BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pekerja anak telah lama menjadi isu publik, dan telah lama pula terbangun komitmen
global untuk mengatasi masalah tersebut. Sejak tahun 1919, ILO telah mengadopsi lebih dari
15 konvensi yang menyangkut atau relevan dengan permasalahan pekerja anak. Diantara
konvensi-konvensi tersebut, konvensi komprehensif yang sangat relevan dengan masalah
pekerja anak adalah Konvensi No: 138/1973 mengenai batasan usia minimum untuk bekerja
(minimum admission to work) dan Konvensi No: 182/1999 mengenai bentuk-bentuk terburuk
pekerja anak (worst forms of child labour).
Indonesia adalah salah satu negara pertama yang terpilih untuk ikut dalam Program
Penghapusan Buruh Anak-Anak Internasional (IPEC), dan menandatangani sebuah nota
kesepahaman dengan ILO pada 1992 untuk memimpin kerja sama di bawah program ini.
Pemerintah dan ILO menandatangani sebuah nota lain mengenai buruh anak-anak pada Maret
1997 yang mengikat mereka dalam kesepakatan untuk memajukan persyaratan yang
memungkinkan pemerintah melindungi buruh anak-anak dan secara bertahap melarang,
membatasi dan mengatur buruh anak-anak dengan tujuan akhir menghapuskannya. Pada
Bulan Desember Menteri Tenaga Kerja ketika itu, Fahmi Idris, menandatangani sebuah nota
minat, disaksikan Presiden Habibie dan direktur ILO di Jakarta, yang mewajibkan pemerintah
untuk meratifikasi konvensi ILO tentang usia buruh minimum paling lambat Juni 1999.
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menentukan bahwa
setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang sehingga orang tua dilarang
menelantarkan anaknya. Orang tua dapat dikenakan sanksi hukuman kurungan yang cukup
berat, termasuk perusahaan, jika mempekerjakan anak di bawah umur.
Sementara itu pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara melalui Perda No.9 Tahun
2004 telah mencanangkan daerahnya sebagai Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA), dengan
menentukan target-target pencapaian waktu (time limit) bahwa tahun 2007 tidak akan lagi
pekerja anak di bawah usia 15 tahun, dan anak-anak sampai batas usia tersebut telah
memperoleh wajib belajar 9 tahun. Pada akhir lima tahun kedua (2112), anak di bawah usia
18 tahun sepenuhnya harus telah memperoleh wajib belajar 12 tahun.
Pertanyaan yang perlu di bahas dalam hal ini adalah apakah target-target yang dicanangkan
oleh Kukar dapat tercapai, dan bagaimana mencapainya? Bagaimana menjamin agar
pencapaian target ZBPA memberi implikasi pada kesejahteraan dan masa depan anak, bukan
sebaliknya? Jika ZBPA menjadi model untuk diterapkan di daerah-daerah lain di Indonesia,
mampukan daerah-daerah tersebut mencapainya? Jika pun mampu, apakah perlu?
Perlu diketahui, negara-negara maju yang telah lama mengalami industrialisasi dan mencapai
kesejahteraan sosial dan ekonomi yang tinggi hingga sekarang belum sepenuhnya terbebas
dari masalah pekerja anak (White, 1994).
Indonesia, yang hingga sekarang masih dililit oleh krisis ekonomi, angka kemiskinan
yang tinggi, proporsi penduduk yang bekerja di pertanian yang juga masih tinggi, dan aspirasi
pendidikan yang masih rendah di kalangan penduduk miskin, mempunyai tantangan yang
lebih berat untuk mengeluarkan anak dari dunia kerja. Jika pemerintah bersikeras untuk
membebaskan anak dari seluruh bentuk pekerjaan, menjadi pertanyaan apakah hal itu
menguntungkan bagi masa depan anak?
Gagasan membebaskan anak dari pekerjaan didasarkan pada asumsi bahwa pekerja
anak rentan mengalami eksploitasi, marginalisasi, kekerasan, dan terancam mengalami
gangguan fisik dan mental. Namun dalam kenyataannya tidak semua pekerjaan anak
berbahaya, dan tidak semua anak mengalami akibat buruk seperti yang digambarkan di atas.
Jika begitu, apakah solusinya adalah melarang mempekerjakan anak untuk semua kasus, atau
hanya melarang mempekerjakan anak sejauh pekerjaan tersebut berbahaya bagi anak dan
membuat aturan agar pekerja anak terlindung dari risiko buruk? Alasan lain untuk melarang
anak bekerja adalah karena pekerjaan dapat mengganggu anak dalam belajar. Banyak anak
drop out dari sekolah atau prestasi belajarnya berkurang karena bekerja. Jika begitu, apakah
solusinya harus melarang anak sekolah bekerja atau model pendidikanlah yang seharusnya
disesuaikan agar sesuai dengan situasi dan kebutuhan pekerja anak?
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Ayat (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan
hukuman.
Pasal 14 Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada
alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Pasal 15 Setiap anak
berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
Pelibatan dalam sengketa bersenjata;
Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
Pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16 Ayat (1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Ayat (2) Setiap
anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Ayat (3) Penangkapan,
penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum
yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17 Ayat (1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku; dan
Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
Ayat (2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18 Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Pasal 19 Setiap anak berkewajiban untuk :
Menghormati orang tua, wali, dan guru;
Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
b. Pendidikan
` Biaya pendidikan Dasar juga menjadi sebab dari anak untuk bekerja. Penelitian di NTT
oleh Daliyo tahun 1996 menemukan bahwa lebih dari separoh anak yang disurvai telah
bekerja sambil sekolah. Sementara itu penghapusan SPP belum terbukti membantu
masyarakat yang miskin. Biaya untuk seragam, transport, buku, dan lain-lain masih
dipandang cukup tinggi. Kenyataan ini mendorong orang tua untuk mempertimbangkan
kesempatan ekonomis yang hilang bila anak tetap di bangku sekolah, dan memilih untuk
meminta anak bekerja.
Partisipasi sekolah mempunyai hubungan resiprokal dengan status pekerjaan anak. Anak
yang gagal dalam pendidikan (drop out) lebih terdorong untuk bekerja, dan sebaliknya anak
yang bekerja sambil sekolah cenderung menurun prestasinya, atau mudah mengalami drop
out (Suyanto dan Mashud, 2000: 22). Dengan demikian, mahalnya biaya pendidikan
menempatkan anak dalam posisi yang dilematis. Anak yang masih berminat sekolah tetapi
orang tuanya tidak mampu membiayai akan memaksa anak itu untuk bekerja. Sementara itu,
kesibukan bekerja akan membuat anak tersebut terganggu prestasi belajarnya, terpaksa
mbolos dari kelas, dan pada akhirnya terpaksa drop-out. Sementara itu kemampuan
pemerintah untuk menutupi ongkos pendidikan di luar SPP membuat anak tidak mempunyai
pilihan lain kecuali harus bekerja. Ini berarti, arah solusi dari masalah pekerja anak,
salahsatunya terdapat pada sektor pendidikan, yaitu bagaimana membuat anak terbebas dari
biaya pendidikan, dan jika hal tersebut tidak mungkin, bagaimana membuat sistem
pendidikan lebih mengakomodasi kondisi anak yang terpaksa harus sekolah sambil bekerja.
c. Penetrasi Pasar
Pasarisasi atau penetrasi kapitalisme global ke dalam perekenomian nasional dan daerah
menjadi faktor penting yang ikut memacu tumbuhnya pekerja anak. Dalam situasi
perdagangan internasional yang sangat kompetitif, anak dipandang sebagai suatu jalan keluar
untuk menekan ongkos produksi. Pengurangan ongkos melalui sistem borongan di rumah
kerja (putting-out system) atau melibatkan anak yang digaji rendah dan tanpa jaminan sosial
dalam proses produksi merupakan cara yang lebih mudah dalam memenangkan persaingan,
ketimbang melalui peningkatan efisiensi kerja, penggunaan mesin atau pengembangan
strategi manajemen yang lebih efisien. (Irwanto, 1996: 53).
Kecenderungan anak merespon kecenderungan pasar dengan masuk sebagai tenaga kerja
tidak seluruhnya dianggap negatif oleh para ahli pekerja anak. White bahkan melihat bahwa
mempermasalahkan anak yang bekerja di sektor formal lebih bias kepada perspektif pihak
intervensi, yang seringkali bertentangan dengan perspektif anak itu sendiri. White (1994:3)
menunjukkan adanya kontroversi antara pihak intervensi (pemerintah atau pengambil
kebijakan) dengan anak. Pekerjaan bergaji di sektor industri, pertambangan, atau pengolahan
kayu, dan sebagainya yang dianggap oleh pihak intervensi (pengambil kebijakan) sebagai
pekerjaan yang bermasalah atau tidak layak dikerjakan anak, dari sisi anak acapkali justru
lebih diinginkan atau sebagai pemecahan masalah. Sementara itu pekerjaan reproduktif yang
tidak memberi keuntungan materi langsung yang dianggap oleh pihak intervensi sebagai
tidak bermasalah, dari perspektif anak justru dianggap bermasalah. Upaya untuk
mengeluarkan anak dari pekerjaan di sektor formal ini justru dianggap counter productive.
Kontroversi antara dua pandangan yang berseberangan ini akan memberi arah bagaimana
masalah pekerja anak harus diatasi.
Daftar Kepustakaan
Embassy of the United States of America, Jakarta of Indonesia. Laporan Amerika
Serikat tentang Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 1998.
Hartiningsih, Maria. Pekerja Anak, Tragedi Induestrialisasi. Kompas Online,
Selasa, 28 Oktober 1997.
Irwanto, Kajian Literatur dan Penelitian Mengenai Pekerja Anak Sejak
Pengembangan Rencana Kerja IPEC 1993. Proceeding Konferensi Nasional II Masalah
Pekerja Anak di Indonesia, Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, 24-26 Juli 1996, hlm 43-
Proceeding Konferensi Nasional II Masalah Pekerja Anak di Indonesia, Wisma Kinasih,
Caringin, Bogor, 24-26 Juli 1996, hlm. 54.
Irwanto. Studies of Chile Labour in Indonesia: 1993-1996. Jakarta: International
Programme on the Elimination of Child Labour (IPEC), ILO, 1997.
Mada, Wientor Rah. Wisata dan Eksploitasi Anak. Pikiran Rakyat. Senin, 15
Desember 2003.
Mutia, Narila. ILO: Kondisi Pekerja Anak di Indonesia Buruk. Tempo Interaktif, 8
Juli 2003.
Silalahi, Levi. Studi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Terhadap Jenis-
Jenis Pekerjaan Berbahaya untuk Pekerja Anak-Anak. Tempo Interaktif, Minggu, 13 Juni
2004.
Sumantri, Priyono. Penilaian Atas Program Aksi Nasional dan Pekerja Anak Sejak
Tahun 1993. Proceeding Konferensi Nasional II Masalah Pekerja Anak di Indonesia,
Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, 24-26 Juli 1996, hlm.31-41.
Supenti, Titin. Data Analisis: Perkembangan Pekerja Anak Tahun 2002-2003,
Warta Ketenagakerjaan. Jumat, 2 Juni 2006.
Suyanto, Bagong & Sri Sanituti Hariadi. Pekerja Anak: Masalah, Kebijakan dan
Upaya Penanganannya. Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2000.
Tjandraningsih, Indrasari. Pemberdayaan Pekerja Anak: Studi Mengenai
Pendampingan Pekerja Anak. Bandung: Akatiga, 1995.
White, Benjamin. Children, Work and Child Labour: Changing Responses to the
Employment of Chuldren. Development & Change, Vol. 25, October 1994.
White, Benjamin. Perubahan Keterlibatan Anak dalam Pendidikan & Kerja: Analisis
Tiga Generasi. Seminar bulanan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas
Gadjah Mada, Kamis, 17 April 2003.
Pasal 1 ayat (2) UU no 13 tahun 2003
Pasal 1 ayat (1)UU Nno 23 tahun 2002
Pasal 1 ayat (1) Konvensi tentang Hak-hak Anak (KHA) Disetujui oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989.
UUD 1945 Pasal 28B Ayat 2
Supriyadi W. Eddyono, Pengantar Konvensi Hak Anak, Makalah Disampaikan Dalam
Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 200.Hal 2
Muhammad Joni, Hak-hak Anak Dalam UU Perlindungan Anak Dan Konvensi PBB
Tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum
Keluarga,http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/MAKALAH%20HAK%20ANAK
%20DALAM%20UU.pdf akses 02 Oktober 2010
Laporan UNICEF tahun 1995 dalam 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak, dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hal 1
Absori, Perlindungan Hukum Hak-hak Anak dan Implementasinya di Indonesia Pada
Era Otonomi Daerahhttp://eprints.ums.ac.id/349/1/5._absori.pdf, akses tgl 01 oktober 2010