia Selatan.
Menurut Hasjmi, al-Sinkili di kemudian hari mengadakan
perjalanan ke Banda Aceh, Ibu Kota Kesultanan Aceh untuk menimba
ilmu. Setelah belajar ilmu agama di tanah kelahirannya, baik dari ayahnya
sendiri maupun dari para ulama setempat lainnya. Sekitar tahun 1052
H/1642 M dan pada saat usia ke-27 tahun. Ia pergi ke Jazirah Arab untuk
menimba ilmu.
Terdapat dua alasan penting mengapa 'Abdur Rauf As-Singkili
4
ingin melanjutkan studi pendidikannya ke Arabia. Pertama, tanah
Haramain sejak abad XII M merupakan pusat kebangkitan keilmuan Sunni
melalui madrasah-madrasah yang berdiri di sana. Madrasah yang pertama
berdiri di Makkah adalah madrasah al- 'Ursufiyah yang didirikan pada 571
H/1175 M oleh 'Afifi 'Abdullah Muhammad al-'Ursufi (w. 595 H/1196 M),
yang terletak di sebelah selatan Masjid al-Haram.
Kedua, karena kawasan Arabia, khususnya Haramain, pada saat itu
merupakan pusat intelektualisme Islam. Kota Makkah dan Madinah
membuka wacana intelektual kosmopolitan atas berbagai kasus yang
muncul dari berbagai belahan dunia Islam. Di situlah figur para ulama dan
3 Muliadi Kurdi, Abdurrauf As-Singkili Mufti Besar Aceh Pelopor Tarekat Syattariyah Di
Dunia Melayu, (Banda Aceh, Lembaga Naskah Aceh (NASA), 2017), 2.
4 Saifuddin dan Wardani, Tafsir Nusantara Analisis Isu-Isu Gender Dalam Al-Mishbah
Karya M. Quraish Shihab Dan Tarjuman Al-Mustafid Karya Abd Al-Rauf Singkel, (Yogyakarta,
LKiS Printing Cemerlang, 2017), 29.
intelektual dari berbagai aliran atau paham keagamaan bertemu
membentuk semacam jaringan ulama.
As-Singkili menghabiskan waktu selama 19 tahun untuk menuntut
ilmu di sejumlah tempat yang tersebar sepanjang rute pelayaran haji, mulai
Dhuha (Doha), Qatar, yang terletak di pesisir Teluk Persia, kemudian
Yaman, Jeddah, dan akhirnya Makkah serta Madinah.
Ia belajar ilmu agama tidak kurang dari 15 orang guru, 27 ulama
terkenal, dan juga 15 tokoh mistik kenamaan di Jeddah, Mekah, Madinah,
Mokha, Baitulfaqih, dan lain-lain. 5 Namun, yang paling berpengaruh
terhadap pemikiran tasawuf as- Singkili kelak adalah Ahmad Qusasi, guru
spiritualnya di Madinah.
Dari Qusasi, As-Singkili mempelajari apa yang dinamakan ilmu-
ilmu batin, yaitu tasawuf dan ilmu-ilmu terkait lainya, sampai ia
mendapatkan ijazah untuk menjadi khalifah dalam Tarekat Syattariyah dan
Qadiriyah.
Dalam pengembaraan keilmuannya selama di Arabia (Timur
Tengah) tersebut, Abdur Rauf memulai studinya di Dhuha (Doha), Qatar,
Di sini, As- Singkili belajar kepada seorang guru yang bernama 'Abdul
Qadir al-Mawrir. Disini As-Singkili tidak lama belajar dengan Al-Mawrir.
Ia kemudian melanjutkan perjalanannya ke Yaman.
Di Yaman terutama di Bait al-Faqih dan Zabid ia belajar, meskipun
ia juga pernah belajar di Mauza', Mukha, al- Luhaiyat, Hudaidat, dan Ta'iz.
As-Singkili belajar pada ulama-ulama keluarga Ja'man di Yaman.
As-Singkili belajar fiqih kepada Ibrahim bin Muhammad bin
Ja'man, seorang mufti terkenal dalam bidang hadits. Kemudian as-Singkili
belajar kepada Ibrahim bin Abdullah bin Ja'mān (w. 1083 H. /1672), Qadhi
Ishaq bin Muhammad bin Ja'mān, Ishaq bin Ja'mān (1014-1096 H./1605-
1685).
Di samping itu, menurut riwayat as-Singkili menjalin hubungan
dengan banyak ulama seperti Faqih Ath-Thayyib bin Abi al- Qasim bin
5 Cut Zahrina, Memahami Sejarah Tasawuf Di Aceh, (Banda Aceh, Balai Pelestarian Nilai
Budaya (BPNB),2018), 28.
Ja'man, mufti Bayt al-Faqih (Yaman) dan juga Qadhi Muhammad bin
Ja'man. Dalam sejarah disebutkan bahwa keluarga Ja'man adalah sebuah
keluarga besar yang banyak melahirkan ulama sufi dan fiqih bahkan
sebagian ulama Ja'man itu murid-murid dari Syaikh Ahmad Qusyasyi dan
Syaikh Ibrahim al-Kurani.
Dari negeri Yaman, Abdur Rauf As-Singkili kemudian
melanjutkan studinya ke Jeddah, dan di sana ia belajar kepada Abd al-
Qadir al-Barkhali, mufti kota pelabuhan tersebut. Setelah itu ‘Abdur Rauf
As-Singkili melanjutkan perjalanannya ke Makkah untuk belajar kepada
beberapa ulama terkenal di sana.
Diantara gurunya di Makkah yang terpenting adalah ‘Ali ibn ‘Abd
alQadir al-Thabari (w. 1070 H/1660 M). ‘Ali al-Thabari adalah seorang
ahli fikih terkemuka dan ahli sejarah Makkah. Guru ‘Abd alRa`uf lainnya
selama belajar di Makkah adalah Badruddin al-Lahuri dan Abdullah al-
Lahuri (w. 1083 H/1672 M).
Tahap terakhir dari tradisi rihlah 'ilmiah-nya terhenti di Madinah.
Di kota ini, As-Singkili menghabiskan waktunya untuk belajar kepada Al-
Qusyasyi dan penggantinya, Ibrahim Al-Kurani. Kepada Al-Qusyasyi, As-
Singkili mempelajari mistik Islam (Ilmu bathin), yaitu tasawuf, serta ilmu-
ilmu yang masih terkait dengannya. Setelah ditinggal wafat oleh Al-
Qusyasyi, perannya digantikan oleh Ibrahim al-Kurani.
Setelah 19 tahun merantau untuk menuntut ilmu di tanah Arab
(Timur Tengah), Abdur Rauf As-Singkili akhirnya kembali ke Aceh
(Nusantara) pada 1584 H/1661 M. Kabar kedatangan ‘Abd al-Ra`uf
tampaknya menciptakan rasa penasaran, terutama di lingkungan istana.
Tidak lama kemudian Abdur Rauf dikunjungi seorang pejabat istana,
Katib Seri Raja ibn Hamzah al-Asyi, Sekretaris Rahasia Sultanah, yang
mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tidak jelas tentang masalah
keagamaan.
Besar kemungkinan al-Asyi diutus Sultanah Shafiyatal-Din untuk
menyelidiki pandangan-pandangan keagamaan Abdur Rauf. Abdur Rauf
berhasil melewati ujian itu, karena hal itulah ia mendapat hati kalangan
istana. Dia pun kemudian ditunjuk Sultanah sebagai Qadhi al-Malik al-
Adil atau Mufti yang bertanggung jawab atas administrasi masalah-
masalah keagamaan.
Syeikh As-Singkili meninggal dunia pada tahun 1150 H/1693 M,
di usia 73 tahun.6 Ia dimakamkan di samping makam Teungku Anjong
yang dianggap paling keramat di Aceh, di samping masjid yang di bangun
di Kuala Aceh, sekitar 15 km dari Banda Aceh. Nama gelar Abdur Rauf
As-Singkili ini dijadikan atau diabadikan pada perguruan tinggi yang
didirikan di Banda Aceh pada tahun 1961, yaitu Universitas Syiah Kuala.7
8
Dr. Damanhuri Basyir, M.Ag, Kemasyhuran Syekh Abdur Rauf Al Singkili, h 39-42,
Percetakan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh
C. Karakteristik Tafsir Tarjuman Al-Mustafid
Kitab tafsir Tarjuman Al-Mustafid ditulis dengan bahasa Melayu
Jawi lengkap tiga puluh juz. Tidak ada sumber yang menyebutkan secara
pasti tentang tahun penulisan tafsir ini karena Al-Singkili tidak menuliskan
tahun penulisan di dalam tafsirnya.
Namun, dalam penelitiannya Riddell seperti yang dikutip Azra
menegaskan bahwa salinan paling awal yang kini masih ada dari Tarjuman
Al- Mustafid Berasal dari akhir abad ke 17 M dan awal abad ke 18 M.
Edisi-edisi cetaknya diterbitkan tidak hanya di Singapura, Penang,
Jakarta, dan Bombay, tetapi juga di Timur Tengah. Di Istanbul,
Diterbitkan oleh Mathba’ah al-‘Ustmaniyyah pada tahun 1302/1884 (dan
juga pada 1324/1904) dan kemudian di Kairo (oleh Sulaiman Al-Maraghi),
dan di Mekkah (oleh al-‘Amiriyyah). Edisi Terakhirnya diterbitkan di
Jakarta pada tahun 1981, edisi inilah yang Menjadi objek material tulisan
ini.
1. Latar Belakang Penyusunan, Sistematika Kitab, Metode, dan Corak
Penafsiran
a) Latar Belakang Penyusunan
Al-Singkili menulis karya Tafsir Tarjuman Al-Mustafid sembari
menjalankan perannya sebagai Qadhi Malik Al-‘Adil atau Mufti di
Kesultanan Aceh. Peran ini memberinya kekuasaan yang cukup luas dan
tanggung jawab yang besar dalam bidang agama.
Faktanya, belum ada sumber tertulis atau penelitian yang memberi
tahu kami alasan Al-Singkili menulis komentar tersebut. Namun
berdasarkan keadaan masyarakat Aceh saat itu, mereka sangat tertarik
pada sumber atau referensi agama, khususnya yang berbahasa Melayu. Di
sisi lain, masyarakat juga menghadapi permasalahan yang muncul akibat
tafsir sufi yang dikembangkan oleh kelompok Wahdat Al-Wujud.9
Pengertian Wahdat Al-Wujud di Aceh dibawa oleh dua ulama yang
sangat terkenal yaitu Hamzah Al-Fansuri dan Syams Al-Din Al-Samatran.
9
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2008),
75.
Kedua ulama ini berperan sangat penting dalam membentuk pemikiran
dan praktik keagamaan umat Islam di Kepulauan Melayu pada paruh
pertama abad ke-17.
Secara historis, tidak banyak informasi yang menjelaskan
kehidupan kedua tokoh ini, namun mereka adalah penulis produktif yang
banyak melahirkan karya dan ide penuh nuansa mistis. Mereka juga
dianggap sebagai salah satu tokoh sufi paling awal dan juga pelopor tradisi
sastra Melayu. Hanya saja munculnya pemikiran dan sikap agresif Al-
Ranir di tengah masyarakat menimbulkan kekacauan hingga menimbulkan
pertumpahan darah.
Menurut Al-Ranir, Islam Aceh begitu dibingungkan dengan
kesalahpahaman terhadap ajaran sufi sehingga mencurahkan tenaganya
untuk menentang doktrin Wujudiyah, bahkan mengeluarkan fatwa yang
mengarahkan perburuan bid’ah; membunuh orang-orang yang menolak
meninggalkan berbagai praktik sesat dan membakar buku-buku mereka.
Keadaan diatas menginspirasi Al-Singkili untuk menulis tafsir
dalam bahasa Melayu untuk membantu masyarakat memahami ajaran
Islam. Karena saat ini jika seseorang ingin memahami Al-Qur’an harus
belajar bahasa Arab terlebih dahulu dan mengacu pada pendapat para
ulama. Namun tafsir ini memudahkan masyarakat memahami ajaran Islam
yang bersumber langsung dari Al-Qur’an.
b) Tartib (Sistematika)
Sistem tafsir Tarjuman Al-Mustafid mengikuti tradisi mushaf.
Dalam sistematika ini Al-Singkili menjelaskan tafsirnya berdasarkan
rangkaian mushaf ayat dan surat. Ayat-ayat Al-Qur’an ditulis, kemudian
diberikan terjemahan dan interpretasinya.
Jika ada perbedaan qira’at, Al-Singkili menjelaskannya dengan
membuat faidah. Faidah ini menjelaskan bagaimana para imam qira’at
membacakan ayat-ayat tersebut.10
c) Manhaj (Metode Penafsiran)
10 Abd Rauf Al-Sinkili, Tarjuman al-Mustafid (Jakarta: Dar Fikr, 1981), 36.
Tafsir Tarjuman Al-Mustafid termasuk dalam kategori Tafsir bi
Al-Ra’yi (menafsirkan Al-Qur’an dengan bantuan akal) tanpa membuang
pendapat atau cerita para sahabat atau tabi’in. Metode yang digunakan Al-
Singkili dalam menafsirkan Al-Qur’an yaitu metode Tahlili/Analitis.11
Melalui metode ini Al-Singkili menjelaskan makna ayat-ayat Al-
Qur’an disertai sebab Al-Nuzul(jika ada), Munasabah, penjelasan qira’at
yang berbeda-beda, makna global ayat dan hukumnya yang dapat dibaca
dari isi ayat tersebut.
Sebelum menafsirkan ayat-ayat tersebut, Al-Singkili terlebih
dahulu memaparkan bukti bahwa surah tersebut mencakup
makiyyah/madaniyah dan keutamaan surah tersebut. Misalnya saja sebagai
berikut : Surat Fatihah kitab Makiyyah, yaitu tujuh ayat. Surat al-Fatihah
ini terdiri dari tujuh ayat yang dibangsakan kepada Mekkah, maka tersebut
di dalam Al-Baidawi Bahwa Al-Fatihah itu penawar bagi tiap-tiap
penyakit dan tersebut di dalam Manafi Al-Qur’an, barangsiapa yang
membacanya baginya pahala yang tiada dapat menggadai dia kitab dan
memberi manfaat akan sebaik-baik orang dan perkasih. Wallahu a’lam.12
Setelah memaparkan pembukaan seperti contoh di Atas, barulah As-
Singkili mulai menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
d) Corak Penafsiran
Abdurrauf As-Singkili tidak fokus hanya pada satu corak tafsir
ketika menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an. As-Singkili menggunakan corak
umum. Artinya penafsiran yang diberikan tidak berkaitan dengan satu
aliran tertentu, seperti fikih, filsafat, dan adab bil-ijtima’i.
Namun tafsirnya mengandung corak yang berbeda-beda,
tergantung isi ayat yang ditafsirkan. Untuk ayat-ayat yang membahas
tentang hukum fikih beliau mengungkap hukum-hukum fikih, dan untuk
ayat-ayat yang membahas tentang teologi, pembahasan akidah menjadi
D. Contoh Penafsiran
As-Singkili adalah seorang ulama besar yang ilmunya tidak
terbantahkan. Ia mahir dalam berbagai disiplin ilmu termasuk fiqih,
tasawuf dll. Meskipun Al-Singkili tidak menunjukkan kecenderungan pada
gaya tertentu dalam penafsirannya, namun penafsiran Tarjuman Al-
Mustafid berorientasi pada gaya ijtima’i, yaitu gaya sosial, hal ini dapat
dilihat dari penafsirannya terhadap QS. Al-Baqarah (2) : 184 sebagai
berikut :