PENDAHULUAN
1
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1965. Tafsir Al-Qur’anul Madjied “An-Nur”. Cetakan ke-2. Jakarta:
N.V. Bulan Bintang.
2
M. Zia al-Ayyubi. Dinamika Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (Era Pra-Kolonialisme hingga Era
Kolonialisme). Jurnal Rausyan Fikr. Vol. 16, No. 1. Hal. 13. Dalam Indal Abror, “Potret Kronologis
Tafsir Indonesia”, Jurnal Esenzia, Vol. 3, No. 2. Hal. 191.
3
M. Zia al-Ayyubi. Dinamika Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (Era Pra-Kolonialisme hingga Era
Kolonialisme). Jurnal Rausyan Fikr. Vol. 16, No. 1. Hal. 13. Dalam Indal Abror, “Potret Kronologis
Tafsir Indonesia”, Jurnal Esenzia, Vol. 3, No. 2. Hal. 191. Lihat juga, Rukiah Abdullah dan Mahfudz
Masduki. Karakteristik Tafsir Nusantara (Studi Metodologis atas Kitab Turjumun al-Mustafid Karya
Syekh Abdurrauf al-Singkili). Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis. Vol. 16, No. 2. Hal. 145.
besar pada kuantitas tafsir pada periode ini dengan memakai bahasa Indonesia sebagai
bahasa pemersatu bangsa4. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya tafsir berbahasa
Indonesia pada rentang tersebut oleh Ahmad Hasan dengan tafsirnya al-Furqan Tafsir
al-Qur’an5. Juz pertama tafsir ini terbit tahun 1928 M. Menjelang tahun 1940 M,
Ahmad Hasan telah menyelesaikan tafsir surah Maryam. Sedangkan, tafsir yang
utuhnya baru berhasil terbit pada tahun 1953 atas bantuan seorang pengusaha, yaitu
Sa’ad Nabhan. Hingga dapat diterbitkan pada tahun 19566.
Selanjutnya, tafsir Indonesia yang ditulis dengan bahasa Indonesia pada tahun
berikutnya ialah Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur” karya T. M. Hasbi ash-Shiddiqiey.
Tafsir An-Nur ini terbit pertama kali pada tahun 1952 7. Sebagai tafsir yang muncul
berikutnya tentu saja tafsir ini menjadi penyempurna dari tafsir-tafsir yang hadir
sebelumnya. Inilah tafsir yang menjadi fokus bahasan kita dalam tulisan ini, Tafsir An-
Nur karya Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddiqiey.
PEMBAHASAN
Pendidikan
9
Tengku adalah gelar kebangsawanan Melayu yang otomatis melekat pada seorang laki-laki dan
perempuan keturunan dari Sultan-sultan dan para Raja-Raja di Kerajaan Melayu. Tulisan “Tengku” di
awal nama setiap orang Melayu adalah status yang menandakan letaknya dalam penduduk hukum budaya
Melayu. Lihat, http://p2k.unhamzah.ac.id/ind/2-3073-2970/Tengku_100925_uhamzah_p2k-
unhamzah.html. Diakses, 17 Oktober 2021, pukul 14:45 WIB.
10
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Semarang: Pustaka Rizki
Putra. Hal. xvii.
(madrasah) dan cabang-cabang organisasi di banyak kota di Pulau Jawa. Meski
saat itu juga terdapat organisasi pembaharu Islam lain, seperti Muhammadiyah
dan Persis, namun G. F. Pijper11 berpendapat bahwa yang benar-benar
merupakan gerakan pembaharuan dalam pemikiran dan memiliki persamaan
dengan gerakan reformisme di Mesir adalah Gerakan Pembaharuan Al-Irsyad12.
Masa pendidikannya di Madrasah Al-Irsyad dilaluinya selama 2 tahun dengan
mengambil pelajaran takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan
bahasa. Al-Irsyad dan Ahmad Surkati inilah yang ikut berperan dalam
membentuk pemikirannya yang modern sehingga, setelah kembali ke Aceh,
Hasbi Ash-Shiddieqy langsung bergabung dalam keanggotaan organisasi
Muhammadiyah.13
14
Surahman Amin dan Ferry Muhammadsyah Siregar. Telaah atas Karya Tafsir di Indonesia: Studi atas
Tafsir al-Bayan Karya Tm. Hasbi al-Siddiqi. Jurnal: Afkaruna. Vol.9 No.1 Januari - Juni 2013. Hal. 41-
42. Lihat juga, https://tafsiralquran.id/tafsir-al-bayan-pelopor-tafsir-kontemporer-di-indonesia-karya-
hasbi-ash-shiddieqy/. Diakses 26/12/2021.
dan masyarakat yang tidak mengetahui bahasa Arab juga dapat memahami Al-
Qur’an dengan pemahaman yang benar.
Tafsir yang dimaksudkan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy untuk dihadirkan ialah
tafsir yang sederhana yang menuntun para pembacanya memahamai ayat-ayat
Al-Qur’an dengan penafsiran dari ayat-ayat Al-Qur’an sendiri (tafsir qur’an bil
qur’an). Lalu, dilengkapi pula dengan penafsiran-penafsiran yang diterima oleh
akal berdasarkan pentahkikan ilmu dan pengalaman. Memahami isyarat-isyarat
ilmu pengetahuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan menyajikan sari pati
pendapat ahli-ahli dalam berbagai cabang pengetahuan. Dengan mengharap
taufik dan inayah Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kemudian,
kitab tafsir ini ditulis dengan berpedoman kepada kitab-kitab tafsir yang
mu’tabar, kitab-kitab hadis yang mu’tamad, dan kitab-kitab sirah yang terkenal,
dengan yang demikian itulah Hasbi Ash-Shiddieqy menyusun tafsir ini yang
dinamainya “An-Nur” (Cahaya)15.
2. Sistematika Tafsir An-Nur
Sebelum memasuki inti dari pembahasan Tafsir An-Nur, yakni tafsir surah
Al-Fatihah, maka terlebih dahulu ia mengemukakan pembahasan mengenai
ta’awwudz. Hal ini meliputi tempat membacanya, cara membacanya dan lafal-
lafalnya. Kemudian, menguraikan kandungan surah secara umum. Setelah itu,
disebutkan ayat beserta terjemahannya. Pada bagian penafsiran diberi judul
“Tafsir” yang menerangkan penafsiran ayat yang telah disebutkan di atas. Pada
akhir pembahasan diberi rangkuman atas penafsiran ayat yang dibahas yang
diberi judul “Kesimpulan”.
Selanjutnya, Hasbi dalam menyusun Tafsir An-Nur menggunakan sistem
sebagai berikut16:
Pertama, menyebutkan satu, dua, tiga atau lebih ayat-ayat Al-Qur’an yang
akan ditafsirkan yang berkaitan menurut tertib mushaf. Model semacam ini
Hasbi mengikuti sistem yang digunakan dalam Tafsir Al-Maraghi, terkadang
juga ia mengikuti Tafsir Al-Wadhih. Kemudian, ayat-ayat tersebut dibaginya
15
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Semarang: Pustaka Rizki
Putra. Hal. xi-xii.
16
Ibid. Hal. xii.
dalam beberapa jumlah. Masing-masing jumlah ditafsirkan sendiri-sendiri. Nah,
pembagian seperti ini digunakan Hasbi mengikuti Tafsir Al-Maraghi juga 17.
Contoh: Ketika menafsirkan awal surah Al-Baqarah ia menyebutkan ayat 1 dan
2 secara bersamaan karena keduanya masih dalam satu pokok pembicaraan. Lalu
keduanya ditafsirkan sendiri-sendiri. Atau seperti surah Al-Fatihah yang
disebutkan semua ke-7 ayatnya, lalu ditafsirkan sendiri-sendiri.
Kedua, menerjemahkan makna ayat ke dalam bahasa Indonesia dengan cara
yang mudah dipahami dengan memperhatikan makna-makna yang dikehendaki
masing-masing lafal. Dalam hal menerjemahkan ayat ke dalam bahasa
Indonesia, Hasbi berpedoman pada tiga tafsir yakni, Tafsir Abu Su’ud, Tafsir
Shiddieqi Khan dan Tafsir Al-Qasimi.18
Ketiga, menafsirkan ayat-ayat itu dengan menunjuk kepada sari patinya atau
pokok pentingnya. Hasbi menafsirkan ayat-ayat dengan mengambil inti sari dari
tafsir yang menjadi sandarannya, sebagaimana terdapat dalam daftar bacaannya.
Dari sekian banyak kitab tafsir itu, ada pula yang dipilihnya sebagai kitab tafsir
induk, yaitu ‘Umdat At-Tafsir ‘an Al-Hafizh ibn Katsir, Tafsir Al-Manar, Tafsir
Al-Qasimi (Tafsir Mahasinut Ta’wil), Tafsir Al-Maraghi dan Tafsir Al-Wadhih.
Namun, seperti pernyataannya sendiri, dalam menafsirkan Al-Qur’an ia
kebanyakan mengambil dari Tafsir Al-Maraghi yang merupakan ikhtisar dari
uraian Tafsir Al-Manar19.
Keempat, menerangkan ayat-ayat yang terdapat di surat lain atau tempat
yang dijadikan penafsiran bagi ayat yang sedang ditafsirkan atau yang semakna
atau yang berbicara tentang tema yang sama (se-maudhu’), supaya pembaca
mudah mengumpulkan ayat-ayat yang semakna itu dan ayat-ayat yang
terkumpul itu menafsirkan ayat-ayat yang lain. Dalam masalah ini, Hasbi
merujuk kepada Tafsir ibn Katsir yang mana telah diketahui bahwa tafsir ibn
Katsir ialah tafsir yang menafsirkan ayat dengan ayat-ayat pula (tafsir Al-Qur’an
bi Al-Qur’an/Al-Qur’an yuafassiru ba’dhuhum ba’dhan)20.
17
Ibid. Hal. xv.
18
Ibid. Hal. xv.
19
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Semarang: Pustaka Rizki
Putra. Hal. xv.
20
Ibid. Hal. xv.
Kelima, menerangkan asbabun nuzul (sebab-sebab turun) ayat, jika
diperoleh riwayat atau atsar yang shahih yang diakui keshahihannya oleh para
ahli hadis.
Meskipun Tafir An-Nur ini menurut pengakuannya merupakan inti sari atau
kumpulan dari berbagai kitab tafsir lainnya. Namun, dalam beberapa tempat atau
ayat, Hasbi juga mengambil bagiannya sendiri terhadap penafsiran dengan
menguatkan makna yang dipandangnya kuat dan mengemukakan pendapatnya
atau penafsirannya atas suatu ayat menurut yang ia pahami. Artinya, Hasbi tidak
hanya sekadar menyadur atau memasukkan penafsiran-penafsiran dari kitab
tafsir rujukannya, di dalam tafsirnya ini ia juga mengemukakan pendapatnya
sendiri dan menilai mana penafsiran yang dipandangnya kuat.
21
Rithon Igisani. Kajian Tafsir Mufassir di Indonesia. Jurnal Potret. Vol. 22. No. 1. Hal. 18.
22
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1965. Tafsir Al-Qur’anul Madjied “An-Nur”. Cetakan ke-2. Jakarta:
N.V. Bulan Bintang. Hal. 11-12.
Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan sekian banyak bahan bacaan yang
digunakannya dalam menyusun tafsir An-Nur-nya. Seperti, tulisan karya-karya
tafsir para ulama sebelum dirinya, kitab-kitab syarah Hadis, kitab kamus dan
beberapa kitab lain. Berikut ini penulis sebutkan daftar bacaannya:
a. Tafsir Al-Qur’an
1) Al-Ustadz Ahmad Mushthafa al-Maraghi dengan Tafsir al-Maraghi.
2) Al-Ustadz Muhammad Abu Zaid dengan karyanya Tafsir al-Hidayah
wa al-‘Irfan.
3) Al-Ustadz Muhammad ‘Abdul Lathif dengan Tafsir Audhahut
Tafasir.
4) Al-‘Allamah as-Sayid Muhammad Rasyid Ridha dengan Tafsir al-
Manar.
5) Al-Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (310 H)
dengan Tafsir Jami’ul Bayan.
6) Al-Imam al-Husain ibn Mas’ud al-Baghawi dengan Tafsir Mu’alimut
Tanzil.
7) Al-Hafizh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il ibn Katsir al-Quraisy al-
Dimasyqi (774 H) dengan Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim.
8) Al-Imam asy-Syaukani dengan Tafsir Fathul Qadir.
9) Al-‘Allamah al-Alusi dengan Tafsir Ruhul Ma’ani.
10) Abul Qasim Jarullah al-Zamakhsyari (467-528 H) dengan Tafsir al-
Kasysyaf.
11) Syarafuddin al-Hasan ibn Muhammad ath-Thibi (713 H) dengan
karyanya Hasyiyah Tafsir al-Zamakhsyari.
12) Al-Qadhi Nashiruddin ‘Abdullah ibn ‘Umar al-Baidhawi (692 H)
dengan Tafsir Anwarul Tanzil.
13) Al-Muhaqqiq Abu Muslim al-Ashfahani (322 H/359 H) dengan
Tafsir Jami’ut Ta’wil23.
23
Abu Muslim ini merupakan salah seorang tokoh Mu’tazilah yang pertama-tama menyusun tafsir al-
Qur’an secara lengkap dengan aliran tafsir bi ar-ra’yi atau atas dasar riwayat yang benar dan kaidah-
kaidah yang kuat sesuai kehendak bahasa. Lihat, Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang. Hal . 231.
14) Al-‘Allamah Burhanuddin Ibrahim ibn ‘Umar al-Biqa’i (885 H)
dengan Tafsir Nazhmuddurar.
15) Al-Ustadz Jamaluddin al-Qasimi dengan Tafsir Mahasinut Ta’wil.
16) Al-Imam asy-Syafi’i dengan Tafsir Ahkamul Qur’an.
17) Al-‘Allamah Abu Bakar al-Jashshash dengan Tafsir Ahkamul
Qur’an.
18) Al-‘Allamah Ibnul Arabi dengan Tafsir Ahkamul Qur’an.
19) Al-‘Allamah al-Qurthubi dengan Tafsir al-Jami’ li Ahkamil Qur’an.
20) Al-‘Allamah Nizhamuddin al-Hasan ibn Muhammad al-Qummi
dengan karyanya Ghaaribul Qur’an.
21) Al-Imam al-Raghib al-Ashfahani dengan karyanya al-Mufradat.
22) Al-Imam as-Suyuthi dengan karyanya al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an.
23) Al-‘Allamah Faidullaha Bey al-Hasani al-Maqdisi dengan karyanya
Fathul Rahman li Thalibi Ajatil Qur’an.
24
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Jilid 4. Semarang:
Pustaka Rizki Putra. Hal. 3207.
buruk, walaupun hanya seberat biji sawi, terletak di suatu tempat yang
sangat tersembunyi, misalnya, atau di tengah-tengah batu, di tempat yang
paling tinggi, di langir atau di tempat yang paling bawah seperti di dalam
perut bumi, atau bertempat di sudut dunia mana pun, Allah pasti
menghadirkannya pada hari kiamat, yaitu ketika Allah menegakkan
timbangan amal yang dilakukan dengan adil. Pada hari itu, Allah
memberikan pembalasan sesuai dengan nilai perbuatan. Allah itu Maha
Lembut, ilmunya tembus kepada semua hal yang tersembunyi. Allah
mengetahui semua permasalahan yang nyata (terlihat) dan yang
tersembunyi”25.
27
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Jilid 4. Semarang:
Pustaka Rizki Putra. Hal. 3211.
Beberapa pelajaran yang dapat kita ambil tentang pengasuhan anak dari
kisah di atas adalah:
1) Orang tua merupakan sosok figur utama bagi seorang anak. Karena
itu, hendaknya orang tua mengemas dirinya menjadi panutan bagi
anaknya.
2) Dalam menyampaikan nasihat kepada anak hendak disampaikan
dengan cara yang membuat anak merasa dekat kepada orang tua.
Sebagaimana Luqman memanggil anaknya dengan panggilan kasih
sayang yaa bunayya/duhai anakku.
3) Mengajarkan kepada anak tentang tauhid, yakni mengetahui dan
meyakini bahwasanya hanya Allah yang berkah disembah dan
mempersekutukannya termasuk suatu aniaya yang besar (zalim).
4) Setelah itu, mengajak anak untuk merasakan pengawasan Allah dan
setiap tindakan pasti akan menerima balasannya tidak peduli walau
hanya sekecil biji sawi.
5) Anak dididik agar memiliki akhlak yang baik lagi mulia, baik dalam
hubungannya dengan Allah, maupun terhadap sesama manusia.
Dengan shalat yang benar hal itu dapat terwujud.
6) Ketika memberi perintah sertakan larangannya, begitu pula
sebaliknya. Perintahkan suatu kebaikan, lalu hindarkan anak pada
keburukan.
28
Tim Penyusun Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Hal. 1538.
Anda sendiri, meskipun Anda mungkin tidak setuju atau menyetujuinya 29.
Toleransi dalam pengertian ini memberi arti kesediaan atau membebaskan
penganut agama lain yang berbeda untuk menjalankan keyakinannya dalam
batas-batas yang masih dapat diterima atau membebaskan mereka
menjalankan keyakinannya, sekalipun tidak menyepakatinya.
Kemudian, menurut Lely Nisvilyah menyatakan bahwa toleransi
bergama memiliki beberapa prinsip, yaitu: 1) tidak ada paksaan dalam
bergama, baik paksaan bersifat halus atau kasar. 2) masyarakat berhak
memilik ataupun memeluk agama yang menurutnya benar dan dipersilahkan
untuk beribadat sesuai dengan keyakinannya. 3) tidak adanya tindakan
pemaksaan dari seseorang agar mengikuti keyakinannya. 4) Tuhan tidak
melarang hidup bermasyarakat dengan yang tidak seagama.
29
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/tolerance. Diakses, tanggal 17 Oktober 2021.
perkara hati yang diterima dengan alasan dan penjelasan yang menguatkan
(bisa meyakinkan)30.
Kemudian, Hasbi memberi bukti tentang bagaimana agama Islam
berkembang. Walaupun banyak peperangan yang dilakukan, akan tetapi
peperangan itu bertujuan untuk membela diri, bukan supaya mereka memeluk
agama Islam. Sebagai akhir penafsiran ayat 256 ini, Hasbi menegaskan
bahwa ayat inilah yang menjadi dasar kemerdekaan beragama. Dalam hal ini
ditandaskan bahwa beragama adalah berdasarkan kepuasan akal dan jiwa.
30
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Jilid 1. Semarang:
Pustaka Rizki Putra. Hal. 451.
DAFTAR PUSTAKA
Indal Abror, “Potret Kronologis Tafsir Indonesia”, Jurnal Esenzia, Vol. 3, No. 2.
M. Zia al-Ayyubi. Dinamika Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (Era Pra-Kolonialisme
hingga Era Kolonialisme). Jurnal Rausyan Fikr. Vol. 16, No. 1. Hal. 13.
Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta:
Bulan Bintang.
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1965. Tafsir Al-Qur’anul Madjied “An-Nur”. Cetakan
ke-2. Jakarta: N.V. Bulan Bintang.
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Jilid 1.
Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Jilid 4.
Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Rithon Igisani. Kajian Tafsir Mufassir di Indonesia. Jurnal Potret. Vol. 22. No. 1.
Siti Fatimah. Al-Furqan Tafsir Al-Qur’an Karya Ahmad Hasan: Sebuah Karya Masa
Pra Kemerdekaan. Jurnal El-Furqania. Vol. 04. No. 01.
Surahman Amin dan Ferry Muhammadsyah Siregar. Telaah atas Karya Tafsir di
Indonesia: Studi atas Tafsir al-Bayan Karya Tm. Hasbi al-Siddiqi. Jurnal
Afkaruna. Vol. 9 No. 1.
Tim Penyusun Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
SUMBER INTERNET
Http://p2k.unhamzah.ac.id/ind/2-3073-2970/Tengku_100925_uhamzah p2k-
unhamzah.html. Diakses 17/10/2021.
Https://tafsiralquran.id/tafsir-al-bayan-pelopor-tafsir-kontemporer-di-indonesia-karya-
hasbi-ash-shiddieqy/. Diakses 26/12/2021.
Kemudian, dalam sejarah khazanah tafsir muncul penafsiran yang terkena bias-
bias kepentingan dan kecenderungan dari mufasir. Sehingga produk tafsir yang lahir
dari mufasir seperti itu dikotori oleh berbagai kepentingan politik, mazhab, aliran, dan
sebagainya yang mencemari tujuan mulia dari tafsir itu sendiri. Baik itu dalam masa
klasik maupun kontemporer proses penafsiran selalu saja dipengaruhi oleh dorongan
nafsu pribadi dan kelompok, bukan pada tujuan sebenarnya sebagaimana yang
dikehendaki dari turunnya Al-Qur’an. Dengan demikian, proses tafsir yang ideal ialah
tafsir yang dilahirkan atas komitmen yang kuat dan murni untuk berupaya menjelaskan
isi kandungan Al-Qur’an yang sejalan dengan tujuan diturunkannya Al-Qur’an.
Wallahu A’lam.