PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
4. Untuk memaparkan hasil teori penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Nasr lulus dari sekolah teknik Tanta pada tahun 1960. Pada tahun
1968 menjadi mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Sastra,
Universitas Kairo. Sejak saat itu dia menunjukkan bakat intelektualnya dan
menjadi mahasiswa yang kritis dan progresif. Pada tahun 1972 memperoleh
gelar kesarjanaannya, kemudian menjadi asisten dosen di jurusan yang sama.
Nasr lalu melanjutkan pendidikan magister pada program yang sama dan
selesai tahun 1977, memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 1981.2
3
“Qadiyyah Nasr Hamid Abu Zayd”. “Pemurtadan” Nasr tidak berhenti
sampai di situ, tetapi masih terus berlanjut hingga pengadilan banding Kairo
menetapkan Nasr harus menceraikan istrinya. Semenjak peristiwa itu, dia
meninggalkan Mesir dan menetap di Netherlands bersama istrinya. Awalnya,
di Netherland Nasr menjadi profesor tamu studi Islam pada Universitas
Leiden sejak 26 Juli 1995, hingga 27 Desember 2000 dikukuhkan sebagai
Guru Besar Tetap di Universitas tersebut.3
4
mengaplikasikan metode kritik sastra terhadap AI-Qur’an. Dalam
pandangannya, metode tersebut merupakan satu-satunya metode untuk
mengkaji Islam. Nasr Hamid menyatakan: “oleh sebab itu, metode analisis
bahasa merupakan satu-satunya metode manusiawi yang mungkin untuk
mengkaji pesan (risalah), dan berarti memahami Islam. Metodologi kritik
sastra (Literary Criticism) yang diterapkan Nasr Hamid merupakan bagian
dari teori-teori hermeneutika.5
5
Siti Halimah, “Penerapan Hermeneutika dalam Kajian Islam Nasr Hamid Abu Zayd.”, Jurnal
Makrifat, 1, (April, 2016), hlm. 56.
6
Ahmad Fauzan, “Teks al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd.”, Kalimah, 1, (Maret,
2015), hlm. 65
7
Alfitri, “Studi Qur’an Kontemporer: Telaah atas Hermeneutik Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd.”
Millah, 1, (Agustus, 2002), hlm. 57.
5
Dengan meyelami realitas sekitar teks, Abu Zayd menyatakan bahwa
teks al-Qur ’an merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi). Menurutnya, hal
itu karena al-Qur’an terbentuk atas realitas sosial budaya selama dua puluh
tahun, proses kemunculan dan interaksinya dengan realitas budaya selama itu
adalah merupakan fase “keterbentukan” (marhalah al-takawwun wa al-
tasyakkul). Fase selanjutnya adalah fase “pembentukan” (marhalah al-takwin
wa al-tasykul), dimana al-Qur’an selanjutnya membentuk suatu budaya baru
sehingga al-Qur’an dengan sendirinya juga menjadi “produsen budaya”
(muntaj tsaqafi) sehingga teks al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari realitas
budaya dan masyarakat ketika al-Qur’an itu diturunkan. Abu Zayd
mempromosikan mekanisme dalam memaknai sebuah teks. Yaitu teks
ditinjau dari segi historisnya, yang kemudian disebutnya sebagai proyek
penyelidikan ilmiah. Dalam proyek penyelidikan ilmiah yang digulirkan, dia
memandang bahwa pendekatan historis yang mengacu pada analisa linguistik
sebagai pusat sistem pemaknaan suatu peradaban harus diterapkan. Kemudian
Abu Zayd melanjutkan pandangannya bahwa historitas teks, realitas, budaya,
dan bahasa (yaitu Bahasa Arab), menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah teks
manusiawi (nass insani).8
8
Kusmana, “Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu Zayd; Al-Qur’an Sebagai Wacana.”,
Kanz Philosophia, 2, (Desember, 2012), hlm. 269.
9
Fauzan, “Teks al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd.”, hlm. 67
6
Maka menurut Nasr Hamid perlu adanya suatu metodologi baru, yaitu
membaca al-Qur’an dengan melihat aspek-aspek diluar dari teks al- Qur’an
(sosio cultural) dan pendekatan kebahasaan/linguistic (al-Manhaj altahlil al-
lugawi) (Fonologi, Morfologi, Sintaksis dan Semantik). Pada dasarnya,
pemikiran Nasr Hamid ini tidaklah murni dari pemikirannya sendiri.
Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya yaitu Amin al- Khuli yang
dikenal sebagai pemikir dan menjadi peletak pertama metode sastra/linguistik
dalam kajian al-Qur’an. bagi al-Khuli metode tafsir sastra bertujuan untuk
mengurangi atau membatasi sebyektifitas penafsir yang cenderung teologis
dan ideologis. Inilah yang menjadi dasar Nasr Hamid dalam kajian al-Qur’an
kemudian membuat sebuah pengembangan terhadap metode al-Khuli tersebut
dengan melihat makna dan signifikansi teks/ayat al-Qur’an. Dalam modifikasi
ini, Nasr Hamid merujuk kepada teori E. D. Hirch tentang makna dan
signifikansi. Makna menurut Nasr Hamid adalah makna yang
direpresentasikan oleh teks dan signifikansi adalah apa yang muncul dalam
hubungan antara makna dan pembaca. Makna bersifat statis dan signifikansi
sifatnya dinamis, sesuai dengan konteks yang mengitarinya. Makna
digunakan untuk melihat makna historis/makna awal kosa kata al- Qur’an dan
signifikansi digunakan untuk mengaitkan al-Qur’an dengan realitas kekinian,
untuk menjadikan al-Qur’an sebagai solusi terhadap permasalahan-
permasalahan yang ada.10
Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an; Memburu Pesan Tuhan dibalik Fenomena
10
7
al-Qur’an dengan teks-teks yang lain, maka Abu Zayd menegaskan siapa saja
bisa mengkaji al-Qur’an. “Saya mengkaji al-Qur’an sebagai sebuah teks
berbahasa Arab agar dapat dikaji baik oleh kaum Muslim, Kristen, maupun
Ateis”. 11
1. Konsep Wahyu
8
penganiayaan yang dirasakannya. Melihat konsep wahyu ini, Abu Zayd telah
mengubah konsep dasar al-Qur’an yang selama ini diyakini oleh kaum
Muslim. Teks al-Qur ’an yang bersumber dari wahyu yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW adalah mukjizat terbesar yang diberikan kepadanya.
Bahkan semenjak kurang lebih 14 abad yang lalu, teks al-Qur’an terjaga dari
segala perubahan, penyimpangan, pengurangan maupun penambahan, seperti
yang telah Allah SWT janjikan. Demikian sifat khusus wahyu yang diberikan
Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.13
2. Marxisme
13
Fauzan, “Teks al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd.”, hlm. 70
14
Ibid, hlm. 72-73
9
1. Studi Sastra
2. Hermeneutika
Bagi Abu Zayd hermeneutika adalah ilmu baru yang telah membuka
matanya. Abu Zayd mengakui pengalamannya belajar di Amerika ketika
meraih beasiswa untuk studi pada Center For Middle East Studies Universitas
Pensylvania-Philadelphia, USA tahun 1978 ternyata membuahkan hasil. Di
sanalah ia mengenal dan mempelajari filsafat dan hermeneutika.Dalam
terminologi modern, Hermeneutika juga merupakan ilmu yang digunakan
dalam mencari pemahaman teks secara umum, yaitu dengan memunculkan
15
Alfian, “Heremenutika Nasr Hamid Abu Zayd.”, hlm.37.
16
Fauzan, “Teks al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd.”, hlm. 75
10
pertanyaan-pertanyaan yang beragam dan saling berkaitan seputar teks dari
segi karakteristiknya dan hubungannya dengan kondisi yang melingkupinya
dari satu sisi serta hubungannya dengan pengarang teks serta pembacanya dari
sisi yang lain.17
Ini misalnya diterapkan secara kasat pada kasus porsi harta waris
untuk kaum wanita. Abu Zaid menyeru agar porsi waris wanita disamakan
dengan porsi waris laki-laki dengan menakwil ayat-ayat al-Qur’an terkait
masalah harta waris. Porsi waris wanita yang hanya setengah dari porsi laki-
laki diberikan oleh teks Al-Qur‟an karena terkait dengan kedudukan wanita
pada masa jahiliyah. Disitulah Abu Zaid ketika menakwilkan Al-Qur’an
berpijak kepada teori historisitas teks dengan cara memisahkan antara makna
hukum dan signifikansi yang dikandungnya. Artinya, menurut Abu Zayd, jika
Al-Qur’an telah memberikan porsi waris untuk wanita setengah daripada laki-
laki atau seberapa pun porsinya sesuai dengan posisinya di antara ahli waris
17
Siti Halimah, “Penerapan Hermeneutika dalam Kajian Islam Nasr Hamid Abu Zayd.”, hlm. 54.
18
Fauzan, “Teks al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd.”, hlm. 77
11
setelah sebelumnya bangsa Arab tak pernah memberikan hak waris apa pun
kepada mereka, maka makna itu harus dilampaui kepada signifikansunya;
yaitu perbaikan nasib kaum wanita di tengah-tengah masyarakat. Jika
kemampuan wanita sekarang telah menjadikannya mitra laki-laki yang sejajar
dalam segala bidang, maka porsi warisnya pun seharusnya sama besar.
Karena teks-teks Al-Qur’an yang menetapkan porsi waris wanita memiliki
signifikansi yang dibatasi oleh standar pergerakan yang dimunculkan oleh
teks. Pergerakan itu akan melampaui kondisi yang selalu merendahkan
mereka dan terus bergerak kearah persamaan hak yang ditunjukkan olehnya
pada saat bersamaan.19
19
Siti Halimah, “Penerapan Hermeneutika dalam Kajian Islam Nasr Hamid Abu Zayd.”, hlm. 59.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
13
Abu Zaid menyeru agar porsi waris wanita disamakan dengan porsi
waris laki-laki dengan menakwil ayat-ayat al-Qur’an terkait masalah harta
waris. Porsi waris wanita yang hanya setengah dari porsi laki-laki diberikan
oleh teks Al-Qur‟an karena terkait dengan kedudukan wanita pada masa
jahiliyah.
14