1.
2.
3.
4.
5.
ii
BAB
PENDAHULUAN
BAB 1
Pendahuluan
Pendahuluan
berikut:
1) Adalah suatu kemustahilan bahwa pembangunan manusia dalam arti luas dapat diukur
hanya dengan satu indeks komposit, tak peduli seberapa banyak komponen indikatornya
(apalagi jika diingat bahwa semakin banyak variabel yang dimasukkan ke dalam indeks
komposit tersebut semakin tinggi pula kemungkinan besarnya kesalahan/error).
2) IPM juga masih mempunyai kelemahan dari segi data dan arti. Kelemahan yang bersifat
umum dari suatu indeks komposit adalah tidak memiiiki arti tersendiri secara individual.
Jelasnya, IPM suatu negara, provinsi atau kabupaten/kota tidak bermakna tanpa
dibandingkan dengan IPM negara, provinsi atau kabupaten/kota lainnya.
3) IPM belum mempertimbangkan kesetaraan gender. Untuk menanggapi masalah ini, UNDP
menyusun dua indeks turunan IPM yaitu IPG (Indeks Pembangunan Gender) dan IDG
(Indeks Pemberdayaan Gender).1 Sementara untuk mempertimbangkan kemiskinan,
disusunlah Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)2.
IPG disusun dari angka harapan hidup; angka melek huruf; rata-rata lama sekolah; rata-rata upah buruh non
pertanian; dan sumbangan pendapatan (dalam persen). Sedangkan IDG disusun dari data keterwakilan dalam
parlemen; proporsi dari manajer, staf administrasi, pekerja profesional dan teknisi; persentase aktif secara
ekonomi (proporsi dari angkatan kerja); serta upah di bidang non pertanian. Masing-masing indikator penyusun
IPG dan IDG tersebut dibedakan berdasarkan jenis kelamin (menggunakan data laki-laki dan perempuan).
2 IKM dibangun oleh tiga komponen yaitu peluang suatu populasi untuk tidak bertahan hidup sampai umur 40 tahun ,
indikator kedua diukur dengan angka buta huruf penduduk umur dewasa [15 tahun keatas], serta keterbatasan
akses terhadap pelayanan dasar [meliputi akses terhadaop air bersih, akses terhadaop sarana kesehatan, dan
persentase balita dengan status gizi kurang].
1
BAB 1
BAB 1
Pendahuluan
Indikator UNDP
(1)
(2)
(3)
Indikator BPS
BAB
INDIKATOR PENDIDIKAN
BAB 2
Indikator Pendidikan
rata lama sekolah/MYS menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15
tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal.
Cara menghitung lamanya bersekolah dapat dikonversikan langsung dari jenjang
pendidikan dan kelas tertinggi yang pernah diduduki seseorang, misalnya jika seseorang
pendidikan tertingginya adalah SMP kelas 2, maka ia memiliki jumlah tahun bersekolah sama
dengan 8 tahun, yaitu 6 tahun bersekolah di tingkat SD ditambah dengan 2 tahun di SMP. Data
yang diperlukan untuk penghitungan rata-rata lama sekolah adalah jenjang pendidikan dan
kelas/tingkat tertinggi yang pernah diduduki. Sumber data lama sekolah dapat menggunakan
Susenas, yaitu dari pertanyaan tentang Jenjang atau Jenis Pendidikan Tertinggi yang pernah
atau sedang diduduki dari Seksi Keterangan Pendidikan3.
Rata-rata lama sekolah dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
=
di mana :
: rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas
: lamanya sekolah individu usia 15 tahun ke atas
n
Individu
Jenjang
Kelas/tingkat
(1)
(2)
(3)
(4)
A
B
C
SMP
SD
Universitas
2
6 (tamat)
2
6+2 =8
6
12+2=4
Maka rata-rata lama sekolah = (8+6+14)/3 =9.3 tahun atau secara rata-rata ketiga orang
tersebut bersekolah sampai Tamat SMP.
Dalam data SUSENAS variabel kelas, terdapat pilihan tingkat 8. Angka 8 ini menunjukkan bahwa seseorang telah
tamat di jenjang tertentu.
Setelah muncul kotak dialog Select Cases: If, masukan variabel umur (umur anggota
rumah tangga) ke kolom persamaan.
Yaitu, dari daftar variabel sebelah kiri ke kolom kosong di sebelah kanan atas dengan
cara mengklik tanda segitiga yang dilingkari pada gambar di bawah.
Lalu tambahkan > = 15,
Sehingga tampak tampilan di layar sebagai berikut:
BAB 3
BAB 3
dijadikan satu kelompok sebagai tingkat sekolah dasar. Pada Susenas 2010, pertanyaan
mengenai jenjang pendidikan yang pernah/sedang diduduki berada pada Blok VC rincian 16
seperti berikut:
Jenis Pendidikan
New
Value
Jenjang
(1)
(2)
(3)
(4)
SD/SDLB
Madrasah Ibtidaiyah
Paket A
SMP/SMPLB
Madrasah Tsanawiyah
Paket B
SMA/SMLB
Madrasah Aliyah
SMK
10
Paket C
11
13
Prog. D1/D2
Prog. D3/Sarjana
Muda
Prog. D4/S1
14
Prog. S2/S3
12
Sekolah Dasar
SMP
SMA
D1/D2
D3
S1
S2/S3
BAB 3
BAB 3
Langkah tersebut berarti membentuk New Value 1 (sekolah dasar) dari Old Value 1 (SD)
sampai dengan 3 (Paket A).
Lakukan langkah yang sesuai untuk variabel B5R16 berkode 4 s.d. 10.
Sementara untuk variabel B5R16 berkode 11 s.d. 14:
Tandai pilihan Value: pada frame Old Value.
Ketik 11 pada kolom Value: tersebut.
Sementara pada frame New Value, pilih Value: dan ketik 4 di kolomnya.
Lakukan langkah yang sesuai untuk variabel B5R16 berkode 12 s.d. 14, sehingga
tampilan di layar menjadi:
digunakan pada langkah kedua. Untuk variabel baru yang dibentuk, gunakan nama variabel
10
IJAZAH dan nama label Ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki. Pada Susenas 2010,
pertanyaan mengenai ijazah/STTB tertinggi tersebut berada pada Blok VC rincian 18 (B5R18).
Ijazah/STTB
Tertinggi
New
Value
IJAZAH
(1)
(2)
(3)
(4)
SD/SDLB
Madrasah Ibtidaiyah
Paket A
SMP/SMPLB
Madrasah Tsanawiyah
Paket B
Sekolah Dasar
SMP
SMA/SMLB
Madrasah Aliyah
10
SMK
11
Paket C
12
D1/D2
D3
14
Prog. D1/D2
Prog. D3/Sarjana
Muda
Prog. D4/S1
S1
15
Prog. S2/S3
S2/S3
13
SMA
Dengan mengacu pada tabel di atas, maka kotak dialog yang dihasilkan adalah
sebagai berikut:
11
BAB 3
BAB 3
IJAZAH
New Value
(TAMAT)*
(1)
(2)
(3)
1
2
3
4
5
6
7
8
0
6
9
12
14
15
16
18
12
Pada kolom Label ketik Lama tahun untuk memperoleh ijazah terakhir.
Pada kolom Type biarkan tetap Numeric.
Klik Continue.
Setelah kembali ke kotak dialog Compute Variable:.
Klik If... (optional case selection condition).
Tandai pilihan Include if case satisfies condition:.
Masukan variabel IJAZAH ke kotak di bawah pilihan Include if case satisfies condition:
lalu tambahkan = 1. seperti diilustrasikan pada gambar berikut.
dijalani sesuai dengan ijazah terakhir ditambah lamanya sekolah untuk kelas yang telah
diselesaikan pada tingkat pendidikan berikutnya. Sebagai contoh, seseorang yang berhenti
sekolah setelah menyelesaikan kelas 2 di sebuah SMU akan memiliki nilai variabel LAMA sebesar
11. Nilai tersebut berasal dari IJAZAH=9 (jumlah tahun sekolah hingga memperoleh ijazah SMP)
ditambah 2 (jumlah tahun sekolah yang telah dijalani selama SMU). Nilai yang ditambahkan
tersebut berasal dari rincian b5r17 (pada Susenas 2010) berikut:
13
BAB 3
BAB 3
Klik OK.
f.
keseluruhan untuk setiap individu. Pertama, variabel partisipasi sekolah digunakan sebagai
kondisi bersyarat dalam menghitung MYS1. Pada Susenas 2010, pertanyaan mengenai
partisipasi sekolah terdapat pada Blok VC rincian 15 sebagai berikut:
Selanjutnya, Lama sekolah (MYS1) dihitung sesuai dengan uraian dalam tabel berikut:
Partisipasi Sekolah
Keterangan
(1)
(2)
Lama Sekolah
(MYS1)
(3)
0 tahun
- Kasus umum
lama sekolah - 1
Ijazah tertinggi +1
- Belum tamat
lama sekolah - 1
- Sudah tamat
Ketik 0 pada kolom Numeric Expression:. Kemudian, tampilan kotak dialog menjadi:
14
Pada kolom Type biarkan tetap Numeric. Tampilan akan menjadi seperti berikut.
Klik Continue.
Setelah kembali ke kotak dialog Compute Variable:
Masukan variabel B5R15 ke kotak di bawah pilihan Include if case satisfies condition:
15
BAB 3
BAB 3
MYS1
(1)
(2)
B5R15=1
B5R15=2
LAMA-1
LAMA-1
TAMAT.
TAMAT+1
Sebagai contoh, untuk kondisi (B5R15=2), maka langkah untuk mengerjakannya yaitu:
Klik menu Transform Compute Variable....
Ketik MYS1 (nama variabel) pada kolom Target Variable:.
Ketik LAMA-1 pada kolom Numeric Expression:.
Klik If... (optional case selection condition).
Tandai pilihan Include if case satisfies condition:.
Ketik B5R15 = 2.
Dan seterusnya untuk kasus yang lain.
g. Langkah Ketujuh, mengaktifkan penimbang individu
Sebelum mengesekusi (run) data untuk menghasilkan tabel, terlebih dulu aktifkan
penimbang individu4.
Klik menu Data, lalu klik Weight Cases.
Masukkan variable weind (penimbang individu) ke kolom Frequency Variable hingga
muncul tampilan sebagai berikut:
Klik OK
Jika tidak terdapat penimbang individu dalam file Susenas yang digunakan, cara memunculkan penimbang
individu dapat dilihat pada lampiran.
16
Setelah muncul kotak dialog Custom Tables, pastikan variabel B1R1 (provinsi) dan B1R2
(kabupaten/kota) dalam bentuk variabel nominal. Jika masih dalam bentuk lain (misalnya
scale), ubah dengan cara:
a) Klik kanan pada variabel B1R1 dan B1R2 di kolom Variables,
b) Tandai pilihan Nominal.
Jika tabel yang ingin dimunculkan hanya pada level provinsi, maka caranya:
Drag (tarik/geser) variabel B1R1 (kode provinsi) pada kolom Variables ke arah Rows
pada kotak kosong di tengah.
17
BAB 3
BAB 3
Namun, jika ingin menghasilkan tabel AMH hingga level kabupaten/kota, maka langkahlangkahnya:
Drag juga B1R2 dan tempatkan di sebelah kanan B1R1 hingga tampilannya seperti
berikut:
18
Setelah muncul kotak dialog baru (Categories and totals), pada bagian Show:
Tandai kolom Total seperti gambar berikut:
Klik Apply.
Langkah ini bertujuan untuk memunculkan angka provinsi (jika yang di klik B1R2). Jika ingin
menghitung angka nasional maka munculkan juga nilai total dengan mengklik B1R1lebih dulu
(tidak dilakukan dalam pelatihan).
Setelah kembali ke kolom Custom Tables, pastikan variabel MYS1 dalam bentuk Scale,
bukan nominal atau lainnya.
Drag variabel MYS1 lalu letakan di Columns pada kotak yang sudah berisikan B1R1
dan B1R2 hingga tampilan di layar menjadi seperti berikut:
Tampilan default untuk satuan dari MYS1adalah Mean. Biarkan dalam kondisi tersebut.
Kemudian untuk menuliskan judul tabel:
Klik Titles,
Pada kolom Title, tuliskan judul tabel misalnya Rata-Rata Lama Sekolah 15+ 2010,
19
BAB 3
BAB 3
Klik OK
Menggunakan Syntax
Syntax yang ditampilkan di bawah ini merupakan pengganti dari serangkaian prosedur
mendapatkan angka rata-rata lama sekolah dengan menggunakan kotak dialog, dengan tetap
memerhatikan urutan langkahnya.
a. Langkah Pertama, seleksi penduduk pada umur 15 tahun ke atas
SELECT IF(UMUR >= 15).
EXECUTE .
20
f.
21
BAB 3
BAB 3
Cara menghitung angka melek huruf adalah dengan membagi jumlah penduduk usia 15
tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis dengan jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas
kemudian hasilnya dikalikan dengan seratus. Secara matematis, rumusnya adalah sebagai
berikut:
=
di mana:
= angka melek huruf ( penduduk usia 15 tahun ke atas) pada tahun t.
= jumlah penduduk (usia 15 tahun ke atas) yang bisa membaca dan menulis pada
tahun t.
= jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas.
Data yang diperlukan dalam penghitungan AMH adalah data jumlah penduduk berumur
15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis dan jumlah penduduk umur 15 tahun ke atas
secara keseluruhan. Sementara sumber data yang digunakan adalah data Susenas pada
pertanyaan "Dapat membaca dan menulis" yang dapat diperoleh dari seksi Keterangan
Pendidikan.
Pada saat ini, AMH kurang dapat menggambarkan disparitas pendidikan antardaerah
karena nilainya yang relatif sama antarwilayah di Indonesia. Untuk mengatasi masalah tersebut
dilakukan dengan menambahkan MYS dalam penghitungan indeks pendidikan.
22
Dari bentuk rincian pertanyaan di atas, ada tiga jenis huruf yang ditanyakan, yaitu huruf
latin, huruf Arab, dan huruf lainnya. Jika seseorang dapat membaca dan menulis salah satu
saja di antara ketiga jenis huruf tersebut (misalnya huruf Arab saja), maka orang tersebut
dikategorikan melek huruf. Kelompokkan responden menjadi dua dengan membuat variabel
baru dengan nama AMH. Beri kode 1 untuk penduduk dalam kategori melek huruf, dan kode 2
untuk buta huruf.
Langkah kerja dengan menggunakan SPSS adalah sebagai berikut:
Klik menu Transform Compute Variable....
Lalu akan muncul kotak dialog Compute Variable,
Ketik AMH (nama variabel baru) pada kolom Target Variable:,
Ketik 1 pada kolom Numeric Expression:, hingga tampak di layar:
Pada pelaksanaan Susenas di tahun-tahun yang lain, letak pertanyaan ini tidak selalu berada di rincian yang
sama (Blok VC rincian 17).
Panduan Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
23
BAB 3
BAB 3
Klik Continue.
Dua langkah di atas bertujuan untuk membentuk variabel baru dengan nama AMH
dan nama label Melek Huruf dengan type Numeric. Pemberian nilai 1 akan dibahas di point
berikutnya.
Setelah kembali ke kotak dialog Compute Variable:
Klik If... (optional case selection condition).
Setelah muncul kotak dialog Compute Variable: If Cases:
Pilih Include if case satisfies condition:,
Ketik b5r19a = 1 | b5r19b = 1 | b5r19c = 1 6 pada kolom di bawahnya.
Tampak di layar:
Statement tersebut mensyaratkan bahwa jika seseorang bisa membaca dan menulis satu jenis huruf saja maka beri
kode 1 (melek huruf).
24
Kemudian ganti kondisi bersyarat dalam If...(optional case selection condition), menjadi
b5r19a = 2 & b5r19b = 2 & b5r19c = 2. Sehingga tampilan di layar menjadi:
Kondisi tersebut dapat diartikan bahwa jika seseorang tidak bisa membaca dan menulis jenis
huruf apapun, maka variabel AMH bernilai 2 (buta huruf).
Selanjutnya, kita definisikan pengkodean sebelumnya, 1 sebagai melek huruf dan 2
sebagai buta huruf. Caranya bisa dengan membuat label dengan meng-klik sheet
Variable View (pojok kiri bawah tampilan SPSS), lalu klik kolom Value pada variabel
AMH.
Kemudian ketik 2 pada kolom Value: dan ketik Buta Huruf pada kolom Label, lalu klik
Add. Setelah muncul tampilan seperti gambar di bawah, klik OK.
25
BAB 3
BAB 3
c.
dengan langkah ketujuh pada subbab teknis penghitungan MYS halaman 16.
d. Langkah Keempat, menampilkan tabel AMH menurut provinsi atau kabupaten/kota
Dalam langkah terakhir ini, hitung AMH untuk setiap provinsi atau kabupaten/kota. Salah
satu caranya adalah dengan menggunakan Custom Tables sebagai berikut:
Klik menu Analyze Tables Custom Tables.
Jika muncul pesan seperti di bawah ini, klik OK.
Setelah muncul kotak dialog Custom Tables, pastikan variabel B1R1 (provinsi) dan B1R2
(kabupaten/kota) dalam bentuk variabel nominal. Jika masih dalam bentuk lain (misalnya scale),
ubah dengan cara:
o Klik kanan pada variabel B1R1 dan B1R2 di kolom Variables,
o Tandai pilihan Nominal.
Jika tabel yang ingin dimunculkan hanya pada level provinsi, maka caranya:
Drag (tarik/geser) variabel B1R1 (kode provinsi) pada kolom Variables ke arah Rows
pada kotak kosong di tengah.
26
Namun, jika ingin menghasilkan tabel AMH hingga level kabupaten/kota, maka caranya:
Drag juga B1R2 dan tempatkan di sebelah kanan B1R1 hingga tampilannya seperti
berikut:
27
BAB 3
BAB 3
Klik Apply.
Langkah ini bertujuan untuk memunculkan angka provinsi (jika yang di klik B1R2). Jika ingin
menghitung angka nasional maka munculkan juga nilai total dengan mengklik B1R1lebih dulu
(tidak dilakukan dalam pelatihan).
Setelah kembali ke kolom Custom Tables, pastikan variabel AMH dalam bentuk
Nominal, bukan scale atau lainnya.
Drag variabel AMH lalu letakan di Columns pada kotak yang sudah berisikan B1R1 dan
B2R2 seperti berikut:
Tampilan yang tersedia untuk satuan dari AMH adalah Count, untuk merubahnya lakukan
langkah-langkah berikut.
Klik b1r2 (jika hanya menghitung angka provinsi, klik b1r1), lalu Klik N% Summary
Statistics... pada bagian Define.
Setelah muncul kotak dialog Summary Statistics: Categorical variables:
Ganti Count di kolom Display: dengan Row N% dengan menggunakan tanda mata
panah/segitiga yang dilingkari pada gambar di bawah.
Beri tanda cheklist pada Custom Summary for Totals and Subtotals seperti bagian yang
dilingkari pada gambar di bawah.
Dan lakukan hal yang sama pada bagian Display yang kedua (ganti Count dengan
Row N%), lalu klik Apply to All.
Klik OK
29
BAB 3
BAB 3
i. Menggunakan Syntax
Prosedur sistematis untuk memperoleh angka melek huruf dapat ditulis dalam bentuk
syntax yang terbagi menjadi beberapa langkah berikut ini.
a. Langkah Pertama, seleksi penduduk pada umur 15 tahun ke atas, caranya:
Dalam tahapan ini, syntax select case yang digunakan sama persis dengan langkah pertama
pada subbab teknis penghitungan MYS halaman 20.
b. Langkah Kedua, membuat variabel AMH
IF (b5r19A = 1 | b5r19B = 1 | b5r19C = 1) AMH = 1 .
VARIABLE LABELS AMH 'Melek Huruf'.
IF (b5r19A = 2 & b5r19B = 2 & b5r19C = 2) AMH = 2 .
EXECUTE .
**Penamaan Label setiap value AMH
VALUE LABELS AMH
1 'Melek Huruf'
2 'Buta Huruf' .
c.
30
BAB
Langkah tersebut secara lebih detail dibahas pada subbab teknis penghitungan daya beli disesuaikan.
Panduan Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
31
BAB 3
BAB 3
(, )
(, )
( , )
(, )
di mana:
( , ) = harga per unit komoditi j yang dikonsumsi di provinsi/kabupaten i
( , ) = harga per unit komoditi j di Jakarta Selatan
( , ) = volume komoditi j (unit) yang dikonsumsi di provinsi/kabupaten i
Value dan kuantitas dari 26 komoditas tersedia dalam modul konsumsi Susenas.
Sementara untuk unit kuantitas rumah dihitung berdasarkan data Susenas KOR melalui indeks
kualitas rumah. Indeks kualitas rumah dibentuk dari tujuh komponen kualitas rumah yang
diperoleh dari blok keterangan perumahan Susenas.
3.1.3 Formula Atkinson
Untuk mendapatkan nilai Purchasing Power Parity (PPP), pengeluaran per tahun dalam
harga konstan yang telah dibagi dengan PPP per unit masih harus distandardisasi dengan
menggunakan formula atkinson. Formula atkinson, pada awalnya digunakan oleh UNDP untuk
mencerminkan daya manfaat yang standar. Penyesuaian ini dianggap perlu karena kenaikan
US$ 500 bagi negara yang sudah memiliki GNP US$ 5000 akan memiliki manfaat yang
berbeda dengan kenaikan yang sama bagi negara yang baru mempunyai GNP US$ 1000.
32
Penyesuaian dengan formula Atkinson pada dasarnya menggunakan prinsif diminishing marginal
utility yang setelah diadaptasi, secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut.
C (I) = C(i)
= Z + 2(C(i)`-Z)1/2
di mana:
C(i) = PPP dari nilai riil pengeluaran per kapita
Z = Batas tingkat pengeluaran yang ditetapkan secara arbiter sebesar Rp.549.500
per kapita per tahun atau Rp. 1.500 per kapita per hari
33
BAB 3
BAB 3
Langkah 1: Hitung pengeluaran per kapita (per anggota rumah tangga) untuk setiap rumah
tangga.
Buka file KOR rumah tangga Susenas Juli 2010.
Bagi pengeluaran rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga, caranya:
Klik menu Transform
Compute Variable
Klik OK.
Lalu akan muncul variabel baru dengan nama exp_capita.
Langkah 2: Aktifkan penimbang individu9
Pada langkah ini, cara mengaktifkan penimbang individu yang dilakukan sama persis
dengan langkah ketujuh pada subbab teknis penghitungan MYS halaman 16.
Langkah 3: Hitung rata-rata pengeluaran per kapita untuk setiap provinsi atau
kabupaten/kota.
Pastikan variabel B1R1 (provinsi) dan B1R2 (kabupaten/kota) dalam bentuk variabel
nominal. Jika masih dalam bentuk lain, ubah dengan meng-klik kanan pada variabel
B1R1 dan B1R2 lalu tandai pilihan Nominal.
8
9
Pada raw data Susenas di tahun-tahun yang lain seringkali diberi nama variabel jart.
Jika tidak terdapat penimbang individu dalam file Susenas yang digunakan, cara memunculkan penimbang
individu dapat dilihat di lampiran.
34
Jika tabel yang ingin dimunculkan hanya pada level provinsi, maka cukup drag variabel
B1R1 (kode provinsi) ke Rows pada kotak kosong di tengah. Kemudian akan muncul
tampilan sebagai berikut:
Namun, jika ingin menghasilkan tabel hingga level kabupaten/kota, maka drag juga
B1R2 dan tempatkan di sebelah kanan B1R1 hingga tampilannya seperti di bawah ini:
35
BAB 3
BAB 3
Kemudian pada kotak dialog baru di kotak Show, beri tanda cek pada kolom Total
seperti dibawah ini.
Klik Apply.
Langkah ini bertujuan untuk memunculkan angka nasional dan angka provinsi.
Pastikan variabel exp_capita dalam bentuk scale, bukan nominal atau lainnya.
Drag variabel exp_capita lalu letakan di Columns pada kotak yang sudah berisikan
B1R1 dan B1R2, hingga tampilan di layar menjadi seperti berikut:
Tampilan default untuk satuan dari exp_capita adalah Mean. Biarkan dalam kondisi
tersebut.
Klik OK
Output yang dihasilkan (dalam bentuk tabel) kemudian dipindahkan/di-copy ke dalam
worksheet excel untuk kemudian dilakukan langkah berikutnya (langkah 4 dan 5).
Langkah 4:
10 Rata-
36
rata pengeluaran per kapita yang digunakan untuk menyusun PPP adalah nilai 1 tahun.
Panduan Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Langkah 5: Karena data Susenas secara umum di kalangan internal BPS diduga underestimate
sekitar 20% dari kondisi riil, maka hasil hitungan yang kita peroleh dikalikan
120% atau 1,2.
2) Menggunakan Syntax
Langkah 1: Hitung pengeluaran per kapita (per anggota rumah tangga) untuk setiap rumah
tangga
COMPUTE exp_capita = B7R25 / B2R1.
EXECUTE .
Langkah 3: Hitung rata-rata pengeluaran per kapita untuk setiap provinsi atau
kabupaten/kota.
* Custom Tables.
CTABLES
/VLABELS VARIABLES=exp_capita B1R1 B1R2 DISPLAY=DEFAULT
/TABLE B1R1 [C] > B1R2 [C] BY exp_capita [MEAN]
/CATEGORIES VARIABLES=B1R1 ORDER=A KEY=VALUE EMPTY= EXCLUDE
/CATEGORIES VARIABLES=B1R2 ORDER=A KEY=VALUE EMPTY=EXCLUDE TOTAL=YES
POSITION=AFTER.
Kumpulkan nilai IHK pada kota-kota yang dihitung nilai IHK-nya (pada tahun 2009,
terdapat 66 kota di seluruh Indonesia). Dalam hal ini, IHK yang ada masih menggunakan
tahun dasar yang terbaru.
Sebagai pendekatan, untuk kabupaten/kota yang tidak ada nilai IHK-nya bisa
menggunakan IHK dari kota terdekat yang memiliki nilai IHK dan memiliki karakteristik
ekonomi yang mirip. Perlakuan ini karena pada umumnya harga tidak jauh berbeda pada
dua daerah yang berdekatan. Sebagai contoh, Kota Cimahi bisa menggunakan IHK Kota
Bandung karena kedua kota tersebut berdekatan dan memiliki karakteristik yang serupa.
Panduan Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
37
BAB 3
BAB 3
Sementara untuk IHK provinsi diperoleh dari rata-rata tertimbang kota-kota di dalam
provinsi tersebut yang dihitung nilai IHK-nya. Cara penghitungannya adalah dengan
meggunakan rumus berikut:
Keterangan:
IHKi
: Indeks Harga Konsumen Provinsi ke-i
IHKij
: Indeks Harga Konsumen Kabupaten ke-j di Provinsi ke-i
Wij
: Bobot Kota Kabupaten ke-j di Provinsi ke-i
Contoh: Kota di Provinsi Aceh yang dihitung IHK-nya adalah Kota Banda Aceh dan Kota
Lhokseumawe. IHK Kota Banda Aceh pada bulan Juli 2010 adalah 123,27 dengan bobot
kota 0,31, sementara IHK Kota Lhokseumawe adalah 128,54 dengan bobot kota 0,28.
Maka IHK Provinsi Aceh adalah:
IHK
Ubah tahun dasar IHK menjadi tahun 1989. Misalnya, kita ingin merubah tahun dasar IHK
suatu provinsi tahun 2010, maka kita dapat gunakan cara penghitungan sebagai berikut:
)=
Catatan: IHK (
) (
+ )
Setelah didapat nilai IHK, kemudian rata-rata pengeluaran per kapita per tahun pada
langkah a) dibuat konstan dengan tahun dasar 1989 menggunakan rumus sebagai berikut:
(,
di mana :
X = Rata-rata pengeluaran per kapita per tahun atas dasar harga konstan 1989
X = Rata-rata pengeluaran per kapita per tahun pada tahun t
IHK ( ,
38
)=
Quantity
Value
Komoditi
Quantity
Value
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
B41K8.002
B41K9.002
15.
Pepaya
B41K8.140
B41K9.140
B41K8.008
B41K9.008
16.
Kelapa
B41K8.155
B41K9.155
B41K8.011
B41K9.011
17.
Gula
B41K8.159
B41K9.159
B41K8.022
B41K9.022
18.
Kopi
B41K8.162
B41K9.162
B41K8.043
B41K8.054
B41K9.043
B41K9.054
19.
20.
Garam
Merica
B41K8.168
B41K8.171
B41K9.168
B41K9.171
B41K8.058
B41K9.058
21.
Mie instan
B41K8.182
B41K9.182
B41K8.072
B41K9.072
22.
Rokok
kretek
B41K8R224
B41K9R224
B41K8.080
B41K9.080
23.
Listrik
B42K3.237
B42K3.238
B41K8.086
B41K9.086
24.
Air minum
B42K3.239
B42K3.240
B41K8.092
B41K9.092
25.
Bensin
B42K3.291
B42K3.292
B41K8.116
B41K9.116
26.
Minyak
tanah
B42K3.245
B42K3.246
27.
Sewa
rumah
KOR
B42K3.234
lanjutan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Beras
Tepung
terigu
Singkong
Tuna/cakala
ng
Teri
Daging sapi
Daging
ayam ras
Telur ayam
ras
Susu kental
manis
Bayam
Kacang
panjang
Kacang
tanah
13.
Tempe
B41K8.123
B41K9.123
14.
Jeruk
B41K8.128
B41K9.128
Catatan:
B(i)K(j).(r) = Blok i, kolom ke-j, & rincian ke-r
Panduan Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
39
BAB 3
BAB 3
Data
Modul
Konsumsi
Susenas
Juli
2008
dibagi
menjadi
tiga
file,
yaitu:
Aktifkan penimbang rumah tangga dengan cara: klik menu Data Weight Cases.
Klik OK.
Langkah berikutnya adalah membuat tabel yang berisi kuantum dari komoditas no. 1 s.d.
22. Caranya:
Pastikan variabel B1R1 (provinsi) dan B1R2 (kabupaten/kota) dalam bentuk variabel
nominal.
Jika tabel yang ingin dimunculkan hanya pada level provinsi, maka cukup dengan drag
variabel B1R1 (kode provinsi) ke Rows pada kotak kosong di tengah. Namun, jika ingin
menghasilkan tabel hingga level kabupaten/kota, maka drag juga B1R2 dan tempatkan
di sebelah kanan B1R1.
40
Setelah muncul kotak dialog baru (Categories and totals), pada bagian Show:
Klik Apply.
Langkah ini bertujuan untuk memunculkan angka provinsi (jika yang di klik B1R2).
Dalam file Susenas Juli 2008, kuantitas diberi nama variabel sesuai dengan yang
ditampilkan pada tabel 3.2. Sebelum dibuat tabel, pastikan setiap item kuantitas dalam
bentuk scale.
Drag satu per satu variabel kuantitas untuk komoditas nomor 1 s.d. 22 (B41K8.002,
B41K8.008, ..., B41K8R224) dan letakan di Columns pada kotak kosong sebelah kanan
hingga tampilan pada layar menjadi sebagai berikut:
Klik salah satu variabel kuantitas di kotak sebelah kanan (misal B41K8.002), lalu klik N%
Summary Statistics.
Panduan Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
41
BAB 3
BAB 3
Setelah muncul kotak dialog di atas, ganti Mean pada kolom Display dengan Sum yang
ada pada kolom Statistics: dengan menggunakan tanda kepala panah ditengah kedua
kolom tersebut sehingga tampilan di layar menjadi:
Klik OK.
Dalam langkah ini, hitung value komoditas no. 1 s.d. 22 dengan cara yang sama dengan
cara menghitung kuantitas. Perbedaannya, yang dimasukan kedalam Custom Tabel
bukanlah kolom 2 dan 5 pada tabel 3.2 namun kolom 3 dan 6 (judul kolom Value).
Sehingga tampilan pada kotak dialog Custom Table menjadi:
c.
Langkah untuk menghitung quantity komoditi non makanan (nomor 23 s.d. 26) kecuali
sewa rumah
42
Hitung kuantitas komoditas non makanan (komoditas nomor 23 s.d. 26 pada tabel 3.2)
selain sewa rumah dengan cara yang sama seperti menghitung kuantitas pada komoditas
makanan. Sehingga tampilan pada kotak dialog Custom Table menjadi:
d. Langkah untuk menghitung value komoditi nonmakanan termasuk sewa rumah (nomor
23 s.d. 27)
Hitung Value komoditas non makanan termasuk sewa rumah (komoditas nomor 23 s.d.
27 pada tabel 3.2) dengan cara yang sama seperti menghitung value pada komoditas
makanan. Sehingga tampilan pada kotak dialog Custom Table menjadi:
Jenis
Skor
(1)
(2)
(3)
Lantai(B6R4)
Dinding (B6R3)
Atap(B6R2)
Fasilitas penerangan
(B6R10a)
Jamban(B6R9a)
Bukan tanah
Lainnya
10 m2
Lainnya
Tembok
Lainnya
Beton/genteng/sirap
Lainnya
Listrik
Lainnya
Air kemasan/isi ulang/Ledeng (Kode 1-4)
Lainnya
Milik sendiri
Lainnya
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
43
BAB 3
BAB 3
Rubah kode (recode) ketujuh variabel di atas menjadi sesuai dengan skor kualitas rumah.
Contohnya pada variabel atap:
o Klik menu Transform, Recode into Same Variables,
o Masukan variabel B6R2 (atap) ke kolom Numeric Variables.
o Klik Old and New Value....
Pada kotak Old Value, tandai lingkaran Range lalu ketik 1 pada kolom atas dan ketik
3 di kolom bawah. Sementara pada kotak New Value, tandai lingkaran Value lalu
ketik 1 di kolom sebelah kirinya, kemudian klik Add pada kotak di bawahnya.
Kemudian kembali ke Old Value lalu tandai lingkaran All other values dan pada
kotak New Value pilih Value dan ketik 0 (nol) lalu klik Add.
44
Klik OK.
Recode 7 komponen kualitas rumah lainnya dengan langkah yang serupa dan kode
barunya (new value) disesuaikan dengan nilai kualitas rumah yang telah diuraikan
sebelumnya. Untuk luas lantai, yang di recode adalah variabel Luas_Lantai, bukan
B6R5.
Jumlahkan ketujuh komponen Indeks Kualitas Rumah dengan membuat sebuah variabel
baru dengan nama Q_rumah (bisa juga menggunakan nama lain). Setelah
dijumlahkan, lalu dibagi 8. Caranya:
Klik menu Transform, lalu Compute Variable dan buat persamaan seperti pada
tampilan berikut:
Klik OK
Berikutnya munculkan tabel dengan cara yang sama dengan saat membuat tabel 26
komoditas sebelumnya.
45
BAB 3
BAB 3
Langkah 3: Hitung harga rata-rata setiap komoditas dengan membagi total value di suatu
provinsi atau kabupaten/kota dengan total quantity-nya, dengan rumus:
=
Pi
Vi
Qi
(, )
(, )
( , )
(, )
di mana:
( , ) = harga per unit komoditi j yang dikonsumsi di provinsi/kabupaten i
( , ) = harga per unit komoditi j di Jakarta Selatan
( , ) = volume komoditi j (unit) yang dikonsumsi di provinsi/kabupaten i
Catatan:
Jika pada tahun t tidak tersedia data modul konsumsi, maka harga harus diinflate dengan
inflasi selama tahun Modul Konsumsi yang digunakan sampai ke tahun t.
2) Menggunakan Syntax
Langkah 1:
WEIGHT BY WERT .
46
* Custom Tables.
CTABLES
/VLABELS VARIABLES=b41k8.002 b41k8.008 b41k8.011 b41k8.022 b41k8.043
b41k8.054 b41k8.058 b41k8.072 b41k8.080 b41k8.086 b41k8.092 b41k8.116
b41k8.123 b41k8.128 b41k8.140 b41k8.155 b41k8.159 b41k8.162 b41k8.168
b41k8.171 b41k8.182 b41k8.224 b1r1 b1r2
DISPLAY=DEFAULT
/TABLE b1r1 > b1r2 [C] BY b41k8.002 [SUM] + b41k8.008 [SUM] + b41k8.011
[SUM] + b41k8.022 [SUM] + b41k8.043 [SUM] + b41k8.054 [SUM] + b41k8.058
[SUM] + b41k8.072 [SUM] + b41k8.080 [SUM] + b41k8.086 [SUM] + b41k8.092
[SUM] + b41k8.116 [SUM] + b41k8.123 [SUM] + b41k8.128 [SUM] + b41k8.140
[SUM] + b41k8.155 [SUM] + b41k8.159 [SUM] + b41k8.162 [SUM] + b41k8.168
[SUM] + b41k8.171 [SUM] + b41k8.182 [SUM] + b41k8.224 [SUM]
/CATEGORIES VARIABLES=b1r1 ORDER=A KEY=VALUE EMPTY=EXCLUDE
/CATEGORIES VARIABLES=b1r2 ORDER=A KEY=VALUE EMPTY=EXCLUDE TOTAL=YES
POSITION=AFTER.
WEIGHT BY WERT .
* Custom Tables.
CTABLES
/VLABELS VARIABLES=b41k9.002 b41k9.008 b41k9.011 b41k9.022 b41k9.043
b41k9.054 b41k9.058 b41k9.072 b41k9.080 b41k9.086 b41k9.092 b41k9.116
b41k9.123 b41k9.128 b41k9.140 b41k9.155 b41k9.159 b41k9.162 b41k9.168
b41k9.171 b41k9.182 b41k9.224 b1r1 b1r2
DISPLAY=DEFAULT
/TABLE b1r1 > b1r2 [C] BY b41k9.002 [SUM] + b41k9.008 [SUM] + b41k9.011
[SUM] + b41k9.022 [SUM] + b41k9.043 [SUM] + b41k9.054 [SUM] + b41k9.058
[SUM] + b41k9.072 [SUM] + b41k9.080 [SUM] + b41k9.086 [SUM] + b41k9.092
[SUM] + b41k9.116 [SUM] + b41k9.123 [SUM] + b41k9.128 [SUM] + b41k9.140
[SUM] + b41k9.155 [SUM] + b41k9.159 [SUM] + b41k9.162 [SUM] + b41k9.168
[SUM] + b41k9.171 [SUM] + b41k9.182 [SUM] + b41k9.224 [SUM]
/CATEGORIES VARIABLES=b1r1 ORDER=A KEY=VALUE EMPTY=EXCLUDE
/CATEGORIES VARIABLES=b1r2 ORDER=A KEY=VALUE EMPTY=EXCLUDE TOTAL=YES
POSITION=AFTER.
Syntax untuk menghitung quantity komoditi non makanan (nomor 23 s.d. 26) kecuali sewa
rumah
WEIGHT BY WERT .
* Custom Tables.
CTABLES
/VLABELS VARIABLES=b42k3.237 b42k3.239 b42k3.245 b42k3.291 b1r1 b1r2
DISPLAY=DEFAULT
/TABLE b1r1 > b1r2 [C] BY b42k3.237 [SUM] + b42k3.239 [SUM] + b42k3.245
[SUM] + b42k3.291 [SUM]
/CATEGORIES VARIABLES=b1r1 ORDER=A KEY=VALUE EMPTY=EXCLUDE
/CATEGORIES VARIABLES=b1r2 ORDER=A KEY=VALUE EMPTY=EXCLUDE TOTAL=YES
POSITION=AFTER.
47
BAB 3
BAB 3
Syntax untuk menghitung value komoditi non makanan termasuk sewa rumah (nomor 23
s.d. 27)
WEIGHT BY WERT .
* Custom Tables.
CTABLES
/VLABELS VARIABLES=b42k3.234 b42k3.238 b42k3.240 b42k3.246 b42k3.292 b1r1 b1r2
DISPLAY=DEFAULT
/TABLE b1r1 > b1r2 [C] BY b42k3.234 [SUM] + b42k3.238 [SUM] + b42k3.240
[SUM] + b42k3.246 [SUM] + b42k3.292 [SUM]
/CATEGORIES VARIABLES=b1r1 ORDER=A KEY=VALUE EMPTY=EXCLUDE
/CATEGORIES VARIABLES=b1r2 ORDER=A KEY=VALUE EMPTY=EXCLUDE TOTAL=YES
POSITION=AFTER.
Langkah 2: Menghitung quantity komoditi perumahan (Q_rumah) dalam bentuk indeks kualitas
rumah
FILTER OFF.
USE ALL.
SELECT IF(b6r1 = 3).
EXECUTE .
COMPUTE Luas_Lantai = b6r5 / b2r1 .
EXECUTE .
RECODE
B6R2 (1 thru 3=1) (ELSE=0) .
EXECUTE .
RECODE
B6R3 (1=1) (ELSE=0) .
EXECUTE .
RECODE
B6R4 (1=1) (ELSE=0) .
EXECUTE .
RECODE
Luas_Lantai (10 thru Highest=1) (ELSE=0) .
EXECUTE .
RECODE
B6R6A (1 thru 4=1) (ELSE=0) .
EXECUTE .
RECODE
B6R9A (1=1) (ELSE=0) .
EXECUTE .
RECODE
B6R10A (1 thru 2=1) (ELSE=0) .
EXECUTE .
RECODE
B6R1 (3=1) (ELSE=0) .
EXECUTE .
COMPUTE Q_rumah = (B6R4+Luas_Lantai+B6R3+B6R2+B6R10A+B6R6A+B6R9A+1) / 8 .
EXECUTE .
48
()
()
()
: PPP (rupiah)
()
( )
: PPP (unit)
(i)
Langkah 2: Menghitung penyesuaian PPP (rupiah) dengan formula Atkinson sebagai berikut:
C (I) = C(i)
= Z + 2(C(i)`-`Z)1/2
di mana:
C (I)= PPP (rupiah) yang telah disesuaikan dengan formula Atkinson.
C(i) = PPP dari nilai riil pengeluaran per kapita (nilai yang dihitung pada langkah
sebelumnya).
Z = Batas tingkat pengeluaran yang ditetapkan secara arbiter sebesar
Rp.549.500 per kapita per tahun atau Rp. 1.500 per kapita per hari.
49
BAB 3
BAB
PENGHITUNGAN INDEKS
INDEKS
Pengetahuan
Angka Melek
Huruf (AMH)
Rata-rata Lama
Sekolah (MYS)
Indeks Pendidikan
Indeks Pendapatan
51
BAB 4
Penghitungan Indeks
(,)
(,)
)
(
di mana :
X(i,j)
X(i-min)
X(i-maks)
Nilai minimum dan maksimum yang digunakan dalam penghitungan IPM disajikan pada
Tabel 4.1. Nilai e0, AMH, dan MYS merujuk pada nilai yang telah ditetapkan UNDP (1994),
sehingga nilai indeks untuk masing-masing komponen tersebut dapat dibandingkan secara
internasional. Sementara nilai minimum dan maksimum PPP menyesuaikan kondisi Indonesia.
Tabel 4.1 Nilai Maksimum dan Minimum dari Setiap Komponen IPM
Komponen IPM
(1)
Maksimum
Minimum
(2)
(3)
85
100
15
25
0
0
732,720a
300,000 (1996)
360,000b (1999,
2002)
Keterangan
(4)
Standar UNDP
Standar UNDP
UNDP
Menggunakan
PDB Riil
disesuaikan
Nilai minimum dan maksimum untuk komponen PPP ditentukan sebagai berikut:
(1) Nilai minimum adalah nilai PPP provinsi terendah tahun 1990, namun kemudian mengalami
penyesuaian pada tahun 1999 akibat terjadinya krisis moneter
(2) Nilai maksimum adalah nilai PPP "target" yang ingin dicapai pada akhir PJP II oleh provinsi
yang memiliki nilai PPP tertinggi pada tahun 1993. Nilai maksimum tersebut ditetapkan 4
(empat) kali nilai PPP provinsi tertinggi tahun 1993 (Jakarta tahun 1993), suatu nilai yang
setara dengan nilai proyeksi PPP untuk provinsi tersebut pada akhir PJP II dengan asumsi
tingkat pertumbuhan PDB 6 sampai 7 persen/tahun11.
11Tingkat
pertumbuhan tersebut ditargetkan berlaku untuk perekonomian nasional selama PJP II sebagaimana
diisyaratkan dalam Repelita VI (kenaikan pendapatan per kapita riil dari US$ 700 pada akhir PJP I menjadi US$
2600 pada akhir PJP II).
52
Penghitungan Indeks
(,)
Indeks X(1,prov A)
=
=
)
(
)
(
(
(
)
)
,
(
0,80
(,)
Indeks X(21,prov A)
)
(
=
=
=
(
(
)
)
0,91
(,)
=
(
Indeks X(22,prov A)
)
(
( .
(
0,60
)
)
)
Setelah diperoleh indeks melek huruf dan indeks rata-rata lama sekolah, tahap
selanjutnya adalah menghitung indeks pendidikan dari rata-rata tertimbang kedua indeks
tersebut. Angka melek huruf diberi bobot 2 dan rata-rata lama sekolah diberi bobot 1.
Penghitungan indeks melek huruf sebagai berikut:
53
BAB 4
BAB 4
Penghitungan Indeks
Indeks X2
=
=
=
0.81
(,)
=
=
)
(
Indeks X(1,prov A)
)
(
))
0,66
Keterangan: *) nilai minimum pembilang dan penyebut berbeda karena pada tahun 1999 nilai
minimum disesuaikan menjadi Rp 360.000. Hal ini dilakukan karena krisis ekonomi
telah
menyebabkan
penurunan
daya
beli
masyarakat
secara
drastis
sebagaimana terlihat dari peningkatan angka kemiskinan dan penurunan upah riil.
Penambahan sebesar Rp 60.000 didasarkan pada perbedaan antara garis
kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru sebesar Rp 5.000 perbulan
atau setara dengan Rp 60.000 per tahun.
1
3
indeks X( , )
di mana :
Indeks X(i,j)
= 1, 2, 3;
= 1, 2 . k wilayah.
54
Penghitungan Indeks
Sebagai lanjutan dari contoh penghitungan indeks tunggal pada subbab 4.1, berikut
ditampilkan penghitungan IPM untuk provinsi A:
IPMprovA
=
=
=
x 100
,
x 100
75,77
Sementara pada reduksi shortfall, jika nilai IPM sudah tinggi, maka gerakan yang
kecilpun dapat menghasilkan nilai reduksi shortfall yang tinggi karena penyebutnya berupa sisa
langkah menuju IPM ideal. Reduksi shortfall dihitung dengan:
=
(
(
di mana:
RSF
= Reduksi Shortfall
= tahun
Panduan Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
55
BAB 4
BAB 4
Penghitungan Indeks
IPMideal = 100
Agar lebih jelas memahami penjelasan di atas, maka akan dilakukan simulasi penerapan
kedua rumus tersebut.
Tabel 4.2. IPM Provinsi S Tahun 2004-2009
Tahun
IPM
Selisih
IPM
Pertumbuhan
IPM tahunan
Reduksi shortfall
tahunan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
2005
2006
2007
2008
2009
73.70
74.05
74.40
74.75
75.10
0.35
0.35
0.35
0.35
0.4749
0.4727
0.4704
0.4682
1.331
1.349
1.367
1.386
P2005-2006 =
x 100
).
x 100
= 0.4749
(
P2008-2009 =
=
x 100
.)
x 100
= 0.4682
Sementara penerapan rumus reduksi shortfall:
RSF2005-2006 =
=
100
)
(
(
).
.)
100
= 1.33
RSF2008-2009 =
=
100
)
(
(
.)
. )
100
= 1.39
Berdasarkan simulasi di atas, terlihat bahwa dengan perubahan yang sama yaitu sebesar
0.35, nilai IPM yang semakin besar akan menghasilkan petumbuhan yang semakin kecil.
Sementara konsep reduksi shortfall justru tidak demikian. Dengan gerakan yang sama yaitu
sebesar 0.35, semakin besar nilai IPM akan menghasilkan nilai reduksi shortfall yang semakin
56
Penghitungan Indeks
besar pula. Arti dari nilai 1,39 yaitu persentase pergerakan angka IPM dari sisa langkah yang
diperlukan untuk mencapai nilai ideal (IPM tahun 2008 bergerak sebesar 1,39 persen dari sisa
langkah (24,90) untuk mencapai nilai ideal).
Simulasi di atas merupakan simulasi penghitungan reduksi shortfall tahunan. Selanjutnya
akan dihitung nilai rata-rata reduksi shortfall selama 4 tahun.
RSF2005-2009 =
=
100
)
(
(
.)
.)
100
= 1.52
Catatan: nilai reduksi shortfall yang dihitung tahunan dan rata-rata pertahun tidaklah sama
karena rata-rata yang digunakan bukanlah rata-rata aritmetika tetapi rata-rata
geometrik.
57
BAB 4
BAB 4
Penghitungan Indeks
58
BAB
59
BAB 5
Rekonsiliasi Data
a) jika pertumbuhannya kurang atau sama dengan 2*) kali rata-rata pertumbuhan per
tahunnya, maka tidak dilakukan estimasi.
b) jika pertumbuhannya lebih dari 2 kali*) rata-rata pertumbuhan per tahunnya , maka
dilakukan estimasi.
2) Untuk komponen IPM yang nilainya turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya
dilakukan dua macam penyesuaian, yaitu:
a) jika data Susenas tahun ini turun dibandingkan tahun lalu dan level data Susenas di
bawah data IPM, maka data IPM tahun ini disamakan dengan data tahun lalu.
b) jika data Susenas tahun ini turun dibandingkan tahun lalu dan level data Susenas di atas
data IPM, maka data IPM tahun ini menggunakan estimasi.
60
Rekonsiliasi Data
100
Contoh:
Jumlah Penduduk yang Melek Huruf 15 Tahun Ke Atas
Moving Average tahun 2010=
100
Penghitungan Moving Average untuk Rata-rata Lama Sekolah 15 Tahun ke Atas adalah:
Jumlah Lama Sekolah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas
per Kabupaten/Provinsi Tahun X + Jumlah Lama Sekolah
Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas per Kabupaten/Provinsi
Rata-rata Lama Sekolah Tahun X=
100
Contoh:
Jumlah Lama Sekolah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas
Rata-rata Lama Sekolah Tahun 2010=
100
3. Regresi Panel
Estimasi menggunakan model regresi panel dilakukan dengan mencari faktor-faktor yang
mempengaruhi setiap komponen IPM selama tahun 2004-2009. Model regresi panel yang sudah
dibuat adalah model untuk provinsi selama tahun 2004 sampai dengan 2009. Dengan model ini
dibuat estimasi masing-masing komponen IPM tahun 2010.
Model regresi panel untuk masing-masing komponen IPM adalah sebagai berikut (BPS,
2010).
Indikator Kesehatan
61
BAB 5
BAB 5
Rekonsiliasi Data
Ras
MysKrt
PDRBp
PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 dengan migas
Kons
Pengeluaran konsumsi rumah tangga per kapita atas dasar harga konstan
2000
Gini
Gini Rasio
TPT
Medis
Minum
Dok
Ci
Intercept model, di mana nilainya berbeda untuk setiap model dan setiap
provinsi. Keterangan lebih jelas dapat dilihat pada IPM 2008-2009 (BPS,
2010)
Rekonsiliasi Data
di mana
Pt = Nilai Komponen IPM tahun t
Po = Nilai Komponen IPM tahun dasar
r = Angka petumbuhan komponen IPM
t = Waktu (tahun)
5. Penggunaan Interval Estimasi
Berdasarkan informasi relatif standard error (RSE) setiap variabel di tingkat kabupaten,
dapat diketahui selang estimasi suatu variabel. Dalam kaitannya dengan penghitungan IPM, nilai
minimum dan maksimum angka melek huruf (AMH) dan rata-rata lama sekolah tingkat kabupaten
dapat dihitung. Setiap nilai estimasi yang masih berada di antara nilai minimum dan maksimum,
secara statistik masih dapat ditolerir karena masih berada di dalam selang kepercayaan.
Jenis Indikator
(2)
Indikator Kesehatan
Angka Morbiditas, Persentase Bayi dan Balita yang menderita Gizi Buruk,
Persentase Penolong Kelahiran Pertama oleh Tenaga Medis, Rasio tenaga
medis per penduduk.
Indikator Pendidikan
63
BAB 5
BAB 5
Rekonsiliasi Data
64
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2009. Indeks Pembangunan Manusia 2007-2008. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
_______. 2010. Indeks Pembangunan Manusia 2008-2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
BPS, UNDP. 1996. Indeks Pembangunan Manusia Perbandingan Antar Provinsi 1990-1993.
Jakarta: Badan Pusat Statistik
BPS, BAPPENAS, UNDP. 2004. Indonesia Human Development Report 2004.
http:// datastatistik-indonesia.com
Santoso, Singgih. 2001. SPSS Versi 10 Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta:
PT Elex Media Komputindo.
Suhaimi, Uzair dan Wynandin Imawan. Status dan Perkembangan Upaya Pembangunan
Manusia di Indonesia: Perbandingan Antarprovinsi, disampaikan dalam Seminar
Sehari Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 1996, Biro Analisis dan
Pengembangan BPS, Jakarta 12 Agustus 1997.
65
LAMPIRAN
Lampiran 1. Cara Pengolahan Data Menggunakan Syntax
Dalam lampiran ini, dibahas mengenai contoh melakukan seleksi kasus dengan
menggunakan syntax. Tujuan dari langkah ini adalah menyeleksi penduduk pada data Susenas
hanya pada penduduk berumur 15 tahun ke atas. Sementara penduduk di bawah umur 15 tahun
tidak digunakan dalam pengolahan. Syntax yang digunakan adalah:
SELECT IF(UMUR >= 15).
EXECUTE .
Klik tombol Run (tombol segitiga yang ditandai pada gambar di bawah),
Atau bisa juga dengan meng-klik menu Run Selection pada layar syntax.
66
Select Case hanya kepala rumah tangga saja (yang lain dihapus). Caranya, klik menu Data
Select Cases. Pada bagian Output tandai Deleted unselected cases. Kemudian pada
bagian Select, tandai if condition is statisfied lalu klik kotak bertuliskan if... di bawahnya.
Masukan variabel HB (hubungan dengan kepala keluarga) dari daftar variabel ke kolom
kosong di sebelah kanan atas dan tambahkan = 1, sehingga tampilannya sebagai berikut:
Hapus semua variabel selain variabel identitas (variabel yang ada pada blok 1 kuesioner)
dan weind (penimbang individu)
Blok semua variabel identitas lalu sort secara ascending (klik kanan lalu klik Sort Ascending)
67
Save as data individu tersebut. Tutup data individu tersebut. Namun, untuk SPSS 15.0 atau
lebih tinggi, bisa tetap dibiarkan terbuka.
Klik menu Data, lalu Merge Files, kemudian klik Add Variables. Setelah kotak di bawah
terbuka, pilih file individu yang sudah diubah sebelumnya, melalui An open dataset jika file
individunya dalam keadaan terbuka. Atau melalui An external SPSS data file jika file
individunya dalam keadaan tertutup.
68
Klik Continue, kemudian cheklist pilihan Match cases on key variables in sorted files lalu
pindahkan variabel identitas yang ada pada kolom Exclude Variables ke kolom Key
Variables dengan menggunakan tanda panah di samping kiri kolom Key Variables.
Klik OK
Kemudian variabel weind (penimbang individu) yang sudah ada dalam file modul konsumsi,
dikalikan dengan jart untuk mendapatkan penimbang yang baru dengan menggunakan
menu Compute Variable. Caranya, ketik weind_baru (penimbang individu baru) pada
kolom Target Variable, lalu masukan weind pada kolom Numeric Expression dan kalikan
dengan jart. Pada layar akan muncul tampilan berikut:
Klik OK.
69
Lampiran 3. Alasan Penggunaan Data Konsumsi Susenas (BPS dan UNDP, 1996)
Untuk mengukur daya beli penduduk antarprovinsi atau kabupaten/kota sebenarnya
tersedia berbagai alternatif seperti PDRB; rata-rata konsumsi rumah tangga yang dihitung dari
PDRB menurut penggunaannya; rata-rata konsumsi dari susenas ditimbang dengan Indeks Harga
Konsumen (IHK); dan rata-rata konsumsi dari susenas yang disesuaikan dengan indeks PPP.
Hasil evaluasi secara cermat menunjukan bahwa indikator terakhir dianggap paling baik
sebagai ukuran daya beli antarprovinsi. PDRB tidak digunakan karena dalam sistem
perekonomian di Indonesia, penduduk suatu provinsi tidak langsung menikmati hasil produksi di
masing-masing provinsi, tapi sebaliknya terjadi mobilisasi pendapatan dan keuntungan
antarprovinsi. Rata-rata konsumsi yang yang dikoreksi dengan IHK tidak dipilih sebagai indikator
PPP karena IHK hanya mencerminkan perbedaan daya beli daerah perkotaan. Disamping itu,
komoditi yang digunakan dalam penghitungan IHK kurang mencerminkan kondisi pada saat
tertentu karena hanya ditentukan dalam lima sampai sepuluh tahun sekali (out of date). Lebih
lanjut, indeks yang dihasilkan hanya benar untuk perbandingan antara dua provinsi (tepatnya
antara Jakarta yang dijadikan tolok ukur dengan provinsi lain) atau binary comparison.
Sebaliknya angka PPP yang dihitung menggunakan teknik yang dikembangkan ICP sudah dapat
dibandingkan antarprovinsi (multiple comparison). Namun demikian, angka IHK di 27 ibukota
provinsi tetap digunakan sebagai deflator dalam menghitung nilai perkiraan nilai PPP
antarprovinsi dalam harga konstan.
Lampiran 4. Paradigma Awal Penghitungan Daya Beli (BPS dan UNDP, 1996)
Pembangunan ekonomi secara ringkas dapat diartikan sebagai proses peningkatan
pendapatan nasional secara terus menerus dalam periode waktu tertentu melalui peningkatan
produktivitas per kapita. Dengan demikian pengumpulan data income, atau konsumsi sebagai
proxy dari income, dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dalam rangka penyusunan
indikator pembangunan tersebut.
Indikator tersebut, pada dasarnya mengukur nilai barang dan jasa yang diproduksi oleh
suatu perekonomian dalam periode tertentu. Berbagai persoalan kemudian apabila tingkat
pendapatan tersebut dibandingkan antarwilayah. Persoalan tersebut berasal dari basket
komoditas (commodity basket) dan harga yang akan digunakan sebagai dasar perbandingan.
Masalah pemilihan basket komoditas biasanya dapat diatasi dengan penggunaan
komoditas standar atau asumsi homogenitas pola konsumsi masyarakat yang dibandingkan
apabila data konsumsi digunakan sebagai pendekatan pendapatan. Tidak demikian halnya
dengan harga, yang sebenarnya merupakan refleksi dari tingkat efisiensi suatu perekonomian.
70
Contoh berikut ini menunjukan bahwa pemilihan harga akan sangat mempengaruhi hasil akhir
perbandingan walaupun masalah basket komoditas sudah teratasi.
Dua wilayah (A dan B) memproduksi dua komoditas yang sama dengan harga dan jumlah
produksi yang berbeda:
Jenis
Barang
1
2
Jumlah Produksi
A
B
3
8
6
4
Harga
A
2
3
B
1
4
Kalau harga di daerah A digunakan sebagai dasar penilaian, maka akan diperoleh
pendapatan daerah A sebesar 24 dan B sebesar 28. Dengan demikian pendapatan daerah A
lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan daerah B. Jika harga di daerah B dipilih sebagai
dasar perbandingan, maka pendapatan daerah A menjadi 27 dan B menjadi 24. Dengan
demikian pendapatan daerah A lebih besar dibandingkan dengan di daerah B. Nampak bahwa
perbedaan pemilihan harga dapat menghasilkan kesimpulan yang bertentangan. Hal ini karena
adanya perbedaan kualitas dan atau efisiensi produksi yang tercermin pada harga antarkedua
wilayah tersebut (perbedaan jenis komoditas yang dipilih sudah diasumsikan tidak ada).
Apabila masalah di atas dicoba diatasi dengan penggunaan nilai tukar nominal (nominal
exchange rate) memang akan diperoleh hasil perbandingan yang konsisten. Namun demikian
penghitungan nilai tukar antar daerah yang tepat tidak mudah dan bahkan dalam beberapa hal
tidak mungkin dihitung secara langsung. Hal ini dapat terjadi karena transaksi antardaerah yang
akan dibandingkan bisa jadi sangat kompleks, melibatkan berbagai jenis pasar (pasar barang
dan jasa, pasar uang, pasar modal, dsb) atau sebaliknya tidak ada sama sekali, sehingga nilai
tukarnya tidak bisa dihitung secara langsung. Terlebih lagi jika diingat bahwa nilai tukar tersebut
hanya dihitung dari barang dan jasa yang diperdagangkan antarwilayah saja sehingga
mengabaikan peranan barang dan jasa yang hanya diperdagangkan di masing-masing wilayah
atau tidak diperdagangkan sama sekali.
Pemahaman
akan
keterbatasan
nilai
tukar
nominal
diatas
telah
mendorong
pengembangan konsep nilai tukar yang sebenarnya (Real Exchange Rate). Salah satu metode
pendekatan penghitungan nilai tukar yang sesungguhnya adalah dengan menggunakan konsep
Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity/PPP). Dalam konsep PPP, nilai tukar akan berfluktuasi
sebagai akibat dari perbedaan tingkah laku harga antarwilayah sedemikian rupa sehingga nilai
tukar perdagangan (term of trade/TOT) akan konstan. Dengan demikian fluktuasi nilai tukar
tersebut sebagian besar merupakan pencerminan perbedaan tingkat inflasi (Dombusch, R.et.al
1990). Keterkaitan antara TOT, nilai tukar dan harga tersebut dapat dirumuskan sebagai:
71
= E x
Dalam konsep ini, perubahan dalam Pf (Foreign Price) atau Pd (Domestic Price) akan
mendorong E berubah sedemikian rupa untuk menjaga TOT tetap konstan. TOT ini sebenarnya
merupakan nilai tukar riil yang mencerminkan paritas daya beli (PPP) antarwilayah tersebut.
Dalam praktek, terdapat beberapa cara dalam menghitung PPP. Dua diantaranya yang
sering digunakan (luas penggunaannya) adalah Model Perbedaan Produktivitas (Productivity
Differential Model) dan Model Proyek Perbandingan Internasional (International Comparison
Project/ICP), yang juga dikenal sebagai Model Gearry-Khamis (G-K Model) sesuai dengan
nama penyusunnya.
Model perbedaan produktivitas menunjukkan bahwa perbedaan tingkat pendapatan
antarwilayah seringkali hanya karena adanya perbedaan dalam tingkat harga dan bukan
karena perbedaan dalam produktivitas. Dalam kasus perbandingan antar dua wilayah A dan B,
jika harga barang dan jasa yang diperdagangkan, Pa = Pb, maka jika produktifitas pekerja di A
sama dengan di B, tingkat upah di A lebih tinggi, hal ini akan menurunkan tingkat pendapatan
di B dari yang sebenarnya. Dengan demikian nilai tukar riil antar kedua wilayah tersebut (RA-B)
harus memperhitungkan baik barang dan jasa yang diperdagangkan antarwilayah tersebut
(tradable goods) maupun yang hanya diperdagangkan pada masing-masing wilayah (nontradable), sehingga:
di mana:
E
PT
PN
P dan q
(1-p) dan (1-q) = Share of Non tradables (proporsi barang dan jasa yang hanya
diperdagangkan pada masing-masing wilayah)
Secara sekilas model ini nampak sangat sederhana, tetapi dalam praktek akan banyak
ditemui kesulitan terutama dalam menghitung tingkat harga dan peranan masing-masing jenis
komoditas tersebut.
72
Model ke-2, G-K Method, pada dasarnya adalah penurunan perbandingan kuantitas
dengan membagi rasio pengeluaran dengan rasio harga, mengingat bahwa pengeluaran
(konsumsi) sama dengan kuantitas dikalikan harga. Secara matematis:
Sehingga
Atau
Prinsip di atas dapat diperluas untuk A sampai AA wilayah (27 wilayah) yang masingmasing mencakup 1 sampai 27 komoditas seperti yang digunakan dalam penghitungan R
antarprovinsi.
Dengan menggunakan prinsif bahwa total penawaran, akan sama dengan total
permintaan dan RA-AA adalah paritas daya beli12 masing-masing wilayah dan P1-27 adalah
harga bersama (common price atau international price) masing-masing komoditas di semua
provinsi13, maka hubungan antara nilai pengeluaran (V), kuantitas barang yang dikonsumsi (Q),
paritas daya beli, dan harga bersama dapat diuraikan sebagai berikut:
V1ARA + V1BRB + V1CRC + ... + V1AARAA
.
.
.
V27ARA + V27BRB + V27CRC + ... + V27AARAA = (Q27A+ Q27B+...+ Q27AA)P27
Total pengeluaran dalam satuan yang
konsumsi dikalikan
harga rata-ratanya.
12Paritas
daya beli disini sebenarnya merupakan harga komoditas tersebut dalam satuan yang sudah
memperhitungkan nilai tukarnya terhadap harga nasional, sehingga
=
13Harga bersama ini sebenarnya merupakan harga rata-rata nasional masing-masing komoditi, yang dihitung dari
rata-rata tertimbang harga masing-masing komoditi tersebut di tingkat provinsi (saat masih 27 provinsi)
Panduan Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
73
V1A
V1B
...
V1AA
RA
P1
...
V2A
V2B
...
V2AA
RB
P2
...
...
...
...
...
...
...
V27A
V27B
...
V27AA
RAA
...
P27
Q27A+Q27B+..+Q27AA
V (27x27)
R (27x1)
P (27x27)
V (27x27)
Sehingga R = V-1(PQ)
Hasil penghitungan R yang akhirnya digunakan dalam penghitungan IPM didasarkan atas
27 komoditas makanan dan non makanan hasil Susenas. Pada prinsipnya pemilihan ke-27
komoditas tersebut untuk mempermudah penghitungan R antarprovinsi yang berjumlah 27 (dulu)
sehingga dapat dilakukan dengan menggunakan kaidah matriks seperti telah dirumuskan.
Sedangkan kriteria pemilihannya adalah sebagai berikut.
1.
Termasuk sebagai komoditas yang penting (esensial) dalam pola konsumsi masyarakat
Indonesia.
2.
Mempunyai kuantitas karena akan digunakan sebagai penimbang seperti terlihat dalam
matriks tersebut di atas.
3.
Memperhatikan
sebaran
menurut
subkelompok
makanan
dan
nonmakanan
agar
sama dengan 1 (semacam standardisasi), sehingga peranan kuantitas dalam penentuan nilai riil R
sangat menonjol. Dalam perbandingan antarprovinsi tersebut, angka DKI Jakarta telah dipilih
sebagai dasar mengingat bahwa tingkat konsumsi di daerah ini tercatat paling tinggi sehingga
dasar tersebut bisa pula dianggap semacam target realistis yang mungkin bisa dicapai dalam
jangka waktu dekat.
Penerapan R mempengaruhi tidak hanya pengeluaran tapi bahkan peringkat
antarprovinsi. Lebih lanjut, penyesuaian dengan Atkinson juga semakin memperhalus disparitas
pengeluaran antarprovinsi karena perbedaan pengeluaran dinilai berdasarkan manfaat yang
ditimbulkannya.
74
75
Keterangan:
B1r1 : kode provinsi
B1r2 : kode kabupaten/kota
B1r3 : kode kecamatan
B1r4 : kode desa/kelurahan
B1r5 : status desa/kelurahan
B1r7 : nomor kode sampel
B1r8 : nomor urut sampel rumah tangga
Kode : kode komoditi yang dikonsumsi oleh rumah tangga
B42k3 : besar pengeluaran untuk mengkonsumsi komoditi (kode) sebulan terakhir
B42k4 : besar pengeluaran untuk mengkonsumsi komoditi (kode) 12 bulan terakhir
76
Selanjutnya masukkan variabel identitas wilayah (b1r1 sampai b1r8) sebagai identifier
variable(s) dan variabel kode sebagai index variable(s) kemudian klik next
77
Kemudian pilih Group by original variable (for example: w1, w2, w3, h1, h2, h3
kemudian klik next.
78
Kemudian pilih restructure data now jika ingin langsung di-run atau pilih paste the
syntax generated by the wizard into a syntax window jika ingin menyimpan syntax-nya.
Kemudian klik OK
Setelah tahapan restruktur dilakukan, pada data view di kolom b1r8 akan berbeda kode
di setiap barisnya, ini menunjukkan bahwa satu rumah tangga sampel sudah ter-record dalam
satu baris.
79
80
Klik OK
Jika menggunakan syntax yaitu sebagai berikut:
COMPUTE q_beras=b41k9.002 / b41k8.002.
EXECUTE.
81
Setelah muncul kotak dialog di atas, ganti Mean pada kolom Display dengan Maximum
dan Minimum yang ada pada kolom Statistics: dengan menggunakan tanda kepala
panah di tengah kedua kolom tersebut.
Klik Apply to All, lalu OK.
Cara di atas dapat diganti dengan syntax sebagai berikut:
*Custom Tables
CTABLES
/VLABELS VARIABLES=p_beras p_terigu p_singkong p_tongkol p_teri p_sapi p_ayam p_telur
p_susu
p_bayam p_kcgpjg p_kcgtnh p_tempe p_jeruk p_pepaya p_kelapa p_gula p_kopi p_garam
p_merica p_mi p_rokok p_listrik p_air p_minyak p_bensin
DISPLAY=LABEL
/TABLE BY p_beras [MAXIMUM, MINIMUM] + p_terigu [MAXIMUM, MINIMUM] + p_singkong
[MAXIMUM, MINIMUM] + p_tongkol [MAXIMUM, MINIMUM] + p_teri [MAXIMUM, MINIMUM] +
p_sapi [MAXIMUM, MINIMUM] + p_ayam [MAXIMUM, MINIMUM] + p_telur [MAXIMUM,
MINIMUM] + p_susu [MAXIMUM, MINIMUM] + p_bayam [MAXIMUM, MINIMUM] + p_kcgpjg
[MAXIMUM, MINIMUM] + p_kcgtnh [MAXIMUM, MINIMUM] + p_tempe [MAXIMUM, MINIMUM] +
p_jeruk [MAXIMUM, MINIMUM] + p_pepaya [MAXIMUM, MINIMUM] + p_kelapa [MAXIMUM,
MINIMUM] + p_gula [MAXIMUM, MINIMUM] + p_kopi [MAXIMUM, MINIMUM] + p_garam
[MAXIMUM, MINIMUM] + p_merica [MAXIMUM, MINIMUM] + p_mi [MAXIMUM, MINIMUM] +
p_rokok [MAXIMUM, MINIMUM] + p_listrik [MAXIMUM, MINIMUM] + p_air [MAXIMUM,
MINIMUM] + p_minyak [MAXIMUM, MINIMUM] + p_bensin [MAXIMUM, MINIMUM] + p_rumah
[MAXIMUM, MINIMUM].
c) Jika ditemukan harga yang tidak wajar, maka perlu dilakukan adjusting. Contoh adjusting
harga pada komoditi beras. Ketika tabulasi ditemukan harga beras hanya Rp. 167 per kg
dan ada pula yang mencapai Rp. 88.000. Langkah yang harus dilakukan yaitu:
Tentukan nilai maksimum dan minimum untuk setiap komoditi
Misalnya untuk komoditi beras harga menimumnya Rp. 1.000 per kg (harga raskin) dan
maksimum Rp 35.000 (kemungkinan harga beras tertinggi yaitu beras organik)
Ganti nilai variabel harga setiap komoditi yang diluar range harga wajar dengan cara:
Klik menu Transform Recode into Same Variables
Masukkan variabel p_beras ke dalam kolom numeric variables
82
Klik Continue OK
83
No
(1)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
84
Komoditi
Harga Minimum
(Rp)
Harga Maksimum
(Rp)
(2)
(3)
(3)
Beras
Tepung Terigu
Ketela Pohon
Tongkol/Tuna
Teri
Daging Sapi
Daging Ayam Ras
Telur Ayam Ras
Susu Kental Manis
Bayam
Kacang Panjang
Kacang Tanah
Tempe
Jeruk
Pepaya
Kelapa
Gula Pasir
Kopi
Garam
Merica
Mie Instant
Rokok Kretek
Listrik
Air
Minyak Tanah
Bensin
1.000
3.000
500
4.000
1.000
20.000
7.000
4.500
3.000
800
900
3.000
1.500
2.000
500
500
250
500
100
500
500
200
170
400
1.250
2.250
35.000
15.000
15.000
50.000
12.000
100.000
50.000
35.000
13.000
15.000
17.000
25.000
20.000
35.000
15.000
8.000
2.500
10.000
1.800
12.000
8.000
2.500
1.500
25.000
20.000
18.000
Lampiran 8.
No
Kode
Kabupaten/Kota
Nilai
No
Kode
Kabupaten/Kota
Nilai
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
1171
BANDA ACEH
0.31
34
3574
PROBOLINGGO
0.46
1174
1271
LHOKSEUMAWE
0.28
35
3577
MADIUN
0.43
SIBOLGA
0.21
36
3578
SURABAYA
6.47
1273
PEMATANG SIANTAR
0.56
37
3604
SERANG
0.74
1275
MEDAN
4.67
38
3671
TANGERANG
3.94
1277
PADANG SIDEMPUAN
0.26
39
3672
CILEGON
0.69
1371
PADANG
1.69
40
5171
DENPASAR
1.53
1471
PAKANBARU
1.7
41
5271
MATARAM
0.79
1473
DUMAI
0.37
42
5272
BIMA
0.21
10
1571
JAMBI
0.98
43
5310
MAUMERE
0.09
11
1671
PALEMBANG
2.96
44
5371
KUPANG
0.49
12
1771
BENGKULU
0.59
45
6171
PONTIANAK
1.05
13
1871
BANDAR LAMPUNG
1.91
46
6172
SINGKAWANG
0.23
14
1971
PANGKAL PINANG
0.34
47
6202
SAMPIT
0.29
15
2171
BATAM
2.02
48
6271
PALANGKARAYA
0.36
16
2172
TANJUNG PINANG
0.45
49
6371
BANJARMASIN
1.54
17
3100
JAKARTA
22.49
50
6471
BALIKPAPAN
1.11
18
3271
BOGOR
2.2
51
6472
SAMARINDA
1.31
19
3272
SUKABUMI
0.73
52
6473
TARAKAN
0.36
20
3273
BANDUNG
5.38
53
7171
MANADO
0.98
21
3274
CIREBON
0.78
54
7271
PALU
0.59
22
3275
BEKASI
5.26
55
7311
WATAMPONE
0.18
23
3276
DEPOK
3.76
56
7371
MAKASAR
2.56
24
3278
TASIKMALAYA
0.52
57
7372
PARE-PARE
0.22
25
3302
PURWOKERTO
0.47
58
7373
PALOPO
0.19
26
3372
SURAKARTA
1.27
59
7471
KENDARI
0.43
27
3374
SEMARANG
3.48
60
7571
GORONTALO
0.37
28
3376
TEGAL
0.62
61
7604
MAMUJU
0.06
29
3471
YOGYAKARTA
1.03
62
8171
AMBON
0.42
30
3509
JEMBER
0.71
63
8271
TERNATE
0.28
31
3529
SUMENEP
0.34
64
9105
MANOKWARI
0.09
32
3571
KEDIRI
0.69
65
9171
SORONG
0.34
33
3573
MALANG
1.77
66
9471
JAYAPURA
0.4
85
Lampiran 9.
86