Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembahasan seputar Al-Qur’an dan penafsirannya merupakan


pembahasan yang tak pernah mengenal kata usai. Hal ini dikarenakan
keyakinan yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah salih li kulli zaman wa
makan (relevan bagi ruang dan waktu). Kebutuhan pengkajian al-Qur`an
sudah mulai terasa sejak masa awal sejarah penyebaran Islam dan mencapai
respon keilmuan yang cukup penting pada masa Abbasiyah dimana Islam
telah menjadi agama bagi orang-orang non Arab, di luar bangsa di mana
alQur`an pertama kali diturunkan dan sekaligus pemilik bahasa yang
digunakan oleh Tuhan mengartikulasikan firman-firman-Nya.

Dewasa ini, muncul upaya-upaya untuk mengaplikasikan


hermeneutika sebagai metode tafsir al-Quran menggantikan metode yang
telah dirumuskan oleh para ulama. Mengkaji aplikasi hermeneutika dalam
tradisi Islam tidak terlepas dari tokoh Nasr Hamid Abu Zayd. Pemikir ini
sangat terkenal di dunia dan di Indonesia, juga menjadi rujukan para
akademisi. Buku-bukunya telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Sangat menarik untuk menyimak bagaimana Nasr Hamid Abu
Zayd memandang teks al-Qur’an.

B. Masalah atau Topik Bahasan


1. Bagaimana biografi Nasr Hamid Abu Zayd?
2. Bagaimana kerangka pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd?
3. Apa saja perangkat metodologi Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd?
4. Bagaimana hasil teori penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Untuk mengetahui biografi Nasr Hamid Abu Zayd.
2. Untuk memaparkan kerangka pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd.
3. Untuk mengetahui apa saja perangkat metodologi pemikiranNasr Hamid
Abu Zayd.

1
4. Untuk memaparkan hasil teori penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Nasr Hamid Abu Zayd

Nasr hamid Abu Zayd adalah tokoh kontroversial akibat kritik


keagamaan yang dilontarkannya di Mesir dan kepada kalangan muslim Sunni.
Nasr lahir pada 10 Juni 1943 di Desa Quhafa Kota Provinsi Tanta, Mesir.
Nasr adalah seorang qari’ dan hafiz, dan mampu untuk menceritakan isi Al-
Qur’an sejak usia delapan tahun, sehingga ia dijuluki ''Syaikh Nasr" oleh
anak-anak didesanya. Pada tahun 1954 saat usianya baru sebelas tahun, ia
bergabung dengan al-Ikhwan al-Muslimun, sebuah organisasi mapan yang
punya cabang hampir diseluruh pedesaan Mesir saat itu. Di masa remajanya,
Abu Zayd sering diminta menjadi muadzin dan imam salat di Mesjid.
Keluarganya termasuk keluarga yang taat beragama, dan Nasr pun
mendapatkan pengajaran agama dari keluarganya sejak kecil.1

Nasr lulus dari sekolah teknik Tanta pada tahun 1960. Pada tahun
1968 menjadi mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Sastra,
Universitas Kairo. Sejak saat itu dia menunjukkan bakat intelektualnya dan
menjadi mahasiswa yang kritis dan progresif. Pada tahun 1972 memperoleh
gelar kesarjanaannya, kemudian menjadi asisten dosen di jurusan yang sama.
Nasr lalu melanjutkan pendidikan magister pada program yang sama dan
selesai tahun 1977, memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 1981.2

Namun ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980),


saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle
Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia. Karena itu ia
menguasai bahasa Inggris lisan maupun tulisan. Ia juga pernah menjadi dosen
tamu di Universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar bahasa Arab selama
empat tahun (Maret 1985-Juli 1989). Belakangan ia divonis “murtad” yang
disebabkan pemikiran-pemikiran yang ia cetuskan, dikenal dengan peristiwa
1
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm.
116.
2
Ibid.

3
“Qadiyyah Nasr Hamid Abu Zayd”. “Pemurtadan” Nasr tidak berhenti
sampai di situ, tetapi masih terus berlanjut hingga pengadilan banding Kairo
menetapkan Nasr harus menceraikan istrinya. Semenjak peristiwa itu, dia
meninggalkan Mesir dan menetap di Netherlands bersama istrinya. Awalnya,
di Netherland Nasr menjadi profesor tamu studi Islam pada Universitas
Leiden sejak 26 Juli 1995, hingga 27 Desember 2000 dikukuhkan sebagai
Guru Besar Tetap di Universitas tersebut.3

Nasr Hamid Abu Zayd merupakan ilmuwan muslim yang sangat


produktif, Ia menulis lebih dari dua puluh sembilan (29) karya sejak tahun
1964 sampai 1999, baik berbentuk buku, maupun artikel. Ada sembilan
karyanya yang penting dan sudah dipublikasikan, yaitu:

1. The al- Qur’an: God and Man in Communication (Lcidcn, 2000).


2. Al-Khitab wa al-Ta’wil (Dar el-Beida, 2000)
3. Dawair al-Kawf Qira’ah fi al-Khitah al-Mar’ah (Dar el-Beidah, 1999 )
4. AI-Nass. al-Sultah, al-Haqiqah: al-Fikr al-Diniy bayna lrdaat al-Ma‟rifah
wa lradat al-Haymanah (Cairo, 1995)
5. AI- Tafkir fi Zaman al- Tafkir: Didda al-.lahl wa al-Zayf wa al-Khurafah
(Cairo, 1995)
6. Naqd al-Khitab al-Diniy (Cairo, 1994)
7. Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum Alquran (1994) (Cairo, 1994)
8. Falsafat al-Ta’wil: Dirasah fi al-Ta’wil al-Qur’an ‘ind Muhyi al-Din Ibn
‘Arabiy (Beirut, 1993)
9. AI-lttijah al-‘Aqli fi al-Tafsir: Dirasah Qaqiyyat al-Majaz fi al¬-Qur’an
(Beirut, 1982).4
B. Kerangka Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

Dalam mengkaji al-Quran, Nasr Hamid menggunakan metode analisis


teks bahasa sastra. Sebelum Nasr Hamid, beberapa Intelektual Muslim Mesir
seperti Thaha Husain, Amin al-Khuli (1895-1966), Muhammad Ahmad
Khalaf Allah (1916-1998) dan Shukri Muhammad ‘Ayyad (1921-1999) sudah
3
Muhammad Alfian, “Heremenutika Nasr Hamid Abu Zayd.”, Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman, 1, (juni, 2018), hlm.27
4
Ibid. hlm. 27-28

4
mengaplikasikan metode kritik sastra terhadap AI-Qur’an. Dalam
pandangannya, metode tersebut merupakan satu-satunya metode untuk
mengkaji Islam. Nasr Hamid menyatakan: “oleh sebab itu, metode analisis
bahasa merupakan satu-satunya metode manusiawi yang mungkin untuk
mengkaji pesan (risalah), dan berarti memahami Islam. Metodologi kritik
sastra (Literary Criticism) yang diterapkan Nasr Hamid merupakan bagian
dari teori-teori hermeneutika.5

Pada awal pembahasan tentang al-Qur’an sebagai sebuah “teks”, Abu


Zayd menyatakan bahwa peradaban Arab Islam merupakan sebuah
“peradaban teks”. Artinya, dalam perkembangan dasar-dasar ilmu dan budaya
Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas suatu landasan di mana “teks”
menjadi pusatnya. Meski demikian, bukan berarti “teks” yang membangun
peradaban dengan sendirinya, justru interaksi dialektika antara manusia dan
“teks” dan segala realitas yang ada berperan penting dalam membentuk
ekonomi, sosial, budaya, dan politik dan seluruh aspek kehidupan.6

Untuk mendapatkan pengertian yang bisa menjelaskan tentang teks,


kemudian Abu Zayd membedakan antara nass (teks) dan mushaf (buku).
Menurutnya, nass (teks) berarti dalalah (makna) dan memerlukan
pemahaman, penjelasan, dan interpretasi. Sedang mushaf (buku) tidaklah
demikian, karena dia telah tertransformasikan menjadi sesuatu (syai’), baik
itu berupa karya estetik, ataupun alat untuk mendapatkan berkah Tuhan.
Kemudian teks menurut Abu Zayd terbagi menjadi dua, teks primer (al-nass
al-asliy) dan teks sekunder (al-nass al-tsanawiy). Teks primer adalah al-
Qur’an dan teks sekunder adalah sunnah Nabi yang berperan sebagai
komentar tentang teks primer. Sedangkan teks-teks keagamaan yang
dihasilkan dari ijtihad-ijtihad para ulama, ahli fiqh, mufasir dianggap sebagai
teks sekunder.7

5
Siti Halimah, “Penerapan Hermeneutika dalam Kajian Islam Nasr Hamid Abu Zayd.”, Jurnal
Makrifat, 1, (April, 2016), hlm. 56.
6
Ahmad Fauzan, “Teks al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd.”, Kalimah, 1, (Maret,
2015), hlm. 65
7
Alfitri, “Studi Qur’an Kontemporer: Telaah atas Hermeneutik Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd.”
Millah, 1, (Agustus, 2002), hlm. 57.

5
Dengan meyelami realitas sekitar teks, Abu Zayd menyatakan bahwa
teks al-Qur ’an merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi). Menurutnya, hal
itu karena al-Qur’an terbentuk atas realitas sosial budaya selama dua puluh
tahun, proses kemunculan dan interaksinya dengan realitas budaya selama itu
adalah merupakan fase “keterbentukan” (marhalah al-takawwun wa al-
tasyakkul). Fase selanjutnya adalah fase “pembentukan” (marhalah al-takwin
wa al-tasykul), dimana al-Qur’an selanjutnya membentuk suatu budaya baru
sehingga al-Qur’an dengan sendirinya juga menjadi “produsen budaya”
(muntaj tsaqafi) sehingga teks al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari realitas
budaya dan masyarakat ketika al-Qur’an itu diturunkan. Abu Zayd
mempromosikan mekanisme dalam memaknai sebuah teks. Yaitu teks
ditinjau dari segi historisnya, yang kemudian disebutnya sebagai proyek
penyelidikan ilmiah. Dalam proyek penyelidikan ilmiah yang digulirkan, dia
memandang bahwa pendekatan historis yang mengacu pada analisa linguistik
sebagai pusat sistem pemaknaan suatu peradaban harus diterapkan. Kemudian
Abu Zayd melanjutkan pandangannya bahwa historitas teks, realitas, budaya,
dan bahasa (yaitu Bahasa Arab), menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah teks
manusiawi (nass insani).8

Di sini Abu Zayd telah meletakkan kedudukan al-Qur’an sejajar


dengan teks-teks bahasa yang bentuknya sama dengan teks-teks lainnya
dalam budaya. Akhirnya, implikasi paling nyata dari beberapa pandangan-
pandangan Abu Zayd di atas adalah ketika mengaitkan teks dengan bahasa,
budaya, dan sejarah adalah termanusiawikannya al-Qur’an sebagaimana teks
kebahasaan umumnya. Dengan istilah lain, al-Qur’an telah menjadi sebuah
produk budaya (muntaj tsaqafi) yang berada dalam genggaman manusia
(textus receptus) seperti yang dia jelaskan di atas, serta terbuka terhadap
berbagai macam penafsiran yang ingin dicapai oleh siapa saja yang berminat
untuk menafsirkan al-Qur’an. 9

8
Kusmana, “Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu Zayd; Al-Qur’an Sebagai Wacana.”,
Kanz Philosophia, 2, (Desember, 2012), hlm. 269.
9
Fauzan, “Teks al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd.”, hlm. 67

6
Maka menurut Nasr Hamid perlu adanya suatu metodologi baru, yaitu
membaca al-Qur’an dengan melihat aspek-aspek diluar dari teks al- Qur’an
(sosio cultural) dan pendekatan kebahasaan/linguistic (al-Manhaj altahlil al-
lugawi) (Fonologi, Morfologi, Sintaksis dan Semantik). Pada dasarnya,
pemikiran Nasr Hamid ini tidaklah murni dari pemikirannya sendiri.
Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya yaitu Amin al- Khuli yang
dikenal sebagai pemikir dan menjadi peletak pertama metode sastra/linguistik
dalam kajian al-Qur’an. bagi al-Khuli metode tafsir sastra bertujuan untuk
mengurangi atau membatasi sebyektifitas penafsir yang cenderung teologis
dan ideologis. Inilah yang menjadi dasar Nasr Hamid dalam kajian al-Qur’an
kemudian membuat sebuah pengembangan terhadap metode al-Khuli tersebut
dengan melihat makna dan signifikansi teks/ayat al-Qur’an. Dalam modifikasi
ini, Nasr Hamid merujuk kepada teori E. D. Hirch tentang makna dan
signifikansi. Makna menurut Nasr Hamid adalah makna yang
direpresentasikan oleh teks dan signifikansi adalah apa yang muncul dalam
hubungan antara makna dan pembaca. Makna bersifat statis dan signifikansi
sifatnya dinamis, sesuai dengan konteks yang mengitarinya. Makna
digunakan untuk melihat makna historis/makna awal kosa kata al- Qur’an dan
signifikansi digunakan untuk mengaitkan al-Qur’an dengan realitas kekinian,
untuk menjadikan al-Qur’an sebagai solusi terhadap permasalahan-
permasalahan yang ada.10

Masih menurut Abu Zayd, studi al-Qur’an tidak memerlukan metode


yang khusus. Jika metode khusus dibutuhkan, maka hanya sebagian manusia
yang memiliki kemampuan saja yang bisa memahaminya. Manusia biasa
akan tertutup untuk memahami teks-teks agama. Abu Zayd menyalahkan
penafsiran yang telah dilakukan oleh mayoritas mufasir yang selalu
menafsirkan al-Qur’an dengan muatan metafisis Islam. Dalam pandangannya,
metodologi seperti itu tidak akan melahirkan sikap ilmiah. “Sesungguhnya,
kepercayaan atas wujud metafisik teks (al-Qur’an) akan menghapuskan upaya
pemahaman yang ilmiah bagi fenomena teks”. Dengan menyamakan status

Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an; Memburu Pesan Tuhan dibalik Fenomena
10

Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 200.

7
al-Qur’an dengan teks-teks yang lain, maka Abu Zayd menegaskan siapa saja
bisa mengkaji al-Qur’an. “Saya mengkaji al-Qur’an sebagai sebuah teks
berbahasa Arab agar dapat dikaji baik oleh kaum Muslim, Kristen, maupun
Ateis”. 11

Pada dasarnya, kerangka Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd


dipengaruhi oleh dua hal pokok di bawah ini:

1. Konsep Wahyu

Berbicara tentang pandangan Abu Zayd terhadap teks al-Qur’an, kita


tidak bisa melepaskan pandangannya terhadap konsep wahyu. Karena dengan
adanya konsep wahyu baru itu akan mendukung segala pandangannya nanti
terhadap teks. Menurutnya, proses turunnya al-Qur’an kepada Nabi
Muhammad SAW melalui dua tahapan. Pertama adalah tahap tanzil, yaitu
proses turunnya teks al-Qur’an secara vertikal dari Allah kepada Jibril. Kedua,
tahap ta’wil, yaitu proses di mana Nabi Muhammad SAW menyampaikan al-
Qur’an dengan bahasanya, yaitu Bahasa Arab dan dengan pemahaman
manusia.12

Dapat disimpulkan bahwa konsep wahyu menurut Abu Zayd telah


berubah dari tanzil menjadi ta’wil. Artinya, al-Qur’an yang ada sekarang
hanya merupakan bentuk pemahaman dari Nabi SAW saja sebagai penerima
wahyu. Bahkan untuk menghubungkan metode kritik sastra dan hermeneutika
yang akan diterapkan, Nabi Muhammad SAW ditempatkan sebagai pengarang
al-Qur ’an. Menurutnya, hal tersebut disebabkan interaksinya dengan budaya
di mana wahyu itu diturunkan dan juga dengan berbahasanya wahyu dengan
Bahasa Arab. Karena menurutnya bahasa Tuhan itu berbeda dengan bahasa
manusia. Pandangan ini adalah sebuah keberanian intelektual yang menerobos
ikatan-ikatan sakralitas keagamaan yang dianggap baku dan mapan, serta
menyelisihi keyakinan kaum Muslimin. Bahkan baginya fenomena wahyu
yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW adalah merupakan imajinasi
beliau, disebabkan keadaan Nabi dari kondisi kemiskinan, yatim piatu, dan
11
Fauzan, “Teks al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd.”, hlm. 68
12
Alfitri, “Telaah atas Hermeneutik Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd.”, hlm. 57.

8
penganiayaan yang dirasakannya. Melihat konsep wahyu ini, Abu Zayd telah
mengubah konsep dasar al-Qur’an yang selama ini diyakini oleh kaum
Muslim. Teks al-Qur ’an yang bersumber dari wahyu yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW adalah mukjizat terbesar yang diberikan kepadanya.
Bahkan semenjak kurang lebih 14 abad yang lalu, teks al-Qur’an terjaga dari
segala perubahan, penyimpangan, pengurangan maupun penambahan, seperti
yang telah Allah SWT janjikan. Demikian sifat khusus wahyu yang diberikan
Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.13

2. Marxisme

Marxisme berkeyakinan bahwa nilai-nilai agama, moral, dan hukum


dalam sejarahnya selalu mengalami modifikasi, artinya nilai-nilai agama
bersifat relatif bergantung waktu dan zaman yang mengelilinginya. Adapun
beberapa pandangan yang dikemukan Abu Zayd tentang teks yang bersesuaian
dengan Marxisme, dapat kita jelaskan sebagai berikut. Pertama, dalam
Marxisme ada sebuah ajaran yang dikenal dengan metodologi materialisme
dialektis yang menjadi pilar pertama dari Marxisme. Dalam analisis dialektis
ini, nilai-nilai sosial yang terdapat dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan
dari fakta-fakta sosial. Kedua, dalam pandangan Marxisme, alam materi dan
realitas ekonomi dan sosial adalah dua fondasi dasar yang digunakan pikiran
untuk membentuk, mengeluarkan, dan memproduksi segala hal. Demikian
juga dengan Abu Zayd yang menyatakan bahwa realitaslah yang menjadi
dasar (pemahaman al-Quran), dan dia tidak mungkin untuk diabaikan.
Makanya, yang pertama adalah realitas, kedua realitas, dan terakhir realitas.
Menyia-nyiakan realitas demi teks agama yang kaku dan konstan, baik makna
dan dilalahnya, akan mengubahnya menjadi mitos.14

C. Perangkat Metodologi Pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd

Adapun dalam proyek analisa teks al-Qur’an, Abu Zayd kemudian


menggunakan perangkat metodologi sebagai berikut:

13
Fauzan, “Teks al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd.”, hlm. 70
14
Ibid, hlm. 72-73

9
1. Studi Sastra

Sebenarnya tidak mengherankan ketika melihat metodologi yang


digunakan Abu Zayd dalam menganalisa teks (al-Qur’an) dengan
menggunakan metode kritik sastra. Persentuhan Abu Zayd dengan studi sastra
ini sudah dimulai dari pendidikan tingginya hingga program doktoral dalam
bidang sastra Arab, kemudian menjadi asisten dosen di Jurusan Bahasa Arab
Fakultas Sastra Universitas Kairo.15

Pernyataan yang diberikan Abu Zayd al-Qur’an sebagai produk budaya


tentu tidak lepas dari latar belakang Nasr sebagai sastrawan. Sehingga ada
kemungkinan teori-teori sastra yang ia pelajari berpengaruh terhadap
pemikiran-pemikirannya. Jika ditelusuri, anggapan bahwa teks al-Qur’an
adalah produk budaya sebenarnya diambil dari teori kritik sastra. Lucian
Goldman menganggap bahwa karya sastra adalah sebuah struktur sebagai
produk sejarah yang terus berlangsung. Sementara itu, sosiologi sastra
memandang bahwa karya sastra dihasilkan melalui antar hubungan bermakna,
yaitu subjek kreator dan masyarakat. Teori ini memandang karya sastra
sebagai bagian dari masyarakat, yaitu sebagai dokumen sosial. Seorang
pengarang tidak mungkin menciptakan suatu karya tanpa realitas yang melatar
belakanginya. Oleh karena itu, karya sastra adalah produk masyarakat tertentu.
Mungkin inilah teori sastra yang mempengaruhi Abu Zayd, sehingga ia
menyimpulkan al-Qur’an adalah produk budaya.16

2. Hermeneutika

Bagi Abu Zayd hermeneutika adalah ilmu baru yang telah membuka
matanya. Abu Zayd mengakui pengalamannya belajar di Amerika ketika
meraih beasiswa untuk studi pada Center For Middle East Studies Universitas
Pensylvania-Philadelphia, USA tahun 1978 ternyata membuahkan hasil. Di
sanalah ia mengenal dan mempelajari filsafat dan hermeneutika.Dalam
terminologi modern, Hermeneutika juga merupakan ilmu yang digunakan
dalam mencari pemahaman teks secara umum, yaitu dengan memunculkan
15
Alfian, “Heremenutika Nasr Hamid Abu Zayd.”, hlm.37.
16
Fauzan, “Teks al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd.”, hlm. 75

10
pertanyaan-pertanyaan yang beragam dan saling berkaitan seputar teks dari
segi karakteristiknya dan hubungannya dengan kondisi yang melingkupinya
dari satu sisi serta hubungannya dengan pengarang teks serta pembacanya dari
sisi yang lain.17

Dengan hermeneutika yang akan diterapkan, Abu Zayd berupaya


untuk mendapatkan makna dan pemahamanpemahaman yang sesuai dengan
perkembangan zaman saat ini. Kemudian ia meninggalkan makna dan
pemahaman-pemahaman ketika al-Qur’an diturunkan dengan tetap
mempertahankan keutuhan teks aslinya.

Padahal, setelah dianalisis dan ditelaah lebih dalam lagi, hermeneutika


merupakan suatu metodologi tafsir yang berasal dari tradisi Kristen/Yahudi
yang kemudian diadopsi oleh para teolog dan filsuf Barat modern menjadi
metode interpretasi teks secara umum. Hermeneutika berkembang dalam
tradisi Kristen dan intelektual Barat, karena memang berangkat dari teks Bibel
dan doktrin teologis Kristen yang mengandung banyak sekali masalah di mata
para cendekiawannya sendiri. Artinya, problematika yang berasal dari teks
Bibel dan doktrin teologis Kristenlah yang telah melahirkan hermeneutika.
Suatu keadaan yang sangat berbeda dengan Islam dan al-Qur’an.18

D. Hasil Teori Penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd

Ini misalnya diterapkan secara kasat pada kasus porsi harta waris
untuk kaum wanita. Abu Zaid menyeru agar porsi waris wanita disamakan
dengan porsi waris laki-laki dengan menakwil ayat-ayat al-Qur’an terkait
masalah harta waris. Porsi waris wanita yang hanya setengah dari porsi laki-
laki diberikan oleh teks Al-Qur‟an karena terkait dengan kedudukan wanita
pada masa jahiliyah. Disitulah Abu Zaid ketika menakwilkan Al-Qur’an
berpijak kepada teori historisitas teks dengan cara memisahkan antara makna
hukum dan signifikansi yang dikandungnya. Artinya, menurut Abu Zayd, jika
Al-Qur’an telah memberikan porsi waris untuk wanita setengah daripada laki-
laki atau seberapa pun porsinya sesuai dengan posisinya di antara ahli waris
17
Siti Halimah, “Penerapan Hermeneutika dalam Kajian Islam Nasr Hamid Abu Zayd.”, hlm. 54.
18
Fauzan, “Teks al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd.”, hlm. 77

11
setelah sebelumnya bangsa Arab tak pernah memberikan hak waris apa pun
kepada mereka, maka makna itu harus dilampaui kepada signifikansunya;
yaitu perbaikan nasib kaum wanita di tengah-tengah masyarakat. Jika
kemampuan wanita sekarang telah menjadikannya mitra laki-laki yang sejajar
dalam segala bidang, maka porsi warisnya pun seharusnya sama besar.
Karena teks-teks Al-Qur’an yang menetapkan porsi waris wanita memiliki
signifikansi yang dibatasi oleh standar pergerakan yang dimunculkan oleh
teks. Pergerakan itu akan melampaui kondisi yang selalu merendahkan
mereka dan terus bergerak kearah persamaan hak yang ditunjukkan olehnya
pada saat bersamaan.19

19
Siti Halimah, “Penerapan Hermeneutika dalam Kajian Islam Nasr Hamid Abu Zayd.”, hlm. 59.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Nasr hamid Abu Zayd adalah tokoh kontroversial akibat kritik


keagamaan yang dilontarkannya di Mesir dan kepada kalangan muslim Sunni.
Nasr lahir pada 10 Juni 1943 di Desa Quhafa Kota Provinsi Tanta, Mesir.
Belakangan ia divonis “murtad” yang disebabkan pemikiran-pemikiran yang
ia cetuskan, dikenal dengan peristiwa “Qadiyyah Nasr Hamid Abu Zayd”.

Dalam mengkaji al-Quran, Nasr Hamid menggunakan metode analisis


teks bahasa sastra. Perkembangan dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam
tumbuh dan berdiri tegak di atas suatu landasan di mana “teks” menjadi
pusatnya. Abu Zayd menyatakan bahwa teks al-Qur ’an merupakan produk
budaya (muntaj tsaqafi). konsep wahyu menurut Abu Zayd telah berubah
dari tanzil menjadi ta’wil. Artinya, al-Qur’an yang ada sekarang hanya
merupakan bentuk pemahaman dari Nabi SAW saja sebagai penerima wahyu.
Abu Zayd yang menyatakan bahwa realitaslah yang menjadi dasar
(pemahaman al-Quran), dan dia tidak mungkin untuk diabaikan. menurut
Nasr Hamid adalah makna yang direpresentasikan oleh teks dan signifikansi
adalah apa yang muncul dalam hubungan antara makna dan pembaca. Makna
bersifat statis dan signifikansi sifatnya dinamis, sesuai dengan konteks yang
mengitarinya.

Anggapan bahwa teks al-Qur’an adalah produk budaya sebenarnya


diambil dari teori kritik sastra. Lucian Goldman menganggap bahwa karya
sastra adalah sebuah struktur sebagai produk sejarah yang terus berlangsung.
Abu Zayd juga menerapkan teori hermeneutika, Abu Zayd berupaya untuk
mendapatkan makna dan pemahamanpemahaman yang sesuai dengan
perkembangan zaman saat ini. Kemudian ia meninggalkan makna dan
pemahaman-pemahaman ketika al-Qur’an diturunkan dengan tetap
mempertahankan keutuhan teks aslinya.

13
Abu Zaid menyeru agar porsi waris wanita disamakan dengan porsi
waris laki-laki dengan menakwil ayat-ayat al-Qur’an terkait masalah harta
waris. Porsi waris wanita yang hanya setengah dari porsi laki-laki diberikan
oleh teks Al-Qur‟an karena terkait dengan kedudukan wanita pada masa
jahiliyah.

14

Anda mungkin juga menyukai