Anda di halaman 1dari 17

MODUL PERKULIAHAN

ETIKA DAN
HUKUM
BISNIS
KONTRAK DAN PERIKATAN

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

09
EKONOMI DAN BISNIS MANAJEMEN F041700021 Irvan Hermala, S.E. M.Sc.

Abstract Kompetensi
Pengertian etika dan teori etika. Tiga Mahasiswa mampu mengerti
norma umum tentang Pengertian etika
dan teori etika. Mahasiswa mampu
mengerti tentang Tiga norma umum.

2020 ETIKA DAN HUKUM BISNIS


1 Irvan Hermala, S.E. M.Sc
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
A. PENGERTIAN KONTRAK ATAU PERJANJIAN

Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian :


“ Suatu hubungan Hukum Kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang
memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. “

Dari pengertian singkat di atas kita jumpai di dalamnya beberapa unsur yang
memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain : hubungan hukum (rechtsbetrekking)
yang menyangkut Hukum Kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi
hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.

Jadi satu pihak memperoleh “hak/recht” dan pihak sebelah lagi memikul
“kewajiban/plicht” menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah “Objek” atau
“Voorwerp” dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar
tindakan hukum; sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak
yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai “schuldeiser” atau “kreditur”.
Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai “schuldenaar” atau
“debitur”.

Karakter hukum kekayaan dalam harta benda keluarga (familie


vermogensrechtelijke) adalah lahir dengan sendirinya, semata-mata karena ketentuan
undang-undang. Vermogenrecht/hukum kekayaan yang bersifat pribadi dalam
perjanjian/verbintenis baru bisa tercipta apabila ada “tindakan hukum”/rechtshandeling.
Sekalipun yang menjadi objek atau voorwerp (voorwerp der verbintenis) itu merupakan
benda, namun hukum perjanjian hanya mengatur dan mempermasalahkan hubungan
benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara “pribadi tertentu” (bepaalde
persoon).

Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam

2020 ETIKA DAN HUKUM BISNIS


2 Irvan Hermala, S.E. M.Sc
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
perjanjian adalah bersifat “hak relatif”/relatief recht.

Dia hanya mengatur hubungan antara “pribadi tertentu”/bepaalde persoon, bukan


terhadap semua orang pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang
telah mengikatkan diri padanya berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan hukum
/recht betrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara orang-orang tertentu
saja.
Artinya :
“ hak atas prestasi baru ada pada persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada
hubungan hukum yang lahir atas perbuatan hukum.”

Verbintenis/perjanjian mempunyai sifat “yang dapat dipaksakan”


(afduringbaarheid). Dalam perjanjian, kreditur/zchuldeiser berhak atas prestasi yang telah
diperjanjikan. Hak mendapatkan prestasi tadi “dilindungi” oleh hukum berupa “sanksi”.
Ini berarti kreditur diberi “kemampuan” oleh hukum untuk memaksa debitur/schuldenaar
menyelesaikan pelaksanaan kewajiban/prestasi yang mereka perjanjikan.

Apabila debitur enggan “secara sukarela” (vrijwillig) memenuhi kewajiban prestasi,


kreditur dapat meminta kepada Pengadilan untuk melaksanakan sanksi hukum, baik
berupa eksekusi, ganti rugi (schade vergoeding) atau uang paksa (dwangsom). Akan tetapi
tidak seluruhnya verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan, kekecualian
terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis.

Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat “tanpa hak memaksa”. Jadi natuurlijke
verbintenis adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa (de verbintenis met
zonder rechtsdwang).

1. OBJEK PERJANJIAN

Onderwerp dari verbintenis ialah “prestasi”. Kreditur berhak atas prestasi yang
diperjanjikan, dan debitur wajib melaksanakan prestasi dimaksud. Kalau demikian, intisari
atau hakikat perjanjian tiada lain dari pada prestasi.

2020 ETIKA DAN HUKUM BISNIS


3 Irvan Hermala, S.E. M.Sc
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Jika undang-undang telah menetapkan “subjek” perjanjian yaitu pihak kreditur yang
berhak atas prestasi dan pihak debitur yang wajib melaksanakan prestasi, maka intisari atau
“objek dari perjanjian ialah prestasi itu sendiri. Sesuai dengan ketentuan pasal 1234 B.W.
prestasi yang diperjanjikan itu ialah untuk “menyerahkan, menyerahkan sesuatu”,
“melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan
sesuatu” (te geven, te doen, of niet te doen).

Memberikan sesuatu (te geven), sesuai dengan ketentuan pasal 1235 B.W. berarti suatu
kewajiban untuk menyerahkan atau melever (levering) benda. Objek atau voorwerp perjanjian
harus “dapat ditentukan” Pasal 1320 (3) B.W. menentukan, bahwa objek/prestasi perjanjian
harus memenuhi syarat, yaitu objeknya harus tertentu (een bepaalde onderwerp).

Bagaimana kalau objek perjanjian jenisnya (soort) tidak tertentu?. Oleh karena objek atau
jenis objek merupakan persyaratan dalam mengikat perjanjian dengan, sendirinya perjanjian
demikian “tidak sah” jika seluruh objek/voorwerpnya tidak tertentu. Misalnya
memperjanjikan seseorang untuk membangun rumah tanpa sesuatu petunjuk apapun, baik
mengenai letak, besarnya dan jenis bahan bangunannya. Perjanjian semacam ini “tidak
mempunyai kekuatan mengikat” (krachteloos). Dengan demikian, agar perjanjian itu
memenuhi kekuatan hukum yang sah, bernilai dan mempunyai kekuatan yang mengikat,
prestasi yang menjadi objek perjanjian harus “tertentu”.

Pasal 1320 (4) disebutkan : isi persetujuan harus memuat/causa yang diperbolehkan
(geoorloofde oorzaak). Apa yang menjadi objek, atau apa yang menjadi isi dan tujuan prestasi
yang melahirkan perjanjian, harus kausa yang sah. Karena itu persetujuan (overeenkomst)
yang mengisi perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepentingan
umum (opendare orde) dan nilai-nilai kesusilaan (goede zeden). Setiap perjanjian yang
objek/prestasinya bertentangan dengan yang diperbolehkan oleh undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan, perjanjian demikian melanggar persyaratan yang semestinya seperti
yang diatur pasal 1320 (4).

2020 ETIKA DAN HUKUM BISNIS


4 Irvan Hermala, S.E. M.Sc
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2. SUBJEK PERJANJIAN

Dimuka telah dijelaskan bahwa perjanjian timbul disebabkan oleh adanya hubungan
hukum kekayaan antara dua orang atau lebih. Pendukung hukum perjanjian sekurang-
kurangnya harus ada dua orang tertentu. Masing- masing orang itu menduduki tempat yang
berbeda. Satu orang menjadi pihak kreditur, dan yang seorang lagi sebagai pihak debitur.
Kreditur dan debitur itulah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditur mempunyai hak atas
prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi.

Maka sesuai dengan teori dan praktek hukum, kreditur terdiri dari :

a. Individu sebagai persoon yang bersangkutan :

- Natuurlijke persoon atau manusia tertentu.

- Rechts persoon atau badan hukum.

b. Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan/hak orang lain


tertentu.
c. Persoon yang dapat diganti.

3. LAHIRNYA PERJANJIAN

Sesuai dengan ketentuan pasal 1233 B.W. perjanjian timbul karena :

a. Persetujuan (overeenkomst).

b. Dari Undang-Undang.

a. Perjanjian yang lahir dari Persetujuan.

Persetujuan atau overeenkomst bisa juga disebut “Contract” yang berarti suatu
tindakan/perbuatan seseorang atau lebih yang mengikatkan diri kepada seorang lain

2020 ETIKA DAN HUKUM BISNIS


5 Irvan Hermala, S.E. M.Sc
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
atau lebih (pasal 1313 B.W.). Tindakan/perbuatan (hadeling) yang menciptakan
persetujuan, berisi “pernyataan kehendak” (wils verklaring) antara para pihak. Dengan
demikian persetujuan tiada lain dari pada “persesuaian kehendak” antara para pihak.
Namun perlu diingat, sekalipun pasal 1313 B.W. menyatakan bahwa kontrak atau
persetujuan adalah tindakan atau perbuatan (handeling), tapi tindakan yang dimaksud dalam
hal ini adalah tindakan atau perbuatan hukum (rechtshandeling). Sebab tidak semua
tindakan/perbuatan mempunyai akibat hukum (rechtsgevolg). Hanya tindakan hukum sajalah
yang dapat menimbulkan akibat hukum.

Undang-undang telah menentukan syarat sahnya suatu persetujuan atau kontrak (pasal

1320 B.W.), yakni suatu persetujuan yang dianggap sah harus memenuhi beberapa syarat :

1. Adanya perizinan sebagai kata sepakat secara sukarela dari kedua belah pihak yang
membuat persetujuan (toestemming).

2. Kecakapan atau kedewasaan (bekwaamheid) pada diri yang membuat persetujuan.

3. Harus mengenai pokok atau objek yang tertentu (bepaalde onderwerp).

4. Dasar alasan sebab musabab yang diperbolehkan (geoorloofde oorzaak).

b. Perjanjian yang lahir dari Undang-Undang.

Perjanjian yang lahir dari undang-undang diatur dalam pasal 1352 B.W. :

1. Semata-mata dari undang-undang;

2. Dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia.

Sekarang yang menjadi persoalan ialah persetujuan/perjanjian yang lahir dari undang-
undang sebagai akibat “perbuatan manusia” Sesuai dengan ketentuan pasal 1353 B.W. dapat
dibedakan persetujuan yang timbul akibat dari perbuatan manusia :

1. Yang sesuai dengan hukum atau perbuatan yang “rechtmatig”

2020 ETIKA DAN HUKUM BISNIS


6 Irvan Hermala, S.E. M.Sc
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2. Karena perbuatan dursila atau perbutan yang bertentangan dengan
hukum (onrechtmatige daad).

Perbuatan yang “rechtmatige” atau yang sesuai dengan hukum, yang mengakibatkan
timbulnya perikatan, nampaknya seolah-oah merupakan “quasi-contract”. Mirip seperti
perjanjian semu. Cuma pada kontrak biasa terjadi pernyataan kehendak dari kedua belah
pihak secara serentak. Lain halnya pada perikatan yang diakibatkan perbuatan rechmatige
sebagai quasi kontrak.

Persetujuan perikatan lahir dari sepihak apabila dia telah mengikatkan diri karena
perbuatan hukum yang sah/dibenarkan; sekalipun tanpa persetujuan pihak yang lain.
Dengan sendirinya si pelaku tersebut telah mengikatkan diri melaksanakan maksud
perbuatan hukum yang dibenarkan tadi, serta bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
kesempurnaan pelaksnaannya. Kalau “onrechtmatige daad”, perbuatan itu seolah-olah
merupakan delik atau “quasi-delict”.

Misalnya saja, seseorang oleh karena kelalaian (culpa) atau oleh karena kekurang
hati- hatian (onvorzichtig heid) telah mengakibatkan luka atau mati, ataupun menimbulkan
kerugian harta benda orang lain; adalah perbuatan/tindakan yang mendekati perbuatan
delik pidana. Itulah sebabnya onrechtmatige daad kita lihat seolah-olah mirip quasi delik.

Onrechtmatige daad diatur dalam pasal 1365 B.W. yang menyatakan setiap perbuatan
melanggar hukum/perbuatan dursila yang menyebabkan timbulnya kerugian terhadap
orang lain, mewajibkan si pelaku untuk membayar ganti kerugian.

B. SYARAT SAH KONTRAK

Adapun syarat-syarat sahnya kontrak adalah sebagai berikut :

1. Adanya kata sepakat di antara para pihak.

2. Adanya kecakapan tertentu.

3. Adanya suatu hal tertentu.

4. Adanya suatu sebab tertentu.


2020 ETIKA DAN HUKUM BISNIS
7 Irvan Hermala, S.E. M.Sc
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Mengenai syarat kata sepakat dan kecakapan tertentu dinamakan sebagai syarat-syarat
subjektif, karena kedua syarat tertentu mengenai subjeknya atau orang-orangnya yang
mengadakan kontrak (perjanjian). Sedangkan syarat mengenai suatu hal tertentu dan suatu
sebab yang halal dinamakan sebagai syarat-syarat objektif, karena kedua syarat tersebut
isinya mengenai objek perjanjian dari perbuatan hukum yang dilakukan. Adanya kata
sepakat dimaksudkan bahwa : kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian setuju atau
seia-sekata mengenai hal-hal pokok dari kontrak.

Pentingnya arti kecakapan menurut hukum tentunya mempunyai 2 (dua) maksud, yaitu:
1. Maksud yang dilihat dari sudut rasa keadilan, yaitu perlunya orang yag membuat
jawab yang dipikulnya dengan perbuatan tersebut.
2. Maksud yang dilihat dari sudut ketertiban hukum, yang berarti orang yang membuat
perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, artinya orang tersebut harus seorang
yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat atas harta kekayaannya.

Dalam KUH Perdata juga disebutkan adanya 3 (tiga) kelompok orang yang
tergolong tidak cakap untuk bertindak di dalam hukum :

a. Orang-orang yang belum dewasa.

b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan.

c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang, dan semua


orang kepada siapa UU telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Adanya suatu hal tertentu, artinya apa yang telah diperjanjikan dalam suatu perjanjian,
haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk
dapat menetapkan kewajiban si terutang jika terjadi sengketa.

Adanya suatu sebab yang halal, dimaksudkan tidak lain pada isi perjanjian itu sendiri.
Menurut pasal 1335 KUH Perdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab

2020 ETIKA DAN HUKUM BISNIS


8 Irvan Hermala, S.E. M.Sc
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
(causa) yang halal atau dibuat dengan suatu causa yang palsu atau terlarang, tidak
mempunyai kekuatan hukum.

C. AZAS-AZAS KONTRAK

Salah satu kegiatan penting yang senantiasa dilakukan dalam dunia bisnis (usaha)
adalah membuat beraneka ragam perjanjian (kontrak). Terdapat 3 (tiga) asas dalam
membuat perjanjian, yaitu : asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan mengikat dan asas
bahwa perjanjian hanya melahirkan ikatan antara para pihak yang membuatnya.

Asas kebebasan berkontrak yang dimaksud meliputi bentuk dan isi dari perjanjian.
Bentuk perjanjian berupa kata sepakat (konsensus) saja sudah cukup, dan apabila
dituangkan dalam suatu akta (surat) hanyalah dimaksud sekadar sebagai alat pembuktian
semata saja. Sedangkan mengenai isinya, para pihak yang pada dasarnya bebas
menentukan sendiri apa yang mereka ingin tuangkan.

Dalam asas kebebasan berkontrak, pembuat undang-undang yang memberikan asas


ini kepada para pihak yang berjanji sekaligus memberikan kekuatan hukum yang
mengikat kepada apa yang telah mereka perjanjikan (pacta sunt servanda). Perlu diingat
bahwa hanya perjanjian yang sah saja yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
seperti dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Perjanjian yang cacad karena tidak
adanya sebab yang halal atau karena tidak ada kata sepakat, tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat.

ANATOMI SUATU KONTRAK

Setiap akta perjanjian/kontrak, baik yang dibuat di bawah tangan maupun akta otentik
biasanya akan terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut :

a. Judul (Heading)/Nama Perjanjian.

b. Kepala/Pembukaan (Opening).

c. Komparisi.

2020 ETIKA DAN HUKUM BISNIS


9 Irvan Hermala, S.E. M.Sc
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
d. Para Pihak (Parties).

e. Premise (Recitals). Dasar/Pertimbangan.

f. Isi Perjanjian.

g. Ketentuan dan Persyaratan (Terms and Conditions).

h. Penutup (Closure).

i. Tanda Tangan (Attestation).

- Saksi-saksi (witnesses).

- Lampiran (Attachments/exhibits).

Mengenai syarat-syarat dalam suatu akta perjanjian dapat dibagi atas 3 (tiga) syarat, yaitu :
1. Syarat Esensialia

2. Syarat Naturalia

3. Syarat Aksidentalia

Syarat Esensialia adalah syarat yang harus ada dalam perjanjian, kalau syarat ini tidak
ada, maka perjanjian tersebut cacat (tidak sempurna), artinya tidak mengikat semua pihak.
Misalnya dalam perjanjian sewa menyewa, syarat esesialia adalah syarat tentang barang dan
harga sewa.

Kalau dalam akta tidak dirumuskan barangnya, artinya tidak ada yang disewakan, maka
tidak ada perjanjian sewa menyewa. Demikian pula jika dirumuskan barangnya tetapi tidak
ada harga sewanya, maka tetap tidak ada perjanjian sewa menyewa. Syarat Naturalia adalah
syarat yang biasa dicantumkan dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak ada, maka
perjanjian tidak akan cacat tapi tetap sah. Syarat naturalia mengenai suatu perjanjian terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan kebiasaan.

Misalnya dalam perjanjian sewa menyewa, bila tidak diatur syarat bahwa kalau
menyewa memasang pompa air listrik ia boleh mengambil pompa air jika ia meninggalkan
rumah setelah masa sewa berakhir. Syarat Aksidentalia, adalah merupakan syarat-syarat yang
bersifat khusus. Syarat aksidentalia ini biasanya tidak mutlak dan tidak biasa, tetapi apabila

2020 ETIKA DAN HUKUM BISNIS


10 Irvan Hermala, S.E. M.Sc
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
para pihak menganggap bagian tersebut perlu dimuat dalam akta bisa dicantumkan dalam
akta.

Selanjutnya penutup suatu akta di bawah tangan akan dimuat dengan kalimat :
”Demikianlah akta ini dibuat ” dan seterusnya, sedangkan akta notaris dimulai dengan
kalimat : ”Demikianlah akta ini dibuat dalam minuta ” dan seterusnya.

Yang terakhir yang harus ada dalam suatu akta adalah adanya tanda tangan dari para
pihak beserta saksi-saksinya. Dengan membubuhkan tanda tangan berarti para pihak telah
menyetujui atau mengikatkan dirinya dalam kontrak dan akan melaksanakan kontrak yang
telah dibuat.

RUANG LINGKUP HUKUM PERJANJIAN

1. Menepati Perjanjian (nakoming der verbintenis).


Menepati/nakoming berarti : memenuhi isi perjanjian. Atau dalam arti lebih luas
lagi : “melunasi” (betaling) pelaksanaan isi perjanjian. Memang inilah tujuan dari setiap
perjanjian yaitu setiap pihak menghendaki agar pelaksanaan perjanjian diusahakan dengan
sempurna secara “sukarela” sesuai dengan isi ketentuan perjanjian. Akan tetapi tentu tidak
semua berjalan sebagaimana mestinya. Boleh jadi debitur “ingkar secara sukarela”
menepati pelaksanaanya. Keingkaran debitur inilah yang memberi hak kepada kreditur
untuk “memaksa” debitur melaksanakan prestasi. Tentu tidak dengan “eegenrichting” atau
main “hakim sendiri”. Umumnya pemaksaan pelaksanaan prestasi harus melalui kekuatan
putusan vonnis pengadilan; yang menghukum debitur melunasi prestasi serta membayar
ganti rugi (schade vergoeding). Dan schade vergoeding/ganti rugi ini seperti yang akan
dibicarakan nanti lebih lanjut adalah akibat dari :

- Pelaksanaan pemenuhan prestasi terlambat dari waktu yang telah ditentukan.

- Terdapatnya cacat pelaksanaan, atau tidak melakukan pelaksanaan


yang selayaknya/sepatutnya.

Pemaksaan yang dapat dimintakan kreditur karena keingkaran debitur mempunyai

2020 ETIKA DAN HUKUM BISNIS


11 Irvan Hermala, S.E. M.Sc
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
beberapa kemungkinan alternatif yang dapat dipilihnya :
- Pemenuhan prestasi sebagai tuntutan primer (nakoming).

- Subsidairnya : pelaksanaan ditambah ganti rugi atas dasar wanprestasi.

Sekalipun undang-undang memberi alternatif tuntutan pelaksanaan perjanjian, maka


sesuai dengan ketentuan pasal 1267 B.W. pelaksanaan hanya dapat diminta jika hal itu
“mungkin”. Misalnya barangnya sudah hancur, tentu tak mungkin menuntut pelaksanaan
prestasi lagi, yang mungkin adalah pemecahan ditambah dengan ganti rugi, ongkos dan
bunga uang. Sepanjang tuntutan pelaksanaan masih memungkinkan kreditur dapat menuntut
agar debitur dihukum :
- Melunasi prestasi keseluruhan sekaligus.

- Menyempurnakan pelunasan prestasi.

Jadi dalam pemenuhan hal-hal yang dapat dituntut ialah sepanjang hal itu telah
ditentukan sebagai kewajiban debitur. Sesuatu tuntutan yang tak diwajibkan dalam perjanjian
harus dinyatakan “tidak dapat diterima” (niet onvandkelijk).

2. WANPRESTASI

Dalam membicarakan “wanprestasi” kita tidak bisa terlepas dari masalah “pernyataan
lalai” (ingebrekke stelling) dan “kelalaian” (verzuim).

Pengertian yang umum tentang wanprestasi adalah :

“ pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut
selayaknya.”

Kalau begitu seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi,
apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga
“terlambat” dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak
menurut “sepatutnya/selayaknya”.

Akibat yang timbul dari wanprestasi adalah :


keharusan atau kemestian bagi debitur membayar “ganti rugi/schade vergoeding”. Atau
2020 ETIKA DAN HUKUM BISNIS
12 Irvan Hermala, S.E. M.Sc
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut
“pembatalan perjanjian”.

Sebab dengan tindakan debitur dalam melaksanakan kewajiban “tidak tepat waktu” atau
“tidak layak”, jelas merupakan “pelanggaran” hak kreditur. Setiap pelanggaran hak orang
lain, berarti merupakan “perbuatan melawan hukum” atau “onrechmatige daad”.

Oleh karena itu sebagaimana juga halnya dalam onrechmatige daad/perbuatan


melawan hukum, maka dalam wanprestasi demikian halnya. Yakni wanprestasi sebagai
perbuatan melawan hak kreditur, akan hilang atau terhapus atas dasar alasan
“overmacht/keadaan memaksa”.

Jika ketidak tepatan waktu pelaksanaan, atau terdapatnya kekurang sempurnaan


pelaksanaan prestasi yang merugikan kreditur terjadi “diluar perhitungan” debitur, dalam
hal seperti ini wanprestasi tidak melekat. Tidak ada dalam hal ini perbuatan melawan
hukum.

Kekurang tepatan waktu dan kekurang patutan yang dapat dipakai sebagai dasar
wanprestasi, adalah jika timbul oleh keadaan-keadaan yang benar-benar dapat
“diperkirakan” oleh debitur. Namun untuk membenarkan keadaan di luar perkiraannya
itu, debitur harus membuktikan akan adanya keadaan memaksa di luar perhitungan dan
kemampuannya

3. Ganti Rugi karena Wanprestasi.

Jika wanprestasi itu benar-benar menimbulkan kerugian kepada kreditur, maka debitur
“wajib” mengganti kerugian yang timbul. Akan tetapi untuk itu harus ada hubungan
“sebab-akibat” atau “kausal verband” antara wanprestasi dengan kerugian. Tentang
kerugian apa saja yang dapat dituntut kreditur, diatur dalam pasal 1248 B.W. :
penggantian perongkosan, kerugian dan bunga yang boleh dituntut kreditur ialah :
- Kerugian yang diderita kreditur;

- Dan keuntungan yang akan ia peroleh seandainya perjanjian dipenuhi.


2020 ETIKA DAN HUKUM BISNIS
13 Irvan Hermala, S.E. M.Sc
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Hampir tidak berbeda ganti rugi yang dapat diminta dalam wanprestasi dengan
ganti rugi pada onrechmatige daad. Karena itu tak ada larangan hukum untuk
memperlakukan pengertian ganti rugi karena perbuatan melawan hukum dengan ganti
rugi wanprestasi, namun pada wanprestasi apabila objek perjanjian berupa sejumlah
“uang”, maka bunga yang dapat dituntut ialah bunga menurut undang-undang (pasal
1250 B.W.).

Pengertian yang umum ganti rugi ialah : “kerugian nyata” atau “fietelijke
nadeel” yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi. Kerugian nyata ini ditentukan oleh
suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur.

Kalau begitu dapat kita ambil suatu rumusan, besarnya jumlah ganti rugi kira-kira :
sebesar jumlah yang “wajar” sesuai dengan besarnya nilai prestasi yang menjadi objek
perjanjian di banding dengan keadaan yang menyebabkan timbulnya wanprestasi.

Atau ada juga yang berpendapat : besarnya ganti rugi ialah “sebesar kerugian
nyata” yang diderita kreditur yang menyebabkan timbulnya kekurangan nilai
keuntungan yang akan diperolehnya.

Menurut hemat kami, suatu hal yang tak bisa dipisahkan dalam memperkirakan
besarnya jumlah ganti rugi ialah : perbandingan antara keadaan wanprestasi dengan
kerugian yang sungguh-sungguh nyata terjadi. Sesuai dengan ketentuan pasal 1243
B.W. dan seterusnya yang menentukan bahwa salah satu jenis ganti rugi yang dapat
dituntut kreditur terhadap debitur ialah ganti rugi bunga yang disebut juga “interesse”.
Ini terutama dalam perjanjian yang berisi pembayaran sejumlah uang tertentu.
Istimewanya dalam perjanjian pembayaran sejumlah yang tertentu tadi, kreditur
sedikitpun tidak perlu dibebani untuk membuktikan kerugian dan besarnya kerugian
yang dialaminya.

Asal terjadi kelambatan pembayaran berarti debitur sudah melakukan wanprestasi,

2020 ETIKA DAN HUKUM BISNIS


14 Irvan Hermala, S.E. M.Sc
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dan tanpa pembuktian kerugian, kreditur sudah dapat menuntut ganti rugi bunga (pasal
1250 ayat 2).

Adapun bunga undang-undang dihitung sejak dari hari gugatan dimajukan. Jadi kalau
perjanjian berupa pembayaran sejumlah uang tertentu, ganti rugi ongkos, kerugian dan
bunga sudah dapat dituntut tanpa pembebanan pembuktian bagi pihak kreditur. Asal
pembayaran sudah terlambat dari waktu yang telah ditetapkan berarti telah ada wanprestasi
(pasal 1250 ayat 1). Mengenai besarnya bunga yang dapat dikabulkan dalam perjanjian
demikian ialah : bunga undang-undang. Bunga undang-undang yang selalu disebut
“moratorium interesse” telah diatur dalam stb. 1848 no. 22 jo 1849 no. 63, yakni sebesar
6 % setahun.

Jika dalam perjanjian tidak ditetapkan besarnya bunga uang, maka bunga yang dapat
diminta hanya moratorium interesse sebesar 6 % per tahun. Akan tetapi jika dalam
perjanjian ada ditetapkan besarnya bunga, sebesar 4 % atau 7 % per bulan, penetapan
bunga yang demikian adalah “mengikat”.

Kalau terjadi wanprestasi, kreditur dapat menuntut pembayaran bunga tersebut dan
bukan bunga undang-undang. Ini sesuai dengan pasal 1338 B.W. : apa-apa yang telah
diperjanjikan menjadi undang-undang yang mengikat bagi para pihak.

4. OVERMACHT

Overmacht ialah suatu keadaan yang “memaksa”. Overmacht menjadi landasan hukum
yang “memaafkan” kesalahan seorang debitur. Peristiwa overmacht “mencegah” debitur
menanggung akibat dan risiko perjanjian. Itulah sebabnya overmacht merupakan
penyimpangan dari asas umum. Dengan kata lain, debitur bebas/lepas dari kewajiban
membayar ganti-rugi, apabila dia berada dalam keadaan “evermacht”, dan overmacht itu
menghalangi/merintangi debitur melaksanakan pemenuhan prestasi.

Dapat kita lihat overmacht merupakan dasar hukum yang menyampingkan /


menyingkirkan asas yang terdapat pada pasal 1239 B.W. : setiap wanprestasi yang
2020 ETIKA DAN HUKUM BISNIS
15 Irvan Hermala, S.E. M.Sc
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menyebabkan kerugian, mewajibkan debitur untuk membayar ganti rugi (schade
vergoeding).

Pasal 1244 B.W. telah merumuskan : debitur yang terlambat atau lalai melaksanakan
kewajiban prestasi yang diperjanjikan, dan hal itu menimbulkan kerugian kepada pihak
kreditur, “tidak” mewajibkan debitur membayar ganti kerugian jika ia dapat
“membuktikan”, bahwa hal itu terjadi “diluar” kesalahannya. Tetapi mesti semata-mata
oleh sebab keadaan yang datang di luar kemampuan perhitungannya.

Pasal 1245 B.W. menegaskan lagi : debitur “tidak wajib” membayar kerugian ongkos,
kerugian dan bunga uang, apabila kerugian yang terjadi itu disebabkan oleh suatu kejadian
yang “tiba-tiba” yang menghalangi/merintangi debitur untuk memberikan sesuatu atau
melakukan sesuatu (te geven en te doen) yang diwajibkan atau yang dilarang dalam
perjanjian.

Pada pasal 1245 B.W. ada dua hal yang disebut dapat menghalangi / merintangi
pelaksanaan pemenuhan prestasi :
- Overmacht, “keadaan memaksa” atau keadaan yang berada di luar kemampuan
debitur.

- Toeval, yaitu kejadian yang “tiba-tiba” yang tidak dapat diperhitungkan


sebelumnya oleh debitur.

Sebenarnya, sekalipun terdapat dua istilah yaitu overmacht dan toeval, hakekat
kedua istilah tadi tidak menimbulkan pengertian yang berbeda. Baik pada
overmacht/keadaan memaksa maupun pada toeval/kejadian tiba-tiba sama-sama
mempunyai makna menghalangi/merintangi debitur melakukan kewajiban yang
diperjanjikan. Sedemikian rupa rintangan / halangan itu, sehingga debitur “tidak
mungkin” (onmogelijk) melakukan pemenuhan prestasi. Kalau begitu, baik overmacht
maupun toeval ialah keadaan atau peristiwa yang menempatkan debitur berada dalam
“keadaan tidak mungkin” melakukan prestasi.

2020 ETIKA DAN HUKUM BISNIS


16 Irvan Hermala, S.E. M.Sc
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2020 ETIKA DAN HUKUM BISNIS
17 Irvan Hermala, S.E. M.Sc
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

Anda mungkin juga menyukai