Anda di halaman 1dari 12

Tafsir Al Ibriz ( KH.

Bisri Mustofa)
Moh. Zacky Ramadhan
Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
Universitas Islam Negeri Fatmawati Sukarno Bengkulu
zackyramadhan1412@gmail.com

Abstrak

Khazanah tafir di Indonesia merupahkan menarik untuk terus di kaji salah satunya adalah karya
KH. Bisri Mustofa dengan karya yang berjudul kitab tafsir al-ibriz. Artikel ini membicarakan
mengenai tafsir al-Ibriz karya Bisri Mustofa yang ditulis dalam bahasa Jawa. Tafsir kedaerahan
tersebut ditulis dengan tujuan agar dapat menambah khidmah penulisnya dan amal shalih yang
dilakukannya untuk umat islam, khususnya kaum muslim yang berbahasa Jawa. Selain
ditampilkan dengan bahasa yang ringan, dan mudah dicerna, tafsir ini memberikan contoh-
contoh kongkrit yang terjadi dalam masyarakat, sehingga kontektualitasnya dikemukakan
melalaui beberapa contoh nyata. Tafsir al-Ibriz dikategorikan sebagai penafsiran secara ijmal,
mengingat uraian-uraiannya yang kebanyakan bersifat global, walaupun pada beberapat tempat
ditemukan beberapa uraian tafsir yang cukup panjang. Eksistensi tafsir al-Qur‟an di Indonesia
dari generasi awal kemunculannya hingga generasi sekarang selalu menjadi objek penelitian
yang relevan untuk didiskusikan. Hal ini karena karya-karya tafsir di Indonesia memiliki
karakter khas yang berbeda dari karya tafsir di tempat lain. Hal ini dapat ditemukan, antara lain,
dalam karya Tafsir al-Ibriz yang ditulis oleh Bisri Mustofa pada tahun 1960. Karya ini memiliki
ciri khas Nusantara seperti penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa penyajian utamanya dan
penggunaan bahasa Arab-Pegon dalam penyebutan surah. Ciri khas lainnya adalah unsur
kearifan lokal Jawa-Indonesia yang terkandung dalam karya tersebut. Artikel ini memeriksa latar
belakang penafsiran ini dan sejauh mana lokalitasnya. Alih-alih penulisan Tafsir al-Ibriz sebagai
sarana ibadah semata, eksistensinya dapat juga dilihat sebagai upaya “mempromosikan” kearifan
lokal Islam Nusantara yang tercermin, antara lain, dalam budaya mistisisme Jawa, ziarah
kuburan awliya‟, dan ramuan leluhur Jawa. Dapat disimpulkan bahwa tafsir al Ibriz masih dalam
transisi menuju masa kejayaan ilmu pengetahuan, dari tradisional menuju modern, meski di
warnai oleh kebudayaan yang masih kuat.
Kata Kunci: Tafsir bahasa jawa, al-ibriz, Kh Bisri Mustofa
PENDAHULUAN
Al-Quran adalah kitab suci yang turun menjadi petunjuk kehidupan bagi umat islam.
Fungsi ini terus demikian dari sejak zaman nabi Muhammad hingga masa di mana umat Islam
hidup hari ini. Satu adigium yang selalu lekat dengan Al-Quran adalah sifatnya yang salih li kulli
zaman wa makan, senantiasa kontekstual dalam setiap zaman dan tempat.1
Universalitas al-Qur‟an ini bukanlah sebuah produk jadi. Ia perlu diperjuangkan melalui
serangkaian kegiatan ijtihād intelektual yang dinamai dengan tafsir. Ada faktisitas historis yang
tidak dapat dipungkiri. al-Qur‟an telah turun sekian abad yang lalu kepada audiens Arab dan
sudah built-in dengan segala kompleksitas tata sosial budayanya. Bahasa yang digunakan juga
tersituasikan oleh nuansa bahasa masyarakat saat itu. Di sisi lain, umat Islam yang hidup pada
hari ini tidak mengalami “akal budaya” tersebut. Lebih dari itu, manusia hari ini memiliki
faktisitas historis sendiri.2
Ada jarak dan fakta sejarah yang berbeda. Untuk alasan menjembatani komunikasi lintas
ruang dan waktu inilah lahir disiplin ilmu tafsir al-Qur‟an. Terdapat serangkaian tata aturan, ilmu
alat yang harus dikuasai, metode-metode, serta perangkat lain yang diperlukan untuk kegiatan
menafsirkan tersebut. 3
Dalam perjalanannya, aktivitas menafsirkan al-Qur‟an ini memunculkan warna-warni
corak dan ragam yang variatif. Di antara corak-corak tersebut terdapat tafsir yang lebih
bernuansa fiqh, yang lebih dikenal dengan tafsir fiqhi dan tafsir yang bernuansa filosofis,
dinamai tafsir falsafi serta tafsir yang aksentuasinya ditafsirkan secara sufistik, kemudian disebut
tafsīr sufi. Yang memiliki kencenderungan menafsirkan dengan nuansa ilmiah dinamai tafsir
„ilmi. Kemudian juga yang kental dengan analisis sastrawi disebut tafsir adabi variasi ini
kemudian terkumpul dalam kategori-kategori. Fenomena ini selanjutnya dikaji dalam disiplin
ilmu yang disebut Madhahib al-Tafsir.4
Tata cara penyajian juga tidak kalah variatifnya. Pilihan ini adalah wilayah kreatif
mufassir. Sebanyak apa wujud kreativitas tersebut sebanding dengan jumlah ide kreatif di kepala

1
Farid Esack, Samudera Al-Quran, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), hal. 35-59.
2
Inyiak Ridwan Mudzir, Hermeneutika Filosofis Hans George Gadamer (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2008),
hlm. 87.
3
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
(Bandung: Mizan, 2004), hlm. 71-121
4
Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir: Madzahibut Tafsir dari Periode Klasik hingga Kontemporer
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 162
para mufassir. Di antaranya adalah tafsir yang disajikan dalam kemasan rubrik Koran yang terbit
setiap hari, disajikan secara tematik, dan penafsirannya disajikan secara utuh 30 juz, urut dari juz
pertama hingga terakhir seperti yang dilakukan oleh Quraish Shihab. 5
Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa merupakan hasil pemahaman dan penafsiran atas
teks suci dan realita lain yang mengitarinya. Seorang penafsir mencoba mengekspresikan
pengalamannya dalam bentuk kata-kata atau tulisan yang memiliki makna objektif yang dapat
dimengerti oleh pembacanya.
Di Indonesia sendiri, ragam diversitas aktivitas menafsirkan al- Qur‟an juga sangat
menarik. Masalah bahasa dan pilihan aksara yang digunakan dalam menulis tafsir menjadi hal
yang unik di Indonesia ini. Hari ini kita hamper menemukan karya tafsir selalu ditulis dalam
bahasa Indonesia dengan aksara roman, semisal karya tafsir yang disusun oleh A. Hassan,
Mahmud Yunus, TM. Hasbi Ash-Shiddiqiy, Hamka atau Quraish Shihab dengan tafsir al-
Misbahnya. Pada periode awal, karya tafsir di Nusantara banyak disusun dalam bahasa Melayu-
Jawi, dengan aksara Arab pegon. Beberapa yang masuk dalam golongan ini antara lain Tarjuman
al-Mustafid karya „Abd al-Ra‟uf al-Sinkili, atau Kitab Fara‟id alQur‟an dan Tafsir Surat al-Kahfi
dan Tafsir al-Ibriz karya Bisri Mustofa.
Sebenarnya karya tafsir yang ditulis pada abad ke-19 dalam bahasa Arab yaitu Marah
Labid karya Imam al-Nawawi al-Bantani al-Jawi, namun karya ini ditulis di Mekah. Beberapa
tulisan surah-surah dalam bahasa Arab yang dimuat di jurnal al-Mannar pada edisi-edisi tahun
pertama (1898) dari pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan.
Hal yang menarik dari penjelasan di atas adalah perkembangan tafsir serta metode
penafsiran yang digunakan oleh mufassir Indonesia terpengaruh oleh budaya dan keadaan politik
yang ada di Negara Indonesia pada saat itu. Pengaruh Kondisi negara terhadap perkembangan
tafsir dan metodenya adalah ketika karya-karya tafsir disajikan dalam bentuk bahasa Indonesia,
seperti Tafsir al-Qur‟an Indonesia karya Mahmud Azis, al-Qur‟an Indonesia karya Syarikat
Kwek School Muhammadiyah. Dan pengaruh budaya Indonesia dalam metode penafsiran adalah
bahasa yang dipakai dalam penyajian penafsiran Tafsir al-Ibriz yang penggunaan bahasa Jawa
yang ditulis menggunakan huruf Arab Pegon.

5
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta Selatan: Teraju,
2003), 61-64.
METODOLOGI
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library
research). Metode library research merupakan suatu proses pengolahan data dengan cara
mengumpulkan dan menganalisa data literatur seperti catatan, buku atau penelitian terdahulu
yang berhubungan dengan tema yang sedang diteliti. Penelitian kepustakaan ialah penelitian
yang semua datanya berasal dari bahan-bahan tertulis berupa buku, naskah, dokumen, dan lain-
lain. Perlu diingat literatur-literatur tadi harus yang memiliki hubungan dengan masalah terkait.6
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah penelitian deskritif
kualitatif. Metode yang digunakan adalah studi kepustakaan.Teknik pengumpulan data dengan
melakukan penelaahan terhadap buku, literatur, catatan, serta berbagai laporan yang berkaitan
dengan masalah yang ingin dipecahkan. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri yang
melakukan interpretasi terhadap data dari sumber-sumber dokumentasi kepustakaan.

PEMBAHASAN
a. Biografi KH. Bisri Mustofa
Lahir pada tahun 1915 M atau bertepatan tahun 1334 di kampong Sawahan Gang Palen
Rembang Jawa Tengah, ia adalah anak dari pasangan suami istri Zainal Mustofa dan Khatijah
yang telah memberinya nama Mashadi.7
Mashadi adalah anak pertama dari empat bersaudara, yaitu Mashadi, Salamah (Aminah),
Misbah dan Khadijah. Zainal Mustofa merupakan seorang pedagang kaya dan bukan seorang
kiai. Akan tetapi ia sangat mencintai kiai dan alim ulama. Dari keluarga ibu Mashadi masih
mempunyai darah keturunan Makasar, karena Khatijah merupakan anak dari pasangan Aminah
dan E. Zajjadi. E. Zajjadi adalah kelahiran Makasar dari ayah bernama E.Sjamsuddin dan ibu
Datuk Djijah.
Pada tahun 1923 Mashadi diajak oleh bapaknya untuk ibadah Hajibersama keluarganya.
Rombongan sekeluarga itu adalah Zainal Mustofa, Khadijah, Mashadi (umur 8 tahun), Salamah
(umur 5 tahun setengah), Misbah (umur 3 tahun setengah) dan Ma‟sum (umur 1 tahun).
Kepergian ke tanah suci itu dengan menggunakan kapal haji milik Hasan Imazi Bombay yang
berangkat dari pelabuhan Rembang. Sejak pulang dari ibadah haji Mashadi mengganti namanya

6
Prof. Dr. H. Nashruddin Baidan dan Dr. Hj. Erwati Aziz, M.Ag. Metodologi Khusus Penelitian Tafsir.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019), h. 27-28.
7
Saifullah Ma’sum, Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU (Bandung: Mizan, 1998), 319;
dengan nama Bisri, kemudian akrab dengan sebutan Bisri Mustofa. Sejak ayahandanya wafat
pada tahun 1923, tanggung jawab keluarga termasuk Bisri berada di tangan Zuhdi.8
Zuhdi kemudian mendaftarkan Bisri ke sekolah HIS (Hollans Inlands School) di
Rembang. 16 Akan tetapi setelah Kiai Cholil Kasingan mengetahui bahwa Bisri Mustofa sekolah
di HIS, maka langsung menasehati Zuhdi untuk membatalkan pendaftaran tersebut. Hal ini
dilakukan karena Kiai Cholil menganggap bahwa HIS adalah sekolah milik penjajah Belanda
dan sangat khawatir kelak Bisri Mustofa akan memiliki watak seperti mereka. Selain itu kiai
Cholil juga menganggap bahwa masuk sekolah di sekolah penjajah Belanda adalah haram
hukumnya. Kemudian Bisri Mustofa masuk ke sekolah Ongko 2 dan menyelesaikannya dalam
tiga tahun. Sebelum bersekolah di Ongko 2 Bisri Mustofa biasanya belajar mengaji al-Qur‟ān
kepada kiai Cholil Sawahan. Namun setelah masuk ke sekolah Ongko 2, ia tidak bisa mengaji
lagi karena waktunya bersamaan. Oleh karena itu ia memilih mengaji kepada Zuhdi, kakaknya.
Pada tahun 1925 Bisri Mustofa bersama-sama dengan Muslich (Maskub) diantar oleh
Zuhdi ke Pondok Pesantren Kajen, pimpinan Kiai Chasbullah untuk mengikuti program
pesantren kilat di bulan puasa. Akan tetapi baru tiga hari mereka mondok, Bisri Mustofa sudah
tidah betah dan khirnya mereka pulang kembali ke Rembang. Setelah lulus sekolah di Ongko 2
pada tahun 1926 Bisri Mustofa diperintah oleh Zuhdi untuk turut mengaji dan mondok pada kiai
Cholil Kasingan. Pada awalnya Bisri Mustofa tidak minat belajar di Pesantren, sehingga hasil
yang dicapai dalam awal-awal mondok di Pesantren Kasingan sangat tidak memuaskan. Setelah
itu ia berhenti mondok dan selalu bermain dengan teman sebayanya di kampung.
Pada permulaan 1930 Bisri Mustofa diperintahkan untuk belajar mengaji dan mondok
pada kiai Cholil Kasingan. Bisri Mustofa kemudian dipasrahkan kepada ipar kiai Cholil yang
bernama Suja‟i.
Di Pesantren tersebut, Bisri Mustofa mengaji kepada Suja‟I, terlebih dahulu sebelum
mengaji kepada Kiai Cholil. Hal ini dilakukan untuk persiapan diri karena Bisri Mustofa belum
siap mengaji langsung kepada kiai Cholil. Bisri Mustofa tidak diajarkan kitab yang macam-
macam, tetapi hanya diajarkan kitab Alfiyah Ibnu Malik, sehingga ia menjadi sangat mahir dan
menguasai kitab tersebut.

8
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa (Yogyakarta: PT. LkiS
Pelangi Aksara, 2005), 9.
Pada tahun 1932 Bisri Mustofa minta restu kepada kiai Cholil untuk pindah ke Pesantren
Termas yang diasuh oleh Kiai Dimyati namun tidak mendapatkan izin. Ia tetap tinggal di
Kasingan sampai akhirnya diambil menantu oleh kiai Cholil untuk dinikahkan dengan putrinya
yang bernama Ma‟rufah Pada tanggal 7 Rajab 1354 atau bertepatan dengan bulan Juni 1935. Saat
itu usia Bisri Mustofa baru 20 tahun sedangkan Ma‟rufah berusia 10 tahun.9
Selain sebagai kiai, Bisri Mustofa adalah seorang politikus handal. Bisri Mustofa adalah
aktivis Masyumi, namun setelah NU menyatakan diri keluar dari Masyumi, ia pun mengikuti
langkah NU dan berjuang bersama dengan NU. Pada Pemilu 1955, Bisri Mustofa terpilih
menjadi anggota Konstituante yang mewakili Partai NU. Setelah Dewan Konstituante
dibubarkan dan diganti dengan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara ia juga terpilih menjadi
anggota MPRS dari unsur ulama. Kemudian pada pemilu 1971, tetap di Partai NU dan menjadi
anggota MPR dari daerah pemilihan Jawa Tengah.
Pada saat pemerintah orde baru menerapkan fusi atas partai-partai, sehingga Partai NU
harus berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), maka Bisri Mustofa pun bergabung
ke Partai tersebut dan menjadi calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah pada Pemilu
1977.
Bisri Mustofa dikenal oleh banyak kalangan sebagai pemikir moderat. Hal ini merupakan
sikap yang di ambil dengan pendekatan ushul al-fiqh yang mengedepankan kemaslahatan dan
kebaikan umat atas kondisi zaman dan kondisi masyarakat. Inilah yang menunjukkan bahwa
Bisri Mustofa adalah seorang ulama Sunni dengan konsep Ahlu al-Sunnah wa al-Jama„ah.
Hasil karya Bisri Mustofa umumnya mengenai masalah keagamaan yang meliputi
berbagai bidang di antaranya; Ilmu al-Tafsir dan Tafsir,Ilmu al-Hadits dan Hadits, „Ilmu al-
Nahwu, Ilmu al-Sarf, Shariah atau Fiqh, Tasawwuf, „Aqidah, Ilmu al-Mantiq dan lain
sebagainya. Kesemuanya itu berjumlah kurang lebih 176 judul. 10
Bahasa yang dipakai bervariasi, ada yang berbahasa Jawa beraksara Arab Pegon, bahasa
Indonesia dengan aksara Arab Pegon, bahasa Indonesia berhuruf Latin dan ada juga yang
menggunakan bahasa Arab. Di antara karya monumentalnya adalah Tafsir al-Ibriz li Ma„rifat al-
Qur‟ān al-„Aziz bi al-Lughat al-Jāwiyah, al-Iksir fi Tarjamat „Ilmu Tafsir, dan lain-lain.

9
Mata air Syndicate, Para Pejuang Dari Rembang (Rembang: Mata Air Press, 2006), hlm. 4.
10
Zainul Mustofa, al-Iklil fi Ma’āni al-Tanzil (Surabaya: Toko Kitab al Ihsan, t.th) dan Gusmian, Khasanah
Tafsir, 244.
KH Bisri Mustofa wafat pada hari Rabu tanggal 17 Februari 1977, menjelang Asar di
Rumah Sakit Umum Dr. Karyadi Semarang karena serangan jantung, tekanan darah tinggi dan
gangguan pada paruparu.
b. Latar Belakang Penulisan Tafsir Al Ibriz
Salah satu alasan yang melatar belakangi penulisan kitab al ibriz adalah motivasi yang
kuat di miliki Kh. Bisri Mustofa tentang khidmahnya terhadap kitab Al-qur‟an. Karena dalam
pandangannya kitab suci Al Qur‟an merupahkan kitab yang istimewa di turunkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Di dalam muqaddimah kitab tafsirnya, al-Ibriz, K.H. Bisri Mustofa
mengatakan: “Kangge nambah khidmah lan usaha ingkang sahe lan mulya punika,
dumateng ngersanipun para mitra muslimin ingkang mangertos tembung daerah Jawa,
kawula segahaken tarjamah tafsir Alquran al-Aziz mawi cara ingkang persaja, entheng,
cetha gampang fahamipun.”
Motivasi utama seorang Muslim saat berusaha memahami dan menaf- lain seperti politik,
ekonomi dan lain-lain. Ini juga yang melandasi KH. Bisri Mustofa saat menulis tafsir al-Ibriz.
Karena ibadah dan semata-mata mencari ridho Allah, penafsir tergerak hatinya untuk membuka
tabir rahasia ajaran ajaran al-Qur‟an yang terkadang tidak mudah dipahami. Adapun keuntungan
ekonomi, sosial atau politik yang mengikuti penafsir setelah tafsirnya dipublikasikan itu menjadi
bagian dari berkah al-Qur‟an kepadanya.
Di sisi lain kondisi sosial keagamaan yang saat itu khususnya di pulau jawa butuh akan
pemahaman arti dan penjelaan dari Al Qur‟an itu sendiri. Oleh sebab itu sang penulis berjuang
berkhidmat untuk memahamkan Al Qur‟an pada masyarakat dengan menulis sebuah karya
monumental yang berjudul tafsir Al Ibriz.
c. Karakteristik Tafsir Al Ibriz
Nama Kitab : al-Ibriz lima‟rifati Tafsir al-Qur‟an bi al-Lughah al-Jawiyyah. Pengarang :
KH. Bisri Musthafa. Jilid : 30 jilid. Setiap jilid berisi 1 juz al-Qur‟an. Tulisan : Arab Pegon.
Madzhab Tafsir : Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‟ah. Penerbit : Menara Kudus, Rembang.
Menulis telah menjadi bagian penting dalam kehidupan KH. Bisri Mustofa. Selain untuk
mendapatkan kepuasaan batin juga keuntungan ekonomi. Sejak nyantri di pesantren Kasingan,
ketekunannya menulis sudah bisa dilihat karena tuntutan keadaan ekonomi yang sangat minim.
Menurut penuturan Ny. Ma‟rufah, pada waktu itu KH. Bisri Mustofa sering menerjemahkan
kitab-kitab tertentu dan kemudian dijual kepada kawan-kawannya. Kegiatan ini tidaklah sulit
karena ia dikenal sebagai santri yang memiliki kelebihan, terutama dalam bidang nahwu.
Tidak ada data akurat yang menyebutkan kapan sebenarnya tafsir al-Ibriz mulai di tulis.
Tetapi tafsir ini di selesaikan pada tanggal 29 rajab 1379/ 28 Januari 1960. Pada tahun inilah
dicetak oleh penerbit Menara Kudus. Penerbitan tafsir ini tidak disertai perjanjian yang jelas,
apakah dengan sistem royalty atau borongan.
Tafsir ini di tulis mengunakan bahasa jawa dalam penafsirnya. Pertama, bahasa Jawa
adalah bahasapenafsir yang digunakan sehari-hari, meskipun ia juga memiliki kemampuan
menulis dalam bahasa Indonesia atau Arab. Kedua, al-Ibriz ini tampaknya ditujukan kepada
warga pedesaan dan komunitas pesantren yang juga akrab dengan tulisan Arab dan bahasa Jawa.
Karena yang hendak disapa oleh penulis tafsir al-Ibriz adalah audiens dengan karakter di atas,
maka penggunaan huruf dan bahasa di atas sangat tepat.
Sebelum disebarluaskan kepada khalayak ramai, karya tafsir ini terlebih dahulu di koreksi
secara mendalam oleh beberapa ulama terkenal, seperti; al-„Allamah al-Hafidz KH. Arwani
Amin, al-Mukarram KH. Abu „Umar, al-Mukarram al-hafidz KH. Hisyam, dan al-Adib al-Hafidz
KH. Sya‟roni Ahmadi. Yang mana semuanya adalah ulama kenamaan asal Kudus Jawa Tengah.
Dengan demikian kandungannya dapat dipertanggunggjawabkan baik secara moral maupun
ilmiah.
Boleh jadi jauh pada tahun-tahun sebelumnya, KH. Bisri Mustofa telah lama menulis dan
menafsirkan al-Qur‟an dan tidak seorangpun dari keluarganya yang tahu. Selain dirumah, KH.
Bisri Mustofa memiliki kebiasan membawa alat tulis dan kertas saat bepergian untuk pengajian.
Bentuk Penyajian Tafsir
Tafsir al-Ibriz disajikan dalam bentuknya yang sederhana. Ayat-ayat al Qur‟an dimaknai
ayat per-ayat dengan makna gandhul (makna dibawah kata perkata ayat al-Qur‟an, lengkap
dengan kedudukan dan fungsi kalimatnya)
Pembaca tafsir yang berlatar santri maupun non-santri, penyajian makna khas pesantren
dan unik seperti ini sangat membantu seorang pembaca saat mengenali dan memahami makna
dan fungsi kata per-kata. Hal ini sangat berbeda dengan model penyajian yang utuh, di mana satu
ayat diterjemahkan seluruhnya dan pembaca yang kurang akrab dengan gramatika bahasa Arab
sangat kesulitan jika diminta menguraikan kedudukan dan fungsi kata perkata.
Setelah ayat al-Qur‟anditerjemahkan dengan makna gandhul, di sebelah luarnya yang
dibatasi dengan garis disajikan kandungan al qur‟an kadang-kadang, penafsir mengulas ayat per-
ayat atau gabungan dari beberapa ayat, tergantung dari apakah ayat itu bersambung atau
berhubungan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya atau tidak.
Kadang-kadang. Penafsir tidak memberikan keterangan tambahan apapun saat
menafsirkan ayat tertentu, nyaris seperti terjemahan biasa. Hal ini disebabkan karena ayat-ayat
tersebut cukup mudah dipahami, sehingga penafsir merasa tidak perlu berpanjang-panjang kata.
Berbeda jika ayat tersebut memerlukan penjelasan cukup panjang karena kandungan maknanya
tidak mudah dipahami. Tafsir dalam bentuk terjemahan itu sebenarnya diakui sendiri oleh
penafsirnya. Dengan merendah, penafsir merasa hanya njawaa-ke (menjawakan/menerjemahkan)
dan mengumpulkan keterangan dari beragam tempat.
Pada ayat-ayat tertentu pemafsir merasa perlu memberikan catatan tambahan, selain
tafsirnya dalam bentuk faedah atauh tanbih peringatan. Bentuk itu memberikan contoh suatu
dorongan hal positif yang perlu dilakukan, sedangkan peringatan yang seharusnya tidak di
lakukan atau di hindari seharusnya sebagi manusia untuk meninggalkan dosa.
Terkait dengan asbabun nuzul sebuah ayat, penafsir memberikan keterangan secukupnya,
misalnya surat abasa. Penafsir juga kadang memberikan dan menjelaskan ayat-ayat tertentu yang
sudah di nasakh oleh ayat lain. Dan pada umumnya saat menafsirkan ayat-ayat tertentu tidak
mengunakan rujukan tertentu, tidak ayat dengan ayat, ayat dengan hadits dan yang lainnya.
Metode Penafsiran
Metode tafsir yang digunakan oleh kiai Bisri adalah metode tahlili. Hal ini dapat kita lihat
ketika beliau mengungkapkan keseluruhan ayat alQur‟ân sesuai dengan Rasm „Ustmani.
Penafsiran ini mengungkapkan kalimat yang praktis dan mudah dipahami hingga makna yang
terkandung dalam al-Qur‟an mudah diserap oleh pembaca. Maka metode seperti itu disebut
metode tafsir Tahlili Ijmali al-Wajiz.
Adapun sumber penafsiran dalam kitab tafsir ini ada dua macam; yaitu bi al-Ma‟tsur, dan
bi al-Ra‟yi. Dalam tafsir ini Kh. Bisri Musthafa lebih cenderung menafsirkan ayat al-Qur‟an
secara bi al-Ra‟yi. Karena pada kenyataannya tidak semua ayat terdapat suatu riwayat atau ada
keterkaitan dengan ayat yang lain. Sehingga langkah yang bisa ditempuh untuk memahami ayat
tersebut adalah dengan cara bi al-Ra‟yi.11

11
Muhammad Asif, Karakterisik Tafsir al-Ibriz Karya Bisri Musthafa, Skripsi di STAIN Surakarta, 2010, h. 90.
Corak tafsir yang digunakan oleh kiai Bisri dalam menafsirkan ayatayat al-Qur‟an adalah
dengan menggunakan corak fiqih. Hal ini terlihat ketika kiai Bisri menafsirkan ayat-ayat fiqih,
beliau akan lebih dominan dalam penjelasannya dan merujuk pendapat-pendapat imam madzhab
serta pendapat penulis tafsir.
Rujukan dalam Penulisan
Kiai Bisri menuturkan dalam muqoddimahnya; “Dene bahan – bahanipun tarjamah tafsir
ingkang kawulo segahaken puniko, mboten sanes inggih naming metik saking tafsir – tafsir
mu‟tabarah, kados Tafsir al-Jalalain rujukan dari beberapa kitab tafsir sebelumnya, seperti;
Tafsir al-Jalâlain, Tafsir al-Baidowi, Tafsir al Khazin, dan lain – lain., Tafsir al-Baidowi, Tafsir
al-Khazin, lan sak panunggila nipun”. Bahwa penafsiran al-Ibriz mengambil rujukan dari
beberapa kitab tafsir sebelumnya, seperti; Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidowi, Tafsir alKhazin,
dan lain – lain.12
Contoh penafsiran
1. Surat al-Nisa‟ ayat 3.
ِ ‫ث َو ُر ٰب َع ۚ فَا ِْن ِخ ْفت ُ ْم ا َ اَّل تَ ْع ِدلُ ْوا فَ َو‬
‫اح َدةً اَ ْو َما‬ َ ‫س ۤا ِء َمثْ ٰىى َوث ُ ٰل‬ َ ّ‫اب لَ ُك ْم ِ ّمهَ ال ِى‬َ ‫ط ْوا ِفى ا ْليَ ٰتمٰ ى فَا ْو ِك ُح ْوا َما َط‬
ُ ‫س‬
ِ ‫َوا ِْن ِخ ْفت ُ ْم ا َ اَّل ت ُ ْق‬
‫َملَكَتْ ا َ ْي َماوُ ُك ْم ۗ ٰذ ِلكَ اَد ٰ ْٰٓوى ا َ اَّل تَعُ ْولُ ْو‬
Beliau menafsirkan; “ wong – wong Islam ing zaman awal, yen ana kang ngerumat
yatimah ing mangka kebeneran ora mahram (anak dulur upamane) iku akeh – akehe nuli dikawin
pisan. Nalika iku nganti kedadeyan ana kang ndue bojo wolu utawa sepuluh. Bareng ayat nomer
loro mahu tumurun, wong – wong mahu nuli pada kuatir yen ora bisa adil, nili akeh kang pada
sumpek, nuli Allah SWT nurunake ayat kang nomer telu iki, kang surasane; yen sira kabeh kuatir
ora bisa adil ana ing antarane yatim – yatim kang sira rumat, iya wayoh loro – loro bahe, utawa
telu – telu bahe utawa papat – papat, saking wadon – wadon kang sira senengi, ojo nganti punjul
saking papat. Lamun sira kabeh kuatir ora bisa adil nafaqah lan gilir, mangka nikaha siji bahe,
utawa terima ngalap cukup jariyah kang sira miliki, nikah papat utawa siji, utawa ngalap cukup
jariyah iku sejatine luwih menjamin keadilan (ora mlempeng)”.
Artinya; Orang – orang Islam zaman awal, ketika merawat anak yatim perempuan yang
kebetulan bukan mahram (seumpama anak saudara) kebanyakan dinikahi juga. Ketika itu sampai
ada peristiwa ada yang mempunyai isteri delapan atau sepuluh. Ketika ayat nomor dua turun
(maksudnya surat al-Nisa‟ ayat kedua), orang – orang tadi lalu khawatir tidak bisa berbuat adil,

12
Bisri Musthafa, al-Ibrîz lima’rifati Tafsîr al-Qur’ân bi al-Lughah al-Jawiyyah, juz 1, h. 2
lalu banyak yang galau. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat nomer tiga (maksudnya surat
al-Nisa‟ ayat ketiga) yang isinya; ketika kalian semua khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap
anak – anak yatim yang kalian pelihara, maka nikahilah dua – dua, tiga – tiga, atau empat –
empat wanita yang kamu senangi, jangan sampai lebih dari empat. Ketika kalian semua khawatir
tidak dapat berlaku adil dalam hal nafaqah dan menggilir, maka nikahilah satu wanita saja, atau
merasa cukup dengan jariyah yang kamu miliki, menikahlah empat atau satu, atau merasa cukup
jariyah itu sebenarnya lebih menjamin keadilan.

PENUTUP
Motivasi utama seorang Muslim saat berusaha memahami dan menaf- lain seperti
politik, ekonomi dan lain-lain. Ini juga yang melandasi KH. Bisri Mustofa saat menulis tafsir al-
Ibriz. Karena ibadah dan semata-mata mencari ridho Allah, penafsir tergerak hatinya untuk
membuka tabir rahasia ajaran ajaran al-Qur‟an yang terkadang tidak mudah dipahami. Adapun
keuntungan ekonomi, sosial atau politik yang mengikuti penafsir setelah tafsirnya dipublikasikan
itu menjadi bagian dari berkah al-Qur‟an kepadanya
Dari kajian di atas, ditemukan kesimpulan sebagai berikut: Tafsir al-Ibriz karya KH.
Bisri Mustofa disusun dengan metode tahlili, yakni suatu metode yang menjelaskan al-Qur‟an
secara kata per-kata sesuai tertib susunan ayat al-Qur‟an. Makna kata per-kata disusun dengan
sistem makna gandul sedang dengan analisis bahasa yang berguna untuk mengungkap struktur
bahasa. Dari sisi karakteristik, tafsir al-Ibriz sangat sederhana dalam menjelaskan kandungan
ayat al-Qur‟an. Pendekatan atau corak tafsirnya tidak memiliki kecenderungan dominan pada
satu corak tertentu. Tafsir ini merupakan kombinasi berbagai corak tafsir tergantung isi
tekstualnya. Dari segi aliran dan bentuk tafsir, tafsir al-Ibriz termasuk beraliran tradisional dan
ma‟tsur dalam artian yang sederhana.

REFERENSI
Baidan, Nashruddin dan Aziz, Erwati. 2019. Metodologi Khusus Penelitian Tafsir. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Bisri Musthafa, al-Ibriz lima‟rifati Tafsir al-Qur‟an bi al-Lughah al-Jawiyyah, juz 1

Esack, Farid. Samudera Al-Quran. Yogyakarta: Diva Press, 2007.


Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi. Jakarta Selatan:
Teraju, 2003.
Huda, Achmad Zainal. Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa. Yogyakarta:
PT. LkiS Pelangi Aksara, 2005.
Ma‟sum, Saifullah. Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU.Bandung: Mizan, 1998.

Mudzir, Inyiak Ridwan. Hermeneutika Filosofis Hans Georg Gadamer. Yogyakarta: Ar-Ruz
Media, 2008.
Mustaqim, Abdul et.al. Studi Al-Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi
Tafsir. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Mustofa, Bisri. al-Ibriz li Ma„rifat Tafsir al-Qur‟an al-„Aziz bi al-Lughah al Jawiyah, Vol. 23.
Kudus: Menara Kudus, t.th.

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. Bandung: Mizan, 2004.
Syndicate, Mata Air. Para Pejuang Dari Rembang. Rembang: Mata Air Press, 2006.

Anda mungkin juga menyukai