Anda di halaman 1dari 18

Tafsir Jawa Pegon: Kajian terhadap Kitab Al-Ibriz

Karya KH. Bisyri Musthofa

Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Studi al-Quran dan Hadist

Dosen Pengampu: Dr. H. Mohamad Arja Imroni, M.Ag

Disusun Oleh:
Muhamad Naufal Nabila (2200018016)

ILMU AGAMA ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2023
A. Pendahuluan
Kepentingan dalam memahami Al-Quran secara holistik: Al-Quran
merupakan sumber hukum, ajaran moral, dan petunjuk spiritual bagi umat
Muslim. Namun, teks Al-Quran terkadang kompleks dan memiliki lapisan-
lapisan makna yang memerlukan pemahaman yang mendalam. Oleh karena
itu, penelitian dalam ilmu tafsir bertujuan untuk memahami Al-Quran
secara komprehensif dan mendalami pesan-pesan yang terkandung di
dalamnya. Perkembangan tafsir di Indonesia telah melewati berbagai fase
yang tidak hanya menunjukkan adanya kesinambungan dari akar-akar dari
tafsir-tafsir Timur Tengah, melainkan juga adanya perubahan dan
pemikiran yang orisinal, tidak hanya adopsi, melainkan juga adaptasi
dengan konteks kultural masyarakat Indonesia.1 Sejak abad ke-20 M tampak
produktivitas dan orisinalitas karya-karya tafsir dan pemikiran-pemikiran
metodologi tafsir yang mendasarinya, tidak sekadar penerimaan terhadap
karya-karya. Jika cermat membaca berbagai macam kitab tafsir, akan
ditemukan tafsir al-Qur’an yang berjenis-jenis. Beberapa faktor yang
mempengaruhi keragaman tafsir adalah faktor kebahasaan, mazhab
pemikiran, ideologi politik, dan subyektifisme penafsir.2
Tafsir al-Ibriz yang ditulis menggunakan aksara Arab Pegon karya
KH. Bisyri Musthofa merupakan hasil pemahaman dan penafsiran atas kitab
suci al-Quran. Ia merupakan sintesa refleksi bacaan atas teks suci dan
realitas lain yang mengitarinya seperti budaya dan bahasa. Seorang penafsir
mencoba mengekspresikan pengalamannya dalam bentuk kata-kata atau
tulisan yang memiliki makna objektif yang dapat dimengerti oleh
pembacanya.3 Artikel ini akan mengurai tentang sistematika serta metode
yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang digunakan oleh
Kyai Bisyri Musthofa dalam menulis tafsir tersebut agar nilai-nilai yang

1
Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2003), 31-111.
2
Abu Rokhmad, “Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz,” Analisa XVIII, no. 01
(2011): 28.
3
Abu Rokhmad, “Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz,”,29.
terkandung dalam kitab suci dapat dikonsumsi oleh masyarakat muslim
Jawa pada masa itu.
B. Biografi KH. Bisyri Musthofa
KH. Bisyri Musthofa dilahirkan di Desa Sawahan, gang Palen, kota
Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1334 H/1915 M. Ia adalah putra dari
pasangan H. M. Zaenal Musthofa dan Siti Chotijah yang semasa kecil diberi
nama Mashadi. H. M Zaenal Musthofa adalah seorang pedagang kaya yang
sukses dan bukan seorang kyai. Walaupun begitu ayahnya yang seorang
dermawan sangat menghormati dan mencintai ulama. Sedangkan Siti
Chotijah masih mempunyai keturunan darah Makkasar. Ia merupakan putra
pertama dari empat bersaudara, yaitu: Mashadi, Salamah (Aminah),
Misbach, dan Ma’sum.4 Selain itu pasangan ini juga mempunyai anak-anak
tiri dari suami atau istri sebelumnya. Sebelum H. Zaenal Musthofa menikah
dengan Chadijah, ia telah menikah dengan Dakilah dan dikaruniai dua orang
anak, yaitu H. Zuhdi dan H. Maskanah. Sedangkan Chodijah yang
sebelumnya juga telah manikah dengan Dalimin, dikaruniai dua orang anak,
yaitu Achmad dan Tasmin.5
Bisyri Musthofa disekolahkan oleh H. Zuhdi, awalnya disekolahkan
di Holland Indische School (HIS) di Rembang, yang dikelola oleh
pemerintah kolonial, yakni sekolah dengan status tinggi yang mempunyai
kurikulum tujuh tahun. Sekolah ini diperuntukkan murid-murid Indonesia
yang berasal dari keluarga kalangan terkemuka baik dari segi jabatan,
keturunan, penghasilan maupun pendidikan. Bisyri diterima masuk sekolah
HIS, sebab ia diakui sebagai keluarga Raden Sudjana, mantri guru HIS yang
bertempat tinggal di Sawahan Rembang Jawa Tengah dan menjadi tetangga
keluarga Bisyri. Akan tetapi Kyai Cholil mengetahui bahwa Bisyri sekolah
di HIS, ia langsung dipaksa keluar oleh Kyai Cholil dengan alasan sekolah
tersebut milik Belanda, maka Kyai Cholil langsung mendatangi kakak tiri

4
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisyri Mustofa,
(Yogyakarta: LKiS, 2011), cet 2, 8.
5
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisyri Mustofa, 9.
Bisyri, H. Zuhdi, dan memberikan nasihat untuk membatalkan dan
mencabut pendaftaran masuk ke sekolah HIS. Karena dikhawatirkan Bisyri
akan memiliki watak seperti penjajah Belanda. Akhirnya Bisyri masuk di
sekolah Ongko 2 dan lulus pada tahun 1926 dengan mendapatkan sertifikat
masa pendidikan tiga tahun.6
Pada tahun 1925 tepat usia 10 tahun Bisyri melanjutkan
pendidikannya kepesantren Bulumanis, Kajen, Pati yang diasuh oleh KH.
Hasbullah. Kemudian pada tahun 1930, ia belajar di Pesantren Kasingan
yang diasuh oleh Kyai Cholil. Selama di pesantren ia banyak mengkaji
beberapa kitab. Kyai Bisyri tergolong seorang santri yang cerdas dan
dipandang memiliki kelebihan dari teman- temannya. Maka tidak heran jika
gurunya, Kyai Cholil ingin menjadikan Bisyri sebagai menantunya.7
Seusai KH. Cholil wafat, pesantren milik almarhum, di kelola oleh
Mbah Bisyri. Namun pasca-pendudukan Jepang, pesantren milik KH.
Cholil bubar. Kemudian daripada itu, untuk meneruskan tongkat perjuangan
KH. Cholil, Kyai Bisyri mendirikan pesantren di Leteh Rembang, kemudian
diberi nama Raudhatut Thalibin.8
Sebagai ulama atau kyai karismatik, pendiri pondok pesantren
Raudhatut Tholibin di Rembang Jawa Tengah. Beliau di masa akhirnya,
ketika satu minggu hendak naik panggung dan berkampanye. Allah ternyata
berkehendak lain. Kyai Bisyri meninggal hari Rabu, 17 Februari 1977
waktu ashar di Rumah Sakit Dr. Karyadi, Semarang. Beliau meninggal
akibat serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan paru-paru yang selama
ini menggrogoti Mbah Bisyri.9
Corak pemikiran Bisri Mustofa dalam hal perbuatan manusia tidak
bercorak Jabariyah tetapi bercorak Qadariyah. Beliau tidak hanya
menyerahkan sepenuhnya perbuatan itu sesuai dengan kehendak dan

6
Lilik Faiqoh, “Tafsir Kultural Jawa: Studi Penafsiran Surat Luqman Menurut KH. Bisyri
Musthofa,” Kalam 10, no. 1 (2017): 72, https://doi.org/10.24042/klm.v10i1.160.
7
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisyri Mustofa, 14.
8
Syaiful Amin Ghofur. Profil para Mufasir Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
2008), 215
9
Syaiful Amin Ghofur. Profil para Mufasir Al-Qur’an, 216.
kekuasaan mutlak Tuhan namun ada unsur ikhtiar atau usaha manusia.10
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa KH. Bisyri Musthofa
memiliki corak pemikiran yang berbasis pesantren salaf atau tradisional,
namun metode berpikirnya sangat kontekstual yang disesuaikan dengan
kondisi yang mengitarinya.
C. Tafsir Jawa Pegon Al Ibriz Karya KH Bisyri Musthofa
Tafsir al-Ibriz yang mempunyai judul lengkap al-Ibriz li Ma’rifat
Tafsir al-Qur ’an al- ‘Aziz merupakan salah satu karya KH. Bisyri
Mushthafa yang cukup dikenal di kalangan para muslim jawa, khususnya di
lingkungan pesantren.11
Tafsir al-Ibriz merupakan salah satu tafsir yang ditulis menggunakan
bahasa Jawa, dengan tujuan agar masyarakat lokal Jawa mampu memahami
kandungan Alquran secara saksama.12 Karya tafsir ini menggunakan bahasa
yang ringan dicerna. Sehingga dapat dipahami, baik oleh orang yang baru
saja mempelajari tafsir ataupun yang sudah ahli. Dengan latar belakang
penulisan yakni memudahkan tersebut, KH Bisyri Musthofa juga
mengatakan bahwa yang beliau lakukan hanya alih bahasa al-Qur’an
menjadi bahasa jawa dan mengutip berbagai kitab tafsir yang sudah ada
yang diantaranya seperti: Baidhawi, kh𝑎̅𝑧𝑖𝑛, Jal𝑎̅𝑙𝑎𝑖𝑛, dan berbagai macam
kitab tafsir lain. 13
Tujuan KH. Bisri Mushthafa menulis Tafsir al-Ibrîz ini agar umat
Islam dari berbagai latar belakang bahasa yang berbeda, bisa lebih untuk
memahami pesan maupun makna yang terkandung di dalam al-Qur’an. KH.
Bisyri Mushthafa juga ingin turut serta untuk menyebarkan pesan dan
makna dalam al-Qur’an dengan menghadirkan Tafsir al-Qur’an berbahasa

10
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah Bisri Mustofa, (Yogyakarta: Lkis,
2005), 62.
11
Moh Masrur, ARAB-PEGON DAN TAFSIR AL-QUR ’ AN Indonesia (Semarang:
Walisongo Press, 2017), 37.
12
Bisyri Mustofa, al-Ibriz Lima‘rifah Tafsir Alquran al-Aziz (Kudus: Menara Kudus, t.th),
1.
13
Bisyri Mustofa, al-Ibrīz li Ma‟rifah, jilid 3, 2270.
jawa. Selain untuk melestarikan bahasa jawa, sebenarnya hal ini juga tidak
terlepas dari kultur di pesantren-pesantren tradisional di pulau.14
Sebelum tafsir ini disebarluaskan kepada khalayak ramai, terlebih
dahulu di-taftisy (dikoreksi secara mendalam) oleh beberapa ulama
terkenal, seperti al-’ Allamah al-Hafidz KH. Arwani Amin, al-Mukarram
KH. Abu ‘ Umar, al-Mukarram al-Hafidz KH. Hisyam, dan al-Adib al-
Hafidz KH. Sya’ roni Ahmadi. Semuanya adalah ulama asal Kudus Jawa
Tengah. Dengan demikian, kandungannya dapat dipertanggungjawabkan
baik secara moral maupun ilmiah.15
Tafsir al-Ibriz disusun dalam tiga puluh jilid, yang pada setiap
jilidnya terdapat satu juz dalam Alquran. Ada pula yang disusun dalam tiga
jilid dan masing-masing jilid memuat sepuluh juz. Bahkan dalam edisi
terbarunya hanya terdiri dari satu jilid saja yang diterbitkan dengan
menggunakan huruf latin namun tetap memakai bahasa Jawa seperti yang
aslinya.16
Bisri Mustofa menulis kitab tafsir karena dorongan oleh kebutuhan
masyarakat Jawa pada khususnya. Sebagaimana dalam muqaddimah kitab
tafsir al-Ibr𝑖̅z Bisri Mustofa mengatakan:
Kangge nambah khidmah lan usaha ingkang sahe lan mulya punika,
dumateng ngersanipun para mitra muslimin ingkang mangertos
tembung daerah Jawa, kawula segahaken tarjamah tafsir Alquran
al- Aziz mawi cara ingkang persaja, entheng, cetha gampang
fahamipun.17
Berdasarkan mukadimah kitab tersebut, Kiai Bisyri memiliki tujuan
untuk berkhidmah pada ilmu dan dengan bahasa yang ringan dan sederhana

14
Ali Musolli Sohibi, dkk, “Tafsir di Asia Tenggara, tentang Tafsir al-Ibriz”, Makalah Prodi Ilmu Al-
Quran dan Tafsir Pascasarjana UIN Imam Bonjol, (2019), 8.
15
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Ciputat: Sejahtera Kita, 2013), Cet. 2, 145.
16
Siti Rosida, “Surah Yasin Dalam Tafsir Al-Ibriz,” Diya Al-Afkar: Jurnal Studi Al-Quran
Dan Al-Hadis 5, no. 02 (2017): 20, https://doi.org/10.24235/sqh.v5i02.4341.
17
Bisyri Mustofa, al-Ibrīz li Ma‟rifah, jilid 3, 1.
sehingga mudah dipahami, kitab ini hadir bagi masyarakat Jawa sebagai
pengurai pemahaman tentang nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci.
Secara umum, tafsif al-Ibriz menjadikan tiga kitab tafsir sebagai
rujukan utamanya, yakni tafsir aj-Jalalain, tafsir Baidhawi, dan tafsir
Khazin. Dalam pengantarnya kyai Bisyri menyampaikan sebagai berikut:
dene bahan-bahanipun terjemah tafsir ingkang kawula segahaken
puniko mboten sanes inggih namung metik saking tafsir-tafsir
muktabaroh, kados tafsir Jalalain, tafsir Baidhawi, tafsir Khazin,
lan sakpanunggalanipun18

Tafsir al-Ibriz dijilid dan dipublikasikan per-juz, sehingga terdapat


30 jilid. Tidak ditemukan keterangan, mengapa tafsir ini tidak dibukukan
dalam satu jilid, sehingga mudah dibawa keseluruhannya. Apakah semata-
mata pertimbangan penerbit yang menginginkan agar al-Ibriz dapat dibeli
per-juz sehingga tidak terlalu mahal harganya, karena target marketnya
adalah kelas pedesaan dan masyarakat pesantren, ataukah karena
keinginan penafsirnya.19 Namun tafsir ini terkesan ekslusif karena hanya
orang yang bisa berbahasa Arab dan Jawa saja mengingat penafsiran
ditulis menggunakan aksara Arab Pegon.
Menurut Yunan Yusuf dalam jurnal Abu Rokhmad, tafsir al-Ibriz
bersifat tafsir tradisional, lawan dari tafsir rasional. Dalam wacana
pemikiran Islam, kategori tradisional merujuk sikap setia terhadap doktrin-
doktrin Islam, normatif dan sejalan dengan pemikiran mainstream.
Meskipun demikian, dalam hal teologis, KH. Bisyri Musthofa cenderung
kepada pemikiran Mu’tazilah dibanding Asy’ariyah. Dalam konteks ini,
pemikiran KH. Bisyri Musthofa masuk kategori liberal, karena selama ini
Mu’tazilah dikenal sebagai pemikir yang rasional dan liberal.20

18
Ridhoul Wahidi, Hierarki Bahasa dalam Tafsir Al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir Al-Quran Al-
Aziz, Suhuf Jurnal Kajian al-Quran 146.
19
Rokhmad, “Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz,” 34.
20
Rokhmad, 36–37.
1. Metode penafsiran
Metode penafsiran merupakan langkah yang digunakan oleh
seorang mufassir dalam menjelaskan berbagai makna dan pengambilan
dalil terhadap suatu lafadh atau ayat, lalu disambungkan antara ayat
yang satu dengan yang lain, menyebutkan atsar sahabat, serta
menampilkan berbagai hal yang terkandung di dalam ayat dari segi
dalil-dalil, sajian keagamaan, etika, dan berbagai hal lain.21
Menurut peta metodologi yang disampaikan oleh al-Farmawi
dalam jurnal Rokhmad, tafsir al-Ibriz menggunakan metode tahlili,
yaitu suatu metode penafsiran yang menjelaskan tentang berbagai
makna yang terkandung di dalam al-Qur’an yang mana urutan tafsirnya
disamakan dengan susunan-susunan ayat pada mushaf al-Qur’an.22
Akan tetapi tafsir karya Kya Bisyri ini menggunakan bahasa yang
praktis dan mudah dipahami. Artinya bahasanya tidak berbelit-belit
sehingga sangat mudah sekali untuk memahami penjelasan tentang
suatu ayat terutama untuk pembaca tafsir pemula. Maka al-Farmawi
menyebutkan tafsir model tersebut merupakan metode tafsir tahlili
ijmali al-Wajiz.23
Makna kata per-kata disusun dengan sistem makna gandul,
sedangkan tafsirnya diletakkan pada bagian luarnya. Berdasarkan cara
ini, kedudukan serta fungsi kalimat dijelaskan secara detail sehingga
seorang yang membacanya akan mengetahui bawa lafadz ini memiliki
kedudukan sebagai fi’il, f𝑎̅’il, dan maf’ul dan lain sebagainya.24
Sebelum memulai menafsirkan, KH. Bisyri Musthofa
memberikan penjelasan nama surat, jumlah ayat sekaligus jumlah
perhitungannya, tempat turunnya surat (makiyyah, madaniyah), nomer
ayat pada masing-masing penafsiran, dan pada akhir penafsiran kadang

21
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung; Tafakkur, 2011), 97.
22
Rokhmad, “Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz,” 35–36.
23
Mafri Amir dan Lilik Umi Kultsum, Literatur Tafsir Indoensia, (Ciputat: Mazhab, 2013),
136.
24
Rokhmad, “Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz,” 36.
menggunakan kata Wallahu a’lam. Seperti contoh dalam surat al-
fatihah:
25‫سبع‬ ‫سورة الفاتحه ايكو سورة مكية وقيل مدنية واياتها‬
Metode penafsiran yang dipakai dalam kitab Tafsir al-Ibriz ini
bisa dikategorisasikan ke dalam model tafsir yang mengikuti penafsiran
tahlili (analitis).26 Dalam kitab tafsir al-Ibriz ia berusaha menjelaskan
dengan penjelasan beberapa aspek yang terkandung dalam al-Qur’an.
KH. Bisyri Musthofa mengemukakan penafsiran al-Qur’an runtut dari
awal hingga akhir. Ia juga menafsirkan dengan menjelaskan surat demi
surat sesuai dengan urutan surat, juga menguraikan kosa kata dan lafadz
terlebih dahulu. Disamping itu ia jelaskan asbab al-nuzul ayat tersebut,
serta munasabah (hubungan) ayat-ayat al-Qur’an antara satu sama lain,
ia juga merujuk pada dalil-dalil yang diterima dari Rasulullah, Sahabat,
maupun Tabi’in dan terkadang diperkuat pendapatnya sendiri, ia juga
merujuk pada kisah-kisah isra’iliyyat.27
Berikut adalah salah satu penafsiran terhadap salah satu ayat
dalam al-Quran surat al-Luqman ayat 12 :

ِ ٰ ِ ‫َولَقَد ٰاتَينَا لُق ٰمنَ ال ِحك َمةَ اَ ِن اش ُكر‬


‫لِل ۗ َو َمن يَّش ُكر فَ ِانَّ َما َيش ُك ُر‬
َ َ ٰ‫ِلنَفسِه َو َمن َكفَ َر فَا َِّن الِل‬
‫غنِي َح ِميد‬

Artinya :
Lan nyekti temen paring ingsun ing maringi Luqman peparing
rupa hikmah lan tegese sira syukur sira marang Allah lan sapa
wonge syukur, mangka angeng pestine deweke iku nyukuri awak
dewene lan sing sapa wonge kufur mangka saktemene Allah iku
sugih tur pinuji.28

25
KH. Bisyri Mustofa, Tafsir al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’an al-Aziz bi al-Lughoh Al-
Jawiyah (Kudus: Menara Kudus, 1960). 3
26
M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2010), 42.
27
Lilik Faiqoh and M Khoirul Hadi Al-Asy’ari, “Tafsir Surat Luqman Perspektif Kh Bisyri
Musthofa Dalam Tafsir Al-Ibriz,” MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir 2, no. 1 (2017): 62,
https://doi.org/10.24090/maghza.v2i1.1543.
28
KH. Bisyri Mustofa, Tafsir al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’an al-Aziz bi al-Lughoh Al-
Jawiyah, 1408.
Dalam kitab Tafsir al-Ibriz Kyai Bisyri menafsirkan ayat di atas
sebagai berikut :
Demi sayekti ingsun wes maringi Luqman, pepareng rupa
hikmah, Lan ingsun dawuh marang Luqman, sira syukur
marang Allah ta’ala!! sapa wonge syukur, mangka sejatine
deweke iku nyukuri awake dewe (jalaran ganjarane syukure
dirasak-rasakake dewe lan sing sapa wonge kufur, mangka
sejatine Allah ta’ala iku sumugih tur pinuji ora butuh apa-apa.
(Qishah) Luqman ana ing ayat iki, iku Luqman bin faghurbin
nakhurbin tarikuh, dadi Luqman iku keponakane Nabi Ibrahim
anak lanange dulure Nabi Ibrahim, Luqman iku umure
sewu/1000 tahun, mulo nganti menangi Nabi Dawud, Luqman
mahune dadi muftine Nabi Isma’il, barang Dawud di angkat
dadi Nabi, Luqman ninggalake jabatane mufti lan banjur mlebu
dadi muride Nabi Dawud, iya Luqman iku sing dadi sumber
ilmu hikmah.29

Dalam ayat di atas Allah telah memberikan pengertian kepada


Luqman berupa hikmah. Allah berkata kepada Luqman, “bersyukurlah
kepada Allah SWT, barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya
dirinya bersyukur untuk dirinya sendiri karena ucapan syukur akan
kembali kepada dirinya sendiri dan barang siapa yang tidak bersyukur
atas nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepadanya (kufur), maka
sesungguhnya Allah Maha kaya tidak membutuhkan apa-apa. (Kisah)
Luqman di dalam ayat ini, yaitu Luqman bin Faghur Nakhur bin Tarikh
jadi Luqman itu keponakannya Nabi Ibrahim (anak lelaki saudaranya
Nabi Ibrahim) Luqman itu umurnya seribu tahun sampai bertemu
masanya Nabi Dawud, Luqman awalnya jadi muftinya bani Isra’il,
semenjak Nabi Dawud diangkat menjadi Nabi, Luqman meninggalkan
jabatan mufti, maka dari itu masuk menjadi muridnya Nabi Dawud,
Luqman itu yang menjadi sumbernya Ilmu hikmah. Ayat tersebut berisi
mau’izah atau nasihat kepada Luqman agar bersyukur.
ketika menafsirkan lafal ‫ أو النساء المستم‬dalam Q.S. Al-Mâidah (5):
6, Kiai Bisyri menulis dalam kitab tafsirnya:

29
KH. Bisyri Mustofa, Tafsir al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’an al-Aziz bi al-Lughoh Al-
Jawiyah, 1408
...Utowo ngepuk wong wadon utowo jimak, nuli siro kabeh ora
nemu banyu…
Bisri Musthafa menafsirkannya dengan menepuk/bersentuhan
dengan wanita atau jima’ (berhubungan seksual). Jika merujuk kepada
kitab-kitab fikih, makna ‫ ءوال مستم النساء‬menurut jumhur adalah menyentuh
wanita, ada pula sebagian ulama tafsir berpendapat ulama bahwa kalimat
itu bermakna bersetubuh. Imam Syafi’ i berpendapat bahwa makna ‫ءوال‬
‫ مستم النساء‬bersentuhan kulit dengan yang bukan muhrim. Sementara imam
hanafi berpendapat makna ‫ ءوال مستم النساء‬di sini adalah bersetubuh bukan
bersentuhan. Dari uraian tersebut, maka dapat dilihat, bahwa Bisri
Musthafa cenderung moderat. Artinya ketika menafsir kan ‫ءوال مستم النساء‬
beliau tidak membela suatu mazhab. Namun lebih mengambil jalan
tengah, yakni menyentuh atau bersetubuh.30 Padahal apabila ia seorang
muslim yang bermazhab syafi’iyah seperti masyarakat Indonesia pada
umumnya pastinya dalam menafsirkan lafaz ‫ ءوال مستم النساء‬akan
mengambil makna yang berarti bersentuhan kulit seperti yang
dipaparkan oleh Imam Syafi’i.
2. Sistematika Tafsir
Sistematika yang digunakan dalam tafsir al-Ibriz adalah
sistematika mushafi yang digunakan oleh para mufassir pada umumnya.
Dalam menafsirkan berbagai ayat al-Quran, Kyai Bisyri Musthofa
menulis redaksi ayat secara utuh terlebih dahulu, kemudian
diterjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab
Pegon secara miring bersusun ke bawah lengkap dengan rujukan atau
dhamir-nya, bentuk seperti ini lebih dikenal dengan tulisan bermakna
gandul karena tulisan makna ditulis tergantung (nggandul) pada ayat-
ayat al-Quran. Penulisan seperti ini pada umumnya banyak digunkan
pada kalangan santri tradisional di Indonesia. Selanjutnya pada bagian
bawah kolom atau kanan-kiri diberikan keterangan dan penjelasan

30
Ridhoul Wahidi, Op.cit, h. 103-121.
secara luas dan terkadang juga diberikan contoh kisah-kisah yang terkait
dengan pokok pembahasan serta berbagai persoalan yang ada di
kalangan muslim pada saat itu serta mencantumkan kesimpulan
meskipun tidak seluruhnya.31
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, tafsir al-Ibriz
menggunakan bahasa Jawa sebagai bentuk penafsirannya, Tafsir al-Ibriz
ditulis ayat demi ayat dari surat ke surat dengan menjelaskan
mufradatnya sekalian bila dianggap perlu menurut tertib mushaf.32 KH.
Bisyri Musthofa menjelaskan secara rinci sistematika penulisan
tafsirnya:
Bentuk utawi wangunipun dipun atur kados ing ngandap iki:
a. Al-Qur’an dipun serat ing tengah mawi makna gandul.
b. Tarjamahipun tafsir kaserat ing pinggir kanthi tanda nomer
tarjamah ing awalipun.
c. Keterangan-keterangan sanes mawi tandha Tanbih, Faidah,
Muhimmah, Qissah lan sak panunggalipun.33

Maksudnya adalah bentuk umum penulisan tafsir tersebut yakni:


al-Quran ditulis di tengah halaman bersama makna gandul, terjemah
tafsir ditulis pada tepi halaman dengan menggunakan nomor penulisan
tafsir di bagian awal kalimat, dan keterangan-keterangan lain dberi
tanda kata Tanbih, Faidah dan Muhimmah, Qissah dan lain- lainnya. Di
samping itu kadang juga dicantumkan berbagai qiraat dari para imam
qiraah sab’ah. Corak kombinasi antara fiqih dan tasawuf pun bisa
terlihat di kitab ini. Hal itu tidak terlepas dari kaitannya dengan latar
belakang mufasirnya, dan juga kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam
tafsir Al- Ibriz.34

31
Muhammad Haris, Menuju Islam Moderat, (Bantul: Cantrik Pustaka, 2018), 53-54.
32
Masrur, ARAB-PEGON DAN TAFSIR AL-QUR ’ AN Indonesia, 38.
33
KH. Bisyri Mustofa, Tafsir al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’an al-Aziz bi al-Lughoh Al-
Jawiyah (Kudus: Menara Kudus, 1960), 1.
34
Masrur, 39.
Menurut Abu Rokhmad tafsir al-Ibriz tidak memiliki
kecenderungan dominan pada satu corak tertentu. Al-Ibriz cenderung
memiliki corak kombinasi antara fiqh, sosial kemasyarakatan, dan
tasawuf. Dalam arti penafsir akan memberikan tekanan khusus pada
berbagai ayat tertentu yang bernuansa hukum, tasawuf atau sosial
kemasyarakatan.35
Tafsir al-Ibriz disajikan dalam bentuknya yang sederhana. Ayat-
ayat al-Qur‟an dimaknai ayat per-ayat dengan makna gandhul (makna
yang ditulis dibawah kata perkata ayat al-Qur‟an, lengkap dengan
kedudukan dan fungsi kalimatnya, sebagai subyek, predikat atau obyek
dan lain sebagainya). Bagi pembaca tafsir yang berlatar santri maupun
non-santri, penyajian makna khas pesantren dan unik seperti ini sangat
membantu seorang pembaca saat mengenali dan memahami makna dan
fungsi kata per-kata. Hal ini sangat berbeda dengan model penyajian
yang utuh, di mana satu ayat diterjemahkan seluruhnya dan pembaca
yang kurang akrab dengan gramatika bahasa Arab sangat kesulitan jika
diminta menguraikan kedudukan dan fungsi kata-perkata.36
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, KH. Bisyri Musthofa
lebih mengedepankan aspek lokalitas dalam penafsirannya. Hal itu
tampak dari bahasa yang digunakan yakni bahasa Jawa. Pertama-tama
ia menulis redaksi ayat secara sempurna terlebih dahulu, kemudian
diterjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa Jawa dengan tulisan
Arab pegon (Arab Jawa), yaitu mengartikan setiap kosakata baik makna
secara lughawi, nahwi maupun shorfi yang ditulis miring bersusun ke
bawah seperti ciri khas pesantren seperti, utawi, iku, kelawan, ing dalem
dan sebagainya, bentuk tersebut dikenal tulisan makna gandul yang khas
Jawa. Dalam menerjemahkan dan menafsirkan ayat secara bersamaan
dengan bahasa Jawa yang diletakkan di sisi samping dalam lampiran-

35
Abu Rokhmad, Hermeneutika Tafsir Al-Ibriz: Studi Pemikiran KH Bisyri Mustofa dalam
Tafsir Al-Ibriz(Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo, 2004), 88.
36
Abu Rokhmad, 33.
lampiran kitab. Terjemahan diawali dengan penomoran sesuai dengan
ayat yang diterjemahkan, jika ayat penomoran terletak di akhir, maka
dalam penerjemahan nomor ayat terletak diawal. Dan terjemahan yang
dilengkapi dengan keterangan-keterangan tambahan, seperti kata
Tanbih, Faidah, Muhimmah, Qisshah dan lain-lainnya.37
Sekilas gambaran dan contoh dalam tafsir al-Ibriz, ketika muallif
menyebutkan kata “Tanbih” keterangan tersebut bersifat seperti
peringatan. Misalnya dalam Q.S. Al- Kahfi : 23-24. “Faidah”
keterangan tersebut bersifat irsyad (pendidikan), baik bentuk amaliyah
(praktis), mau‘izah (nasehat), ataupun tamsil (perumpamaan). Faidah
ini biasanya diambil dari hadis-hadis fada’il maupun pendapat ulama
salaf. Contohnya akhir surat al-Baqarah dan al-Kahfi :45. Muhimmah
berkaitan dengan sosial keilmuan ataupun tentang asbabun nuzul,
seperti diterangkan surah al-Kahfi : 28 dan surat Ar-Ra’du : 12. Selain
itu Al Qissah (kisah) dan hikayat. Seperti yang dijelaskan dalam surah
al-Lahab yang menerangkan kisah istrinya Abu Lahab dan hikayat yang
menceritakan tentang tahun kelahiran nabi di surah al-fil. ‘Mujarabat’
keterangan ini digunakan menambah keterangan yang bersifat amaliyah
praktis yang dinilai mempunyai manfaat untuk masyarakat, pembahasan
tambahan ini biasanya berkaitan dengan pengobatan dan lain
sebagainya, seperti dalam QS. An-Nahl : 69.38
Berdasarkan uraian-uraian tentang kitab tafsir al-Ibriz, penulis menemukan
beberapa kelebihan yakni diantaranya tafsir tersebut mudah untuk dipahami dari
berbagai kalangan khususnya masyarakat awam karena kitab tersebut memiliki
struktur bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Selain itu dalam penfasiran
kitab, mufassir menyertakan asbabun nuzul dari berbagai ayat yang memang
mempunyai asbabun nuzul. Ia juga tidak memihak salah satu mazhab ketika

37
Faiqoh and Al-Asy’ari, “Tafsir Surat Luqman Perspektif KH Bisyri Musthofa Dalam Tafsir
Al-Ibriz,” 61.
38
Faiqoh and Al-Asy’ari, 61.
menafsirkan suatu ayat yang berisi tentang hukum, akan tetapi menyesuaikan
dengan kondisi serta kebutuhan zaman pada saat itu.

Dari berbagai kelebihan di atas, penulis tentunya menemukan juga berbagai


kekurangan, sebagai contohnya karena kitab tersebut menggunakan aksara Arab-
Pegon, tentunya yang dapat memahami kitab tersebut hanyalah orang-orang yang
paham dengan bahasa jawa saja, artinya tafsir tersebut bersifat lokal. Selain itu
Hadis yang dimuat dalam tafsirnya tidak di sertai sanad yang lengkap sehingga
tidak di ketahui kualitas hadisnya.
D. Kesimpulan
KH. Bisyri Musthofa dilahirkan di Desa Sawahan, gang Palen, kota
Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1334 H/1915 M. Ia adalah putra dari
pasangan H. M. Zaenal Musthofa dan Siti Chotijah yang semasa kecil diberi
nama Mashadi. Sebagai ulama atau kyai karismatik, pendiri pondok
pesantren Raudhatut Tholibin di Rembang Jawa Tengah. Beliau di masa
akhirnya, ketika satu minggu hendak naik panggung dan berkampanye.
Allah ternyata berkehendak lain. Kyai Bisyri meninggal hari Rabu, 17
Februari 1977 waktu ashar di Rumah Sakit Dr. Karyadi, Semarang. Beliau
meninggal akibat serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan paru-paru
yang selama ini menggrogoti Mbah Bisyri.
Tafsir al-Ibriz yang mempunyai judul lengkap al-Ibriz li Ma’rifat
Tafsir al-Qur ’an al- ‘Aziz merupakan salah satu karya KH. Bisyri
Mushthafa yang cukup dikenal di kalangan para muslim jawa, khususnya di
lingkungan pesantren. Tafsir al-Ibriz merupakan salah satu tafsir yang
ditulis menggunakan bahasa Jawa, dengan tujuan agar masyarakat lokal
Jawa mampu memahami kandungan Alquran secara saksama. Karya tafsir
ini menggunakan bahasa yang ringan dicerna. Sehingga dapat dipahami,
baik oleh orang yang baru saja mempelajari tafsir ataupun yang sudah ahli.
Kyai Bisyri mengutip berbagai kitab tafsir yang sudah ada yang diantaranya
seperti: Baidhawi, kh𝑎̅𝑧𝑖𝑛, Jal𝑎̅𝑙𝑎𝑖𝑛, dan berbagai macam kitab tafsir lain.
tafsir al-Ibriz menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode
penafsiran yang menjelaskan tentang berbagai makna yang terkandung di
dalam al-Qur’an yang mana urutan tafsirnya disamakan dengan susunan-
susunan ayat pada mushaf al-Qur’an. Bahasa yang digunakan dalam kitab
tidak berbelit-belit sehingga sangat mudah sekali untuk memahami
penjelasan tentang suatu ayat terutama untuk pembaca tafsir pemula.
Sistematika yang digunakan dalam tafsir al-Ibriz adalah sistematika
mushafi yang digunakan oleh para mufassir pada umumnya. Dalam
menafsirkan berbagai ayat al-Quran, Kyai Bisyri Musthofa menulis redaksi
ayat secara utuh terlebih dahulu, kemudian diterjemahkan kata demi kata ke
dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab Pegon secara miring bersusun ke
bawah lengkap dengan rujukan atau dhamir-nya, bentuk seperti ini lebih
dikenal dengan tulisan bermakna gandul karena tulisan makna ditulis
tergantung (nggandul) pada ayat-ayat al-Quran. Namun tafsir ini terkesan
ekslusif karena hanya orang yang bisa berbahasa Arab dan Jawa saja
mengingat penafsiran ditulis menggunakan aksara Arab Pegon. Menurut
Yunan Yusuf dalam jurnal Abu Rokhmad, tafsir al-Ibriz bersifat tafsir
tradisional, lawan dari tafsir rasional. Dalam wacana pemikiran Islam,
kategori tradisional merujuk sikap setia terhadap doktrin-doktrin Islam,
normatif dan sejalan dengan pemikiran mainstream.
Daftar Pustaka

Amir, Mafri; Kultsum, Lilik Umi. Literatur Tafsir Indoensia. Ciputat: Mazhab,
2013.
Baidan. Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia. Solo: Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, 2003.
Faiqoh, Lilik. “Tafsir Kultural Jawa: Studi Penafsiran Surat Luqman Menurut KH.
Bisyri Musthofa,” Kalam 10, no. 1 (2017): 72,
https://doi.org/10.24042/klm.v10i1.160.
Faiqoh, Lilik; Al-Asy'ari,M Khoirul Hadi. “Tafsir Surat Luqman Perspektif Kh
Bisyri Musthofa Dalam Tafsir Al-Ibriz,” MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an
Dan Tafsir 2, no. 1 (2017), https://doi.org/10.24090/maghza.v2i1.1543.
Ghofur, Syaiful Amin. Profil para Mufasir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani. 2008.
Haris, Muhammad. Menuju Islam Moderat. Bantul: Cantrik Pustaka, 2018.
Huda, Achmad Zainal. Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisyri
Mustofa. Yogyakarta: LKiS, 2011. cet 2.
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung; Tafakkur, 2011.
Masrur, Moh. ARAB-PEGON DAN TAFSIR AL-QUR ’ AN Indonesia. Semarang:
Walisongo Press, 2017.
Musthofa, Bisyri. Tafsir al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’an al-Aziz bi al-Lughoh
Al-Jawiyah. Kudus: Menara Kudus, 1960.
Rokhmad, Abu. “Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz,” Analisa XVIII,
no. 01. 2011.
Rokhmad, Abu. Hermeneutika Tafsir Al-Ibriz: Studi Pemikiran KH Bisyri Mustofa
dalam Tafsir Al-Ibriz. Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo, 2004.
Rosida, Siti. “Surah Yasin Dalam Tafsir Al-Ibriz,” Diya Al-Afkar: Jurnal Studi Al-
Quran Dan Al-Hadis 5, no. 02 (2017): 20,
https://doi.org/10.24235/sqh.v5i02.4341.
Suryadilaga, M. Alfatih; dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2010.
Wahidi, Ridhoul. “Hierarki Bahasa dalam Tafsir Al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir Al-
Quran Al-Aziz”. Suhuf, 8 no. 01 (2015) Jurnal Kajian al-Quran.

Anda mungkin juga menyukai