Anda di halaman 1dari 4

Mengapa Tafsir di Indonesia Harus Dikaji?

Aziz Bashor Pratama

Indonesia merupakan penduduk yang mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Salah satu
faktor pembentukan sosio-religusnya tidak terlepas dari dialektika al-Qur’an. Sebab al-
Qur’an menjadi pedoman dan inspirasi untuk menciptakan reformasi dalam lapisan
kehidupan. Dialektika yang terjadi memunculkan beragam alternatif metodologis untuk
memahami al-Qur’an. Pernyataan inilah kemudian membentuk ragam pemikiran dan corak
penafsiran al-Qur’an yang berkembang di Indonesia khususnya.
Seperti, Tafsir Surah al-Kahfi (1607-1636 M), dengan coraknya Sufistik. Diduga
penulisnya adalah seorang Mufti dari Sumatra yaitu Hamzah Fansuri,1 Tafsir Tarjuman
Mustafid karya Abdurrauf Sinkili (1615-1693 M) sebagai tafsir pertama di Indonesia ditulis
lengkap 30 juz, dengan coraknya sufistik.2 Kemudian, Kitab Faraid Al-Qur’an muncul pada
awal abad 19 dengan bahasa Melayu-Jawi, yang membahas tentang hak harta warisan, Tafsir
Munir li Ma’alim al Tanzil karya Syekh Nawawi al Bantani (1813-1879 M), dengan bahasa
Arab dengan coraknya sufistiknya,3 Tafsir Faidur Rahman (1892 M) ditulis oleh Kiai Sholeh
Darat dengan aksara pegon. Corak penafsirannya dominan pada sufistik dan fiqih. Tafsir
Qur’anul Karim (1922-1938 M), karya Mahmud Yunus dengan bahasa Indonesia dan
membahas lebih condong pada problem sosial. Tafsir al-Misbah (1999-2000 M) karya
Quraish Shihab yang banyak mengangkat isu kontemporer, dan lain sebagainya.
Berbicara tentang dialektika al-Qur’an di Indonesia, maka tidak terlepas dari pemikiran
intelektual muslim di Indonesia yang terus berkembang. Dalam skala besar terbagi menjadi 5
genre yakni tradisionalisme, sosialisme-demokrat, universalisme, modernisme, dan neo-
modernisme.4 Pengklasifikasian tersebut terbentuk secara terperinci, namun secara substansi
memiliki kemiripan. Perbedaan lebih terlihat dalam 2 aliran, pertama, tradisionalisme yang
menggabungkan ajaran Islam dengan kearifan lokal, seperti pada Tafsir Raudatul Irfan. 5
Tafsir tersebut lahir dari kajian rutin yang diajarkan K.H. Ahmad Sanusi kepada masyarakat

1
Islah Gusmian, “Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi” (Jakarta: Teraju,
2003), h. 53-54.
2
M. Zia Al-Ayyubi, “Dinamika Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia,” Rausyan Fikr: Jurnal Studi Ilmu
Ushuluddin dan Filsafat 16, no. 1 (2020): 1–28.
3
Khaerul Asraf, “Konsepsi Tasawuf Dalam Tafsir Al Munir Li Ma’ani Al Tanzil Karya Syekh
Muhammad Nawawi Al Jawi” (UIN Alauiddin Makassar, 2015), h. 58.
4
Hamidah, “Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid-K.H. Abdurrahman Wahid: Memahami
Perkembangan Pemikiran Inteletual Islam,” Miqot 35, no. 1 (2011): 78–93.
5
Asep Mulyaden, “Ideologi Islam Tradisionalis Dalam Tafsir,” Jurnal Iman dan Spiritualitas 1, no. 2
(2021): 196.
dengan bahasa sunda. Struktur tafsirnya dibangun dengan pendekatan fiqih dengan
pembahasaan yang mudah dicerna oleh masyarakat Indonesia secara umum.6
Kedua, neo-modernisme yang berusaha menyelaraskan antara modernisme dan
tradisionalisme, seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Kedua tokoh tersebut
membawa reformasi perbincangan mengenai teks terhadap kepentingan-kepenting yang
condong rasionalis dan humanis.7 Dialektika inilah mewarnai karya tafsir Indonesia di era
kontemporer yang banyak mengangkat isu toleransi, kesataraan gender, pluralisme, dan lain
sebagainya.8
Realitas inilah memantik Abdullah Saeed merilis suatu artikel yang berjudul
“Introduction: The Qur’an, Interpretation and the Indonesian Context yang diterbitkan oleh
Oxfort University tahun 2005. Dalam artikel tersebut ia menunjukkan distingtif interpretasi
yang berkembang di Indonesia. Ditinjau dari penggunaan bahasa lokalitas yakni bahasa
Indonesia, menyajikan topik yang dianggap memiliki kepentingan dari interpretator, adanya
pergeseran pemikiran dari tradisionalis menuju neo-modernisme serta mampu berkonstribusi
secara kreatif dan inovatif dalam pengembangan pendekatan Qur’anic Studies di abad 20.9
Menurut pengamatan Abdullah Saeed terdapat 2 faktor yang mendorong perkembangan
tersebut yakni pengaruh tokoh reformasi pemikiran Islam dan adanya fasilitas serta ruang
yang mendukung keterbukaan dalam menjelajahi ide-ide neo-modernitas. 2 faktor itulah yang
tercermin dalam sistem PTKIN di Indonesia yakni mengupayakan integrasi-interkoneksi
antara keilmuan keislaman dan umum, seperti antropologi, sosiologi, psikologi dan beragam
metodologi modern yang berkembang.10 Upaya ini tidak lain untuk menjawab problema dan
dialektika yang berkembang di Indonesia seperti isu toleransi, kesetaraan gender, HAM,
permasalahan teologis, hingga pada tatanan reformasi hukum Islam.11
Reformasi ini dalam konteks tafsir sering dirujuk kepada Syekh Waliyullah (18 M) asal
India-Pakistan yang menggagas ketidak cocokan tafsir-tafsir tradisional atau klasik dengan
realitas kehidupan umat Islam di dunia. Ia mempersempit wilayah taqlid terhadap tafsir
dengan pandangan tradisional. Setelahnya muncul Saeed Ahmad Khan yang diaanggap lebih

6
Muhammad Ruli, “Tafsir Al-Qur’an Berbahasa Sunda Kajian Metode Dan Corak Tafsir Raudatul
Irfan Fi Ma’Raifati Al-Qur’an Karya K.H Ahmad Sanusi” (UIN Walisongo Semarang, 2017), 163.
7
Hamidah, “Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid-K.H. Abdurrahman Wahid: Memahami
Perkembangan Pemikiran Inteletual Islam.”
8
Cucu Sarahman, “Pergeserab Pemikiran Tafsir Di Indonesia: Sebuah Kajian Bibliografis,” Afkaruna
10, no. 2 (2014): 217–232.
9
Abdullah Saeed, “Introduction: The Qur’an, Interpretation and The Indonesian Context,” in
Approaches to the Qur’an in Contemporary Indonesia (London: Oxford University, 2005), 1–2.
10
Saeed, “Introduction: The Qur’an, Interpretation and The Indonesian Context,” 10–11.
11
Saeed, “Introduction: The Qur’an, Interpretation and The Indonesian Context,” 13–15.
berani dari Syah Waliyullah, gagasannya adalah melihat tradisi ataupun membaca tafsir
diperlukan perangkat nalar yang kuat.
Reformasi ini dalam konteks Mesir digagas oleh Muhammad Abduh yang
direpresentasikan dalam tafsir al-Manar. Basic Muhammad Abduh sebagai aktivis yang tidak
banyak menorehkan gagasannya dalam bentuk tulisan, namun ia mempunyai murid yang
bernama Rasyid Ridha dalam membantu menuliskan gagasannya dalam bentuk tulisan.
Abduh banyak terinspirasi dari al-Afgani seorang Politikus Mesir pada zamannya. Hal inilah
yang mengarahkan reformasi ala Abduh yang bergerak dalam pendidikan dan kultur
terkhusus di al-Azhar.
Perbedaan antara reformasi India-Pakistan dan Mesir terletak pada konteks kulturalnya.
India-Pakistan tidak mensyaratkan pada landasan teologis dalam reformasi Islam. Sedangkan
di Mesir pengaruh teologis sangat kuat, sehingga kekuatan Abduh yang meskipun alumnus
dari al-Azhar masih terhalang dengan konteks kultural al-Azhar sendiri.
Pemaparan diatas menunjukkan dialektika al-Qur’an di Indonesia yang dinamis dan
kompleks. Kreativitas dan inovasi dilakukan untuk menghadapi tantangan modernitas yang
terjadi. Distingtif yang ditawarkan oleh Abdullah Saeed menunjukkan keistimewaan
penafsiran al-Qur’an di Indonesia. Inilah urgensi mengapa tafsir di Indonesia harus dikaji.

Referensi:

Al-Ayyubi, M. Zia. “Dinamika Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia.” Rausyan Fikr: Jurnal Studi
Ilmu Ushuluddin dan Filsafat 16, no. 1 (2020): 1–28.

Asraf, Khaerul. “Konsepsi Tasawuf Dalam Tafsir Al Munir Li Ma’ani Al Tanzil Karya Stekh
Muhammad Nawawi Al Jawi.” UIN Alauiddin Makassar, 2015.

Gusmian, Islah. “Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi.” Jakarta:
Teraju, 2003.

Hamidah. “Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid-K.H. Abdurrahman Wahid:


Memahami Perkembangan Pemikiran Inteletual Islam.” Miqot 35, no. 1 (2011): 78–93.

Mulyaden, Asep. “Ideologi Islam Tradisionalis Dalam Tafsir.” Jurnal Iman dan Spiritualitas
1, no. 2 (2021): 187–197.

Ruli, Muhammad. “Tafsir Al-Qur’an Berbahasa Sunda Kajian Metode Dan Corak Tafsir
Raudatul Irfan Fi Ma’Raifati Al-Qur’an Karya K.H Ahmad Sanusi.” UIN Walisongo
Semarang, 2017.
Saeed, Abdullah. “Introduction: The Qur’an, Interpretation and The Indonesian Context.” In
Approaches to the Qur’an in Contemporary Indonesia. London: Oxford University,
2005.

Sarahman, Cucu. “Pergeserab Pemikiran Tafsir Di Indonesia: Sebuah Kajian Bibliografis.”


Afkaruna 10, no. 2 (2014): 217–232.

Anda mungkin juga menyukai