Anda di halaman 1dari 25

CORAK PENAFSIRAN

Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Tafsir Ahkam Jinayah

Dosen Pengampu : Noor Rosyidah, M.S.I

Disusun oleh :

Ghina Nafsiyah (1902026037)

Abdus Somad (1902026049)

Agus Ahmad Ulinnuha (1902026053)

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN WALISONGO SEMARANG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah firman Allah yang turun kepada manusia sebagai pedoman hidup, namun
tidak semua orang bisa memahami al-Qur’an dengan mudah, oleh sebab itu, muncullah para
mufassir (ahli tafsir) yang mencoba mempermudah cara kita untuk memahami al-Qur’an. Akan
tetapi, masing-masing mufassir tidak bisa terlepas secara bebas dari latar belakang dirinya dalam
menafsiri al-Qur’an, sebagian dari mereka memiliki kecenderungan tersendiri yang berbeda
antara satu penafsir dengan penafsir lain, sehingga muncullah corak tafsir yang sesuai dengan
kecenderungan tiap-tiap mufassir.

Kemajuan dalam bidang pemikiran sangat berpengaruh terhadap perkembangan keilmuan


dan pengetahuan, baik ilmu eksak maupun ilmu religi atau agama. Ilmu tafsir dalam
kapasitasnya sebagai mubayyin atau penjelas terhadap teks atau nas suci al-Qur’an tidak bisa
lepas dari kemajuan perkembangan.

Banyak sekali perkembangan dan kemajuan yang terjadi terhadap ilmu tafsir, mulai dari
corak, metode, pedekatan maupun teori pemaknaan. Tulisan ini akan berusaha menelisik akar
sejarah dan keberagaman corak dalam penafsiran al-Qur’an. Tulisan ini diharapkan bisa menjadi
bahan rujukan dalam kajian tafsir al-Qur’an dan sekaligus memberikan gambaran yang jelas
mengenai keberagaman dalam khazanah tafsir al-Qur’an. Tulisan ini menggunakan metode
kualitatif dengan analisis data kepustakaan (library research). Data yang dikaji dan dianalisis
dalam penelitian ini adalah kitab-kitab dan buku tafsir, metodologi tafsir, dan sejarah tafsir.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan corak tafsir?
2. Corak apa saja yang ada dan berkembang dalam penafsiran al-Qur’an?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Corak Tafsir

Dalam bahasa Indonesia kosakata corak menunjuk berbagai konotasi antara lain bunga atau
gambar-gambar pada kain, anyaman dan sebagainya. Misalnya dikatakan corak kain itu kurang
bagus; dapat berkonotasi berjenis-jenis warna pada warna dasar. Misalnya dikatakan dasarnya
putih, coraknya merah, dan dapat pula berkonotasi kata sifat yang berarti paham, macam, atau
bentuk tertentu, misalnya adalah corak politiknya tidak tegas. Dalam kamus Indonesia Arab,
kosakata corak diartikan dengan ‫( لون‬warna) dan ‫( شكل‬bentuk).

Menurut Nashruddin Baidan corak tafsir adalah suatu warna, arah, atau kecenderungan
pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir.Dari sini disimpulkan bahwa
corak tafsir adalah ragam, jenis dan kekhasan suatu tafsir. Dalam pengertian yang lebih luas
adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu
bentuk ekspresi intelektual seseorang mufassir, ketika menjelaskan maksud-maksud dari al-
Qur‟an. Penggolongan suatu tafsir pada suatu corak tertentu bukan berarti hanya memiliki satu
ciri khas saja, melainkan setiap mufassir menulis sebuah kitab tafsir sebenarnya telah banyak
menggunakan corak dalam hasil karyanya, namun tetap saja ada corak yang dominan dari kitab
tafsirnya, sehingga corak yang dominan inilah yang menjadi dasar penggolongan tafsir tersebut.

Menurut Ibnu Manzur warna adalah sama dengan jenis dan jika dinisbatkan kepada orang
seperti Fulan mutalawwin, berarti si Fulan (lakilaki tersebut) memiliki karakter yang berubah-
ubah1.Wilson Munawwir menyebutkan kata laun dalam al-munawwir Arab –Indonesia sebagai
singular dari plural alwan yang berarti warna, kata laun juga bisa berarti an-nau’ wa al-sinfu
yang artinya macam dan jenis.2

Jadi, corak tafsir secara umum menurut pengertian di atas adalah kekhususan suatu tafsir
yang merupakan dampak dari kecenderungan seorang mufassir dalam menjelaskan maksud-
maksud ayat-ayat al-Qur’an. Akan tetapi, pengkhususan suatu tafsir pada corak tertentu tidak

1 Muhammad bin Makram bin Manzur al-Ifriki al-Masri, Lisan al-‘Arab, Vol. 13, (Bairut: DarS{adir, Cet. Ke- I, t.t), 393.
2 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir; Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, Cet. Ke-14,1997),
1299.
lantas menutup kemungkinan adanya corak lain dalam tafsir tersebut, hanya saja yang menjadi
acuan adalah corak dominan yang ada dalam tafsir tersebut, karena kita tidak bisa memungkiri
dalam satu tafsir memiliki beberapa kecenderungan, seperti halnya yang terjadi pada tafsir al-
Kashshaf karya Zamakhshari yang memiliki dua corak sekaligus, yaitu corak I’tiqadi dan adabi.

Tafsir al-Qur’an memiliki beberapa corak di antaranya adalah corak tafsir fiqhi, falsafi,
ilmi, tarbawi, akhlaqi, i’tiqadi dan sufi. Keberagaman corak penafsiran merupakan hal positif
yang menunjukkan akan kekayaan khazanah pemikiran umat Islam yang digali dari al-Qur’an.
Ini artinya al-Qur’an telah memberikan andil yang cukup besar dan merestui bagi tumbuh
suburnya pluralitas dalam penafsiran itu sendiri. Karena hampir dalam setiap lini kehidupan,
termasuk dalam pemikiran fiqh, kalam, tasawuf, dan tafsi>r terdapat aliran atau madhhab yang
bervariasi.3

Pada abad pertengahan, berbagai corak ideologi penafsiran mulai muncul, yakni pada
masa akhir dinasti Umayyah dan awal dinasti ‘Abbasiyah. Momentum ini menemukan masa
emasnya terutama pada masa pemerintahan khalifah kelima dinasti ‘Abbasiyah, yaitu Harun al-
Rashid (785-809 M). Sang khalifah memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh khalifah berikutnya yaitu al-Makmun (813-
830 M). Dunia Islam pada saat itu bisa jadi merupakan puncak kemajuan dalam peta pemikiran
dan pendidikan serta peradaban, masa ini dikenal dengan zaman keemasan (the golden age).4

Di sisi lain, ilmu yang berkembang di tubuh umat Islam selama periode abad pertengahan
yang bersentuhan langsung dengan keislaman adalah ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu
bahasa, sastra dan filsafat. Karena banyaknya orang yang berminat besar dalam studi setiap
disiplin ilmu itu yang menggunakan basis pengetahuanya sebagai kerangka dalam memahami al-
Qur’an, serta mencari dasar yang melegitimasi teori-teorinya dari al-Qur’an, maka muncullah
kemudian tafsir fiqhi, tafsir i’tiqadi, tafsir sufi, tafsir ilmi, tafsir falsafi dan lain-lain.5

Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan
merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang mufasir, ketika ia menjelaskan
maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide tertentu

3 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 59-60.
4 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008), 61.
5 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur,2009), 20.
mendominasi sebuah karya tafsir. Kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya
sebuah pemikiran atau ide tersebut. Kecenderungan inilah yang kemudian muncul ke permukaan
pada periode abad pertengahan.

Muhammad Husein al-Dhahabi mengatakan bahwa setiap orang yang membaca kitab-
kitab tafsir dengan berbagai macam corak (alwan)-nya tidak akan memiki keraguan bahwa
segala hal yang berkaitan dengan kajian-kajian tafsir tersebut telah dibahas dan dirintis oleh
mufasirmufasir terdahulu (al-Aqdamun).6

B. Corak-Corak dalam Penafsiran


1. Corak Tafsir Fiqh

Tafsir fiqhi adalah corak tafsir yang kecenderungannya mencari hukum-hukum fikih di
dalam ayat-ayat al-Qur’an. Corak ini memiliki kekhususan dalam mencari ayat-ayat yang secara
tersurat maupun tersirat mengandung hukum-hukum fikih.
Kemunculan corak tafsir semacam ini adalah munculnya permasalahan yang berkenaan
dengan hukum-hukum fikih, sementara Nabi Muhammad sudah meninggal dunia dan hukum
yang dihasilkan ijma’ ulama sangat terbatas, maka mau tidak mau para ulama yang mumpuni
dari segi keilmuan dan ketakwaan melakukan ijtihad dalam mencari hukum hukum-hukum dari
berbagai persoalan yang ada.
Dari sinilah kemudian muncul para Imam Madzhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, al-
Shafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal, yang lantas diikuti oleh para pengikutnya yang memiliki
konsentrasi dalam bidang tafsir, sehingga berdampak pada penafsirannya yang memiliki
kecenderungan pada pencarian hukum-hukum fikih dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Corak fiqhi merupakan corak yang berkembang. Tafsir fiqhi lebih popular disebut tafsir
ayat al-Ahkam atau tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-
Qur’an. 7Akibat perkembangannya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang
setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-
penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. Salah satu kitab tafsir fiqhi adalah kitab Ahkām al-
Qur‟an karangan al-Jasshash.8

6 Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Maktabah Mus’ab ibn Umar al-Islamiyah, 2004), 194.
7 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur,2009), 200.
8 Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, op. cit., h. 71
Dilihat dari sisi pro-kontranya, tafsir corak fiqhi merupakan jenis corak yang banyak
diterima hampir semua lapisan mufasir.Tafsir ini berusia sudah sangat tua, karena kelahirannya
bersamaan dengan kelahiran tafsir al-Qur’an itu sendiri. Banyak sekali judul kitab yang layak
untuk disebutkan dalam deretan daftar nama-nama kitab tafsir ayat al-Ahkam, baik dalam bentuk
tahlili maupun maudu’i, antara lain : Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas (917-980 M), seorang
faqih madhhab Hanafi. Ahkam al-Qur’an karya ibn al-‘Arabi (1075-1148 M). al-Jami’ li ahkam
al-Qur’an karya al-Qurtubi (w:1272 M). Ahkam al-Qur’an karya al-Shafi’i (w: 204 H.). dan
masih banyak lagi karya tafsir di bidang fikih atau Tafsir Ahkam.
Contoh tafsir fiqhi antara lain adalah: kalimat ‫ وأرجلكم‬dalam masalah wudhu’ yang terdapat
dalam surah al-Maidah ayat 6. Jika dibaca mansub (fathah) maka yang wajib dilakukan pada
kaki ketika berwudhu’ adalah membasuh bukan mengusap. Akan tetapi jika majrur (kasrah)
maka yang wajib hanya mengusap.9
2. Corak Adabi Ijtima’i
Tafsir adabi Ijtima’i sebagaimana disebutkan oleh al Farmawi adalah Corak tafsir yang
menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al Qur’an pada Aspek ketelitian redaksinya lalu menyusun
kandungannya dalam redaksi yang indah dengan penonjolan aspek-aspek petunjuk al Qur’an
bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang
berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
a) Tokoh-tokoh Adabi Ijtima’i
Tokoh utama corak adabi ijtima’i ini adalah Muhammad Abduh sebagai peletak dasarnya,
dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridha, di era selanjutnya adalah Fazlurrahman, Muhammad
Arkoun. Selanjutnya yang masih menjadi bagian dari para mufassir dengan corak ini akan
disebutkan berikut ini bersama karya-karya tafsirnya.
1. Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w. 1345 H).
2. Tafsir Al-Maraghi, oleh Syekh Muhammad Al-Maraghi (w. 1945 M).
3. Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud Syaltut .
4. Tafsir Al-Wadhih, karya Muhammad Mahmud Baht Al-Hijazi.
Corak ini lahir sebagai akibat dari perkembangan zaman modern yang memiliki
karakteristik tersendiri dan berbeda dengan corak tafsir-tafsir lainnya. Menurut Muhammad

9 Abu Abdillah al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Bairut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Arabi, Cet. V, 2003) Jilid. 6
hal. 90
Husain Al-Dzahabi, ‫األداب اإلجتماعٮالتّفسير‬ ialah tafsir yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an
berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan
menekankan tujuan pokok diturunkannya Al-Qur’an, kemudian mengaplikasikannya pada
tatanan kehidupan sosial. Seperti pemecahan masalah-masalah umat Islam dan bangsa pada
umumnya, sejalan dengan perkembangan kehidupan sosial-masyarakat.10
b) Latar Belakang Lahirnya ‫األداب اإلجتماعٮالتّفسير‬
Kemukjizatan dan keluarbiasaan Al-Qur’an terletak bukan saja pada seluruh kandungan
misinya, tetapi juga terletak pada seluruh gaya bahasa yang dimilikinya. Dari aspek seluruh
kandungan misinya, Al-Qur’an mengatur, memberi petunjuk, dan memberikan solusi untuk
semua problematika aspek kehidupan manusia, baik ketika manusia menjalani hidup di dunia
maupun ketika bagaimana ia harus mempersiapkan kehidupan akhiratnya.
Tidak ada satu aspek pun dari kehidupan manusia yang luput dari misi Al-Qur’an. Faktor
seluruh kandungan misinya inilah yang menyebabkan orang bergairah untuk menggali dan
memahaminya. Hanya saja, fakta mujmalitas Al-Qur’anlah yang kadang menjadi hambatan
untuk menggali dan memahaminya. Namun, para mufassirin paham benar bahwa Al-Qur’an itu
sendiri memberikan ruang yang sangat lebar untuk mencari jalan bagaimana seharusnya agar
mereka dapat menggali dan memahaminya dengan baik, benar dan jelas. Dengan berbagai latar
belakang kehidupan sosial dan kemampuan intelektual mereka, diupayakanlah caracara menggali
dan memahaminya, sehingga lahirlah apa yang disebut dengan mufassirin dan tafsirnya.
c) Corak penafsiran ‫األداب اإلجتماعٮالتّفسير‬
1. Memandang bahwa setiap surat merupakan satu kesatuan, ayat-ayat mempunyai
hubungan yang serasi Salah satu segi yang menonjol dalam corak tafsir ini adalah
berusaha membuktikan bahwa ayat-ayat dalam surat Al-Qur’an merupakan kesatuan
yang utuh, sebab mustahil Al-Qur’an sebagai Kalamullah tidak memiliki relevansi antara
satu ayat dengan ayat lainnya. Alasan ini sekaligus membantah sementara orang yang
berpendapat bahwa susunan ayat-ayat Al-Qur’an itu kacau, tidak sistematis, dan tidak ada
relevansinya antara satu ayat dengan ayat lainnya.
2. Ayat Al-Qur’an bersifat umum. Kandungan Al-Qur’an bersifat universal dan berlaku
terus menerus sepanjang masa sampai hari kiamat. Di dalamnya terdapat pelajaran-
pelajaran, janji dan ancaman, berita gembira dan siksa, serta ajaran tentang aqidah akhlak

10 Muhammad Husaian Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid 2, (Beirut:Dar Al-Fikr, 1976), hal 342
dan ibadah yang berlaku bagi semua umat dan bangsa di mana pun dan kapan pun.
Dengan universalitas kandungan ayat-ayat Al-Qur’an itu, maka pendapat yang membatasi
pengertian dan kandungan Al- Qur’an hanya berlaku untuk masa tertentu akan tertolak.
Misalnya sifat orang munafik yang digambarkan pada awal surat Al-Baqarah tidak hanya
berlaku dan ditujukan kepada orang-orang munafik pada masa Rasulullah SAW. saja,
tetapi berlaku juga bagi setiap orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut baik pada masa
lampau, kini, maupun yang akan datang.
3. Al-Qur’an adalah sumber aqidah dan hukum. Aliran corak tafsir ini berpendapat bahwa
Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran akidah dan syari’at Islam. Untuk menetapkan
suatu ketetapan hukum harus kembali kepada sumber yang utama, yakni Al-Qur’an.
Dengan kata lain, tidak mudah untuk dapat menerima pendapat dan gagasan seseorang
tanpa mengecek kebenaran yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.
4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an Salah satu ciri yang
dominan dan khas dari tafsir ini ialah penggunaan interpretasi secara rasional berdasarkan
akal pikiran. Dengan alasan bahwa karena Al-Qur’an sangat menghargai akal-pikiran
serta memosisikannya pada kedudukan yang sangat terhormat. Karena itulah, maka
banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan untuk menggunakan akal pikiran seperti
tuntutan-tuntutan: ‫ أفال تعلمون أفال‬،‫ أفال تعقلون‬،‫ أفال تتف ّكرون‬،‫ تتدبّرون‬dan tuntutan lainnya yang
senada agar manusia mau menggunakan akal pikirannya untuk berpikir atas segala
sesuatu, bahkan intuisi pun dituntut hal yang sama.
5. Menentang dan memberantas taqlid. Salah satu upaya yang intens dari corak tafsir ini
adalah menghilangkan praktik dan keyakinan taqlid buta dalam masyarakat Islam, karena
taqlid dianggap dapat menyebabkan kejumudan (kebekuan) pemikiran umat Islam dan
mengalami kemunduran. Muhammad Abduh sebagai ulama aliran ini berkeyakinan
bahwa Al-Qur’an sangat mencela orangorang yang mengikuti pendapat pendahulunya
tanpa sikap kritis dan alasan yang jelas. Keyakinan ini berdasarkan pada ayat 170 surat
Al-Baqarah:
َ‫ّٰللاُ قَالُ ۡوا بَ ۡل نَـتَّبِ ُع َما ٓ ا َ ۡلفَ ۡينَا َعلَ ۡي ِه ٰابَا ٓ َءنَاؕ اَ َولَ ۡو كَانَ ٰابَا ٓ ُؤه ُۡم ََل يَعۡ ِقلُ ۡونَ ش َۡيـًٔـا َّو ََل يَهۡ تَد ُۡون‬
‫َواِذَا قِ ۡي َل لَ ُه ُم اتَّبِعُ ۡوا َما ٓ ا َ ۡنزَ َل ه‬
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,”
mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami”. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun
nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?
6. Mengkaitkan interpretasi Al-Qur’an dengan kehidupan sosial. Sesuai dengan nafas iafsir
ini yang berorientasi kepada kehidupan sosial, maka salah satu cirinya ialah mengkaitkan
antara ayat-ayat Al-Qur’an dengan problematika sosial pada saat mufassir menulis
tafsirnya. Sebagai contoh misalnya: Pada masa Syaikh Muhammad Abduh menulis Tafsir
Al-Manar, umat Islam Mesir berada dalam kondisi cengkeraman kolonialisme Barat
(Inggris), maka tafsir yang ditulis berusaha membangkitkan semangat juang umat Islam
Mesir untuk bangkit melawan penjajahan dan kembali mengkaji nilai-nilai Al-Qur’an,
sehingga dapat mendorong ke arah kemerdekaan, kemajuan, dan kemakmuran bangsa
Mesir.11
3. Corak Tafsir Isyari

Tafsir isyari adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata. Kata “isyari” berfungsi
sebagai keterangan sifat bagi kata “tafsir”. Dengan demikian, tafsir isyari adalah sebuah
penafsiran yang berangkat dari isyarat. Isyaratsecara etimologis berasal dari asal kata asyara,
yusyiru, isyaratan, yang berarti memberi isyarat atau petunjuk. Kata isyarat mempunyai padanan
makna (bersinonim) dengan kata al - dalil , yang berarti dalil, sinyal, isyarat, panggilan,
petunjuk, nasehat dan saran12. Tafsir isyari menurut istilah adalah mentakwilkan al-Qur’an
dengan makna yang bukan makna lahiriyahnya karena adanya isyarat samar yang diketahui oleh
para penempuh jalan spiritual, atau hanya diketahui oleh orang yang senantiasa mendekatkan diri
pada Allah dan berkepribadian luhur, atau tafsir yang didasarkan pada isyarat-isyarat rahasia
dengan cara memadukan makna yang dimaksud dengan makna yang tersurat13. Ada pula yang
memaknai tafsir isyari sebagai sebuah upaya pentakwilan yang berbeda dengan makna zhahirnya
tentang isyarat-isyarat yang tersembunyi, yang hanya tampak bagi ahli suluk dan ahli tasawuf
serta memungkinkan adanya penggabungan antara makna yang tersembunyi dan makna yang
tampak.14

11 Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Pustaka Hidayah, Bandung, 1994, hal 548-549.
12 Louis Ma’luf, al - Munjid fi al - Lughah wa al -A’lam , (Beirut: Dar al-Masyriq, 2002), h. 220
13 Muhammad Ali al-Shabuni, al - Tibyan fi ‘Ulum al - Qur’an, (Makkah: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2003), h.35
14 Muhammad al-‘Azhim al-Zarqani, Mana hil al - Irfan fi Ulum al - Qur’an (Kairo: Dar al-Hadits, 2001), Juz II h 67
Dari definisi di atas, dapat kita pahami bahwa tafsir isyari merupakan hasil produk ahli
tafsir yang menggolongkan dirinya pada aliran tasawuf. Untuk memperoleh tafsiran ini,
diperlukan olah spiritual yang konsisten sehingga mencapai pada suatu tingkatan dimana akan
terungkap pada dirinya berbagai isyarat suci dibalik tabir berbagai ekspresi ayat al-Qur’an. Hal
itu bisa terjadi, karena kaum sufi berpendapat bahwa setiap ayat mempunyai makna yang zhahir
dan batin. Yang zhahir adalah yang cepat dan mudah dipahami oleh akal pikiran, sedangkan
yang batin perlu suatu usaha memahami isyarat-isyarat yang tersembunyi di balik itu, yang
15
hanya dapat diketahui oleh para ahli tasawuf . Usaha yang dimaksud adalah memahami ayat
secara mendalam yang terungkap dari jerih payah proses penjernihan dan pensucian hati. Hati
bagi para sufi merupakan suatu institusi pemahaman, dan dari sanalah ilmu-ilmu yang sifatnya
vertikal diperoleh, oleh sebab itu hati perlu dipelihara kesucian dan kebersihannya dan dilarutkan
dalam kegiatan zikrullah semata agar hati dapat berfungsi maksimal.

a) Kriteria Tafsir Isyari

Apakah tafsir isyari mempunyai landasan syara’ atau tafsir isyari muncul saat
berkembangnya dunia tasawuf pasca nabi? Menurut al-Dzahabi, al-Qur’an melalui ayat-ayatnya
menyatakan secara tersirat bahwa al-Qur’an selain mempunyai makna lahir, juga mempunyai
makna batin. Dan makna batin bisa didekati lewat tafsir isyari. Berikut di antara ayat yang
dimaksud:16

ً ِ‫اختِ َالفًا َكث‬


‫يرا‬ َّ ‫أَفَ َال يَتَدَب َُّرونَ ْالقُ ْرآنَ ۚ َولَ ْو َكانَ ِم ْن ِع ْن ِد َغي ِْر‬
ْ ‫ّٰللاِ لَ َو َجد ُوا فِي ِه‬

Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS
Annisa ayat 84)

ٍ ‫أَفَ َال يَتَدَب َُّرونَ ْالقُ ْرآنَ أ َ ْم َعلَ ٰى قُلُو‬


‫ب أ َ ْقفَالُ َها‬

Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka
terkunci? ( QS Muhammad ayat 24)

15 Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum al - Qur’an , (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), h. 357
16 al-Dzahabi, Muhammad Husain (2012). al - Tafsir wa al -Mufassirun Juz II dan Juz III (Mesir: Dar al-Hadits) h. 309
Dua ayat ini menunjukan bahwa al-Qur’an mempunyai makna batin, yang bisa ditemukan
bukan dari makna lahiriyah teks, namun perlu dengan mendalaminya. Kemudian adz-Dzahabi
menguatkan pendapatnya dengan hadits nabi Saw, riwayat adDailami dari Abdurrahman Ibn
‘Auf :

‫القرأأن تحت العرش له ظهر و بطن يحاج العباد‬

“Al - Qur’an di bawah ‘Arsy mempunyai makna lahir dan batin, yang para hamba berhujjah
(kepadanya).”

Ayat al-Qur’an dan hadits nabi di atas menunjukan bahwa al-Qur’an mempunyai dua
wajah, makna lahir dan makna batin. Namun para ulama berbeda pendapat mana yang makna
lahir dan makna batin. Agar tidak terjadi “penyimpangan”, para ahli melakukan pendisiplinan
dan penyeleksian seperti apa yang layak diterima dan dikategorikan “benar “ sebagai tafsir
isyari.al-Syatibi memberikan rambu-rambu pembeda mana tafsir isyari yang layak diikuti mana
yang tidak, al-Syatibi mengatakan:

“Ada dua jenis tafsir (i’tibar): pertama, sumber pancarannya berasal dari al Qur’an lalu
kemudian diikuti oleh beberapa teori sufistik. I’tib ar ini adalah i’tibar yang benar karena dapat
menembus cahaya hati dan tidak dibatasi oleh teori - teori sufistik. Kedua, sumber pancarannya
berasal dari teori - teori sufistik dan al - Qur’an digunakan sebagai justifikasi dari teori - teori
tersebut.

al-Dzahabi termasuk cendekiawan yang mendaftar beberapa syarat apakah sebuah tafsir
itu layak disebut tafsir isyarat dan hasil penafsiranya pantas dijadikan pegangan. Berikut syarat-
syarat tafsir isyari, yang ditulis al-Dzahabi17:

1. Tafsir isyari tidak boleh menegasikan makna zhahir dari al-Qur’an alKarim.
2. Adanya nash lain yang menjadi pendukung dan penguat dari produk tafsirnya itu.
3. Tafsir isyari tidak bertentangan dengan dalil syara’ dan rasionalitas (‘ aqly )
4. Tetap menganggap bahwa tafsir isyari tersebut hanyalah sebuah tafsir bukan
makna zhohir dari ayat-ayat al-Qur’an dan tafsirannya juga harus berdasarkan
pemahaman makna zhahir terlebih dahulu.

17 Ibid. H 330
Alasan mengapa kita harus mengetahui makna zhahir terlebih dahulu sebelum makna
batin adalah karena pemaknaan secara batiniyah tidak akan mungkin tercapai jika tidak
mengetahui makna zhahir. Ibaratnya adalah bagaimana mungkin seseorang mengetahui ruangan-
ruangan di dalam rumah sebelum melewati pintu terlebih dahulu.

b) Contoh-Contoh Tafsir Isyari

Riwayat dari Ibn ‘Abbas, dia berkata: Umar r.a mengajakku bergabung bersama tokoh-
tokoh perang badar, di antara mereka ada yang keberatan dan berkata:wahai Umar, mengapa
engkau mengajak anak kecil ini bersama kami padahal kami mempunyai beberapa anak yang
seusia dengannya. Umar menjawab: “dia adalah orang yang kau kenal kepandaiannya”. Pada
suatu ketika aku dipanggil untuk bergabung dengan kelompok mereka. Aku kira Umar hanya
mengenalkan saya kepada mereka, tiba-tiba Umar berkata kepada mereka: apa yang kalian
pahami tentang ayat: ‫ب‬
ِ ‫ فس بح بحمدك واس تغفره ا نه كان توا‬... ‫( ا ذا جاء نصر هللا و الفتح‬apabila telah
datang pertolongan Allah dan kemenangan… maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan
mohon ampunlah kepada - Nya. Sungguh, dia mahapenerima taubat ).

Sebagian mereka menjawab: “kami diperintahkan untuk memuji dan meminta kepada
Allah ketika mendapat pertolongan dan kemenangan. Sebagian yang lain tidak menjawab.
Kemudian Umar menanyakan kepadaku, begitukah pendapatmu, wahai Ibn ‘Abbas? Jawabku:
“Bukan, bukan seperti itu,ayat itu tentang berita ajal Rasulullah”.

Berdasar riwayat di atas jelas menunjukkan bahwa pemahaman Ibn ‘Abbas ini tidak bisa
dikuasai oleh sahabat-sahabat yang lain. Mereka hanya memahami makna zhahirnya saja.32
Riwayat Ibn Abi Syaibah: ketika turun ayat QS. Al-Maidah (5): 3

‫اليوم أأكملت لكم دينكم وأأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم اَل سالم دينا‬

Artinya: “pada hari ini telah aku sempurnakan agamamu untukmu dan telah aku
cukupkan ni’mat - Ku bagimu, dan telah aku ridhoi Islam sebagai agamamu”

Para sahabat gembira menerima kabar dari ayat ini, tidak dengan Umar Ibn Khaththab.
Dia malah menangis. Kemudian Rasulullah Saw bertanya: “wahai Umar, mengapa engkau
menangis?” Umar menjawab: “ayat itu membuatku menangis, kita mendapatkan agama kita telah
sempurna. Namun, apabila kesempurnaan itu telah datang, maka kekurangan akan segera tiba.
Umar saat itu merasakan ajal Rasulullah akan segera tiba. Rasulullah Saw: “Perkataanmu benar,
wahai Umar”

QS. Al-Baqarah (2): Artinya : “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan
bagimu, dan langit sebagai atap dan dia menurunkan air (hujan) dari langit lalu dia
menghasilkan dengan hujan itu buah - buahan sebagai rejeki untukmu. Karena itu janganlah
kamu mengadakan sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui”

Al-Tustary dalam kitab tafsirnya tafsir al - Qur’an al - ‘Azhim, menafsirkan kata “


andada ” dalam QS. al-Baqarah (2): 22 dengan nafsu amarah yang jelek. Dengan mengartikan
demikian, al-Tustari keluar dari arti mainstream yang biasanya dimaknai sebagai sekutu, patung
atau berhala. Dalam hal ini, al-Dzahabi menilai “ andada ” diartikan sebagai nafsu amarah yang
jelek adalah sebagai tafsir yang benar. Karena alDzahabi melihat arti demikian ada penguatnya (
syahid ) pada QS at-Taubah (9): 31

‫ب من دون هللا‬
ِ ِ‫ا تخذوا أأحبارهم ورهبانهم أأرب‬

Artinya ; “Mereka menjadikan orang - orang alim (Yahudi) dan rahib - rahubnya
(Nasrani) sebagai Tuhan selain Allah”

Jelas pada ayat ini, lanjut al-Dzahabi, mereka tentu tidak menyembah rahib itu secara
harfiyah, tetapi mereka mengikuti apa yang diperintahkan para rahibnya itu dan meninggalkan
apa yang dilarangnya. Mereka menghalalkan apa yang dilarang oleh Allah dan mengharamkan
apa yang dihalalkan oleh Allah. Dalam hal ini, pada hakikatnya mereka mengikuti hawa
nafsunya, untuk menjadikan para rahib itu sebagai Tuhan selain Allah.

c) Karya-karya Tafsir Isyari

Kitab-kitab tafsir yang dihasilkan ulama sufi cukup banyak bahkan sampai beberapa
tahun belakangan ini masih tetap eksis di berbagai Negara baik yang mengupas ayat-ayat al-
Qur’an secara keseluruhan maupun sebagian ayat-ayat saja. Di antara kitab tafsir tersebut adalah:

1. Al - Futuhat al -Makiyyah , karya dari syaikh Abdullah Muhammad Ibn Ahmad


Ibn Abdullah Muhyiddin Ibn ‘Arabi (w.238 H).
2. afsir al - Tustary yang juga dikenal dengan tafsir al - Qur’an al - ‘Azhim , karya
Abu Muhammad Sahl ibn Abdullah al-Tusturi (w.283 H)
3. Haqaiq al - Tafsir . Kitab tafsir ini disusun oleh Abu Abdurrahman Muhammad
Ibn Husain Ibn al-As’ad al-Sullami (w.412 H)
4. Tafsir Ra’isul Bayan fi Haqaiq al - Qur’an . Kitab tafsir ini buah karya dari Abu
Muhammad Ruzbihan Ibn Abi Nash al-Syairazi (w.606 H)
5. Tafsir Gharaib al - Qur’an wa Raghaib al - Qur’an . Tafsir ini dikenal dengan
nama tafsir al-Naysaburi. Tafsir ini disusun oleh Nizhamuddin al-Hasan
Muhammad al-Naysaburi (w.728 H).
6. Tafsir al - Ruh al - Ma’aniy , nama lainnya adalah tafsir al - Alusi . Sebuah kitab
tafsir sufi yang disusun Shihabuddin al-Sayyid Muhammad al-Alusi alBaghdadi
(w.1270 H)
7. Tafsir ‘Arais al - Bayan fi Haqaiq al - Qur’an , karya dari Abu Muhammad
alSyairazi, yang bernama lengkap Abu Muhammad Ruzbihan Ibn Abu Nashr
(w.666 H).
8. Tafsir al-Ta’wilat al-Najmiyah, karya Najmuddin Dayah, yang bernama lengkap
Najmuddin Abu Bakar Ibn Abdullah Ibn Muhammad Ibn Syahadar al-Asadi al-
Razi (w.653 H) dan Alaudin al-Daulah al-Samnani yang bernama lengkap
Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Samnani.
d) Kelebihan dan Kekurangan Tafsi Isyari
1) Kelebihan Tafsir

Isyari Memperhatikan beberapa penjelasan di atas, terutama pendapat ulama yang


mendukung dan memperbolehkan tafsir isyari, akan kelihatanlah keistimewaan-keistimewaan
tafsir isyari diantaranya dapat dilihat sebagai berikut

1. Ttafsir isyari itu memiliki kekuatan hukum dari syara, hal ini dapat dilihat dari contoh
yang telah dikemukkan di atas yaitu pentafsiran Ibn Abbas terhadap surah al-Nashr.
2. Jika syarat-syarat tafsir isyari terpenuhi, maka bertambahlah wawasan pengetahuan
tentang isi kandungan al-Qur’an dan hadits.
3. Tafsir isyari bukanlah merupakan sesuatu yang aneh jika Allah melimpahkan ilmu
pengetahuan kepada hamba-hambanya yang dikehendaki, dan pemahaman yang benar
kepada orang yang dipilihnya
4. Pentafsiran isyari mempunyai pengertian-pengertian yang tidak mudah dijangkau oleh
semua mufassir, hanya mereka yang mempunya sifat kesempurnaan iman dan kemurnian
ma’rifah yang dapat menjangkaunya.
5. Tafsir ini jelas telah memiliki pemahaman tekstual sebelum menuju kepada pemahaman
secari isyari, sehingga memiliki dua pemahaman yaitu pemahaman zahir dan pemahaman
isyari
2) Kelemahan Tafsir Isyari

Kalau ditelaah kembali pandangan ulama yang menganggap tafsir isyari termasuk kedalam
tafsir yang ditolak (mardud) dan penuh rekayasa serta fantasi pentafsir, akan kelihatan beberpa
kelamahannya diantaranya:

1. Tafsir ini dapat digolongkan kepada bi al-ra’yi semata, jika tidak memenuhi syarat
sebagaimana yang telah ditetapkan ulama. Tafsir yang seperti ini tentunya akan
bertentangan dengan zahir ayat, karena hanya menggunakan nafsu dan ratsio belaka. Hal
ini jelas dilarang oleh Allah.
2. Tafsir isyari sulit difahami oleh orang awam, akibatnya dapat merusak aqidah mereka.
Menurut Ibn Mas’ud orang yang mengatakan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang
lain itu tidak mengerti, hal itu akan menjadi fitnah
3. Kadang kala tafsir isyari maknanya terlalu jauh dari ketentuan agama yang sudah qath’i,
4. Tafsir isyari yang terkontaminasi dengan penta’wilan yang rusak, seperti yang dilakukan
oleh aliran batiniyah, tidak memperhatikan persyaratan yang telah disepakati ulama, bias
menyebabkan orang awam berani mencela kitab suci al Qur’an, menta’wilkan menurut
kehendak hawa nafsu atau menuruti bisikan syaitan. Sebab dalam pandangan mereka hal
seperti itu termasuk tafsir isyari.
4. Corak Tafsir Ilmi
Tafsir ilmi terdiri atas dua kata yaitu tafsir yang secara bahasa mengikuti wazan “taf‟il”,
18
artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan makna makna rasional .Ilmi yang secara
bahasa ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan tafsir ilmi adalah sebuah penafsiran tentang
ayat-ayat al-Qur‟an melalui pendekatan ilmu pengetahuan, seperti Sains, ilmu bahasa/sastra,
ilmu sosial, ilmu politik, dan ilmu pengetahuan yang lainnya. Jadi, dapat didefinisikan sebagai
penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan pendekatan ilmiah. Ayat-ayat yang ditafsirkan
adalah ayat kauniyah, mendalami tentang teori-teori hukum alam yang ada dalam al-Qur‟an,
19
teori-teori pengetahuan umum dan sebagainya .Lebih lanjut Husain Adz-Dzahabi memberikan
pengertian tafsir ilmi yaitu:

“Tafsir yang menetapkan istilah ilmu-ilmu pengetahuan dalam penuturan al-Qur‟an.


Tafsir ilmi berusaha menggali dimensi ilmu yang dikandung al-Qur‟an dan berusaha
mengungkap berbagai pendapat keilmuan yang bersifat falsafi”.20Sedangkan „Abd Al-Majid
„Abd As-Salam Al-Mahrasi juga memberikan batasan sama terhadap tafsir ilmi, yaitu:“Tafsir
yang mufasirnya mencoba menyingkap ibarat-ibarat dalam al-Qur‟an yaitu mengenai beberapa
pandangan ilmiah dan istilahnya serta mengerahkan segala kemampuan dalam menggali berbagai
problem ilmu pengetahuan dan pandangan-pandangan yang bersifat falsafi”.21

Dijelaskan pula mengenai tafsir ilmi yaitu penafsiran corak yang berusaha untuk
mengungkap hubungan ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur‟an dengan bidang ilmu pengetahuan
untuk menunjukkan kebenaran mukjizat al-Qur‟an.22Meskipun al-Qur‟an bukan kumpulan ilmu
pengetahuan, namun di dalamnya banyak terdapat isyarat yang berkaitan erat dengan ilmu
pengetahuan, serta motivasi manusia mendalaminya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tafsir ilmi adalah penafsiran al-Qur‟an melalui pendekatan
23
ilmu pengetahuan sebagai salah satu dimensi ajaran yang terkandung dalam al-Qur‟an .Atau
dapat kita pahami bahwa mufasir menjelaskan makna yang terkandung dalam al-Qur‟an dengan
metode atau pendekatan ilmiah atau ilmu pengetahuan.

18 Manna‟ al-Qaththan, Mabahits Fi „Ulũm Al-Qur‟an, terj. Aunur Rafiq el-mazni (Jakarta:pustaka al-kautsar,2004),
407-408.
19 Mohamad Gufron & Rahmawati, Ulumul Qur‟an: Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Teras, 2013), 195
20 Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an, (Pustaka Setia: Bandung 2004), 109. 5
21 Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an, 109.
22 Mohamad Gufron & Rahmawati, Ulumul Qur‟an: Praktis dan Mudah, 195.
23 Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an, 108
a) Tokoh – Tokoh Tafsir ‘Ilmi dan Nama – Nama Kitabnya

Telah di ungkapkan didalam sejarah munculnya tafsir ‘ilmi bahwa tokoh yang paling
gigih mendukung tafsir ‘ilmi tersebut adalah Al-Ghazali (1059-1111 M) yang secara panjang
lebar dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulum Al-Din dan Jawahir Al-Qur’an mengemukakan alasan-alasan
untuk membuktikan pendapatnya itu. Al-Ghazali mengatakan bahwa “ Segala macam ilmu
pengetahuan, baik yang terdahulu (masih ada atau tidak ada), maupun yang kemudian baik yang
telah diketahui maupun yang belum diketahui, semua bersumber dari Al-Qur’an Al-Karim” 24

Tokoh-tokoh penggiat tafsir ilmi ini dari pengarang kitabkitab tafsir yang bercorak tafsir
‘ilmi dintaranya :

1. Fakhrudin Al-Razi dengan karyanya Tafsir al-Kabir / Mafatih Al-Ghayib


2. Thanthawi Al-Jauhari dengan karyanya Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim
3. Hanafi Ahmad dengan karyanya Al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an
4. Abdullah Syahatah dengan karyanya Tafsir al-Ayat alKauniyah
5. Muhammad Syawqi dengan karyanya Al-Fajri Al-Isyarat Al‘Ilmiyah fi al-Quran al-
Karim
6. Ahmad Bayquni dengan karyanya Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Dan tokoh-tokoh pengarang kitab–kitab tafsir yang berusaha menafsirkan ayat-ayat kauniyah
dalam al-Qur’an misalnya:

1. Al-Allamah Wahid al-Din Khan dengan karya kitab tafsirnya al-Islam Yatahadda
2. Muhammad Ahmad Al-Ghamrawy dengan karya kitab tafsirnya Al-Islam fi ‘Ashr al-
‘ilm
3. Jamal al-Din Al-Fandy dengan karya kitab tafsirnya alGhida’ wa al-Dawa’
4. Ustadz ‘Abd al-Razzaq Nawfal dengan kitab tafsirnya AlQur’an wa al-‘ilm Hadits.

Sedangkan menurut Abdul Majid Abdussalam alMuntasib, tokoh-tokoh penafsir ilmi


kontemporer lainnya yaitu:

1. As-Syekh Muhammad Abduh.

24 M.Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.(Bandung: PT
Mizan Pustaka,1992), Hlm 154
2. Muhammad Jamaluddin al-Qasimi dalam Mahaasinu atTa’wil.
3. Mahmud Syukri al-Aluusi dalam buku Maa Dalli ‘Alaihi alQur’anu Mimmaa
ya’dhidu al-Hai’ata al-Jadiidata alQawiimatu al-Burhan (Dalil-dalil al-Qur’an yang
meneguhkan ilmu astronomi modern, dengan argumentasi kuat).
4. Abdul Hamid bin Badis dalam Tafsiru Ibni Badis fii Majaalisi at-Tadzkiiri min
Kalaami al-Hakimi al-Khabiir (Tafsir Ibnu Badis mengenai Firman Dzat Yang Maha
Bijak dan Maha Tahu dalam forum-forum kajian)
b) Metode Dalam Tafsir ‘Ilmi

Memanfaatkan ilmu pengetahuan manusia dengan tujuan untuk menguatkan kandungan


ayat-ayat al-Qur’an adalah salah satu contoh dari usaha pengejawantahan metode tafsir ‘ilmi atau
tafsir saintis. Dalam metode penafsiran ini terdapat beberapa kaidah, diantaranya :

1. Kaidah Kebahasaan

Kaidah kebahasaan merupakan syarat mutlak bagi mereka yang ingin memahami Al-
Qur’an. Baik dari segi bahasa Arabnya, dan ilmu yang terkait dengan bahasa seperti í’rab,
nahwu, tashrif, dan berbagai ilmu pendukung lainnya yang harus diperhatikan oleh para mufassir
25
. Kaidah kebahasaan menjadi penting karena ada sebagian orang yang berusaha memberikan
legitimasi dari ayat-ayat Al-Qur’an terhadap penemuan ilmiah dengan mengabaikan kaidah
26
kebahasaan ini . Oleh karena itu, kaidah kebahasaan ini menjadi prioritas utama ketika
seseorang hendak menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan apapun yang digunakannya,
terlebih dalam paradigma ilmiah.

2. Memperhatikan Korelasi Ayat

Seorang mufasir yang menonjolkan nuansa ilmiah disamping harus memperhatikan


kaidah kebahasaan seperti yang telah disebutkan, ia juga dituntut untuk memperhatikan korelasi
ayat (munasabah al-ayat) baik sebelum maupun sesudahnya. Mufasir yang tidak mengindahkan
aspek ini tidak menutup kemungkinan akan tersesat dalam memberikan pemaknaan terhadap
AlQur’an. Sebab penyusunan ayat-ayat Al-Qur’an tidak didasarkan pada kronologi masa
turunnya, melainkan didasarkan pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat-

25 M Nur Ichwan. Tafsir ‘Ilmi Memahami Al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, (Yogyakarta: Menara Kudus,
2004),
26 Ibid. hlm. 162
27
ayat terdahulu selalu berkaitan dengan kandungan ayat kemudian .Sehingga dengan
mengabaikan korelasi ayat dapat menyesatkan pemahaman atas suatu teks.

3. Berdasarkan Fakta Ilmiah yang Telah Mapan

Sebagai kitab suci yang memiliki otoritas kebenaran mutlak, maka ia tidak dapat
disejajarkan dengan teori-teori ilmu pengetahuan yang bersifat relatif. Oleh karena itu, seorang
mufassir hendaknya tidak memberikan pemaknaan terhadap teks Al-Qur’an kecuali dengan
hakikat-hakikat atau kenyataan-kenyataan ilmiah yang telah mapan dan sampai pada standar
tidak ada penolakan atau perubahan pada pernyataan ilmiah tersebut, serta berusaha menjauhkan
dan tidak memaksakan teori-teori ilmiah dalam menafsirkan Al-Qur’an. Fakta-fakta Al-Qur’an
harus menjadi dasar dan landasan, bukan menjadi objek penelitian karena harus menjadi rujukan
adalah faktafakta Al Qur’an, bukan ilmu yang bersifat eksperimental 28.

4. Pendekatan Tematik Corak tafsir ‘ilmi

Ilmi pada awalnya adalah bagian dari metode tafsir tahlili (analitik). Sehingga kajian
tafsir ‘Ilmi pembahasannya lebih bersifat parsial dan tidak mampu memberikan pemahaman
yang utuh tentang suatu tema tertentu. Akibatnya pemaknaan suatu teks yang semula diharapkan
mampu memberikan pemahaman yang konseptual tentang suatu persoalan, tetapi justru
sebaliknya, membingungkan bagi para pembacanya 29.

c) Contoh – Contoh Ayat Tafsir ‘Ilmi

Contoh Q.S al-Baqarah (02): 61 yang bercerita tentang kaum Nabi Musa yang tidak puas
dengan makan satu jenis makanan di pegunungan

‫وم َها‬ ِ ُ‫ض ِم ْن َب ْق ِل َها َوقِث َّا ِئ َها َوف‬ُ ‫ع َلنَا َربَّكَ ي ُْخ ِر ْج لَنَا ِم َّما ت ُ ْن ِبتُ ْاأل َ ْر‬ ُ ْ‫اح ٍد َفاد‬ َ ‫ص ِب َر َعلَ ٰى‬
ِ ‫ط َع ٍام َو‬ ْ َ‫س ٰى لَ ْن ن‬ َ ‫َو ِإذْ قُ ْلت ُ ْم َيا ُمو‬
َُُ‫ت َع َل ْي ِه ُم ال ِذّلَُُّ َو ْال َم ْس َكن‬
ْ ‫سَ َ ْلت ُ ْم َوض ُِر َب‬ َ ‫ص ًرا َفإ ِ َّن َل ُك ْم َما‬
ْ ‫طوا ِم‬ ُ ِ‫ص ِل َها ۖ قَا َل أَت َ ْست َ ْب ِدلُونَ الَّذِي ه َُو أَدْن َٰى ِبالَّذِي ه َُو َخي ٌْر ۚ ا ْهب‬
َ ‫َو َعدَ ِس َها َو َب‬
َ‫ص ْوا َوكَانُوا َي ْعتَد ُون‬ َ ‫ق ٰذَلِكَ بِ َما َع‬ ِ ّ ‫ّٰللاِ َو َي ْقتُلُونَ النَّبِيِّينَ ِبغَي ِْر ْال َح‬
َّ ‫ت‬ ِ ‫ّٰللاِ ٰذَلِكَ بَِ َ َّن ُه ْم كَانُوا َي ْكفُ ُرونَ بِآيَا‬
َّ َ‫ب ِمن‬ ٍ ‫ض‬َ َ‫َوبَا ُءوا ِبغ‬

Artinya : Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak bisa sabar
(tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada

Ibid. Hlm, 163


27

Ahmad Fuad, Pasya. Dimensi Sains Al-Qur’an Menggali Ilmu Pengetahuan dari Al-Qur’an. (Solo : Tiga Serangkai.
28

2004). Hlm. 47.


29 M. Nor. Ichwan, Tafsir Ilmy, Op. Cit., hlm. 171
Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-
mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa
berkata: “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ?

Menurut Pendapat Thantowi Jauhari ayat ini dengan mengambil teori ilmiah Eropa,
yakni bahwa model kehidupan Baduwi di pedesaan atau pegunungan, yang biasanya orang
mengkonsumsi makanan manna wa salwa (jenis makanan yang tanpa efek samping) dengan
kondisi udara yang bersih, jauh lebih baik daripada model kehidupan di perkotaan yang biasanya
orang suka mengkonsumsi makanan siap saji, daging-daging, dan berbagai ragam makanan
lainnya, ditambah lagi polusi udara yang sangat membahayakan kesehatan 30.

Contoh lain dapat ditemukan dalam penafsiran M. Abduh terhadap surat al-Fil (105): 3-4
yang menafsirkan kata thayran ababil (burung Ababil) dengan mikroba dan kata alhijarah (batu)
dengan kuman penyakit 31,Atau, penafsiran Abdul al-Razq Nawfal pada Q.S. al-A’raf (07): 189

‫ت َح ْم ًال‬
ْ َ ‫ح َم ل‬
َ ‫اح د َ ة ٍ َو َج ع َ َل ِم ن ْ هَ ا َز ْو َج هَ ا ل ِ ي َ سْ ك ُ َن إ ِ ل َ ي ْ هَ ا ۖ ف َ ل َ َّم ا ت َغ َ ش َّ ا ه َا‬ ِ ‫ه َُو ا ل َّ ِذ ي َخ ل َ ق َ ك ُ مْ ِم ْن ن َ ف ْ ٍس َو‬
‫ح ا ل َ ن َ ك ُ و ن َ َّن ِم َن ال ش َّ ا ِك ِر ي َن‬ ْ َ ‫ت ب ِ هِ ۖ ف َ ل َ َّم ا أ َث ْ ق َ ل‬
ً ِ ‫ت د َ ع َ َو ا ّٰللاَّ َ َر ب َّ ه ُ َم ا ل َ ئ ِ ْن آ ت َي ْ ت َن َا صَ ا ل‬ ْ ‫َخ ف ِ ي ف ً ا ف َ َم َّر‬

Artinya: Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya,
isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa
waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah,
Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah
kami termasuk orang-orang yang bersyukur".

Ia menafsirkan kata nafsu al-wahidah (diri yang satu) dengan proton dan zawjaha dengan
32
pasangannya elektron, dan masing-masing keduanya membentuk unsur atom . Dapat dilihat
juga dalam penafsiran ayat dalam surah Yasiin ayat 38 :

‫يز ْٱل َع ِل ِيم‬ ُ ‫س تَجْ ِرى ِل ُم ْستَقَ ٍ ّر لَّ َها ۚ ٰذَلِكَ ت َ ْقد‬
ِ ‫ِير ْٱل َع ِز‬ َّ ‫َوٱل‬
ُ ‫ش ْم‬

30 Tantawi Jauwhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim al-Mushtamil ‘ala ‘Ajaib Badai’ al-Mukawwanat wa Gharib

al-Ayat al-Bahirat al-Musama Tafsir Tantawi Jawhari, Juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), hlm. 66-67
31 M. Abduh, Tafsir Juz ‘Amma (Mesir: Al-Jam’iyyah al-Khairiyyah, 1341 H), h. 5-6
32M. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Dar al-Manar, 1954), h. 208-212.
Artinya : Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha
Perkasa lagi Maha mengetahui. (QS. Yaasin: 38)

5. Corak Sufi

Menurut Quraish Shihab, corak ini muncul akibat munculnya gerakan-gerakan sufi sebagai
reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap
kelemahan yang dirasakan.33 Penafsiran yangk dilakukan oleh para sufi pada umumnya
diungkapkan dengan bahasa misktik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali
orang-orang sufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran taṣawuf.34 Corak ini ada dua
macam :

a) Taṣawuf Teoritis

Aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-Qur‟an berdasarkan teori-teori mazhab dan
sesuai dengan ajaran-ajaran orang-orang sufi. Penafsir berusaha maksimal untuk menemukan
ayat-ayat al-Qur‟an tersebut, faktor-faktor yang mendukung teori, sehingga tampak berlebihan
dan keluar dari dhahir yang dimaksudkan syara‟ dan didukung oleh kajian bahasa. Penafsiran
demikian ditolak dan sangat sedikit jumlahnya. Karya-karya corak ini terdapat pada ayat-ayat al-
Qur‟an secara acak yang dinisbatkan kepada Ibnu Arabi dalam kitab al-futuhat makkiyah dan al-
Fushuh.

b) Taṣawuf Praktis
Yang dimaksud dengan taṣawuf praktis adalah tasawuf yang mempraktekan gaya hidup
sengsara, zuhud dan meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah. Para tokoh aliran ini
menamakan tafsir mereka dengan al-Tafsir al-Isyari yaitu menta‟wilkan ayat-ayat, berbeda
dengan arti dhahir-nya berdasar isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh para
pemimpin suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan arti dhahir yang dimaksudkan. Di
antara kitab tafsir tasawuf praktis ini adalah Tafsīr al-Qur‟anul Karīm oleh Tusturi dan Haqāiq
al-Tafsīr oleh al-Sulami.

33
Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), 108.
34
Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, op. cit., h. 71
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Corak tafsir secara umum menurut pengertian di atas adalah kekhususan suatu tafsir yang
merupakan dampak dari kecenderungan seorang mufassir dalam menjelaskan maksud-maksud
ayat-ayat al-Qur’an. Akan tetapi, pengkhususan suatu tafsir pada corak tertentu tidak lantas
menutup kemungkinan adanya corak lain dalam tafsir tersebut, hanya saja yang menjadi acuan
adalah corak dominan yang ada dalam tafsir tersebut, karena kita tidak bisa memungkiri dalam
satu tafsir memiliki beberapa kecenderungan.
Penggolongan suatu tafsir pada suatu corak tertentu bukan berarti hanya memiliki satu ciri
khas saja, melainkan setiap mufassir menulis sebuah kitab tafsir sebenarnya telah banyak
menggunakan corak dalam hasil karyanya, namun tetap saja ada corak yang dominan dari kitab
tafsirnya, sehingga corak yang dominan inilah yang menjadi dasar penggolongan tafsir tersebut.
Tafsir fiqhi adalah corak tafsir yang kecenderungannya mencari hukum-hukum fikih di
dalam ayat-ayat al-Qur’an. Corak ini memiliki kekhususan dalam mencari ayat-ayat yang secara
tersurat maupun tersirat mengandung hukum-hukum fikih. Corak fiqhi merupakan corak yang
berkembang. Tafsir fiqhi lebih popular disebut tafsir ayat al-Ahkam atau tafsir ahkam karena
lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an. Banyak sekali judul kitab yang layak
untuk disebutkan dalam deretan daftar nama-nama kitab tafsir ayat al-Ahkam, baik dalam bentuk
tahlili maupun maudu’i, antara lain : Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas (917-980 M), seorang
faqih madhhab Hanafi. Ahkam al-Qur’an karya ibn al-‘Arabi (1075-1148 M). al-Jami’ li ahkam
al-Qur’an karya al-Qurtubi (w:1272 M). Ahkam al-Qur’an karya al-Shafi’i (w: 204 H.). dan
masih banyak lagi karya tafsir di bidang fikih atau Tafsir Ahkam.
Tafsir adabi Ijtima’i sebagaimana disebutkan oleh al Farmawi adalah Corak tafsir yang
menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al Qur’an pada Aspek ketelitian redaksinya lalu menyusun
kandungannya dalam redaksi yang indah dengan penonjolan aspek-aspek petunjuk al Qur’an
bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang
berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia. berikut ini bersama karya-karya tafsirnya :
Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w. 1345 H), Tafsir Al-Maraghi, oleh Syekh Muhammad
Al-Maraghi (w. 1945 M), Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud Syaltut, Tafsir
Al-Wadhih, karya Muhammad Mahmud Baht Al-Hijazi.
Tafsir isyari menurut istilah adalah mentakwilkan al-Qur’an dengan makna yang bukan
makna lahiriyahnya karena adanya isyarat samar yang diketahui oleh para penempuh jalan
spiritual, atau hanya diketahui oleh orang yang senantiasa mendekatkan diri pada Allah dan
berkepribadian luhur, atau tafsir yang didasarkan pada isyarat-isyarat rahasia dengan cara
memadukan makna yang dimaksud dengan makna yang tersurat. Di antara kitab tafsir tersebut
adalah : Al - Futuhat al -Makiyyah , karya dari syaikh Abdullah Muhammad Ibn Ahmad Ibn
Abdullah Muhyiddin Ibn ‘Arabi (w.238 H), Tafsir al - Tustary yang juga dikenal dengan tafsir al
- Qur’an al - ‘Azhim , karya Abu Muhammad Sahl ibn Abdullah al-Tusturi (w.283 H), Haqaiq al
- Tafsir . Kitab tafsir ini disusun oleh Abu Abdurrahman Muhammad Ibn Husain Ibn al-As’ad al-
Sullami (w.412 H), dan lain-lain.

Tafsir ilmi adalah sebuah penafsiran tentang ayat-ayat al-Qur‟an melalui pendekatan ilmu
pengetahuan, seperti Sains, ilmu bahasa/sastra, ilmu sosial, ilmu politik, dan ilmu pengetahuan
yang lainnya. Jadi, dapat didefinisikan sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan
pendekatan ilmiah. Ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat kauniyah, mendalami tentang teori-
teori hukum alam yang ada dalam al-Qur‟an, teori-teori pengetahuan umum dan sebagainya.
Tokoh-tokoh penggiat tafsir ilmi ini dari pengarang kitabkitab tafsir yang bercorak tafsir ‘ilmi
dintaranya : Fakhrudin Al-Razi dengan karyanya Tafsir al-Kabir / Mafatih Al-Ghayib,
Thanthawi Al-Jauhari dengan karyanya Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim, Hanafi Ahmad
dengan karyanya Al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an, dan lainnya. Dan tokoh-
tokoh pengarang kitab–kitab tafsir yang berusaha menafsirkan ayat-ayat kauniyah dalam al-
Qur’an misalnya: Al-Allamah Wahid al-Din Khan dengan karya kitab tafsirnya al-Islam
Yatahadda dan Muhammad Ahmad Al-Ghamrawy dengan karya kitab tafsirnya Al-Islam fi
‘Ashr al-‘ilm.

Menurut Quraish Shihab, corak ini muncul akibat munculnya gerakan-gerakan sufi sebagai
reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap
kelemahan yang dirasakan. Penafsiran yangk dilakukan oleh para sufi pada umumnya
diungkapkan dengan bahasa misktik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali
orang-orang sufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran taṣawuf. Corak ini ada dua
macam, yaitu tasawuf teoritis dan tasawuf praktis.
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah,Abu al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,Bairut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Arabi,


Cet. V, 2003.Jilid 6.
Agil,Said Husin al-Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki.
Ali,Muhammad al-Shabuni.2003. al - Tibyan fi ‘Ulum al - Qur’an, Makkah: Dar al-Kutub al
Islamiyah.
Al-‘Azhim al-Zarqani, Muhammad.2001. Mana hil al - Irfan fi Ulum al - Qur’an.Kairo: Dar al
Hadits.Juz II.
Al-Dzahabi, Muhammad Husain.2012. al - Tafsir wa al -Mufassirun Juz II dan Juz III.Mesir: Dar
al-Hadits Husein,Muhammad al-Dzahabi,2004. al-Tafsir wa al-Mufassirun,Maktabah
Mus’ab ibn Umar al Islamiyah.
Fuad, Ahmad Pasya.2004. Dimensi Sains Al-Qur’an Menggali Ilmu Pengetahuan dari Al
Qur’an.Solo : Tiga Serangkai.
Gufron, Mohamad & Rahmawati,2013.Ulumul Qur‟an: Praktis dan Mudah,Yogyakarta: Teras.
Husaian,Muhammad Al-Dzahabi.1976. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid 2,Beirut:Dar Al-Fikr.
Izzan,Ahmad.2009. Metodologi Ilmu Tafsir,Bandung: Tafakur.
Jauwhari, Tantawi.2004. Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim al-Mushtamil ‘ala ‘Ajaib
Badai’ al-Mukawwanat wa Gharib al-Ayat al-Bahirat al-Musama Tafsir Tantawi Jawhari,
Juz 1. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Khaeruman, Badri.2004. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an,Pustaka Setia: Bandung.
Manna’ Khalil al-Qattan, 2000. Mabahits fi Ulum al - Qur’an ,Beirut: Muassasah al-Risalah..
Manna‟ al-Qaththan,2004. Mabahits Fi „Ulũm Al-Qur‟an, terj. Aunur Rafiq el-mazni.
Jakarta:pustaka al-kautsar.
Ma’luf,Louis.2002. al - Munjid fi al - Lughah wa al -A’lam. Beirut: Dar al-Masyriq.
Muhammad bin Makram bin Manzur al-Ifriki al-Masri, Lisan al-‘Arab, Vol. 13,Bairut: Dar
Sadir, Cet. Ke- I, t.t..
Mustaqim,Abdul.2008.Pergeseran Epistemologi Tafsir,Jakarta: Pustaka Pelajar.
M.Quraish Shihab.1992. Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat.Bandung: PT Mizan Pustaka.
M Nur Ichwan.2004. Tafsir ‘Ilmi Memahami Al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern,
Yogyakarta: Menara Kudus.
M. Abduh,1341 H. Tafsir Juz ‘Amma.Mesir: Al-Jam’iyyah al-Khairiyyah.
M. Rasyid Ridha,1954. Tafsir al-Manar,Mesir: Dar al-Manar.
Shihab,Quraish.1994.Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Bandung : Pustaka Hidayah.
Warson,Ahmad.1997.Munawwir, al-Munawwir; Kamus Arab Indonesia.Surabaya: Pustaka
Progressif, Cet. Ke-14.

Anda mungkin juga menyukai