0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
10 tayangan3 halaman
Dokumen tersebut membahas perkawinan muda dari sudut pandang agama dan kepercayaan di masyarakat. Ia menjelaskan bahwa perkawinan erat kaitannya dengan agama menurut undang-undang. Dokumen tersebut juga membahas fenomena perkawinan muda di masyarakat, alasan pendukung dan penentang perkawinan muda, serta pandangan Islam terhadap perkawinan muda.
Dokumen tersebut membahas perkawinan muda dari sudut pandang agama dan kepercayaan di masyarakat. Ia menjelaskan bahwa perkawinan erat kaitannya dengan agama menurut undang-undang. Dokumen tersebut juga membahas fenomena perkawinan muda di masyarakat, alasan pendukung dan penentang perkawinan muda, serta pandangan Islam terhadap perkawinan muda.
Dokumen tersebut membahas perkawinan muda dari sudut pandang agama dan kepercayaan di masyarakat. Ia menjelaskan bahwa perkawinan erat kaitannya dengan agama menurut undang-undang. Dokumen tersebut juga membahas fenomena perkawinan muda di masyarakat, alasan pendukung dan penentang perkawinan muda, serta pandangan Islam terhadap perkawinan muda.
Menikah Muda dalam Pandangan Agama dan Kepercayaan di Masyarakat”
Oleh: Qadli Iyaldi (Staf Departemen Kajian dan Literasi, FH 2018)
Bagaimana agama dan kepercayaan menjabarkan perkawinan dan bagaimana perkawinan menerapkan agama dan kepercayaan? Mungkin secara normatif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat menjawabnya. Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[1]. Pengertian tersebut menegaskan bahwa perkawinan berhubungan erat dengan agama dan kepercayaan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyerahkan syarat- syarat perkawinan berdasarkan agama dari masing-masing mempelai. Sebagaimana diatur di dalam pasal 2 undang-undang tersebut bahwa perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu[2]. Berdasarkan pengertian dan pemahaman tersebut kita tidak dapat memisahkan perkawinan dari unsur agama atau kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Perkawinan yang berkembang di masyarakat juga tidak hanya dapat dilihat sebagai bentuk perjanjian yang membuahkan perikatan antara seorang laki- laki dan seorang perempuan. Perkawinan pada dasarnya merupakan bentuk fenomena sosial di masyarakat yang melibatkan banyak pihak dalam prosesinya. Oleh karena itu, aturan-aturan yang melandasi terjadinya suatu perkawinan tidak hanya dapat ditentukan atas kehendak kedua mempelai yang melangsungkannya, melainkan sifatnya tertutup atau sudah ada ketentuan umum yang mengaturnya[3]. Perkawinan juga dinilai sakral di masyarakat karena merupakan manifestasi nasib dari seorang laki-laki dan perempuan di dalam mengarungi sisa hidupnya. Namun, perkawinan yang dinilai sakral oleh masyarakat dalam pelaksanaannya sering kali menimbulkan permasalahan, mulai dari kekerasan di dalam rumah tangga hingga pelalaian kewajiban oleh salah satu pihak. Sejenak timbul di dalam benak penulis apakah semua ini disebabkan karena suami dan/atau istri yang belum siap dalam melangsungkan kehidupan berumah tangga ataukah terdapat faktor lainnya. Jika hal tersebut memang disebabkan karena suami dan/atau istri belum siap melangsungkan kehidupan berumah tangga, maka apakah hal itu disebabkan karena antara suami dan/atau istri belum cukup umur serta belum siap dalam melangsungkan perkawinan. Patutkah perkawinan – perkawinan seperti itu kita tautkan arti sebagai perkawinan muda. Sebenarnya bagaimanakah pelaksanaan perkawinan muda itu di masyarakat? Perkawinan usia muda memiliki pengertian yang sangat abstrak maka yang dimaksud oleh penulis perkawinan di usia muda adalah seorang pria dan wanita yang melangsungkan perkawinan di bawah usia 21 tahun. Dasar penetapan usia tersebut berasal dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mensyaratkan bahwa seseorang pria dapat melangsungkan perkawinan ketika usianya mencapai 19 tahun dan wanita yang berusia 16 tahun[4]. Namun untuk melangsungkan perkawinan di bawah usia 21 tahun diperlukan izin dari kedua orang tua[5]. Maka dari itu, usia 21 tahun merupakan usia ketika seseorang dianggap cakap, siap, serta dapat melangsungkan pernikahan tanpa adanya izin dari orang tua. Menurut hemat penulis definisi ataupun aturan-aturan yang terdapat di dalam ketentuan undang-undang sering kali bersifat sangat normatif. Pelaksanaan di masyarakat sering kali berbeda dari peraturan yang ada. Perkembangan masyarakat membuat fenomena-fenomena baru yang secara implisit menimbulkan syarat dan definisi yang berbeda. Di dalam tulisan ini akan lebih lanjut diuraikan tentang fenomena perkawinan muda yang dilihat dari sudut pandang agama Islam sebagai agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia dan disertai faktor pendorong terlaksananya perkawinan tersebut. Pada sisi lain, banyak juga masyarakat yang tidak setuju dengan konsep perkawinan muda karena mereka melihat bahwa perkawinan tersebut menimbulkan berbagai macam permasalahan. Fenomena nikah muda yang berkembang di masyarakat berkaitan erat dengan persoalan agama ataupun kepercayaan. Banyak pasangan yang mendasari alasan pernikahannya karena atas anjuran dari ajaran agamanya ataupun mengikuti tokoh yang dipandang terhormat di dalam ajaran agamanya. Seperti contohnya beberapa tahun silam, Muhammad Alvin Faiz yang merupakan putra pertama seorang Ustadz yang cukup terkenal yaitu Muhammad Arifin Ilham, menikah dengan seorang muallafah beretnis Tionghoa kelahiran Cirebon, Jawa Barat, Larissa Chou. Pada saat itu usia Alvin 17 tahun dan Larissa 20 tahun[6]. Alasan para orang tua yang mendasari agar anaknya melaksanakan perkawinan muda adalah untuk menjauhkan anaknya dari perilaku pacaran dan pergaulan bebas sejak dini. Selanjutnya, mereka melihat bahwa perkawinan muda ini dipahami sebagai hal yang lumrah karena perkawinan muda sudah dilakukan sejak zaman dahulu dan umum untuk dilakukan oleh pendahulunya. Selain itu niat yang diusung mereka adalah melakukan perintah Allah Ta’ala, menjejaki sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, dan melindungi diri dari gempuran godaan zina yang kian memekakkan hati, pikiran dan juga fisik[7]. Di sisi lainnya banyak pula masyarakat yang memiliki pandangan bahwa alasan-alasan yang disampaikan oleh beragam pihak yang setuju mengenai perkawinan muda tidaklah dijelaskan secara rasional dan jika dilihat dari sudut pandang agama Islam tidaklah bersifat mutlak seperti itu. Penyegeraan seseorang untuk perkawinan mungkin didasari dengan hadist Rasulullah agar kita menyegerakan perkawinan pada saat kita mampu dengan tujuan untuk menghindarkan kita dari perbuatan zina.