ETIKA DAN
HUKUM
BISNIS
KONTRAK DAN PERIKATAN
09
EKONOMI DAN BISNIS MANAJEMEN F041700021 Irvan Hermala, S.E. M.Sc.
Abstract Kompetensi
Pengertian etika dan teori etika. Tiga Mahasiswa mampu mengerti
norma umum tentang Pengertian etika
dan teori etika. Mahasiswa mampu
mengerti tentang Tiga norma umum.
Dari pengertian singkat di atas kita jumpai di dalamnya beberapa unsur yang
memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain : hubungan hukum (rechtsbetrekking)
yang menyangkut Hukum Kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi
hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.
Jadi satu pihak memperoleh “hak/recht” dan pihak sebelah lagi memikul
“kewajiban/plicht” menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah “Objek” atau
“Voorwerp” dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar
tindakan hukum; sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak
yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai “schuldeiser” atau “kreditur”.
Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai “schuldenaar” atau
“debitur”.
Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam
Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat “tanpa hak memaksa”. Jadi natuurlijke
verbintenis adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa (de verbintenis met
zonder rechtsdwang).
1. OBJEK PERJANJIAN
Onderwerp dari verbintenis ialah “prestasi”. Kreditur berhak atas prestasi yang
diperjanjikan, dan debitur wajib melaksanakan prestasi dimaksud. Kalau demikian, intisari
atau hakikat perjanjian tiada lain dari pada prestasi.
Memberikan sesuatu (te geven), sesuai dengan ketentuan pasal 1235 B.W. berarti suatu
kewajiban untuk menyerahkan atau melever (levering) benda. Objek atau voorwerp perjanjian
harus “dapat ditentukan” Pasal 1320 (3) B.W. menentukan, bahwa objek/prestasi perjanjian
harus memenuhi syarat, yaitu objeknya harus tertentu (een bepaalde onderwerp).
Bagaimana kalau objek perjanjian jenisnya (soort) tidak tertentu?. Oleh karena objek atau
jenis objek merupakan persyaratan dalam mengikat perjanjian dengan, sendirinya perjanjian
demikian “tidak sah” jika seluruh objek/voorwerpnya tidak tertentu. Misalnya
memperjanjikan seseorang untuk membangun rumah tanpa sesuatu petunjuk apapun, baik
mengenai letak, besarnya dan jenis bahan bangunannya. Perjanjian semacam ini “tidak
mempunyai kekuatan mengikat” (krachteloos). Dengan demikian, agar perjanjian itu
memenuhi kekuatan hukum yang sah, bernilai dan mempunyai kekuatan yang mengikat,
prestasi yang menjadi objek perjanjian harus “tertentu”.
Pasal 1320 (4) disebutkan : isi persetujuan harus memuat/causa yang diperbolehkan
(geoorloofde oorzaak). Apa yang menjadi objek, atau apa yang menjadi isi dan tujuan prestasi
yang melahirkan perjanjian, harus kausa yang sah. Karena itu persetujuan (overeenkomst)
yang mengisi perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepentingan
umum (opendare orde) dan nilai-nilai kesusilaan (goede zeden). Setiap perjanjian yang
objek/prestasinya bertentangan dengan yang diperbolehkan oleh undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan, perjanjian demikian melanggar persyaratan yang semestinya seperti
yang diatur pasal 1320 (4).
Dimuka telah dijelaskan bahwa perjanjian timbul disebabkan oleh adanya hubungan
hukum kekayaan antara dua orang atau lebih. Pendukung hukum perjanjian sekurang-
kurangnya harus ada dua orang tertentu. Masing- masing orang itu menduduki tempat yang
berbeda. Satu orang menjadi pihak kreditur, dan yang seorang lagi sebagai pihak debitur.
Kreditur dan debitur itulah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditur mempunyai hak atas
prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi.
Maka sesuai dengan teori dan praktek hukum, kreditur terdiri dari :
3. LAHIRNYA PERJANJIAN
a. Persetujuan (overeenkomst).
b. Dari Undang-Undang.
Persetujuan atau overeenkomst bisa juga disebut “Contract” yang berarti suatu
tindakan/perbuatan seseorang atau lebih yang mengikatkan diri kepada seorang lain
Undang-undang telah menentukan syarat sahnya suatu persetujuan atau kontrak (pasal
1320 B.W.), yakni suatu persetujuan yang dianggap sah harus memenuhi beberapa syarat :
1. Adanya perizinan sebagai kata sepakat secara sukarela dari kedua belah pihak yang
membuat persetujuan (toestemming).
Perjanjian yang lahir dari undang-undang diatur dalam pasal 1352 B.W. :
Sekarang yang menjadi persoalan ialah persetujuan/perjanjian yang lahir dari undang-
undang sebagai akibat “perbuatan manusia” Sesuai dengan ketentuan pasal 1353 B.W. dapat
dibedakan persetujuan yang timbul akibat dari perbuatan manusia :
Perbuatan yang “rechtmatige” atau yang sesuai dengan hukum, yang mengakibatkan
timbulnya perikatan, nampaknya seolah-oah merupakan “quasi-contract”. Mirip seperti
perjanjian semu. Cuma pada kontrak biasa terjadi pernyataan kehendak dari kedua belah
pihak secara serentak. Lain halnya pada perikatan yang diakibatkan perbuatan rechmatige
sebagai quasi kontrak.
Persetujuan perikatan lahir dari sepihak apabila dia telah mengikatkan diri karena
perbuatan hukum yang sah/dibenarkan; sekalipun tanpa persetujuan pihak yang lain.
Dengan sendirinya si pelaku tersebut telah mengikatkan diri melaksanakan maksud
perbuatan hukum yang dibenarkan tadi, serta bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
kesempurnaan pelaksnaannya. Kalau “onrechtmatige daad”, perbuatan itu seolah-olah
merupakan delik atau “quasi-delict”.
Misalnya saja, seseorang oleh karena kelalaian (culpa) atau oleh karena kekurang
hati- hatian (onvorzichtig heid) telah mengakibatkan luka atau mati, ataupun menimbulkan
kerugian harta benda orang lain; adalah perbuatan/tindakan yang mendekati perbuatan
delik pidana. Itulah sebabnya onrechtmatige daad kita lihat seolah-olah mirip quasi delik.
Onrechtmatige daad diatur dalam pasal 1365 B.W. yang menyatakan setiap perbuatan
melanggar hukum/perbuatan dursila yang menyebabkan timbulnya kerugian terhadap
orang lain, mewajibkan si pelaku untuk membayar ganti kerugian.
Pentingnya arti kecakapan menurut hukum tentunya mempunyai 2 (dua) maksud, yaitu:
1. Maksud yang dilihat dari sudut rasa keadilan, yaitu perlunya orang yag membuat
jawab yang dipikulnya dengan perbuatan tersebut.
2. Maksud yang dilihat dari sudut ketertiban hukum, yang berarti orang yang membuat
perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, artinya orang tersebut harus seorang
yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat atas harta kekayaannya.
Dalam KUH Perdata juga disebutkan adanya 3 (tiga) kelompok orang yang
tergolong tidak cakap untuk bertindak di dalam hukum :
Adanya suatu hal tertentu, artinya apa yang telah diperjanjikan dalam suatu perjanjian,
haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk
dapat menetapkan kewajiban si terutang jika terjadi sengketa.
Adanya suatu sebab yang halal, dimaksudkan tidak lain pada isi perjanjian itu sendiri.
Menurut pasal 1335 KUH Perdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab
C. AZAS-AZAS KONTRAK
Salah satu kegiatan penting yang senantiasa dilakukan dalam dunia bisnis (usaha)
adalah membuat beraneka ragam perjanjian (kontrak). Terdapat 3 (tiga) asas dalam
membuat perjanjian, yaitu : asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan mengikat dan asas
bahwa perjanjian hanya melahirkan ikatan antara para pihak yang membuatnya.
Asas kebebasan berkontrak yang dimaksud meliputi bentuk dan isi dari perjanjian.
Bentuk perjanjian berupa kata sepakat (konsensus) saja sudah cukup, dan apabila
dituangkan dalam suatu akta (surat) hanyalah dimaksud sekadar sebagai alat pembuktian
semata saja. Sedangkan mengenai isinya, para pihak yang pada dasarnya bebas
menentukan sendiri apa yang mereka ingin tuangkan.
Setiap akta perjanjian/kontrak, baik yang dibuat di bawah tangan maupun akta otentik
biasanya akan terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut :
b. Kepala/Pembukaan (Opening).
c. Komparisi.
f. Isi Perjanjian.
h. Penutup (Closure).
- Saksi-saksi (witnesses).
- Lampiran (Attachments/exhibits).
Mengenai syarat-syarat dalam suatu akta perjanjian dapat dibagi atas 3 (tiga) syarat, yaitu :
1. Syarat Esensialia
2. Syarat Naturalia
3. Syarat Aksidentalia
Syarat Esensialia adalah syarat yang harus ada dalam perjanjian, kalau syarat ini tidak
ada, maka perjanjian tersebut cacat (tidak sempurna), artinya tidak mengikat semua pihak.
Misalnya dalam perjanjian sewa menyewa, syarat esesialia adalah syarat tentang barang dan
harga sewa.
Kalau dalam akta tidak dirumuskan barangnya, artinya tidak ada yang disewakan, maka
tidak ada perjanjian sewa menyewa. Demikian pula jika dirumuskan barangnya tetapi tidak
ada harga sewanya, maka tetap tidak ada perjanjian sewa menyewa. Syarat Naturalia adalah
syarat yang biasa dicantumkan dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak ada, maka
perjanjian tidak akan cacat tapi tetap sah. Syarat naturalia mengenai suatu perjanjian terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan kebiasaan.
Misalnya dalam perjanjian sewa menyewa, bila tidak diatur syarat bahwa kalau
menyewa memasang pompa air listrik ia boleh mengambil pompa air jika ia meninggalkan
rumah setelah masa sewa berakhir. Syarat Aksidentalia, adalah merupakan syarat-syarat yang
bersifat khusus. Syarat aksidentalia ini biasanya tidak mutlak dan tidak biasa, tetapi apabila
Selanjutnya penutup suatu akta di bawah tangan akan dimuat dengan kalimat :
”Demikianlah akta ini dibuat ” dan seterusnya, sedangkan akta notaris dimulai dengan
kalimat : ”Demikianlah akta ini dibuat dalam minuta ” dan seterusnya.
Yang terakhir yang harus ada dalam suatu akta adalah adanya tanda tangan dari para
pihak beserta saksi-saksinya. Dengan membubuhkan tanda tangan berarti para pihak telah
menyetujui atau mengikatkan dirinya dalam kontrak dan akan melaksanakan kontrak yang
telah dibuat.
Jadi dalam pemenuhan hal-hal yang dapat dituntut ialah sepanjang hal itu telah
ditentukan sebagai kewajiban debitur. Sesuatu tuntutan yang tak diwajibkan dalam perjanjian
harus dinyatakan “tidak dapat diterima” (niet onvandkelijk).
2. WANPRESTASI
Dalam membicarakan “wanprestasi” kita tidak bisa terlepas dari masalah “pernyataan
lalai” (ingebrekke stelling) dan “kelalaian” (verzuim).
“ pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut
selayaknya.”
Kalau begitu seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi,
apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga
“terlambat” dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak
menurut “sepatutnya/selayaknya”.
Sebab dengan tindakan debitur dalam melaksanakan kewajiban “tidak tepat waktu” atau
“tidak layak”, jelas merupakan “pelanggaran” hak kreditur. Setiap pelanggaran hak orang
lain, berarti merupakan “perbuatan melawan hukum” atau “onrechmatige daad”.
Kekurang tepatan waktu dan kekurang patutan yang dapat dipakai sebagai dasar
wanprestasi, adalah jika timbul oleh keadaan-keadaan yang benar-benar dapat
“diperkirakan” oleh debitur. Namun untuk membenarkan keadaan di luar perkiraannya
itu, debitur harus membuktikan akan adanya keadaan memaksa di luar perhitungan dan
kemampuannya
Jika wanprestasi itu benar-benar menimbulkan kerugian kepada kreditur, maka debitur
“wajib” mengganti kerugian yang timbul. Akan tetapi untuk itu harus ada hubungan
“sebab-akibat” atau “kausal verband” antara wanprestasi dengan kerugian. Tentang
kerugian apa saja yang dapat dituntut kreditur, diatur dalam pasal 1248 B.W. :
penggantian perongkosan, kerugian dan bunga yang boleh dituntut kreditur ialah :
- Kerugian yang diderita kreditur;
Pengertian yang umum ganti rugi ialah : “kerugian nyata” atau “fietelijke
nadeel” yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi. Kerugian nyata ini ditentukan oleh
suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur.
Kalau begitu dapat kita ambil suatu rumusan, besarnya jumlah ganti rugi kira-kira :
sebesar jumlah yang “wajar” sesuai dengan besarnya nilai prestasi yang menjadi objek
perjanjian di banding dengan keadaan yang menyebabkan timbulnya wanprestasi.
Atau ada juga yang berpendapat : besarnya ganti rugi ialah “sebesar kerugian
nyata” yang diderita kreditur yang menyebabkan timbulnya kekurangan nilai
keuntungan yang akan diperolehnya.
Menurut hemat kami, suatu hal yang tak bisa dipisahkan dalam memperkirakan
besarnya jumlah ganti rugi ialah : perbandingan antara keadaan wanprestasi dengan
kerugian yang sungguh-sungguh nyata terjadi. Sesuai dengan ketentuan pasal 1243
B.W. dan seterusnya yang menentukan bahwa salah satu jenis ganti rugi yang dapat
dituntut kreditur terhadap debitur ialah ganti rugi bunga yang disebut juga “interesse”.
Ini terutama dalam perjanjian yang berisi pembayaran sejumlah uang tertentu.
Istimewanya dalam perjanjian pembayaran sejumlah yang tertentu tadi, kreditur
sedikitpun tidak perlu dibebani untuk membuktikan kerugian dan besarnya kerugian
yang dialaminya.
Adapun bunga undang-undang dihitung sejak dari hari gugatan dimajukan. Jadi kalau
perjanjian berupa pembayaran sejumlah uang tertentu, ganti rugi ongkos, kerugian dan
bunga sudah dapat dituntut tanpa pembebanan pembuktian bagi pihak kreditur. Asal
pembayaran sudah terlambat dari waktu yang telah ditetapkan berarti telah ada wanprestasi
(pasal 1250 ayat 1). Mengenai besarnya bunga yang dapat dikabulkan dalam perjanjian
demikian ialah : bunga undang-undang. Bunga undang-undang yang selalu disebut
“moratorium interesse” telah diatur dalam stb. 1848 no. 22 jo 1849 no. 63, yakni sebesar
6 % setahun.
Jika dalam perjanjian tidak ditetapkan besarnya bunga uang, maka bunga yang dapat
diminta hanya moratorium interesse sebesar 6 % per tahun. Akan tetapi jika dalam
perjanjian ada ditetapkan besarnya bunga, sebesar 4 % atau 7 % per bulan, penetapan
bunga yang demikian adalah “mengikat”.
Kalau terjadi wanprestasi, kreditur dapat menuntut pembayaran bunga tersebut dan
bukan bunga undang-undang. Ini sesuai dengan pasal 1338 B.W. : apa-apa yang telah
diperjanjikan menjadi undang-undang yang mengikat bagi para pihak.
4. OVERMACHT
Overmacht ialah suatu keadaan yang “memaksa”. Overmacht menjadi landasan hukum
yang “memaafkan” kesalahan seorang debitur. Peristiwa overmacht “mencegah” debitur
menanggung akibat dan risiko perjanjian. Itulah sebabnya overmacht merupakan
penyimpangan dari asas umum. Dengan kata lain, debitur bebas/lepas dari kewajiban
membayar ganti-rugi, apabila dia berada dalam keadaan “evermacht”, dan overmacht itu
menghalangi/merintangi debitur melaksanakan pemenuhan prestasi.
Pasal 1244 B.W. telah merumuskan : debitur yang terlambat atau lalai melaksanakan
kewajiban prestasi yang diperjanjikan, dan hal itu menimbulkan kerugian kepada pihak
kreditur, “tidak” mewajibkan debitur membayar ganti kerugian jika ia dapat
“membuktikan”, bahwa hal itu terjadi “diluar” kesalahannya. Tetapi mesti semata-mata
oleh sebab keadaan yang datang di luar kemampuan perhitungannya.
Pasal 1245 B.W. menegaskan lagi : debitur “tidak wajib” membayar kerugian ongkos,
kerugian dan bunga uang, apabila kerugian yang terjadi itu disebabkan oleh suatu kejadian
yang “tiba-tiba” yang menghalangi/merintangi debitur untuk memberikan sesuatu atau
melakukan sesuatu (te geven en te doen) yang diwajibkan atau yang dilarang dalam
perjanjian.
Pada pasal 1245 B.W. ada dua hal yang disebut dapat menghalangi / merintangi
pelaksanaan pemenuhan prestasi :
- Overmacht, “keadaan memaksa” atau keadaan yang berada di luar kemampuan
debitur.
Sebenarnya, sekalipun terdapat dua istilah yaitu overmacht dan toeval, hakekat
kedua istilah tadi tidak menimbulkan pengertian yang berbeda. Baik pada
overmacht/keadaan memaksa maupun pada toeval/kejadian tiba-tiba sama-sama
mempunyai makna menghalangi/merintangi debitur melakukan kewajiban yang
diperjanjikan. Sedemikian rupa rintangan / halangan itu, sehingga debitur “tidak
mungkin” (onmogelijk) melakukan pemenuhan prestasi. Kalau begitu, baik overmacht
maupun toeval ialah keadaan atau peristiwa yang menempatkan debitur berada dalam
“keadaan tidak mungkin” melakukan prestasi.