Anda di halaman 1dari 21

REVIEW TAFSIR AL-QUR’ANUL MADJIED “AN-NUR”1

(Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy)

Oleh: Ilmam Naufal


NIM: 21205031024

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara dengan populasi umat Islam terbanyak di dunia.


Untuk itu kehadiran tafsir al-Qur’an sangat dibutuhkan guna memahami dan mengambil
petunjuk yang ada di dalamnya serta menjawab problem kemasyarakatan umat Islam
Indonesia. Demi mencapai tujuan tersebut ulama-ulama Indonesia berusaha
menafsirkan al-Qur’an sesuai pada masanya. Inilah yang disebut dengan istilah tafsir
Indonesia, yakni produk tafsir yang ditulis oleh orang Indonesia dan atau yang dibuat
dengan menggunakan bahasa lokal Indonesia, baik bahasa daerah maupun bahasa
nasional2.

Dalam perkembangan tafsir di Indonesia, telah ada sebelumnya karya tafsir


Indonesia. Seperti, Tafsir Tarjuman al-Mustafid yang ditulis tahun 1675 M dalam
bahasa Melayu karya Abdurrauf al-Sinkili (1615-1693) sebagai tafsir pertama yang
disusun lengkap 30 juz3. Pada tahun 1887 M, lahir Tafsir Munir li Ma’alim al-Tanzil
atau Tafsir Marah Labid tulisan Imam Muhammad Nawawi al-Bantani (1813-1879 M)
ditulis dalam bahasa Arab lengkap 30 juz. Lalu, Tafsir Qur’an oleh Mahmud Yunus
yang mulai ditulis tahun 1922 dan selesai tahun 1938 ditulis dalam bahasa Arab-
Melayu. Sehubungan dengan momen sumpah pemuda yang diucapkan saat kongres
pemuda II pada di Jakarta, 28 Oktober 1928 dan proklamasi kemerdekaan berpengaruh

1
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1965. Tafsir Al-Qur’anul Madjied “An-Nur”. Cetakan ke-2. Jakarta:
N.V. Bulan Bintang.
2
M. Zia al-Ayyubi. Dinamika Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (Era Pra-Kolonialisme hingga Era
Kolonialisme). Jurnal Rausyan Fikr. Vol. 16, No. 1. Hal. 13. Dalam Indal Abror, “Potret Kronologis
Tafsir Indonesia”, Jurnal Esenzia, Vol. 3, No. 2. Hal. 191.
3
M. Zia al-Ayyubi. Dinamika Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (Era Pra-Kolonialisme hingga Era
Kolonialisme). Jurnal Rausyan Fikr. Vol. 16, No. 1. Hal. 13. Dalam Indal Abror, “Potret Kronologis
Tafsir Indonesia”, Jurnal Esenzia, Vol. 3, No. 2. Hal. 191. Lihat juga, Rukiah Abdullah dan Mahfudz
Masduki. Karakteristik Tafsir Nusantara (Studi Metodologis atas Kitab Turjumun al-Mustafid Karya
Syekh Abdurrauf al-Singkili). Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis. Vol. 16, No. 2. Hal. 145.
besar pada kuantitas tafsir pada periode ini dengan memakai bahasa Indonesia sebagai
bahasa pemersatu bangsa4. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya tafsir berbahasa
Indonesia pada rentang tersebut oleh Ahmad Hasan dengan tafsirnya al-Furqan Tafsir
al-Qur’an5. Juz pertama tafsir ini terbit tahun 1928 M. Menjelang tahun 1940 M,
Ahmad Hasan telah menyelesaikan tafsir surah Maryam. Sedangkan, tafsir yang
utuhnya baru berhasil terbit pada tahun 1953 atas bantuan seorang pengusaha, yaitu
Sa’ad Nabhan. Hingga dapat diterbitkan pada tahun 19566.

Selanjutnya, tafsir Indonesia yang ditulis dengan bahasa Indonesia pada tahun
berikutnya ialah Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur” karya T. M. Hasbi ash-Shiddiqiey.
Tafsir An-Nur ini terbit pertama kali pada tahun 1952 7. Sebagai tafsir yang muncul
berikutnya tentu saja tafsir ini menjadi penyempurna dari tafsir-tafsir yang hadir
sebelumnya. Inilah tafsir yang menjadi fokus bahasan kita dalam tulisan ini, Tafsir An-
Nur karya Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddiqiey.

PEMBAHASAN

A. Biografi T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy8


Beliau bernama lengkap Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy.
Seorang ulama asal Aceh, lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904 dan wafat
dalam usia 71 tahun pada 9 Desember 1975 di Jakarta. Keilmuannya meliputi
beberapa bidang keilmuan, beliau ahli dalam ilmu fiqih dan ushul fiqih, tafsir,
hadis, dan ilmu kalam.
Ketinggian ilmu dan martabat Hasbi Ash-Shiddieqy diturunkan dari kedua
orang tuanya yang mana ayahnya merupakan seorang ulama terkenal di
kampungnya dengan gelar Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein
ibn Muhammad Su’ud dan juga memiliki sebuah pesantren. Sementara itu,
ibunya ialah putri seorang Qadhi Kesultanan Aceh, ibunya bernama Teungku
4
M. Zia al-Ayyubi. Dinamika Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (Era Pra-Kolonialisme hingga Era
Kolonialisme). Jurnal Rausyan Fikr. Vol. 16, No. 1. Hal. 20.
5
Siti Fatimah. Al-Furqan Tafsir Al-Qur’an Karya Ahmad Hasan: Sebuah Karya Masa Pra-Kemerdekaan.
Jurnal El-Furqania. Vol. 04. No. 01. Hal. 96.
6
Rithon Igisani. Kajian Tafsir Mufassir di Indonesia. Jurnal Potret. Vol. 22. No. 1. Hal. 17.
7
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Semarang: Pustaka Rizki
Putra. Hal. vii.
8
Ibid. Hal. xvii.
Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz. Di samping itu,
gelar “Ash-Shiddieqy” yang melekat di belakang namanya menunjukkan
hubungan silsilahnya dengan khalifah pertama Abu Bakar Ash-Shiddieq. Hasbi
Ash-Shiddieqy adalah generasi ke-37 dari Abu Bakar Ash-Shiddieq ra.
Dengan demikian, melalui silsilah kedua orang tuanya yang bergelar,
Teungku9, gelar kebangsawanan Melayu, Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan
seorang ulama yang berasal dari lingkungan keluarga kesultanan atau kerajaan
Aceh. Kemudian, kemuliaan silsilahnya didapatkan pula melalui hubungannya
dengan sang khalifah Abu Bakar Ash-Shiddieq ra. sebagai keturunannya
generasi yang ke-37.

Pendidikan

Latar pendidikan Hasbi Ash-Shiddieqy sangat kental dengan lingkungan


pendidikan pesantren. Ayahnya yang merupakan seorang ulama di Aceh, juga
memiliki pesantren dan di sanalah ia memulai pendidikan agamanya.
Selanjutnya, Hasbi Ash-Shiddieqy menghabiskan waktu selama 20 tahun demi
mengunjungi dan belajar di berbagai pesantren dari satu kota ke kota lain.
Kemudian, pengetahuan bahasa Arab diperolehnya dari seorang ulama
berkebangsaan Arab, bernama Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali10.

Pada tahun 1926, ketika usianya memasuki 22 tahun, ia berangkat ke


Surabaya dan melanjutkan pendidikannya di sana di Madrasah al-Irsyad. Pada
mulanya organisasi Al-Irsyad (6 September 1914/15 Syawwal 1332 H) yang
didirikan oleh Syekh Ahmad Surkati (ulama yang berasal dari Sudan dengan
pemikiran modern) dikenal sebagai kelompok pembaharuan/reformasi Islam di
Nusantara. Tiga tahun setelah berdirinya barulah Al-Irsyad membuka sekolah

9
Tengku adalah gelar kebangsawanan Melayu yang otomatis melekat pada seorang laki-laki dan
perempuan keturunan dari Sultan-sultan dan para Raja-Raja di Kerajaan Melayu. Tulisan “Tengku” di
awal nama setiap orang Melayu adalah status yang menandakan letaknya dalam penduduk hukum budaya
Melayu. Lihat, http://p2k.unhamzah.ac.id/ind/2-3073-2970/Tengku_100925_uhamzah_p2k-
unhamzah.html. Diakses, 17 Oktober 2021, pukul 14:45 WIB.
10
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Semarang: Pustaka Rizki
Putra. Hal. xvii.
(madrasah) dan cabang-cabang organisasi di banyak kota di Pulau Jawa. Meski
saat itu juga terdapat organisasi pembaharu Islam lain, seperti Muhammadiyah
dan Persis, namun G. F. Pijper11 berpendapat bahwa yang benar-benar
merupakan gerakan pembaharuan dalam pemikiran dan memiliki persamaan
dengan gerakan reformisme di Mesir adalah Gerakan Pembaharuan Al-Irsyad12.
Masa pendidikannya di Madrasah Al-Irsyad dilaluinya selama 2 tahun dengan
mengambil pelajaran takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan
bahasa. Al-Irsyad dan Ahmad Surkati inilah yang ikut berperan dalam
membentuk pemikirannya yang modern sehingga, setelah kembali ke Aceh,
Hasbi Ash-Shiddieqy langsung bergabung dalam keanggotaan organisasi
Muhammadiyah.13

Karir dan Karya-karya

Pada tahun 1951, Hasbi Ash-Shiddieqy menetap di Yogyakarta dan


mengonsentrasikan diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960, Hasbi Ash-
Shiddieqy diangkat sebagai guru besar dalam bidang ilmu hadis di IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Di tahun dan di kampus yang sama pula, ia diangkat
menjadi dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga (1960-1972). Sebagai
bentuk penghargaan atas kedalaman pengetahuan keislamannya dan pengakuan
ketokohannya sebagai ulama, ia menerima beberapa gelar doktor (honoris causa)
dari Universitas Islam Bandung pada 22 Maret 1975 dan IAIN Sunan Kalijaga
pada 29 Oktober 1975.

Hasbi Ash-Shiddieqy termasuk ulama yang produktif menuliskan ide


pemikiran keislamannya. Tulisannya cukup variatif mencakup berbagai disiplin
ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul 142
jilid. Sebagian besar karyanya memuat tulisan tentang fiqih sebanyak 36 judul.
Bidang-bidang lainnya seperti hadis (8 judul), tafsir (6 judul), tauhid (ilmu
kalam; 5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum.
11
seorang sejarawan Belanda
12
https://www.alirsyad.or.id/tentang-al-irsyad/. Diakses tanggal 18 Oktober 2021, pukul 00:13.
13
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Semarang: Pustaka Rizki
Putra. Hal. xvii.
B. TAFSIR AL-QUR’ANUL MADJIED “AN-NUR”
1. Latar Belakang Penulisan
Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur mulai dikerjakan oleh T. M. Hasbi Ash-
Shiddieqy sejak tahun 1952 hingga tahun 1961 di sela-sela kesibukannya. Dalam
situasi yang sesak itu, sehingga ia tidak memiliki peluang untuk secara konsisten
mengikuti metode penulisan karya ilmiah yang lazim dilalui oleh penulis-penulis
profesional. Namun, dengan semangat yang tinggi ia mengusahakan pengerjaan
Tafsir An-Nur ini demi menghadirkan sebuah kitab tafsir yang ditulis dalam
bahasa Indonesia yang tidak hanya sekadar terjemahan ayat. Cetakan awal tafsir
ini dikerjakan dengan cara mendiktekan naskah kitab tafsirnya kepada seorang
pengetik, anaknya sendiri, dan langsung menjadi naskah siap cetak.
Sepanjang hidupnya, Hasbi telah melahirkan dua buah karya Tafsir. Karya
pertamanya ialah Tafsir An-Nur ini selesai ditulis tahun 1961. Pada beberapa
tahun berikutnya, ia kembali menulis karya tafsir yang diberi nama Tafsir Al-
Bayan. Tafsir yang hanya terdiri dari dua jilid ini selesai ditulis pada tahun 1966.
Tafsir Al-Bayan ditulis sebagai penyempurna sekaligus mukhtasar Tafsir An-
Nur. Selain karena metode penulisan tafsir ini ditulis secara mujmal (global),
Tafsir Al-Bayan ini juga hanya berisikan terjemahan ayat-ayat yang telah
disempurnakan secara lebih mendalam dan menyeluruh14.
Motivasi penulisan tafsir ini ialah dorongan T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy
untuk menghadirkan kitab tafsir berbahasa Indonesia. Dengan keyakinan bahwa
Al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan sebagai pedoman kehidupan, dustur
tasyri’ (undang-undang dasar bagi perundang-undangan) dan sumber peradaban
yang tinggi. Juga menyinggung sedikit pertanyaan Muhammad Basyuni Imran,
menurut Hasbi sebab kemunduran dan lemahnya umat Islam ialah karena
jauhnya mereka dari Al-Qur’an. Oleh karena itu, dibutuhkan tafsir Al-Qur’an
dalam bahasa persatuan Indonesia yang menjelaskan kandungan ayat-ayatnya

14
Surahman Amin dan Ferry Muhammadsyah Siregar. Telaah atas Karya Tafsir di Indonesia: Studi atas
Tafsir al-Bayan Karya Tm. Hasbi al-Siddiqi. Jurnal: Afkaruna. Vol.9 No.1 Januari - Juni 2013. Hal. 41-
42. Lihat juga, https://tafsiralquran.id/tafsir-al-bayan-pelopor-tafsir-kontemporer-di-indonesia-karya-
hasbi-ash-shiddieqy/. Diakses 26/12/2021.
dan masyarakat yang tidak mengetahui bahasa Arab juga dapat memahami Al-
Qur’an dengan pemahaman yang benar.
Tafsir yang dimaksudkan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy untuk dihadirkan ialah
tafsir yang sederhana yang menuntun para pembacanya memahamai ayat-ayat
Al-Qur’an dengan penafsiran dari ayat-ayat Al-Qur’an sendiri (tafsir qur’an bil
qur’an). Lalu, dilengkapi pula dengan penafsiran-penafsiran yang diterima oleh
akal berdasarkan pentahkikan ilmu dan pengalaman. Memahami isyarat-isyarat
ilmu pengetahuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan menyajikan sari pati
pendapat ahli-ahli dalam berbagai cabang pengetahuan. Dengan mengharap
taufik dan inayah Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kemudian,
kitab tafsir ini ditulis dengan berpedoman kepada kitab-kitab tafsir yang
mu’tabar, kitab-kitab hadis yang mu’tamad, dan kitab-kitab sirah yang terkenal,
dengan yang demikian itulah Hasbi Ash-Shiddieqy menyusun tafsir ini yang
dinamainya “An-Nur” (Cahaya)15.
2. Sistematika Tafsir An-Nur
Sebelum memasuki inti dari pembahasan Tafsir An-Nur, yakni tafsir surah
Al-Fatihah, maka terlebih dahulu ia mengemukakan pembahasan mengenai
ta’awwudz. Hal ini meliputi tempat membacanya, cara membacanya dan lafal-
lafalnya. Kemudian, menguraikan kandungan surah secara umum. Setelah itu,
disebutkan ayat beserta terjemahannya. Pada bagian penafsiran diberi judul
“Tafsir” yang menerangkan penafsiran ayat yang telah disebutkan di atas. Pada
akhir pembahasan diberi rangkuman atas penafsiran ayat yang dibahas yang
diberi judul “Kesimpulan”.
Selanjutnya, Hasbi dalam menyusun Tafsir An-Nur menggunakan sistem
sebagai berikut16:
Pertama, menyebutkan satu, dua, tiga atau lebih ayat-ayat Al-Qur’an yang
akan ditafsirkan yang berkaitan menurut tertib mushaf. Model semacam ini
Hasbi mengikuti sistem yang digunakan dalam Tafsir Al-Maraghi, terkadang
juga ia mengikuti Tafsir Al-Wadhih. Kemudian, ayat-ayat tersebut dibaginya
15
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Semarang: Pustaka Rizki
Putra. Hal. xi-xii.
16
Ibid. Hal. xii.
dalam beberapa jumlah. Masing-masing jumlah ditafsirkan sendiri-sendiri. Nah,
pembagian seperti ini digunakan Hasbi mengikuti Tafsir Al-Maraghi juga 17.
Contoh: Ketika menafsirkan awal surah Al-Baqarah ia menyebutkan ayat 1 dan
2 secara bersamaan karena keduanya masih dalam satu pokok pembicaraan. Lalu
keduanya ditafsirkan sendiri-sendiri. Atau seperti surah Al-Fatihah yang
disebutkan semua ke-7 ayatnya, lalu ditafsirkan sendiri-sendiri.
Kedua, menerjemahkan makna ayat ke dalam bahasa Indonesia dengan cara
yang mudah dipahami dengan memperhatikan makna-makna yang dikehendaki
masing-masing lafal. Dalam hal menerjemahkan ayat ke dalam bahasa
Indonesia, Hasbi berpedoman pada tiga tafsir yakni, Tafsir Abu Su’ud, Tafsir
Shiddieqi Khan dan Tafsir Al-Qasimi.18
Ketiga, menafsirkan ayat-ayat itu dengan menunjuk kepada sari patinya atau
pokok pentingnya. Hasbi menafsirkan ayat-ayat dengan mengambil inti sari dari
tafsir yang menjadi sandarannya, sebagaimana terdapat dalam daftar bacaannya.
Dari sekian banyak kitab tafsir itu, ada pula yang dipilihnya sebagai kitab tafsir
induk, yaitu ‘Umdat At-Tafsir ‘an Al-Hafizh ibn Katsir, Tafsir Al-Manar, Tafsir
Al-Qasimi (Tafsir Mahasinut Ta’wil), Tafsir Al-Maraghi dan Tafsir Al-Wadhih.
Namun, seperti pernyataannya sendiri, dalam menafsirkan Al-Qur’an ia
kebanyakan mengambil dari Tafsir Al-Maraghi yang merupakan ikhtisar dari
uraian Tafsir Al-Manar19.
Keempat, menerangkan ayat-ayat yang terdapat di surat lain atau tempat
yang dijadikan penafsiran bagi ayat yang sedang ditafsirkan atau yang semakna
atau yang berbicara tentang tema yang sama (se-maudhu’), supaya pembaca
mudah mengumpulkan ayat-ayat yang semakna itu dan ayat-ayat yang
terkumpul itu menafsirkan ayat-ayat yang lain. Dalam masalah ini, Hasbi
merujuk kepada Tafsir ibn Katsir yang mana telah diketahui bahwa tafsir ibn
Katsir ialah tafsir yang menafsirkan ayat dengan ayat-ayat pula (tafsir Al-Qur’an
bi Al-Qur’an/Al-Qur’an yuafassiru ba’dhuhum ba’dhan)20.
17
Ibid. Hal. xv.
18
Ibid. Hal. xv.
19
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Semarang: Pustaka Rizki
Putra. Hal. xv.
20
Ibid. Hal. xv.
Kelima, menerangkan asbabun nuzul (sebab-sebab turun) ayat, jika
diperoleh riwayat atau atsar yang shahih yang diakui keshahihannya oleh para
ahli hadis.
Meskipun Tafir An-Nur ini menurut pengakuannya merupakan inti sari atau
kumpulan dari berbagai kitab tafsir lainnya. Namun, dalam beberapa tempat atau
ayat, Hasbi juga mengambil bagiannya sendiri terhadap penafsiran dengan
menguatkan makna yang dipandangnya kuat dan mengemukakan pendapatnya
atau penafsirannya atas suatu ayat menurut yang ia pahami. Artinya, Hasbi tidak
hanya sekadar menyadur atau memasukkan penafsiran-penafsiran dari kitab
tafsir rujukannya, di dalam tafsirnya ini ia juga mengemukakan pendapatnya
sendiri dan menilai mana penafsiran yang dipandangnya kuat.

3. Metode dan Corak Tafsir


Metode yang digunakan dalam menyusun Tafsir An-Nur ialah metode tafsir
yang memadukan antara tafsir bil riwayah dan bil dirayah atau bil ra’yi dengan
bil ma’tsur. Hal ini juga telah disebutkannya bahwa dalam menyusun tafsir ini ia
berpedoman pada dua model kitab tafsir induk, baik itu kitab tafsir bil ma’tsur
maupun kitab tafsir bil ra’yi.
Sementara itu, untuk corak tafsir An-Nur sendiri ialah bercorak umum, yang
artinya tidak mengacu atau condong pada corak atau aliran tertentu. Dalam
Tafsir An-Nur ini tidak ditemukan corak yang dominan yang menjadi ciri khusus
bagi tafsir ini. Menurut Rithon Igisani, menariknya, sekalipun Hasbi dikenal
sebagai seorang faqih yang telah banyak menulis buku-buku yang membahas
tentang fiqih, namun justru jika kita mencermati tafsir ini, maka sangat sulit
untuk mendapati pengaruh fiqih di dalamnya21.

4. Referensi/Daftar Bacaan Penulisan Tafsir An-Nur22

21
Rithon Igisani. Kajian Tafsir Mufassir di Indonesia. Jurnal Potret. Vol. 22. No. 1. Hal. 18.
22
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1965. Tafsir Al-Qur’anul Madjied “An-Nur”. Cetakan ke-2. Jakarta:
N.V. Bulan Bintang. Hal. 11-12.
Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan sekian banyak bahan bacaan yang
digunakannya dalam menyusun tafsir An-Nur-nya. Seperti, tulisan karya-karya
tafsir para ulama sebelum dirinya, kitab-kitab syarah Hadis, kitab kamus dan
beberapa kitab lain. Berikut ini penulis sebutkan daftar bacaannya:

a. Tafsir Al-Qur’an
1) Al-Ustadz Ahmad Mushthafa al-Maraghi dengan Tafsir al-Maraghi.
2) Al-Ustadz Muhammad Abu Zaid dengan karyanya Tafsir al-Hidayah
wa al-‘Irfan.
3) Al-Ustadz Muhammad ‘Abdul Lathif dengan Tafsir Audhahut
Tafasir.
4) Al-‘Allamah as-Sayid Muhammad Rasyid Ridha dengan Tafsir al-
Manar.
5) Al-Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (310 H)
dengan Tafsir Jami’ul Bayan.
6) Al-Imam al-Husain ibn Mas’ud al-Baghawi dengan Tafsir Mu’alimut
Tanzil.
7) Al-Hafizh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il ibn Katsir al-Quraisy al-
Dimasyqi (774 H) dengan Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim.
8) Al-Imam asy-Syaukani dengan Tafsir Fathul Qadir.
9) Al-‘Allamah al-Alusi dengan Tafsir Ruhul Ma’ani.
10) Abul Qasim Jarullah al-Zamakhsyari (467-528 H) dengan Tafsir al-
Kasysyaf.
11) Syarafuddin al-Hasan ibn Muhammad ath-Thibi (713 H) dengan
karyanya Hasyiyah Tafsir al-Zamakhsyari.
12) Al-Qadhi Nashiruddin ‘Abdullah ibn ‘Umar al-Baidhawi (692 H)
dengan Tafsir Anwarul Tanzil.
13) Al-Muhaqqiq Abu Muslim al-Ashfahani (322 H/359 H) dengan
Tafsir Jami’ut Ta’wil23.

23
Abu Muslim ini merupakan salah seorang tokoh Mu’tazilah yang pertama-tama menyusun tafsir al-
Qur’an secara lengkap dengan aliran tafsir bi ar-ra’yi atau atas dasar riwayat yang benar dan kaidah-
kaidah yang kuat sesuai kehendak bahasa. Lihat, Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang. Hal . 231.
14) Al-‘Allamah Burhanuddin Ibrahim ibn ‘Umar al-Biqa’i (885 H)
dengan Tafsir Nazhmuddurar.
15) Al-Ustadz Jamaluddin al-Qasimi dengan Tafsir Mahasinut Ta’wil.
16) Al-Imam asy-Syafi’i dengan Tafsir Ahkamul Qur’an.
17) Al-‘Allamah Abu Bakar al-Jashshash dengan Tafsir Ahkamul
Qur’an.
18) Al-‘Allamah Ibnul Arabi dengan Tafsir Ahkamul Qur’an.
19) Al-‘Allamah al-Qurthubi dengan Tafsir al-Jami’ li Ahkamil Qur’an.
20) Al-‘Allamah Nizhamuddin al-Hasan ibn Muhammad al-Qummi
dengan karyanya Ghaaribul Qur’an.
21) Al-Imam al-Raghib al-Ashfahani dengan karyanya al-Mufradat.
22) Al-Imam as-Suyuthi dengan karyanya al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an.
23) Al-‘Allamah Faidullaha Bey al-Hasani al-Maqdisi dengan karyanya
Fathul Rahman li Thalibi Ajatil Qur’an.

Bacaan Hasbi Ash-Shiddieqy didominasi oleh kitab-kitab tafsir dan


ada juga kitab ulumul Qur’an sebagai tambahan, seperti kitab al-Itqan
oleh as-Suyuthi. Melalui daftar bacaan di atas tampak keragaman karya
tafsir yang dibaca oleh Hasbi Ash-Shiddieqy baik dari segi corak, seperti
lughawi dan hukum, dan juga dari segi masanya. Tafsir abad klasik
Jami’ul Bayan milik ath-Thabari dan Ahkamul Qur’an oleh asy-Syafi’i.
Abad tengah diisi oleh ibnu Katsir dengan Al-Qur’anul ‘Azhim-nya dan
Tafsir Ruhul Ma’ani oleh al-Alusi. Hingga modern, seperti Tafsir al-
Manar oleh Rasyid Ridha dan Tafsir al-Maraghi oleh Ahmad Mushthafa
al-Maraghi.

b. Syarah Sunnah Nabawiyah


24) Al-Hafizh ibn Hajar al-Asqalani, yakni kitab Fathul Bari, syarah
Shahih Bukhari.
25) Al-Imam al’Aini kitabnya ‘Umdatul Qari, syarah Shahih Bukhari.
26) Al-Imam an-Nawawi dengan kitabnya Minhajul Muhadditsin, syarah
Shahih Muslim.
27) Al-Imam al-Dhija’ al-Maqdisi dengan kitabnya al-Ahaditsul
Mukhtarah.
28) Al-Imam as-Suyuthi dengan kitab al-Jami’ah ash-Shaghir.
29) Dr. Wensinck dengan kitabnya Miftah Kunuzis Sunnah.
c. Kitab-Kitab Kamus
30) Ibn Mandzur al-Ifriqi (711 H) dengan kitab Lisanul ‘Arab.
31) As-Sayid Murtadha al-Zabidi dengan kitab Tajul ‘Arus Syarah al-
Qamus.
32) Az-Zamakhsyari dengan kitab Asasul Balaghah.
33) Al-Fajumi dengan kitab al-Mishbahul Munir.
d. Beberapa Kitab Lain
34) Al-‘Allamah ibnul Qaiyim al-Jauziyah dengan kitabnya I’lamul
Muwaqqi’in.
35) Ibnu Hisyam dengan karyanya as-Sirah an-Nabawiyah.
36) Ibnu Khaldun dengan karyanya Muqaddimah al-Mubtada’ wa al-
Khabar.
37) Ibnu Hajar al-Haitami dengan karyanya az-Zawajir.
38) Ibnu as-Subki dengan karyanya Thabaqatu asy-Syafi’iyah.
39) Abul Baqa’ al-Ukbari dengan karyanya al-Kulliyat.
40) Al-‘Allamah Muhammad Ali at-Tahanawi dengan kitabnya Kasysyaf
Ishthilahatil Funun.

C. Perbedaan Tafsir An-Nur dengan Tafsir Al-Bayan

D. Tema Kajian dalam Tafsir An-Nur


1. Kisah dalam Al-Qur’an
Belajar Parenting bersama Luqman Hamba Allah yang Bijaksana
Kisah Luqman bersama anaknya disebutkan di dalam Al-Qur’an surah
Luqman ayat 12-19.
Hasbi menerangkan, bahwasanya Luqman bukanlah seorang nabi,
melainkan seorang hakim (orang bijak). Dengan pengertian ini, nasihat yang
disampaikan Luqman kepada anaknya merupakan ajaran-ajaran hikmah.
Dalam kisah antara Luqman dan anaknya ini terdapat beberapa pelajaran
dalam pengasuhan anak yang mana ini hendaknya dijadikan prinsip bagi
setiap orang tua muslim dalam mendidik anak-anaknya. Pengajaran yang
diambil dari Al-Qur’an, melalui kisah seorang hamba Allah yang bijaksana
bernama Luqman.
Pertama, ayat ke-13, “Ketika Luqman berkata kepada anaknya sewaktu
memberikan pelajaran: “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
sesuatu dengan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah itu benar-
benar suatu aniaya yang besar.”
Hal yang pertama ditanamkan dan diajarkan Luqman kepada anaknya
ialah “menyuruh anaknya untuk menyembah Allah semata, melarang
mempersekutukan Allah, serta menjelaskan bahwa, sesungguhkan syirik
adalah suatu aniaya besar”. Kemudian, Hasbi melanjutkan, “Inilah
kedudukan (fungsi ayah), yaitu memberi pelajaran kepada anak-anaknya
dan menunjuki mereka kepada kebenaran dan menjauhkan mereka dari
kebinasaan”24. Nasihat Luqman untuk anaknya itu, lalu dilanjutkan dengan
wasiat Allah kepada manusia supaya berbakti kepada kedua orang tua, pada
dua ayat berikutnya ayat 14-15.
Kedua, ayat ke-16, “Wahai anakku, sesungguhnya kesalahan itu,
walaupun seberat biji sawi (sangat ringan), terletak di dalam sebuah batu
atau terletak di langit atau terletak di dalam bumi, pastilah Allah
mendatangkannya. Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut lagi Maha
Mengetahui”.
Setelah Luqman mengenalkan kepada anaknya tentang tauhid,
selanjutnya ia menanamkan kepada anaknya agar merasakan kehadiran
pengawasan Allah (ihsan) dalam setiap tindakan dan di mana pun ia berada,
mau itu yang baik maupun buruk dan tidak pula meremehkan sekecil apa
pun perbuatan itu. Tafsirnya, “Segala macam perbuatan, baik ataupun

24
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Jilid 4. Semarang:
Pustaka Rizki Putra. Hal. 3207.
buruk, walaupun hanya seberat biji sawi, terletak di suatu tempat yang
sangat tersembunyi, misalnya, atau di tengah-tengah batu, di tempat yang
paling tinggi, di langir atau di tempat yang paling bawah seperti di dalam
perut bumi, atau bertempat di sudut dunia mana pun, Allah pasti
menghadirkannya pada hari kiamat, yaitu ketika Allah menegakkan
timbangan amal yang dilakukan dengan adil. Pada hari itu, Allah
memberikan pembalasan sesuai dengan nilai perbuatan. Allah itu Maha
Lembut, ilmunya tembus kepada semua hal yang tersembunyi. Allah
mengetahui semua permasalahan yang nyata (terlihat) dan yang
tersembunyi”25.

Ketiga, ayat ke-17, “Wahai anakku, dirikanlah sembahyang, suruhlah


yang makruf dan cegahlah yang munkar, serta bersabarlah terhadap
bencana yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar
seteguh-teguh pekerjaan.
Setelah mengajarkan kepada anak tentang tauhid dan ihsan, selanjutnya
Luqman menyuruh anaknya agar mendirikan shalat. Dengan shalat yang
benar akan mencegah sang anak dari melakukan perbuatan keji dan munkar.
“Tunaikanlah sembahyang dengan cara yang bisa mendapatkan ridha
Allah. Sembahyang yang diridhai oleh Allah akan mampu mencegah kita
melakukan perbuatan keji dan munkar”26.
Kemudian, dengan shalat dan sukses dalam mengerjakan shalat tersebut,
barulah disuruh anaknya untuk mengajak orang lain berbuat kebaikan dan
mencegah perbuatan munkar serta bersabar jika ditimpa musibah dalam
usahanya tersebut.
Keempat, ayat ke-18 dan 19, “Janganlah kamu memalingkan muka dari
manusia dan janganlah kamu berjalan dengan angkuh dan sombong di
muka bumi; sesungguhnya Allah tidak menyunkai orang-orang yang
angkuh lagi bermegah-megahan. Berlakulah sederhana dalam
25
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Jilid 4. Semarang:
Pustaka Rizki Putra. Hal. 3210.
26
Ibid. Hal. 3210.
perjalananmu dan rendahkanlah suaramu; sesungguhnya seburuk-buruk
suara adalah suara keledai.”
Terakhir, setelah Luqman memerintahkan kepada anaknya beberapa hal,
maka dia melarang anaknya melakukan beberapa hal pula, yaitu:
“Janganlah kamu memalingkan mukamu atau menoleh ke arah lain
dari orang yang sedang berbicara denganmu atau sebaliknya akibat
kesombonganmu. Tetapi, hadapkanlah mukamu kepada lawan
bicaramu dengan wajah yang jernih. Allah tidak menyukai orang-
orang yang bermegah-megahan terhadap manusia, baik dengan harta
mereka, kemuliaan mereka ataupun dengan kekuatan mereka. Karena
itu, Allah mencegah kita berlaku sombong. Berlakulah sederhana
dalam perjalananmu. Janganlah terlalu tergesa-gesa, sebagaimana
halnya, janganlah kamu terlalu lamban. Rendahkanlah (pelankanlah)
suaramu. Janganlah kamu mengeraskan suaramu jika tidak perlu,
karena bersuara lemah (agak pelan, tidak berisik) lebih
menyenangkan orang yang mendengar. Sekeji-keji dan seburuk-buruk
suara adalah meninggikannya atau mengeraskannya melebihi kadar
yang diperlukan. Demikianlah perilaku keledai. Allah menyerupakan
suara yang keras tanpa diperlukan dengan suara keledai”27.

Pertama, Luqman melarang anaknya berlaku sombong dan angkuh di


hadapan manusia dan angkuh ketika berjalan di atas bumi Allah. Akan
tetapi, hendaknya menghadapkan wajah kepada lawan bicara dengan wajah
yang jernih dan berjalanlah dengan sederhana, tidak terlalu cepat dan tidak
pula terlalu lambat.
Kedua, larangan meninggikan suara saat berbicara. Namun, hendaknya
berbicara sesuai kadar yang diperlukan, agar pelan dan tidak berisik,
sehingga menyenangkan orang yang mendengarnya.

27
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Jilid 4. Semarang:
Pustaka Rizki Putra. Hal. 3211.
Beberapa pelajaran yang dapat kita ambil tentang pengasuhan anak dari
kisah di atas adalah:
1) Orang tua merupakan sosok figur utama bagi seorang anak. Karena
itu, hendaknya orang tua mengemas dirinya menjadi panutan bagi
anaknya.
2) Dalam menyampaikan nasihat kepada anak hendak disampaikan
dengan cara yang membuat anak merasa dekat kepada orang tua.
Sebagaimana Luqman memanggil anaknya dengan panggilan kasih
sayang yaa bunayya/duhai anakku.
3) Mengajarkan kepada anak tentang tauhid, yakni mengetahui dan
meyakini bahwasanya hanya Allah yang berkah disembah dan
mempersekutukannya termasuk suatu aniaya yang besar (zalim).
4) Setelah itu, mengajak anak untuk merasakan pengawasan Allah dan
setiap tindakan pasti akan menerima balasannya tidak peduli walau
hanya sekecil biji sawi.
5) Anak dididik agar memiliki akhlak yang baik lagi mulia, baik dalam
hubungannya dengan Allah, maupun terhadap sesama manusia.
Dengan shalat yang benar hal itu dapat terwujud.
6) Ketika memberi perintah sertakan larangannya, begitu pula
sebaliknya. Perintahkan suatu kebaikan, lalu hindarkan anak pada
keburukan.

2. Toleransi dalam Al-Qur’an


Dalam Kamus Bahasa Indonesia, toleransi diartikan sebagai; 1) sifat atau
sikap toleran; 2) batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih
diperbolehkan; 3) penyimpangan yang masih dapat diterima dalam
pengukuran kerja28. Sejalan dengan itu, dalam Cambridge Dictionary kata
tolerance diartikan dengan willingness to accept behaviour and beliefs that
are different from your own, although you might not agree with or approve of
them/kesediaan untuk menerima perilaku dan keyakinan yang berbeda dari

28
Tim Penyusun Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Hal. 1538.
Anda sendiri, meskipun Anda mungkin tidak setuju atau menyetujuinya 29.
Toleransi dalam pengertian ini memberi arti kesediaan atau membebaskan
penganut agama lain yang berbeda untuk menjalankan keyakinannya dalam
batas-batas yang masih dapat diterima atau membebaskan mereka
menjalankan keyakinannya, sekalipun tidak menyepakatinya.
Kemudian, menurut Lely Nisvilyah menyatakan bahwa toleransi
bergama memiliki beberapa prinsip, yaitu: 1) tidak ada paksaan dalam
bergama, baik paksaan bersifat halus atau kasar. 2) masyarakat berhak
memilik ataupun memeluk agama yang menurutnya benar dan dipersilahkan
untuk beribadat sesuai dengan keyakinannya. 3) tidak adanya tindakan
pemaksaan dari seseorang agar mengikuti keyakinannya. 4) Tuhan tidak
melarang hidup bermasyarakat dengan yang tidak seagama.

Ayat toleransi dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 256:


‫ ِد‬NNَ‫ْؤ ِم ۢ ْن بِاهّٰلل ِ فَق‬NNُ‫ت َوي‬
ِ ْ‫رْ بِالطَّا ُغو‬NNُ‫ ُد ِمنَ ْال َغ ِّي ۚ فَ َم ْن يَّ ْكف‬NN‫ ْد تَّبَيَّنَ الرُّ ْش‬NNَ‫ ِّدي ۗ ِْن ق‬NN‫راهَ فِى ال‬NN
َ ‫ٓاَل اِ ْك‬
)256 :2/‫ ( البقرة‬٢٥٦ ‫صا َم لَهَا َۗوهّٰللا ُ َس ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم‬ َ ِ‫ا ْستَ ْم َسكَ بِ ْالعُرْ َو ِة ْال ُو ْث ٰقى اَل ا ْنف‬
Terjemah Kemenag 2002
256. “Tidak ada paksaan untuk masuk agama. Telah nyata tentang
petunjuk dan kebajikan dari kesesatan. Barangsiapa tidak percaya kepada
thagut dan beriman kepada Allah, maka dia telah berpegang kepada tempat
pegangan yang sangat kuat, yang tidak akan putus. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah/2:256)

Hasbi Ash-Shiddieqy menerangkan tentang prinsip dalam memeluk


agama yang dikandung oleh ayat di atas, yakni tidak boleh adanya paksaan
dan tindakan kekerasaan agar seseorang itu masuk ke dalam agama. Sebab,
iman itu tunduk dan patuh. Iman juga perkara hati yang tidak ada seorang pun
yang menguasai hati manusia. Oleh karena itu, segala tindakan paksaan dan
tekanan dalam memeluk agama tidak dapat dibenarkan karena iman itu

29
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/tolerance. Diakses, tanggal 17 Oktober 2021.
perkara hati yang diterima dengan alasan dan penjelasan yang menguatkan
(bisa meyakinkan)30.
Kemudian, Hasbi memberi bukti tentang bagaimana agama Islam
berkembang. Walaupun banyak peperangan yang dilakukan, akan tetapi
peperangan itu bertujuan untuk membela diri, bukan supaya mereka memeluk
agama Islam. Sebagai akhir penafsiran ayat 256 ini, Hasbi menegaskan
bahwa ayat inilah yang menjadi dasar kemerdekaan beragama. Dalam hal ini
ditandaskan bahwa beragama adalah berdasarkan kepuasan akal dan jiwa.

30
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Jilid 1. Semarang:
Pustaka Rizki Putra. Hal. 451.
DAFTAR PUSTAKA

SUMBER BUKU DAN ARTIKEL

Indal Abror, “Potret Kronologis Tafsir Indonesia”, Jurnal Esenzia, Vol. 3, No. 2.
M. Zia al-Ayyubi. Dinamika Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (Era Pra-Kolonialisme
hingga Era Kolonialisme). Jurnal Rausyan Fikr. Vol. 16, No. 1. Hal. 13.
Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta:
Bulan Bintang.
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1965. Tafsir Al-Qur’anul Madjied “An-Nur”. Cetakan
ke-2. Jakarta: N.V. Bulan Bintang.
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Jilid 1.
Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid “An-Nur”. Jilid 4.
Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Rithon Igisani. Kajian Tafsir Mufassir di Indonesia. Jurnal Potret. Vol. 22. No. 1.
Siti Fatimah. Al-Furqan Tafsir Al-Qur’an Karya Ahmad Hasan: Sebuah Karya Masa
Pra Kemerdekaan. Jurnal El-Furqania. Vol. 04. No. 01.

Surahman Amin dan Ferry Muhammadsyah Siregar. Telaah atas Karya Tafsir di
Indonesia: Studi atas Tafsir al-Bayan Karya Tm. Hasbi al-Siddiqi. Jurnal
Afkaruna. Vol. 9 No. 1.
Tim Penyusun Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

SUMBER INTERNET

Http://p2k.unhamzah.ac.id/ind/2-3073-2970/Tengku_100925_uhamzah p2k-
unhamzah.html. Diakses 17/10/2021.

Https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/tolerance. Diakses 17/10/2021.

Https://www.alirsyad.or.id/tentang-al-irsyad/. Diakses 18/10/2021.

Https://tafsiralquran.id/tafsir-al-bayan-pelopor-tafsir-kontemporer-di-indonesia-karya-
hasbi-ash-shiddieqy/. Diakses 26/12/2021.

OPINI TAFSIR IDEAL

Tafsir hadir sebagai penjelas kandungan Al-Qur’an. Kedudukannya sangat


sentral dalam kehidupan. Membawa misi Al-Qur’an yang berfungsi sebagai hudan
linnas. Maka tafsir mestinya dihidangkan dengan membawa misi tersebut yakni, yang
mampu menyingkap jalan keluar atas beragam kesulitan dan masalah keberagamaan
serta kehidupan manusia baik dalam sosial masyarakat, individu pribadi hingga
jalinannya bersama Sang Pencipta.
Menemukan tafsir ideal, menurut penulis, maka berbicara tentang tafsir sebagai
sebuah proses dengan tafsir sebagai sebuah produk penafsiran. Menciptakan produk
penafsiran yang ideal tentu melalui serangkaian proses penafsiran tertentu dengan
berbagai metode, teori dan pendekatan yang dianggap layak dan mampu dalam
menggali kedalaman makna Al-Qur’an. Penafsiran yang ideal lahir dari proses
penafsiran yang ideal pula. Tujuan tafsir sederhana saja yakni, memberikan penjelasan
terhadap kandungan Al-Qur’an. Namun, untuk menjelasannya diperlukan serangkaian
alat atau metode, teori dan pendekatan guna menyingkap kandungannya.

Pada masa Nabi Muhammad SAW proses penafsiran tidak memerlukan


penggunaan metode yang rumit, karena beliau sendirilah pemilik otoritas dalam hal
tersebut. Setelah beliau wafat, para sahabat mulai menggali bagaimana penafsiran Al-
Qur’an ini tetap berlanjut setelah sepeninggal beliau dengan tetap menjaga
kemurniannya. Maka para sahabat dan muridnya, tabi’in serta tabi’tabi’in
mengupayakan penafsiran Al-Qur’an dengan riwayat-riwayat hadis dari Rasulullah dan
para sahabat yang berkompeten dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Selain dengan riwayat,
mereka para sahabat dan tabi’n serta tabi’ tabi’in yang kompeten lalu menafsirkan Al-
Qur’an menurut ijtihadnya atau pendapatnya yang ini juga tidak keluar jalur dari Al-
Qur’an dan sunnah Nabi.

Kemudian, dalam sejarah khazanah tafsir muncul penafsiran yang terkena bias-
bias kepentingan dan kecenderungan dari mufasir. Sehingga produk tafsir yang lahir
dari mufasir seperti itu dikotori oleh berbagai kepentingan politik, mazhab, aliran, dan
sebagainya yang mencemari tujuan mulia dari tafsir itu sendiri. Baik itu dalam masa
klasik maupun kontemporer proses penafsiran selalu saja dipengaruhi oleh dorongan
nafsu pribadi dan kelompok, bukan pada tujuan sebenarnya sebagaimana yang
dikehendaki dari turunnya Al-Qur’an. Dengan demikian, proses tafsir yang ideal ialah
tafsir yang dilahirkan atas komitmen yang kuat dan murni untuk berupaya menjelaskan
isi kandungan Al-Qur’an yang sejalan dengan tujuan diturunkannya Al-Qur’an.

Penggunaan berbagai keilmuan modern saat ini dalam penafsiran, menurut


penulis, selama seorang penafsir terus menjaga komitmen tersebut, maka penafsiran
yang akan dihasilkan juga tidak akan menyimpang dari ajaran-ajaran pokok agama.
Terlebih dengan adanya Islamisasi keilmuan dan integrasi-interkoneksi keilmuan tentu
ajaran-ajaran pokok agama akan tetap terjaga.

Terakhir, disamping mengurangi sebisa mungkin bias subjektivitas penafsir


seperti disebutkan di atas, perlu juga untuk mengintegrasi-interkoneksikan baik itu
metode, teori serta pendekatan klasik dan kontemporer. Pemikiran ulama klasik
berperan dalam menjaga keotentikan ajaran-ajaran pokok agama. Sedangkan, ulama
kontemporer pada penemuan-penemuan terbaru dalam menggali kandungan Al-Qur’an.
Hubungan yang terjalin semestinya ialah jalinan kerjasama dan interaksi (integrasi-
interkoneksi) antar berbagai pemikiran yang berkembang sepanjang perjalanan tafsir
Al-Qur’an dengan menjunjung satu tujuan yakni, menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an
yang sesuai dengan tujuan diturunkannya Al-Qur’an.

Wallahu A’lam.

Anda mungkin juga menyukai