Anda di halaman 1dari 11

Tokoh-tokoh Tasawuf di Sumatera Utara

1. Hamzah Fansuri (± abad 17 M) yang terkenal


dengan karya tulisnya Asrar Al-‘Arifin dan
Syarab Al-‘Asyikin, serta beberapa kumpulan
syair sufistiknya.
2. Nurrudin Ar-Raniri (w. 1644 M) penulis Bustan
As-Salatin, dari kitab ini, kita bisa mengetahui
bahwa ia adalah pengikut tasawuf sunni dan
penentang tasawuf Hamzah Fansuri. Ia juga
penasihat Sultan Iskandar Tsani. Semua sufi
besar ini merupakan penasihat sultan pada
masanya.
3. Abd Rauf Singkel (w. 1639 M) merupakan
penganut Tarekat Syattariyah, karyanya
berjudul Mira’at Ath-Thullab.
Biografi Tokoh-Tokoh Tasawuf di Sumatera Utara

1. Hamzah Al-Fansuri

a. Riwayat Hidup Hamzah Al- Fansuri

Nama Hamzah Al-Fansuri di Nusantara bagi kalangan ulama


dan sarjana penyelidik keislaman tidak asing lagi. Hampir semua
penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syekh Hamzah Al-Fansuri
dan muridnya Syekh Syamsyudin As-Sumatrani termasuk tokoh sufi
yang sepaham dengan Al-Hallaj. Paham hulul, ijtihad, mahhabah, dan
lain-lain adalah seirama dengan Al-Hallaj. Syekh Hamzah Fansuri
diakui sebagai salah seorang pujangga Islam yang sangat popular
pada zamannya sehingga namanya menghiasi lembaran-lembaran
sejarah kesusastraan Melayu dan Indonesia. Namanya tercatat
sebagai seorang caliber besar dalam perkembangan Islam di
Nusantara dari abadnya hingga ke abad kini. Dalm buku-buku
sejarah mengenai Aceh, namanya selalu diuraikan dengan panjang
lebar.
Berdasarkan kata “Fansur” yang menempel pada namanya,
sebagian peneliti beranggapan bahwa ia berasal dari Fansur, sebutan
orang Arab terhadap Barus yang sekarang merupakan kota kecil di pantai
barat Sumatera Utara yang terletak di antara Sibolga dan Singkel. Dalam
salah satu syairnya, ia menulis,

Hanzah nur asalnya Fansuri,


Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi,
Beroleh khilafat ilmu yang ‘ail
Daripada Abdul Qadir nSayyid Jailani.
Syair-syair Syekh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-
bukunya yang terkenal. Dalam kesusasteraan Melayu atau Indonesia,
tercatat buku-buku syairnya, antara lain Syair Burung Pingai, Syair
Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Faqir, Syair Ikan Tongkol, dan Syair
Perahu. Karangan-karangan Syekh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab
ilmiah, di antaranya Asrarul ‘Arifin fi Bayaani “Ilmis Suluki wat Tauhid,
Syarbul ‘Asyiqin, Al-Muhtadi, Ruba’i Hamzah Al-Fansuri.
Hamzah Fansuri sangat giat mengajarkan ilmu tasawuf menurut
keyakinannya. Ada riwayat mengatakan bahwa ia pernah sampai ke
seluruh Semenanjung dan mengembangkan tasawuf di negeri Perak, Perlis,
Kelantan, Trengganu, dan lain-lain.
Ajaran tasawuf Hamzah Al-Fansuri

Pemikiran-pemikiran Al-Fansuri tentang tasawuf banyak


dipengaruhi Ibnu Arabi dalam paham Wahdat Al-Wujud-nya. Sebagai
seorang sufi, ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada leher
manusia sendiri dan Tuhan tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan
bahwa Dia ada di mana-mana. Ketika menjelaskan ayat “fainama tuwallu fa
tsamma wajhu ‘illah” ia katakana bahwa kemungkinan untuk memandang
wajah Allah SWT, di mana-mana merupakan uniomistica. Para sufi
menafsirkan “wajah Allah SWT” sebagai sifat-sifat Tuhan, seperti Pengasih,
Penyayang, Jalal, dan Jamal. Dalam salah satu syairnya, Al-Fansuri berkata,

“ Mahbubmu itu tiada berha’il,


Pada ayna ma tuwallu jangan kau ghafil
Fa tsamma wajhullah sempurna wasil.
Inilah jalan orang yang kamil.
Hamzah Al-Fansuri menolak ajaran pranayama dalam agama Hindu
yang membayangkan Tuhan berada di bagian tertentu dari tubuh, seperti
ubun-ubun yang dipandang sebagai jiwa dan dijadikan titik konsentrasi dalam
usaha mencapai persatuan.
2. Nuruddin Ar-Raniri

a. Riwayat hidup Nuruddin Ar-Raniri

Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat,


India. Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Hasanjin Al-Hamid Asy-Syafi’i
Ar-Raniri. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti, tetapi kemungkinan besar
menjelang akhir abad ke-16. Ia mengikuti langkah keluarganya dalam hal pendidikannya.
Pendidikan pertamanya diperoleh di Ranir kemudian dilanjutkan ke wilayah Hadhramaut.
Ketika masih di negeri asalnya, ia sudah menguasai banyak ilmu agama. Di antara guru yang
paling banyak memengaruhinya adalah Abu Nafs Sayyid Imam bin ‘Abdullah bin Syaiban,
seorang guru Tarekat Rifa’iyah keturunan Hadhramaut Gujarat, India.

Menurut catatan Azyumardi Azra, Ar-Raniri merupakan tokoh pembaruan di


Aceh. Ia mulai melancarkan pembaruan Islamnya di Aceh setelah mendapat pijakan yang
kuat di istana Aceh. Pembaruan utamanya adalah memberantas aliran Wujudiyah yang
dianggap sebagai aliran sesat. Ar-Raniri dikenal pula sebagai seorang syekh Islam yang
mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran Wujudiyyah ini. Bahkan,
lebih jauh, ia mengeluarkan fatwa yang mengarah pada perburuan terhadap orang-orang
sesat.
Di antara karya-karya yang pernah ditulis Ar-Raniri adalah :

Ash-Shirath Al-Mustaqim (fiqh berbahasa Melayu)


Bustan As-Salatin fi Dzikir Al-Awwalin wa Al-Akhirin (bahasa Melayu)
Durrat Al-Fara’idh bi Syarhi Al-‘Aqa’id (akidah, bahasa Melayu)
Syifa’ Al-Qulub (cara-cara berzikir, bahasa Melayu)
b. Ajaran tasawuf Nuruddin Ar-Raniri

1. Tuhan

2. Alam

3.Manusia

4. Wujudiyyah

5. Hubungan syariat dan hakikat


3. Syekh Abdur Rauf As-Sinkili

a. Riwayat hidup Abdur Rauf As-Sinkili

Abdur Rauf As-Sinkili adalah seorang ulama dan mufti besar


kerajaan Aceh pada abad ke-17 (1606-1637 M). Nama lengkapnya adalah
Syekh Abdur Rauf bin ‘Ali Al-Fansuri. Sejarah mencatat bahwa ia
merupakan murid dari dua ulama sufi yang menetap di Mekah dan Madinah.
Ia sempat menerima ba’iat Tarekat Syathiriyah disamping ilmu-ilmu sufi
yang lain, termasuk sekte dan bidang ruang lingkup ilmu pengetahuan yang
ada hubungan dengannya.
Menurut Hasyimi, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, ayah As-
Sinkili berasal dari Persia yang datang ke Samudra Pasai pada akhir abad
ke-13, kemudian menetap di Fansur, Barus, sebuah kota pelabuhan tua di
pantai barat Sumatra. Pendidikannya dimulai dari ayahnya di Simpang Kanan
(Sinkil). Kepada ayahnya, ia belajar ilmu-ilmu agama, sejarah, bahasa Arab,
mantiq, filsafat, sastra Arab atau Melayu, dan bahasa Persia. Pendidikannya
kemudian dilanjutkan ke Samudra Pasai dan belajar di Dayah Tinggi pada
Syekh Sam Ad-Din As-Sumatrani. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke
Arabia.
Berkenaan dengan perjalanan rohaninya, As-Sinkili telah memakai
khirqah, yaitu sebagai pertanda telah lulus dalam pengujian secara suluk. Ia
telah diberi selendang berwarna putih oleh gurunya sebagai pertanda pula
bahwa ia telah dilantik sebagai Khalifah Mursyid dalam orde Tarekat
Syathiriyah. Ini berarti pula bahwa ia boleh membai’at orang lain. Telah
diakui bahwa ia mempunyai silsilah yang bersambung dari gurunya hingga
kepada Nabi Muhammad SAW.
As-Sinkili banyak mempunyai murid, diantaranya Syekh
Burhanuddin Ulakan (wafat 1111 H/ 1691 M) yang aktif mengembangkan
Tarekat Syathiriyah. Tersebarnya Tarekat Syathiriyah mulai Aceh melalui
jalur yang tepat hingga ke Sumatra Barat menyusur hingga ke Sumatra
Selatan dan berkembang pula hingga ke Cirebon Jawa Barat, manakala kita
kaji dengan teliti selalu akan ada persambungan silsilah As-Sinkili tersebut.
Diantara karya-karya As-Sinkili adalah :
1. Mir’at Ath-Thullab (fiqh Syafi’i bidang muamalah)
2. Hidayat Al-Balighah (fiqh tentang sumpah, kesaksian, peradilan,
pembuktian)
3. Umdat Al-Muhtajin (tasawuf)
4. Syams Al-Ma’rifah (tasawuf tentang makrifat)
5. Kifayat Al-Muhtajin (tasawuf)
6. Daqa’iq Al-Huruf (tasawuf)
7. Turjuman Al-Mustafidh (tadsir)
b. Ajaran tasawuf Abdur Rauf As-Sinkili

Sebelum As-Sinkili membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah


berkembang ajaran tasawuf falsafati, yaitu tasawuf Wujudiyyah yang
kemudian dikenal dengan nama Wahdat Al-Wujud. Ajaran tasawuf
Wujudiyyah ini dianggapnya sebagai ajaran sesat dan penganutnya dianggap
sudah murtad. Terjadilah proses penghukuman bagi mereka. Tindakan Ar-
Raniri dinilai As-Sinkili sebagai pembuatan yang terlalu emosional. As-Sinkili
menanggapi persoalan aliran Wujudiyyah dengan penuh kebijaksanaan.
As-Sinkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat.
Ajaran tasawufnya sama dengan Syamsuddin dan Nuruddin, yaitu menganut
paham satu-satunya wujud hakiki, yaitu Allah SWT., sedangkan alam ciptaan-
Nya bukanlah merupakan wujud hakiki, melainkan bayangan dari yang hakiki.
Menurutnya, jelaslah bahwa Allah SWT. berbeda dengan alam. Walaupun
demikian, antara bayangan (alam) dan yang memancarkan bayangan (Allah)
tentu terdapat keserupaan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayangan
Allah SWT., seperti yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada
hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah SWT.
Zikir, dalam pandangan As-Sinkili merupakan usaha untuk
melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengannya, hati selalu mengingat
Allah SWT. Tujuan zikir adalah mencapai fana’ (tidak ada wujud selain wujud
Allah SWT.), berarti wujud yang berzikir bersatu dengan wujud-Nya
sehingga yang mengucapkan zikir adalah Dia.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai