Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

Sejarah dan Metode Tafsir Adabi Ijtima’i


Disusun Guna Memenuhi Tugas :

Mata Kuliah : Pemikiran Tafsir Modern & Kontemporer

Dosen Pengampu: Hilmy Pratomo, Lc, M.Ag

Disusun Oleh :

Faishal Nabigh Aghna (2018080082)

Yandi Ariana (2018080097)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM


ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN JAWA TENGAH DI
WONOSOBO
Pendahuluan
Pembahasan berkaitan dengan dunia Islam pada abad ke-19 adalah mengalami masa
suram, bahkan terus-menerus merosot, terbelakang dan banyak Negara muslim yang sedang
menghadapi penjajahan asing. Pada saat itu lahir seorang pemimpin bernama Jamaluddin al-
Afghani, mengumandangkan seruan untuk membangkitkan kaum muslimin di seluruh dunia.
Muridnya yang mengikuti jejaknya ialah Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar
pembaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia menghubungkan ajaran-ajaran
agama dengan kehidupan modern, dan memebuktikan bahwa Islam sama sekali tidak
bertentangan dengan peradaban, kehidupan modern serta kemajuan. Berdasarkan latar
belakang di atass muncullah kitab-kitab tafsir yang tidak saja memberikan perhatian kajian
seperti nahwu, istilah-istilah dalam balaghah , bahasa, dan lain sebagainya. Perhatian pokok
dari kitab-kitab tafsir ini adalah memfungsikan al-Qur‟an sebagai kitab hidayah dengan cara
yang sesuai dengan ayat-ayat al-Qur‟an dan makna-maknanya yang bernilai tinggi, yaitu
memberi peringatan dan kabar gembira. Pada dasarnya tafsir yang bermanfaat bagi umat
Islam adalah tafsir yang menjelaskan nilai-nilai Alquran sebagai way of life kepada manusia
untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Corak penafsiran tersebut dikenal dengan
nama corak Tafsir al-Adaby alIjtima‟i. Diantara kitab tafsir yang bercorak seperti ini boleh
dikatakan perintisnya adalah tafsir al-Manar yang merupakan hasil karya dari dua tokoh yang
mempunyai hubungan guru dan murid, yaitu Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid
Muahammad Rasyid Ridha. Selanjutnya belakangan muncul tafsir karya Ahmad Mustafa al-
Maraghi (w. 1945), Sayyid Qutb, Hamka, Abdullah Yusuf Ali dan M. Quraish Shihab.

Rumusan Masalah
1. Apa latar belakang munculnya mazhab tafsir adabi ijtima’i kontemporer ?
2. Bagaimana pengertian, metode dan corak penafsirannya ?
3. Siapa saja tokoh-tokohnya ?
Tujuan Masalah
1. Mengetahui latar belakang munculnya mazhab tafsir adabi ijtima’i kontemporer
2. Mengetahui pengertian, metode dan corak penafsirannya
3. Mengetahui siapa saja tokoh-tokohnya
Pembahasan
1. Latar belakang munculnya mazhab tafsir adabi ijtima’i kontemporer
Mengenai latar belakang munculnya corak tafsir adabi ijtimai pastilah tidak lepas dari
tokoh pembaharu di Mesir, yakni Jamaluddin al-Afgani. Hal ini wajar kiranya mengingat
bahwa beliau adalah tokoh Islam yang dianggap pertama kali bersikap tegas terhadap
tantangan modernitas, beliau menyatakan kembali kepada tradisi Islam dengan cara yang
sesuai untuk menjawab berbagai problem penting yang muncul akibat “Barat” dengan klaim
modernitasnya yang semakin mengusik “Timur Tengah” dengan tradisi Islam tradisionalnya.
Tema besar yang diperjuangkan Jamaluddin al-Afgani adalah bahwa Islam merupakan
kekuatan yang sangat penting untuk menangkal “Barat”. Pemikiran lain yang dimunculkan
oleh Jamaluddin al-afgani adalah tentang adanya persamaan antara pria dan wanita. Wanita
dan pria sama dalam pandangannya, keduanya mempunyai akal untuk berpikir.
Semangat pembaharuan jamaluddin al-Afgani yang berangkat dari respon sosial politik
itu diikuti oleh para muridnya. Muhammad Abduh adalah salah satu murid al-Afgani yang
sejalan dengan pemikirannya dalam mengadakan reformasi dengan cara menyadarkan umat
akan pentingnya mengusir penjajah, serta mengejar ketertinggalan-ketertinggalan dunia Islam
terhadap dunia barat. Gerakan nyata dari reformasi keagamaan dan politikal-Afgani dan
Abduh adalah majalah al-Urwah al-Wusqa yang mampu memberikan kesadaran kolektif
terhadap negara-negara Arab dan Islam lainnya untuk bangkit menuju kemajuan dalam arti
luas.
Banyak ulama dan ilmuan Islam yang terpanggil dan mengikuti jejak mereka, termasuk
Rasyid Ridha yang telah menyaksikan penderitaan umat dan makin merosotnya keadaan
sosial keagamaan. Sehingga dari kondisi sosial politik Timur Tengah tersebut, dirumuskanlah
Tafsir al-Manar oleh Muhammad Abduh beserta Rasyid Ridha. Disebutkan oleh Harun
Nasution dalam bukunya Pembaharuan dalam Islam mengutip pendapat Muhammad Abduh
dalam bukunya al-Islam Din al-‘Ilm wa al-Madaniah, menyebutkan bahwa “kondisi sebagian
umat Islam pada saat dituliskannya tafsir al-Manar itu adalah kondisi jumud, statis dan tidak
berkembang karena tradisi Islam saat itu diwarnai oleh animisme dan masyarakatnya enggan
memakai akal”. Kondisi masyarakat yang seperti itu diperparah oleh sistem pemerintahan
Mesir yang seolah sengaja membiarkan rakyat menjadi bodoh.1
Karena itulah usaha pertama Abduh dalam gerak pembaharunya adalah memperbaiki
sistem pendidikan sebagai jantung umat Islam. Setelah munculnya putri-putri Mesir yang
terdidik dan terpelajar, baik dari pendidikan lokal maupun pendidikan Barat, maka mulailah
ada gelombang-gelombang reformasi dan pembaharuan sebagaimana yang diharapkan oleh
Abduh.
Dalam kondisi politik dan masyarakat yang seperti itu, sebuah respon politik yang belum
pernah terjadi pada zaman mufassir sebelumnya lahir. Majalah al-Manar yang nantinya
menjadi tafsir al-Manar ditulis dengan corak baru dalam tafsir sebagai usaha menjawab
1
Dikutip dari Harun Nasution dalam Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan oleh
Kukuh Budiman dalam skripsi Term Di’afan (Lemah) dalam Surat an-Nisa ayat 9 (Studi TematikKitab Tafsir al-
Manar Karya Rasyid Ridha),  Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2011, hlm. 31-32
tantangan zamannya. Corak tafsir yang dikembangkan oleh Abduh dan Rasyid Ridha itu
kemudian dikenal corak adabi ijtima’i.
2. Pengertian, Metode dan corak penafsiran tafsir Adabi Ijtima’i
Ditelaah dari segi bahasa kata al-adaby berasal dari bentuk masdar (infinitif), sedang dari
kata kerjanya (madi) adalah aduba, yang berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Secara
leksikal, kata tersebut bermakna normanorma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam
bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena
itu, istilah al-Adaby bisa diterjemahkan sastra budaya. Adapun kata al-Ijtima‟ī bermakna
banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara
etimologis tafsir al-Adaby al-Ijtima‟ī adalah tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan
kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural.2
Adapun ciri dari corak adabi ijtimai adalah penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat al-
Qur’an, penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan redaksi yang menarik hati,
dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam
yang berlaku dalam masyarakat.3 Dalam artian lain bahwa memahami ayat dari segi
balaghahnya untuk kemudian difahami sesuai dengan makna yang dimaksud di dalamnya
dengan menggunakan bahasa yang mudah difahami dan indah. Sehingga al-Qur’an dengan
mudah difahami oleh umat Islam dari kalangan manapun (bukan hanya ulama) untuk
dijadikan sebagai huda li al-nas, sebagaimana yang merupakan fungsi utama dari al-
Qur’an.Adapun metode penafsiran dan sekaligus menjadi prinsip yang digunakan
Muhammad Abduh dalam tafsirnya diantaranya4 :
1. Memandang tiap-tiap surat sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.
2. Ayat-ayat Alquran adalah besifar umum.
3. Alquran sebagai sumber Tasyri‟ (Aqidah dan syari‟ah) yang pertama.
4. Penggunaan akal secara lusa dalam memahami ayat-ayat Alquran.
5. Perang terhadap taqlid.
6. Tidak merinci persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham (tidak jelas) oleh
Alquran.
7. Sangat kritis dalam menerima hadis-hadis nabi.
8. Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat dan menolak israiliyyat.
9. Mengaitkan penafsiran Alquran dengan kehidupan sosial.

3. Tokoh-tokoh tafsir Adabi Ijtima’i

2
M.Karman Supiana, Ulumul Qur‟an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002), h. 316-317.
3
Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 111
4
Manna‟ul Qattan, Pembahasan Ilmu Alquran 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 212-113.
Mengenai tokoh-tokoh yang menggunakan corak penafsiran adabi ijtimai dalam
penafsirannya, maka dapat diketahui diantaranya adalah Muhammad abduh dalam beberapa
kitab tafsirnya, salah satunya adalah Tafsir Juz ‘Amma,Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
dalam tafsir al-Manar,Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya Tafsir al-Maraghi,  dan
sebagainya. Namun dalam makalah ini, akan dibahas mengenai beberapa tokoh yang menjadi
pelopor dari adanya corak penafsiran ini, yakni diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Biografi Syaikh Muhammad Abduh
Syaikh Muhammad Abduhbin Hasan Khairullah dilahirkan di desa Mahallat Nashr di
kabupaten Al-Buhairah, mesirpada 1849 M. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong
kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Namun ayahnya dikenal sebagai orang terhormat
yang suka memberi pertolongan.5 Muhammad Abduh hidup di dalam lingkungan keluarga
petani di pedesaan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola pertanian, kecuali
Muhammad Abduh yang oleh ayahnya di tugaskan untuk menuntut ilmu pegetahuan. Pilihan
ini mungkin hanya suatu kebetulan atau mungkin juga ia sangat di cintai oleh ayah dan
ibunya. Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak sabar ketika ditinggal oleh
Muhammad Abduh ke desa lain. Baru dua minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah dating
menjenguk dan juga dikawinkannya Muhammad Abduh dalam usia yang sangat muda pada
tahun 1865, pada waktu itu ia baru berusia 16 tahun.
Pendidikan Muhammad Abduh
Mula-mula Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid Al-Ahmadi Thantha
(sekitar 80 km darikairo) untuk mempelajari Tajwid Al-Qur’an. Namun merasakan sangat
menjengkelkan, sehingga setelah dua tahun (tahun 1864) di sana, Muhammad Abduh
memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kaum
kerabatnya6. Muhammad Abduh lalu pergi ke desa SyibralKhit, di desa inilah banyak paman
dari pihak ayahnya yang bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwisy
Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan mengenai Al-Qur’an dan
menganut Tasawuf Al-Syaidziliah. Pamannya berhasil mengubah pandangan Muhammad
Abduh yang semula seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi seseorang yang
menggemarinya.
Dari Thantha, Muhammad Abduh menunju ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar, yaitu
pada bulan Februari 1866. Di perguruan inilah Muhammad Abduh mengenal dengan sekian
banyak dengan dosen yang dikaguminya, antara lain7:Syaikh Hasan Al-Thawil yang
mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles dan lain
sebagainya, padahal kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di Al-Azhar pada waktu itu dan juga
Muhammad Basyuni, seorang yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra

5
Dr. M. Quraishshihab, Studi KritisTafsir Al-Manar, Karya Muhammad AbduhdanM.Rasyid
Ridha (Bandung:  Pustaka Hidayah., 1994), hlm.11
6
Dr. M. Quraishshihab, StudiKritisTafsir Al-Manar, Karya Muhammad AbduhdanM.RasyidRidha…, hlm.
12
7
Dr. M. Quraishshihab, StudiKritisTafsir Al-Manar, Karya Muhammad AbduhdanM.RasyidRidha…, hlm.
13
bahasa, bukan melalui pengajaran bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan
mempraktikkannya.
Karya-karya dalam bidang tafsir
Karya-karya Muhammad Abduh dalam bidang tafsir terbilang sedikit jika diukur dengan
kemampuan tokoh ini.Karya-karya tersebut adalah: TafsirJuz’ ‘Amma, yang dikarangnya
untuk menjadi pegangan para guru mengaji di Marokko pada tahun 1321 H, TafsirWal-‘Ashr,
Tafsir ayat-ayat surah An-Nisa’ : 77 dan 78, Al-Haj : 52, 53, dan 54, dan Al-Ahzab : 3, Tafsir
Al-Qur’an bermula dari Al-Fatihah sampai dengan ayat 129 dari surah An-Nisa’ yang
disampaikannya di Masjid Al-Azhar, kairo, sejak awal Muharram 1317 H sampai dengan
pertengahan Muharram 1323. Walaupun penafsiran ayat-ayat tersebut tidak ditulis langsung
oleh Muhammad Abduh, namun ia dapat dikatakan sebagai hasil karyanya, karena muridnya
(RasyidRidha) yang menulis kuliah-kuliah tafsir menunjukkan artikel yang dibuatnya itu
kepada Abduh yang terkadang memperbaikinya dengan penambahan dan pengurangan satu
atau beberapa kalimat, sebelum disebarluaskan dalam majalah Al-Manar8.
Ciri-ciri penafsiran Muhammad Abduh
1. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.
2. Ayat al-Qur’an bersifat umum.
3. Ayat al-Qur’an adalah sumber aqidah dan hukum.
4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.9
2. Biografi Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari
Tripoli, Lebanon, pada 27 Jumadil ‘Ula 1282 H. Beliau adalah seorang keturunan bangsawan
arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari sayyidina husain, putra Ali bin Abi
Thalib dan Fatimah putri Rasulullah SAW.
Gelar “sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar yang biasa diberikan kepada semua
garis keturunan tersebut. Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang
sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal
dengan sebutan “syaikh”10
Dalam perjalanan pulang dari kota suez di mesir, setelah mengantar pangeran Sa’ud Al-
Faisal (yang kemudian menjadi raja saudi arabia), mobil yang dikendarainya mengalami
kecelakaan dan ia menderita geger otak. Selama dalam perjalanan, beliau hanya membaca al-
Qur’an, walau beliau telah sekian kali muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari

8
Dr. M. Quraishshihab, StudiKritisTafsir Al-Manar, Karya Muhammad AbduhdanM.RasyidRidha…, hlm.
21
9
Dr. M. Quraishshihab, StudiKritisTafsir Al-Manar, Karya Muhammad AbduhdanM.RasyidRidha…, hlm.
26
10
Dr. M. Quraishshihab, StudiKritisTafsir Al-Manar, Karya Muhammad AbduhdanM.RasyidRidha…,
hlm. 59
oleh orang-orang yang menyertainya, tokoh ini wafat dengan wajah yang sangat cerah
disertai senyuman, pada 23 Jumadil-‘Ula 1354/22 Agustus 1935.
Pendidikan Muhammad Rasyid Ridha
Di samping orangtuanya sendiri, beliau belajar juga ke sekian banyak guru. Di masa
kecil ia belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya yang ketika itu dinamai al-kuttab,
disana ia beliau diajarkan membaca al-Qur’an, menulis dan dasar-dasar menghitung.
Setelah tamat beliau dikirim oleh orangtuanya ke Tripoli (lebanon) untuk belajar di
madrasah ibtidaiyyah yang mengajarkan nahwu, shorof, aqidah, fiqih, berhitung, dan ilmu
bumi. Bahasa yang digunakan daerah tersebut adalah bahasa turki, mengingat lebanaon itu
berada di bawah kekuasaan kerajaan ustmaniyyah.
Pada tahun 1299 H/1822 M, beliau pindah ke sekolah islam negeri, yang merupakan
sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa arab sebagai bahasa pengantar, di samping
diajarkan pula bahasa turki dan prancis. Sekolah ini didirikan dan dipimpin oleh ulama besar
syam ketika itu, yakni Syaikh Husain al-Jisr. Pada tahun 1314 H/1897 M, syaikh al-jisr
memberikan ijazah kepada beliau dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan filsafat. Selain
belajar pada  Syaikh Husain al-Jisr beliau juga belajar pada guru yang lain,
diantaranya:Syaikh Mahmud Nasyabah, Syaikh Muhammad Al-Qawijiy, Syaikh Abdul-Gani
Ar-Rafi,Al-Ustadz Muhammad Al-Husaini, danSyaikh muhammad kamil ar-rafi.11
Pertemuan Muhammad Rasyid Ridha dengan Muhammad Abduh
Pada saat Rasyid Ridha memulai perjuangan di kampung halamannya, baik melalui
pengajian-pengajian untuk kaum pria dan wanita maupun tulisan-tulisannya di media massa,
muhammad abduh mempin pula gerkan pembaruan Mesir.
Majalah al-urwah al-wutsqo yang di terbitkan oleh jamaluddin al-afghani dan
muhammad abduh di paris, yang tersebar ke seluruh dunia islam, ikut juga dibaca oleh
muhammad rasyid ridha dan memberi pengaruh yang sangat besar pada jiwanya, sehingga
memberi pengaruh pada sikap yang berjiwa sufi ini menjadi seorang pemuda yang penuh
semangat.
Pada awalnya usaha-usaha rasyid ridha hanya terbatas pada usaha perbaikan aqidah
dan syariah masyarakatnya serta menjauhkan mereka dari kemewahan duniawi dengan
melakukan zuhud, maka dengan membaca majalah tersebut ia beralih kepada usaha-usaha
membangkitkan semangat kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran agama secara utuh
serta membela dan membangun negara dengan ilmu pengetahuan dan industri.
Pada tahun 1315 H/18 januari 1898  Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya untuk
menerbitkan suatu surat kabar yang memuat masalah-masalah sosial, budaya, dan agama.
Pada mulanya abduh tidak menyetujui gagasan ini, karena pada saat itu di mesir sudah cukup
banyak media massa, apalagi persoalan yang akan diolah diduga kurang menarik perhatian
umum. Namun rasyid ridha menyatakan tekadnya, walaupun harus menanggung kerugian

11
Dr. M. Quraishshihab, StudiKritisTafsir Al-Manar, Karya Muhammad AbduhdanM.RasyidRidha…,
hlm. 60
material selama satu sampai dua tahun setelah penerbitan itu. Akhirnya abduh merestui dan
memilih al-manar dari sekian banyak nama yang di usulkan oleh rasyid ridha. Al-manar terbit
pertama kali pada 22 syawal 1315 H/17 Maret 1898 M berupa mingguan sebanyak delapan
halaman dan mendapat sambutan hangat, bukan hanya di mesir atau negara-negara arab
sekitarnya saja, tetapi sampai ke eropa bahkan ke indonesia.12
Karya-karya ilmiah muhammad rasyid ridha
Al-Hikmah Asy-Syar’iyah fi Muhakamat Al-Dadiriyah wa Al-Rafi’iyah, Al-azhar dan al-
manar Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ciri-ciri Pokok Tafsir Rasyid Ridha
1. Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi
SAW.
2. Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain.
3. Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya, dengan tujuan mengantar kepada
penjelasan tentang petunjuk agama, yang menyangkut argumentasi keyakinan
maupun pemecahan problem-problem yang berkembang.
4. Keluasan pembahasan tentang arti mufradat, susunan redaksi, serta pengungkapan
pendapat-pendapat ulama dalam bidang tersebut.

Kesimpulan

12
Dr. M. Quraishshihab, StudiKritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad AbduhdanM.RasyidRidha…,
hlm. 63-64
tafsir al-Adaby al-Ijtima‟ī adalah tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan
kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural. Adapun ciri dari corak adabi
ijtimai adalah penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an, penguraian makna yang
dikandung dalam ayat dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk
menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat. Tokoh-tokoh yang menggunakan corak penafsiran adabi ijtimai dalam
penafsirannya, maka dapat diketahui diantaranya adalah Muhammad abduh dalam beberapa
kitab tafsirnya, salah satunya adalah Tafsir Juz ‘Amma,Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
dalam tafsir al-Manar,Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya Tafsir al-Maraghi,  dan
sebagainya.

Daftar Pustaka
Nasution, Harun dalam Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan oleh
Kukuh Budiman dalam skripsi Term Di’afan (Lemah) dalam Surat an-Nisa ayat 9 (Studi
TematikKitab Tafsir al-Manar Karya Rasyid Ridha), Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta
M.Karman Supiana, Ulumul Qur‟an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002)
Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002)
Manna‟ul Qattan, Pembahasan Ilmu Alquran 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1994)
Dr. M. Quraishshihab, Studi KritisTafsir Al-Manar, Karya Muhammad AbduhdanM.Rasyid
Ridha (Bandung: Pustaka Hidayah., 1994)

Anda mungkin juga menyukai