Anda di halaman 1dari 21

Sekilas Perpajakan Dalam Properti/Real Estate 1 comment

Sebagai masyarakat tentu mengetahui bahwa dalam jual beli properti (real estate)
pasti akan bersinggungan dengan pajak-pajak yang dikenakan/dibayar, tentang
apa pajak-pajak yang dikenakan mungkin kadang kita tidak paham secara
keseluruhan apa saja yang pajak-pajak yang dipotong dalam bidang properti
tersebut.
Disini Admin @tanyaPAJAK mencoba menguraikan sedikit tentang yang
berhubungan dengan bisnis properti khusus ttg pajak-pajaknya. Tulisan ini semoga
bermanfaat buat pebisnis properti, baik pemilik tanah, pengusaha real estate,
pengusaha perseorangan, calon pembeli maupun segala yang terlibat didalamnya.
Jenis Usaha Properti
Jika dikelompokkan maka terdapat 6 (enam) bentuk properti real estate yang biasa
dikenal yaitu :
1. Real Estate Jenis Properti Apartemen, properti yang berada dalam sebuah
bangunan megah yang menjulang tinggi seperti hotel. Perlu diingat karena
bentuknya seperti rumah maka dapat dimiliki secara pribadi maupun
disewakan.
2. Real Estate Jenis Properti Perumahan, sebuah kompleks perumahan yang
dapat dihuni berbagai macam keluarga biasanya dilengkapi sarana prasarana
oleh pengelola.
3. Real Estate Jenis Properti Rukan dan Office Space, dibuat kepada pebisnis
yang ingin membuka cabang perusahaan . Kawasan ini bisa dikatakan
kawasan perkantoran yang bentuknya menyerupai rumah namun fungsinya
sebagai kantor.
4. Real Estate Jenis Properti Ruko dan Mall, Biasanya Ruko untuk jenis ini
biasanya sebagai hunian dan sekaligus umumnya perdagangan sementara
Mall berisi bermacam toko yg biasanya memiliki nama besar.
5. Real Estate Jenis Properti Tanah Kavling, merupakan tanah yang sudah
memiliki konsep pembangunan .
6. Real Estate Jenis Properti Town House, rumah dengan rancangan dan tempat
yang eksekutif dan disisi kota besar, dan khusus untuk rumah dengan
kategori lux dan mewah.
Pengelompokan di atas masih dapat dibagi-bagi lagi perjenisnya semisal
Perumahan, kita mengenal kategori rumah sederhana (RS), rumah sangat
sederhana (RSS), rumah sederhana kecil (RSK) dll.
Instansi-Instansi Terkait
Dalam hal pebangunan bisnis properti, diperlukan perijinan maupun hal-hal yang
berkaitan dengan dokumentasi maupun tata kelola lingkungan dalam daerah
tersebut, sehingga sebagai pebisnis pasti akan berhubungan dengan beberapa
instansi pemerintah seperti :
1. Departemen Perdagangan dan Perindustrian, sehubungan dengan ijin untuk
pembangunan pusat perbelanjaan dan kawasan industri.
2. Badan Pertanahan Nasional (BPN), sehubungan dengan rencana
pembebasan tanah dan pengurusan sertifikat pemilikan produk yang akan
dijual.
3. Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah ( dulu PU) sehubungan
dengan pengurusan SIUJK ( Surat Ijin Usaha Jasa Konstruksi).
4. Pemerintah Daerah (Tk. I dan Tk. II), sehubungan dengan ijin pembebasan
tanah, ijin membangun (IMB) dan pengurusan AMDAL.
Pajak Pajak Yang Dikenakan
Secara umum jenis-jenis pajak yang melekat pada bisnis properti khusus real estate
dapat pula dikelompokkan seperti :
1. PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)
PBB merupakan pajak kebendaan yang melekat pada objeknya yang dipungut
setiap tahun dan dikenakan kepada semua wajib pajak (pemilik properti). Pada
awalnya pajak ini merupakan pajak yang proses administrasinya dilakukan oleh
pemerintah pusat namun demikian seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah
dengan proporsi tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya dengan
diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD maka mulai tahun 2014
seluruh proses pengelolaan pajak ini akan dilakukan oleh pemerintah daerah.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dipungut setiap tahun dan dikenakan kepada
semua wajib pajak (pemilik properti). Tagihannya dilayangkan pemerintah setiap
bulan Maret, melalui aparat desa setempat, dalam bentuk Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang (SPPT). Adapun pembayarannya harus dilakukan paling lambat enam
bulan setelah SPPT diterbitkan ke loket-loket terdekat yang disediakan, atau ke
kantor-kantor bank yang ditunjuk pemerintah. Setelah melakukan pembayaran,
harap bukti pembayarannya disimpan. Apabila sampai batas waktu yang ditetapkan
wajib pajak belum membayar, maka akan didenda 2 persen per bulan hingga
maksimal 24 bulan.
Cara perhitungan PBB:
PBB = 0,5% dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).

NJKP = 20% dari Nilai Jual Objek Kena Pajak (NJOPKP) untuk properti dengan
NJOP dibawah Rp. 1 miliar dan 40 % untuk NJOP diatas 1 miliar
NJOPKP = NJOP NJPOKTP. Perlu dicatat, besarnya NJOPTK ini berbeda-beda
setiap daerah.
2. Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BPHTB akan dikenakan kepada Pembeli dan dibayarkan ketika terjadi peralihan hak
atau penandatanganan akta jual beli di Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Pembayaran dapat dilakukan di Bank yang ditunjuk sebagai tempat pembayaran
pajak dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.
Cara menghitung BPHTB adalah sebagai berikut :
BPHTB = (Harga Jual Faktor Tidak Kena Pajak*) x 5%
)* Faktor Tidak Kena Pajak di setiap daerah berbeda.
3. Pajak Penghasilan Bersifat Final (PPh Final)
PPh Final akan dikenakan kepada Penjual apabila Penjual adalah perseorangan atau
Sertifikat Hak Milik (SHM). Untuk Penjual adalah Perusahaan atau Sertifikat Hak
Guna Bangunan (SHGB), maka tidak dikenakan PPh Final apabila nilai transaksi
dibawah Rp. 60.000.000,-. PPh Final hanya dikenakan apabila nilai transaksi jual beli
lebih dari dari Rp. 59.999.999,00 (Enam Puluh Juta Rupiah).
Sama dengan BPHTB, PPh Final dibayarkan ketika terjadi peralihan hak atau
penandatanganan akta jua beli di Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Pembayaran dapat dilakukan di Bank yang ditunjuk sebagai tempat pembayaran
pajak dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.
Cara menghitung PPh Final adalah sebagai berikut :
PPh Final = Harga Jual x 5%
4. PPN (Pajak Pertambahan Nilai)
a, Terutang PPN
PPN akan dikenakan kepada Pembeli, dipungut oleh Penjual dengan catatan Penjual
adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan atau penghasilan dari penjualan properti
melebihi Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) per tahun. PPN dipungut pada
saat penerimaan uang muka maupun pelunasan dan dibayarkan selambatnya
tanggal 15 bulan berikutnya.
Cara menghitung PPN adalah sebagai berikut :
Apabila harga jual TIDAK TERMASUK PPN
PPN = Harga Jual x 10%
Atau
Apabila harga jual TERMASUK PPN
PPN = (Harga Jual : Dasar Pengenaan Pajak*) x 10%
)* Dasar Pengenaan Pajak adalah faktor pembagi harga jual sebesar 1,1 atau 110%
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak). NJOP dapat
dilihat pada lembar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Apabila NJOP lebih besar dari
nilai transaksi maka dasar perhitungan pajak menggunakan NJOP begitu pula
sebaliknya.
Penyerahan produk tidak seluruhnya terhutang PPN, yaitu untuk penyerahan
rumah murah PPN nya ditanggung pemerintah sebagaimana ketentuan dalam
KEPPRES No. 42 tahun 1995 tanggal 19 Juni 1995 tentang Perubahan atas KEPPRES
No. 18 tahun 1986 tentang PPN yang terhutang atas impor dan Penyerahan Barang
Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak tertentu yang ditanggung pemerintah sebagaimana
telah beberapa kali dirubah terakhir dengan KEPPRES No. 8 tahun 1988 .
b. Tidak Terutang PPN
Batasan mengenai rumah murah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.
310/KMK.04/1989 tanggal 3 April 1989, yaitu mengacu kepada surat Menteri
Keuangan kepada Menteri Perumahan Rakyat No. S-462/MK.04/86 tanggal 6 Mei
1986 sebagai berikut :
1. Penyerahannya harus melalui kredit pemilikan rumah (KPR)
2. Type bangunan adalah type 70 kebawah dengan luas tanah maksimal 200 M2
dan 165 M2 untuk rumah maisonet.
3. Perusahaan pembangunan perumahan yang melakukan penyerahan rumah
murah wajib menyampaikan laporan bulanan kepada Direktorat Jendral Pajak
(KPP setempat) mengenai : Jumlah dan type rumah mujrah yang dijual, Harga
jual rumah, jumlah PPN yang tidak dipungut (PPN yang ditanggung
pemerintah), nama perusahaan yang memberi kredit dan jangka waktu
kredit.
Menentukan apakah suatu bangunan masuk dalam kategori rumah murah atau
tidak harus memperhatikan surat Menteri Negara Urusan Perumahan Rakyat kepada
Menteri Keuangan RI No.60/BT.01.01/M/4/1985 tanggal 9 April 1985, yaitu :
1. Harga jual bangunan rumah per M2 tidak melebihi 75% dari harga rumah
dinas kelas C di daerah yang bersangkutan.
2. Harga jual tanah matang per M2 tidak melebihi perhitungan luas bangunan
rumah dikalikan harga jual tertinggi bangunan per M2 dan dibagi dengan luas
kapling.
3. Harga jual rumah beserta tanah adalah 2 (dua) kali luas bangunan rumah
dikalikan dengan harga jual tertinggi bangunan rumah per M2.
Pedoman harga per M2 rumah dinas kelas C ditetapkan oleh Bappenas dan
Departemen Keuangan setiap tahun anggaran.
5. PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah)
Disamping rumah murah ada juga produk properti yang terhutang PPn BM, yaitu
atas penyerahan apartemen, town house, rumah mewah dan kondominium,
sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2003 tanggal 20
Januari 2003 tentang Perubahan Ketiga atas PP No. 145 tahun 2000 tentang
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan PPn BM.
Menurut ketentuan dalam PP ini penyerahan apartemen, town house, rumah mewah
dan kondominium terhutang PPn BM sebesar 20 %.
Mulai tanggal 1 Juni 2009 penyerahan bangunan yang terutang PPnBM hanya
berdasarkan luas bangunan yaitu luas bangunan sebesar 350M2 atau lebih. Perlu
dilakukan pengawasan terhadap penyerahan bangunan yang kurang atau
mendekati luas bangunan 350M2 karena terdapat kemungkinan luas bangunan
yang sebenarnya lebih dari luas yang tercantum dalam dokumen.
Pengujian kebenaran harga bangunan PerM2 dapat menggunakan pendekatan
harga pokok ditambah dengan margin, atau apabila harga jual tanah dan bangunan
diketahui maka harga jual bangunan dapat dihitung secara proposional antara
harga NJOP bangunan dibandingkan dengan NJOP tanah.
PPnBM hanya dikenakan untuk properti yang dibeli dari developer dan memenuhi
kriteria sebagai barang mewah. PPnBM tidak berlaku untuk transaksi antar
perorangan. Sebagai contoh Sebuah Apartemen/town house dengan kriteria
tertentu dan menjualnya ke konsumen B, maka konsumen B akan membayar BPHTB
sebesar 5%, PPN sebesar 10% dan PPnBM 20% (bila memenuhi kriteria yang
dipersyaratkan).
Mekanisme Penjualan/Pembelian Properti (Real Estate)
a. Penjualan secara tunai
Penjualan secara tunai pada umumnya terjadi atas rumah, apartemen, Ruko dan
sebagainya yang memang telah tersedia atau siap huni. Pembeli langsung
melunasi harga jual dari bangunan, ditambah PPN, PPn BM, BPHTB dan biaya untuk
mengurus akte jual beli.
b. Kredit Pemilikan Rumah/ Apartemen
Sebagian dari harga jual dibiayai oleh bank pemberi kredit. Pembeli cukup
membayar uang muka sedangkan sisanya dibiayai dari kredit yang akan diangsur
oleh pembeli setiap bulan. Jika bank menyetujui permohonan kredit nasabah, maka
akan dibuatkan akad kredit antara bank dengan nasabah. Selanjutnya bank akan
mentransfer seluruh dana kredit tersebut ke perusahaan pengembang sebagai
pelunasan harga jual bangunan. Pembayaran uang muka dari calon pembeli (baik
sekaligus maupun diangsur) terhutang PPN.
c. Sewa
Untuk gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan biasanya dilakukan dengan cara
sewa. Besarnya biaya sewa dihitung berdasarkan tarip sewa per M2 per bulan.
Selain biaya sewa, penyewa juga akan dibebankan service charge . Biaya sewa
biasanya dibayar dimuka oleh penyewa untuk beberapa bulan sekaligus sedangkan
service charge akan ditagih setiap bulan.
d. Cicilan Tunai
Pembeli mencicil harga jual bangunan mulai saat pembangunan dimulai sampai
dengan selesainya pembangunan, biasanya masa cicilan kurang dari satu tahun.
Hal-Hal Lainnya
Permasalahan dalam bisnis properti (real estate) sangatlah kompleks jika kita
memperbincangkan dalam konteks kewajiban perpajakannya. Seorang pengusaha
properti (real estate) akan memiliki kewajiban perpajakan PPh Pasal 25/29
disamping PPh Final (Pasal 4 ayat 2) sepanjang bergerak dalam bidang real estate
jenis properti perumahan/town house karena pada umumnya pengelola juga
menangani sport center, fasilitas hiburan dll.
Dalam hal kepemilikan tanah, sering pula terjadi kerjasama antara pemilik tanah
dengan pengembang dalam bentuk kuasa jual sehingga kepemilikan tanah tetap
atas nama pemilik tanah dan pengembang hanya membangun bangunan di atas
tanah yang bersangkutan. Fakta ini menyebabkan secara formal terjadi penyerahan
dari pemilik tanah kepada pembeli tanah dan bangunan (konsumen), padahal
bangunan tersebut merupakan milik pengembang. Pada umumnya transaksi ini
dapat terjadi karena adanya perjanjian kuasa jual antara pemilik tanah dan
pengembang yang di dalamnya berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hal
ini ini diketahui setelah adanya permohonan mutasi atau pemecahan SPPT dari
pemilik tanah kepada konsumen di kantor pajak setempat.
Untuk menghindari kecurigaan terhadap harga jual properti yang dilaporkan
pengusaha properti ada baiknya seorang AR melakukan konfirmasi harga yang
sebenarnya kepada konsumen secara langsung dari rumah ke rumah atau
memperoleh bukti transfer dari konsumen atau pengembang apabila transaksi
dilakukan melalui bank atau pernyataan secara tertulis di atas materai.
Beberapa hal yang juga perlu diperhatikan adalah terdapat beberapa perusahaan
yang bekerjasama dengan pihak lain membangun fasilitas jalan atau fly over yang
akan diserahkan padapihak lain sehingga penyerahan tersebut termasuk kategori
pemakaian sendiri dan terutang PPN dengan DPP nilai lain sebesar harga pokok.
(Bersumber dari catatan-catatan seputar penggalian potensi perpajakan dibidang
properti (real estate)
Dasar Hukum
1. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tanggal 16 April 1996 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 Tanggal 04 Nopember 2008
tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994
tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan.
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2009 tentang Pelaksanaan
Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang
Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan.
5. Keputusan Menteri Keuangan N0. 635/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember
1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemungutan Pajak Penghasilan
Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.
6. Keputusan Menteri Keuangan N0. 392/KMK.04/1996 tanggal 05 Juni 1996
tentang Perubahan KMK N0. 635/KMK.04/1994 Tentang Pelaksanaan
Pembayaran dan Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 243/KMK.03/2008 Tentang Perubahan
Kedua Atas KMK No. N0. 635/KMK.04/1994 Tentang Pelaksanaan Pembayaran
dan Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak
Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.
8. SE-04/PJ.33/1996 tanggal 26 Agustus 1996 Tentang Pembayaran PPh atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
9. SE-02/PJ.33/1997 tanggal 30 Juli 1997 Tentang Tindak Lanjut Ketentuan
Peralihan Pasal 11 A PP No. 27 Tahun 1996.
10.SE-55/PJ.42/1999 Tentang PPh WP Badan Yang usaha pokoknya melakukan
transaksi penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
11.SE-80/PJ/2009 tanggal 27 Agustus 2009 Tentang pelaksanaan PPh yang
bersifat final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Reposted by: Admin @tanyaPAJAK
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pada saat anda membeli sebuah produk berupa properti pemerintah mengenakan
sejumlah pajak pada kita salah satunya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada
umumnya bila kita membeli properti tersebut dari developer, biasanya pajak-pajak
yang harus kita bayar tersebut telah termasuk dalam harga jual. Besarnya pajak
tersebut akan sangat tergantung pada jenis, nilai, luas, dan lokasi properti yang
akan kita beli.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan
Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha, impor
Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha, pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau ekspor Barang Kena Pajak oleh
Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada umumnya besarnya adalah 10% dari nilai
transaksi. Minimal nilai transaksi yang dipungut PPN adalah di atas Rp. 36 juta. PPN
hanya dikenakan satu kali saja pada saat membeli properti, baik dari developer
maupun perorangan. Jika kita membeli dari developer, maka pembayaran dan
pelaporan dilakukan melalui developer. Namun demikian jika kita membeli dari
perorangan, maka pembayaran dilakukan sendiri setelah transaksi, selambat-
lambatnya pada tanggal 15 bulan berikutnya dan dilaporkan ke kantor pajak
setempat selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.
PPN Kegiatan Membangun Sendiri
PPN kegiatan membangun sendiri diatur dalam Pasal 16C UU PPN Nomor 18 Tahun
2000, yaitu:
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau
badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan
tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri adalah apabila bangunan yang
dibangun diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas
bangunan 200 m2 atau lebih dan bersifat permanen. Artinya, bangunan dibawah
200m2 tidak terutang PPN. Perbedaan antara kegiatan membangun sendiri dengan
jasa pelaksana konstruksi adalah adanya kontrak antara pemilik bangunan dengan
perusahaan kontruksi. Dalam hal ini kontraktor konstruksi harus memiliki sertifikat
sebagai pengusaha konstruksi. Jika tidak memiliki sertifikat, maka tetap dianggap
sebagai kegiatan membangun sendiri.
Dasar Hukum
Dasar hukum dari pemberlakuan PPN atas kegiatan membangun sendiri adalah
pasal 16C Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.
Peraturan terkait lainnya yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor
554/KMK.04/2000 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai atas kegiatan Membangun Sendiri yang Dilakukan Tidak Dalam Kegiatan Usaha
atau Pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang Hasilnya Digunakan Sendiri
atau Digunakan Pihak Lain sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 320/KMK.03/2002. Kegiatan membangun sendiri akan dikenakan
PPN apabila:
1. Membangun sendiri tersebut dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan sendiri
atau digunakan oleh pihak lain,
2. Bangunan yang dibangun sendiri diperuntukkan bagi tempat tinggal atau
tempat usaha. Bangunan untuk tempat tinggal adalah bangunan atau
konstruksi yang semata-mata diperuntukkan bagi tempat tinggal (tidak
termasuk fasilitas olah raga atau fasilitas lain). Bangunan untuk tempat
usaha adalah keseluruhan bangunan atau konstruksi yang diperuntukkan
bagi tempat usaha termasuk seluruh fasilitas yang ada,
3. Luas bangunan 200 m atau lebih dan bersifat permanen yang berlaku sejak
tanggal 1 Juli 2002.
Bangunan permanen adalah bangunan yang konstruksi utamanya terdiri dari beton
dan/atau kayu tahan lama dan/atau bahan lain yang umur bangunannya lebih dari
25 (dua puluh lima) tahun.
Tarif dan Pengenaan Pajak
Kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN sebesar 10 % (sepuluh persen) dari
Dasar Pengenaan Pajak.
Dasar Pengenaan Pajak
Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 40% (empat puluh
persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan, tidak termasuk
harga perolehan tanah. Termasuk dalam pengertian jumlah biaya yang dikeluarkan
dan atau dibayarkan untuk membangun sendiri adalah juga jumlah PPN yang
dibayar atas perolehan bahan dan jasa untuk kegiatan membangun sendiri
tersebut.
Saat dan Tempat Terutang
Saat yang menentukan PPN terutang adalah saat dimulainya secara fisik kegiatan
membangun sendiri (menggali fondasi, memasang tiang pancang dan lain-lain).
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan
satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan
tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
Tempat pajak terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat
bangunan tersebut didirikan.
Penyetoran dan Pelaporan
PPN yang terutang sebesar 10% x 40% dari seluruh biaya yang dikeluarkan dan
atau dibayarkan, harus disetorkan seluruhnya dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak (SSP) atas nama orang pribadi atau badan yang melaksanakan kegiatan
membangun sendiri ke Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat tanggal 15
bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pengeluaran biaya tersebut. Dalam hal
kegiatan membangun sendiri dilakukan oleh PKP, PPN yang tercantum dalam SSP
tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, karena pembayaran PPN
tersebut merupakan pembayaran PPN untuk kegiatan tidak dalam kegiatan usaha
atau pekerjaan PKP yang bersangkutan.
Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib
melaporkan pada KPP di tempat bangunan tersebut berada dengan
mempergunakan SSP lembar ke tiga bukti setoran PPN paling lambat tanggal 20
pada bulan dilakukannya penyetoran.
Surat Teguran dan Pemeriksaan
Surat Teguran diberikan kepada orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan
membangun sendiri akan tetapi tidak memenuhi kewajibannya. Pemeriksaan pajak
dilakukan jika dalam jangka waktu 14 hari sejak diterbitkannya surat teguran, orang
pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan PPN terutang atas kegiatan
membangun sendiri
Kegiatan Membangun Sendiri di Kawasan Real Estate
Membangun sendiri pada kawasan Real Estat di atas tanah yang diperoleh sesudah
31 Desember 1994, tidak dikategorikan sebagai membangun sendiri, tetapi
dianggap dibangun oleh Real Estat. Karena pada dasarnya Real Estat tidak boleh
menjual tanah. Dengan demikian kegiatan membangun sendiri pada kawasan Real
Estat di atas tanah yang diperoleh sebelum 1 Januari 1995 masih dapat
dikategorikan sebagai kegiatan membangun sendiri. Dalam hal ini perlakuan PPN-
nya sama dengan kegiatan membangun sendiri bukan di dalam kawasan Real Estat.
Dalam hal perolehan tanah kavling pada kawasan Real Estat terjadi sesudah tanggal
1 Januari 1995, maka:
Kegiatan membangun sendiri oleh pemilik kavling, dianggap dibangun oleh
PKP Real Estat,
Dasar Pengenaan Pajak adalah sebesar nilai bangunan (tidak termasuk harga
tanah) yang dihitung oleh PKP Real Estat seandainya rumah tersebut
dibangun oleh PKP Real Estat,
Seluruh biaya yang dikeluarkan oleh pemilik kavling sehubungan dengan
pembangunan rumah tersebut, dilaporkan kepada PKP Real Estat setiap bulan
dan dianggap sebagai pembayaran termin. Berdasarkan laporan pemilik
kavling, PKP Real Estat harus memungut PPN yang terutang kepada pemilik
kavling, kemudian menyetor dan melaporkannya dalam SPT Masa PPN pada
bulan yang bersangkutan,
Apabila rumah tersebut telah selesai dibangun, PKP Real Estat harus
menentukan nilai bangunan rumah tersebut sesuai dengan patokan harga
yang berlaku. Dalam hal nilai bangunan yang dihitung oleh PKP Real Estat
lebih besar dari jumlah biaya yang telah dilaporkan oleh pemilik kavling,
maka atas selisih tersebut harus dipungut PPN, disetordan dilaporkan oleh
PKP Real Estat dalam SPT Masa PPN bulan yang bersangkutan. Apabila
patokan harga bangunan yang berlaku lebih kecil daripada jumlah biaya yang
dilaporkan maka DPP yang dipakai adalah jumlah biaya yang dilaporkan oleh
pemilik kavling tersebut, dan atas selisih tersebut tidak dapat direstitusi,
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
digunakan untuk membangun rumah tersebut tidak dapat dikreditkan.
PPN BM Atas Rumah Mewah, Apartemen, Kondominium, dan Town House
Atas barang mewah, disamping dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM. Hal ini
merupakan usaha nyata untuk menegakkan keadilan dalam pembebanan pajak
dan sekaligus merupakan upaya untuk mengurangi pola konsumsi tinggi yang tidak
produktif didalam masyarakat.
PPnBM juga hanya dipungut satu kali pada tingkat pabrikan atau pada saat impor
barang mewah tersebut.
Dasar Hukum
Peraturan yang mendasari pengenaan PPnBM atas rumah mewah, apartemen,
kondominium, dan town house adalah:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 145 tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP Nomor 12 tahun
2006,
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang jenis Barang
Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang
Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
103/PMK.03/2009.
Dasar Pengenaan Pajak
Dasar Pengenaan Pajakadalah jumlah Harga Jual, dimana berdasarkan Pasal 1
angka 18 UU PPN, Harga Jualdidefinisikan sebagai nilai berupa uang, termasuk
semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena
penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) hanya dikenakan satu kali, yaitu
terhadap penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan
oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah
tersebut. Sepanjang bangunan Unit Komersial untuk Perkantoran dan Perdagangan
yang peruntukannya sesuai Surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) hanya semata-mata untuk
kepentingan komersial, seperti cafe, restaurant, sekolah/kursus/pendidikan,
showroom, dan tidak untuk hunian atau tempat tinggal, maka atas penyerahannya
tidak terutang PPn BM. Namun demikian, apabila bangunan tersebut terbukti
dimanfaatkan sebagai hunian dan memenuhi kriteria, maka atas penyerahannya
terutang PPn BM.
Objek dan Tarif
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor No. 103/PMK.03/2009 yang
memuat Daftar Mewah Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang
Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Dengan Tarif sebesar 20%, antara
lain :
1. Rumah dan town house dari jenis non strata title, termasuk rumah kantor
atau rumah toko, yang luas bangunannya 350 m2 atau lebih ,
2. Apartemen, kondominimum, town house, dan sejenisnya dari jenis strata
title dengan luas bangunan 150 m2.
Saat Terutang
Saat terutangnya PPnBM ialah saat barang tersebut dialihkan atau dijual kepada
pihak lain, jadi apabila dipakai sendiri maka belum terutang PPnBM.
Kesimpulan:
1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas:
Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha,
Impor Barang Kena Pajak,

Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha,
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean,
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean atau,
Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak,

2. Besarnya PPN atas properti pada umumnya adalah 10% dari nilai transaksi,
3. PPN juga dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak
dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang
hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata
caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
4. Yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri adalah apabila
bangunan yang dibangun diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat
usaha dengan luas bangunan 300 m2 atau lebih dan bersifat permanen.
5. Kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN sebesar 10 % dari Dasar
Pengenaan Pajak.
6. Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 40% dari
jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan, tidak termasuk harga
perolehan tanah.
Atas barang mewah, disamping dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM yang hanya
dikenakan satu kali yaitu terhadap penyerahan BKP Yang Tergolong Mewah yang
dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan BKP Yang Tergolong Mewah tersebut.
Dasar Pengenaan Pajakadalah jumlah harga jual dengan tarif sebesar 20%.
4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

23 Votes

Pada saat anda membeli sebuah produk berupa properti pemerintah mengenakan
sejumlah pajak pada kita salah satunya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada
umumnya bila kita membeli properti tersebut dari developer, biasanya pajak-pajak
yang harus kita bayar tersebut telah termasuk dalam harga jual. Besarnya pajak
tersebut akan sangat tergantung pada jenis, nilai, luas, dan lokasi properti yang
akan kita beli.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan
Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha, impor
Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha, pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau ekspor Barang Kena Pajak oleh
Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada umumnya besarnya adalah 10% dari nilai
transaksi. Minimal nilai transaksi yang dipungut PPN adalah di atas Rp. 36 juta. PPN
hanya dikenakan satu kali saja pada saat membeli properti, baik dari developer
maupun perorangan. Jika kita membeli dari developer, maka pembayaran dan
pelaporan dilakukan melalui developer. Namun demikian jika kita membeli dari
perorangan, maka pembayaran dilakukan sendiri setelah transaksi, selambat-
lambatnya pada tanggal 15 bulan berikutnya dan dilaporkan ke kantor pajak
setempat selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.
PPN Kegiatan Membangun Sendiri
PPN kegiatan membangun sendiri diatur dalam Pasal 16C UU PPN Nomor 18 Tahun
2000, yaitu:
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau
badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan
tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri adalah apabila bangunan yang
dibangun diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas
bangunan 200 m2 atau lebih dan bersifat permanen. Artinya, bangunan dibawah
200m2 tidak terutang PPN. Perbedaan antara kegiatan membangun sendiri dengan
jasa pelaksana konstruksi adalah adanya kontrak antara pemilik bangunan dengan
perusahaan kontruksi. Dalam hal ini kontraktor konstruksi harus memiliki sertifikat
sebagai pengusaha konstruksi. Jika tidak memiliki sertifikat, maka tetap dianggap
sebagai kegiatan membangun sendiri.
Dasar Hukum
Dasar hukum dari pemberlakuan PPN atas kegiatan membangun sendiri adalah
pasal 16C Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.
Peraturan terkait lainnya yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor
554/KMK.04/2000 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai atas kegiatan Membangun Sendiri yang Dilakukan Tidak Dalam Kegiatan Usaha
atau Pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang Hasilnya Digunakan Sendiri
atau Digunakan Pihak Lain sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 320/KMK.03/2002. Kegiatan membangun sendiri akan dikenakan
PPN apabila:
1. Membangun sendiri tersebut dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan sendiri
atau digunakan oleh pihak lain,
2. Bangunan yang dibangun sendiri diperuntukkan bagi tempat tinggal atau
tempat usaha. Bangunan untuk tempat tinggal adalah bangunan atau
konstruksi yang semata-mata diperuntukkan bagi tempat tinggal (tidak
termasuk fasilitas olah raga atau fasilitas lain). Bangunan untuk tempat
usaha adalah keseluruhan bangunan atau konstruksi yang diperuntukkan
bagi tempat usaha termasuk seluruh fasilitas yang ada,
3. Luas bangunan 200 m atau lebih dan bersifat permanen yang berlaku sejak
tanggal 1 Juli 2002.
Bangunan permanen adalah bangunan yang konstruksi utamanya terdiri dari beton
dan/atau kayu tahan lama dan/atau bahan lain yang umur bangunannya lebih dari
25 (dua puluh lima) tahun.
Tarif dan Pengenaan Pajak
Kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN sebesar 10 % (sepuluh persen) dari
Dasar Pengenaan Pajak.
Dasar Pengenaan Pajak
Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 40% (empat puluh
persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan, tidak termasuk
harga perolehan tanah. Termasuk dalam pengertian jumlah biaya yang dikeluarkan
dan atau dibayarkan untuk membangun sendiri adalah juga jumlah PPN yang
dibayar atas perolehan bahan dan jasa untuk kegiatan membangun sendiri
tersebut.
Saat dan Tempat Terutang
Saat yang menentukan PPN terutang adalah saat dimulainya secara fisik kegiatan
membangun sendiri (menggali fondasi, memasang tiang pancang dan lain-lain).
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan
satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan
tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
Tempat pajak terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat
bangunan tersebut didirikan.
Penyetoran dan Pelaporan
PPN yang terutang sebesar 10% x 40% dari seluruh biaya yang dikeluarkan dan
atau dibayarkan, harus disetorkan seluruhnya dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak (SSP) atas nama orang pribadi atau badan yang melaksanakan kegiatan
membangun sendiri ke Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat tanggal 15
bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pengeluaran biaya tersebut. Dalam hal
kegiatan membangun sendiri dilakukan oleh PKP, PPN yang tercantum dalam SSP
tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, karena pembayaran PPN
tersebut merupakan pembayaran PPN untuk kegiatan tidak dalam kegiatan usaha
atau pekerjaan PKP yang bersangkutan.
Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib
melaporkan pada KPP di tempat bangunan tersebut berada dengan
mempergunakan SSP lembar ke tiga bukti setoran PPN paling lambat tanggal 20
pada bulan dilakukannya penyetoran.
Surat Teguran dan Pemeriksaan
Surat Teguran diberikan kepada orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan
membangun sendiri akan tetapi tidak memenuhi kewajibannya. Pemeriksaan pajak
dilakukan jika dalam jangka waktu 14 hari sejak diterbitkannya surat teguran, orang
pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan PPN terutang atas kegiatan
membangun sendiri
Kegiatan Membangun Sendiri di Kawasan Real Estate
Membangun sendiri pada kawasan Real Estat di atas tanah yang diperoleh sesudah
31 Desember 1994, tidak dikategorikan sebagai membangun sendiri, tetapi
dianggap dibangun oleh Real Estat. Karena pada dasarnya Real Estat tidak boleh
menjual tanah. Dengan demikian kegiatan membangun sendiri pada kawasan Real
Estat di atas tanah yang diperoleh sebelum 1 Januari 1995 masih dapat
dikategorikan sebagai kegiatan membangun sendiri. Dalam hal ini perlakuan PPN-
nya sama dengan kegiatan membangun sendiri bukan di dalam kawasan Real Estat.
Dalam hal perolehan tanah kavling pada kawasan Real Estat terjadi sesudah tanggal
1 Januari 1995, maka:
Kegiatan membangun sendiri oleh pemilik kavling, dianggap dibangun oleh
PKP Real Estat,
Dasar Pengenaan Pajak adalah sebesar nilai bangunan (tidak termasuk harga
tanah) yang dihitung oleh PKP Real Estat seandainya rumah tersebut
dibangun oleh PKP Real Estat,
Seluruh biaya yang dikeluarkan oleh pemilik kavling sehubungan dengan
pembangunan rumah tersebut, dilaporkan kepada PKP Real Estat setiap bulan
dan dianggap sebagai pembayaran termin. Berdasarkan laporan pemilik
kavling, PKP Real Estat harus memungut PPN yang terutang kepada pemilik
kavling, kemudian menyetor dan melaporkannya dalam SPT Masa PPN pada
bulan yang bersangkutan,
Apabila rumah tersebut telah selesai dibangun, PKP Real Estat harus
menentukan nilai bangunan rumah tersebut sesuai dengan patokan harga
yang berlaku. Dalam hal nilai bangunan yang dihitung oleh PKP Real Estat
lebih besar dari jumlah biaya yang telah dilaporkan oleh pemilik kavling,
maka atas selisih tersebut harus dipungut PPN, disetordan dilaporkan oleh
PKP Real Estat dalam SPT Masa PPN bulan yang bersangkutan. Apabila
patokan harga bangunan yang berlaku lebih kecil daripada jumlah biaya yang
dilaporkan maka DPP yang dipakai adalah jumlah biaya yang dilaporkan oleh
pemilik kavling tersebut, dan atas selisih tersebut tidak dapat direstitusi,
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
digunakan untuk membangun rumah tersebut tidak dapat dikreditkan.
PPN BM Atas Rumah Mewah, Apartemen, Kondominium, dan Town House
Atas barang mewah, disamping dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM. Hal ini
merupakan usaha nyata untuk menegakkan keadilan dalam pembebanan pajak
dan sekaligus merupakan upaya untuk mengurangi pola konsumsi tinggi yang tidak
produktif didalam masyarakat.
PPnBM juga hanya dipungut satu kali pada tingkat pabrikan atau pada saat impor
barang mewah tersebut.
Dasar Hukum
Peraturan yang mendasari pengenaan PPnBM atas rumah mewah, apartemen,
kondominium, dan town house adalah:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 145 tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP Nomor 12 tahun
2006,
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang jenis Barang
Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang
Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
103/PMK.03/2009.
Dasar Pengenaan Pajak
Dasar Pengenaan Pajakadalah jumlah Harga Jual, dimana berdasarkan Pasal 1
angka 18 UU PPN, Harga Jualdidefinisikan sebagai nilai berupa uang, termasuk
semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena
penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) hanya dikenakan satu kali, yaitu
terhadap penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan
oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah
tersebut. Sepanjang bangunan Unit Komersial untuk Perkantoran dan Perdagangan
yang peruntukannya sesuai Surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) hanya semata-mata untuk
kepentingan komersial, seperti cafe, restaurant, sekolah/kursus/pendidikan,
showroom, dan tidak untuk hunian atau tempat tinggal, maka atas penyerahannya
tidak terutang PPn BM. Namun demikian, apabila bangunan tersebut terbukti
dimanfaatkan sebagai hunian dan memenuhi kriteria, maka atas penyerahannya
terutang PPn BM.
Objek dan Tarif
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor No. 103/PMK.03/2009 yang
memuat Daftar Mewah Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang
Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Dengan Tarif sebesar 20%, antara
lain :
1. Rumah dan town house dari jenis non strata title, termasuk rumah kantor
atau rumah toko, yang luas bangunannya 350 m2 atau lebih ,
2. Apartemen, kondominimum, town house, dan sejenisnya dari jenis strata
title dengan luas bangunan 150 m2.
Saat Terutang
Saat terutangnya PPnBM ialah saat barang tersebut dialihkan atau dijual kepada
pihak lain, jadi apabila dipakai sendiri maka belum terutang PPnBM.
Kesimpulan:
1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas:
Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha,
Impor Barang Kena Pajak,

Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha,
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean,
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean atau,
Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak,

2. Besarnya PPN atas properti pada umumnya adalah 10% dari nilai transaksi,
3. PPN juga dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak
dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang
hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata
caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
4. Yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri adalah apabila
bangunan yang dibangun diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat
usaha dengan luas bangunan 300 m2 atau lebih dan bersifat permanen.
5. Kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN sebesar 10 % dari Dasar
Pengenaan Pajak.
6. Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 40% dari
jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan, tidak termasuk harga
perolehan tanah.
Atas barang mewah, disamping dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM yang hanya
dikenakan satu kali yaitu terhadap penyerahan BKP Yang Tergolong Mewah yang
dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan BKP Yang Tergolong Mewah tersebut.
Dasar Pengenaan Pajakadalah jumlah harga jual dengan tarif sebesar 20%.
1. Kegiatan Membangun Sendiri (KMS)
Berdasarkan Pasal 16C UU No.8/1983 STDD 42/2009, Kegiatan membangun sendiri
dikenakan PPN apabila:
1. Membangun sendiri tersebut dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh ornag pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan sendiri
atau digunakan oleh pihak lain, termasuk yang dilakukan melalui kontraktor
atau pemborong tetapi atas kegiatan membangun sendiri tersebut tidak
dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
2. Bangunan adalah berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau
diletakkan secara tetap pada satu kesatuan tanah/ dan atau perairan dengan
criteria:
A. Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bara atau
bahan sejenis dan/atau baja
B. Diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha
C. Luas keseluruhan paling sedikit 300m 2 (tiga ratus meter persegi)
D. Termasuk kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun
bangunan yang dilakukan melalui kontraktor atau pemborong tetapi
atas kegiatan membangun tersebut tidak dipungut Pajak Pertambahan
Nilai, dan kontraktor atau pemborong tersebut bukan merupakan
Pengusaha Kena pajak.
Bangunan permanen adalah bangunan yang konstruksi utamanya terdiri dari beton
dan/atau bahan lain yang umur bangunannya lebih dari 25 (dua puluh lima tahun).
Tarif dan Pengenaan Pajak
1. Kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN sebesar 10 % (sepuluh persen)
dari Dasar Pengenaan Pajak.
2. Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 40%
(empat puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau
dibayarkan, tidak termasuk harga perolehan tanah.
3. Termasuk dalam pengertian jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau
dibayarkan untuk membangun sendiri adalah juga jumlah PPN yang dibayar
atas perolehan bahan dan jasa untuk kegiatan membangun sendiri tersebut.
Saat dan tempat pajak terutang:
1. Saat yang menentukan PPN terutang adalah saat dimulainya secara fisik
kegiatan membangun sendiri (menggali fondasi, memasang tiang pancang
dan lain-lain).
2. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap
merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara
tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
3. Tempat pajak terutang atas kegiatan pajak membangun sendiri adalah di
temapt bangunan tersebut didirikan.
Penyetoran dan Pelaporan
1. PPN yang terutang sebesar 10% x 40% dari seluruh biaya yang dikeluarkan
dan atau dibayarkan, harus disetorkan seluruhnya dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama orang pribadi atau badan yang
melaksanakan kegiatan membangun sendiri ke Kantor Pos atau Bank Persepsi
paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya
pengeluaran biaya tersebut. Dalam hal kegiatan membangun sendiri
dilakukan oleh PKP, PPN yang tercantum dalam SSP tersebut tidak dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran, karena pembayaran PPN tersebut
merupakan pembayaran PPN untuk kegiatan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan PKP yang bersangkutan.
2. Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri
wajib melaporkan pada KPP di tempat bangunan tersebut berada dengan
mempergunakan SSP lembar ke tiga bukti setoran PPN paling lambat tanggal
20 pada bulan dilakukannya penyetoran.
Kegiatan Membangun Sendiri Di Kawasan Real Estat
1. Membangun sendiri pada kawasan Real Estat di atas tanah yang diperoleh
sesudah 31 Desember 1994, tidak dikategorikan sebagai membangun
sendiri, tetapi dianggap dibangun oleh Real Estat. Karena pada dasarnya Real
Estat tidak boleh menjual tanah. Dengan demikian kegiatan membangun
sendiri pada kawasan Real Estat di atas tanah yang diperoleh sebelum 1
Januari 1995 masih dapat dikategorikan sebagai kegiatan membangun
sendiri. Dalam hal ini perlakuan PPN-nya sama dengan kegiatan membangun
sendiri bukan di dalam kawasan Real Estate.
2. Dalam hal perolehan tanah kavling pada kawasan Real Estat terjadi sesudah
tanggal 1 Januari 1995, maka :
Kegiatan membangun sendiri oleh pemilik kavling, dianggap dibangun oleh PKP
Real Estate.
Dasar Pengenaan Pajak adalah sebesar nilai bangunan (tidak termasuk harga
tanah) yang dihitung oleh PKP Real Estat seandainya rumah tersebut dibangun oleh
PKP Real Estate.
Seluruh biaya yang dikeluarkan oleh pemilik kavling sehubungan dengan
pembangunan rumah tersebut, dilaporkan kepada PKP Real Estat setiap bulan dan
dianggap sebagai pembayaran termin. Berdasarkan laporan pemilik kavling, PKP
Real Estat harus memungut PPN yang terutang kepada pemilik kavling, kemudian
menyetor dan melaporkannya dalam SPT Masa PPN pada bulan yang bersangkutan.
Apabila rumah tersebut telah selesai dibangun, PKP Real Estat harus menentukan
nilai bangunan rumah tersebut sesuai dengan patokan harga yang berlaku. Dalam
hal nilai bangunan yang dihitung oleh PKP Real Estat lebih besar dari jumlah biaya
yang telah dilaporkan oleh pemilik kavling, maka atas selisih tersebut harus
dipungut PPN, disetordan dilaporkan oleh PKP Real Estat dalam SPT Masa PPN bulan
yang bersangkutan. Apabila patokan harga bangunan yang berlaku lebih kecil
daripada jumlah biaya yang dilaporkan maka DPP yang dipakai adalah jumlah biaya
yang dilaporkan oleh pemilik kavling tersebut, dan atas selisih tersebut tidak dapat
direstitusi.
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
digunakan untuk membangun rumah tersebut tidak dapat dikreditkan.

Anda mungkin juga menyukai