Anda di halaman 1dari 15

1

Studi Pemikiran Ignaz Goldziher (1850-1921)


Hasna Muftiyah

A. Pendahuluan
Dalam kajian studi hadits di Barat, tokoh utama yang
memiliki peran paling penting salah satunya ialah Ignaz
Goldziher. Ia adalah seorang orientalis Yahudi asal Hongaria yang
mempunyai kelebihan di atas orientalis lainnya. 1 Bagaimana
tidak, pemikiran dan hasil karyanya yang monumental tentang
kajian ketimuran terutama Islam, sudah berhasil menjadikannya sebagai dedengkot di
kalangan orientalis.2 Dan dinobatkan pula sebagai orientalis yang konon paling
mengerti tentang Islam. Meskipun justru tulisan-tulisannya mengenai Islam sangatlah
negatif, distortif, mengelirukan dan menyesatkan. Bahkan dibandingkan dengan para
pendahulunya, pendapat Ignaz Goldziher mengenai hadits jauh lebih negatif. 3
Goldziher dengan penuh dedikasi dan semangat pantang menyerahnya mampu
memahami seluk beluk al-Quran, bahkan sampai dengan perbedaan qiraatnya.4 Ia
juga meneliti hadits dan mendalaminya secara serius. Pemikirannya yang ia tuangkan
lewat tulisan-tulisan, telah memberikan kontribusi yang sangat berarti di dunia
orientalis. Mereka beranggapan bahwa yang menjadikan Goldziher mempunyai
kedudukan sedemikian tinggi dalam bidang ini ialah karya-karyanya yang tajam.
Bahkan dalam mengemukakan gagasan-gagasan yang prinsipil sekalipun dan dalam
menguraikan masalah-masalah yang parsial dan terperinci, mereka menganggap
cukup dengan mengolah karya Goldziher saja. 5 Karena faktanya memang, Goldziher
telah berjasa menentukan arah-arah dan pengembangan penelitian hadits di Barat. 6
Mohammedanische Studien misalnya, buku hasil karya Goldziher yang terbit
pada tahun 1890 dalam bahasa Jerman dan kemudian diterjemahkan oleh C.R. Barber
1 Nuruddin Itr, Manhaj an-Naqd Fii Uluum al-Hadits, Terj. Mujiyo, Ulumul Hadis
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), cet. III, hlm. 497.
2 Tokoh orientalis yang paling serius mendalami seluk beluk al-Quran ialah Theodore
Noldeke dan yang menggeluti sejarah Islam adalah Julius Wilhawzen. Sedangkan sosok
yang paling pas disebut sebagai dedengkot orientalis yang mengkaji religiusitas Islam
secara spesifik dan mendalami kajian spiritual secara umum ialah Ignaz Goldziher.
Lihat Abdurrahman Badawi, Mausuah al-Mustasyriqin (Beirut: Dar al-Ilmi lil-Malayin,
1993), cet. III, hlm. 197.
3 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani Press,
2008), cet. I, hlm. 29.
4 Goldziher menulis buku yang mengkritik qiraat al-Quran. Lebih lanjut akan penulis
bahas pada bagian karya-karya yang dihasilkan Goldziher.
5 Nuruddin Itr, Manhaj an-Naqd Fii Uluum al-Hadits, Terj. Mujiyo, Ulumul Hadis. Cet.
III, hlm. 497.
6 Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht (Bandung: Benang Merah Press, 2004). Hlm. 11.
1

2
dan S.M. Stern ke dalam bahasa Inggris yaitu Muslim Studies (London: George Allen &
Unwim, 1971). Buku tersebut merupakan gambaran untuk dapat memahami
pandangan Goldziher tentang hadits, karena dalam karya terbesar itulah seluruh
pandangannya tentang hadits tertuang secara sempurna. 7
Adalah karena kesempurnaannya itu, maka Muslim Studies dianggap sebagai
kitab suci di kalangan orientalis. 8 Mustafa Yaqub mengatakan bahwa buku tersebut
mempunyai posisi tersendiri dan cukup berpengaruh di kalangan orientalis dan para
sarjana khususnya dalam masalah hadits di mana ia merupakan satu-satunya rujukan
di kalangan mereka. Karena buku ini juga, Goldziher dipandang sebagai orang
pertama yang meletakan dasar kajian skeptik terhadap hadits yang telah diterima oleh
banyak kalangan sarjana Barat.9
Goldziher termasuk kelompok pertama setelah Alois Sprenger 10 yang
mempertanyakan status hadits dalam Islam. Goldziher mempersoalkan ketiadaan data
historis dan bukti tercatat (documentary evidence) hadits yang dapat memastikan
otentisitasnya.11 Yang kemudian spekulasi tersebut ditelan dan diolah lagi oleh Joseph
Schacht.12 Para orientalis ini menganggap lemah metode kritik hadits konvensional
yang digunakan para ahli hadits, yang dianggapnya hanya menekankan studi isnad
dan tidak memerhatikan studi matan.13 Bahkan mereka menolak dan membikin
metode sendiri yang kemudian dikenal dengan metode kritik matan hadits. 14 Hingga
pada masa selanjutnya G.H.A. Juynboll 15 juga menawarkan metode common link (studi
isnad) sebagai ganti dari metode para ahli hadits yang ia adopsi dan kembangkan dari
pemikiran Schacht.16
Melihat fenomena yang terjadi karena ulah para orientalis tersebut di atas,
tentunya para ulama pada saat itu pun tidak tinggal diam membiarkan upaya yang
7 Ibid., hlm. 87.
8 M. M. Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Terj. Ali Mustafa Yaqub (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2012), hlm. 608.

9 Berbeda dengan keyakinan umum tersebut, A.J. Wensick dalam The Importance of
Tradition for Studies of Islam (1921), menegasakan bahwa yang pertama kali mengkaji
otentisitas hadits adalah Snouck Hurgronjee. (Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata
Orientalis. Hlm. 88.
10 Misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India. Lihat Abdurrahman
Badawi, Mausuah al-Mustasyriqin. Hlm. 28.
11 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Hlm. 31.
12 Murid Ignaz Goldziher; orientalis Jerman yang juga keturunan Yahudi.
13 Ali Masrur, G.H.A. Juynboll Teori Common Link: Melacak Akar kesejarahan Hadits
Nabi (Yogyakarta: LKiS, 2007), cet. I, hlm. xiv.
14 M. M. Azami, Studies In Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Yaqub, Hadits
Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Hlm. 608.
15 Orientalis asal Leiden, Belanda. Pakar di bidang sejarah perkembangan awal hadits.
2

3
dilakukan para orientalis untuk menyudutkan Islam dan berusaha meruntuhkan
otentisitas (keaslian) hadits Rasulullah saw. serta otoritas (hujjiyah)-nya sebagai salah
satu sumber asasi ajaran Islam. Sejumlah pakar pembela sunnah pun, seperti
Musthafa as-Sibai, Muhammad Ajjaj al-Khatib dan M. M. Azami telah melakukan
penelitian intensif melalui karya-karya tulisannya perihal gugatan yang dilayangkan
terhadap hadits nabi guna mematahkan argumen orientalis tersebut.
B. Biografi Ignaz Goldziher
Ignc (Yitzhaq Yehuda) Goldziher17 dalam bahasa Hongari, atau yang dikenal
dengan Ignaz Goldziher, ia adalah seorang orientalis ternama yang lahir pada tanggal
22 Juni 1850 di Szekesfehervar, Hongaria. 18 Berasal dari keluarga Yahudi yang
terpandang dan memiliki pengaruh luas, tetapi tidak seperti keluarga Yahudi Eropa
yang sangat fanatik saat itu.19 Nenek moyang keluarganya adalah tukang emas di
Hamburg pada abad ke-16.20
Goldziher telah menunjukkan mutu intelektualnya yang tinggi ketika dia masih
muda. Dalam usia 5 tahun, ia mampu membaca teks Bibel "asli" dalam bahasa
Hebrew (Ibrani). Kemudian dilanjutkan dengan mempelajari Talmud pada saat berusia
8 tahun. Dalam usia 12 tahun, dia sudah menulis suatu risalah mengenai asal-usul dan
waktu yang tepat bagi sembahyang orang-orang Yahudi yang disebut Piyyuts. Di usia
16 tahun21, dia mengikuti kuliah S1 di Universitas Budapest. Ia mempelajari sastra
Yunani dan Romawi kuno, bahasa-bahasa Asia, temasuk bahasa Turki dan Persia. 22
Goldziher pada saat itu sangat terpengaruh oleh pemikiran dosennya, yaitu Arminius
Vambery (1803-1913).23 Dua tahun kemudian, ia berhasil lulus dari ujiannya di
16 Ali Masrur, G.H.A. Juynboll Teori Common Link Melacak Akar kesejarahan Hadits
Nabi. Hlm. xi.
17 https://en.wikipedia.org/wiki/Ignac_Goldziher, pada tanggal 30 September 2015
18 Abdurrahman Badawi, Mausuah al-Mustasyriqin. Hlm. 197.
19 Ibid.
20 Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis. Hlm. 91.
21 Perjalanan karir ilmiah Goldziher dimulai sejak berusia 16 tahun ketika dia mulai
tertarik pada kajian ketimuran. Pada usia tersebut, ia telah sanggup menerjemahkan
dua buah kisah berbahasa Turki ke dalam bahasa Hongaria, yang dimuat dalam
majalah. Ia juga sudah terbiasa dengan membahas buku besar, memberi ulasan dan
kritik-kritik terhadap buku-buku yang ada. Koleksi ulasan yang dihasilkan mencapai
592 kajian. Lihat Abdurrahman Badawi, Mausuah al-Mustasyriqin. Hlm. 197.
22 Lihat Kata Pengantar dalam buku Ignac Goldziher, Vorlesungen uber den Islam
(Heidelberg, 1910). Terj. Bahasa Inggris oleh Andras dan Ruth Hamori, Introduction to
Islamic Theology and Law (USA; New Jersey: Princeton Academic Press, 1981), hlm.
viii.
23 Seorang pakar tentang Turki. Arminius Vambery lah yang banyak mewarnai
kehidupan intelektual awal Goldziher. Arminius Vambery adalah keturunan Yahudi yang
mengenalkan Theodor Herz (1860-1904) pendiri Zionisme, untuk melobi Sultan Hamid
3

4
Calvinist Liceum Budapest. Dengan beasiswa dari negaranya, dia dikirim ke Jerman
untuk belajar dengan Prof. Rodiger di Berlin tahun 1868 24, di tahun berikutnya ia
melanjutkan studi ke Universitas Leipzig. Di bawah asuhan gurunya yaitu Heinrich
Fleisher25 dia berhasil memperoleh gelar Doktor dalam usia 19 tahun, dengan topik
risalah Penafsir Taurat yang berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah. 26
Kemudian Goldziher kembali ke Hungaria dan ditunjuk sebagai asisten guru
besar (Privatdozent)27 di Universitas Budapest. Selama tahun akademik 1872-1873 dia
adalah lector dalam mata kuliah bahasa Hebrew (Ibrani) pada Callxinist Theological
Faculty di Budapest.28 Namun tak lama mengajar, ia kemudian diutus oleh Kementrian
Ilmu Pengetahuan ke luar negeri untuk meneruskan pendidikannya di Wina dan
Leiden29, ia mempelajari manuskrip-manuskrip Arab dan yang lainnya.
Goldziher kemudian melakukan perjalanan ke dunia Timur atas biaya
pemerintah Hongaria, di antaranya yaitu ke Damaskus, 30 Syria, ia mempelajari ilmuilmu keislaman dari Syekh Tahir Al- Jazairi, kemudian pindah ke Palestina lalu ke Mesir
pada tahun 1873-1874.31 Di Mesir, ia dikenalkan oleh Dor Bey, seorang pejebat
keturunan Swiss yang bekerja di Kementrian Pendidikan Mesir. Melalui Dor Bey,
Goldziher diperkenalkan kepada Riyad Pasha, Menteri Pendidikan Mesir. Setelah
berkenalan beberapa lama dengan menteri pendidikan Mesir, Goldziher
mengemukakan hasratnya untuk belajar di Universitas al-Azhar. Atas rekomendasi
Riyad Pasha lah, Syakhul al-Azhar, 'Abbasi, Mufti Masjid al-azhar terbujuk. Setelah
bertemu dengan Goldziher yang saat itu mengaku bernama Ignaz al-Majari (Ignaz dari
Hungaria) dan mengaku dirinya "Muslim", serta dengan kelihaiannya berdiplomasi,
maka Goldziher bisa "menembus" al-Azhar. Ia menjadi murid beberapa masyayikh al-

II terkait pendirian Negara Israel di Palestina.


24 Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis. Hlm. 91.
25 Salah satu guru besar ahli ketimuran yang bertugas di universitas Leipzig, Jerman.
Ia juga merupakan sosok orientalis yang sangat menonjol saat itu. Lihat Abdurrahman
Badawi, Mausuah al-Mustasyriqin. Hlm. 197.
26 Ibid.
27 Dosen privat pada saat itu adalah sebuah jabatan yang dianugerahkan kepada
para intelektual muda sebagai sebuah keistimewaan untuk mengajar di universitas,
namun tanpa gaji. Saat yang sama, Goldziher juga dipilih sebagai anggota "Akademi
Sains Hungaria," sebuah penghargaan yang diberikan pada dirinya.
28 Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis. Hlm. 91.
29 Abdurrahman Badawi, Mausuah al-Mustasyriqin. Hlm. 197.
30 Lihat Ignac Goldziher, Vorlesungen uber den Islam. Terj. Bahasa Inggris oleh Andras
dan Ruth Hamori, Introduction to Islamic Theology and Law. Hlm. ix.
31 Muhammad Baha ad-Din, al-Mustasyriqun wa al-Hadits an-Nabawi (Kairo: Dar anNafais, 1999), hlm. 19.
4

5
Azhar, seperti Syaikh al-Asmawi, Syaikh Mahfudz al-Maghribi, Syaikh Sakka dan
beberapa syaikh al-Azhar lainnya.32
Ketika Goldziher menetap di Kairo, ia mendapat berita duka dari kampung
halamannya bahwa ayahnya telah meninggal, hingga bisnis keluarganya pun
memburuk. Namun di balik kesulitannya tersebut, Goldziher mengalami kemajuan
yang meningkat di bidang akademik dan karirnya. Pada tahun 1874 ia ditawari bekerja
di Imperial Academy di Wina. Itulah awal karir Goldziher ketika hendak mencapai
puncak kesuksesannya, yang membuat namanya melambung di dunia internasional,
yang mana ia dikenal sebagai salah seorang guru besar ketimuran/great masters of
oriental scholarship dan pendiri studi Islam modern di Eropa. 33 Bersamaan juga
dengan Theodor Noldeke34 dan Christiaan Snouck Hurgronje.35
Pada tahun 1876, ia menjadi anggota istimewa Academy Hungaria. Tahun 1889
Goldziher dianugerahi penghargaan medali emas atas keilmuannya. Kemudian pada
tahun 1894, Goldziher dipinta menjadi pimpinan di Universitas Cambridge, namun
Goldziher menolaknya.36 Kemudian pada tahun yang sama pun Goldziher digelari
seorang professor. Mata pencaharian Goldziher selama tiga puluh tahun 1876-1905
ialah ia menjabat sebagai sekretaris di komunitas Yahudi. Pada tahun 1904, Goldziher
resmi ditunjuk sebagai professor kajian bahasa Semit 37 dan kesusastraan. Kemudian di
tahun 1914, Goldziher menjadi pimpinan Muslim Law and Institutions di Fakultas
Hukum. Akhirnya Goldziher meninggal pada tanggal 13 November 1921. 38 Dia juga
pernah mengajar filsafat Yahudi di Jewish Seminary Budapest tahun 1900. 39
32 http://ushuluddin-uinsuska.blogspot.co.id/2012/01/pemikiran-hadis-ignazgoldziher.html, pada tanggal 30 September 2015
33 Lihat Ignac Goldziher, Vorlesungen uber den Islam. Terj. Bahasa Inggris oleh Andras
dan Ruth Hamori, Introduction to Islamic Theology and Law. Hlm. ix.
34 (1836-1931) tokoh besar orientalis, lahir di Hamburg. Yang concern di bidang Tarikh
al-Quran. Abdurrahman Badawi, Mausuah al-Mustasyriqin. Hlm. 594.
35 (1857-1936) seorang orientalis, ilmuwan sekaligus politikus ulung asal Belanda.
Lihat biografi lengkap orientalis-orientalis Barat dalam Abdurrahman Badawi,
Mausuah al-Mustasyriqin. Hlm. 353.
36 Ignac Goldziher, Vorlesungen uber den Islam. Terj. Bahasa Inggris oleh Andras dan
Ruth Hamori, Introduction to Islamic Theology and Law. Hlm. ix.
37 (Berasal dari bahasa Ibrani Alkitab , "Sem"; bahasa Arab: , Syam,
diterjemahkan dengan arti "nama") adalah suatu istilah yang mula-mula digunakan
dalam linguistik dan etnologi untuk merujuk kepada sebuah "keluarga atau rumpun
bahasa" asal Timur Tengah, yang sekarang disebut "Rumpun bahasa Semit". Rumpun
ini meliputi bentuk bahasa-bahasa kuno dan modern, yaitu Ahlamu, Akkadia (AssyriaBabilonia), Amharik, Amori, Arab, Aram/Suryani/Suriah, Kanaan/Fenisia/Kartago,
Kasdim, Ebla, Edom, Ge'ez, Ibrani, Malta, Mandaik, Moab, Sutean, Tigre dan Tigrinya,
serta Ugarit, dan sebagainya.
38 Ignac Goldziher, Vorlesungen uber den Islam. Terj. Bahasa Inggris oleh Andras dan
Ruth Hamori, Introduction to Islamic Theology and Law. Hlm. x.
5

6
Di luar negeri, Goldziher menjadi anggota kehormatan dari akademi-akademi,
delapan perkumpulan orientalis, tiga perkumpulan sarjana di luar negeri dan ikut pula
sebagai anggota di Royal Asiatic Society, Asiatic Society of Bengal, The British
Academy dan The American Oriental Society. Tahun 1904 dianugerahi gelar professor
bidang kesusastraan oleh Universitas Cambridge, dan gelar LL.L dari Universitas
Aberdeen Skotlandia.40
C. Karya-Karya Ignaz Goldziher
Dalam meneliti dan mengkaji dunia Islam, Goldziher bukan hanya memberikan
pengaruhnya di bidang tafsir al-Quran dan hadits, namun juga dalam bidang-bidang
yang lainnya. Dari mulai kajian studi Islam secara umum sampai kajian religiusitas
secara spesifik. Di antara tulisan-tulisan karya Goldziher ialah:
Muhammedanische Studien41 (2 jilid, 1889-1890)
Vorlesungen uber den Islam (Introduction to Islamic Theology and Law)42
Methology Among The Hebrews And Its Historical Development
On The History of Grammar Among The Arabs
Die Zahiriten, Ihr Lhrsystem und Geschicte43 (Leipzig 1884)
Short History of Classical Arabic Literature
Le Dogme et Les Lois de LIslam (The Principle of Law is Islam)
Etudes Sur La Tradition Islamique44 (Heidelberg, 1910)
Die Riechtungen der Islamischen Koran Auslegung 45 (Leiden, 1920)
Dan ada juga yang lainnya, tetapi hanya merupakan penjelasan lebih lanjut dari
karya-karya tersebut di atas.46
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

D. Pemikiran Ignaz Goldziher terhadap Otentisitas Hadits


Untuk dapat betul-betul memahami pemikiran Goldziher tentang Islam,
khususnya tentang hadits, tentu tidak akan lepas dari karya-karya Goldziher yang
telah disebutkan di atas. Terkhusus buku fenomenalnya; Muhammadanische Studien
atau dalam bahasa Inggris Muslim Studies, yang telah disinggung di awal bahwa buku
ini merupakan kitab suci nya orientalis dalam mengkaji hadits. Juga karya lainnya
39 Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis. Hlm. 92.
40 Ibid.
41 Membahas tentang sejarah agama Islam secara umum dan khususnya tentang
hadits.
42 Membahas pengantar untuk memahami teologi dan hukum Islam.
43 Diterjemahkan menjadi Zahiris: Their Doctrine and Their History, a Contribution,
membahas perkembangan sejarah aliran Zahiri.
44 Diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi Muhadharat fi al-Islam.
45 Diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi Ittijahat Tafsir al-Quran inda al-Muslimin.
Mengulas langkah-langkah dalam menafsirkan al-Quran, sejarah penulisan serta ragam bacaan
(qiraat) al-Quran.

46 Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis. Hlm. 92-93.


6

7
yang tak kalah penting dalam membahas seputar hadits adalah Introduction to Islamic
Theology and Law. Yang mana dalam dua karyanya inilah tercantum seluruh
pandangannya tentang hadits. Maka dapat diambil secara garis besar dalam beberapa
poin penting pemikiran Goldziher tersebut, ialah:
1. Pemikiran tentang Islam dan Nabi Muhammad saw.
Pandangan Goldziher terhadap hadits, tidak akan terlepas dari sikap dan
pencitraan terhadap Nabi Muhammad. Bagaimanapun pembicaraan tentang hadits
akan selalu berhubungan dengan Muhammad yang perkataan, perbuatan, dan
persetujuannya melahirkan hadits.47 Apabila citra Nabi Muhammad sudah buruk di
mata Goldziher dan memang seperti itu maka sudah dipastikan pula ia pun akan
memandang negatif terhadap apa saja yang lahir dari Nabi Muhammad.
Dan dalam konteks ini, Goldziher memandang Muhammad sebagai paganis,
penganut Kristen dan Yahudi yang murtad yang akan menghancurkan ajaran Kristen
dan Yahudi, intelektual pintar yang memiliki imajinasi yang kuat dan pembohong. 48
Goldziher dalam karyanya, sangat menghina Rasulullah saw dan Islam. Dia menulis
bahwa Muhammad saw adalah pencipta agama Islam. Goldziher banyak
membandingkan Islam dengan faham atau dengan agama lain dari segi konten
(muatan/isi), sehingga jika ada ajaran dan tata cara peribadatan yang menurutnya
mirip, maka dia menyebut bahwa Islam mengadopsi hal tersebut dari faham ini atau
dari agama itu.
The Arab Prophets message was an eclectic composite of religious ideas and
regulations. The ideas were suggested to him by contacts, which had stirred
him deeply, with Jewish, Christian, and other elements, and they seemed to
him suited to awaken an earnest religious mood among his fellow Arabs. 49
(Risalahnya Nabi orang Arab itu merupakan sesuatu yang bersifat memilih
campuran dari ide-ide dan peraturan-peraturan religious. Ide-ide tersebut
disugestikan kepadanya melalui hubungan-hubungan yang telah diaduk secara
mendalam dengan Yahudi, Kristen dan elemen lainnya dan mereka merasa
cocok untuk membangun sebuah semangat kesungguhan beragama antara
anggotanya, orang-orang Arab).
Dengan karakter-karakter Islam seperti ini, dia mengatakan bahwa Muhammad,
sebagai pendirinya, sama sekali tidak menyatakan ide baru dan tidak ada yang
mengetahui seberapa banyak beliau main comot dari ajaran-ajaran lain dalam
profesinya sebagai nabi, its founder, Muhammad, did not proclaim new ideas. There in
lies his originality, no matter how eclectic much of his prophecy may be. 50 Apa yang
dikisahkan ketika di gua Hira, dia anggap itu mimpi dan halusinasi.
2. Pemikirannya tentang definisi Hadits dan Sunnah
47 Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010), cet. I, hlm 309.
48 Ibid.
49 Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law. Hlm.4-5.
50 Ibid., hlm. 5-6.
7

8
Dalam Khazanah Ulum al-Hadits, pembahasan istilah hadits seringkali memiliki
relevansi dengan istilah sunnah pada pihak lain, walaupun kedua istilah tersebut
dipandang tidak identik, karena keduanya memiliki perbedaan-perbedaan. Di antara
perbedaan tersebut adalah bahwa hadits lebih umum daripada sunnah karena
mencakup segala perbuatan, ucapan dan ketetapan Nabi. 51 Menurut para ahli hadits,
hal tersebut tidak menjadi persoalan yang mendasar, sebab keduanya dalam
perspektif yang lebih luas tetap saja dimaknai sebagai yang bersumber dari dan
dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. 52
Dalam pandangan Goldziher, perbedaan hadits dan sunnah juga tetap
dipertahankan. Dia menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam
ibadah dan hukum, yang diakui sebagai tata cara kaum muslim pertama yang
dipandang berwenang dan telah pula dipraktikan dinamakan sunnah atau
adat/kebiasaan keagamaan. Adapun bentuk yang memberikan pernyataan tata cara
itu disebut hadits atau tradisi.53 They are called sunna, sacred custom. The form in
which such a usage is stated is hadith, tradition. The two concepts are not identical.
Hadith is the documentation of sunna. 54
Lebih lanjut dalam bukunya Muslim Studies pun ia menyatakan perbedaan antara
hadits dan sunnah,
The difference which has to be kept in mind is this: hadith means, as has been
shown, an oral communication derived from the Prophet, whereas sunna, in
the usage prevailing in the old Muslim community, refers to a religious or legal
point, without regard to whether or not there exists an oral tradition for it. A
norm contained in a hadith is naturally regarded as sunna, but is not
necessary that the sunna should have a corresponding hadith which gives it
sanction. It is quite possible that the contents of a hadith may contradict the
sunna.55
(Perbedaan yang harus diingat adalah ini: hadis berarti, seperti yang telah
dijelaskan, adalah berita lisan yang diklaim bersumber dari Nabi, sedangkan
sunnah merupakan segala hal yang menjadi adat kebiasaan yang muncul pada
abad kedua di awal pertumbuhan dan perkembangan Islam, terlepas dari
apakah kebiasaan itu ada haditsnya ataukah tidak. Hal ini sangat mungkin
bahwa isi dari sebuah hadits bertentangan sunah).

51 Lihat, Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dar Ilmi li alMalayin, 1977) hlm. 6, atau juga Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuha
wa Musthalahuhu (Dar al-Fikr). Hlm. 18.
52 Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis. Hlm. 93.
53 Ibid., hlm. 93-94.
54 Ignaz Goldziher, Introduction, hlm.37.
55 Ignaz Goldziher, Muslim Studies, vol. 2 diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh C.R.
Barber dan SM. Stern (London: George Allen & Unwin Ltd., 1971). Hlm. 24
8

9
Dari sini dapat dipahami bahwa sunnah adalah perilaku dan hadits sebagai berita
lisan yang mengiringinya. Ghalibnya, setiap hadits itu ada sunnahnya, tetapi setiap
sunnah tidak selalu ada haditsnya, malah bisa jadi sunnah yang ada bertentangan
dengan haditsnya. Dia menyatakan bahwa sunnah telah ada sejak orang-orang Arab
Jahiliyyah yang memuliakan sunnah nenek moyang mereka. 56
Menurutnya, suatu kaidah yang terkandung di dalam hadits biasanya dipandang
sebagai sunnah, tetapi tidak berarti sunnah harus mempunyai hadits yang relevan dan
mengukuhkannya. Hadits bermakna suatu disiplin ilmu yang bersifat teoretis, sedang
sunnah berisi aturan-aturan praktis. 57 Lebih lanjut Goldziher menyatakan bahwa
Sunnah sebenarnya hanyalah sebuah revisi dari atas adat istiadat bangsa Arab yang
sudah ada.58
3. Keraguan Goldziher terhadap otentisitas hadits nabi
For not only law and custom, but theology and political doctrine also took the
form of hadith. Whatever Islam produced on its own or borrowed from the
outside was dressed up as hadith. Passages from the Old and New Testaments,
rabbinic sayings, quotes from apocryphal gospels, and even doctrines of Greek
philosophers and maxims of Persian and Indian wisdom gained entrance into
Islam disguised as utterances of Prophet.59
(Bukan saja hukum dan adat kebiasaan, tetapi doktrin politik dan teologi pun
mengambil bentuknya dalam hadits, apa saja yang dihasilkan Islam sendiri
ataupun yang dipinjam dari luar diberi wadah dalam hadits. Bagian-bagian dari
Perjanjian Lama dan Baru, kata-kata dari Rabbi, kutipan Injil, doktrin-doktrin
Yunani, bahkan peribahasa/pepatah dari orang Persia dan orang India pun
dapat masuk ke dalam Islam yang berkedok sebagai ucapan Nabi).
Dari kutipan di atas, jelaslah bahwa bagi Goldziher hadits tidak memiliki kemurnian
sama sekali, walaupun tetap memiliki kedudukan kuat sebagai sumber ajaran Islam.
Keraguan Goldziher tentang keabsahan dan otentisitas hadits bukan saja ketika ia
mengemukakan makna hadits dan sunnah yang kemudian mendapat revisi dan
kedudukan dalam Islam. Ia melihat faktor lain tentang kondisi masyarakat Islam abad
pertama Hijriyah di mana hadits saat itu mulai memasuki perkembangan awal. MM.
Azami telah mengemukakan beberapa alasan yang dipakai Goldziher untuk
membangun image masyarakat Islam pada abad pertama, yang secara umum
Goldziher menggambarkan masa tersebut sebagai kondisi masyarakat yang belum
memiliki kemampuan cukup untuk memahami dogma-dogma keagamaan, memelihara
ritus-ritus keagamaan dan mengembangkan doktrin agama yang kompleks. 60
56 Wahyudin Darmalaksana. Hadits di Mata Orientalis, Telaah atas Pandangan Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht. Bandung: Benang Merah Press, 2004. Cet. 1, hlm. 94.
57 Idri, Studi Hadis. Hlm. 311.
58 Ibid., hlm. 312.
59 Ignaz Goldziher. Introduction to Islamic Theology and Law (terj. Bahasa Inggris oleh
Andras dan Ruth Hamori). Hlm. 40.
9

10
Goldziher berpandangan skeptis terhadap keberadaan dan otentisitas hadits Nabi,
sebab menurutnya, pada masa-masa awal pertumbuhan Islam, hadits tidak tercatat
sebagaimana al-Quran karena tradisi yang terjadi pada masa Nabi dan sahabat adalah
tradisi lisan bukan tradisi tulisan dan sekaligus ada larangan secara umum untuk
menulis sesuatu dari Nabi selain al-Quran meskipun ada juga hadits yang
menyatakan sebaliknya secara khusus, maka dimungkinkan banyak hadits yang
dipertanyakan otentisitasnya atau sama sekali diragukan keberadaannya, bahkan
semua hadits, terutama yang berkaitan dengan hukum dikatakan sebagai hasil karya
sahabat, tabiin, atau para ulama dan fuqaha pada abad pertama hijriyah dan
permulaan abad kedua Hijriyah, dan menjadi suatu sistem yang matang sejak
munculnya kompilasi hadits pada abad ketiga Hijriyah yang ingin menjadikan Islam
sebagai agama yang multidimensional, komprehensif yang mencakup seluruh aspek
kehidupan.61
Menurutnya, hadits lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran
dan kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada
periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan
Islam: Das Hadits wird nicht als Document fur die Kindheitsgeschichte des Islam,
sondern als Abdurk der in der Gemeinde hervortretenden Bestrebungen aus der Zeit
seiner reifen Entwlungsstadien dienen. Ini berarti, menurut dia, hadits adalah produk
bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi Muhammad saw. wafat, bukan
berasal dan tidak asli dari beliau. 62 Dari pernyataan Goldziher tersebut, ia
menganggap dari sekian banyak hadits yang ada, sebagian besarnya tidak dapat
dijamin keasliannya alias palsu dan, karena itu, tidak dapat dijadikan sumber informasi
mengenai sejarah awal Islam.63
Hal di atas juga dipertegas oleh Fazlur Rahman ketika menyimpulkan situasi
kesarjanaan Barat terhadap hadits. Ia menyatakan, walaupun Goldziher menyatakan
keragu-raguannya mengenai beberapa catatan yang dikatakan ada pada saat itu. Ia
sebenarnya mengakui bahwa fenomena hadits berasal dari zaman Islam yang paling
tua dan adanya kemungkinan pencatatan hadits oleh beberapa orang di masa itu.
Hanya saja, dia menjadi ragu karena semakin lama hadits semakin panjang jalur
sanadnya dan bercabang pula menjadi faham-faham fiqih yang beragam tetapi
ternyata tetap saja ada haditsnya.64
Kekurangan atau bahkan ketiadaan- data dan keterangan tentu akan
mengakibatkan kesalahan usaha dan kesalahan penelitian untuk menunjukkan mana
hadits yang paling dulu, yang asli, atau mana yang muncul pada generasi setelah Nabi
60 Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis. Hlm. 97-98. Lihat rincian
lengkapnya beserta sanggahan-sanggahannya dalam M. M. Azami, Hadits Nabawi dan
Sejarah Kodifikasinya. Hlm. 98.
61 Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010), cet. I, hlm. 310.
62 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Hlm. 29-30.
63 Ibid.
64 Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis. Hlm. 90.
10

11
Muhammad saw meninggal. Goldziher memandang hadits hanyalah sebagai akibat
dari adanya evolusi Islam. Ini mungkin karena data yang dia punya kurang memadai,
atau tidak ada sama sekali. Namun, ketika data sudah jelas dan lengkap sedangkan
dia melakukan kajian dengan tidak berimbang, cenderung mengada-ada dan
mengambil data secara parsial, hanya memilih data yang mendukung asumsi dan
misinya, di sinilah letak ketidakjujurannya dan ketidakobjektifannya. Sangat terlihat
bahwa dia begitu skeptik tentang kebenaran dan keotentikan hadits.
Kemudian, Goldziher berpendapat bahwa ada persaingan antar-madzhab dan
antar-kelompok sehingga mereka menggunakan hadits sebagai alat untuk melawan
rival mereka, dan ini membuka pintu dengan lebar untuk terjadinya pemalsuan hadits.
Goldziher memaparkan konflik internal kaum muslimin seperti konflik Ali-Muawiyah ra,
konflik Umayyah-Abbasiyah, dan konflik lainnya, telah menyebabkan banyak
terjadinya pemalsuan hadits. Hadits digunakan sebagai alat untuk saling menjatuhkan
rival dan mengunggulkan kubu masing-masing.
4. Kritik hadits Ignaz Goldziher
Metode penelitian hadits oleh para ulama hadits yang telah berabad-abad yang
lalu dianggap oleh Goldziher lemah karena hanya terfokus pada kritik sanad dan
cenderung mengabaikan matan. Para ulama hadits mentapkan lima syarat bagi
shahihnya sebuah hadits. Di antara kelima syarat tersebut, tiga berkenaan dengan
sanad dan dua berkenaan dengan matan. Yang berkenaan dengan sanad, di samping
sanad harus bersambung, semua perawinya juga harus tsiqat dan dhabit. Sedangkan
yang berkaitan dengan matan adalah keharusan tidak adanya syadz dan illat pada
hadits tersebut. Goldziher memandang bahwa secara faktual penelitian keabsahan
hadits yang dilakukan oleh ilmuwan klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah, karena kesalahan metode yang dipakainya. Hal itu karena para ulama,
menurutnya, lebih banyak menggunakan metode kritik sanad, dan kurang
menggunakan kritik matan. Oleh karena itu, Goldziher kemudian menawarkan metode
baru yaitu kritik matan saja.65
Ia menyatakan bahwa untuk memahami dan menetapkan keshahihan hadits, tidak
hanya didasarkan pada analisa terhadap sanad hadits saja, lebih jauh hal tersebut
dilakukan guna menggambarkan sampai sejauh mana hubungan teks hadits dengan
kondisi eksternal atau latar belakang kondisi sosial politik di mana hadits tersebut
muncul.66
Kritik atas matan yang terjadi di kalangan para shahabat, menurut para ahli hadits
kerapkali dilakukan untuk meneliti apakah ada illat atau syadz dalam hadits tersebut.
Dan hal ini berbeda dengan apa yang disodorkan oleh Goldziher sebagai kritik atas
matan. Ia menyarankan bahwa studi hadits dengan situasi yang sedang terjadi saat
itu. Ia mencontohkan sebuah hadits yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari, di
mana menurutnya al-Bukhari hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan
kiritik atas matan. Sehingga setelah adanya kritik matan yang dilakukan oleh
Goldziher, hadits tersebut dinyatakan palsu. 67
Goldziher mencontohkan sebuah hadits yang berbunyi:
65 Ibid., hlm. 99-100.
66 Ibid., hlm. 100.
67 Ibid., hlm. 101.
11

12



" :












:





68

"














Telah menceritakan kepada kami Ali, dari Sufyan, dari az-Zuhri, dari Said, dari Abu
Hurairah r.a., dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bersabda: Janganlah kalian pergi
kecuali menuju tiga masjid; Masjidil haram, masjidku dan Masjidil Aqsha
Kata Goldziher, Abdul Malik bin Marwan merasa khawatir apabila orang-orang
Syam yang pergi haji ke Mekkah itu melakukan baiat kepada Abdullah bin Zubair,
karena itu ia berusaha agar orang-orang dapat melakukan haji di Qubbah as-Sakhra di
Qudus (Jerussalem) sebagai ganti dari pergi haji ke Makkah. Ia juga mengeluarkan
keputusan bahwa thawaf di sekitar Kabah. Untuk tujuan politis ini, ia mempercayakan
ahli hadits az-Zuhri untuk membuat hadits yang sanadnya bersambung sampai
kepada Nabi saw. dan mengedarkannnya dalam masyarakat, sehingga nantinya dapat
dipahami bahwa ada tiga masjid yang dapat dipakai untuk beribadah haji, yaitu masjid
di Makkah, masjid di Madinah, dan masjid di Qudus. 69 Goldziher juga menuduh Abdul
Malik bin Marwan meniadakan ibadah haji, atau setidak-tidaknya berusaha
meniadakan ibadah haji.
Tetapi apakah kedudukan az-Zuhri sedemikian itu sehingga ia mau memalsukan
hadits-hadits dan mengataknnya bahwa hal itu dari Nabi saw? Apakah ia Abdul Malik
bin Marwan mampu meniadakan ibadah haji ke Mekkah dan menggantinya dengan
haji ke Qudus (Jerussalem)? Tidak ada fakta sejarah sedikit pun yang dapat
mendukung tuduhan itu, tetapi justru sebaliknya. 70
E. Counterattack terhadap Pemikiran Ignaz Goldziher
Kritik dan tuduhan yang dilontarkan oleh Goldziher serta orientalis yang lain
tentang keabsahan dan otentisitas dan keabsahan hadits di atas banyak mendapatkan
jawaban dari para ulama hadits, sebagai upaya meluruskan kritik dan tuduhan
tersebut. Di antara ulama yang melakukan kritik dan koreksi terhadap pendapat para
orientalis tersebut adalah Musthafa as-Sibai, Muhammad Abu Shuhbah dan Abd alGhani Abd al-Khaliq, Shubhi al-Shalih, dan Muhammad Musthafa Azami dan yang
lainnya. Namun, oleh para koleganya sesama misionaris, pendapat Goldziher tersebut
disetujui seratus persen. David Samuel Margoliouth, misalnya, turut meragukan
otentisitas hadits. 71 Meskipun ada pula orientalis dari kalangan mereka sendiri yang
mengkritik Goldziher, seperti John Burton, Harald Motzki, dan Coulson. Yang meskipun
juga pada kenyataannya, mereka berusaha membantah dan membuktikan bahwa
hadits otentik sudah beredar sejak kurun pertama Hijriyah, namun di sisi lain juga
menyatakan bahwa otentisitas hadits sulit dibuktikan.
68 H.R. Bukhari, kitab fadhlu ash-shalah fi masjid makkah wa al-madinah, bab fadhlu
ash-shalah fi masjid makkah wa al-madina, no. 1189.
69 6 M. M. Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Terj. Ali Mustafa Yaqub
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2012), hlm. 608.
70 Ibid., hlm. 609-610.
71 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Hlm. 29-30.

12

13
Yang pertama, Pemikiran Goldziher yang menggambarkan bahwa masyarakat
Islam tepatnya abad pertama Hijriyah diselimuti kebodohan yang mutlak tentang
ajaran Islam, baik sebagai aqidah maupun syariah dan tidak adanya kemampuan
Islam untuk membuat aturan-aturan dan teori-teori yang lengkap secara teratur dan
rapi ini telah dibantah oleh M.M. Azami. Beliau menyatakan bahwa data yang didapat
oleh Goldziher sebagai rujukan (kitab al-Uyun wal Hadaaiq) itu penulisnya tidak
dikenal, dan Goldziher pun tidak menyinggung masalah kegiatan pendidikan di abad
itu, kemudian dia juga menjadikan buku Syiah (salah satunya kitab Nahjul-Balaghah)
sebagai rujukan. Selain itu, dia juga menggunakan metode yang salah, yaitu
menggeneralisasi keadaan padahal kasus yang terjadi tidak berlaku umum. 72 Dengan
melihat kajian dan kesimpulan yang diambil oleh Goldziher, jelas bahwa dia tidak
berlandaskan kajian yang ilmiah, tetapi hal itu semata-mata hanya berdasarkan
kecenderungan pribadinya saja, diambil dari sumber-sumber yang tidak lengkap
tentang kegiatan pendidikan dan situasi keagamaan pada abad pertama Hijriyah. 73
Kedua, mengenai pendapat Goldziher yang dari awal mempersoalkan ketiadaan
data historis dan bukti tercatat (documentary evidence) yang dapat memastikan
otentisitas hadits, maka sejumlah pakar pun melakukan penelitian intensif perihal
sejarah literature hadits guna mematahkan argument orientalis yang mengatakan
bahwa hadits baru dicatat pada abad kedua dan ketiga Hijriah. Prof. Muhammad
Hamidullah, Fuat Sezgin, Nabia Abbot, dan Muhammad Mustafa al-Azami dalam
karyanya masing-masing telah berhasil mengemukakan bahwa terdapat bukti-bukti
konkret yang menunjukkan pencatatan dan penulisan hadits sudah dimulai semenjak
kurun pertama Hijriah sejak Nabi Saw masih hidup. Namun demikian, oleh orientalis
bukti-bukti ini diabaikan begitu saja dan bahkan ada yang menolaknya mentahmentah.74 Tentu saja, Goldziher yang sejak awal memandang masyarakat muslim
selalu disemilmuti kebodohan, sampai kapanpun ia tidak akan pernah percaya tentang
kriteria adil dan dhabitnya para ulama hadits, padahal metode yang yang paling
diunggulkan ketika zaman Rasul sampai beliau wafat, kemudian sampai pada masa
sahabat pun adalah metode hafalan, yang mayoritas mereka sangat kuat daya
ingatnya. Namun tetap saja, dengan kegigihannya, Goldziher tetap mengungkapkan
bahwa hal itu tidaklah ilmiah.
Ketiga, tentang kritik matan Goldziher. Yang menyatakan bahwa para ulama
begitu lemah dalam metode penerapan haditsnya, karena lebih mengutamakan sanad
dari pada isi haditsnya. Dalam kitab-kitab Naqdul Mutun karya para ulama hadits, kita
dapat membaca dan menggambarkan betapa besar perhatian ulama terhadap matan
hadits, bukan hanya pada sanad. Mulai dari para sahabat Rasulullah saw, kemudian
ulama dari kalangan muhadditsin dan fuqaha. Mereka para ulama meneliti
keshahihan matan dengan banyak miqyas (standar, ukuran) yang ternyata itu tidak
sesederhana yang dibayangkan. Dalam prosesnya, banyak perbedaan pendapat,
banyak dilakukan perbandingan, di antaranya membandingkan hadits dengan alQuran, dengan hadits lagi (tidak syadz), dengan fakta sejarah, dengan perkara yang
72 Lihat penjelasan secara lengkapnya dalam M. M. Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya. Hlm. 97.
73 Ibid., hlm. 102.
74 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Hlm. 32.
13

14
termasuk ushul syariyyah, dengan akal, ijma, amal sahabat, qiyas, dan lainnya.
Ulama pun mengutamakan adanya asbabul wurud hadits, di mana mereka
menyesuaikannya dengan fakta historis saat itu. Oleh karena itu, sangat salah jika ada
yang mengatakan bahwa umat Islam hanya sibuk mengurusi sanad saja dan
mengabaikan matan. Namun sekali lagi, Goldziher tidak dapat membuka matanya
untuk menyadari hal itu.
Di samping itu para muhadditsin tidak hanya meneliti sanad dan matan,
melainkan juga membandingkan jumlah hadits dari segi sanad dan matannya.
Sehingga dengan cara itu mereka dapat menggali banyak cabang ilmu hadits. Dalam
hal membanding-bandingkan itu, mereka tidak hanya membandingkan satu hadits
yang sama dari riwayat lain, melainkan juga menganalisisnya berdasarkan dalil-dalil
aqli maupun syari, seperti dalam hadits muallal, maudhu, mudraj. 75
Keempat, tentang dugaan adanya pemalsuan hadits. Sebenarnya bila ditelaah
penjelasan-penjelasan di atas pun sudah membuktikan otentisitas hadits. Hal ini
menjadi dalil tidak mungkin adanya pemalsuan hadits namun dinyatakan shahih
seperti yang dikatakan Goldziher tentang riwayat az-Zuhri, yang menyebutkan hadits
tersebut dibuat sendiri oleh Abdul Malik bin Marwan untuk keuntungan politik. Para
ulama sangatlah teliti untuk memerhatikan hal tersebut. Pada dasarnya, ada 3 metode
pengujian hadits sebelum bisa diterima, yaitu: 1. Karakter para periwayat, 2.
Perbandingan tekstual, 3. Kritik nalar. 76 Tiga metode ini merupakan metode yang
sangat ketat, tepat, dan juga ilmiah sehingga hadits dapat diketahui keshahihannya.
Tidak hanya dalam masalah sanad, tapi juga matannya. Kemudian, sejarah juga dapat
membantu untuk melihat kemungkinan adanya kebohongan dan pemalsuan hadits,
karena keterangan dari seseorang yang tidak tahu sejarah akan terlihat keganjilannya
bagi orang yang tahu sejarah sebenarnya.
F. Penutup
Demikanlah sekilas tentang bagaimana kehidupan Goldziher dan bagaimana
pemikirannya terhadap hadits. Seperti apapun bentuk kritikan dan tuduhan yang
dilayangkan orientalis untuk merusak Islam yang dinilai begitu ilmiah oleh mereka,
tetap saja, para ulama hadits pun punya lebih banyak cara untuk mematahkan
argument mereka. Dan serangan mereka tersebut sebenarnya hanya akan menjadi
boomerang kehancuran bagi diri mereka sendiri ketika anshar as-sunnah mulai
menanggapinya. Tentu saja, kegagalan para orientalis ini tidak begitu mengejutkan,
karena mereka dipandu oleh niat buruk, maka kajiannya pun diwarnai oleh sikap purapura tidak tahu (willful ignorance) dengan sengaja mengabaikan data yang tidak
mendukung asumsi-asumsinya dan memanipulasi bukti-bukti yang ada demi
membenarkan teori-teorinya (abuse of evidence). Hasilnya, kesimpulan-kesimpulan
yang diambilnya tidak cukup valid, karena main pukul rata secara gegabah (hasty
generalizations) dan menduga-duga (conjectures) belaka.77

75 Nuruddin Itr, Manhaj an-Naqd Fii Uluum al-Hadits, Terj. Mujiyo, Ulumul Hadis. Hlm.
496.
76 M. M. Azami. Menguji Keaslian Hadits-hadits Hukum, Sanggahan atas The Origins of
Muhammadan Jurisprudence. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004. Cet. 1, hlm. 157.
14

15

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Badawi. Mausuah al-Mustasyriqin (Beirut: Dar al-Ilmi lil-Malayin, 1993)
Ali Masrur. G.H.A. Juynboll Teori Common Link: Melacak Akar kesejarahan Hadits Nabi
(Yogyakarta: LKiS, 2007)
Idris. Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010)
Ignac Goldziher, Vorlesungen uber den Islam (Heidelberg, 1910). Terj. Bahasa Inggris
oleh Andras dan Ruth Hamori, Introduction to Islamic Theology and Law (USA;
New Jersey: Princeton Academic Press, 1981)
___________. Muhammedanische Studien. Tej. Bahasa Inggris oleh C.R. Barber dan SM.
Stern, Muslim Studies. (London: George Allen & Unwin Ltd., 1971). Hlm. 24
Muhammad Baha ad-Din. Al-Mustasyriqun wa al-Hadits an-Nabawi (Kairo: Dar anNafais, 1999)
M. M. Azami. Studies In Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Yaqub, Hadits Nabawi
dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2012)
___________. On Schachts Origins of Muhammadan Jurisprudence. Terjemah oleh Joko
Supomo. Menguji Keaslian Hadits-hadits Hukum, Sanggahan atas The Origins of
Muhammadan Jurisprudence. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004)
Nuruddin Itr. Manhaj an-Naqd Fii Uluum al-Hadits. Terj. Mujiyo, Ulumul Hadis
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014)
Syamsuddin Arif. Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani Press, 2008)
Wahyudin Darmalaksana. Hadis di Mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht (Bandung: Benang Merah Press, 2004)
Afdal, 2012. Pemikiran Ignaz Goldziher. [on line]. Tersedia: http://ushuluddinuinsuska.blogspot.co.id/2012/01/pemikiran-hadis-ignaz-goldziher.html.
[30
September 2015]
Wikipedia
Ensiklopedia
Bebas.
Ignc
Goldziher.
[on
line].
Tersedia:
https://en.wikipedia.org/wiki/Ignac_Goldziher. [30 September 2015]

77 Syamsuddin Arif. Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani, 2008.
Cet. 1, hlm. 41.
15

Anda mungkin juga menyukai