Anda di halaman 1dari 7

Nama : Nissa Ma’rifa Fillaili

Nim : 18203010042

Mata Kuliah : Hukum Keluarga Di Dunia Islam ( Hukum Warisan dan Waris di Mesir)

HUKUM WARISAN DAN WASIAT DI MESIR

PENDAHULUAN

A. MESIR

Nama resmi dari Negara mesir adalah Republik Arab Mesir yang memiliki undang-

undang dasar tanggal 11 september 1971, Negara mesir ini terletak dipantai selatan dan libia

di barat. Luasnya sekitar 997.739 km persegi, jumlah penduduknya 54.609.000 jiwa (1990),

ibukotanya Kairo dan bahasa resminya adalah bahasa arab.

Agama islam masuk ke mesir pada masa khalifah Umar bin Khattab kemudian di

teruskan oleh Dinasti umayyah, Abbasiyah, dan Thulun (868-905), ikhsyidiyah (935-969),

Fatimiyah (909-1171), ayyubiyah (1174-1250) yang ditandai dengan adanya perang salib

serta Dinasti Mamluk (1250-1517), kemudian setelah itu telah menjadi bagian dari kekuasaan

kerajaan Usmani.

Perlu kita ketahui bahwa sebelum masuknya islam ke nagara mesir, banyak

ditemukan pengaruh Romawi dalam kehidupan masyarakat oleh karena itu para romawi

menerapkan islam secara bertahap yaitu dengan menjunjung tinggi keadilan, menetapkan

persamaan hak, serta secara berangsunr-angsur islam dapat diterapkan. Demikian pula

romawi menetapkan dua dewan atau mahkamah peradilan serta menyerahkan segala urusan
keagamaan kepada ilmuan dan fuqaha’, Amr bin Ash adalah orang pertama yang meletakkan

dasar mahkamah antara bidang agama dan perdata, hal ini dilakukan jika terjadi perselisihan

antara muslim dan non muslim.

Negara Mesir sama halnya dengan Negara turki yang mengalami reformasi beberapa

hukum khususnya dalam hukum keluarga, mesir adalah yang pertama kalinya Negara di

dunia islam yang menganut beberapa system hukm di turki, tetapi berbeda dengan turki mesir
mampu mengkombinasikan antara hukum eropa (beberapa hukum barat yang terdapat di
turki) dengan hukum islam melalui reformasi syari’ah (syari’ah reform) nya termasuk

mengenai proses sejarah dn ide-ide reformasi di abad ke-19 dan awal abad ke-20, serta

dampaknya terhadap perkembangan hukum dan lembaga-lembaga hukum diturki (ottoman)

dan mesir (Egypt) yang mana juga pada saat itu telah dipengaruhi oleh aspeks-aspeks sosial-

politik.

Hukum kelurarga dalam masyarakat muslim khususnya di mesir sangatlah menarik

untuk dikaji, sebab terdapat didalamnya pengamalan atas hukum jiwa wahyu ilahi dan sunnah

rasulullah saw, sedang terdapat juga hukum lain yaitu hukum mu’amalah yang ini jika

hukum-hukum diatas telah hilang maka hal tersebut disebabkan oleh berbagai hal,

diantaranya karena penjajahan barat dan factor-faktor lainnya.

Dahulu hukum keluarga dalam pengartian sempit yakni pekawinan-perceraian

terdapat dalam kitab-kitab fiqh disuatu Negara. Pada umumnya hasil ijtihad tersebut adalah

hasil ijtihad dari pada mujahid berbagai tingkatan. Untuk memenuhi kebutuhan hukum

masyarakat muslim pada masanya. Hukum keluarga yang demikian kini, dapat dilihat dan

ditelusuri dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, empat madzhab sunni (hanafi, maliki,

syafi’I, dan hanbali) dan tiga pada syi’ah (it’sna ‘asy’ari, isma’ili dan zaidi).

Meskipun demikian hasil dari penalaran para fuqaha’ dimasa lampau yang sesuai dan

memenuhi kebutuhan masyarakat muslim pada waktu itu, tetapi tidak sesuai lagi dengan

perkembangan zaman dan kepentingan umat muslim sekarang ini. Selain itu isinya pun

berbeda satu dengan yang lain dikarenakan tingkat pengetahuan dan para penalarannya,

kendatipun mereka berada dalam satu madzhab yang sama.

Karena inilah telah menimbulkan rasa ketidak puasan terhadap isi yang

dikandungnya, juga mengakibatkan ketidak pastian hukum karena perbedaan pendapat yang

terdapat didalamnya, sehingga masyarakat muslim ada yang lebih senang mengikuti hukum

adat yang telah turun temurun berlaku bagi mereka atau berpaling pada system Kristen

(barat) yang telah disusun secara sistematis dan jelas dalam satu kitab atau peraturan

perundang-undangan.

Kini keadaan telah berubah hukum keluarga yang mampu bertahan dari hempasan
gelombang westernisasi, sekulerisme yang dilaksanakan melalui sekulerisasi disegala bidang
kehidupan, telah diperbaharui, dikembangkan selaras dengan perkembangan zaman dan

tempat serta dimodifikasikan baik secara persial maupun secara total.

Untuk melaksanakan hukum keluarga yang telag ditetapkan oleh Negara mesir maka

diadakan reorganisasi dan penyempurnaan peradilan agama dengan mengeluarkan peraturan

perundang-undangan.

B. PENGERTIAN WASHIYYAT

Washiyyat ialah : suatu tasharruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan

sesudah meninggal yng berwashiyyat, jelasnya : pengaruh dari tasharruf yang telah sempurna

di waktu orang yang berwashiyyat masih hidup, tidak berlaku sebelum meninggalnya (yang

berwashiyyat itu).

   


   
 
 
   
 

Artinya :

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)

maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib

kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

C. HUKUM WARISAN DAN WASIAT DI MESIR

Sebelum 1943 di mesir berlaku empat madzhab, yang perlu kita ketahui bahwa di

dalam keempat madzhab tersebut terdapat perbedaan pendapat dalam masalah furu’

(khususnya masalah kewarisan, demi menciptakan kesatuan dalam sitem kewarisan di

seluruh Negara mesir diadakanlah satu undang-undang Negara, yaitu undang-undang no.77

1943 mengenai hal kewarisan dan wasiat. Dimana dalam undang-undang ini telah

mengkodifikasi prinsip-prinsip hukum waris madzhab hanafi di dalam beberapa perkara

dikarenakan terdapat perbedaan pendapat baik dalam kalangan madzhab hanafi sendiri
maupun dari kalangan madzhab-madzhab lain, maka ditetapkan dalam undang-undang

tersebut pendapat yang berlaku (diakui) demi untuk kesatuan system dan hukum.

Dalam cara menghitung bagian ahli waris dzu-arham antara doktrin Abu Yusuf dan

doktrin Muhammad Asy-Syaibani terdapat perbedaan. Doktrin Abu Yusuf hanya

memperhatikan jenis kelamin dzu-arham yang berhak, lelaki atau perempuan dan setiap lelaki

mendapatkan dua kali bagian dan perempuan sesuai dengan peraturan umum ketentuan

alqur’an. Sedangkan doktrin Muhammad Asy-Syaibani memperhatikan setiap leluhur yang

memperhatikan kekeluargaan dari kelamin yang berlainan dari dzu-arham yang berhak,

kemdian undang-undang Mesir menetapkan doktrin Asy-Syaibani inilah yang berlaku di

Negara Mesir.

Nah penjelasan diatas menerangkan baru dari satu madzhab saja, berikut di bawah ini

contoh perbedaan pendapat di antara madzhab-madzhab yang empat:

Masalah Musyarakah atau juga terkenal dengan masalah himariyah terjadi di zaman

pemerintah khalifah umar bin khattab.

Mazhab-mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa saudara kandung laki-laki

adalah ashabah, jadi tidak boleh mewaris bersama-sama dengan saudara seibu, sedangkan

madzhab lain (madzhab Syafi’i dan Maliki) berpendapat bahwa saudara kandung lelaki boleh

mewaris bersama-sama dengan saudara seibu. Kemudian Negara Mesir sekarang menetapkan

saudara kandung lelaki bersekutu diri dengan saudara seibu.

Golongan Ahlusunnah berpendapat bagi istri/suami tidak berlaku radd, sedangkan

khalifah usman dan zaid memperbolehkannya. Undang-undang no.77 tahun 1943 artikel 30

menetapkan janda/duda mengambil seluruh harta pusaka bila si pewaris tidak meninggalkan

ahli waris dzu-fara’id, ashhabah dan dzu-arham. Tegasnya jika janda/duda satu-satunya ahli

waris, ia mendapat seluruh harta pusaka si pewaris. Jika ada dzu-faraidh, sisa kecil

ditambahkan lagi kepadanya secara radd.

Para ahli hukum dalam madzhab-madzhab hanafi dan hanbali berpendapat datuk

(leluhur) menyingkirkan para saudara, lelaki maupun perempuan.

Jadi apabila berkumpul datuk dengan saudara kandung atau sebapak, maka saudara
tidak mendapat pusaka sama sekali, karena datuklah (leluhur) yang paling dekat dengan di
pewaris. Sedangkan ahli hukum dalam mdzhab Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa datuk

sama dengan saudara laki-laki sehingga ia mendapat pusaka pula karena datuk dan saudara

laki-laki sama-sama dekat dengan si pewaris.

Golongan ahlusunnah berpendapat bahwa cucu tersingkirkan oleh saudara bapaknya

yang masih hidup. Ditinjau dari segi kemajuan ilmu pengetahuan hukum, hal yang demikian

itu terjadi disebabkan syari’at tidak mengetahui prinsip representasi.

Jadi prinsip ahlusunnah adalah keluarga yang lebih dekat selalu dapat menyingkirkan

keluarga yang jauh dalam kelompok yang sama. Dalam prinsip representasi adalah waris

pengganti ayahnya yang meninggal dunia terlebih dahulu dari leluhurnya.

Perkembangan hukum waris islam di mesir menjamin cucu mendapat bagian harta

pusaka datuknya (leluhurnya), hal ini di tetapkan dalam peraturan undang-undang washiyyat

Mesir no.71 1946 (artikel 76 sampai 79) yang menetapkan bahwa datuk diwajibkan membuat

wahiyyat kepada cucu-cucunya melalui anak-anak nya yang telah meninggal dahulu darinya

dengan syarat tidak boleg melebihi dari sepertiga dari harta warisan.

Madzhab-madzhab hanafi dan hanbali berpendapat berpendapat bahwa boleh

berwashiyyat kepada ahli waris, apabila wasiat itu diridhai oleh semua hali wris yang sesudah

meninggalnya yang berwashiyyat.

Sedangkan madzhab Maliki berpendapat tidak boleh dan para ahli hukum dalam

madzhab Syafi’i terpecah dua yaitu : ada yang sependapat dengan madzhab Maliki dan

adapula yang sependapat dengan madzhab Malikidan adapula yang sependapat dengan

madzhab-madzhab hanafi dan hanbali.

Undang-undang washiyyat mesir 1946 (Egyptian law of bequest, artikel 37)

menetapkan washiyyat kepada ahli waris adalah sah dan berlakutanpa persetujuan para ahli

waris yang lain, asal dalam batas sepertiga.

Dalam catatan pendek yang dikeluarkan bersama dengan undang-undang itu

dinyatakan bahwa sahnya washiyyat kepada ahli waris dengan syarat tidak melebihi sepertiga

dan didasarkan kepada alqur’an II ayat 180.


   
   
 
 
   
 

Artinya :

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)

maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib

kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

Anak yang dilahirkan oleh seorang janda dalam madzhab Hanafi ditetapkan tempo

dua tahun, madzhab Syafi’i empat tahun, madzhab Maliki Lima tahun. Madzhab Hanafi

berpendapat bahwa undang-undang Mesir no.77 tahun 1943 artikel 43 menetapkan anak yang

dilahirkan oleh seorang janda akan mewarisi harta jika dilahirkan dalam tempo 365 hari dan

tarikh ibunya menjadi janda dalam cerai mati, dengan syarat bahwa perempuan yag

melahirkan nya menjadi janda sebelum suaminya meninggal dalam cerai hidup.

D. UNDANG-UNDANG WASHIYYAT WAJIBAH NO.7 1356 H/ 1946 M DI

MESIR

Apabila pewaris tidak mewariskan kepada keturunan dari anak laki-laki pearis (cucu/

cucu-cucu), padahal anak laki-laki itu meninggal dunia lebih dahulu atau meninggal secara

bersamaan dengan pewaris, maka cucu itu wajib mendapat washiyyat wajibah dari harta

warisan pewaris sevesar almarhum anak laki-laki itu seandainya ia masih hidup, namun tidak

boleh melebihi dari sepertiga dari jumlah harta warisan dengan syarat cucu tersebut bukanlah

merupakan dari ahli waris, dan belum ada bagian harta baginya melalui jalan lain (hibah),

bila telah ada sebelumnya dan jumlahnya lebih sedikit dari bagian washiyyat wajibah maka

harus ditambahkan kekurangan dari jumlah tersebut.

Washiyyat wajibah kemudian diberikan kepada golongan tingkat pertama dari anak

laki-laki dan anak perempuan dan juga kepada anak laki-laki dari anak laki-laki pewaris dan

seterusnya kebawah, dengan syarat setiap orang menghijab (menghalangi) masing-masing


anaknya (menganut system ashabah garis laki-laki)
Apabila pewaris sempat mewashiyyatkan kepada orang yang wajib diberi washiyat

dengan wahiyyat yang melebihi bagiannya, maka kelebihan itu merupakan washiyyat

ikhtiyarah. Namun jika kurang dari bagiannya maka wajib di tambahi hingga mencapai

bagian yang seharusnya didapati.

Washiyyat wajibah wajib di dahulukan, bila pewaris tidak mewahiyyatkan kepada

orang yang wajib di washiyyati dan dia mewashiyyatkan kepada orang lain, maka orang yang

wajib di berikan washiyyat wajibah akan mengambil kadar bagiannya dari sisa sepertiga

warisan bila sisa itu cukup, bila tidak maka dari sepertiga harta dan dari bagian yang di

washiyyatkan bukan dengan washiyyat wajibah.

Jadi, washiyyat wajibah di peruntukkan hanya bagi yang buka ahli waris dan yang

tidak punya hak pengganti ahli waris. Karena cucu dijadikan ahli waris pengganti dari nak

(disamping ahli waris pengganti ayah, ibu, saudara dan paman), cucu mendapat bagian anak

yang digantikan, maka washiyyat wajibah hanya di berikan kepda kerabat selain ahli waris

dan penggantinya.

Anda mungkin juga menyukai