Anda di halaman 1dari 6

Status Anak yang Lahir di Luar Ikatan Perkawinan di Maroko

Journal Review Oleh: Lalu Haidir Ali, Nim: 18203010050,


Mahasiswa Magister Hukum Islam FSH UIN-Suka.

Penulis : Eva Schumpf


Judul : Legal Status of Children born Out of Wedlock
In Marocco
Penerbit : The Center for Islamic and Middle Eastern
Legal Studies (CIMELS), University of
Zurich, Switzerland.
Tahun : 2016, Vol. 4 ISSN: 1664-5707
Jumlah : 26
Halaman

Salah satu isu penting dalam kajian hukum keluarga kontemporer adalah
perlindungan hak-hak anak yang lahir di luar ikatan perkawinan. Dalam tradisi
fiqh klasik, hal ini kurang mendapat perhatian yang mengakibatkan diskriminasi
berkepanjangan terhadap anak yang lahir di luar ikatan perkawinan. Hal ini terjadi
akibat kajian hukum yang hanya dari sisi teks semata dengan mengabaikan
konteks mashlahah dan di samping pengaruh struktur sosial yang peternalistik
pada masa itu. sejauh polemik yang ada dalam fiqh klasik bahwa anak yang lahir
di luar ikatan perkawinan tidak memiliki hubungan nasab kepada ayahnya, ia
hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu yang melahirkannya. Akibatnya, anak
tersebut tidak memiliki hak dalam harta warisan, pengasuhan, perlindungan, dan
perwalian dari ayah. Bahkan lebih krusial adanya labelisasi anak zinah (ibnu
zina).
Eva Schumpf dalam penelitian ini memaparkan, dalam konteks maroko,
Masalah anak yang lahir di luar perkawinan (selanjutnya disebut anak tidak sah)
semakin kompleks dan menimbulkan masalah baru terhadap banyaknya anak
terlantar atau pembuangan bayi yang tidak jelas asal usul keluarganya. Karena
anak tidak sah dianggap sebagai aib bagi keluarga yang kemudian dilabeli sebagai
anak zina (berdasarkan mudawanah 1993), di samping menurut undang-undang
maroko bahwa hubungan seksual di luar ikatan perkawinan dianggap sebagai
tindak pidana. Untuk menyembunyikan aib dan menghindari sanksi pidana,
sehingga banyak terjadi penelantaran anak dari hasil zinah. Semakin pelik dan
tidak jelas pula apakah anak terlantar berstatus sebagai anak yatim atau anak sah
atau tidak sah.
Dalam tulisan ini, penulis membagi pembahasan ke dalam enam sub-
bagian, (1) pendahuluan yang menggambarkan problematika sosial yang
mempengaruhi banyaknya anak yang tidak sah. (2) sejarah singkat pembentukan
hukum keluarga di Maroko (3) hubungan orang tua-anak dan konsep nasab, dalam
bagian ini masih merujuk kepada konsep nasab seperti yang ada dalam fiqh
klasik, terutama fiqh Maliki. Seperti, penetapan nasab melalui perkawinan yang
mengakomodir adanya batas minimal kehamilan yaitu anak lahir minimal enam
bulan setelah akad pernikahan. Selain itu melalui pengakuan (iqrar), pembuktian
(al-bayyinah), dan perbandingan kesamaan fisik (al-Qiyafah). (4) hak-hak anak
yang lahir di luar ikatan perkawinan (5) pengaruh konvensi PBB tentang hak-hak
anak dalam pembentukan hukum keluarga di Maroko (6) kesimpulan dan saran
dari penulis.
penelitian ini bersifat normatif-yuridis (kajian undang-undang), sehingga
tidak bersifat analitis-teoritis yang mendalam atau tidak melahirkan teori hukum
yang baru. Namun lebih bersifat informatif yang menunjukkan realitas di Maroko
serta proses yang panjang untuk mendapat pengakuan dan perlindungan hak anak
yang tidak sah dalam perjalanan pembentukan hukum keluarga di Maroko, di
mana melibatkan banyak pihak dan aktivis perempuan serta lembaga sosial yang
lain. Hal ini dipaparkan cukup jelas oleh penulis dalam sejarah kodifikasi hukum
keluarga maroko (mudawwanah) yang mengalami tiga kali pembaharuan
(amandemen).
Pertama, untuk pertama kalinya, hukum keluarga Maroko diberlakukan
pada tahun 1958 setahun setelah maroko merdeka pada tahun 1956. Kendati
dalam bentuknya yang masih sederhana dan konservatif bahkan hanya berupa
kodifikasi dari trankrip fiqh klasik imam Maliki. Menurut Eva Schumpf Masih
adanya diskriminasi terhadap perempuan di mana perempuan diposisikan inferior,
selalu membuthkan persetujuan wali dalam pernikahan. Walaupun sebenarnya itu
sangat wajar jika melihat usia kemerdekaan Maroko yang masih dini dan sesuai
kebutuhan sosial berdasarkan konteks pada saat itu.
Kedua, undang-undang baru dianggap tidak banyak menyelesaikan
masalah. Sebelum undang-undang baru, perempuan dapat secara resmi
meninggalkan anaknya dengan pergi ke rumah sakit dan melakukan wawancara
dengan pekerja sosial (yayasan anak) dan menjelaskan maksudnya untuk
meninggalkan anaknya, kemudian ia dapat secara resmi meninggalkan anaknya
dengan menandatangani surat resmi. Tetapi dengan undang-undang baru, setiap
kasus perzinahan dan penelantaran harus dilaporkan ke kepolisian karena
dianggap sebagai pelanggaran atau tindak pidana menurut KUHP maroko.
Sehingga tidak mengherankan banyak kasus anak yang ditinggalkan tanpa
mengetahui latar belakang keluarga atau penelantaran secara diam-diam dan
banyak adopsi tanpa melalui prosedur (secret adoption) meningkat.
Ketiga, negara Maroko melakukan Pembaharuan Hukum Keluarga dengan
lahirnya Mudawwanah al-Usrah tahun 2004. undang-undang keluarga yang baru
membantu mengubah undang-undang yang lain. seperti, undang-undang
ketenagakerjaan dalam hal ini batas minimal usia kerja anak dan undang-undang
kewarganegaraan dalam hal ini anak yang tidak sah berhak atas kewarganegaraan.
Saat ini, hukum maroko dianggap salah satu yang paling progresif di dunia arab,
tunisia dianggap sebagai negara paling maju kedua dalam hal kesetaraan
perempuan. Hal tersebut memberikan proteksi terhadap tindakan pelecehan dan
diskriminasi bagi perempuan dan anak-anak.
Pada bagian IV pembahasan tentang hak-hak anak yang tidak sah, tiga
istilah yang tidak begitu jelas duduk masalahnya, apakah anak terlantar masuk
dalam klasifikasi (1) anak yatim (2) anak sah dan (3) anak tidak sah. Hal ini
menjadi penting karena akibat dan rujukan hukum dari masing-masing term tentu
berbeda pula1. Walaupun dalam pendahuluan telah diungkapkan penulis bahwa

1
Membaca pasal-pasal dalam undang-undang yang menjadi rujukan penulis terkait
anak tidak sah masih umum yaitu mencakup anak sah dan anak yatim yang bisa jadi ayahnya
meninggal atau akibat perceraian. Terlihat begitu tidak jelas Terutama dalam pembahasan
masalah pengasuhan, nafkah, perwalian dan warisan. Walaupun aturan tersebut sudah otomatis
mengakomodir ketentuan anak tidak sah dalam hal tertentu. Tentu ini menjadi kesulitan
anak yatim dalam Islam menggambarkan anak yang ayahnya meninggal sebelum
mencapai kedewasaan atau anak yang kehilangan pengasuhan atau kekurangan
dukungan dari kedua orang tua atau salah satu dari orang tua yang mungkin masih
hidup. Bagaimanapun juga, hal tersebut berimplikasi kepada anak yang tidak
diketahui status ayahnya atau orang tua nasabnya, dalam hal ini yaitu anak yang
tidak sah (illegitamate).
Dalam upaya meminimalisir dan melindungi hak-hak anak yang tidak sah
di Maroko, Maka dibuat kerangka hukum tentang adopsi. Dalam perdebaatannya,
apakah adopsi tradisi dari Islam yang diperbolehkan ataukah hukum Islam
memberikan alternatif lain yang serupa dengan adopsi yang dikenal sebagai
kafalah. Penggunaan istilah yang berbeda namun terkadang didefinisikan sama,
menjadikan hal ini penting mendapat perhatian. Untuk dapat menarik benang
merahnya, perlu jika kita runut dari konteks sejarah.
Penulis disini cenderung mendefinisikan anak adopsi sebagaimana praktik
adopsi masyarakat arab pra-Islam, yaitu antara orang yang memungut anak dan
anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan hukum kekeluargaan yang sama
seperti anak kandungnya sendiri. Seperti mengambil nama orang tua adopsi, serta
hak mewarisi harta warisan. Sedangkan jika dirunut dari sosio-historis antara anak
adopsi dan anak asuh tentu berbeda. Dalam islam sendiri dikenal dengan konsep
kafalah –memberikan perawatan atau pengasuhan, anak yang diambil ke dalam
pemeliharaan atau tanggungan seseorang diberikan hak seperti anak kandung
sendiri dalam hal nafkah, pendidikan, atau perlindungan jasmani, yang tidak
mengubah status hukum, nasab, hak waris, perwalian.
Di beberapa Negara termasuk Indonesia mengenal istilah anak angkat
(KHI) serupa dengan istilah adopsi. Namun didefinisikan dalam konsep kafalah.
Selama Adopsi diartikan sebagai konsep kafalah, tentu hal ini sesuai dengan
konsep hukum Islam. Namun perlu sekiranya ada perbedaan istilah sehingga
membuat masalah ini lebih jelas.

tersendiri bagi peneliti jika membaca klarifikasinya pada halaman 23 “Matters of Concern”
kurangnya data dan kesulitan dalam mendapat data anak-anak terlantar termasuk anak yang
tidak sah dengan alasan utama tidak adanya sentralisasi, standarisasi dan mekanisme yang
sistematis koleksi data.
Pada bagian V tentang pengaruh konvensi PBB tentang hak-hak anak.
maroko menanda tangani konvensi PBB tentang hak-hak anak pada tahun 1990
(selanjutnya disebut CRC) dan diratifikasi pada tahun 1993. Penerimaan CRC
secara luas oleh negara-negara disebabkan oleh kenyataan selama
pengembangannya terdiri dari berbagai kelompok kerja (negara anggota), tidak
didisain hanya dari kelompok negara barat. Konvensi hak-hak anak merupakan
sebuah perjanjian hukum Internasional yang mengikat. Artinya, hukum ini ketika
disepakati oleh suatu negara, maka negara-negara tersebut terikat pada perjanjian
yang ada di dalamnya. Dengan kata lain Negara kemudian mempunyai kewajiban
untuk melaksanakannya. Pada pembukaan (konsideran) mudawwanah dengan
jelas menyatakan, hukum yang dibuat sesuai dengan komitmen maroko terhadap
HAM internasional.
Beberapa pencapaian yang cukup signifikan dalam pembaharuan terkait
definisi anak dalam konteks usia perkawinan, tenaga kera, dan tanggung jawab
tindak pidana. Pada pasal 1 CRC menyatakan, anak adalah setiap orang laki-laki
atau perempuan yang masih berumur di bawah 18 tahun. Saat ini maroko telah
menaikkan usia perkawinan dan tanggung jawab pidana menjadi 18 tahun dan
usia kerja menjadi 15 tahun yang sebelumnya 12 tahun. Prinsip kepentingan
terbaik bagi anak juga dikenal pada mudawwanah pada pasal 166 yang
memberikan hak kepada anak yang telah mencapai usia 15 tahun untuk memilih
sendiri pengasuhnya dan juga berhak mengekspresikan pandangannya. sesuai
dengan prinsip CRC pasal 12. Kepentingan terbaik bagi anak dapat dilihat juga
pada pasal 164 mudawwanah, di mana diatur adanya pengasuhan bersama oleh
orang tua dan jika ibu menikah tidak otomatis kehilangan hak asuhnya.
Pembaharuan yang signifikan dalam hal diskriminasi anak-anak yang lahir
di luar ikatan perkawinan. Anak dapat dihubungkan nasabnya kepada ibu,
mepunyai akibat yang sama seperti nasab kepada ayahnya, seperti mengambil
nama ibu di belakang nama anak. Di samping itu pula, adanya tes DNA jika ada
penyangkalan dari ayahnya. Sehingga lebih sulit bagi ayahnya untuk menolak
hubungan nasab. Sejaka reformasi mudawwanah, Anak yang tidak sah dapat
mewarisi harta dari keluarga ibunya, lebih jauh lagi, adanya kerangka hukum
sistem kafalah untuk memfasilitasi anak terlantar yang dalam hal ini banyak dari
kelompok anak yang tidak sah.
Ketika membandingkan situasi pada akhir tahun 1996 dengan laporan
terakhir, bahwa maroko telah banyak melakukan kemajuan terhadap hak
perempuan dan anak antara tahun 1996 dan 2011. Beberapa contoh, membentuk
komite yang bertanggung jawab dalam harmonisasi hukum nasional dengan
perjanjian HAM internasioanal dan pembentukan komite yang bertanggung jawab
terhadap masalah anak.
Terlepas dari beberapa kelemahan yang telah reviewer paparkan di atas,
tulisan ini patut diapresiasi sebagai hasil kajian akademik yang telah melalui
berbagai proses uji, revisi, dan suntingan sehingga menghasilkan penelitian
bersifat normatif yang memberikan informasi akurat dan detail. Tulisan ini sangat
penting dibaca, baik dari kalangan umum maupun para peneliti dan mahasiswa
serta pembuat kebijakan (lagislator) sebagai bahan pembanding.

Anda mungkin juga menyukai