Anda di halaman 1dari 18

Senin, 19 Agustus 2013

Pekerja Anak di Bawah Umur

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pekerja anak telah lama menjadi isu publik, dan telah lama pula terbangun komitmen
global untuk mengatasi masalah tersebut. Sejak tahun 1919, ILO telah mengadopsi lebih dari
15 konvensi yang menyangkut atau relevan dengan permasalahan pekerja anak. Diantara
konvensi-konvensi tersebut, konvensi komprehensif yang sangat relevan dengan masalah
pekerja anak adalah Konvensi No: 138/1973 mengenai batasan usia minimum untuk bekerja
(minimum admission to work) dan Konvensi No: 182/1999 mengenai bentuk-bentuk terburuk
pekerja anak (worst forms of child labour).
Indonesia adalah salah satu negara pertama yang terpilih untuk ikut dalam Program
Penghapusan Buruh Anak-Anak Internasional (IPEC), dan menandatangani sebuah nota
kesepahaman dengan ILO pada 1992 untuk memimpin kerja sama di bawah program ini.
Pemerintah dan ILO menandatangani sebuah nota lain mengenai buruh anak-anak pada Maret
1997 yang mengikat mereka dalam kesepakatan untuk memajukan persyaratan yang
memungkinkan pemerintah melindungi buruh anak-anak dan secara bertahap melarang,
membatasi dan mengatur buruh anak-anak dengan tujuan akhir menghapuskannya. Pada
Bulan Desember Menteri Tenaga Kerja ketika itu, Fahmi Idris, menandatangani sebuah nota
minat, disaksikan Presiden Habibie dan direktur ILO di Jakarta, yang mewajibkan pemerintah
untuk meratifikasi konvensi ILO tentang usia buruh minimum paling lambat Juni 1999.
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menentukan bahwa
setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang sehingga orang tua dilarang
menelantarkan anaknya. Orang tua dapat dikenakan sanksi hukuman kurungan yang cukup
berat, termasuk perusahaan, jika mempekerjakan anak di bawah umur.
Sementara itu pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara melalui Perda No.9 Tahun
2004 telah mencanangkan daerahnya sebagai Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA), dengan
menentukan target-target pencapaian waktu (time limit) bahwa tahun 2007 tidak akan lagi
pekerja anak di bawah usia 15 tahun, dan anak-anak sampai batas usia tersebut telah
memperoleh wajib belajar 9 tahun. Pada akhir lima tahun kedua (2112), anak di bawah usia
18 tahun sepenuhnya harus telah memperoleh wajib belajar 12 tahun.
Pertanyaan yang perlu di bahas dalam hal ini adalah apakah target-target yang dicanangkan
oleh Kukar dapat tercapai, dan bagaimana mencapainya? Bagaimana menjamin agar
pencapaian target ZBPA memberi implikasi pada kesejahteraan dan masa depan anak, bukan
sebaliknya? Jika ZBPA menjadi model untuk diterapkan di daerah-daerah lain di Indonesia,
mampukan daerah-daerah tersebut mencapainya? Jika pun mampu, apakah perlu?
Perlu diketahui, negara-negara maju yang telah lama mengalami industrialisasi dan mencapai
kesejahteraan sosial dan ekonomi yang tinggi hingga sekarang belum sepenuhnya terbebas
dari masalah pekerja anak (White, 1994).
Indonesia, yang hingga sekarang masih dililit oleh krisis ekonomi, angka kemiskinan
yang tinggi, proporsi penduduk yang bekerja di pertanian yang juga masih tinggi, dan aspirasi
pendidikan yang masih rendah di kalangan penduduk miskin, mempunyai tantangan yang
lebih berat untuk mengeluarkan anak dari dunia kerja. Jika pemerintah bersikeras untuk
membebaskan anak dari seluruh bentuk pekerjaan, menjadi pertanyaan apakah hal itu
menguntungkan bagi masa depan anak?
Gagasan membebaskan anak dari pekerjaan didasarkan pada asumsi bahwa pekerja
anak rentan mengalami eksploitasi, marginalisasi, kekerasan, dan terancam mengalami
gangguan fisik dan mental. Namun dalam kenyataannya tidak semua pekerjaan anak
berbahaya, dan tidak semua anak mengalami akibat buruk seperti yang digambarkan di atas.
Jika begitu, apakah solusinya adalah melarang mempekerjakan anak untuk semua kasus, atau
hanya melarang mempekerjakan anak sejauh pekerjaan tersebut berbahaya bagi anak dan
membuat aturan agar pekerja anak terlindung dari risiko buruk? Alasan lain untuk melarang
anak bekerja adalah karena pekerjaan dapat mengganggu anak dalam belajar. Banyak anak
drop out dari sekolah atau prestasi belajarnya berkurang karena bekerja. Jika begitu, apakah
solusinya harus melarang anak sekolah bekerja atau model pendidikanlah yang seharusnya
disesuaikan agar sesuai dengan situasi dan kebutuhan pekerja anak?

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Hak-hak Anak


Anak merupakan generasi muda dan tumpuan harapan bangsa kata-kata ini cukup
sangat memberikan kita pemahaman bahwa penerus cita-cita bangsa ini teletak pada mereka
yang merupakan sumber daya manusaia (SDM) yang harus dikembangkan,dilindungi dan
diberi hak-haknya. Oleh karena itu dalam rangka menciptakan sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas baik secara fisik, mental, moral dibutuhkan pembinaan dan pembimbingan
secara mendalam dan terus-menerus tanpa mengabaikan hak-hak mereka sebagai anak.
Didalam Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja
disebutkan pngertian anak yaitu :Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18
(delapan belas) tahun.
Dan didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak yang berbunyi : Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Berangkat dari dua pengertian tentang anak diatas menunjukkan bahwa yang
dimaksud dengan anak adalah seseorang yang umurnya belum mencapai 18 tahun. Dalam
konvensi hak anak atau yang lebih dikenal dengan KHA juga dijelaskan bahwaUntuk
tujuan-tujuan Konvensi ini, seorang anak berarti setiap manusia di bawah umur delapan belas
tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih
awal. Sehingga dalam kondisi apapun dan dengan alasan apapun anak yang diawah umur 18
(delapan belas) tahun, harus mendapatkan hak-hak mereka sepenuhnya.
Dalam konstitusi kita (UUD 1945) juga dijelaskan bahwa setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi. Maka dapat dipastikan bahwa anak mempunyai hak konstitusional dan
negara wajib menjamin serta melindungi pemenuhan hak anak yang merupakan hak asasi
manusia (HAM). Berbicara masalah diskriminasi hal ini cukup rentan terjadi dilakalangan
anak-anak, hal ini terbukti banyaknya kasus mengenai ekploitasi anak. Dalam konvensi hak
anak disebutkan ada empat prinsip dasar yang kemudian menjadi serapan dari UU no
23/2002 yaitu: a. Prinsip non-diskriminasi. Artinya semua hak yang diakui dan terkandung
dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun.
Prinsip ini tertuang dalam Pasal 2 Konvensi Hak Anak, b. Prinsip yang terbaik bagi anak
(best interest of the child).Yaitu bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau badan legislatif.
Maka dari itu, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama
(Pasal 3 ayat 1).Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang
mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan.
Prinsip ini tertang dalam Pasal 12 ayat 1 Konvensi Hak Anak, c. Prinsip atas hak hidup,
kelangsungan dan perkembangan (the rights to life, survival and development). Yakni bahwa
negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas
kehidupan (Pasal 6 ayat 1). Disebutkan juga bahwanegara-negara peserta akan menjamin
sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6 ayat 2). d.
Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child).Maksudnya
bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya,
perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Prinsip ini tertang dalam Pasal 12
ayat 1 Konvensi Hak Anak.
Didalam Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak ditegaskan hal-hal yang terkait dengan hak-hak anak diatur dalam pasal
4,5,6,7,8,,10,11,12,13,14,15,16,17,18,19 anatara lain berbunyi; Pasal 4 Setiap anak berhak
untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5 Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 6 Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7 ayat (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan
diasuh oleh orang tuanya sendiri. Ayat (2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak
dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak
tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8 Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Pasal 9 Ayat (1) Setiap anak
berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Ayat (2) Selain hak anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak
memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga
berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10 Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Pasal 11 Setiap
anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang
sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12 Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Pasal 13 ayat (1) Setiap anak
selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab
atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
Diskriminasi;
Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
Penelantaran;
Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
Ketidakadilan; dan
Perlakuan salah lainnya.

Ayat (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan
hukuman.
Pasal 14 Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada
alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Pasal 15 Setiap anak
berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
Pelibatan dalam sengketa bersenjata;
Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
Pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16 Ayat (1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Ayat (2) Setiap
anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Ayat (3) Penangkapan,
penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum
yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17 Ayat (1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku; dan
Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
Ayat (2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18 Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Pasal 19 Setiap anak berkewajiban untuk :
Menghormati orang tua, wali, dan guru;
Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Didalam preambul atau mukadimah KHA di kemukakan bagaimana latar belakang


dan landasan filosofis hak-hak anak. Mukadimah KHA mengingatkan kembali pada prinsip-
prinsip dasar PBB dan ketentuan khusus beberapa traktat dan pernyataan mengenai hak azasi
manusia yang relevan. Mukaddimah KHA juga menegaskan kembali fakta bahwa anak-anak,
berhubung kondisi mereka yang rentan membutuhkan pengasuhan dan perlindungan khusus.
Dalam sustansi atau materi KHA dideskripsikan secara detil, menyeluruh (holistik) dan maju
(progresif) mengenai apa saja yang merupakan hak-hak anak. Materi substantif hak anak
dalam KHA dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori, yaitu:
1. Hak terhadap Kelangsungan Hidup (survival rights), yaitu hak-hak anak dalam Kovensi Hak
Anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the rights of
life) dan hak untuk memperoleh standard kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-
baiknya (the rights to higest standart of health and medical care attaniable).
2. Hak terhadap Perlindungan (protection rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak
Anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan penerlantaran
bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.
3. Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvebsi Hak
Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk
mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spritual, moral dan
sosial anak.
4. Hak untuk Berpatisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak
Anak yang meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segalla hal mempengaruhi
ana (the rights of a child to express her/his views in all metter affecting that child ).6
Sebagaimana dilansir diatas dapat dipahami bahwa anak juga memiliki hak
sebagaimana haknya orang dewasa, fakta ini yang kurang diperhatikan oleh masyarakat
bahkan pemerintah selaku pemegang kekuasaan dalam sebuah negera. Yang lebih
menyedihkan bagi masa depan anak adalah kurangnya kesadaran para orang tua akan masa
depan anak mereka. Di indonesia pelanggaran hak anak sudah menjadi pemberitaan yang
lazim, bahkan sudah menjadi pemandangan yang tidak dapat dielakan lagi.
Banyak kita medengar dipemberitaan bahkan melihat sendiri kasus-kasus yang
mengabaikan hak-hak mereka selaku anak, seperti kekerasan terhadap anak, ekploitasi anak
dan memperkerjakan anak diawah umur yang sudah ditentukan oleh UU,dan dewasa ini
banyak anak-anak yang yang diikutsertakan dalam kampanye politik yang mereka tidak
mengerti apapun tentang politik. Bahkan dibelahan dunia lain masih banyak anak yang
mejadi korban dari ekploitasi hak-hak anak, menjadi pekerja seks dan menjadi korban perang.
Menurut data yang dikeluarkan UNICEF tahun 1995, diketahui bahwa dalam kurun waktu
sepuluh tahun terakhir, hampir 2 juta nak-anak tewas, dan 4-5 juta anak-anak cacat hidup
akibat perang. i beberapa negara, seperti Uganda, Myanmar, Ethiopia, Afghanistan an
Guatemala, anak-anak dijadikan peserta tempur combatan) dengan dikenakan wajib militer.
Semua terjadi akibat dahsyatan mesin perang yang diproduksi negara-negara industri, ang
pada akhirnya membawa penderitaan bukan hanya dalam angka pendek, tetapi juga berakibat
pada jangka panjang yang enyangkut masa depan pembangunan bangsa dan negara.

B. Definisi Pekerja Anak


Secara umum pekerja atau buruh anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan
secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain atau untuk dirinya sendiri yang
membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak (Suyanto,
2003:3). Sementara itu, batasan usia anak ternyata cukup variatif. UU Nomor 25/1997
tentang Ketenagakerjaan ayat 20 menyebutkan bahwa yang dimaksud anak adalah orang laki-
laki atau perempuan yang berumur kurang dari 15 tahun. BPS dalam penyajian data statistik
membatasi pekerja anak sebagai penduduk yang berumur 10-14 tahun. Sementara itu, ILO
memberi batasan pekerja anak lebih luas, yaitu pekerja yang berumur di bawah 18 tahun.
Dengan definisi anak sebagai penduduk usia 10-14 tahun, pada tahun 2003 Indonesia
memiliki 566,5 ribu pekerja anak atau 2,8 persen terhadap total anak pada usia tersebut.
Angka ini lebih rendah dibanding tahun 2001, yaitu sebanyak 948,7 jiwa (4,6 persen).
Jika dipisahkan antara daerah perdesaan dan perkotaan, terlihat bahwa proporsi
pekerjaan anak lebih tinggi di perdesaan. Namun di keduanya, terjadi penurunan proporsi
pekerja anak secara konsisten. Penurunan jumlah pekerja anak juga terjadi di Kutai
Kartanegara. Pada tahun 2000 jumlah pekerja anak adalah sebesar 11.632 anak. Angka ini
turun menjadi 3.012 anak pada tahun 2005. Namun perlu dicatat bahwa angka pekerja anak
yang terdata dalam survai BPS tidak mencerminkan seluruh pekerja anak. Seperti yang
dikatakan demograf Terence H. Hull (dikutip Irwanto, 1996:47): menggambarkan bahwa
membaca statistik angkatan kerja di Indonesia sama seperti menonton wayang kulit.
Kita hanya dapat melihat bayang-bayang di balik layar yang merupakan representasi
suatu realitas yang telah didistorsi. Statistik angkatan kerja kita diperoleh berdasarkan suatu
definisi yang relevan bagi negara-negara di Eropa dalam era revolusi Industri dan upaya kelas
pekerja untuk mengontrol pemerintahan, terutama pada tahun 1930an di mana kelas pekerja
(working class) sedang berkembang dengan pesat. Indonesia yang berkembang secara
ekonomi saat ini mempunyai setting yang berbeda dengan negara-negara tersebut, terutama
karena banyaknya individu yang bekerja di sektor informal sehingga tenaga wanita dan anak
kurang diwakili dalam statistik.
Anak-anak yang bekerja membantu orang tua di sawah, anak yang bekerja sebagai
pembantu rumah tangga, anak yang dilacurkan, anak yang menjadi pengedar narkoba, atau
anak jalanan, besar kemungkinan tidak tercermin dalam survai. Mereka yang bekerja di
sektor-sektor tersebut sangat boleh jadi jumlahnya lebih besar, sehingga tren penurunan
pekerja anak seperti yang dikemukakan di atas belum tentu mencerminkan realitas.
Dalam konteks eliminasi pekerja anak, pada umumnya, fokus perhatian dari para
pengambil kebijakan tidak pada seluruh jenis pekerjaan, tetapi lebih kepada pekerjaan yang
bersifat produktif, di luar rumah atau untuk orang lain, dibayar, skala besar, dan sebagai
pengganti sekolah. Sementara itu pekerjaan yang bersifat reproduktif, di rumah atau untuk
orang tua, tidak dibayar, skala kecil, dan sambil sekolah, tidak dianggap sebagai masalah,
sehingga keluar dari pengertian pekerja anak.
Lebih jauh lagi, meskipun penghapusan pekerja anak dijadikan sebagai tujuan jangka
panjang, dalam jangka dekat upaya eliminasi pekerja anak lebih dofokuskan pada bentuk-
bentuk pekerjaan yang memberi dampak buruk pada anak. Program IPEC/ILO, misalnya,
memberi penekanan pada anak yang mengalami situasi-situasi sebagai berikut (Putranto,
1994): Anak-anak yang dalam bekerja telah dirampas hak-haknya sebagai pribadi. Ini dikenal
sebagai bounded labour. Dalam kasus ini, anak tidak memperoleh upah dan dikerjakan secara
paksa.
Anak-anak yang bekerja di bawah tekanan yang sangat kuat, walau upah masih
diberikan. Tipe pekerjaan ini dapat ditemui dalam kasus anak yang bekerja pada jermal-
jermal liar di Sumatra Utara atau anak-anak yang dilacurkan. Anak-anak yang bekerja pada
pekerjaan berbahaya, baik bagi keselamatan jiwa maupun kesehatan fisik dan mentalnya.
Berbagai kasus anak yang bekerja di berbagai tempat pembuangan sampah atau di
pertambangan telah menjadi prioritas IPEC di Indonesia. Anak-anak yang bekerja pada usia
yang masih sangat muda, di bawah 12 tahun. Jumlah mereka tidak mudah untuk diperkirakan
karena tidak tercantum dalam statistik angkatan kerja dan sering tidak dilaporkan (Irwanto,
1996:52).

C. Pekerja anak dibawah umur menurut hukum positif


Sebagaimana yang paparkan diatas bahwa yang dimaksud dengan anak adalah
seseorang yang umurnya dibawah 18 (delapan belas) tahun. Sehingga anak yang dibawah
umur 18 (delapan belas) tahun tidak dapat dkatakan cakap hukum dan perbuatan yang
dilakukuannya belum mencapai kriteria perbuatan atau tindakan hukum. Dalam dunia kerja
tentunya harus ada tindakan hukum yang dilakukan berupa perjanjian atau kontrak kerja.
Dalam hukum privat pengertian perjanjian dapat kita pahami bahwa : Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih. Dari pengertian diatas dapat kita tarik benang merah
bahwa dalam sebuah perjanjian melahirkan perbuatan atau lebih tepatnya perbuatan atau
tindakan hukum dengan satu orang atau lebih karena perbuatan tersebut membawa akibat
hukum bagi para pihak yang memperjanjikandan selnjutnya mempunyai ikatan dengan satu
orang atau lebih tersebut karena di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh
pihak yang satu kepadapihak yang lain.
Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena
kehendaknya sendiri. Hal ini bila disadingkan dengan pekerja anak dibawah umur tentunya
melanggar ketentuan yang ada kerana dalam sebuah perjajijan ada syarat-syarat yang harus
dipenuhi sebagamana tertera dalam KUH Perdata Pasal 1320 sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kata sepakat harus bener bener dilandasi
dengan kesadaran penuh seseorang untuk melakukan perjanjian, sehingga tdak ada
keterpaksaan satu sama lain yang aka merugikan satu sama lainnya. Karena tiada sepakat
yang sah apabila diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan dan
penipuan ( Pasal 1321 KUH Perdata) adanya penipuan yang tidak hanya mengenai
kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 KUH Perdata). Terhadap perjanjian
yang dibuat atas dasar sepakat berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan
pembatalan.
2. Cakap untuk membuat perikatan; kata cakap dapat dikatakan sudah memenuhi prsyaratan
untuk berbuat tindakan hukum dalam Pasal 1330 KUH Perdata menentukan yang tidak cakap
untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada
umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian
perjanjian tertentu.
3. Suatu hal tertentu.dalam hal ini Sesuatu yang diperjanjikan haruslah suatu hal atau barang
yang cukup jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini
penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah
timbulnya kontrak fiktif.
4. Suatu sebab atau causa yang halal. Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat
perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang.
Dari pemaparan diatas sebuah konsep ideal dari sebuah aturan sudah cukup menjamin
akan hak-ahak anak dalam mengembangkan diri mereka, namun yang menjadi problema
detik ini belum sepenuhnya terealisasi dan bahkan ironisnya pekerja anak belakangan ini
memang sudah menjadi pemandangan yang lazim dilihat, dari perusahaan yang bergerak
dibidang industri hingga warung-warung dan toko-toko kecil sekalipun.
Namun meskipun sudah ada UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tetap
saja pekerja anak berkeliaran dimana-mana. Dalam UU itu dikatakan bahwa setiap anak
memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang sehingga orangtua dilarang menelantarkan
anaknya. Kalau dilanggar akan dikenakan sanksi hukuman termasuk perusahaan yang
mempekerjakan anak di bawah umur. Di sisi lain dalam UU No 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan disebutkan bahwa anak-anak boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat
izin orang tua dan bekerja maksimum tiga jam seharinya. Namun kenyataannya penerapan
semua UU itu tidak berjalan semestinya. Tetap saja pekerja anak berlangsung dimana-mana.
Bahkan ironisnya ada sebagian mereka yang bekerja menjadi pemuas nafsu laki-laki hidung
belang.
Didalam UU Tentang Tenaga Kerja kita dijelaskan bahwa: Pengusaha dilarang
mempekerjakan anak. Dalam keadaan apapun dan dengan alasan apapun pengusaha tidak
oleh mempekerjakan anak dibawah umur. Namun dalam upaya untuk memberikan
pendidikan dan pelatihan pengusaha boleh mempekerjakan anak-anak dengan ketentua yang
berlaku sebagaimana dijelaskan dalam Undang Undang Republik Indonesia No.13 Tahun
2003 Tentang Tenaga Kerja dari pasal 68 ,69 ,70 ,71 ,72 ,73 ,74, 75 yang berbunyi:
Pasal 68 Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Pasal 69 Ayat (1) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13
(tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan
sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Ayat (2)
Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagai-mana dimaksud dalam
ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
Izin tertulis dari orang tua atau wali;
Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
Keselamatan dan kesehatan kerja;
Adanya hubungan kerja yang jelas; dan
Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ayat (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g
dikecualikanbagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.
Pasal 70 Ayat (1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan
bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
Ayat (2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas)
tahun. (3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :
Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan
pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal 71 Ayat (1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan
minatnya. Ayat (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajibmemenuhi syarat :
Dibawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
Waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan
waktu sekolah.
(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 72 Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa,
maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. Pasal 73
Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Pasal 74 (1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-
pekerjaan yang terburuk. (2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat
(1) meliputi :
Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran,
produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan
perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau
Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral
anak sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 75 Ayat(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak
yang bekerja di luar hubungan kerja. Ayat (2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam upaya-upaya pengembangan bakat sebagaimana dijelaskan dalam UU diatas
merupakan bentuk persiapan mental anak-anak agar tidak kaget dalam menempuh dunia kerja
kedepannya. Yang perlu dipahami bahwa semua yang dapat dilakukan dalam konteks
pengembangan diri mereka. Dan sebagian para orang tua beranggapan bahwa memberikan
pekerjaan kepada anak-anak mereka merupakan proses belajar, belajar untuk menghargai
pekerjaaan dan belajar untuk bertanggung jawab, mereka jga berharap anak-anak mereka apat
membantu meringankan beban mereka selaku orang tua.
Selama masih dalam kondisi wajar dan sesuai dengan ketentuan UU kita hal tersebut
sah-sah saja. Namun sebagian orang tua memberi pekerjaan yang diluar kemampuannya dan
menghilangkan kesempatan kepada anak-anak untuk mengembangkan diri. Keadaan seperti
ini terkadang memberikan dampak yang cukup signifikan pada perkembangan psikologis
anak dan mental yang dibangun. Tidak banyak keadaan seperti ini membuat anak menjadi
brutal, terbelakang mental, krisis moral.
Disadari ataupun tidak terdapat banyak ketentuan perundang-undangan yang
mengatur perlindungan terhadap anak yang telah dilanggar oleh para pelaku, baik orang tua
anak dan pengusaha yang telah mempekerjakan anak dibawah umur seperti Pasal 68, Pasal 69
Ayat 1,Pasal 69 dan Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang
Tenaga Kerja. Termasuk juga pada Pasal 28J Ayat 1 UUD 1945.
D. Perlindungan Terhadap Hak-Hak Anak
Permasalahan yang cukup mendasar di negara kita adalah kurangnya pembangunan
manusia, oleh karena itu isu pembangunan manusia menjadi sangat urgent dan peningkatan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas seharusnya menjadi salah satu strategi utama
pemerintah dalam mewujudkan cita-cita luhur sebuah bangsa. Jika kita telusuri salah satu
solusi yang mendasr dan fundamental adalah meningkatkan kualitas anak sebagai tumpuan
harapan bangsa karena anak merupakan tunas, bangsa dan ditangan mereka letak maju-
mundurnya bangsa ini sebagai geneasi yang memiliki peran yang sangat strategis dalam
mengemban dan mewujudkan cita-cita bangsa. Sehingga perlindungan terhadap hak-hak anak
menjadi skala prioritas dalam mewujudkan generasi yang cerdas,sehat, memiliki akhlak
mulia. Dalam UU no 23 tahun 2002 dijelaskan bahwa:
Pasal 1 Ayat (1) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi. Ayat (12) Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia
yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan negara.
Pasal 2 Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar
Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :
Non diskriminasi;
Kepentingan yang terbaik bagi anak;
Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
Penghargaan terhadap pendapat anak.
Pasal 3 Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Dari pengertian diatas tersirat bahwa anak terlindungi dari segala bentuk kekerasan,
perlakuan salah, penelantaran, dan eksploitasi. Sehingga dengan adanya UU ini dapat
memberikan perlindungan terhadap anak. Anak yang dilahirkan memiliki kedudukan yang
sama dengan orang dewasa sebagai manusia sutuhnya. Seorang anak juga memiliki hak
mendapat pengakuan dari lingkungan mereka, rasa hormat atas kemampuan yang mereka
miliki, dan perlindungan, serta harga diri dan partisipasi tanpa harus mencapai usia
kedewasaan terlebih dahulu. Hak dan kewajiban anak diatur dalam Undang-Undang Nomor
23 tahun 2002.
Dalam undang-undang tersebut, hak anak antara lain beribadah menurut agamanya,
mendapatkan pelayanan kesehatan, memperoleh pendidikan dan pengajaran, mengutarakan
pendapatnya sesuai tingkat kecerdasan dan usianya, memanfaatkan waktu luang untuk
bergaul dengan anak sebayanya, bermain, berekreasi sesuai minat, bakat dan tingkat
kecerdasannya dalam rangka pengembangan diri. Pada titik inilah sebenarnya penekanan
bahwa anak-anak harus merdeka dalam usianya, sehingga kata-kata masih kecil belum
bahagia tidak terlontarkan untuk mereka dan terhindar dari diskriminasi,tindak kekerasan
dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi anak pengungsi
sekalipun.
Hak perlindungan dari diskriminasi, termasuk (1) perlindungan anak penyandang
cacat untuk memperoleh pendidikan, perwatan dan latihan khusus, dan (2) hak anak dari
kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalam kehidupan masyarakat negara.
Perlindungan dari ekploitasi, meliputi (1) perlindungan dari gangguan kehidupan pribadi, (2)
perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan
perkembangan anak, (3) perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba,
perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi, dan pornografi, (4) perlindungan
upaya penjualan, penyelundupan dan penculikan anak, dan (5) perlindungan dari proses
hukum bagi anak yang didakwa atau diputus telah melakukan pelanggaran hukum.
E. Kenapa Anak Bekerja?
a. Kemiskinan
Salahsatu penyebab utama kenapa anak-anak di bawah umur terpaksa bekerja adalah
kemiskinan. Pada keluarga miskin, anak merupakan jaminan hidup keluarga karena
tenaganya memberikan sumbangan penghasilan keluarga. Penelitian oleh LeVine
menunjukkan bahwa tujuan mempunyai anak pada masyarakat miskin lebih bersifat
kuantitatif, artinya semakin banyak anak akan semakin kuat jaminan sosial-ekonomi keluarga
(LeVine dkk, 1988, dalam Irwanto, 1996:53). Banyak penelitian menunjukkan bahwa
kemiskinan merupakan faktor pendorong yang paling mendasar. Keluarga-keluarga miskin
tidak mampu mempertahankan anak di sekolah, sementara intervensi dengan program IDT
bahkan meningkatkan partisipasi anak dalam bekerja.
Pada keluarga miskin, keputusan untuk bekerja sebagian datang dari anak sendiri, tetapi
sebagian lain karena keinginan orang tua. Penelitian oleh Suyanto dan Mashud (2000:33)
menemukan bahwa lebih dari separuh orang tua menghendaki anaknya membantu pekerjaan
orang tua dengan maksud-maksud sosial edukatifmeski pada kenyataannya hal ini tetap
mengakibatkan banyak anak lebih tertarik menekuni pekerjaan daripada sekolahnya.
Sebagian kecil lainnya memaksa anak-anaknya bekerjabaik dalam lingkungan keluarga
maupun kepada orang lainuntuk tujuan ekonomi. Dalam situasi krisis belakangan ini
kecenderungan keinginan orang tua untuk memperlakukan anak sebagai tenaga kerja
produktif menjadi makin kuat karena penghasilan yang diperoleh orang tua tidak lagi mampu
mencukupi kebutuhan rumah tangga.

b. Pendidikan
` Biaya pendidikan Dasar juga menjadi sebab dari anak untuk bekerja. Penelitian di NTT
oleh Daliyo tahun 1996 menemukan bahwa lebih dari separoh anak yang disurvai telah
bekerja sambil sekolah. Sementara itu penghapusan SPP belum terbukti membantu
masyarakat yang miskin. Biaya untuk seragam, transport, buku, dan lain-lain masih
dipandang cukup tinggi. Kenyataan ini mendorong orang tua untuk mempertimbangkan
kesempatan ekonomis yang hilang bila anak tetap di bangku sekolah, dan memilih untuk
meminta anak bekerja.
Partisipasi sekolah mempunyai hubungan resiprokal dengan status pekerjaan anak. Anak
yang gagal dalam pendidikan (drop out) lebih terdorong untuk bekerja, dan sebaliknya anak
yang bekerja sambil sekolah cenderung menurun prestasinya, atau mudah mengalami drop
out (Suyanto dan Mashud, 2000: 22). Dengan demikian, mahalnya biaya pendidikan
menempatkan anak dalam posisi yang dilematis. Anak yang masih berminat sekolah tetapi
orang tuanya tidak mampu membiayai akan memaksa anak itu untuk bekerja. Sementara itu,
kesibukan bekerja akan membuat anak tersebut terganggu prestasi belajarnya, terpaksa
mbolos dari kelas, dan pada akhirnya terpaksa drop-out. Sementara itu kemampuan
pemerintah untuk menutupi ongkos pendidikan di luar SPP membuat anak tidak mempunyai
pilihan lain kecuali harus bekerja. Ini berarti, arah solusi dari masalah pekerja anak,
salahsatunya terdapat pada sektor pendidikan, yaitu bagaimana membuat anak terbebas dari
biaya pendidikan, dan jika hal tersebut tidak mungkin, bagaimana membuat sistem
pendidikan lebih mengakomodasi kondisi anak yang terpaksa harus sekolah sambil bekerja.

c. Penetrasi Pasar
Pasarisasi atau penetrasi kapitalisme global ke dalam perekenomian nasional dan daerah
menjadi faktor penting yang ikut memacu tumbuhnya pekerja anak. Dalam situasi
perdagangan internasional yang sangat kompetitif, anak dipandang sebagai suatu jalan keluar
untuk menekan ongkos produksi. Pengurangan ongkos melalui sistem borongan di rumah
kerja (putting-out system) atau melibatkan anak yang digaji rendah dan tanpa jaminan sosial
dalam proses produksi merupakan cara yang lebih mudah dalam memenangkan persaingan,
ketimbang melalui peningkatan efisiensi kerja, penggunaan mesin atau pengembangan
strategi manajemen yang lebih efisien. (Irwanto, 1996: 53).
Kecenderungan anak merespon kecenderungan pasar dengan masuk sebagai tenaga kerja
tidak seluruhnya dianggap negatif oleh para ahli pekerja anak. White bahkan melihat bahwa
mempermasalahkan anak yang bekerja di sektor formal lebih bias kepada perspektif pihak
intervensi, yang seringkali bertentangan dengan perspektif anak itu sendiri. White (1994:3)
menunjukkan adanya kontroversi antara pihak intervensi (pemerintah atau pengambil
kebijakan) dengan anak. Pekerjaan bergaji di sektor industri, pertambangan, atau pengolahan
kayu, dan sebagainya yang dianggap oleh pihak intervensi (pengambil kebijakan) sebagai
pekerjaan yang bermasalah atau tidak layak dikerjakan anak, dari sisi anak acapkali justru
lebih diinginkan atau sebagai pemecahan masalah. Sementara itu pekerjaan reproduktif yang
tidak memberi keuntungan materi langsung yang dianggap oleh pihak intervensi sebagai
tidak bermasalah, dari perspektif anak justru dianggap bermasalah. Upaya untuk
mengeluarkan anak dari pekerjaan di sektor formal ini justru dianggap counter productive.
Kontroversi antara dua pandangan yang berseberangan ini akan memberi arah bagaimana
masalah pekerja anak harus diatasi.
Daftar Kepustakaan
Embassy of the United States of America, Jakarta of Indonesia. Laporan Amerika
Serikat tentang Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 1998.
Hartiningsih, Maria. Pekerja Anak, Tragedi Induestrialisasi. Kompas Online,
Selasa, 28 Oktober 1997.
Irwanto, Kajian Literatur dan Penelitian Mengenai Pekerja Anak Sejak
Pengembangan Rencana Kerja IPEC 1993. Proceeding Konferensi Nasional II Masalah
Pekerja Anak di Indonesia, Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, 24-26 Juli 1996, hlm 43-
Proceeding Konferensi Nasional II Masalah Pekerja Anak di Indonesia, Wisma Kinasih,
Caringin, Bogor, 24-26 Juli 1996, hlm. 54.
Irwanto. Studies of Chile Labour in Indonesia: 1993-1996. Jakarta: International
Programme on the Elimination of Child Labour (IPEC), ILO, 1997.
Mada, Wientor Rah. Wisata dan Eksploitasi Anak. Pikiran Rakyat. Senin, 15
Desember 2003.
Mutia, Narila. ILO: Kondisi Pekerja Anak di Indonesia Buruk. Tempo Interaktif, 8
Juli 2003.
Silalahi, Levi. Studi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Terhadap Jenis-
Jenis Pekerjaan Berbahaya untuk Pekerja Anak-Anak. Tempo Interaktif, Minggu, 13 Juni
2004.
Sumantri, Priyono. Penilaian Atas Program Aksi Nasional dan Pekerja Anak Sejak
Tahun 1993. Proceeding Konferensi Nasional II Masalah Pekerja Anak di Indonesia,
Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, 24-26 Juli 1996, hlm.31-41.
Supenti, Titin. Data Analisis: Perkembangan Pekerja Anak Tahun 2002-2003,
Warta Ketenagakerjaan. Jumat, 2 Juni 2006.
Suyanto, Bagong & Sri Sanituti Hariadi. Pekerja Anak: Masalah, Kebijakan dan
Upaya Penanganannya. Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2000.
Tjandraningsih, Indrasari. Pemberdayaan Pekerja Anak: Studi Mengenai
Pendampingan Pekerja Anak. Bandung: Akatiga, 1995.
White, Benjamin. Children, Work and Child Labour: Changing Responses to the
Employment of Chuldren. Development & Change, Vol. 25, October 1994.
White, Benjamin. Perubahan Keterlibatan Anak dalam Pendidikan & Kerja: Analisis
Tiga Generasi. Seminar bulanan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas
Gadjah Mada, Kamis, 17 April 2003.
Pasal 1 ayat (2) UU no 13 tahun 2003
Pasal 1 ayat (1)UU Nno 23 tahun 2002
Pasal 1 ayat (1) Konvensi tentang Hak-hak Anak (KHA) Disetujui oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989.
UUD 1945 Pasal 28B Ayat 2
Supriyadi W. Eddyono, Pengantar Konvensi Hak Anak, Makalah Disampaikan Dalam
Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 200.Hal 2
Muhammad Joni, Hak-hak Anak Dalam UU Perlindungan Anak Dan Konvensi PBB
Tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum
Keluarga,http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/MAKALAH%20HAK%20ANAK
%20DALAM%20UU.pdf akses 02 Oktober 2010
Laporan UNICEF tahun 1995 dalam 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak, dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hal 1
Absori, Perlindungan Hukum Hak-hak Anak dan Implementasinya di Indonesia Pada
Era Otonomi Daerahhttp://eprints.ums.ac.id/349/1/5._absori.pdf, akses tgl 01 oktober 2010

Diposkan oleh arik metafora di 04:02

Anda mungkin juga menyukai