Anda di halaman 1dari 79

SEJARAH MAHAR DALAM

PERKAWINAN ISLAM
Para ahli sosiologi mengatakan bahwa pada zaman pra sejarah, manusia hidup secara buas,
hidup dalam kelompok suku, dan bahwa karena suatu sebab yang tidak diketshui, perkawinan
di kalangan orang yang sehubungan darah dipandang tabu. Orang muda dari suatu kelompok
suku harus mencari pasangan hidupnya dari suku lain. Pemuda itu harus mengadakan
pendekatan kepada suku lain untuk dapat memilih jodoh. Pada masa itu kaum pria tidak
menyadari peran yang dimainkannya dalam hubungan dengan kelahiran anak. Ia tidak
mengetahui bhawa hubungan seksualnya dengan wanita dapat menyebabkan lahirnmya
aanak. Ia menganggap anak-anaknya sebagai anak istrinya saja. Walaupun ia dapat
mengetahui keserupaan wajah anaknya dengan wajahnya sendiri, ia tidak dapat memahami
keserupaannya itu. Sebagai akaibatnya, pria menganggap anak termasuk dirinya, sebagai
anak dari kaum wanita saja. Garis keturunan ditentukan dengan merujuk kepada ibu saja.
Sertelah perkawianan pria tinggal di suku si wanita sebagai parasit. Si wanita hanya
memerlukannya untuk menemaninya dan sekedar memerlukan kekauatan fisiknya. Periode
ini oleh para sosiolog dinamakan periode matriarchal.

Tidak lamakemudian, kaum pria mulai mengatahui perannya dalam kelahiran anak, dan
mengidentifikansi dirinya sebagai orang yang sesunguhnya kepada siapa nakany amesti
dinisbahkan. Sejak itu, pria membawa wanita ke dalam kekuasaannya dan mengambil
kdudukan sebagai kepala keluarga. Masa ini dinamakan masa patriarchal.

Pada zaman itu, perkawinan di antara orang-yang sehubungan darah juga tidak
diperbolehkan, dan pria terpaksa harus memilih pasangannya dari suku lain, kemudian
membawanya ke suskunya sendiri. Kerena selalu ada bentrokkan antar suku, maka pemilihan
dilakukan dengan cara melariakan atau menculiknya. Secara bereangsur-angsur, perdamaian
mengantikan permusuhan, dan suku-suku yang berbeda dapat hidup berdampingan. Dalam
keadaan seperti ini, tifak perlu lagi melariakn calon istri pilihannya. Untuk mendapatkan
pasangannya, seorang pria harus mengabdikan dirinya kepada ayah si gadis. Sebagai ganjaran
atas pelayanan yang dilakukan oleh calon menantu, si ayah gadis memberikan putrinya. Lalu
pria pun membawa wanita tersebut ke sukunya. Kemudian situasi perelonomian menjad lebih
baik, dan kaum pria mengambil kesimpulan bahwa sebagai ganti bekerja selama bertahun-
tahun pada calon mertua, adalah lebih baik untuk memberikan suatu hadiah yang berharga
kepadanya pada saat perkawinan, dan derngan cara demikian mereka memperolah gadis
pilihan mereka. Dari sinilah bermulanya maskawin.

Jadi menurut para sosiolog, pada periode pertama, pria hidup sebagai parasit dan sebagai
pelayan wanita. Pada periode itu, wanitalah yang menguasai dan memimpin kaum pria. Pada
periode berikutnya, ketika kekuasaan jatuh ketangan pria, pria melarikan wanita dari
sukunya. Pada periode ketiga, untuk dapat memperoleh gadis pilihannya, pria pergi bekerja
pada ayah si gadis selama bebrapa tahun. Pada periode keempat, pria membayarkan sejumlah
uang sebagai hadiah kepada ayah si wanita, dan di sinilah mulainya maskawin.

Mereka mengatakan bahwa sejak manusia meninggalkan sistem matriarchal dan menganut
sistem patriarchal, kaum pria memperbudak wanita,atau sekurang-kurangnya menjadikannya
pelayan atau oekerja. Dan memandanghnya sebagai alat ekonomis yang sekaligus bisa
memuaskan hawa nafsunya. Si pria tidak memberikannya kemerdekaan sosial atau ekonomi.
Hasil kerja wanita hanya untuk orang lain, yakni ayahnya atau suaminya. Wanita tidak bebas
memilih suaminya sendiri. Demikian pula maskawin yang diberikan pria, atau uang yang
dibelanjakan untuk nafkah istrinya adalah sebgai ganti keuntungan ekonomis yang
diperolehnya selama perkawinan. (hlm. 121-123)

Adapula periode kelima dimana para sosiolog dan teoritisi tidak berbicara apa-apa. Inilah
peroide di mana pria, pada waktu perkawinan, memberi suatu hadiah pada wanita itu sendiri.
Ayah maupun ibu gadis tidak berhak ikut memiliki pemberian itu. Baru di masa wanita
menerima pemberian pria itulah wanita memperoleh kemerdekaannya dalam urusan sosial
dan ekonominya. Pertama, wanita itu memilih suaminya atas kehendak bebasnya sendiri.
Kedua, selama si wanita masih berada di rumah ayahnya, demikian pula selama ia hidup
bersama suaminya, tak seorangpun berhak mengeksploitasinya untuk ke[entingannya sendiri.
Dan dalam masalah hak-haknya, ia sama sekali tidak memerlukan perwalian dari kaum pria.
(h. 123)

Mahar atau mas kawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau
keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada
saat pernikahan. Istilah yang sama pula digunakan sebaliknya bila pemberi mahar adalah
pihak keluarga atau mempelai perempuan. Secara antropologi, mahar seringkali dijelaskan
sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi atas kerugian yang diderita
pihak keluarga perempuan karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga
seperti kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya tingkat fertilitas dalam kelompok.

Di Indonesia, istilah mahar tidak hanya digunakan secara terbatas pada pernikahan. Penganut
paham mistisisme kadang-kadang menggunakan istilah yang sama dalam proses pemindahan
hak kepemilikan atas benda-benda yang dipercaya memiliki kekuatan tertentu seperti keris,
batu akik, dan benda-benda lainnya. Mahar juga kadang-kadang diartikan sebagai pengganti
kata biaya atas kompensasi terhadap proses pengajaran ilmu ataupun kesaktian dari seorang
guru kepada orang lain.

Meskipun tidak ada sumber resmi yang menyebutkan secara jelas, budaya mahar dipercaya
sudah ada sejak zaman purbakala seiring dengan berkembangnya peradaban manusia.
Penemuan tertua yang mengatur tentang tata cara pemberian mahar tercatat pada piagam
Hammurabi yang menyebutkan:

Seorang laki-laki yang telah memberikan mahar kepada seorang mempelai wanita,
namun mempersunting wanita lain tidak berhak mendapat pengembalian atas mahar
yang telah diberikannya. Apabila ayah dari mempelai wanita menolak menikahkan
maka laki-laki tersebut berhak atas pengembalian mahar yang telah diberikannya.
Jika seorang istri meninggal tanpa sempat melahirkan seorang anak laki-laki, ayah
dari istri tersebut harus memberikan mahar sebagai denda kepada pihak laki-laki,
setelah dikurangi nilai dari mahar yang diberikan pihak laki-laki.

Mahar dalam agama islam dinilai dengan menggunakan nilai uang sebagai acuan, hal ini disebabkan
karena mahar merupakan harta dan bukan semata-mata sebagai sebuah simbol. Wanita dapat meminta
mahar dalam bentuk harta dengan nilai nominal tertentu seperti uang tunai, emas, tanah, rumah,
kendaraan, atau benda berharga lainnya. Mahar juga dapat berupa mushaf Al-Qur'an serta seperangkat
alat salat. Agama Islam mengizinkan mahar diberikan oleh pihak laki-laki dalam bentuk apa saja
(cincin dari besi, sebutir kurma, atau pun jasa), namun demikian mempelai wanita sebagai pihak
penerima memiliki hak penuh untuk menerima ataupun menolak mahar tersebut.

Merupakan hal yang wajar jika seseorang dalam hidupnya membutuhkan hubungan biologis.
Sehingga di dalam ajaran islam dikenal dengan istilah nikah yang kurang lebihnya bermakna
sebagai akad yang membolehkan hubungan biologis antara seorang laki-laki dan perempuan.
Diantara rukun nikah yang diyakini adalah mahar (maskawin), setelah calon suami-istri, wali,
saksi, serta ijab dan qabul. Mahar bukanlah hal yang baru dalam Islam. Pada zaman pra-islam
juga telah dikenal istilah mahar. Pemberian mahar pada saat itu ditujukan pada wali si wanita
sebagai imbalan bagi para wali yang telah membesarkannya dan juga sebagai resiko
kehilangan perannya dalam keluarga. Sehingga mahar sering ditafsiri sebagai harga beli
seorang perempuan dari walinya, sehingga wanita merupakan milik suami sepenuhnya. Ia
berhak memperlakukan istrinya dalam bentuk apapun.

Seiring dengan datangnya islam, hal seperti yang diatas sudah tidak berlaku lagi. Islam
menghapus semua praktik dan kebiaasan yang merugikan wanita dalam hal mahar. Sehingga
wanita tidak lagi diperlakukan seperti barang yang telah dibeli dari sang penjual (majikan).
Maka dari itu, kami ingin mencoba mengkaji ulang makna dari mahar itu sendiri.

Hal lain yang juga menjadi problem dalam hal mahar adalah kadar minimal yang harus
diberikan oleh calon suami kepada calon istri. Sebagian ulama membatasi kadar minimalnya
juga berbeda beda- dan sebagian lainnya tidak membatasinya sama sekali. Sehingga bagi
sebagian ulama, mahar tidaklah harus berbentuk materi. Karena ada riwayat yang
menyatakan bahwa Rasulullah pernah mengizinkan seorang laki-laki menikahi seorang
wanita dengan hafalan quran sebagai mahar.

Dalam makalah yang singkat ini, kami akan mencoba memberi gambaran pandangan para
ulama sehingga kita dapat memahami alasan-alasan dari para ulama terdahulu.

PEMBAHASAN

1. Sejarah Mahar Pada Masa Arab Pra-Islam

Al Quran menghapus adat kebiasaan zaman pra-Islam mengenai mahar dan


mengembalikannya kepada kedudukannya yang asasi dan alami. Di masa pra islam para ayah
dan ibu para gadis menganggap maskawin adalah hak mereka sebagai imbalan atas
pendidikan dan perawatan mereka. Dalam kitab-kitab tafsir disebutkan bahwa apabila
seorang bayi wanita lahir maka biasanya orang yang mengucapkan selamat kepadanya
dengan mengatakan hannian laka al nafiah (selamat, semoga ia menjadi sumber kekayaan
bagimu). Hal ini menunjukkan bahwa kelak si gadis akan dikawinkan dan mahar akan
menjadi milik si ayah sepenuhnya.[1]

Pada masa ini juga terdapat adat kebiasaan lain yang dalam praktiknya digunakan untuk
merampas hak wanita atas mas kawinnya. Salah satu dari adat kebiasaan itu adalah pewarisan
istri. Apabila seorang pria meninggal, maka para ahli warisnya, seperti anak laki-lakinya atau
saudara laki-lakinya mewarisi istrinya persis sebagaimana mereka mewarisi harta dari lelaki
yang meninggal itu. Setelah kematian si pria, putranya atau saudara laki-lakinya menganggap
bahwa hak atas perkawinan tersebut masih terus berlaku. Si pewaris memandang dirinya
berhak untuk mengawinkan si wanita warisan tersebut dengan siapa saja yang
dikehendakinya dan mengambil maskawin dari perkawinan itu. Bisa pula ia sendiri
mengambilnya sebagai istri tanpa maskawin lagi, atas dasar kekuatan maskawin yang telah
diberikan oleh almarhum dulunya[2]. Namun adat seperti ini telah dihapus dengan turunnya
firman Allah QS. Al Nisa: 19 yang artinya:

Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali. (QS. Al Nisa (4): 19)

B. Pengertian Mahar dan Dasar Hukumnya

Salah satu dari usaha Islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu
memberinya hak untuk memegang urusannya. Di zaman Islam pra-Islam hak perempuan
dihilangkan dan disia-siakan. Sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan
hartanya, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya, dan
menggunakannya. Kemudian Islam datang menghilangkan belenggu ini. Kepadanya diberi
hak mahar. Dan kepada suami diwajibkan memberikan mahar kepadanya, bukan kepada
ayahnya. Bahkan kepada orang yang paling dekat kepadanya sekalipun tidak dibenarkan
menjamah sedikitpun harta bendanya kecuali dengan ridha dan kemauannya.[3] Sebagaimana
fiman Allah dalam QS al Nisa: 4 yang artinya:

Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyarahkan kepada kamu
sebagaian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah
pemberian itu dengan senang hati.

Maksudnya berikanlah mahar kepada para istri sebagai pemberian wajib, bukan pembelian
atau ganti rugi. Jika istri telah menerima maharnya tanpa paksaan, dan tipu muslihat, lalu ia
memberikan sebagian maharnya kepadamu, maka terimahlah dengan baik.

Ada beberapa definisi mahar yang dikemukakan oleh ulama mazhab diantanya mazhab
Hanafi yang mendefinisikan mahar sebagai jumlah harta yang menjadi hak istri karena akad
perkawinan atau terjadinya senggama dengan sesungguhnya. Ulama lainnya
mendefinisikannya sebagai harta yang wajib dibayarkan suami kepada istrinya ketika
berlangsung akad nikah sebagai imbalan dari kesediaan penyerahan kepada suami
(senggama) Ulama mazhab Maliki mendefinisikannya sebagai sesuatu yang menjadikan istri
halal untuk digauli. Ulama mazdhab Syafii mendefinisikannya sebagai sesuatu yang wajib
dibayarkan disebabkan akad nikah atau senggama. Sedangkan ulama mazhab Hanbali
mendefinisikannya sebagai imbalan dari suatu perkawinan, baik disebutkan secara jelas
dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak, maupun
ditentukan oleh hakim. Termasuk juga kewajiban untuk melakukan senggama.[4] Sedangkan
Quraish Shihab mengatakan bahwa mahar adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami
untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya.[5]

1. Shaduq sebagai Mahar dalam al-Quran

Ketidaktepatan dalam memaknai mahar menimbulkan berbagai implikasi terhadap status


perempuan dalam kehidupan perkawinan dan rumah tangga. Dari sekian pembahasan para
ahli hukum islam, permasalahan mahar hanya berada disekitar dan berkaitan dengan
permasalahan biologis, sehingga seolah-olah mahar hanya sebagai alat perantara dan
kompensasi bagi kehalalan hubungan suami istri. Pada saat yang sama, mahar juga
digunakan sebagai alasan yang kuat untuk menyatakan bahwa suami mempunyai hak yang
terhadap istinya.

Berbagai definisi mahar yang disampaikan oleh ulama mazhab yang telah disebutkan
sebelumnya menunjukkan kebenaran kesimpulan diatas. Beberapa indikator di atas
menunjukkan bahwasanya mahar selama ini telah diartikan secara sempit. Ketika kewajiban
membayar mahar hanya diartikan sebagai perantara bagi halalnya hubungan biologis suami-
istri, meskipun pembayarannya kadang tidak dilakukan secara tunai, maka dapat dimaklumi
mengapa akad pernikahan dikatakan sebagai akad kepemilikan (aqd al-tamlik). Artinya,
karena suami telah membayar sejumlah mahar kepada istrinya waktu pernikahan., maka
ketika itu suami berkedudukan sebagai pemilik dari istrinya.[6] Ada juga yang berpendapat
akad pernikahan adalah sebagai akad pengganti ( aqd muawadah). Artinya, karena suami
telah membayar sejumlah mahar terhadap istrinya sebagai kompensasi, maka pembayaran
tersebut adalah sebagai jembatan untuk mendapatkan hubungan biologis.[7] Namun
permasalahannya adalah, apakah mahar hanya sebatas jembatan dan kompensasi bagi
halalnya hubungan suami istri sehingga memunculkan kesan bahwa mahar masih identik
sebagai harga beli dari istri itu sendiri?

Al-Quran tidak pernah menyebutkan istilah mahar secara eksplisit sebagai kewajiban yang
harus dibayarkan oleh pria yang hendak menikah. Hanya saja, ada beberepa isyarat ayat al-
Quran yang menunjukkan kearah pengertian mahar tersebut dengan menggunakan kata-
kata shaduqat dan nihlah. Inilah salah satu bentuk pembaharuan yang ingin disampaikan al-
Quran terhadap tradisi Arab pra-Islam. Sekalipun demikian, kebanyakan fuqaha masih saja
tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh tradisi jahiliyah tersebut. Penggunaan kata-kata
shaduqat dan nihlah sebagai isyarat terhadap pengertian mahar tersebut terdapat pada surat
al-Nisa (4): 4 :

Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian
itu dengan senang hati.

Pada ayat di atas, Allah mengguanakan kata-kata shaduqat dan tidak menggunakan kata-
kata mahar, dan ini merupakan salah satu ungkapan yang digunakan oleh Allah dalam al-
Quran untuk menunjukkan istilah mahar. Kata shaduqat merupakan jamak dari kata shidaq
dan merupakan satu rumpun dengan kata shiddiq, shadaq dan shadaqah. Didalamnya
terkandung makna jujur, putih hati, bersih. Dengan demikian arti shaduqat dalam konteks
ayat tersebut adalah harta yang diberikan dengan hati yang bersih dan suci kepada calon istri
yang dinikahi sebagai amal shaleh. Hal tersebut adalah sebagai wujud kasih sayang dan
ketulusan suami pada istrinya dalam pernikahan yang memang pantas dan layak diantara
kedua suami istri, sehingga jika istri rela untuk tidak dibayarkan, maka hal itu dibolehkan
dengan syarat tidak ada unsur keterpaksaan. Inilah makna ketulusan dari kata-kata mahar.
Kalau dibawakan dalam konteks Indonesia, ternyata makna mahar dalam pengertian ini
mempunyai korelasi dengan ditemukannya istilah uang jujur sebagai pengganti istilah mahar
di beberapa wilayah Indonesia.

Di dalam ayat di atas, Allah juga menggunakan kata-kata nihlah. Terdapat perbedaan
sejumlah ulama tentang makna kata ini yang dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok.
Kelompok pertama mengartikannya dengan sesuatu yang wajib (fardhu) diberikan kepada
calon istri, diantara ulamanya adalah Imam Qatadah, Ibnu Juraij, dan Abu Ubaidah. Mereka
menafsirkan nihlah dengan kewajiban, karena nihlah secara bahasa artinya adalah agama,
ajaran, syariat dan madzhab. Jadi, redaksi arti dari ayat di atas adalah dan berikanlah mahar
kepada istri-istrimu, karena ia merupakan bagian dari ajaran agama (kewajiban).
Konsekuensinya pemaknaan tersebut adalah mahar wajib diberikan. Pengertian kata-kata
nihlah dengan kewajiban bertujuan supaya cepat dipahami bahwa mahar memang wajib
dibayarkan. Kelompok kedua, al-Kalabi mengartikannya dengan pemberian atau hibah. Abu
Ubaidah mengartikannya dengan kebaikan hati. Hal ini dikarenakan bahwasannya nihlah
secara bahasa adalah pemberian tanpa minta pengganti, sebagaimana halnya seorang bapak
memberikan sejumlah harta terhadap anaknya yang diberikan atas dasar kasih sayang, bukan
untuk mendapatkan ganti rugi dari anaknya. Sehubungan dengan hal ini, Allah
memerintahkan para suami untuk memberikan mahar tehadap istrinya tanpa menuntut ganti
rugi atau imbalan sebagai wujud rasa cinta dan penghormatan, apalagi diikuti dengan
perdebatan, karena sesuatu yang dituntut atas dasar permusuhan, bukanlah disebut nihlah.[8]

Kalau diteliti asal usul kata nihlah ini, akan semakin menguatkan pemaknaan kata nihlah
kebaikan dan kebersihan hati. Ada yang berpendapat bahwa nihlah berasal dari rumpun yang
sama dengan kata-kata al nahl yang artinya lebah. Pemaknaan kata-kata ini masih ada
hubungannya dengan kata shaduqat di atas. Yakni, yamg laki-laki mencari harta yang halal
seperti lebah mencari kembang yang kelak menjadi madu. Hasil jerih payah yang suci dan
bersih tersebut itulah yang diserahkan kepada calon istrinya sebagai bukti ketulusan dan
kejujurannya, dan nyatanya yang diberikan memang sari yang bersih.[9]

1. Kadar Minimal dan Maksimal Mahar

Mengenai kadar minimal mahar, terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama mazhab.
Menurut Imam al Syafii, kadar minimal mahar tidak dapat dibatasi. Ia berpendapat bahwa
apa saja yang memiliki harga atau nilai boleh dijadikan mahar. Sementara Iman Hanafi
mengatakan bahwa jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Sedangkan Imam Malik
berpendapat bahwa jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Akan tetapi pendapat yang
diutarakan oleh Imam Hanafi dan Imam Maliki tidaklah didasarkan pada keterangan agama
yang kuat atau alasan yang sah.[10]

Quraih Shihab dalam bukunya Wawasan al Quran menyebutkan bahwa karena mahar
bersifat lambang maka sedikitpun jadilah. Bahkan Rasulullah bersabda yang artinya sebaik-
baiknya maskawin adalah seringan-ringannya (HR. Abu Daud). Akan tetapi, ia mengatakan
bahwa agama menganjurkan agar maskawin merupakan sesuatu yang bersifat materi, karena
itu bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan sampai
ia memiliki kemampuan. Namun apabila oleh satu dan lain hal ia harus juga kawin, maka
cincin besipun jadilah, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah SAW.

Para ulama lebih cenderung kepada pendapat Imam al-Syafii. Karena al Syafii
menyebutkan bahwa apa saja yang berharga dan bernilai boleh dijadikan mahar. Adapun
yang dimaksud dengan berharga ialah sesuatu yang bisa diperjual belikan dikalangan
manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan nilai adalah sesuatu yang abstrak namun dapat
bermanfaat dalam kehidupan manusia.

Imam Syafii memberikan kriteria umum tentang sesuatu yang dapat dijadikan mahar.
Kriteria ini tidak hanya dibatasinya kepada bentuk barang, akan tetapi keterampilan dan
profesionalisme juga dapat dijadikan sebagai mahar, seperti menjahitkan pakaian,
membangunkan rumah, membantu selama sebulan, mencarikan pekerjaan, mengajarkan al
Quran kepada manita yang akan menjadi istri.[11]

Sedangkan untuk kadar maksimal mahar, para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan
jumlahnya. Hal ini sebagaimana riwayat Saad bin Mansur dan Abu Yala yang mengatakan
bahwa Umar pernah melarang pembayaran mahar lebih dari empat ratus dirham. Akan tetapi
ia ditegur oleh seorang perempuan quraisy dengan menyebutkan QS. Al Nisa : 20 yang
artinya:

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu
mengambilnya kembali.

Lalu menjawab: Ya Allah, saya mohon maaf. Orang-orang lain kiranya lebih pintar dari
pada Umar. Kemudian beliau cabut keputusannya, lalu ia berkata: Sesungguhnya saya tadi
telah melarang kepadamu memberi mahar lebih dari empat ratus dirham. Sekarang siapa yang
mau memberi lebih dari pada harta yang dicintainya terserahlah.

Namun bukan berarti tidak adanya batasan maksimal dalam kadar mahar, seseorang dapat
menentukan jumlah mahar yang diinginkannya dengan hanya memperhatikan status sosialnya
sendiri. Akan tetapi ia juga harus memperhatikan ssosial masyarakat sekitarnya. Sehingga
janganlah sampai mahar itu berlebihan dalam jumlahnya hanya dikarenakan gengsi belaka.
Karena Aisyah dalam riwayatnya mengatakan bahwa Rasulullah bersabda yang artinya:

Sesungguhnya perkawinan yang besar barakahnya adalah yang paling murag maharnya.
Dan sabdanya pula: perempuan yang baik hati adalah yang murah maharnya,
memudahkan dalam urusan perkawinannya dan baik akhlaknya. Sedang perempuan yang
celaka yaitu, yang maharnya mahal, sulit perkawinannya dan buruk akhlaknya.

KESIMPULAN

Dari penguraian di atas jelaslah bahwa islam memiliki konsep sendiri dalam hal mahar.
Mahar yang pada masa pra-islam merupakan hak orang tua atau wali perempuan, maka
setelah islam datang, mahar sepenuhnya menjadi milik istri tanpa ada yang boleh
mengambilnya kecuali atas keridhaannya. Islam juga menghapus sitem pewarisan istri yang
ada pada masa pra-islam sebagaimana yang telah kami paparkan. Sehingga mahar bukanlah
harga jual-beli atau pengganti, akan tetapi mahar haruslah dipandang sebagai pemberian yang
penuh sukarela sebagai amal shaleh yang tidak mengharapkan imbalan. Begitu juga dengan
bentuk mahar yang pada masa pra-Islam berupa materi harta-, kemudian oleh islam
diperbolehkan dalam bentuk imateri jasa atau kemampuan-. Walaupun masih ada
perbedaan pendapat ulama mazhab dalam hal batas minimal kadar mahar itu sendiri.

Dari penjelasan diatas juga dapat disimpulkan bahwa jangalah sampai pelaksaan pernikahan
tertunda, terlebih lagi batal hanya karena sarana dan prasarana yang terlalu mahal. Karena
bila suatu pernikahan diidentikkan dengan ibadah maka sangatlah tidak etis bilamana ibadah
tertunda hanya gaga-gara permasalahan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Afdawaiza. KonsepShaduq Sebagai Mahar Dalam Al Quran, Al-AQuran dan Hadis, 5.
januari 2004,

Dahlan , Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, jilid III. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2001.

Hasanuddin, Mahar dalam, Asy-syirah. 40. 2006..

Mutahhari, Morteza. Wanita dan Hak-Haknya dalan Islam terj. M. Hashem. Bandung:
Pustaka, 1985.

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 7 terj. Moh. Thalib. Bandung: Al Maarif, 1986.

Tim DEPAG. Eniklopedi Islam, jilid II. Jakarta: CV. Anda Utama, 1993.

[1] Morteza Mutahhari, Wanita dan Hak-Haknya dalan Islam terj. M. Hashem(Bandung:
Pustaka, 1985), hlm. 167.

[2] Afdawaiza. KonsepShaduqSebagai Mahar Dalam Al Quran, Al-AQuran dan Hadis, 5,


januari 2004, hlm. 48-49

[3] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7 terj. Moh. Thalib, (Bandung: Al Maarif, 1986), hlm. 44.

[4] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid III (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2001), hlm. 1042.

[5] Quraish Shihab, Wawasan Al Quran: Tafsirmaudhui atas pelbagai persoalan umat
(Bandung: Mizan, 2006), hlm. 204.

[6] Afdawaiza. KonsepShaduq Sebagai Mahar Dalam Al Quran, Al-AQuran dan Hadis,
hlm. 50-51, dikutip dari Al Imam Ali al-Din Abi Bakr ibn Masud al-Kasani, Badai al sanai
fi al-syaraI, jilid II, hlm. 490.

[7] Afdawaiza. KonsepShaduq Sebagai Mahar Dalam Al Quran, Al-AQuran dan Hadis,
hlm. 50-51, dikutip dari Abu Ishaq Ibarahim al Syirazi, al Muhazzab fi Fiqh al- Imam al-
Syafii, jilid II, hlm. 33.

[8] Afdawaiza. KonsepShaduq Sebagai Mahar Dalam Al Quran, Al-AQuran dan Hadis,
hlm. 53, dikutip dari al Fakhr al Razi, al Tafsir al karim., IX: hlm. 180.

[9] Afdawaiza. KonsepShaduq Sebagai Mahar Dalam Al Quran, Al-AQuran dan Hadis,
hlm. 54, dikutip dari Hamka, Tafsir al Azhar, jilid IV, hlm. 294-295.

[10] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7 terj. Moh. Thalib, (Bandung: Al Maarif, 1986), hlm. 47.

[11] Hasanuddin, Mahar dalam, Asy-syirah. 40. 2006., hlm. 80-81.

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum
wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin
yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu
harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh
suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus
sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan.
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada
mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah shadaqah, nihlah, dan
mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Quran, tetapi istilah mahar lebih di kenal di
masyarakat, terutama di Indonesia.
Dikalangan masyarakat itu terdiri dari keluarga yang meliputi Bapak, Ibu, dan anak-
anaknya. Terbentuknya sebuah keluarga di awali dari pernikahan antara laki-laki dan
perempuan. Nah dalam melaksanakan acara pernikahan itu biasanya dirayakan dengan acara
yang berbagai macam jenis tergantung keinginan sang penganten dan adat istiadat setempat.
Acara yang dilaksanakan tersebut dalam ilmu fiqih disebut walimah ursy dalam
kehidupan kemasyarakatan banyak berbagai ragam ragam suku dan kebiasaan yang di anut.
Salah satunya acara pernikahan yang merupakan acara yang sakral pun berbeda-beda bentuk
dan kebiasaannya. Namun yang sering kita temui di kalangan masyarakat kita menemui
walimah dilaksanakan dengan bentuk yang mewah atau besar-besaran. Walaupun kadang-
kadang tidak sesuai dengan keadaan ekonomi keluarga pada saat itu. Maka dari itu, fiqih
dengan bijaksana membahas tentang masalah ini. Agar masyarakat tidak salah dalam
penafsirkan walimah ini, dan agar masyarakat bias lebih memahami dan mendalam tentang
walimah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pokok pikiran yang tertuang dalam latar belakang di atas serta untuk
terarahnya makalah ini. Maka masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah

1. Pengertian dan Hukum Mahar


2. Syarat-syarat Mahar
3. Kadar (jumlah) Mahar
4. Memberi Mahar Dengan Kontan dan Utang
5. Macam-macam Mahar
6. Bentuk Mahar (Maskawin)
7. Gugur/Rusaknya Mahar
8. Pengertian Walimah & Kedudukan hukum Walimah menurut fiqih
9. Hukum Menghadari Undangan Walimah
10. Hikmah Walimah

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Hukum Mahar
Dalam istilah ahli fiqh,disamping perkataan mahar juga dipakai perkataan :
shadaq , nihlah; dan faridhah dalam bahasa indonesia dipakai dengan perkataan
maskawin.
Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi,mahar ialah
pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk
menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.Atau suatu
pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda
maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).
Imam Syafii mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh
seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.
Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat,lalu ia
memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan.Akan tetapi, bila
istri dalam memberi maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya. Allah
Swt. Berfirman:





20. dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain [280], sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu
mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?
Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang
baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun
meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.

Dalam ayat selanjutnya, Allah Swt. Berfirman





21. bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (Q.S An-Nisa: 21).
Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya
sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.
Allah berfirman:


4. berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan..(Q.S An-Nisa: 4).
Rasulullah saw. berkata:

:
( , :
)
Dari Amir bin Rabiah: Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazarah kawin
dengan maskawin sepasang sandal. Rasulullah saw. berkata kepada perempuan tersebut:
Relakan engkau dengan maskawin sepasang sandal? Rasulullah saw. meluruskannya. (HR
Ahmad bin Mazah dan disahihkan oleh Turmudzi)
Sabdanya lagi:

) (
Kawinlah engkau walaupun dengan maskawin cincin dari besi. (HR Bukhari)

B. Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut.

a. Harga berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut
mahar.
b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan
khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
c. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain
tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat untuk
mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah,
tetapi akadnya tetap sah
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.Tidak sah mahar dengan memberikan
barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.
C. Kadar (Jumlah) Mahar
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari
maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam
memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang
lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir
tidak mampu memberinya.Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut
kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang
akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtar Kamal menyabutkan, janganlah
hendaknya ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi
penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan, sesuai dengan sabda nabi:

:
, : . .
: :
, : ,
: , : ,
: ,
: . ,
) (

Dari Sahl bin Saad, sesungguhnya telah datang kepada Rasulullah saw., seorang wanita
maka ai berkata: Ya Rasulullah! Aku serahkan dengan sungguh-sungguh diriku
kepadamu. Dan, wanita tersebutberdiri lama sekali, lalu berdirilah seorang laki-laki, ia
berkata: Ya Rasulullah saw., kawinkanlah ia kepada saya jika engkau tidak berminat
kepadanya. Maka Rasulullah saw. menjawab: Adakah engkau mempunyai sesuatu yang
dapat engkau jadikan mahar untuknya? Laki-laki itu berkata: Aku tidak memiliki sesuatu
selain sarungku ini. Nabi saw. berkata: Jika engkau berikan sarungmu (sebagai mahar)
tentulah kamu duduk tanpa sarung, maka carilah sesuatu (yang lain). Laki-laki itu
menjawab: Saya tidak mendapatkan apa-apa. Nabi berkata: Carilah, walaupun sebuah
cincin besi. Kemudian ia mencarinya lagi, tetapi ia tidak memperoleh sesuatu apa pun.
Maka, Rasulullah saw. bersabda: adakah engkau hafal sesuatu ayat dari Al-Quran?
Laki-laki tersebut berkata: Ada surat ini, dan surat ini sampai kepada surat yang
disebutkannya. Nabi saw. berkata: Engkau telah aku nikahkan dengan dia dengan
maskawin (mahar) Al-Quran yang engkau hafal (HR Bukhari dan Muslim).
Imam Syafii, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabiin
berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi
harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu
Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam
Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar
emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat
emas perak tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh
dirham. Riwayat yang lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan
empat puluh dirham.
Pangkal silang pendapat ini, menurut Ibnu Rusydi, terjadi karena dua hal, yaitu:

1. Ketidak jelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis
pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit
maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah
yang sudah ada ketentuan. Demikian itu, karena ditinjau dari segi bahwa dengan
mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka perkawinan itu
mirip dengan pertukaran. Tetapi, ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan
persetujuan untuk meniadakan mahar, maka hal itu mirip dengan ibadah.
2. Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar
dengan mahfum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang
menghendaki adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan
ibadah itu sudah ada ketentuannya.

Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi Saw., nikahlah walaupun hanya dengan
cincin besi adalah dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika
memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya.
D. Memberi Mahar Dengan Kontan dan Utang
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau
dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan
membayar sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw:

( : : , : ,
)
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang Ali menggauli Fatimah sampai memberikan
sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya: Dimana
baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah. (HR Abu
Dawud, Nasai dan dishahihkan oleh Hakim).
Hadis diatas menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang
lebih baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih dahulu.
Dalam hal penundaan pembayaran mahar (diutang) terdapat dua perbedaan pendapat
dikalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh
diberikan dengan cara diutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar
boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar di muka
manakala akan menggauli istri. Dan diantara fuqaha yang membolehkan penundaan mahar
(diangsur) ada yang membolehkannya hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah
ditetapkannya. Demikian pendapat Imam Malik.
E. Macam-macam Mahar
Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu:
a. Mahar Musamma
Mahar Musamma, yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya
ketika akad nikah.Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.
Ulama fikih sepakat bahwa,dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan
secara penuh apabila:
1) Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah Swt. Berfirman:





20. dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain [280], sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu
mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?

Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang
baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun
meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
2) Salah satu dari suami istri meninggal. Dengan demikian menurut ijma.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampurdengan istri,
dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri,
atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.Akan tetapi, kalau istri
dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengah, berdasarkan firman Allah Swt.:



237. jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya
kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu,(Qs Al-
Baqarah: 237).

b.Mahar Mitsli (Sepadan)


Mahar Mitsli yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun
ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah
diterima oleh keluarga terdekat, agakjauh dari tetangga sekitarnya, dengan memerhatikan
status sosial, kecantikan, dan sebagainya.
Bila terjadi demikian (mahar itu disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika
terjadi pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuanpengantin
wanita (bibi, bude), uwa perempuan(Jawa Tengah/Jawa Timur), ibu uwa (Jawa Banten) ,
anak, perempuan, bibi/bude). Apabila tidak ada, mahar mitsli itu beralih dengan ukuran
wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar Mitsli Juga Terjadi Dalam Keadaan Sebagai Berikut:
1. .Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah,
kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2. .Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan
ternyata nikahnya tidak sah.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwid.
Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan.
Firman Allah Swt,:




236. tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu
bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. (Al-Baqarah:236)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum
digauli dan belum juga ditetapkan jumlah maharnya tertentu kepada istrinya itu.
F. Bentuk Mahar (Maskawin)
Pada prinsipnya maskawin harus bermanfaat dan bukanlah sesuatu yang haram dipakai,
dimiliki, atau dimakan. Ibn Rusyd mengatakan bahwa mahar harus berupa sesuatu yang dapat
ditukar dan ini terkesan harus berbentuk benda sebab selain berbentuk benda tidak dapat
ditukar tampaknya tidak dibolehkan. Namun, menurut Rahmat Hakim, sesuatu yang
bermanfaat tidak dinilai dengan ukuran umum, tetapi bersifat subjektif sehingga tidak selalu
dikaitkan dengan benda. Dalam hal ini, calon istri mempunyai hak untuk menilai dan
memilihnya, ini sangat kondisional. Artinya, dia mengetahui siapa dia dan siapa calon suami.
G. Gugur/Rusaknya Mahar
Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat barang
tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang rusak karena zatnya
sendiri, yaitu seperti khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya
disamakan dengan jual beliyang mengandung lima persoalan pokok, yaitu:

a. Barangnya tidak boleh dimiliki;


b. Mahar digabungkan dengan jual beli;
c. Penggabungan mahar dengan pemberian;
d. Cacat pada mahar; dan
e. Persyaratan dalam mahar.
Dalam hal barangnya tidak boleh dimiliki seperti: khamar, babi, dan buah yang belum
masak atau unta yang lepas, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa akad nikahnya tetap sah
apabila telah memenuhi mahar mitsli. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat tentang dua
riwayat yang berkenaan dengan persoalan ini. Pertama, akad nikahnya rusak dan harus
dibatalkan (fasakh), baik sebelum maupun sesudah dukhul. Pendapat ini juga dikemukakan
oleh Abu Ubaid. Kedua, apabila telah dukhul, maka akad nikah menjadi tetap dan istri
memperoleh mahar mitsli.
Mengenai penggabungan mahar dengan jual beli, ulama fikih berbeda pendapat seperti:
jika pengantin perempuan memberikan hamba sahaya kepada pengantin laki-laki, kemudian
pengantin laki-laki memberikan seribu dirham untuk membayar hamba dan sebagai mahar,
tanpa menyebutkan mana yang sebagai harga dan mana yang sebagai mahar, maka Imam
Malik dan Ibnul Qasim melarangnya, seperti juga Abu Saur.Akan tetapi Asyab dan Imam
Abu Hanifah membolehkan, sedangkan Abu Ilah mengadakan pemisahan dengan
mengatakan bahwa apabila dari jual beli tersebut masih terdapat kelebihan sebesar
seperempat dinar ke atas, maka cara seperti itu dibolehkan.
Tentang penggabungan mahar dengan pemberian, ulama juga berselisih pendapat,
misalnya dalam hal seseorang yang menikahi wanita dengan mensyaratkan bahwa pada
mahar yang diberikannya terdapat pemberian untuk ayahnya (perempuan itu). Perselisihan itu
terbagi dalam tiga pendapat.
Imam Abu Hanifah dan pengikutnya mengatakan bahwa syarat tersebut dapat
dibenarkan dan maharnya pun sah. Imam Syafii mengatakan bahwa mahar itu rusak, dan
istrinya memperoleh mahar mitsli. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa apabila syarat itu
dikemukakan ketika akad nikah, maka pemberian itu menjadi milik pihak perempuan,
sedangkan apabila syarat itu dikemukakan setelah akad nikah, maka pemberiannya menjadi
milik ayah.
Mengenai cacat yang terdapat pada mahar, ulama fiqih juga berbeda pendapat. Jumhur
ulama mengatakan bahwa akad nikah tetap terjadi. Kemudian, mereka berselisih pendapat
dalam hal apakah harus diganti dengan harganya, atau dengan barang yang sebanding, atau
juga mahar mitsli.
Imam Syafii terkadang menetapkan harganya dan terkadang menetapkan mahar mitsli.
Imam Malik dalam satu pendapat menetapkan bahwa harus meminta harganya, dan pendapat
lain minta barang yang sebanding. Sedangkan Abu Hasan Al-Lakhimi berkata,Jika
dikatakan, diminta harga terendahnya atau mahar mitsli, tentu lebih cepat. Adapu Suhnun
mengatakan bahwa nikahnya batal.
Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepasdari kewajiban untuk membayar mahar
seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri
keluar dari Islam, atau mem-fasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan
tersebutsetelah dewasa menolak dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh walinya, Bagi
istri seperti ini, hak pesangon gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima
sesuatu darinya.
Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri, yang belum digauli, melepaskan maharnya
atau menghibahkan padanya. Dalam hal seperti ini, gugurnya mahar karena perempuan
sendiriyang menggugurkannya. Sedangkan mahar sepenuhnya berada dalam kekuasaan
perempuan.
H. Pengertian walimah
Walimah () artinya al-jamu. kumpul, sebab suami dan istri berkumpul.

Walimah () berasal dari bahasa arab artinya makanan pengantin. Maksudnya


adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Bias juga di artikan
sebagai makanan untuk tamu undangan atau lainnya.
Walimah diadakn ketika acara akad nikah berlangsung, atau sesudahnya, atau ketika
hari perkawinan atau sesudah itu. Bias juga diadakan tergantung adat dan kebiasaan yang
berlaku di masyarakat.
I. Kedudukan hukum
1. Dasar hukum walimah
Jumhur ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya sunnah muakad
. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah SAW.

(
)
Artinya : Dan Annas, ia berkata Rasulullah SAW mengadakan walimah dengan seekor
kambing untuk istri-istrinya dan untuk zainab.

)(
Artinya: sesungguhnya untuk pesta perkawinan harus ada walimahnya.
)(
Artinya : Rasulullah SAW. Mengadakan walimah untuk sebagian istrinya dengan dua mud
gandum. ( HR. Bukhari).
Beberapa hadist tersebut diatas menunjukkan bahwa walimah itu boleh diadakan
dengan makanan apa saja sesuai dengan kemampuan. Hal itu di tunjukkan oleh Nabi SAW.
Bahwa perbedaan-perbedaan dalam mengadakan walimah oleh beliau bukan membedakan /
melebihkan salah satu dari yang lain. Tetapi semata-metapa disesuaikan dengan keadaan
ketika sulit / lapang.
2.Hukum menghadiri Undangan walimah
Untuk menunjukkan perhatian memeriahkan, dan mengembirakan orang yang
mengundang, maka orang yang diundang walimah wajib mendatanginya.
Adapun wajibnya mendatangi undangan walimah, apabila :
a. Tidak ada uzur syari
b. Dalam walimah itu tidak ada atau tidak di gunakan untuk perbuatan munkar
c. Yang diundang baik dari kalangan kaya maupun miskin.
Dasar hukum wajib nya mendatngi undangan walimah adalah hadist Nabi saw sebagai
berikut :

)(
Artinya :Jika salah seorang di antara mu di undang ke walimahan,hendak lah ia datangi.(H.R.
Bukhari )


)(
Artinya : Dari abu hurairah r.a bahwa Nabi saw bersabda Andaikata aku di undang untuk
makan kambing,niscaya saya datangi,dan andai kata aku di hadiahi kaki depan
kambing,niscaya aku terima ( H.R. bUkhari ).
Jika undangan itu bersifat umum, tidak tertuju kepada orang-orang tertentu,maka tidak
wajib mendatangi nya tidak juga sunnah.
Misalnya orang yang mengundang berkata Wahai orang banyak !! datangi lah walimah
saya,tampa menyebut orang-orang tertentu,atau dikatakan Undanglah setiap orang yang
kamu temui .
Ada juga yang berpendapat bahwa hukum menghadiri undangan adalah wajib kifayah,dan
ada juga yang berpendapat hukum nya sunah. Akan tetapi pendapat pertama lah yang lebih
jelas.
Secara rinci undangan itu wajib di datangi , apabila memenuhi syarat syarat sebagai
berikut :
a. Pengundang nya mukallaf,merdeka dan berakal sehat.
b. Undangan nya tidak di khususkan kepada orang-orang kaya saja,namun harus kepada orang
miskin juga.
c. Undangan nya tidak hanya di tujukan kepada orang yang di hormati dan di segani saja.
d. Belum di dahului oleh undangan lain.
e. Tidak ada kemungkaran dan hal-hallain yang menghalangi kehadiran nya
f. Yang di undang tidak ada unsur syari.
Memperhatikan syarat-syarat tersebut,jelas bahwa apabila walimah dalam pesta
perkawinan hanya mengundang orang-orang kaya saja,maka hukum nya adalah makruh.
Nabi saw bersabda :

)(
Artinya :Sejelek jelek nya makanan adalah makanan yang mengundang orang-orang
kaya,tetapi meninggalkan orang-orang miskin.

J. Hikmah Walimah
Di adakannya walimah dalam pesta perkawinan mempunyai beberapa hikmah yaitu
antara lain sebagai berikut :
1. Merupakan rasa syukur kepada Allah swt.
2. Tanda penyerahan anak gadis kepada pihak keluarga suami.
3. Sebagai tanda resmi nya ada nya akad nikah.
4. Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami istri.
5. Sebagai realisasi arti sosiologi dari akad nikah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan
hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon
suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya,
baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari
maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam
memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang
lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir
tidak mampu memberinya.
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau
dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan
membayar sebagian.
Walimah berasal dari bahasa arab yang artinya makanan pengantin. Maksud nya
adalah makanan yang di sediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Menurut
kesepakatan para ulama bahwa mengadakan walimah itu hukum nya sunah muakkad dan
hukum mendatangi undangan walimah adalah wajib apabila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
a. Tidak ada uzur syari.
b. Dalam walimah itu tidak ada unsur perbuatan munkar.
c. Yang di undang baik dari keluarga orang kaya mau pun orang miskin.
Adapun dalam pelaksanaan walimah tersebut terdapat beberapa hikmah yang
terkandung yakni sebagai berikut :
1. Merupakan rasa syukur kepada Allah swt.
2. Tanda penyerahan anak gadis kepada pihak keluarga laki-laki.
3. Sebagai tanda resmi nya hubungan suami istri .
4. Sebagai tanda memulai hidup baru.
5. Sebagai realisasi arti sosiologi dari akad nikah.
B. Saran
Adapun yang menjadi saran dalam penulisan makalah ini yaitu penyusun menyadari
bahwa penyusun hanyalah manusia biasa yang tidak pernah luput dari sifat khilaf, salah dan
dosa. Oleh karenanya penyusun mengharapkan saran dan kritik dari pembaca apabila terdapat
kekeliruan dalam memberikan penjelasan materi mengenai Fiqh Munakahat ini.

DAFTAR PUSTAKA
Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), hlm. 81.
Lihat Kamus Istilah Fiqh, hlm. 184. Lihat Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Fiqh (Jakarta: Depag
RI, 1985) Jilid 3, hlm. 83. Lihat pula H. Abdurrahman Ghazali, Fiqih Munakahat (Jakarta,
Prenada Media, 2003), hlm. 84
Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ala Madzahib al-Arbaah, juz 4, hlm. 94
Hasbi Ash-Shiddieqi, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI,
1989), hlm. 119
Ibid.
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal. 38
Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit., hlm. 103
Kamal Muhktar, Op.Cit., hlm. 82
Ibid, hlm. 83
H. Abd. Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 88-89
Ibid.
Bandingkan dengan Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid,
(Beirut: Dar al-Fikr,t.t.), Juz 2, hlm. 14-15
M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 185.
Hasbi Ash-Shiddieqi, Al-Quran dan Terjemahnya, Op.Cit,. hlm. 119
Abd. Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 93
M. Abdul Mujib dkk, Op.Cit., hlm. 185; H. Abd.Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 93
Abidin. Slamet. 1999. fiqih munakahat. Semarang : Cv pustaka setia.
Iskandar. Slamet. Fiqih munakahat. Semakarang. IAIN walisongo
Slamet abidin, fiqih munakahat. (Bandung : Cv pustaka setia. 1999) hal : 149
Ibid. hal. 153.

Beranda

Beranda

Search
MUTIARA HIKMAH
Home
Tentang Rasulullah
Mutiara Hati
MAN TAMBAKBERAS
Pondok Pesantren
Ceramah Online
ESQ WAY 165
Perkaya Wawasan
Listen to Al-Qur'an

Subscribe

Follow Us!

Be Our Fan

KHAMIM MUHAMMAD MA'RIFATULLOH

DOKUMEN BLOG

2014 (47)

2013 (26)
o November 2013 (7)
o Juni 2013 (6)
o Mei 2013 (1)
o April 2013 (4)
KEUTAMAAN SHOLAT TARAWIH
MAKALAH KHITBAH
MAKALAH MAHAR PERNIKAHAN
MAKALAH PERNIKAHAN
o Maret 2013 (5)
o Januari 2013 (3)

2012 (23)

2011 (1)

Beranda

Diberdayakan oleh Blogger.

VISITOR

MAKALAH MAHAR PERNIKAHAN


20.27 Miracle And Islamic Web Center No comments

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pernikahan adalah suatu peristiwa yang fitrah, tarbiyah, dan sarana paling agung dalam
memelihara kontinuitas keturunan dan memperkuat hubungan antarsesama manusia yang menjadi
sebab terjaminnya ketenangan, cinta dan kasih saying. Oleh karena itu, syariat Islam sangat
memperhatikan segala permasalahan di dalamnya, yang disebut al-ahwal asy-syakhshiyyah (Hukum
yang berkaitan dengan pernikahan, talak, mahar, keturunan dan lain-lain). Pernikahan merupakan
suasana salihah yang menjurus kepada pembangunan serta ikatan kekeluargaan, memelihara
kehormatan dan menjaganya dari segala keharaman, nikah juga merupakan ketenangan dan
tuma'ninah, karena dengannya bisa didapat kelembutan, kasih sayang serta kecintaan diantara suami
dan isteri.

Nikah bisa dimanfaatkan untuk membangun keluarga salihah yang menjadi panutan bagi
masyarakat, suami akan berjuang dalam bekerja, memberi nafkah dan menjaga keluarga, sementara
isteri mendidik anak, mengurus rumah dan mengatur penghasilan, dengan demikian masyarakat akan
menjadi benar keadaannya. Allah berfirman dalam surat al-rum ayat 21.

Artinya: dan diantara tanda-tanta kekuasaan allah ialah menciptakan untukmu istri-isri dari
sejenismu sendiri, supaya kamu cendrung dan merasa tentram padanya, dan dijadikan-Nya di
antramu raa kasih da sayang. akamu yang berpikir.(QS Al-Arum 30: 21)

Setiap akad pernikahan dari berbagai akad selama dilaksanakan dengan sempurna dan sah
dapat menimbulkan beberapa pengaruh. Apalagi akad pernikahan yang merupakan akad yang agung
dan penting mempunyai pengaruh yang lebih agung. Terjadinya akad nikah semata akan
menimbulkan beberapa pengaruh, diantaranya hak istri kepada suami. Dan hak-hak istri yang wajib
dilaksanakan suami adalah salah satunya adalah mahar. Mahar termasuk keutamaan agama Islam
dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam
pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak
karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib
diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar
harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad pernikahan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas dapat dirumuskan rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Pengertian dan definisi mahar ?

2. Bagaimanakah hukum mahar prespektif islam dan hukum positif ?

3. Bagaimanakah dasar hukum mahar dalam Al-Quran dan hadits ?

4. Berapakah ukuran mahar ?

5. Apa sajakah benda yang bisa dijadikan mahar ?

6. Apasajakah macam-macam mahar ?

7. Bagaimana dengan mahar tunai dan kredit ?

8. Bagaimanakah kekuatan dan pengaruh mahar ?

9. Bagaimana hal-hal yang mempengaruhi mahar ?

10. Apa yang menyebabkan kerusakan mahar ?

11. Apa Hikmah disyariatkan mahar ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagaimana berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian dan definisi mahar.
2. Untuk mengetahui hukum Mahar prespektif Islam dan hukum positif.
3. Untuk mengetahui hukum mahar dalam Al-Quran dan hadits.
4. Untuk mengetahui ukuran mahar.
5. Untuk mengetahui benda yang Bisa Dijadikan Mahar.
6. Untuk mengetahui macam-macam mahar.
7. Untuk mengetahui mahar tunai dan kredit.
8. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan dan pengaruh mahar.
9. Untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi mahar.
10. Untuk mengetahui penyebabkan kerusakan mahar.
11. Untuk mengetahui hikmah disyariatkan mahar.

1.4 Manfaat Penulisan


1. Memberi pengetahuan baru tentang mahar pernikahan.
2. Memberi cakrawala baru pada pembaca perihal mahar pernikahan.
3. Memberi pengetahuan baru kepada pembaca perihal mahar pernikahan.
4. Bagi peneliti, makalah ini sebagai penambah ilmu pengetahuan dan wawasan.
5. Bagi pihak lain, makahlah ini sebagai bahan pertimbangan dan acuan untuk penelitian lebih lanjut.

1.5 Metode Penulisan

Dari pembuatan dan penulisan makalah Mahar Pernikahan ini, penulis (kelompok)
menggunakan metode studi pustaka yaitu salah satu metode yang digunakan dalam penulisan Karya
Tulis (makalah) dengan cara mengumpulkan literatur baik berasal dari berbagai buku dan mencari
inti-inti pembahasan mahar. Sehingga menjadi sebuah bahasan yang menarik pada makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Mahar


Pengertian mahar secara etimologi berarti maskawin. Sedangkan pengertian mahar menurut
istilah ilmu fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai ketulusan
hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya
dalam kaitannya dengan perkawinan.

Kemudian menegnai depinisi mahar ini dalam Kompilasi Hukum Islam, juga dijelaskan
mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik bebentuk
barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.[1]

Mahar dalam bahsa Arab Shadaq. Asalnya isim masdar dari kata ashdaqa, masdarnya ishdaq
diambil dari kata shidqin (benar) . dinamakan shadaq memberikan arti benar-benar cinta nikah dan
inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau maskawin. Pengertian menurut mahar syara adalah
sesuatu pemberian yang wajib sebab nikah atau bercampur atau keluputan yang dilakukan secara
paksa seperti menyusui dan ralat para saksi.

Mengikut Tafsiran Akta Undang-Undang Keluarga Islam ( Wilayah Persekutuan ) 1984


menyatakan mas kahwin bererti pembayaran perkahwinan yang wajib dibayar di bawah Hukum
Syara oleh suami kepada isteri pada masa perkahwinan diakadnikahkan, sama ada berupa wang yang
sebenarnya dibayar atau diakui sebagai hutang dengan atau tanpa cagaran, atau berupa sesuatu yang,
menurut Hukum Syara, dapat dinilai dengan uang.

Pemberian mahar suami sebagai lambang kesungguhan suami terhadap isteri. Selain itu ianya
mencerminkan kasih sayang dan kesediaan suami hidup bersama isteri serta sanggup berkorban demi
kesejahteraan rumah tangga dan keluarga. Ia juga merupakan penghormatan seorang suami terhadap
isteri.
2.2 Hukum Mahar prespektif Islam dan Hukum Positif
Berkata Syaikh Abu Syujak :

, :(
) , :

Disunnahkan menyebut maskawin (mahar) dalam nikah. Jika mahar tidak disebutkan akad tetap sah
dan wajiblah maskawin yang seimbang (mahrul-mitsli) dengan tiga hal, yaitu kalau hakim
menentukan mahar misil, atau suami istri menentukannya, atau sudah bersetubuh (dukhul)
dengannya maka wajiblah mahar misil.

): (. -

Berilah perempuan yang kamu kawini itu suatu pemberian (maskawin)

Dari sunnah ialah sabda Nabi s.a.w.:

Carilah walau hanya sebentuk cincin dari besi (yakni untuk maskawin).

Disunnahkan hendaknya nikah itu tidak diakad melainkan dengan maskawin, karena
mengikuti jejak Rasulullah s.a.w., sebab beliau tidak mengadakan akad nikah melainkan dengan
sesuatu yang disebutkan (maskawin), dan karena dengan begitu lebih menjauhkan perselisihan di
belakang hari. Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Alhusaini dalam kitab Kifayatul Akhyar
(Kelengkapan Orang Saleh).

Imam SyafiI mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang
laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota tubuhnya. Karena mahar
merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka
hukum memberikannya adalah wajib.

Dalam komplikasi Hukum Islam (KHI), permasalahan mahar terdapat dalam BAB V Pasal 30
sampai dengan Pasal 38. Adapun materi dari pasal-pasal sebagai tersebut :

Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk,
dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak;

Pasal 31

Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam;

Pasal 32

Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya;

Pasal 33

1. Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai;

2. Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk
seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon
mempelai pria.

Pasal 34

1. Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dan syarat dalam perkawinan;

2. Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya
perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih berutang tidak mengurangi sahnya
perkawinan;

Pasal 35

1) Suami yang mentalak istrinya qabla al-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan
dalam akad nikah.
2) Apabila suami meninggal dunia qabla al-dukhul, seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh
istrinya.
3) Apabila perceraian terjadi qabla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib
membayar mahar mitsil.
Pasal 36

Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama
bentuk dan jenisnya, atau dengan barang lain yang sama nilainya, atau dengan uang yang senilai
dengan harga barang mahar yang hilang.

Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya
diselesaikan ke Pengadilan Agama.

Pasal 38

1. Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai wanita tetap
bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.

2. Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus mengganti dengan mahar lain
yang tidak cacat. Selama penggantiannya belum diserahkan, mahar masih belum dianggap masih
belum dibayar.

2.3 Dasar Hukum Mahar dalam Al-Quran dan Hadits


Telah terkumpul banyak dalil tentang pensyariatan mahar dan hukumnya wajib. Suami, istri,
dan para wali tidak mempunyai kekuasaan mepersyaratkan akad nikah tanpa mahar.

Dalil kewajiban mahar dari Al-Quran adalah firman Allah SWT:



Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. (QS. An-Nisa:4)

Demikian juga firman Allah SWT:



Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. (QS. An-Nisa:24)

Dalil disyariatkannya mahar juga ada pada beberapa hadits Nabi SAW:


( . : , :
)

Dari Amir bin Robiah: Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazaroh kawin atas maskawin
sepasang sandal. Rasulullah SAW. Lalu bertanya kepada perempuan tersebut: Apakah engkau ridho
dengan maskawin sepasang sandal? Perempuan tersebut menjawab: Ya. Rasulullah akhirnya
meluluskannya. (HR. Ahmad)

Juga sabda Rasulullah SAW:

Kawinlah engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi. (HR. Bukhori)

Hadits di atas menunjukkan kewajiban mahar sekalipun sesuatu yang sedikit. Demikian juga
tidak ada keterangan dari Nabi SAW bahwa beliau meninggalkan mahar pada suatu pernikahan.
Andaikata mahar tidak wajib tentu Nabi SAW pernah meninggalkannya walaupun sekali dalam
hidupnya yang menunjukkan tidak wajib. Akan tetapi beliau tidak pernah meninggalkannya, hal ini
menunjukkan kewajibannya.[2]

Ibnu Abbas mengisahkan,

: ,
:

. : ,
:

: ,

Ketika Ali ibn Abi Thalib menikahi Fathimah, Rasulullah SAW bersabda kepadanya, Berilah ia
sesuatu (mahar), Ali menjawab: Aku tidak memiliki apa-apa, Rasulullah SAW bertanya: Mana
baju besimu?, Ali menjawab: Ada padaku, maka Rasulullah SAW bersabda: Berikan itu
kepadanya. (HR. Abu Dawud dan Nasai)

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa mahar merupakan salah satu rukun pernikahan. Akan
tetapi mahar itu tidak harus disebutkan dalam akad nikah.

Allah SWT berfirman,

....




Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri)
atau belum kamu tentukan maharnya. (QS. Al-Baqarah:236)

Ibnu Al-Jauzi berkata, Ayat ini menunjukkan bahwa mahar boleh tidak disebutkan dalam
akad nikah. Akan tetapi, demi menghindari perbedaan pendapat dan pertikaian, mahar itu lebih baik
disebutkan disaat pelaksanaan akad nikah.[3]

Adapun ijma telah terjadi konsensus sejak masa kerasulan beliau sampai sekarang atas
disyariatkannya mahar dan wajib hukumnya. Kesepakatan ulama pada mahar hukumnya wajib.
Sedangkan kewajibannya sebab akad atau sebab bercampur intim, mereka berbeda pada dua pendapat.
Pendapat yang lebih shahih adalah sebab bercampur intim sesuai dengan lahirnya ayat.[4]

2.4 Ukuran Mahar


Fuqoha sepakat bahwa mahar tidak memiliki ukuran batas yang harus dilakukan dan tidak
boleh melebihinya. Ukuran mahar diserahkan kepada kemampuan suami sesuai dengan pandangannya
yang sesuai. Tidak ada dalam syara suatu dalil yang membatasi mahar sampai tinggi dan tidak boleh
melebihinya. Sebagaimana firman Allah :







Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan
kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali
sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan (menanggung) dosa yang nyata? Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil
perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.

Umar ra ketika hendak mencegah manusia berlebih-lebihan dalam mahar dan melarangnya
lebih dari 400 dirham dan diceramahkan di hadapan manusia. Ia berkata: Ingatlah, jngan berlebihan
dalam mahar wanita, sesungguhnya jika mereka terhormat di dunia atau takwa di sisi Allah sungguh
Rasulullah SAW orang yang paling utama di antara kalian. Beliau tidak memberikan mahar pada
seorang wanita dari para istri beliau dan putra-putri beliau lebih dari 12 uqiyah. Barangsiapa yang
memberi mahar lebih dari 400 dirham maka tambahan itu dimasukkan uang kas. Lantas ada seorang
wanita dari qurais berkata: Bukan demikian hai Umar. Sahut Umar: Mengapa tidak Wanita
berkata:Karena Allah berfirman: Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara
mereka harta yng banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit
pun (QS. An-Nisa (4): 20). Beliau berkata: Allah maaf, Umar bersalah dan benar wanita ini.
Selanjutnya beliau berkata: Dulu aku mencegah kamu melebihi 400 dirham untuk mahar wanita,
barangsiapa yang berkehendak berilah dari hartanya yang disukai.

Sekalipun fuqoha sepakat bahwa tidak ada batas maksimal dalam mahar, tetapi seyogianya
tidak berlebihan, khususnya di era sekarang. Hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW bersabda:


Wanita yang sedikit maharnya lebih banyak berkahnya.




Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah.[5]

Ulama Syafiiyah, Imam Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur berpendapat tidak ada batas minimal
mahar, tetapi sah dengan apa saja yang mempunyai nilai materi, baik sedikit maupun banyak.
Alasannya, karena beberapa teks Al-quran yang menjelaskan tentang mahar dengan jalan
kebijaksanaan, layak baginya sedikit dan banyak. Sebagaimana firman Allah SWT :



Artinya: Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian yang penuh kerelaan. (QS. An-Nisa (4): 4)

Artinya: Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya
perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan
bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk
menikahinya bukan untuk berzina. (QS. An-Nisa (4): 24)

Artinya: Dan berilah mahar mereka menurut yang patut. (QS. An-Nisa (4): 25)

Di antara sunnah, hadis yang diriwayatkan dari Amir bin Rabiah bahwa seorang wanita dari
Bani Fazarah menikah atas sepasang dua sandal. Rasulullah bertanya:

, :



Apakah kamu rela dari dirimu dan hartamu dengan sepasang dua sandal ? Wanita itu menjawab:
Ya aku rela maka beliau memperbolehkannya. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi)

Dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersabda :

Jikalau bahwa seorang laki-laki memberi mahar kepada seorang wanita berbentuk makanan sepenuh
dua tangannya, maka halal baginya. (HR. Ahmad)
Hadis di atas menunjukkan bahwa apa saja yang bernilai material walaupun sedikit, sah
dijadikan mahar. Demikian pula hadis yang diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda kepada
seseorang yang ingin menikah:

Lihatlah walaupun sebuah cincin dari besi. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Teks-teks hadis di atas menunjukkan secara tegas bahwa tidak ada batas minimal dalam
mahar, tetapi segala sesuatu yang dinilai material patut menjadi mahar.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa minimal sesuatu yang layak dijadikan mahar adalah
seperempat dinar emas atau tiga dirham perak. Karena Abdurrahman bin Auf menikah atas emas
seberat biji kurma, yaitu seperempat dinar dan ukuran itulah nishab pencurian menurut mereka.
Artinya, harta seukuran itu mempunyai arti nilai dan kehormatan berdasarkan dipotong tangan
pencurinya dan tidak dipotong di bawah ukuran itu, maka itulah batas ukuran minimal mahar.

Ibnu Syabramah berpendapat, uluran minimal mahar adalah 5 dirham, Said bin Jubair
berpendapat bahwa minimal 50 dirham sedangkan An-Nukhai berpendapat 40 dirham. Ukuran
tersebut didasarkan pada sebagian peristiwa kejadian yang diperkirakan pada ukuran tersebut dan
dianalogikan dengan nisab pencurian menurut masing-masing mereka.

Menurut madzhab Hanafiyah, yang diamalkan dalam ukuran minimal mahar adalah 10
dirham. Ukuran ini sesuai dengan kondisi ekonomi yang berlaku, yakni 25 Qursy. Dasar mereka
adalah hadis yang diriwayatkan Jabir dari Nabi SAW bersabda :

Tidak ada mahar yang lebih minim dari 10 dirham.

Pendapat yang kuat menurut kita adalah pendapat Imam Asy-SyafiI dan Ahmad, karena hadis
yang disandarkan kepadanya yang paling shahih tentang hal tersebut menurut kesepakatan para
ulama. Sedangkan yang disandarkan kepada yang lain tidak shahih.

2.5 Benda yang Layak Dijadikan Mahar


Fuqaha sepakat bahwa harta yang berharga dan maklum patut dijadikan mahar. Oleh karena
itu emas, perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas dan lain-lain sah dijadikan mahar karena ia
bernilai material dalam pandangan syara. Sebagaimana pula mereka sepakat bahwa sesuatu yang
tidak ada nilai material dalam pandangan syara tidak sah untuk dijadikan mahar seperti babi, bangkai
dan khamr.

Mereka berbedda pendapat tentang jasa atau manfaat, apakah sah jika dijadikan mahar,
seperti seseorang menikahi seorang perempuan dengan mahar talak istrinya atau diajarkan Alquran.
Dalam contoh pertama, para ulama terjadi perbedaan. Ulama Syafiiyah[6] bersam Ulama Hanabilah
dalam suatu riwayat berpendapat bahwa sah dengan mahar tersebut karena bolehnya mengambil
pengganti. Sedangkan dalam contoh kedua, Ulama Syafiiyah dan Imam Hazm memperbolehkannya
berdasarkan hadis: Aku nikahkan engkau padanya dengan mahar sesuatu yang ada bersam engkau
dalam Alquran.

Dalam hal ini Asy-Syairazi berpendapat, diperbolehkan mahar dengan sesuatu yang
bermanfaat seperti pengabdian, pengajaran Al-Quran, dan lain-lain dari hal-hal yang brmanfaat dan
diperbolehkan berdasarkan firman Allah SWT:




Dia (Syaikh Madyan) berkata, Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan
salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku
selama delapan tahun (QS. Al-Qashash(28): 27).

Dalam ayat di atas pengembalaan dijadikan mahar. Nabi juga pernah menikahkan seorang
wanita yang menghibahkan dirinya kepada peminangnya dengan ayat-ayat Al-Quran yang dihafal.
Mahar tidak boleh sesuatu yang haram seperti mengajarkan Taurat dan mengerjakan Al-Quran
kepada wanita dzimmiyah (nonmuslimah yang patuh bernegara di negara Islam), ia mempelajarinya
bukan karena cinta Islam.

Mahar tidak senantiasa berupa uang atau barang. Dikalangan santri, pernah terjadi pernikahan
dengan maskawin berupa kesanggupan calon suami untuk memberi pelajaran terhadap calon istrinya
membaca kitab suci al-Quran sampai tamat, dikalangan para santri lebih dikenal dengan istilah
khatam al-Quran.

Syarat-syarat dan manfaat yang boleh dijadikan mahar menurut para ahli fikih beragam,
antara lain: menurut ulama Syafiiyah, manfaat yang dimaksud adalah sesuatu yang dijadikan mahar
tersebut mempunyai nilai dan bisa diserahterimakan baik secara konkrit maupun syariat. Ulama
Syafiiyah menganggap tidak sah bagi orang yang mengajarkan satu kata atau satu ayat pendek yang
mudah, apalagi diajarkan kepada orang kafir zimmi bukan dengan tujuan masuk Islam.
Berbeda lagi dengan ulama Hanabilah, mereka berpendapat bahwa manfaat yang dimaksud
dalam mahar ini adalah semua manfaat yang diketahui secara pasti serta dapat diambil manfaatnya,
karena manfaat disini dianggap sebagai imbalan dalam akad tukar menukar.

Sedangkan Malikiyah memberikan syarat bahwa, mahar berupa manfaat tersebut harus
diketahui dan dari benda yang baik. Dalam hal ini, ulama Malikiyah terbagi menjadi 3 pendapat yang
berbeda, yaitu :

Menurut pendapat ibnu Qasim tidak boleh.

Imam Malik sendiri mengatakan boleh tapi makruh.

Ashbagh dan Suhnun mereka berpendapat bahwa mahar manfaat itu boleh tapi makruh.

Ulama yang keempat adalah ulama Hanafiyah, ulama yang berpendapat bahwa manfaat yang
akan dijadikan mahar harus manfaat yang dapat diukur dengan harta, seperti mengendarai kendaraan,
menempati rumah atau menanam sawah dalam waktu tertentu.

Berdasarkan keterangan di atas, syarat sah mahar adalah sebagai berikut.

1. Mahar tidak berupa barang haram, tidak sah mahar berupa khamr atau babi dan seterusnya.

2. Tidak ada kesamaran, jika terdapat unsur ketidakjelasan maka tidak sah dijadikan mahar, sperti mahar
berupa hasil panen kebun pada tahun yang akan datang atau sesuatu yang tidak jelas, seperti mahar
rumah yang tidak ditentukan.

3. mahar dimiliki dengan pemikiran sempurna. Syarat ini mengecualikan pemilikan yang kurang atau
tidak sempurna, seperti mahar sesuatu yang dibeli dan belum diterima, pemilikan seperti ini pemilikan
yang kurang atau tidak sempurna, tidak sah dijadikan mahar.

4. mahar mampu diserahkan. Dengan syarat ini mengecualikan yang tidak ada kemampuan
menyerahkan seperti burung di awang-awang atau ikan di laut. Tidak sah hal tersebut dijadikan
mahar.[7]

2.6 Macam-macam Mahar


Adapun mengenai macam-macam mahar, ulama fikih sepakat bahwa mahar itu bisa
dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:

A. Mahar yang Disebutkan (Musamma)


Mahar yang disebutkan maksudnya mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik pada
saat akad maupun setelahnya seperti membatasi mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad
tanpa menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah pihak mengadakan kesepakatan dengan
syarat penyebutannya benar. Ulama fikih bersepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma
wajib diberikan secara penuh apabila:

1. Apabila telah senggama


2. Apabila salah satu dari suami / istri meninggal dunia
Mahar tersembunyi dan mahar terbuka

Ada macam mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak sebelum akad kemudian
diumumkan pada saat akad berbeda dengan mahar yang disepakati, baik dari segi ukuran maupun
jenisnya. Pada saat itu berarti sang istri dihadapkan pada dua mahar; pertama, pertama mahar yang
disepakati oleh kedua belah pihak sebelum akad dan mahar ini yang disebutkan mahar tersembunyi.
Kedua, mahar terubuka yang diumumkan dalam akad dihadapan orang banyak. Mana mahar yang
wajib bagi istri dalam kondisi seperti ini, apakah mahar tersembunyi atau mahar terbuka?

Ulama syafiiyah berpendapat bahwa mahar yang wajib adalah yang disebutkan dalam akad,
karena akad inilah mahar menjadi wajib. Yang wajib adalah yang disebutkan dalam akad, baik sedikit
maupun banyak. Jikalau mahar tersembunyi 1.000 dan mahar yangdiumumkan 2.000, kemudian
mereka mengumumkan saat akad bahwa mahar 2.000maka itulah mahar yang wajib. Apabila
mengumumkan bahwa mahar 1.000, maka mahar yang wajib bagi istri adalah 1.000.[8]

Ulama Malikiyah berpendapat, jika kedua belah pihak bersepakat pada mahar tersembunyi
dan dalam pengumuman berbeda dengan yang pertama, maka yang dipedomani adalah yang
disepakiti kedua belah pihak yang tersembunyi tersebut. Yang tersembunyi itu inilah yang wajib
diberikan kepada istri dan yang disepakati dalam pengumuman tidak diberlakukan.

Ulama Hanabillah memisahkan pada dua kondisi, yaitu:

1. Jika kedua belah pihak mengadakan akad dengan mahar yang dirahasiakan, kemudian mengadakan
akad lagi secara terbuka dan diumumkkan mahar yang berbeda dengan mahar akad yang pertama.
Dalam hokum kondisi seperti ini mahar yang diambil adalah mahar yang yang lebih banyak dari
keduanya dan inilah yang wajib diberikan kepada istri.

2. Jika kedua belah pihak bersepakatan pada mahar sebelum akad kemudian mereka mengadakan akad
setelah kesepakatan tersebut yang lebih banyak dari mahar yang disepakati. Karena penyebutan yang
benar pada akad yang benar pula, mahar yang disebutkan dalam akad wajib diberikan kepada istri dan
tidak usah memperhatikan penyebutan yang disepakati sebelum akad seolah-olah tidak ada.
Menurut Ulama Hanafiyah, mahar tersembunyi dan terbuka ini dibagi dlam dua kondisi:
1. Jika kedua belah pihak ketika akad tidak mengatakan bahwa mahar dari mereka 1.000 karena ingin
popular (sumah), mahar dalam kondisi ini adalah apa yang disebutkan secara terbuka yaitu 2.000
2. Jika kedua belah pihak mengatakan dalam akad 1.000 dari 2.000 karena mereka yang secara
sembunyi yakni 1.000 junaih. Ini lahirnya riwayat Abu Hanifah, yakni pendapat dua sahabatnya.
Diriwayatkan oleh Abu Hanifah juga bahwa mahar adalah yang diumumkan oleh mereka dalam akad,
yaitu 2.000 junaih.

B. Mahar yang Sepadan (Mitsil)

Maksud mahar mitsil adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa
menyebutkna mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang
ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung, saudara perempuan
tunggal bapak, dan seterusnya.

Menurut ulama Syafiiyah yang dipedomani dalam mempertimbangkan mahar mitsil adalah
dengan melihat beberapa wanita keluarga ashabah (sekandung atau dari bapak) perempuan untuk
mencari persamaan ukuran mahar. Yang perlu diperhatikan terhadap wanita-wanita keluarga ashabah
perempuan ketika mencari ukuran mahar mitsil adalah dari segi status mereka terhadap perempuan,
mereka satu sifat dengannya dan yang paling dekat dengan nya. Artinya, jika saudara perempuannya
yang sekandung yang sama sifat-sifatnya menikah dengna mahar 1.000 rupiah, maka mahar
perempuan tersebut juga 1.000. jika tidak memiliki saudara perempuan sekandung atau belum
menikah atau sudah menikah tetapi tidak diketahui maharnya, mka dilihat dari saudara perempuannya
tunggal bapak, putri saudara laki-laki sekandung, putri saudara laki-laki sebapak, kemudian saudara
ke bawah dari dua arah mereka tersebut yang satu arah ke saudara perempuan kandung yang satu lagi
saudara perempuan bapak.

Jika tidak ditemukan wanita-wanita ashabah perempuan di atas dalam arti tidak ada sama
sekali atau ada tetap ibelum menikah atau sudah menikah tetapi tidak diketahui maharnya, pindah
kepada wanita-wanita arham(keluarga ibu) dari perempuan tersebut secara tertib, yaitu ibu, nenek,
bibi, putri saudara perempuan, putri bibi. Kita tidak pindah ke satu wanita dari mereka kecuali
sebelumnya dihukumi tidak ada, atau belum nikah atau sudah nikah tetapi tidak diketahui maharnya.

Jika tidak ditemukan wanita keluarga arham (dari ibu) atau ada, tetapi belum menikah atau
sudah menikah tetapi tidak diketahui maharnya. Maka mahar wanita tersebut disamakan mahar
wanita-wanita yang setara dengannya. Akan tetapi lebih didahulukan wanita-wanita dalam negerinya
atau negeri-negeri didekatnya.

Pertimbangan persamaan antara dua wanita yang sama dalam sifatnya adalah persamaan
dalam usia, kecerdasan(IQ), kecantikan, kekayaan, kejelasan berbicara, keperawanan, karena nahar
akan berbeda sebab perbedaan sifat-sifat tersebut.

Demikian juga yang harus dipertimbangkan adalah kondosi suami ketika menentukan ukuran
mahar mitsil. Kondisi suami seperti kaya, berilmu, memelihara haram, dan sejenisnya. Jikalau
didapatkan wanita keluarga ashabah istri yang sama sifat-sifatnya dan kondisi suaminya juga sama,
maka maharnya sama dengan wanita tersebut. Jika tidak sama, maka tidak disamakan.

Beberapa Kondisi Wajib Mahar Mitsil

Penulis Syarah At-Tahir telah meringkas kondisi wajib mahar mitsil dengan perkataannya;
wajib mahar mitsil pada lima tempat, yaitu: dalam nikah, bersenggama, Khulu, meralat dari
persaksian, dan persusuan. Dalam mbeberapa kondisi ini mahar mitsil wajib dibayar dank an kami
bahas secara perinci.

Kondisi pertama, akad nikah sah jika memenuhi syarat dan rukunnya. Jika seorang wanita
berkata kepada walinya; nikahkan aku tanpa mahar kemudian wali menikahkannya tanpa mahar
atau menikahkanya tanpa menyebutkan mahar dalam akad atau wali menikahkannya dengan mahar
kurang dari mahar mitsil atau dengan uang yang bukan dari negaranya atau ia menyebutkan mahar
tertentu kemudian rusak di tangan suami sebelum diserahterimakan, atau kedua belah pihak
mempersyaratkan syarat yang rusak seperti khamr.

Dalam bebagai contoh diatas, mahar mitsil wajib diberikan jika telah terjadi percampuran
suami atau meninggal salah satunya. Jika suami belum bercampur atau belum meninggal salah
satunya maka wanita berhak menuntut mahar sebelum berhubungan, berhak menahan dirinya
sehingga dibayar maharnya dan tidak ada kewajiban suatu sebab akad semata. Sesungguhnya ia wajib
hanya karena salah satu dari tiga hal, yaitu kerelaan wanita atau kewajiban dari pengadilan atau
meninggal salah satunya. Karena jika wajib sebab akad, ia mengambil separuh mahar sebab talak
sebelum bercampur seperti mahar yang disebutkan. Al-Quran menunjukkan bahwa tidak ada
kewajiban bersenang (mutah), sebab dalam akad mempunyai tuntutan agar dibayar maharnya.

Kondisi kedua, wajib mahar mitsil sebab bercampur syubhat. Misalnya seorang laki-laki
mendapati seorang wanita lain yang tidur ditempat istrinya, kemudian ia menduga wanita lain itu
adalah istrinya sampai ia mencampurinya, setelah itu ia menyadari itu adalah bukan istrinya. Atau
seorang wanita pindah ketempat istri, suami menduga istrinya kemudian ia mencampurinya, dan
ternyata itu bukan istrinya. Dalam kondisi ini wajib dibayar mahar mitsil tanpa member keperawanan
jika ia perawan, jika ia janda ia diberi mahar sebagai janda dan tidak wajib hukuman. Demikian
pernikahan yang rusak (fasid), nmisalnya seseorang menikahi perempuan tanpa wali dan saksi
kemudian ia mencampurinya. Seolah-olah hari kejadian rusak bukan hari akad karena tidak ada
pengahargaan bagi akad yagn rusak.

Sebagai sabda Nabi SAW:


Wanita mana saja yang menikahkan dirinya tanpa seizing walinya, nikahnya batal, jika ia
mencampurinya maka baginya mahar mitsil.

Kondisi ketiga, wajib mahar mitsil sebab khulu. Misalnya, jika seorang wanita budak
khulu(mengajukan talak kepada suami dengan hadiah) tanpa seizing tuannya degan memberikan
suatu benda, baik milik tuanna atau orang lain. Dalam kondisi ini, suami berhak mahar mitsil-nya
yang dianalogikan dengan khulu.

Kondisi keempat, wajib mahar mitsil karena persusuan. Misalnya, jika seorang laki-laki
berakad nikah dengan wanita yang masih bayi seusia persusuan dan memilki istri lain yang sudah
dewasa. Istri dewasa menyusui istri yang masih bayi tanpa seizing suami sampai lima kali susuan.
Bayi tersebut menjadi anaknya suami dalam persusuan dan haram atasnya, karena akad anak wanita
mengharamkan ibunya, ia menjadi ibu bagi istri yang bayi. Dengan demikian, istri yang masih bayi
mendapatkan separuh mahar yang disebutkan jika penyebutannya benar karena berpisah sebelum
bercampur dan jika penyebutannya rusak, ia mendapatkan separuh mahar mitsil. Istri dewasa
membayar separuh mahar mitsil kepada suami secara mutlaq, baik penyebutan mahar itu benar
maupun rusak, karena ia meluputkan suami dari kehalalan seks istri yang masih bayi.

Kondisi kelima,wajib mahar mitsil karena persaksian. Misalnya jika dua orang saksi laki-laki
bersaksi kepada orang lain bahwa suami menalak istri nya dengan talak bain dan talak rajI dan tidak
kembali sampai masa iddah-nya. Pengadilan mengeluarkan keputusan memisahkan mereka
berdasarkan saksi tersebut. Setelah itu dua orang saksinya meralat persaksiaannya dan berkata:
sesungguhnya apa yang kami persaksikan tidak benar. Dalam kondisi ini dua orang saksi wajib
membayar mahar mitsil kepada suami, karena merekalah yang meluputkan suami dari kehalalan seks
atas istrinya.
2.7 Mahar Tunai dan Kredit
Dalam fiqh Islam mahar dipandang sebagai hak yang wajib diberikan kepada istri, hanya
suami tidak harus segera menyerahkan mahar istrinya pada saat suksesnya akad pernikahan. Akan
tetapi, boleh menurut kesepakatan, apakah tunai seluruhnya atau diutangkan seluruhnya atau dibayar
sebagian dan utang sebagian (kredit). Baik penangguhan itu dalam tempo yang dekat atau tempo
yang lama, baik penangguhan itu pada tanggal tertentu atau waktu terdekat dari dua masa, yaitu
meninggal atau talak, atau dikredit bulanan atau tahunan, semuanya bergantung pada kesepakatan.
Jika mahar disebutkan secara muthlaq dan kedua belah pihak tidak ada kesepakatan tunai, kredit atau
utang, keputusanna kembali kepada Urf pernikahan negeri di itu.

Diantara kaidah yang ditetapkan Bahwa sesuatu yang dikenal secra uruf seperti yang
dipersyaratkan dengan suatu syarat. Urf mahar di sebagian daerah di Mesir, tunai separuh dan di
utangkan separuh sampai waktu trdekat di antara dua masa (meninggal dan talak). Sebagian
berpendapat bahwa asalnya mahar dibayar tunai, jika tidak menyebutkan sesuatu berarti seluruhnya
tunai atau kontan diserahkan. Mengetahui pembayaran mahar itu tunai mempunyai dampak bahwa
istri mempunyai hak mencegah penyerahan dirinya kepada suami sehingga mahar segera dibayar
seluruhnya. Jika mahar diutangkan, suami tidak ada hak mencegah karena kehalalan tempo sebelum
penyerahan dirinya, istri tidak memiliki hak mencegah.[9]

2.8 Kekuatan dan Pengaruh Mahar


Maksud kekuatan mahar adalah hal-hal yang memperkuat mahar sehingga tidak ada pengaruh
pengguguran dan pengurangan. Ulama fiqh sepakat bahwa mahar menjadi kuat posisinya dengan
salah satu dari tiga perkara berikut.

1. bercampur. maksud bercampur adalah benar-benar bercampur. Artinya, terjadi hubungan seksual
antara suami dan istrinya dengan memasukkan alat seks suami (dzakar) atau hanya sebatas perkiraan
bagi yang kehilangan alatnya ke dalam vagina atau jalan belakang milik istri.[10] Dengan demikian,
istri telah melaksanakan kewajiban terhadap suaminya dengan menyerahkan dirinya dan suami telah
memenuhi haknya, yaitu dengan bercanpur. Hak istri menjadi kuat dalam menerima mahar secara
sempurna, baik percampuran terjadi pada saat bersuci atau ditengah-tengah menstruasi dan atau
ditengah-tengah ihramnya istri. Jika bercampur syubhat mewajibkan mahar maka bercampur dalam
pernikahan lebih utama kekuatannya, percampurannya tidak disyaratkan berkali-kali tetapi sudah kuat
dengan sekali bercampur. Bercampur yang benar-benar memperkuat mahar, baik mahar mitsil atau
mahar yang disebutkan, baik baik disebutkan waktu akad atau setelahnya.
Jika keperawanannya dihilangkan dengan jari-jari tidak akan memperkuat mahar. Asy-Syairazi
berkata: Mahar menjadi kuat sebab bercampur pada faraj (vagina) wanita sebagaimana firman
Allah SWT. :




Bagaimana kamu akan kembali, padahal sebagian kamutelah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami istri. Dan mereka (suami-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
(QS. An-Nisa (4): 21)

2. salah satu dari pasangan suami istri meninggal dunia. Jika salah satu dari pasangan suami istri
meninggal dunia sebelum bercampur, posisi mahar tetap kuat. Istri atau warisnyatetap berhak
menerimanya, baik meninggalnya wajar atau dibunuh suami atau dibinuh orang lain dan atau bunuh
diri berdasarkan ijma para sahabat. Nikah tidak batal sebab kematian berdasarkan adanya hubungan
waris. Kematian hanya akhir pernikahan dan akhir akad adalah terpenuhinya apa yang diakadkan.[11]

Jika istri membunuh suami, mahar gugur seluruhnya dan ia tidak berhak sesuatu apapun. Karena ia
terhalang sebagai ahli waris apalagi mahar. Pembunuhan itu kriminal dan kriminal tidak dapat
memperkuat mahar, bahkan melenyapkannya. Al-Khathib Asy-Syarbini berkata:Jika wanita
membunuh suaminya sebelum bercampur, mahar tidak berlebihan.

Jika istri membunuh dirinya, mahar tidak bias gugur tetapi diberikan kepada ahli warisnya. Demikian
menurut ulama Syafiiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Hanafiyah kecuali Imam Zufar menurutnya,
sebab dalam kondisi ini mahar menjadi gugur.

3. Bersunyian yang sah. Maksudnya suami dan istri sebelum bercampurbersunyian di satu tempat yang
aman dari penglihatan orang dan tidak ada seorang pun yang masuk, kedua pasang suami istri dapat
melihat rahasia berdua dan tidak ada yang mencegah persanggamaan pada istri, baik secara hakiki,
syarI dan alami. Kemudian dating suatu pertanyaan, apakah dapat memperkuat mahar dengan
bersunyian yang sah ?

Jawabnya, fuqaha dalam hal ini berbeda menjadi dua. Pendapat :

Pertama, bersunyian belaka tanpa bergaul intim tidak dapat memperkuat mahar bagi istri, ia
hanya mendapatkan separuh mahar yang wajib diberikan sebab akad dan tidak ada pengaruh
bersunyian dalam kewajiban mahar. Ini pendapat Asy-SyafiI dalam qaul jaded-nya (fatwa di Mesir)
dan Ulama Malikiyah, seperti yang dikemukakan Syuraih, Asy-Syabi, Thawus dan Ibnu Sirin dan
diceritakan dari Ibnu Masud dan Ibnu Abbas.[12]

Dalil yang dijadikan dasar oleh mereka banyak, diantaranya firman Allah SWT. :






-

Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal
sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari yang telah kamu
tentukan itu. (QS. Al-Baqarah: 237)

Dalam ayat ini Allah SWT mewajibkan bagi wanita tercerai sebelum disentuh maksudnya
sebelum dicampuri, sepuluh mahar yang disebutkan dan tidak rinci antara istri yang bersunyian
dengan suami atau tidak. Ayat tersebut hanya member pengertian bahwa kewajiban separuh mahar
dalam kondisi suami istri bersunyian maupun tidak. Separuh mahar ini diwajibkan sebab akad semata.
Barang siapa yang mewajibkan seluruh mahar yang disebutkan dalam kondisi bersunyian pasangan
suami istri berarti menyalahi teks Alquran.

Diantara ayat Alquran yang dijadikan dalil adalah firman AllahSWT. :







-


-

Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu
bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaknya kamu berikan
suatu mutah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang
yang miskin menurut kemampuannya (pula). (QS. Al-Baqarah: 236)

Allah mewajibkan mutah (diberi kesenangan hadiah) bagi wanita yang tercerai yang belum
dicampuri dan belum ditentukan maharnya. Allah tidak menjelaskan antara kondisi telah bersunyian
atau tidak. Ini menunjukkan bahwa bersunyian sama dengan tidak bersunyiandalam kondisi ini tidak
menguatkan mahar.

Mereka berkata: Penguatan mahar berhenti pada terpenuhinya hak suami dari istri sebab
tuntutan akad nikah. Hak suami sebab akad nikah adalah pemanfaatan alat seks, pemanfaatannya
adalah bersenggama atau bercampur. Ketika persenggamaan tidak ada, maka keberadaan mahar tidak
kuat.
Kedua, bersunyian yang sah memperkuat mahar, yaitu pendapat Imam Asy-SyafiI dalam qaul qadim-
nya (fatwa ketika di Irak) dan ulama Hanafiyah.[13] Alasan mereka adalah firman Allah SWT. :






--

-

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan
kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali
sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan (menanggung) dosa yang nyata?. Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,
padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu. (QS. An-Nisa(4): 20-21)

Dalam dua ayat diatas Allah SWT melarang suami mengambil kembali mahar yang telah
diberikan kepada istri pada saat talak dan menjelaskan kepada kita sebab larangan ini yaitu
dikarenakan adanya bersunyian diantara mereka berdua.

Bersunyian yang disebutkan dalam ayat tersebut yaitu yang dipahami dari firman-Nya:
Waqad afdha badhukum ila badhin. Al-Farra diantara ulama bahasa Arab berkata: arti ifdha adalah
bersunyian, baik bercampur atau tidak. Pengambilan menunjukkan bahwa maksud ifdha adalah
bersunyian yang sah. Kata ifdha diambil dari kata fadha artinya tempat atau bumi yang tidak ada
tumbuhan dan tidak ada dinding yang menghalangi pandangan. Maksud bersunyian disini, tidak ada
penghalang dan pencegah dari bersenang-senang sesuai dengan tuntutan lafal.

Lahirnya nash tidak menggugurkan mahar sedikit pun dalam segala kondisi talak, tetapi
menggugurkan separuh dari mahar dalam kondisi talak sebelum bercampur dan sebelum bersunyian
dalam nikah. Penyebutan mahar didasarkan pada dalil lain, demikian juga kewajiban memberi mutah
bagi wanita tercerai sebelum bercampur dalam nikah, tidak disebutkan karena ada dalil lain.
Sedangkan kondisi talak sesudah bersunyian, menurut lahirnya nash menuntut kewajiban mahar
seluruhnya kepada istri.

Mereka mengambil dalil dari hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW:






Barang siapa yang menyingkap kerudung istrinya dan memandang kepadanya maka wajib mahar,
baik telah bercampur atau belum tercampur.[14]
Imam Ahmad meriwayatkan dari Zararah bin Abi Adfa, bahwa ia berkata: Khulafaur Rasyidin
memutuskan bahwa baransiapa yang menutup pintu dan memanjangkan penutupnya, maka wajib
mahar dan wajib iddah.

Kelompok pendapat kedua ini mempersyaratkan keabsahan bersunyi dan timbulnya beberapa
pengaruh, yaitu sebagai berikut.

1. Bersunyian itu setelah akad yang sah, jika bersunyian sesudah akad yang rusak maka bersunyiannya
juga rusak.

2. Tidak didapatkan penghalang atau pencegah, baik secara hakiki, tabiI (tabiat), atau syarI dari
pergaulan intim sebagai suami istri, jikalau tidak, bersunyiannya rusak juga.

Penghalang hakiki, maksudnya didapatkan pada istrri sesuatu yang mencegah bercampur
dengannya, karena usianya yang masih kecil atau karena sakit yang mencegah berhubungan seks atau
adanya cacat fisik. Bersunyian dengan orang yang terbukti memiliki sifat dari beberapa sifat di atas
tidak sah karena tidak mungkin bercampur secara hakiki.

Penghalanag tabii, yakni ada orang lain yang menyertai pasangan suami istri, baik dalam
keadaan berjaga atau tidur, baik melihat atau buta, baik sudah dewasa atau masih kecil cerdas.
Adanya mereka menurut tabiatnya menghalangi percampuran pasangan suami istri. Pada orang yang
berjaga, melihat dan dewasa itu jelas. Orang tidur terkadang berpura-pura tidur atau bangun segera,
orang buta mendengar dan dapat merasa, dan anak kecil yang sudah tahu hubungan seksual hukumnya
seperti orang dewasa. Jika anak kecil tidak mengerti hubungan sekseual secara makna, maka
wujudnya tidak menghalangi keabsahan bersunyian

Penghalang syari, kedua pasang suami istri atau salah satunya dalam kondisi berhalangan
secara syara untuk melakukan hubungan seksual, seperti puasa Ramadhan, ihram haji di Baitullah
dan istri sedang menstruasi atau nifas. Berhubungan dalam kondisi perbuatan muslim atas kebaikan,
hal-hal di atas merusak bersunyian.

2.9 Hal-hal yang Mempengaruhi Mahar

Maksudnya, hal-hal yang menimbulkan wujudnya sesuatu pada mahar, di antaranya


pengurangan, penambahan, dan penggugurannya.Pengaruh-pengaruh dirinci sebagai berikut.

1. Pengurangan dan Penambahan Mahar


Jika disepakati mahar tertentu dan dengan mahar itu menjadi sempurna akadnya, suami boleh
menambah mahar sekehendaknya selama ia seorang ahli derma dengan syarat istri menerima
tambahan tersebut. Sesuai dengan firman Allah:

Dan tidaklah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah
menetapkan mahar itu. (QS. An-Nisa (4): 23)

Sebagaimana pula sang istri yang dewasa. Berakal, dan memiliki hak pilih, ia boleh
mengurangi mahar yang telah ditentukan jika suami menyetujuinya.

2. Pengaruh Separuh Mahar

Sebagaimana telah disebutkan bahwa keberadaan mahar tidak menguat kecuali telah terjadi
percampuran atau kematian. Berdasarkan hal tersebut, jika seorang suami menyebutkan mahar
tertentu kepada istri, baik telah diterima atau belum diterima, baik penyebutannya pada waktu akad
atau setelahnya, kemudian ditalak sebelum bercampur, baik telah terjadi bersunyian maupun tidak
maka istri hanya berhak menerima separuh mahar saja. Berdasarkan firman Allah:

-


-

Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka padahal sesungguhnya
kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan
itu, kecuali jika istri-istrimu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah,
dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada taqwa.Dan janganlah kau melupakan keutamaan di
antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah
(2): 237)

Ayat tersebut menjelaskan secara jelas, kewajiban separuh mahar dari yang telah disebutkan,
jika terjadi talak sebelum bercampur dan dalam ayat tidak dibedakan antara penyebutannya di tengah-
tengah akad atau setelahnya.

Al-Khatib Asy-Syarbini berkata: Pembayaran mahar yang sah sebagaimana disebutkan


dalam akad dibayar separuh sebab talak yang terjadi setelah akad dijatuhkan sebelum terjadi
persetubuhan, baik pembayaran dari kedua suami dan istri atau dari hakim.[15]

Demikian juga wajib separuh mahar yang dianalogikan dengan hal tersebut di atas,
perpisahan dari pihak suami, baik perpisahan itu karena talak atau fasakh (ada yang merusak).
Adapun yang termasuk fasakh disini adalah perpisahan sebah murtadnya suami dari islam, adanya
larangan suami terhadap istri yang telah masuk islam, cacian suami, dan penyusuan ibunya terhadap
istri yang masih kecil.

3. Pengguguran mahar secara sempurna

Mahar digugurkan secara keseluruhan ketika terjadi pemisahan antara suami istri sebelum
berhubungan dan pemisahan ini berasal dari pihak istri. Misalnya, istri murtad dari islam atau masuk
Islam dengan sendirinya sedangkan ia sudah dewasa dan berakal. Atau pemisahan bukan dari istri,
tapi sebab istri.Misalnya, dijumpai cacat pada istri yang memberikan hak fasakh bagi suami, seperti
vaginanya buntu tertutup daging atau tertutup tulang dan lain-lain.Semua contoh di atas
menggugurkan mahar, baik disebutkan dalam akad atau dibayar setelah akad dalam mahar mitsil.
Demikian juga pengguguran mahar terjadi sebeab pembebasan mahar yang diperintahkan istri
yang sudah dewasa dan berakal kepada suami setelah berhubungan, karena pembebasan adalah
pengguguran, atau istri menghibahkan mahar kepada suami, demikian juga khulusetelah
bercampur.[16]

Ibnu Qudamah berkata: Jika istri membebasakan mahar yang harus dibayar suami atau
membabaskan sebagian, atau istri menghibahkan suami setelah diterima sebagai hadiah harta,
hukumnya boleh dan sah. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan, karena firman Allah: kecuali
istri-istri itu membebaskan. (QS. Al-Baqarah (2): 237)[17]

Alat-alat Perlengkapan Rumah Tangga

Fuqoha berpendapat bahwa alat-alat perlengkapan rumah tangga menjadi kewajiban suami,
karena segala beban kehidupan keluarga dipikulkan kepadanya bukan pada istri.Sebagaimana nafkah
istri dibebankan pula kepada suami, diantara nafkah itu adalah mempersiapkan tempat tinggal yang
dilengkapi dengan alat-alat perlengkapannya.

Adapun mahar yang diserahkan kepada istri merupakan hadiah atau pemberian suami kepada
istri.Mahar menjadi milik istri, tidak ada keharusan mempersiapkan alat-alat perlengkapan rumah
tangga dari padanya dan inilah yang dilakukan pada umumnya.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa alat-alat perlengkapan rumah tangga menjadi kewajiban
istri yang diambil dari sebagian mahar yang telah diterima, kecuali jika suami mempersyaratkannya
yang lebih banyak dari mahar atau jika uruf yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, baik dahulu
maupun sekarang bahwa alat-alat perlengkapan rumah tangga dibebankan pada mahar istri dan
ditambah dari istri atau dari keluarganya.
Sekalipun hal tersebut diperselisihkan di antara fuqoha, uruf memberlakukan mahar istri
yang dibebani dengan kewajiban melengkapi alat-alat rumah tangga dan ditambah bantuan harta dari
sebagian keluarganya.Jika alat-alat rumah tangga itu dipersiapkan istri berarti isi rumah tangga itu
milik istri, suami tidak berhak menggunakannya kecuali dengan izinnya.Jika suami memberi harta
kepada istri untuk keperluan alat-alat rumah tangga secara khusus dan terpisah dari mahar, maka istri
wajib mempersiapkannya. Jika istri tidak menghadirkannya maka suami berhak menuntut harta yang
telah diberikan, karena ia melalaikan kewajiban dan tidak mempersiapkan alat-alat perlengkapan
rumah tangga tersebut.

Jika harta yang diberikan suami kepada istri untuk mempersiapkan alat-alat rumah tangga
sekaligus di dalamnya juga terdapat mahar, dalam arti melebihi ketentuan mahar, yakni dengan
adanya sejumlah alat-alat rumah tangga kemudian istri tidak melaksanakannya maka suami tidak
wajib membayar mahar yang telah disebutkan, ia hanya wajib membayar mahar mitsil menurut
sebagian fuqaha. Ketidakwajiban membayar mahar mitsil dikarenakan suami telah melebihkan
untuk melengkapi alat-alat rumah, namun istri tidak melaksanakannya. Jika tidak wajib atas mahar
yang disebutkan, ia wajib membayar mahar mitsil.

Ulama lain berpendapat bahwa yang wajib adalah mahar yang disebutkan secara optimal.
Kewajiban istri menghadirkan alat-alat rumah tangga yang diambil dari mahar bukan wewenang
suami, karena mahar sedikit atau banyak setelah disebutkan murni menjadi hak istri.

Persiapan Bapak untuk Putrinya

Pada umumnya bapak atau orang tua mempersiapkan perkakas rumah tangga untuk putrinya.
Jika persiapan ini dari mahar, maka perkakas rumah tangga itu milik putri tersebut dan jika dari harta
bantuan bapak terhadap putrinya, ia bukan milik bapak kecuali telah diserahkan kepadanya.
Sebagaimana pula seluruh bantuan tidak dimilikinya sebelum diserahterimakan kepadanya.Demikian
itu berlaku jika putri tersebut sempurna keahliannya. Jika tidak, ia memiliki perkakas tersebut pada
wilayah kekuasaan bapak yang semata membelikannya. Kekuasaan bapak menempati pada
kekuasaannya, karena bapak mempunyai wilayah kekuasaan padanya.Perkakas rumah tangga yang
semata dibelikan bapak sudah diserahterimakan secara hukum.

Putri dewasa dan berakal memiliki alat-alat perlengkapan rumah tangga dengan diserah
terimakan, sedangkan putri yang berada dalam keadaan tertinggal (sebaliknya) diberikan
bapaknya.Bapak dan ahli waris setelah kematiannya tiak boleh menuntut kepadanya untuk
mengembalikan perkakas yang telah dihadiahkan tersebut.Hadiah kepada kerabat mahram tidak boleh
diminta kembali setelah diserahterimakan secara sempurna.
Yang harus diperhatikan jika bapak sakit kritis pada saat pemilikan perkakas rumah tangga
kepada putrinya baik dengan diserahterimakan atau dibelikan maka bantuan bapak tersebut
menempati wasiat, tidak boleh dilaksanakan kecuali tidak melebihi sepertiga harta peninggalan sesuai
dengan pengamalan sekarang. Jika bapak meninggal dunia karena sakitnya itu dan nilai perkakas
rumah tangga tidak melebihi sepertiga dari harta yang ditinggalkan maka ahli waris lain tidak berhak
atas perkakas tersebut. Jika nilainya melebihi sepertiga peniggalan, kelebihannya itu bergantung pada
izin mereka (ahli waris).

2.10 Kerusakan Mahar


Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat barang tersebut,
seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti
khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya disamakan dengan jual
beliyang mengandung lima persoalan pokok, yaitu:

a. Barangnya tidak boleh dimiliki;

b. Mahar digabungkan dengan jual beli;

c. Penggabungan mahar dengan pemberian;

d. Cacat pada mahar; dan

e. Persyaratan dalam mahar.

Dalam hal barangnya tidak boleh dimiliki seperti: khamar, babi, dan buah yang belum masak
atau unta yang lepas, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa akad nikahnya tetap sah apabila telah
memenuhi mahar mitsli. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat tentang dua riwayat yang berkenaan
dengan persoalan ini. Pertama, akad nikahnya rusak dan harus dibatalkan (fasakh), baik sebelum
maupun sesudah dukhul. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Ubaid. Kedua, apabila telah
dukhul, maka akad nikah menjadi tetap dan istri memperoleh mahar mitsli.

Mengenai penggabungan mahar dengan jual beli, ulama fikih berbeda pendapat seperti: jika
pengantin perempuan memberikan hamba sahaya kepada pengantin laki-laki, kemudian pengantin
laki-laki memberikan seribu dirham untuk membayar hamba dan sebagai mahar, tanpa menyebutkan
mana yang sebagai harga dan mana yang sebagai mahar, maka Imam Malik dan Ibnul Qasim
melarangnya, seperti juga Abu Saur.Akan tetapi Asyab dan Imam Abu Hanifah membolehkan,
sedangkan Abu Ilah mengadakan pemisahan dengan mengatakan bahwa apabila dari jual beli tersebut
masih terdapat kelebihan sebesar seperempat dinar ke atas, maka cara seperti itu dibolehkan.
Tentang penggabungan mahar dengan pemberian, ulama juga berselisih pendapat, misalnya
dalam hal seseorang yang menikahi wanita dengan mensyaratkan bahwa pada mahar yang
diberikannya terdapat pemberian untuk ayahnya (perempuan itu). Perselisihan itu terbagi dalam tiga
pendapat.

Imam Abu Hanifah dan pengikutnya mengatakan bahwa syarat tersebut dapat dibenarkan dan
maharnya pun sah. Imam Syafii mengatakan bahwa mahar itu rusak, dan istrinya memperoleh mahar
mitsli. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa apabila syarat itu dikemukakan ketika akad nikah,
maka pemberian itu menjadi milik pihak perempuan, sedangkan apabila syarat itu dikemukakan
setelah akad nikah, maka pemberiannya menjadi milik ayah.

Mengenai cacat yang terdapat pada mahar, ulama fiqih juga berbeda pendapat. Jumhur ulama
mengatakan bahwa akad nikah tetap terjadi. Kemudian, mereka berselisih pendapat dalam hal apakah
harus diganti dengan harganya, atau dengan barang yang sebanding, atau juga mahar mitsli.

Imam Syafii terkadang menetapkan harganya dan terkadang menetapkan mahar mitsli. Imam
Malik dalam satu pendapat menetapkan bahwa harus meminta harganya, dan pendapat lain minta
barang yang sebanding. Sedangkan Abu Hasan Al-Lakhimi berkata,Jika dikatakan, diminta harga
terendahnya atau mahar mitsli, tentu lebih cepat. Adapu Suhnun mengatakan bahwa nikahnya batal.

Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepasdari kewajiban untuk membayar mahar
seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri keluar dari
Islam, atau mem-fasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan tersebutsetelah
dewasa menolak dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh walinya, Bagi istri seperti ini, hak
pesangon gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu darinya.

Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri, yang belum digauli, melepaskan maharnya atau
menghibahkan padanya. Dalam hal seperti ini, gugurnya mahar karena perempuan sendiriyang
menggugurkannya. Sedangkan mahar sepenuhnya berada dalam kekuasaan perempuan.

2.11 Hikmah Disyariatkan Mahar

Hikmah disyariatkannya mahar dalam nikah adalah sebagai ganti dari dihalalkannya wanita
atau dihalalkannya bersetubuh dengan suaminya. Di samping itu pula mahar juga sebagai tanda
hormat sang suami kepada pihak wanita dan sebagai tanda kedudukan wanita tersebut telah menjadi
haksuami.[18]
Mahar disyariatkan Allah SWT untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan
bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah SWT
mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha. Mahar
diwajibkan padanya seperti halnya juga seluruh beban materi. Istri pada umumnya dinafkahi dalam
mempersiapkan dirinya dan segala perlengkapannya yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya,
tetapi manfaatnya kembali kepada suami juga.

Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang relevan suami dibebani mahar untuk diberikan
kepada sang istri. Mahar ini dalam segala bentuknya menjadi penyebab suami tidak terburu-buru
menjatuhkan talak kepada istri karena yang ditimbulkandari mahar tersebut seperti penyerahan mahar
yang diakhirkan, penyerahan mahar bagi wanita yang dinikahinya setelah itu dan juga sebagai
jaminan wanita ketika ditalak.[19]

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon
suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.Atau suatu
pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun
jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari
maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya.
Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya
kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.

Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar
kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian.

Fuqaha sepakat bahwa harta yang berharga dan maklum patut dijadikan mahar. Oleh karena
itu emas, perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas dan lain-lain sah dijadikan mahar karena ia
bernilai material dalam pandangan syara. Sebagaimana pula mereka sepakat bahwa sesuatu yang
tidak ada nilai material dalam pandangan syara tidak sah untuk dijadikan mahar seperti babi, bangkai
dan khamr.

Mahar musamma yang disebutkan maksudnya mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak,
baik pada saat akad maupun setelahnya seperti membatasi mahar bersama akad atau penyelenggaraan
akad tanpa menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah pihak mengadakan kesepakatan
dengan syarat penyebutannya benar.

Maksud mahar mitsil adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa
menyebutkna mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang
ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung, saudara perempuan
tunggal bapak, dan seterusnya.

Maksud kekuatan mahar adalah hal-hal yang memperkuat mahar sehingga tidak ada pengaruh
pengguguran dan pengurangan.

Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat barang tersebut,
seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti
khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya disamakan dengan jual
beliyang mengandung lima persoalan pokok.

Mahar disyariatkan Allah SWT untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan
bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah SWT
mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha. Mahar
diwajibkan padanya seperti halnya juga seluruh beban materi. Istri pada umumnya dinafkahi dalam
mempersiapkan dirinya dan segala perlengkapannya yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya,
tetapi manfaatnya kembali kepada suami juga.
DAFTAR PUSTAKA
.

Abubakar, Imam Taqiyuddin bin Muhammad Alhusaini. 1992. Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang
Shalih). Surabaya: Bina Iman

Al-Mashri, Syaikh Mahmud. 2011. Perkawinan Idaman. Jakarta: Qisthi Press

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2007. Terjemahan Lengkap Bulughu Marsm. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana

Al-Fauzan, Saleh. 2006. Fiqh Sehari-hari. Depok: GemaInsan

Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari. 1993. Terjemah Fat-Hul Muin. Surabaya: Al-Hidayah

Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan , Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2009. Fiqh Munakahat.
Jakarta: Amzah
Ghozali, Abdul Rahman, M.A. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kharisma Putra Utama

Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.

Kamal, Abu Malik. 2007. Fiqh Sunnah Wanita. Jakarta: Pena PundiAksara

[1] Hasyiyah Asy-Syaerqawi ada Syarh At- Tahrir, juz 2, hlm. 251 dan Mughni Al-Muhtaj, juz 3,
hlm. 220.

[2] Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh
Munakahat: Khitbah, Nikah, danTalak. (Jakarta: AMZAH). 177.

[3]Abu Malik Kamal.Fiqh Sunnah Wanita. (Jakarta: Pena PundiAksara). 175

[4] Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas.Fiqh
Munakahat. (Jakarta: AMZAH). 177

[5] Nail Al-Authar, juz 6, hlm 312

[6] Al-Muhadzdzab, juz 6, hlm. 56.

[7] Al-Muhadzdzab, juz 2, hlm. 265.

[8] Al-Muhadzdzab li Asy-Syayrazi, juz 2, hlm 72 dan Mughni Al-Muhtaj, juz 2, hlm 228.

[9] Lihat: Rawdhan Ath-Thalibin, juz 7, hlm. 259.

[10] Al-Muhadzdzab, juz 2, hlm. 57.

[11] Al-Muhadzdzab, juz 5, hlm. 57 dan Hasyiyah Asy-Syarqawi, juz 2, hlm 166.

[12] Mughni Al-Muhtaj, juz 3, hlm 225 dan Mughni li Ibnu Qudamah, juz 8, hlm 62.

[13] Lihat Mughni Al-Muhtaj, juz 3, hlm 225 dan Al-Muhadzdzab, juz 2, hlm. 57 dan BadaI Ash-
ShanaI, juz 3, hlm 1457

[14] Hadis ini diriwayatkan melalui jalan Ibnu Luhaiah, ia lemah. Ibnu Hazm menyebutnya melalui
jalan Yahya bin Ayyub, ia lemah juga. Lihat: BadaI Ash-ShamaI, juz 7, hlm 146, Sunan Ad-Dar
Quthni, juz 3, hlm 307 dan Al-Mahalli, juz 9, hlm 486.

[15] Mughni Al-Muhtaj, juz 3, hlm. 335 dan Al-Muhazdzab, juz 2, hlm. 58.

[16]Mughni Al-Muhtaj, juz 3, hlm. 240 dan BadaI Ash-ShanaI, juz 3, hlm. 1467.

[17]Al-Mughni, juz 8, hlm. 71.


[18]Saleh Al-Fauzan. Fiqh Sehari-hari. (Depok: GemaInsani). 674

[19] Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh
Munakahat. (Jakarta: AMZAH). 177-178

Hamim Maulana Malik Ibrahim

Posted in:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Poskan Komentar

Share

Featured Video
Archives

GURU MULIA HABIB UMAR BIN MUHAMMAD BIN SALIM BIN HAFIDZ
AL-YAMANI
GURU KH. DJAMALUDDIN AHMAD TAMBAKBERAS

GURU HABIB ACHMAD JAMAL BIN TOHA BA'AQIL - MALANG


GURU KH. ACHMAD HASAN

cursor

Comment
[get this widget] [Tutup]

Entri Populer

MAKALAH MAHAR PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pernikahan adalah suatu peristiwa yang fitrah,
tarbiyah, dan sarana paling agung dalam ...

MAKALAH PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Islam tidak senang kepada orang yang
membujang. Membujang termasuk perbuatan yang ...

Makalah SPi Islam Masa Daulat Bani Abbasiyah


SEJARAH PERADABAN ISLAM Islam Masa Daulat Bani Abbasiyah Makalah dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah sejarah peradaban islam ...

Makalah Matakuliah Study Qur'an Asbabun Nuzul

STUDY AL-QURAN ASBABUN NUZUL Makalah dibuat untuk memenuhi tugas mata
kuliah Study Al-Quran Dosen Matakuliah : M.Robith Fuad...

Shalat Prespektif Empat Mazhab

Al-Muttafaq wa Al-Mukhtalaf Fih (Masalah yang Disepakati dan Diperselisihkan) 1. Arkan


a. Niat Niat secara etimologi ...

Facebook
Hamim Kusuma

Buat Lencana Anda

Hikmah Para Kekasih Allah

Nasehat Abu Bakar Ash-Shiddiq


Nasehat Abu Nawas
Nasehat Habib Abdullah Al-Haddad
Nasehat Syekh Siti Jenar
Nasihat Ali bin Abi Thalib
Nasihat Ibnu Atha'illah
Nasihat Imam Ghazali
Nasihat Syech Abdul Qodir Al Jailani
Nasihat Umar bin Khattab
Nasihat Usman bin Affan
Wasiat & Nasehat Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili
Copyright 2011 MUTIARA HIKMAH | Powered by Blogger
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator
Discount Code

MAKALAH MAHAR DALAM PERKAWINAN

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita
dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya
ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas.
Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan
maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad
pernikahan.

Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai
wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah shadaqah, nihlah, dan mahar merupakan
istilah yang terdapat dalam al-Quran, tetapi istilah mahar lebih di kenal di masyarakat, terutama di
Indonesia.

Dikalangan masyarakat itu terdiri dari keluarga yang meliputi Bapak, Ibu, dan anak-anaknya.
Terbentuknya sebuah keluarga di awali dari pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Nah dalam
melaksanakan acara pernikahan itu biasanya dirayakan dengan acara yang berbagai macam jenis
tergantung keinginan sang penganten dan adat istiadat setempat.

Acara yang dilaksanakan tersebut dalam ilmu fiqih disebut walimah ursy dalam kehidupan
kemasyarakatan banyak berbagai ragam ragam suku dan kebiasaan yang di anut. Salah satunya acara
pernikahan yang merupakan acara yang sakral pun berbeda-beda bentuk dan kebiasaannya. Namun
yang sering kita temui di kalangan masyarakat kita menemui walimah dilaksanakan dengan bentuk
yang mewah atau besar-besaran. Walaupun kadang-kadang tidak sesuai dengan keadaan ekonomi
keluarga pada saat itu. Maka dari itu, fiqih dengan bijaksana membahas tentang masalah ini. Agar
masyarakat tidak salah dalam penafsirkan walimah ini, dan agar masyarakat bias lebih memahami dan
mendalam tentang walimah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pokok pikiran yang tertuang dalam latar belakang di atas serta untuk terarahnya
makalah ini. Maka masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah

1. Pengertian dan Hukum Mahar


2. Syarat-syarat Mahar
3. Kadar (jumlah) Mahar
4. Memberi Mahar Dengan Kontan dan Utang
5. Macam-macam Mahar
6. Bentuk Mahar (Maskawin)
7. Gugur/Rusaknya Mahar
8. Pengertian Walimah & Kedudukan hukum Walimah menurut fiqih
9. Hukum Menghadari Undangan Walimah
10. Hikmah Walimah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Hukum Mahar

Dalam istilah ahli fiqh,disamping perkataan mahar juga dipakai perkataan : shadaq ,
nihlah; dan faridhah dalam bahasa indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.

Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi,mahar ialah pemberian wajib
dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta
kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon
suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan
lain sebagainya).

Imam Syafii mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang
laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.

Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat,lalu ia memberikan
sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan.Akan tetapi, bila istri dalam memberi
maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya. Allah Swt. Berfirman:

20. dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain [280], sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil
kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan
tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?
Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru.
Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali
pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.

Dalam ayat selanjutnya, Allah Swt. Berfirman

21. bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu
Perjanjian yang kuat. (Q.S An-Nisa: 21).

Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai
rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.

Allah berfirman:

4. berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan..(Q.S An-Nisa: 4).

Rasulullah saw. berkata:

:
( , :
)

Dari Amir bin Rabiah: Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazarah kawin dengan
maskawin sepasang sandal. Rasulullah saw. berkata kepada perempuan tersebut: Relakan engkau
dengan maskawin sepasang sandal? Rasulullah saw. meluruskannya. (HR Ahmad bin Mazah dan
disahihkan oleh Turmudzi)

Sabdanya lagi:
) (
Kawinlah engkau walaupun dengan maskawin cincin dari besi. (HR Bukhari)

B. Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

a. Harga berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan
banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut mahar.
b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar,
babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
c. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa
seizinnya namun tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya
kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang
tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.
C. Kadar (Jumlah) Mahar
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang
yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada
calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.Oleh
karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan
dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtar
Kamal menyabutkan, janganlah hendaknya ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar
jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan, sesuai dengan sabda nabi:

:
, : . .
: :
, : ,
: , : ,
: ,
: . ,
) (

Dari Sahl bin Saad, sesungguhnya telah datang kepada Rasulullah saw., seorang wanita maka ai
berkata: Ya Rasulullah! Aku serahkan dengan sungguh-sungguh diriku kepadamu. Dan, wanita
tersebutberdiri lama sekali, lalu berdirilah seorang laki-laki, ia berkata: Ya Rasulullah saw.,
kawinkanlah ia kepada saya jika engkau tidak berminat kepadanya. Maka Rasulullah saw.
menjawab: Adakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau jadikan mahar untuknya? Laki-
laki itu berkata: Aku tidak memiliki sesuatu selain sarungku ini. Nabi saw. berkata: Jika engkau
berikan sarungmu (sebagai mahar) tentulah kamu duduk tanpa sarung, maka carilah sesuatu (yang
lain). Laki-laki itu menjawab: Saya tidak mendapatkan apa-apa. Nabi berkata: Carilah,
walaupun sebuah cincin besi. Kemudian ia mencarinya lagi, tetapi ia tidak memperoleh sesuatu apa
pun. Maka, Rasulullah saw. bersabda: adakah engkau hafal sesuatu ayat dari Al-Quran? Laki-
laki tersebut berkata: Ada surat ini, dan surat ini sampai kepada surat yang disebutkannya. Nabi
saw. berkata: Engkau telah aku nikahkan dengan dia dengan maskawin (mahar) Al-Quran yang
engkau hafal (HR Bukhari dan Muslim).

Imam Syafii, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabiin
berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi
sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari
kalangan pengikut Imam Malik.

Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik
dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau
perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak tersebut.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham.
Riwayat yang lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat puluh dirham.

Pangkal silang pendapat ini, menurut Ibnu Rusydi, terjadi karena dua hal, yaitu:

1. Ketidak jelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis
pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun
banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada
ketentuan. Demikian itu, karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat
memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi,
ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka
hal itu mirip dengan ibadah.
2. Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan
mahfum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya
pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada
ketentuannya.

Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi Saw., nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi
adalah dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika memang ada batas
terendahnya tentu beliau menjelaskannya.

D. Memberi Mahar Dengan Kontan dan Utang


Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar
kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian,
berdasarkan sabda Nabi Saw:

,
( : : , :
)

Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang Ali menggauli Fatimah sampai memberikan sesuatu
kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya: Dimana baju besi
Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah. (HR Abu Dawud, Nasai dan
dishahihkan oleh Hakim).

Hadis diatas menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik,
dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih dahulu.

Dalam hal penundaan pembayaran mahar (diutang) terdapat dua perbedaan pendapat
dikalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan
dengan cara diutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda
pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar di muka manakala akan
menggauli istri. Dan diantara fuqaha yang membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang
membolehkannya hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya. Demikian pendapat
Imam Malik.
E. Macam-macam Mahar
Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu:

a. Mahar Musamma

Mahar Musamma, yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika
akad nikah.Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.

Ulama fikih sepakat bahwa,dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara
penuh apabila:

1) Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah Swt. Berfirman:







20. dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain [280], sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil
kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan
tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?

Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru.
Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali
pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
2) Salah satu dari suami istri meninggal. Dengan demikian menurut ijma.

Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampurdengan istri, dan
ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira
perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum
bercampur, hanya wajib dibayar setengah, berdasarkan firman Allah Swt.:




237. jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya
kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, (Qs Al-
Baqarah: 237).

b.Mahar Mitsli (Sepadan)

Mahar Mitsli yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika
terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh
keluarga terdekat, agakjauh dari tetangga sekitarnya, dengan memerhatikan status sosial, kecantikan,
dan sebagainya.

Bila terjadi demikian (mahar itu disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi
pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuanpengantin wanita (bibi, bude),
uwa perempuan(Jawa Tengah/Jawa Timur), ibu uwa (Jawa Banten) , anak, perempuan, bibi/bude).
Apabila tidak ada, mahar mitsli itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.

Mahar Mitsli Juga Terjadi Dalam Keadaan Sebagai Berikut:

1. .Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami
telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2. .Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata
nikahnya tidak sah.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwid. Hal ini
menurut jumhur ulama dibolehkan.

Firman Allah Swt,:

236. tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu
bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. (Al-Baqarah:236)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli
dan belum juga ditetapkan jumlah maharnya tertentu kepada istrinya itu.

F. Bentuk Mahar (Maskawin)


Pada prinsipnya maskawin harus bermanfaat dan bukanlah sesuatu yang haram dipakai,
dimiliki, atau dimakan. Ibn Rusyd mengatakan bahwa mahar harus berupa sesuatu yang dapat ditukar
dan ini terkesan harus berbentuk benda sebab selain berbentuk benda tidak dapat ditukar tampaknya
tidak dibolehkan. Namun, menurut Rahmat Hakim, sesuatu yang bermanfaat tidak dinilai dengan
ukuran umum, tetapi bersifat subjektif sehingga tidak selalu dikaitkan dengan benda. Dalam hal ini,
calon istri mempunyai hak untuk menilai dan memilihnya, ini sangat kondisional. Artinya, dia
mengetahui siapa dia dan siapa calon suami.

G. Gugur/Rusaknya Mahar
Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat barang tersebut,
seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti
khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya disamakan dengan jual
beliyang mengandung lima persoalan pokok, yaitu:

a. Barangnya tidak boleh dimiliki;

b. Mahar digabungkan dengan jual beli;

c. Penggabungan mahar dengan pemberian;

d. Cacat pada mahar; dan

e. Persyaratan dalam mahar.

Dalam hal barangnya tidak boleh dimiliki seperti: khamar, babi, dan buah yang belum masak
atau unta yang lepas, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa akad nikahnya tetap sah apabila telah
memenuhi mahar mitsli. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat tentang dua riwayat yang berkenaan
dengan persoalan ini. Pertama, akad nikahnya rusak dan harus dibatalkan (fasakh), baik sebelum
maupun sesudah dukhul. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Ubaid. Kedua, apabila telah
dukhul, maka akad nikah menjadi tetap dan istri memperoleh mahar mitsli.

Mengenai penggabungan mahar dengan jual beli, ulama fikih berbeda pendapat seperti: jika
pengantin perempuan memberikan hamba sahaya kepada pengantin laki-laki, kemudian pengantin
laki-laki memberikan seribu dirham untuk membayar hamba dan sebagai mahar, tanpa menyebutkan
mana yang sebagai harga dan mana yang sebagai mahar, maka Imam Malik dan Ibnul Qasim
melarangnya, seperti juga Abu Saur.Akan tetapi Asyab dan Imam Abu Hanifah membolehkan,
sedangkan Abu Ilah mengadakan pemisahan dengan mengatakan bahwa apabila dari jual beli tersebut
masih terdapat kelebihan sebesar seperempat dinar ke atas, maka cara seperti itu dibolehkan.

Tentang penggabungan mahar dengan pemberian, ulama juga berselisih pendapat, misalnya
dalam hal seseorang yang menikahi wanita dengan mensyaratkan bahwa pada mahar yang
diberikannya terdapat pemberian untuk ayahnya (perempuan itu). Perselisihan itu terbagi dalam tiga
pendapat.

Imam Abu Hanifah dan pengikutnya mengatakan bahwa syarat tersebut dapat dibenarkan dan
maharnya pun sah. Imam Syafii mengatakan bahwa mahar itu rusak, dan istrinya memperoleh mahar
mitsli. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa apabila syarat itu dikemukakan ketika akad nikah,
maka pemberian itu menjadi milik pihak perempuan, sedangkan apabila syarat itu dikemukakan
setelah akad nikah, maka pemberiannya menjadi milik ayah.

Mengenai cacat yang terdapat pada mahar, ulama fiqih juga berbeda pendapat. Jumhur ulama
mengatakan bahwa akad nikah tetap terjadi. Kemudian, mereka berselisih pendapat dalam hal apakah
harus diganti dengan harganya, atau dengan barang yang sebanding, atau juga mahar mitsli.

Imam Syafii terkadang menetapkan harganya dan terkadang menetapkan mahar mitsli. Imam
Malik dalam satu pendapat menetapkan bahwa harus meminta harganya, dan pendapat lain minta
barang yang sebanding. Sedangkan Abu Hasan Al-Lakhimi berkata,Jika dikatakan, diminta harga
terendahnya atau mahar mitsli, tentu lebih cepat. Adapu Suhnun mengatakan bahwa nikahnya batal.

Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepasdari kewajiban untuk membayar mahar
seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri keluar dari
Islam, atau mem-fasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan tersebutsetelah
dewasa menolak dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh walinya, Bagi istri seperti ini, hak
pesangon gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu darinya.

Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri, yang belum digauli, melepaskan maharnya atau
menghibahkan padanya. Dalam hal seperti ini, gugurnya mahar karena perempuan sendiriyang
menggugurkannya. Sedangkan mahar sepenuhnya berada dalam kekuasaan perempuan.

H. Pengertian walimah
Walimah () artinya al-jamu. kumpul, sebab suami dan istri berkumpul. Walimah

() berasal dari bahasa arab artinya makanan pengantin. Maksudnya adalah makanan
yang disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Bias juga di artikan sebagai makanan untuk
tamu undangan atau lainnya.
Walimah diadakn ketika acara akad nikah berlangsung, atau sesudahnya, atau ketika hari
perkawinan atau sesudah itu. Bias juga diadakan tergantung adat dan kebiasaan yang berlaku di
masyarakat.

I. Kedudukan hukum
1. Dasar hukum walimah

Jumhur ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya sunnah muakad . Hal ini
berdasarkan hadist Rasulullah SAW.

(
)

Artinya : Dan Annas, ia berkata Rasulullah SAW mengadakan walimah dengan seekor kambing
untuk istri-istrinya dan untuk zainab.

)(

Artinya: sesungguhnya untuk pesta perkawinan harus ada walimahnya.

)(

Artinya : Rasulullah SAW. Mengadakan walimah untuk sebagian istrinya dengan dua mud gandum. (
HR. Bukhari).

Beberapa hadist tersebut diatas menunjukkan bahwa walimah itu boleh diadakan dengan
makanan apa saja sesuai dengan kemampuan. Hal itu di tunjukkan oleh Nabi SAW. Bahwa
perbedaan-perbedaan dalam mengadakan walimah oleh beliau bukan membedakan / melebihkan salah
satu dari yang lain. Tetapi semata-metapa disesuaikan dengan keadaan ketika sulit / lapang.

2.Hukum menghadiri Undangan walimah

Untuk menunjukkan perhatian memeriahkan, dan mengembirakan orang yang mengundang,


maka orang yang diundang walimah wajib mendatanginya.

Adapun wajibnya mendatangi undangan walimah, apabila :

a. Tidak ada uzur syari

b. Dalam walimah itu tidak ada atau tidak di gunakan untuk perbuatan munkar
c. Yang diundang baik dari kalangan kaya maupun miskin.

Dasar hukum wajib nya mendatngi undangan walimah adalah hadist Nabi saw sebagai berikut
:

)(
Artinya :Jika salah seorang di antara mu di undang ke walimahan,hendak lah ia datangi.(H.R. Bukhari
)


)(
Artinya : Dari abu hurairah r.a bahwa Nabi saw bersabda Andaikata aku di undang untuk makan
kambing,niscaya saya datangi,dan andai kata aku di hadiahi kaki depan kambing,niscaya aku terima (
H.R. bUkhari ).

Jika undangan itu bersifat umum, tidak tertuju kepada orang-orang tertentu,maka tidak wajib
mendatangi nya tidak juga sunnah.

Misalnya orang yang mengundang berkata Wahai orang banyak !! datangi lah walimah saya,tampa
menyebut orang-orang tertentu,atau dikatakan Undanglah setiap orang yang kamu temui .

Ada juga yang berpendapat bahwa hukum menghadiri undangan adalah wajib kifayah,dan ada juga
yang berpendapat hukum nya sunah. Akan tetapi pendapat pertama lah yang lebih jelas.

Secara rinci undangan itu wajib di datangi , apabila memenuhi syarat syarat sebagai berikut :

a. Pengundang nya mukallaf,merdeka dan berakal sehat.

b. Undangan nya tidak di khususkan kepada orang-orang kaya saja,namun harus kepada orang miskin
juga.

c. Undangan nya tidak hanya di tujukan kepada orang yang di hormati dan di segani saja.

d. Belum di dahului oleh undangan lain.

e. Tidak ada kemungkaran dan hal-hallain yang menghalangi kehadiran nya

f. Yang di undang tidak ada unsur syari.


Memperhatikan syarat-syarat tersebut,jelas bahwa apabila walimah dalam pesta perkawinan
hanya mengundang orang-orang kaya saja,maka hukum nya adalah makruh.

Nabi saw bersabda :

)(
Artinya :Sejelek jelek nya makanan adalah makanan yang mengundang orang-orang kaya,tetapi
meninggalkan orang-orang miskin.

J. Hikmah Walimah
Di adakannya walimah dalam pesta perkawinan mempunyai beberapa hikmah yaitu antara lain
sebagai berikut :

1. Merupakan rasa syukur kepada Allah swt.

2. Tanda penyerahan anak gadis kepada pihak keluarga suami.

3. Sebagai tanda resmi nya ada nya akad nikah.

4. Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami istri.

5. Sebagai realisasi arti sosiologi dari akad nikah.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon
suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.Atau suatu
pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun
jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).

Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari
maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya.
Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya
kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.

Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar
kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian.

Walimah berasal dari bahasa arab yang artinya makanan pengantin. Maksud nya adalah
makanan yang di sediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Menurut kesepakatan para
ulama bahwa mengadakan walimah itu hukum nya sunah muakkad dan hukum mendatangi
undangan walimah adalah wajib apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Tidak ada uzur syari.

b. Dalam walimah itu tidak ada unsur perbuatan munkar.

c. Yang di undang baik dari keluarga orang kaya mau pun orang miskin.

Adapun dalam pelaksanaan walimah tersebut terdapat beberapa hikmah yang terkandung yakni
sebagai berikut :

1. Merupakan rasa syukur kepada Allah swt.

2. Tanda penyerahan anak gadis kepada pihak keluarga laki-laki.

3. Sebagai tanda resmi nya hubungan suami istri .


4. Sebagai tanda memulai hidup baru.

5. Sebagai realisasi arti sosiologi dari akad nikah.

B. Saran
Adapun yang menjadi saran dalam penulisan makalah ini yaitu penyusun menyadari bahwa
penyusun hanyalah manusia biasa yang tidak pernah luput dari sifat khilaf, salah dan dosa. Oleh
karenanya penyusun mengharapkan saran dan kritik dari pembaca apabila terdapat kekeliruan dalam
memberikan penjelasan materi mengenai Fiqh Munakahat ini.
DAFTAR PUSTAKA

Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1994),
hlm. 81.

Lihat Kamus Istilah Fiqh, hlm. 184. Lihat Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Fiqh (Jakarta: Depag RI, 1985)
Jilid 3, hlm. 83. Lihat pula H. Abdurrahman Ghazali, Fiqih Munakahat (Jakarta, Prenada Media,
2003), hlm. 84

Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ala Madzahib al-Arbaah, juz 4, hlm. 94

Hasbi Ash-Shiddieqi, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1989),
hlm. 119

Ibid.

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal. 38

Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit., hlm. 103

Kamal Muhktar, Op.Cit., hlm. 82

Ibid, hlm. 83

H. Abd. Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 88-89

Ibid.

Bandingkan dengan Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid, (Beirut: Dar
al-Fikr,t.t.), Juz 2, hlm. 14-15

M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 185.

Hasbi Ash-Shiddieqi, Al-Quran dan Terjemahnya, Op.Cit,. hlm. 119


Abd. Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 93

M. Abdul Mujib dkk, Op.Cit., hlm. 185; H. Abd.Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 93

Abidin. Slamet. 1999. fiqih munakahat. Semarang : Cv pustaka setia.

Iskandar. Slamet. Fiqih munakahat. Semakarang. IAIN walisongo

Slamet abidin, fiqih munakahat. (Bandung : Cv pustaka setia. 1999) hal : 149

Ibid. hal. 153.

Anda mungkin juga menyukai