Anda di halaman 1dari 8

The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)

RELASI GENDER DALAM KHAZANAH TAFSIR NUSANTARA:


Studi Perbandingan Tafsir Tarjumn al-Mustafd karya Abd al-Rauf Singkel dan al-Mishbh
karya M. Quraish Shihab
Oleh: Dr. Saifuddin. M.Ag.
A. Latar Belakang
Seorang pakar studi al-Quran yang terkenal, Badr al-Dn al-Zarkasy (745-794 H), mengabadikan
pernyataan al-Hasan al-Bashr, salah seorang tabiin, berikut:
1

Ilmu al-Quran adalah maskulin, sehingga tidak dapat diketahui kecuali oleh para lelaki.
Kutipan di atas dianggap penting diketahui karena dicantumkan di bagian pengantar karya al-Zarkasy,
al-Burhn f Ulm al-Qur`n. Maskulinitas ilmu al-Quran tampak bersifat metafor. Meski apa yang
dimaksud dengan maskulinitas ilmu al-Quran pada ungkapan pertama tidak jelas, tetapi ungkapan
berikutnya dengan sangat eskplisit menyatakan hanya laki-laki yang bisa memahami al-Quran. Kedua
kemungkinan tentang maskulinitas itu berujung pada terbentuknya ide superioritas laki-laki dalam wacana
tafsir. Otoritas menafsirkan al-Quran terbentuk tidak hanya melalui bias laki-laki yang secara psikologis
sering tidak disadari, tetapi lebih dari itu, superioritas laki-laki sudah muncul sejak awal dalam studi al-
Quran.
Seiring dengan perjalanan waktu, stigma yang menghinggapi para mufasir tersebut menyebabkan
banyak karya-karya tafsir klasik maupun modern yang bias-gender, sebagaimana dibuktikan dalam
penelitian Nasaruddin Umar, Zaitunah Subhan, dan Nurjannah Ismail. Sejarah penafsiran al-Quran sejak
periode awal hingga sekarang umumnya diwarnai oleh dua karakter kepekaan gender: tafsir-tafsir yang
bias-gender dan tafsir-tafsir yang berupaya memposisikan relasi gender secara seimbang dan setara.
Kajian-kajian yang selama ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti lebih banyak mewakili
kecenderungan-kecenderungan ideologistermasuk bias-gendertafsir-tafsir dari luar Nusantara, baik
yang Timur Tengah-oriented, seperti tafsir-tafsir klasik yang menjadi objek kajian, maupun yang berasal
dari negara-negara Asia selain Indonesia, seperti India (Asghar Ali). Pernyataan A.H. Johns berikut masih
relevan untuk memotret perkembangan tafsir di Nusantara:
The present state of Quranic studies in Indonesia and Malaysia is not well surveied. There are
various renderings of the Quran in Malay, Javanese and Sundanese, numerous writings about the
Quran, and renderingsor at least part renderingsof more recent overseas exegeses, including
Sayyid Qutbs F Zill al-Qurn. Of Indonesian scholars of the Quran, Hasbi Ash-Shiddieqy (d. 1975) is
one of the most venerated and best known on the national scene.2
Dalam kutipan di atas, Johns menyatakan bahwa kajian tentang Quran di Indonesia dan Malaysia tidak
disurvei dengan baik. Ia melontarkan hal itu beberapa puluh tahun yang lalu (1984) dengan melihat varian
tafsir Timur Tengah, seperti F Zhill al-Qur`n karya Sayyid Quthb, di Nusantara. Pernyataan Johns bahwa
kajian tentang tafsir-tafsir di Indonesia masih sangat kurang adalah benar hingga sekarang, terbukti tidak
adanya kajian yang serius, kecuali hanya survei 58 literatur populer tentang al-Quran di Indonesia oleh
Federspiel.3 Namun, pernyataan Johns yang melihat perkembangan tafsir Nusantara sebagai
perpanjangan tangan tafsir-tafsir Timur Tengah tampaknya masih perlu dilakukan penelitian secara lebih
mendalam.4
Pergeseran wacana relasi gender dalam tafsir Nusantara dapat diamati dari periode perkembangan yang
paling awal, yakni Tarjumn al-Mustafd karya Abd al-Rauf al-Singkel,5 hingga yang paling akhir, misalnya


Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pascasarjana IAIN Antasari, kini Ketua Program Studi Filsafat Islam PPs IAIN
Antasari Banjarmasin.
1
Badr al-Dn al-Zarkasy, al-Burhn f Ulm al-Qur`n (Kairo: Dr al-Hadts, 1427 H/2006 M), h.17.
2
Anthony H. Johns, Islam in the Malay World: An Exploratory Survey with Some References to Quranic Exegesis,
dalam Raphael Israeli and Anthony H. Johns (ed.), Islam in Asia, Volume II: Southeast and East Asia, (Jerusalem: The
Magnes Press, The Hebrew University, 1984), h. 155.
3
Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Quran (Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia
Project, 1994). Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Tajul Arifin dan diterbitkan oleh Mizan (1996).
4
Lihat Anthony H. Johns, Islam in the Malay World, h. 155.
5
Lihat Abd al-Raf ibn Al al-Fansur al-Jw, Tarjumn al-Mustafd, (t.t.: Dr al-Fikr, 1410 H/1990 M).

Surakarta, 2-5 November 2009


The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)

al-Mishbh karya Quraish Shihab.6 Atas dasar itu, studi ini berupaya melacak relasi gender di Nusantara,
dengan melakukan perbandingan antara Tarjumn al-Mustafd dan al-Mishbh.

B. Kajian Pustaka
Sejauh ini, belum ada penelitian yang mengkaji relasi gender dalam khazanah tafsir Nusantara dengan
membandingkan Tarjumn al-Mustafd dan al-Mishbh. Memang telah ada beberapa penelitian seputar
perkembangan tafsir di Nusantara, termasuk yang membahas relasi gender. Hal itu dapat dilihat pada
pemetaan berikut:
1. Kajian-kajian yang hanya membidik perkembangan tafsir secara umum, tanpa melihat tafsir relasi
gender atau bukan, dalam lingkup Asia Tenggara dan dunia Melayu. Di antaranya adalah: pertama,
kajian Johns, Islam in the Malay World: An Exploratory Survei with Some Reference to Quranic
Exegesis, sebagaimana telah disinggung, Quranic Exegesis in the Malay World: In Serach of Profile,7
Quranic Exegesis in the Malay-Indonesian World: An Introduction Survei,8 She Desired Him and He
Desired Her (Quran 12: 24): Abd al-Ra`fs Treatment of an Episode of the Joseph Story in Tarjumn
al-Mustafd.9 Kedua, kajian Riddell: Earliest Quranic Exegitical Activity in Malay-Speaking State,10
The Use of Arabic Commentaries on the Quran in the Early Islamic Period in South and Southeast
Asia: A Report on Work Process,11 Controversy in Quranic Exegesis and Its Relevance to the Malay-
Indonesia World,12 dan Literal Translation, Sacred Scripture, and Kitab Malay.13 Ketiga, kajian
Feener, Notes towards the History of Quranic Exegesis in Southeast Asia.14
2. Kajian yang terfokus pada perkembangan tafsir di Indonesia. Pertama, kajian Yunan Yusuf,
Perkembangan Metode Tafsir di Indonesia15 dan Karakteristik Tafsir al-Quran di Indonesia Abad
XX.16 Kedua, kajian Federspiel, Popular Literature of the Quran.17 Ketiga, kajian Gusmian, Khazanah
Tafsir Indonesia.18 Keempat, kajian Baidan, Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia.19 Kelima,
kajian Amin Summa, Terjemah dan Tafsir al-Quran di Indonesia.20
3. Kajian yang terfokus pada kajian tentang relasi gender, antara lain Penafsiran Ayat-ayat Jender dalam
Tafsir al-Mishbah, disertasi doktor oleh Anshari. Tesis Yunahar Ilyas Isu-isu Feminisme dalam
Tinjauan Tafsir al-Quran: Studi Kritis terhadap Pemikiran Para Mufasir dan Feminis Muslim tentang
Perempuan yang diterbitkan dengan judul Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Quran Klasik dan
Kontemporer21 merupakan studi perbandingan antara tafsir-tafsir feminis dengan beberapa karya
tafsir. Disertasi Yunahar Konstruksi Pemikiran Gender dalam Pemikiran Mufasir22 membandingkan
penafsiran Hasbi dan Hamka tentang beberapa isu feminisme. Disertasi Zaitunah Subhan
Kemitrasejajaran Pria dan Wanita dalam Perspektif Islam yang diterbitkan dengan judul Tafsir
Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Quran23 telah melacak konsep kesetaraan gender dalam
Islam dengan merujuk karya tafsir ulama Indonesia, yakni Al-Quran dan Tafsirnya, tafsir Quran Karim
karya Mahmud Yunus, tafsir Al-Azhar karya Hamka. Sebuah penelitian yang secara khusus mengkaji

6
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2000).
7
Dalam Abdullah Saeed (ed.), Approaches to the Quran in Contemporary Indonesia (New York: Oxford University
Press, 2006), h. 17-36.
8
Dalam Andrew Rippin (ed.), Approaches to the History of the Interpretation of the Qur`n, (Oxford: Clarendon
Press, 1988).
9
Dalam Archipel, 57 (1999), Lhorizon nousantarien: Mlanges en hommage Denys Lombard, vol. II, h. 109-134.
10
Dalam Archipel, 38 (1989), h. 107-124.
11
Dalam Indonesia Circle Journal, vol. LI (1990).
12
Dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Dircourse in Southeast Asia, (Calyton: Monas Papers
on Southeast Asia, 1993), h. 27-61.
13
Dalam Studia Islamika, vol. 9, no. 1, 2002, h. 1-26.
14
Dalam Studia Islamica, vol. 5, no. 3 (1998), h. 47-76.
15
Dalam Jurnal Pesantren, vol. VIII, no. 1, 1991.
16
Dalam Jurnal Ulumul Quran, vol. III, no. 4, 1992.
17
(Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1994).
18
(Jakarta: Teraju, 2003).
19
(Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003).
20
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 1997).
21
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).
22
Disertasi ini diterbikan oleh Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama tahun 2005.
23
(Yogyakarta: LKiS, 1999).

Surakarta, 2-5 November 2009


The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)

perkembangan tafsir-tafsir gender di Indonesia adalah penelitian Minal Abidin Pergeseran Paradigma
Tafsir Perempuan dalam Konteks Keindonesiaan Kontemporer.24

B. Metodologi Penelitian
Sumber data dalam kajian ini adalah literatur-literatur tafsir Nusantara, meliputi: Tarjumn al-Mustafd
karya Abd al-Rauf Singkel dan al-Mishbh karya Quraish Shihab. Dalam pengumpulan data, studi ini
menggunakan metode historis. Metode ini sangat berguna dalam merekonstruksi sejarah perkembangan
tafsir relasi gender di Nusantara dari fase awal (Tarjumn al-Mustafd) hingga fase terakhir (al-Mishbh).
Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis wacana kritis yang dikemukakan Teun A. van
Dijk.25 Model yang dikemukakan oleh van Dijk adalah apa yang disebut sebagai kognisi sosial. Maksudnya
adalah menganalisis suatu wacana tidak cukup dengan menganalisis teks, karena teks hanya hasil dari
suatu produksi yang juga harus diamati. Suatu teks yang memarginalkan perempuan, misalnya, lahir dari
mekanisme bagaimana teks diproduksi, yaitu kognisi sosial yang terlibat dalam proses itu. Tafsir adalah
teks yang diproduksi oleh penulis dalam suatu kognisi sosial mufasir. Hal itu karena tafsir sudah merupakan
teks turunan atau teks sekunder yang tidak sama dengan teks al-Quran sendiri.

D. Penafsiran Abd al-Rauf Singkel dan M. Quraish Shihab tentang Ayat-ayat Relasi Gender

1. Kejadian (Penciptaan) Perempuan


Pandangan al-Quran tentang kejadian perempuan menjadi salah satu tema yang menarik perhatian.
Tema tersebut pada dasarnya juga telah dibicarakan oleh para ahli tafsirtermasuk Abd al-Raufdengan
pendekatan dan sudut pandang yang berbeda dari kaum feminis. Di antara ayat yang membicarakan hal itu
adalah:


(1 :4/)
Dalam ayat ini pada dasarnya tidak diungkap secara jelas tentang penciptaan Adam dan Hawa. Namun
demikian, banyak ahli tafsir yang memahami kata dengan Adam, dan kata dengan Hawa.
Penafsiran seperti itu antara lain dikemukakan oleh al-Thabar, al-Baghw, al-Zamakhsyar, al-Qurthub, al-
Nasaf, al-Baidhw, al-Khzin, Ibn Katsr, al-Mahall dan al-Suyth, serta al-Als.26 Abd al-Rauf juga
mengartikan kata dengan diri seorang, Adam. Sedangkan kata hanya diartikan dengan
isterinya jua, tanpa menyebutkan nama Hawa. Secara lebih utuh, ia menerjemahkan ayat ini Hai ahli
Makkah kutakuti oleh kamu siksa Tuhan kamu yang menjadikan kamu daripada diri seorang yaitu Adam
dan yang menjadikan daripadanya isterinya jua dan yang mencerai-ceraikan daripada keduanya segala laki-
laki dan segala perempauan yang amat banyak.27
Secara umum penafsiran Abd al-Rauf tidak jauh berbeda dengan penafsiran tradisional. Meski belum
keluar dari arus tafsir tradisional, patut dicatat bahwa ia sama sekali tidak menyinggung tentang asal
kejadian Hawa dari tulang rusuk Adam.28 Begitupun ketika menafsirkan QS. al-Baqarah/2: 35, ia tidak

24
Ringkasan hasil penelitian ini dimuat di Jurnal Dialog, Edisi II, Tahun ke-3, 2005, h. 45-73.
25
Lihat Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 8-13.
26
Ibn Jarr al-Thabar, Jmi al-Bayn an Tawl y al-Qurn, (Beirut: Dr al-Fikr, 1415 H/1995 M), jilid III, juz IV,
h. 296-297; Ab Muhammad al-Husain ibn Masd al-Farr al-Baghw, Malim al-Tanzl f al-Tafsr wa al-Tawl, (Beirut:
Dr al-Fikr, 1405 H/1985 M), jilid II, h. 3; Ab al-Qsim Jrullh Mahmd ibn Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyar,
Tafsr al-Kasysyf, (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H/1995 M), jilid I, h. 451; Ab Abdillh Muhammad ibn
Ahmad al-Anshr al-Qurthub, al-Jmi li Ahkm al-Qurn, (Beirut: Dr al-Fikr, 1415 H/1995 M), jilid III, juz V, h. 4; Ab
al-Barakt Abdillh ibn Ahmad ibn Mahmd al-Nasaf, Madrik al-Tanzl wa Haqiq al-Tawl, (Beirut: Dr al-Fikr, t.th.),
jilid I, juz I, h. 204; Nshir al-Dn Ab Sad Abdillh ibn Umar al-Syrz al-Baidhw, Anwr al-Tanzl wa Asrr al-Tawl,
(t.t.: Dr al-Fikr, t.th.), jilid I, juz II, h. 63; Al al-Dn Al ibn Muhammad ibn Ibrhm al-Baghdd al-Khzin, Lubb al-
Tawl f Man al-Tanzl, (Beirut: Dr al-Fikr, 1399 H/1979 M), jilid I, juz I, h. 472-473; Ab al-Fid Isml ibn Katsr al-
Qurasy al-Dimasyq, Tafsr al-Qurn al-Adlm, (Kairo: al-Maktab al-Tsaqfi, 2001), jilid I, h. 438; Jall al-Dn Muhammad
ibn Ahmad al-Mahall dan Jall al-Dn Abd al-Rahmn ibn Ab Bakr al-Suyth, Tafsr al-Qurn al-Adlm, (Beirut: Dr al-
Fikr, 1412 H/1991 M), h. 63; Ab al-Fadll Syihb al-Dn al-Sayyid Mahmd al-Als al-Baghdd, Rh al-Man f Tafsr al-
Qurn al-Adlm wa al-Sab al-Matsn, (Beirut: Dr al-Fikr, 1414 H/1993 M), jilid III, juz IV, h. 284-285.
27
Abd al-Raf al-Jw, Tarjumn al-Mustafd, h. 78.
28
Lihat Abd al-Raf al-Jw, Tarjumn al-Mustafd, h. 78, 176, 460.

Surakarta, 2-5 November 2009


The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)

menyinggung sama sekali hal yang sama.29 Inilah yang membedakan tafsir Abd al-Rauf dengan tafsir al-
Jallain, rujukan utama Tarjumn al-Mustafd, yang secara jelas menyebutkan bahwa Hawa diciptakan dari
tulang rusuk Adam bagian sebelah kiri.30 Beberapa mufasir lainnya, seperti al-Thabar, al-Zamakhsyar, al-
Nasaf, al-Qurthub, al-Baidhw, al-Khzin, dan Ibn Katsr, juga mengungkapkan penciptaan Hawa dari
tulang rusuk Adam.31 Pemahaman seperti itu pada gilirannya melahirkan pandangan negatif bahwa
perempuan merupakan bagian dari laki-laki. Perempuan adalah makhluk nomor dua (sekunder) setelah
laki-laki.32
Menurut Quraish Shihab, ungkapan tidak mempunyai kemungkinan lain, kecuali dalam
pengertian Adam as. atas dasar analisis munsabah antara ungkapan kata itu dengan ungkapan wa
batstsa minhum rijlan katsran wa nis` yang jika dilihat dari tema pokok ayat ini tentang
perkembangbiakan manusia tidak mungkin dipahami di luar konteks perkembangan manusia berasal dari
pasangan Adam dan Hawa. Namun, meski mengacu kepada Adam, tidak berarti bahwa Hawa
diciptakan dari Adam sendiri, melainkan dari jenis Adam () , karena sebagaimana dikutipnya
dari pendapat al-Thabthab tidak ada petunjuk sama sekali dalam nash ayat tersebut bahwa Hawa
diciptakan dari Adam. Sedangkan, hadis yang menjelaskan keterciptaan perempuan dari tulang rusuk
bengkok hanya secara metafor. Atas dasar ini, penafsiran Quraish Shihab tentang nafs whidah memiliki
persamaan dengan penafsiran mayoritas ulama, seperti al-Biq, al-Suyth, dan Ibn Katsr. Akan tetapi,
pada kata minh, penafsirannya berbeda dengan penafsiran kelompok ulama ini, dan memiliki persamaan
dengan al-Thabthab, Abduh, Ab Muslim al-Ishfahn, dan salah satu tawil yang dikemukakan oleh al-
Qaffl.33
Patut dicatat bahwa penafsiran Quraish Shihab tampak mengalami pergeseran. Dalam Membumikan
al-Quran, kata nafs whidah ditafsirkan sebagai jenis yang sama. Sedangkan dalam Tafsir al-Mishbh
kata ini ditafsirkannya sebagai Adam as. dan kata minh sebagai jenis penciptaan yang sama dengan
Adam.
Posisi pemikiran Quraish Shihab ini sama dengan penafsiran al-Thabth. Bahkan, basis argumennya
tentang korelasi kata nafs whidah dengan ungkapan wa batstsa minhum rijlan katsran wa nis` yang
bertolak dari tujuan surah dan argumennya berkaitan dengan kata minh sebagai jenis yang sama
dengan penciptaan Adam as. ditimba oleh Quraish Shihab dari tokoh ini.34 Jadi, pemikiran Quraish Shihab
yang semula sama dengan Abduh bergeser ke al-Thabthab.

2. Poligami
Di antara ayat al-Quran yang paling popular membicarakan tentang kasus poligami adalah QS. al-
Nis/4: 3:

(3 :4/ )
Dalam menjelaskan ayat ini, Abd al-Rauf mengutip suatu riwayat yang mengungkapkan sebab-sebab
turunnya ayat (asbb al-nuzl), bahwa tatkala turun ayat sebelumnya, para wali anak yatim menjadi ciut
hatinya karena merasa takut melakukan perbuatan dosa dalam mengelola harta anak-anak yatim,
sementara sebagian mereka juga memiliki sepuluh atau delapan istri, sehingga tidak mampu
memperlakukan secara adil terhadap istri-istrinya, maka turunlah ayat di atas.35
Penjelasan Abd al-Rauf tersebut agaknya tidak banyak berbeda dengan al-Jallain. Al-Jallain
menafsirkan bahwa kalau kamu (para wali anak yatim) takut tidak dapat berbuat adil terhadap anak-anak
yatim, sehingga hatimu merasa ciut untuk mengurus harta kekayaan mereka, maka seharusnya kamu juga

29
Lihat Abd al-Raf al-Jw, Tarjumn al-Mustafd, h. 7.
30
Jall al-Dn al-Mahall dan Jall al-Dn al-Suyth, Tafsr al-Qurn al-Adlm, h. 63.
31
al-Thabar, Jmi al-Bayn, jilid III, juz IV, h. 297; al-Zamakhsyar, Tafsr al-Kasysyf, jilid I, h. 451; al-Nasaf,
Madrik al-Tanzl, jilid I, juz I, h. 204; al-Qurthub, al-Jmi li Ahkm, jilid III, juz V, h. 4; al-Baidhw, Anwr al-Tanzl,
jilid I, juz II, h. 63; al-Khzin, Lubb al-Tawl, jilid I, juz I, h. 473; Ibn Katsr, Tafsr al-Qurn al-Adlm, jilid I, h. 438.
32
Riffat Hassan, Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam, Sejajar di Hadapan Allah?, Ulumul Quran, vol. I, 1990,
h. 50, 54; Nurul Agustina, Islam, Perempuan, dan Negara, Islamika, no. 6, 1995, h. 94.
33
Lihat uraian beberapa penafsiran yang berbeda ini dalam Ahmad Mushthaf al-Margh, Tafsr al-Margh (Mesir:
Mathbaat Mushthaf al-Bb al-Halab wa Awldih, 1946), juz 4, h. 175-176
34
Lihat al-Thabthab`, al-Mzn f Tafsr al-Qur`n (Teheran: Dr al-Kutub al-Islmiyyah, t.th.), juz 4, 144-145.
35
Abd al-Raf al-Jw, Tarjumn al-Mustafd, h. 78.

Surakarta, 2-5 November 2009


The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)

takut tidak mampu berbuat adil terhadap para perempuan jika menikahinya. Karena itu, nikahilah dua, tiga,
atau empat perempuan, dan jangan lebih dari jumlah itu. Namun, jika kamu takut tidak dapat berlaku adil
terhadap para istri, baik dalam hal penyediaan nafkah maupun pembagian giliran, maka hendaklah
menikahi satu perempuan saja atau budak-budak perempuan yang kamu miliki karena mereka tidak
mendapatkan hak sebagaimana para istri tersebut. Dalam penafsirannya, al-Jallain juga mengutip sebab-
sebab turunnya (asbb al-nuzl) ayat seperti yang disebutkan Abd al-Rauf.36 Dari sini jelas sekali bahwa
Abd al-Rauf mengambil sumber dari tafsir al-Jallain.
Penafsiran Abd al-Rauf ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama yang pada dasarnya membolehkan
poligami dengan syarat mampu berlaku adil terhadap para istrinya. Pendapat seperti ini telah ditentang
oleh golongan yang menolak poligami karena dianggapnya seolah-olah terlalu memihak kepada laki-laki.37
Metode penafsiran Abd al-Rauf terhadap ayat-ayat poligami juga belum keluar dari mainstream
penafsiran tradisional. Ia masih menggunakan metode tahll dalam kitab tafsirnya. Menurut Nasaruddin
Umar, dengan metode tahll penafsiran QS. al-Nis/4: 3 dapat menghasilkan kesimpulan tentang bolehnya
poligami, yaitu laki-laki dapat menikahi lebih dari satu orang, asalkan mampu berlaku adil.38
Bagi Quraish Shihab, cara terbaik memahami ayat di atas adalah: pertama, dengan menempatkan ayat
itu dalam konteks siapa yang dituju. Keterangan `isyah sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhr,
Muslim, dan lain-lain bahwa ayat ini berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan
seorang wali, dan hartanya bergabung dengan harta wali. Wali tersebut menyukai kecantikan dan harta
anak yatim itu dan ingin menikahinya tanpa memberinya mahar yang sesuai.39
Kedua, berdasarkan tuntutan berlaku adil terhadap anak yatim sebagai aksentuasi ayat ini, maka
penyebutan nikahilah wanita yang kamu sukai dua, tiga, dan empat adalah dalam konteks penekanan
terhadap perintah berlaku adil. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seorang yang melarang orang lain
makan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan tersebut dikatakannya: Jika Anda khawatir
akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan Anda.
Perintah menghabiskan makanan, tentu saja, hanya menekankan perlunya mengindahkan larangan tidak
memakan makanan itu. Jadi, perintah dalam ayat ini sama sekali tidak mengandung anjuran, apalagi
kewajiban berpoligami.40
Ketiga, konteks sosio-historis masyarakat Arab. Ayat ini, menurut Shihab, tidak membuat regulasi
tentang poligami, karena telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama dan tradisi
masyarakat sebelum turunnya ayat ini.41
Tentang persoalan keadilan, bagi sebagian feminis muslim seperti Musdah Mulia, poligami dilarang
atas dasar efek-efek negatif yang ditimbulkannya (harm li ghayrih) karena al-Quran bertolak dari
pengandaian syarat keadilan terhadap para istri yang tidak mungkin terwujud. Klaim ini didasarkan QS. al-
Nis`/4: 129:
(129 :4/ )
Menurut Quraish Shihab, ada ulama yang menyamakan keadilan pada al-qisth ( )dan al-adl
(). Sebagian ulama lagi membedakan keduanya bahwa kata pertama adalah berlaku adil antara dua
orang atau lebih dengan cara yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Sedangkan, kata kedua adalah
berlaku adil dengan cara yang mungkin tidak bisa diterima oleh kedua belah pihak.42 Jika diterapkan pada
ayat ini, maka para suami tidak akan bisa berlaku adil dengan keadilan yang bisa diterima para istri.
Beberapa feminis menolak poligami sebagai solusi atas berbagai masalah perempuan, karena al-Quran
bertolak dari pengandaian tentang keadilan sebagai syarat yang tidak bisa terwujud. Hal ini dikritik
Shihab43 karena mengabaikan pemahaman yang utuh terhadap ayat, pasalnya sambungan ayat
menyebutkan:
(129 :4/ )

36
Jall al-Dn al-Mahall dan Jall al-Dn al-Suyth, Tafsr al-Qurn al-Adlm, h. 63.
37
Nasaruddin Umar, Islam dan Masalah Poligami: Pemahaman Ali Syariati, dalam M. Deden Ridwan (ed.),
Melawan Hegemoni Barat: Ali Syariati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, (Jakarta: Lentera, 1999), h. 203.
38
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Quran (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 283.
39
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. II, h. 340-341.
40
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. II, h. 341.
41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 2, h. 341.
42
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 2, h. 338.
43
M. Quraish Shihab, Perempuan, h. 175-176.

Surakarta, 2-5 November 2009


The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)

3. Kewarisan
Isu gender yang terkait dengan kewarisan adalah pembagian 2:1 (bagian laki-laki: perempuan) dalam
ayat berikut:

(11 :4/ )
Abd al-Rauf menafsirkan penggalan ayat , yaitu
Disuruhkan Allah taala kamu pada pekerjaan pusaka segala anak kamu bagi seorang laki-laki seperti
perolehan dua orang perempuan.44 Ia menafsirkan sambungan ayat selanjutnya,
bahwa jika anak itu seluruhnya perempuan lebih dari dua orang,
maka mereka mendapatkan bagian dua pertiga harta yang telah ditinggalkan oleh mayit; dan jika hanya
ada seorang anak perempuan saja, maka dia memperoleh bagian separuhnya.45
Penafsiran Abd al-Rauf dalam konteks ini lebih singkat dibandingkan tafsir al-Jallain. al-Jallain
menafsirkan bahwa Allah memerintahkan kepada kamu tentang urusan (harta pusaka) anak-anakmu, yakni
bagi seorang anak laki-laki mendapat bagian yang setara dengan dua orang anak perempuan. Jika secara
bersamaan terdapat dua anak perempuan dan seorang anak laki-laki, maka bagian separuhnya untuk anak
laki-laki dan separuhnya lagi untuk dua anak perempuan. Jika terdapat seorang anak laki-laki dan seorang
anak perempuan, maka bagian anak perempuan sepertiga dan anak laki-laki dua pertiga.46
Abd al-Rauf tidak pernah mempersoalkan pembagian waris 2:1. Boleh jadi ketentuan itu sudah
dianggap qath. Ia juga tidak membahas hikmah di balik itu. Padahal, beberapa mufasir Indonesia telah
membicarakannya.47 Sikap ini boleh jadi karena ia meniadakan interpretasi yang agak panjang dan yang
sulit dicerna.48
Berbeda dengan Abd al-Rauf, Quraish Shihab lebih jauh menjelaskan indahnya syariat Islam dalam
soal waris dan menepis kritikan sebagian feminis. Menurutnya, kekeliruan yang terjadi dalam memahami
teks seperti dialami kalangan feminis sebagai kekeliruan metodologis, seperti memahami persoalan juz`
terlepas dari prinsip umumnya dan memahami teks terlepas dari konteks. Shihab mengatakan:
Dapat dipastikan bahwa kritik-kritik itu diakibatkan oleh titik tolak yang keliru antara lain karena
memandang ketentuan-ketentuan tersebut secara parsial, dengan mengabaikan pandangan dasar dan
menyeluruh ajaran Islam. Memang memandang masalah juz` terlepas dari induknya pasti menimbulkan
kekeliruan, seperti juga kekeliruan memahami suatu teks atau ucapan terlepas dari konteksnya. Bahkan,
pemahaman demikian bukan saja mengundang kesalahpahaman atau kesalahan, tetapi juga dapat
menggugurkan sekian banyak prinsip.49
Dalam bukunya, Perempuan, Shihab mengkritik pandangan negatif terhadap isu-isu gender dalam al-
Quran sebagaimana layaknya memandang tahi lalat di wajah yang jika titik hitam itu saja yang dipandang
tentu terlihat tidak menarik, atau bahkan buruk. Akan tetapi, jika pandangan tertuju kepada wajah secara
keseluruhan, titik hitam itu justru menjadi faktor keindahan dan kecantikan.50 Dalam konteks formula 2:1
sebagai persoalan juz`, lalu mana yang disebut Shihab sebagai ushl? Menurutnya, setiap peradaban
menciptakan hukum sesuai dengan pandangan dasarnya tentang wujud, alam, dan manusia. Prinsip dasar
Islam (ushl) adalah pandangan dasarnya yang menyeluruh tentang wujud, alam, dan manusia, berisi
nilai-nilai sebagai hasil seleksi nilai-nilai yang ada atau menciptakan yang baru. Dalam konteks waris,
prinsip dasarnya laki-laki dan perempuan adalah dua jenis manusia yang harus diakui, suka atau tidak
suka, berbeda.51 Sangat sulit menyatakan keduanya sama, lewat pembuktian agama maupun ilmu
pengetahuan. Mempersamakannya hanya akan menciptakan jenis manusia baru, bukan lelaki bukan pula
perempuan, tegasnya. Perbedaan (distinction) itulah yang menyebabkan perbedaan fungsi, seperti
patokan umum fungsi utama yang diharapkan menciptakan alat. Pisau dibikin tajam karena berfungsi
untuk memotong. Sebaliknya, bibir gelas dibikin halus karena berfungsi untuk minum. Fungsi apa yang

44
Abd al-Raf al-Jw, Tarjumn al-Mustafd, h. 79.
45
Abd al-Raf al-Jw, Tarjumn al-Mustafd, h. 79.
46
Jall al-Dn al-Mahall dan Jall al-Dn al-Suyth, Tafsr al-Qurn al-Adlm, h. 64.
47
Lihat Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: el-Kahfi, 2008), h. 257-258.
48
Tentang hal ini, lihat Salman Harun, Mutiara al-Quran: Aktualisasi Pesan al-Quran dalam Kehidupan, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 199-200.
49
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 2, h. 368.
50
M. Quraish Shihab, Perempuan, h. 259.
51
Lihat QS. li Imrn: 36.

Surakarta, 2-5 November 2009


The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)

akan diharapkan akan menentukan seperti apa alat itu dibikin. Laki-laki dan perempuan memiliki kodrat,
fungsi, dan tugas yang berbeda. Karena perbedaan inilah alat (hak) untuk keduanya juga berbeda.52
Dalam konteks perbedaan itu, laki-laki diwajibkan membayar mahar dan menanggung nafkah istri dan
anak-anaknya, berbeda dengan perempuan. Dengan analogi perimbangan, Shihab menjelaskan, jika
fungsi (kewajiban) yang sesuai dengan kodratnya itu kemudian diimbangi dan memenuhi rasa keadilan
dengan memberi laki-laki alat (hak) waris dua kali bagian perempuan, maka perimbangan ini memenuhi
rasa keadilan. Bahkan, secara matematis, al-Quran tampak lebih berpihak kepada perempuan yang lemah.
Mengutip al-Syarw,53 ia menjelaskan bahwa laki-laki membutuhkan istri, tetapi ia harus membelanjainya,
bahkan harus mencukupinya. Sebaliknya, perempuan juga membutuhkan suami, tetapi ia tidak wajib
membelanjainya, bahkan ia harus dicukupi keperluannya. Jika laki-laki harus membelanjai istrinya, atas
dasar keadilan dengan pembagian rata, bagian yang diterimanya dua kali lipat itu sebenarnya ditetapkan
al-Quran untuk memenuhi keperluan diri dan istrinya. Seandainya, laki-laki tidak wajib membelanjai
istrinya, tentu saja, setengah dari bagiannya sudah dapat memenuhi keperluan dirinya. Di sisi lain,
perempuan dengan satu bagian itu dapat memenuhi keperluannya, seandainya ia belum menikah, dan jika
telah menikah ia dibelanjai oleh suaminya, sehingga satu bagian yang diperolehnya bisa disimpan. Jadi,
dua bagian untuk laki-laki dibagi habis, sedangkan satu bagian perempuan masih utuh.54

4. Kepemimpinan Perempuan
Tekait dengan persoalan ini, Allah swt. berfirman dalam QS. al-Nisa/4: 34:
(34 :4/ )
Abd al-Rauf menafsirkan ayat ini bahwa bermula segala laki-laki dikuasakan mereka itu atas segala
perempuan dengan sebab dilebihkan Allah taala segala laki-laki itu atas segala perempuan dengan ilmu
dan akal dan wilayah dan dengan sebab dibiayakan mereka itu atas mereka itu daripada segala arta
mereka itu.55 Penafsiran Abd al-Rauf dalam hal ini juga mengikuti tafsir al-Jallain.56
Kata qawwmn diterjemahkan Abd al-Rauf dengan dikuasakan mereka itu. Hal ini sejalan dengan
al-Jallain, penguasa, dan al-Baidhw, pemimpin. Penafsiran seperti ini oleh sebagian feminis dianggap
menguntungkan laki-laki. Padahal, kata itu dapat pula berarti pengayom, pelindung, penjaga,
penjamin, pemelihara, dan penanggung jawab.57
Sebagian mufasir tradisional, semisal Ibn Katsr, bahkan lebih jauh telah mengaitkan penafsiran ayat di
atas dengan hadis Nabi saw.:
58
( )
Menurut penafsiran Ibn Katsr, kaum laki-laki adalah penanggung jawab terhadap kaum perempuan,
yakni kepala, pemimpin, dan penguasa bagi kaum perempuan, serta yang memperbaiki (meluruskan) kaum
perempuan bilamana bengkok. Hal demikian karena kaum laki-laki itu lebih utama dibandingkan dengan
kaum perempuan, sehingga predikat kenabian (nubuwwah) hanya dikhususkan bagi kaum laki-laki, dan
demikian pula jabatan kepala negara dan hakim.59
Ketika menafsirkan ayat di atas Abd al-Rauf sama sekali tidak menyebutkan hadis itu. Hal ini boleh
jadi karena penafsirannya sangat singkat. Namun, bukan mustahil ia sengaja tidak meyebutkan hadis itu
dalam Tarjumn al-Mustafd, sehingga terhindar dari perdebatan seputar hukum seorang perempuan
menjadi kepala negara. Isu itu telah lama menjadi persoalan tak terpecahkan di kalangan orang-orang
Aceh. Ia sendiri tampaknya tidak berhasil menjawab secara gamblang. Dalam Mirat al-Thullb, dia tidak
membahas masalah ini secara langsung. Ketika membicarakan syarat-syarat untuk menjadi hakim, dia

52
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 2, h. 368-369.
53
Argumen selengkapnya dari al-Syarw tentang kesetaraan hak dalam ayat ini, sebagaimana dirujuk oleh Quraish
Shihab, dapat dilihat dalam Tafsr al-Syarw, juz 4, h. 2025.
54
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. II, h. 369.
55
Abd al-Raf al-Jw, Tarjumn al-Mustafd, h. 85.
56
Lihat Jall al-Dn al-Mahall dan Jall al-Dn al-Suyth, Tafsr al-Qurn al-Adlm, h. 68.
57
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, terj. Agus Nuryatno, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 241; Nasaruddin
Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h.150; Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh, h. 103.
58
Ab Abdillh Muhammad ibn Isml al-Bukhr, Shahh al-Bukhr, (Kairo: Dr al-Hadts, 1420 H/2000 M), juz IV,
h. 515.
59
Ibn Katsr, Tafsr al-Qurn al-Adlm, jilid I, h. 480.

Surakarta, 2-5 November 2009


The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)

tampaknya secara sengaja tidak memberikan terjemahan Melayu untuk kata dzakar (laki-laki) atau tidak
menyebut-nyebut perbedaan gender sebagai syarat keabsahan bagi seorang hakim atau qadi.60
Berbeda dengan Abd al-Rauf, Quraish Shihab tidak menolak kepemimpinan perempuan selain di
rumah tangga. Meski ia menerima pendapat Ibn syr tentang cakupan umum kata al-rijl untuk semua
laki-laki, tidak terbatas pada para suami, tetapi uraiannya tentang ayat ini ternyata hanya terfokus pada
kepemimpinan rumah tangga sebagai hak suami. Dengan begitu, istri tidak memiliki hak kepemimpinan
atas dasar sesuatu yang kodrati (given) dan yang diupayakan (nafkah). Sekarang, persoalannya
mungkinkah perempuan mengisi kepemimpinan di ruang publik?
Pertama, berbicara hak berarti berbicara kebolehan (bukan anjuran, apalagi kewajiban). Ayat di atas
tidak melarang kepemimpinan perempuan di ruang publik, karena konteksnya dalam kepemimpinan rumah
tangga. Shihab mengungkapkan:
Alhasil, tidak ditemukan dasar yang kuat bagi larangan tersebut. Justru sebaliknya ditemukan sekian
banyak dalil keagamaan yang dapat dijadikan dasar untuk mendukung hak-hak perempuan dalam bidang
politik Salah satu yang dapat dikemukakan dalam kaitan ini adalah QS. at-Tawbah [9]: 71: Orang-orang
yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah auliy` bagi sebagian yang lain. Mereka
menyuruh yang makruf, mencegah yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan mereka
taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan dirahmati Allah; sesungguhnya Allah Mahaerkasa lagi
Mahabijaksana.61
Argumen ini sama dengan apa yang dikemukakan Justice Aftab Hussain bahwa prinsip yang mendasari
kebolehan perempuan menjadi pemimpin di ruang publik adalah prinsip yang berlaku dalam segala hal
adalah kebolehan, sampai ada dalil yang menunjukkan ketidakbolehan (
) .62
Kedua, di samping tidak ditemukan dalam ayat-ayat al-Quran larangan bagi perempuan untuk
menjadi pemimpin dalam ruang publik, hadis-hadis Nabi juga diam dari larangan itu.
D. Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari uraian di muka jelaslah bahwa penafsiran dua ulama Nusantara ini terdapat titik kesamaan dan
perbedaan. Penafsiran Abd al-Rauf Singkel secara umum mengikuti arus tafsir tradisional, meski terdapat
unsur kreativitas dengan penambahan dan pengurangan. Rujukan utama Tarjumn al-Mustafd, tafsir al-
Jallain, barangkali dapat menjelaskan mindset Abd al-Rauf yang masih berada dalam arus tafsir
tradisional yang umumnya bias-gender. Hal itu secara jelas tergambar dalam beberapa penafsirannya.
Namun demikian, pandangan Abd al-Rauf terlihat lebih moderat dan toleran, sebagaimana penafsirannya
tentang asal-usul kejadian dan kepemimpinan perempuan. Dalam dua kasus ini, ia boleh jadi secara
sengaja meninggalkan unsur-unsur tertentu dari tafsir sebelumnya yang dianggap bias gender.
Sementara itu, Quraish Shihab mempunyai penafsiran tersendiri, yang tidak sepenuhnya mengikuti
pandangan para mufasir tradisional ataupun mufasir kontemporer. Ia, misalnya, menafsirkan kata nafs
whidah sebagai Adam as. dan pasangannya adalah Hawa. Namun, ia tidak setuju bahwa istri Adam,
Hawa, diciptakan dari Adam sendiri, melainkan dari jenis Adam. Dengan begitu, ia berada pada posisi
tengah antara arus penafsiran tradisional dan penafsiran kontemporer semisal Abduh. Kecenderungan
yang kurang lebih sama juga dapat dilihat pada tema-tema lainnya. Penafsiran ini selangkah lebih maju
dibandingkan para mufasir Nusantara sebelumnya, tak terkecuali Abd al-Rauf Singkel.
Studi ini diakui masih menyisakan sejumlah persoalan krusial yang perlu dikaji dan ditindaklanjuti. Isu-
isu gender di sini hanya terfakus pada empat tema sehingga terbuka peluang bagi para peneliti lainnya
untuk mengangkat tema-tema di luar itu. Demikian juga, karya tafsir yang dijadikan sumber utama di sini
hanya terbatas pada Tarjumn al-Mustafd dan al-Mishbh, karenanya masih perlu diperluas dengan
menghadirkan karya-karya tafsir lainnya, sehingga diperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang
wacana gender dalam khazanah tafsir Nusantara.

60
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan,
1994), h. 200.
61
M. Quraish Shihab, Perempuan, h. 346.
62
Justice Aftab Hussain, Status of Women in Islam, (Lahore: Law Publishing Company, 1987), h. 201.

Surakarta, 2-5 November 2009

Anda mungkin juga menyukai