Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

HERMENEUTIKA AL-QUR’AN MUHAMMAD TALBI

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 8

Muh.Afif(30156119039)
Aswini(30156119042)

DOSEN PENGAMPUH:
Syarif, M.Ag

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


(STAIN)MAJENE
JURUSAN USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan


rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul ”HERMENEUTIKA AL-QUR’AN MUHAMMAD TALBI”.

Salam dan salawat kepada nabi besar Muhammad SAW yang telah
membawah kita dari alam yang gelap ke alam yang terang benderang seperti
sekarang ini

Penyusun makalah ini merupakan salah satu objek penilaian dalam rangka
memenuhi tugas. tak lupa saya menyampaikan penghargaan setinggi tingginya
kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan baik dukungan moril
berupa bimbingan dan pengarahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini

Akhir kata tak ada manusia yang sempurna yang tak luput dari kesalahan
dan kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari
berbagai pihak dengan lapang dada penyusun mengharapkan untuk kesempurnaan
proposal ini di masa yang akan datang.

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................5
A. Latar belakang6
B. Rumusan Masalah6
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................13
A B iografi Muhammad Talbi13
B. Pandangan Muhammad Talbi Terhadap al-
BAB III PENUTUP23
A. KESIMPULAN23
DAFTAR PUSTAKA...

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG.
Diskursus seputar penafsiran al-Qur’an merupakan sebuah diskursus yang
tak pernah mengenal kata usai. Hal ini dikarenakan, pertama,keyakinan bahwa al-
Qur’an adalah shalih li kulli zaman wa makan (relevan bagi setiap ruang dan
waktu), dan kedua,bahwa Al-Qur’an selalu menampilkan pemaknaan (sisi lain)
yang berbeda dengan penafsiran sebelumnya atau dengan bahasa lain,al-Qur’an
selalu memberikan hal-hal yang inovatif, yang absah dalam setiap gaya
penafsiran1 Hal tersebut telah terbukti bahwa selama ini, al-Qur’an telah dibaca
dengan beragam metode dan pendekatan.
Akhir-akhir ini, pembacaan mengenai hermeneutika maupun pembacaan
yang memanfaatkan hermeneutika sebagai pendekatan semakin “populer” dan
dipakai oleh para ilmuan dari berbagai bidang kajian, seperti para kritikus sastra,
sosiolog, sejarawan, antropolog dan filosof.2 Dalam tulisan ini akan dibahas
pemikiran salah satu sejarawan muslim yaitu Muhammad Talbi terkait
emikirannya mengenai hermeneutika, aplikasinya dalam membaca teks Al-
Qur’an.
Corak pemikiran Talbi sudah terbentuk saat ia berada di Tunisia, namun ia
lebih banyak terpengaruhi pemikiranya saat berada di Perancis.Saat ia
menyelesaikan disertasinya di sana, keilmuanya sangat kental bernuansa sejarah.
Mohamed Talbi adalah seorang pemikir muslim kontemporer yang banyak
menyuarakan pembacaan al-Quran dengan sejarah. Baginya al-Quran dan sejarah
tidak pernah lepas keterkaitannya, karena adanya interaksi dan dialog dalam
penurunannya.
Di antara pemikirannya dalam dunia Islam adalah agenda pembaharuan Islam.
Talbi meyakini bahwa “reformasi tidak akan pernah datang dari luar, tetapi dari
dalam masjid.” Ungkapan pembaharuan berangkat “dari dalam” di sini bukan
1
Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, Pengantar M. Amin Abdullah,
(Yogyakarta: Islamika, 2003), xx.
2
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontropersial, (Yogyakarta: Kalimedia,
2015), 1-2.

4
hanya mempunyai pengertian bahwa pembaharuan harus dilakukan oleh kaum
Muslim sendiri, namun juga bahwa upaya-upaya pembaharuan itu harus
dirumuskan berdasarkan atas “sumber-sumber daya dalam tradisinya sendiri” ,
yakni dari dalam teks-teks Islam sendiri.
Namun hal itu tidak lantas menutup pintu belajar kepada orang lain.Ia
bermaksud menyampaikan pada kaum Muslim perlunya mereformasi diri secara
internal, dalam hati nurani mereka yang beragama Islam, dan tiba pada keyakinan
bahwa mereka selaras dengan modernitas, keadilan, humanitas dan sesuatu yang
merupakan produk masa lalu.Oleh karena itu,ia yakin dan percaya bahwa
keseimbangan antara iman dan akal adalah mungkin dan tak terelakkan.
Iman adalah pilihan individu dan tidak bertentangan dengan dan atau
membatasi akal. Baginya iman tak bermakna bila tidak bebas memilih atau tidak
ada kebebasan didalam memilih.
Pembaharuan yang dimaksudkan Talbi juga bukan tentang persoalan teologi
melainkan persoalan-persoalan tatanan sosial dan politik. Talbi beranggapan
bahwa umat Islam telah banyak menderita karena menggunakan Islam secara
politik. Ia juga berpendapat bahwa semua pengetahuan bersifat sementara dan
menolak absolutisme. Bagi Talbi, masalah agama dan politik ini merupakan salah
satu dari empat subjek utama dari perhatian Islam dalam abad kita. Yang lainya
adalah: penafsiran al-Qur‟an dan Hadis, epistimologi agama, polemik keagamaan,
dan dialog agama.3
Dalam politik, Talbi menentang gagasan tentang bentuk pemerintahan Islam
tertentu. Semua ide-ide semacam itu dan upaya untuk menerapkan mereka yang
dalam pandangannya palsu. Islam tidak mempunyai organisasi atau prinsip politis
yang sesungguhnya.
Jika dalam sejarah Islam, klaim politik telah dilakukan atas nama ideologi
tertentu pemerintahan tertentu, klaim ini telah salah dan salah arah.

3
Ronald L Nettler, “Gagasan Muhammad Talbi tentang Islam dan Politik: Konsep tentang Islam
untuk Dunia Moedern,” dalam Jhon Cooper, Ronald L. Netter dan Mohamed Mahmoud,
Pemikiran Islam: dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, terj. Wakhid Nur Effendi,
Jakarta, Penerbit Erlangga, 2002, hlm 130-131
Penguasa

5
Pendukung mereka percaya bahwa ide-ide politik mereka dan lembaga-
lembaga Islam telah benar, tetapi mereka keliru.
Islam adalah sistem utama yang diwahyukan dalam bentuk keyakinan,
keshalihan dan ibadah, bukan sebuah negara. Mohamed Talbi juga kental akan
kebebasan beragama dalam agenda pembaruan Islamnya.Ia mengatakan bahwa
“Islam adalah kebebasan” dan “sepenuhnya selaras” dengan demokrasi dan
modernitas.
Sedangkan syariah menurutnya adalah produk manusia yang tidak ada
hubunganya dengan Islam. Dia mengatakan bahwa umat Islam harus
“membebaskan diri” dari teks-teks hukum yang muncul dua abad setelah Nabi dan
dari agama yang memberikan gambaran teror.
Bagi dia, “Agama bukan identitas budaya atau suatu bangsa. Agama adalah
hubungan pribadi dengan Tuhan, sebuah jalan menuju Kepada-Nya.” Seseorang
dapat menjadi Muslim yang berbudaya Belanda, Perancis, Cina, atau Indonesia.
Sejalan dengan itu,dan merupakan konsekuensi dari pemahaman tentang
kebebasan beragama.
Talbi juga merupakan pembela pluralisme dan toleransi beragama, karena
menurutnya “manusia secara alami adalah seorang pluralis.” Talbi memahami
Islam sebagai bagian dari tradisi „Ahli Kitab‟, Yudaisme, Kristen dan Islam
sebagai tritunggal yang inklusif dari monoteisme Semit. Untuk itu dia
menganjurkan ummat Islam untuk tidak segan-segan melakukan dialog dengan
umat beragama lain.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah hidup muhammad Talbi?
2. Apa saja pandangan hermeneutika Muhammad Talbi terhadap al-Qur’an?
.

6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Muhammad Talbi
Muhammad Talbi merupakan seorang pemikir muslim dan sejarawan asal
Afrika utara. Dia dilahirkan di Tunisia pada tanggal 13 Muhammad 1340 H,
yang bertepatan dengan tanggal 16 September 1921. Dia mendapatkan
pendidikan linguistik Arab di Universitas Tunisia. Selanjutnya ia mengawali
karir sebagai guru di sebuah Madrasah Tsanawiyah pada penghujung tahun
1945. Profesi ii diakuiya sendiri merupakan pekerjaan yang amat mulia. Tidak
cukup dengan pendidikan di negaranya, dia mulai tertarik dengan ilmu sejarah
sehingga memutuskan untuk mengambil spesialisasi dalam bidang tersebut
(takhassus fi tarikh) (Talbi, 1992, hal. 12). Pada tahun 1947 ia berangkat ke
Paris yang diidentifikasinya sebagai negara yang penuh dengan pergulatan
pemikiran dan peradaban yang kuat pada masa itu, untuk menempuh program
pasca sarjana dalam bidang sejarah Afrika Utara (Talbi, 1992, hal. 15). Setelah
menyelesaikan desertasinya, beliau pulang ke Tunisia dan memulai karir
intelektualnya.
Talbi menunjukkan perhatian yang kuat untuk ide-ide baru dan metode-
metode intelektual yang datang dalam perjalanannya, sebaliknya dalam
mengamati berbagai ideologi dan kecenderungan intelektual yang ditawarkan
pasca perang di Paris seperti Marxisme dan Freudianisme dan dalam
menggambarkan sesuatu yang baru dalam perspektif tentang Islam ditemuinya
dalam studi pada tokoh muslim Prancis, Talbi mengungkapkan rasa terima
kasihnya untuk menyingkapi nilai yang dia temukan di dalamnya, semua ide-
ide baru dan metode dalam pandangannya, jadilah disatukan pikirannya dan
ilmu pengetahuan sejarah ke arah memperdalam dan meluaskan pandangannya.
Talbi menjadi terkemuka sebagai ilmuan dengan spesialiasasi sejarah Afrika
Utara. Selain itu, ia juga mengembangkan wacana pemikiran Islam
kontemporer dan studi antar agama di masa modern. Dengan demikian Talbi
memiliki karir ganda, sebagai sejarawan Afrika Utara dan sebagai pemikir
Islam kontemporer (Daud, 2010, hal. 223-224). Sebagaimana diakuinya

7
sendiri, ideologi dan pemikiran Talbi banyak dipengaruhi oleh wacana
intelektual yang pada saat itu membludak di Perancis. Ia menyebutkan
beberapa nama mulai dari Voltaire, Sartre, Maurice Thorez, Jacques Duclos
hingga guru-gurunya dalam bidang sejarah di Perancis seperti Edgar Quinet,
Paul Eluard sebagai referensi pemikirannya (Talbi, 1992, hal. 23-25). Secara
khusus ia menyebut Regis Blachere dan beberapa karyanya sebagai ilmuan
pertama yang membuatnya bermukhasabah secara intelektual dan meninjau
ulang beberapa keyakinan yang dianggapnya telah mapan (Talbi, 1992, hal.
29).
Talbi merupakan seorang penulis profilik tentang persoalan Islam kontemporer
dan relasi antar agama. Talbi menulis dalam bahasa Arab, Perancis dan Inggris.
Di antara karya-karyanya:
Iyal Allah (keluarga-keluarga Allah), sebuah buku yang disajikan dengan
format Tanya jawab yang berasal dari berbagai pertanyaan yang diajukan
kepada Talbi dan jawaban-jawabannya.Buku ini secara khusus menyinggung
tentang jangkauan persoalan-persolan Islam modern dan persoalan keagamaan
yang lebih umum dalam konteks hubungan intra Islam dan hubungan antara
Islam dengan agama-agama yang lain.
Ummat al-Wasath (umat pertengahan), sebuah buku yang berisi tentang
esaiesai Talbi terkait masalah relasi antar agama. Merupakan sumbangan
penting untuk pemikiran Islam modernis pada pertengan abad ke-20 (Nettler
dkk, 2002, hal. 131).
Liyatmainna Qalbi (agar tentram hatiku), buku terbaru Talbi (terbit 2009)
yang berisi kritiknya terhadap Abdul Majid as-Sarawy dan Muhammad Arkoun
terhadap peradaban bangsa Arab dan relasi antar agama
(http://rhapsodiainside.blogspot.com/2013/05/09 November 2015).
Islam et dialogue: reflexion sur un theme d’ actualiute (Islam dan dialog:
refleksi terhadap sebuah tema aktual), 1972, edisi Arab berjudul “Al-Islam wa
alHiwar” buku ini berkaitan dengan keniscayaan dialog antara Islam dengan
agamaagama lain.

8
Reflexions sur le Coran (refleksi tentang al-Qur‟an), 1989, ini ditulis
dengan Maurice Bucaille, seorang muallaf yang menulis buku tentang Qu‟an
dan sains (Ichwan dkk, 2009, hal. 243).
Plaidoyer pour un Islam modern (Pleidoi bagi sebuah Islam modern),
1998. Sebagaimana judulnya, Talbi mengembangkan argement tentang Islam
yang sejalan dengan modernitas.
Al-Islam: al-Hurriyah wa Hiwar (Islam: Kebebasan dan Dialog) 1999.
Buku ini merupakan terjemah dari beberapa artikel Talbi dalam bahasa
perancis, juga berkenaan dengan kebebasan beragama dalam Islam dan dialog
antara Islam dengan agama-agama lain (Ichwan dkk, 2009, hal. 244).
Penseur Libre en Islam (Pemikiran Liberal dan Islam), 2002. Ini
merupakan dialog Talbi dengan seorang filosof Perancis, Gwendoline Jarczik
tentang berbagai topik yang berkenaan dengan tradisi dan modernitas, beberapa
aspek tentang Muhammad, problem pemikiran Islam dan antara dan politik
Tunisia.
Universalite du Coran (Universalitas al-Qur’an), 2002. Kendatipun
pendapat-pendapatnya yang progresif, buku kecil yang tepatnya booklet ini
merefleksikan keyakianan Talbi tentang nilai-nilai universal al-Qur’an yang
melampaui ruang dan waktu.
Reflextion d’un musulman contemporain (refleksi seorang Muslim
Kontemporer), terkait dengan refleksi-refleksi dia tentang beberapa problem
Islam kontemporer (Ichwan dkk, 2009, hal. 245).
Dia mengajar dan sempat menjadi dekan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial di
“Institut d‟Etudes d‟Etat Superieures” di Tunis. Dia mendapatkan „agregation‟
dalam bahasa Arab, dan gelar doktor sejarah dari Universitas Sorbonne, Paris,
dengan sisertasi berjudul L‟Emirat aghlabide: histoire politique 184-296 /
800900(Imarat Aghlabiyah: sejarah politik 184-296 / 800-900) (Paris: A.
Maisonneure, 1966), setebal 765 halaman.
Sebagai sebuah disertasi, ini merupakan karya akademik murni Talbi
sebagai seorang sejarawan, berkaitan dengan sejarah politik dinasti
Aghlabiyah. Dari sejarah Islam Afrika Utara pada abad pertengahan ini

9
kemudian dia beranjak kepada analisis tentang dinamika agama dan politik
dalam konteks yang lebih luas dari perkembangan masyarakat Muslim
moderen. Ini yang sejak akhir 1960-an menuntunnya untuk mengabdikan
dirinya demi tugas dialog antar-budaya dan antar agama, serta melakukan
penelitian tentang kondisi-kondisi, tuntutan-tuntutan dan gambaran-gambaran
penting dari dialog antar budaya dan antar agama itu.
Bagi Talbi, dialog adalah sebuah bentuk kehidupan yang harus didukung
secara penuh. Hal inilah yang membawanya terlibat dalam bidang ini secara
sistematis, khususnya dikalangan umat Islam dan Kristen di kawasan
Mediterania, misalnya dalam Groupe de Rehercehe Islam-Chretion (GRIC).
Dalam berbagai kesempatan, Talbi mengajukan pledoi tentang kebebasan
beragama dan fasih menjelaskan „tradisi kesalahpahaman‟ antara Umat Islam
dan masyarakat Barat.4
Ada beberapa pandangan Talbi tentang Al-Qur’an yang kontroversial bagi
orang awam pada umumnya. Karena kebiasaan atau tradisi umat Islam yang
menganggap al-Qur’an sebagai firman yang diwahyukan dan abadi.Dan
mereka juga percaya bahwa al-Qur’an adalah “pelengkap dan penyempurna”
wahyu yang telah diberikan kepada Nabi-nabi sebelum Muhammad, termasuk
Musa dan Isa.
Talbi juga salah satu bagian yang berpendapat demikian, bedanya,
menurut Talbi segala kemukjizatan al-Qur’an itu menurutnya, tidak perlu
dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Bagi Talbi, al-Qur’an adalah kata-kata
“theandric” (une parole theandrique”, di mana yang ilahi dan manusiawi
bertemu.
Makna dari kata “theandric” sendiri ialah “terkait dengan kombinasi antara
yang ilahiah dan manusiawi” (pertaining the combination of divine and
human), atau “terkait dengan, atau ada karena, kesatuan antara yang ilahiah dan
yang manusiawi” (relating to, or existing by, the union of divine and human).
Kata-kata yang sumbernya sepenuhnya ilahiah, tapi muaranya sepenuhnya
manusiawi.Manusiawi karena menggunakan bahasa manusia, yakni bahasa

4
Muh Nor Ichwan, “Islam, Modernitas dan Kemanusiaan: Muhamed Talbi dan Hermeneutika

10
“Arab yang jelas” ( Qs Syu’ara: 195). Tapi kata-kata “theandric” ini bukanlah
perkataan, suara atau tulisan. Ia tidak dapat dipersepsi dan diciptakan oleh
pikiran. Allah tidak hanya berbicara kepada Muhammad, namun juga kepada
semua manusia, dengan suatu kata-kata yang Entah. Allah juga bicara bukan
hanya kepada Ibrahim, Musa dan nabinabi Semitis lain, namun juga kepada
Buddha dan Wisnu.
Setiap makhluk pun berbicara Tuhan. Ketika burung berkicau, itu adalah
manifestasi dari keragaman dari yang wujud, yang Absolut, yang Unik, yang
telah menciptakan sebuah dunia yang keragamanya tak terhingga. Ketika
masuki sejarah, firman ini menggunakan ekspresi manusiawi. Ia mungkin
dalam bahasa Rusia, Madagaskar, atau bahasa-bahasa lain. Ini bukanlah
masalah keunggulan bahasa Arab.
Jika al-Qur‟an diturunkan di tempat lain, ia akan menggunakan bahasa
lain itu, karena seperti dituturkan bahwasanya al-Qur’an diwahyukan dalam
bahasa kau tempat dimana ia diturunkan5.
I’jāz dan keajaiban-keajaiban al-Qur’an bukanlah semata bahasa. Dia ingin
firmanNya sebagai teguran bagi umat manusia, perintah ilahi, tetapi
ekspresinya bersifat manusiawi. Pandangan ini serasa hampir sama dengan
pemikiran Fazlur Rahman tentang al-Qur’an:
“Al-Qur’an secara keseluruhan adalah kata-kata (kalam) Allah, dan dalam
pengertian biasa, juga keseluruhannya merupakan kata-kata Muhammad. Jadi
al-Qur’an murni kata-kata ilahi, namun tentu saja, ia sama-sama secara intim
berkaitan dengan personalitas paling dalam Nabi Muhammad yang
hubungannya dengan kata-kata (Kalam) Ilahi itu tidak dapat dipahami secara
mekanis seperti hubungan sebuah rekaman. Kata-kata (Kalam) Ilahi mengalir
melalui hati Nabi” Baginya Rahman tidak mengatakan bahwa Nabi lah yang
membuat al-Qur’an, sebagaimana dituduhkan para penentangnya. Nabi
menerima firman dalam bahasa yang tidak dapat memformulasikan melebihi
rumusan Allah. Sebuah kata yang theandric sepenuhnya ilahiah pada aliran atas

5
Fazlur Rahman, Islam: Sejarah pemikiran dan Peradaban (Bandung: Mizan Pustaka, 2016), hlm.
35.

11
atau sumbernya. Tapi karena dibiaskan dalam sejarah, firman tersebut dapat
dipahami manusia,sehingga jika mereka mengungkapkanya dalam bahasa
mereka pada aliran bawah atau muara, maka ia menjadi perkataan yang
sepenuhnya manusiawi. Kata-kata theandric semacam ini pun dapat menjadi
subjek bagi semua pendekatan, seperti pendekatan filologis dan linguistik.
Orang-orang Arab telah mengembangkan akal budinya semaksimal mungkin
dalam pendekatan bahasa dalam rangka memahami al-Qur’an. Pendekatannya
dapat bersifat. historis, sosiologis, antropologis dan semua perangkatnya saat
ini telah tersedia.6
Talbi pun bahkan tanpa ragu mengatakan bahwa al-Qur’an adalah “kitab
sekuler”, dalam pengertian bahwa al-Qur’an tidak mengajarkan kegerejaan
atau kependetaan. Oleh karena itu, Talbi melihat setiap penafsiran yang
mengklaim memberikan makna abadi al-Qur’an sebagai sikap yang berbahaya,
bukan hanya bagi orang beriman, tetapi juga bagi semangat keberagaman yang
sejati. Karena tidak ada kependetaan, maka akses manusia kepada al-Qur’an
adalah langsung, asalkan ia mampu memahami bahasa al-Qur’an. Talbi
mengatakan bahwa “hanya al-Qur’an yang menentukan”.
Baginya, al-Quran lah yang paling otentik. Hadis menurutnya tidak
sepenuhnya otentik, karena telah dipertanyakan sejak kelahirannya. Dia
mencontohkan bahwa, dalam sebuah teks, ada tiga ratus hadis al Bukhari,
sementara yang lain memiliki lima ribu bahkan tiga puluh ribu hadis. Umat
Islam tidak sepenuhnya setuju terhadap sunnah. Ini adalah kata kunci dari
masalah reformasi.Dia mempertanyakan kriteria hadis yang dapat
memperlihatkan keaslian dari suatu tradisi. Sebab, beberapa hadis bertentangan
satu sama lain. Hadis, tidak peduli seberapa mapan, jika mereka bertentangan
dengan al-Qur’an harus dibuang.
Meskipun sangat kritis terhadap hadis, Talbi sebenarnya tidak sepenuhnya
menolak hadis atau sunnah. Pada kenyataanya, dia banyak mengutip hadis,
bahkan untuk dia jadikan dasar argumen. Misalnya, dia menutip hadis walau
6
Muh Nor Ichwan, Islam, Modernitas dan Kemanusiaan: Muhamed Talbi dan Hermeneutika
Historis Humanistik, dalam (Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Al-Qur’an dan hadis)
Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2009 Yogyakarta, hlm 254

12
dia mengakui banyak yang meragukan kesahihanya, yang mengatakan bahwa
manusia diciptakan berdasarkan atas citra Tuhan.
Dia juga mengutip hadis yang mengatakan bahwa hikmah adalah harta
ummat Islam yang hilang.7 Ronald Nettler (1999) menulis tentang sentralitas
al-Qur’an dalam bangunan pemikiran Talbi: “Al-Qur’an sebagai basis dan
fondasi dari keseluruhan struktur merupakan tujuan utama Talbi. Dia melihat
dalam teorinya tentang pluralisme ide „modern‟ dari kedalaman wahyu.
Meskipun peminjamannya atas pemikiran modern terlihat jelas, titik
keberangkatan Talbi berasal dari dalam teks suci dan konteks sejarah awalnya.
Pendekatanya terhadap teks dan sejarah mengandaikan adanya pesan
humanistik Golden Rules (Aturan Utama) dalam Validitas empiris yang
terdapat dalam sumber-sumber sejarah seperti konstitusi Madinah yang
mendukung pesan itu.”
Secara khusus Talbi menulis tentang tafsir dan refleksinya tentang al-
Qur’an:
1. Reflexion sur le Coran (Refleksirefleksi tentang al-Qur’an)
2. Universalite du Coran (Universalitas al-Qur’an)
Berbeda dari buku sebelumnya, buku yang kedua ini semacam booklet
kecil dan tipis 58 halaman, namun isinya padat berisi. Tetapi penafsiran-
penafsiran Talbi dapat dijumpai dalam sejumlah tulisanya, baik artikel maupun
buku yang lain.
B.Pandangan Muhammad Talbi Terhadap al-Qur’an
TAFSIR MAQĀṢIDI: QIRĀ’AT TĀRĪKHIYYAH ANNĀSIYYAH (HERMENEUTIKA HISTORIS
HUMANISTIK)

Istilah Qira’at Tarikhiyyah (pembacaan sejarah) ini disebut Talbi dalam


bukunya ‘Iyal Allah di bagian Ta’wilu nassh ad-Diny sebagai salah satu
metode yang ia gunakan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Teori ini dibangun dari sebuah statemen bahwa seorang sejarawan muslim
ketika berhadapan dengan teks keagamaan, selamanya akan berpijak kepada
qira’at Unasiyah (pembacaan humanistik).8 Karena itulah terkadang Talbi
7
Talbi, “Religious Liberty,”hlm. 161.
8
Muhammad Talbi, ‘Iyal Allah…, 144.

13
mengidentifikasi teorinya dengan Qira’at Tarikhiyah Unasiyyah (Pembacaan
historis-humanistik). Sebagai pijakan awal, dalam bukunya, ‘Iyal Allah, di bab
al - Islam wa al - As’ilah as - Shu’bah (Islam dan beberapa pertanyaaan yang
sulit), mula-mula Talbi memperlakukan teks suci al-Qur’an sebagai suatu kitab
yang harus berdialektika dengan keniscayaan dan tuntutan zaman.
Ketika al-Qur’an berbicara tentang manusia, maka ia sendiri telah
menyejarah dan sejarah merupakan satu-satunya ilmu yang bisa melacak
pesannya. Yang menarik adalah kenyataan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada
Nabi Muhammad dalam konteks sosio-historis Quraisy dan segala tribalisme
yang melingkupinya.
Namun kita dapati bahwa hanya ada satu ayat yang terdapat isyarat secara
langsung kepada bangsa Quraisy, yakni surat al-Quraisy. Ia juga tidak banyak
berbincang tentang suku-suku Arab lainnya. Meskipun dalam surat al-Ahzab,
at-Taubah, dan al-Fath terdapat kata “ al-A’rab ”, namun ia tidak secara khusus
menjadi sasaran pembicaraan.
Dengan demikian, al-Qur’an sejatinya memang berdialog dengan seluruh
umat manusia. Secara sederhana, cara kerja Qira’at Tarikhiyah dapat dipetakan
sebagai berikut; pertama, seorang mufasir harus berusaha memahami ayat al-
Qur’an dalam konteks ketika ia diturunkan,9 Pada tahapan ini ilmu asbab nuzul
mikro dan makro merupakan bahan utama.
Pembersihan dari pertautan historisnya akan membuat ayat al-Quran
menguntungkan pihak tertentu. Dengan demikian, Qira’ah Tarikhiyah berusaha
untuk mencegah terjadinya universalisasi liar yang berlebihan yang merusak
materi sejarah. Talbi, seorang intelektual muslim yang mempertanyakan
efektifitas, mempercayakan nasib peradaban Islam sepenuhnya pada
penafsiran-penafsiran ortodoks-tradisional.
Ia berpandangan bahwa zaman baru juga memerlukan tafsir dengan cara
pandang yang terbuka pada pembaharuan. Dengan pendekatan historis yang
dibumbui dengan perspektif kemanusian (humanis), ia mendorongkan
penafsiran yang lebih terbuka terhadap al-Quran melalui apa yang disebutnya

9
Muhammad Talbi, ‘Iyal Allah…, 70.

14
pendekatan (Qiraat Tarikhiyah). Kedua, seorang mufasir harus selamanya
memegang prinsip Maqashid (muqarabah maqashidiyah).
Menurut Talbi, al-Qira’atal-Maqashidiyah ini bukanlah teori yang benar-
benar baru. Hal yang sama juga telah dilakukan ulama terdahulu, khususnya
As-Syatiby yang pertama kali mempopulerkan teori Maqashid as-Syari’ah.
Menururt Talbi, konsep maqashid syari’ah ini setingkat lebih maju daripada
qiyas, meskipun tidak menolak secara keseluruhan. Ia beranggapan bahwa
qiyas sudah tidak relevan dalam menjawab persoalan kekinian. Qiyas
menurutnya, hanyalah fahmun madlawiyun (pemahaman nostalgis) terhadap
teks dan terkesan masih menolak kekinian.Jadi, pendekatan historis-humanis
tersebut bertujuan melacak tujuan dalam teks-teks keagamaan.
Tidak diketahui secara pasti siapa pencetus istilah mikro dan makro,
namun istilah makro pernah disebutkan oleh Fazlur Rahman dalam bukunya,
Islam and Modernity dalam keterangannya tentang double movment, Rahman
memperkenalkan istilah macro situation, yaitu situasi sejarah yang tidak hanya
meliputi orang-orang di sekitar turunnya ayat-ayat al-Qur’an, tetapi seluruh
situasi yang punya kemungkinan memiliki keterkaitan dengan munculnya ayat
tersebut. yang dimaksud dengan asbabun nuzul mikro adalah riwayat-riwayat
mengenai turunnya ayat-ayat al-Qur’an.Sedangkan asbabun nuzul makro
adalah asbabun nuzul yang memiliki cakupan lebih luas yang tidak hanya
terpaku pada riwayat-riwayat para sahabat saja. filosofis kesejarahan al-Quran
di masa lalu untuk diadaptasi pemaknaannya sesuai konteks masa kini. Namun,
pendekatan al - maqashidiyyah ini
Menurut Talbi melampaui cara-cara analogis (qiyas) dalam memahami al-
Quran. Analogis yang dimaksud Talbi adalah menghadirkan masa lalu sebagai
model baku yang kaku bagi persoalan-persoalan saat ini.
Baginya, masa lalu itu tidak lebih sebagai model pembacaan yang usang,
yang tidak cocok untuk digunakan pada masa saat ini. Talbi tidak bermaksud
menolak secara a priori terhadap metode analogis.
Hanya saja, baginya, saat ini analogis (yang mengadopsi masa lalu
sedemikian rupa) tidak sesuai dan tidak dapat mengatasi problem kekinian

15
yang kompleks. Kenapa? Karena model analogis tersebut mengeliminasi
dimensi dan karakter dinamis sejarah.
Talbi membuat pengandaian; kira-kira apa yang akan Allah firmankan
kepada kita di saat ini dan di tempat ini (berkenaan dengan problem-problem
yang kita hadapi)? Kita tidak akan mendapatkan jawabannya, kecuali, dengan
berusaha mengurai fakta dalam rentang waktu dan sejarah. Di sinilah arti
penting pendekatan historis-humanis.
Pendekatan ini meniscayakan untuk melakukan pelacakan terhadap fakta
sejarah sebelum dan sesudah ayat-ayat al-Quran itu diturunkan. Sehingga
dengan demikian, kita dapat memahami situasi historis turunnya ayat dan pada
gilirannya dapat memahami maksud al-Quran.10
Bagi Talbi, harus dilacak “mengapa” ayat-ayat al-Qur’an menyatakan atas
suatu persoalan. Sebagai sejarawan, naluri Talbi dilatih untuk menyelidik
anasir-anasir tersembunyi yang bersifat impersonal atau terkait dengan aspek-
aspek di luar hubungan pelaku sejarah, seperti faktor sosioekonomi, budaya,
dan politik yang berkembang saat itu yang menjadi katalisator penggerak
sejarah.
Dalam al-Qira’at al-Maqashidiyah versi Talbi, setidaknya ada dua hal
yang menjadi aksentuasi;pertama, konteks historis turunnya ayat sebagai titik
tolak dan kedua, tujuan atau kehendak pembuat syari’at sebagai maksud yang
dituju. Sedangkan secara teknis, prinsip teori ini berpangkal pada Analisis
Orientasi (at-Tahlil al-Ittijahi) terhadap suatu teks. Menurut Talbi, dalam hal
ini kita bisa mengintegrasikan metode epistemologi Islam atau hermeneutika.
Hal inilah yang menurut Talbi merupakan suatu tradisi yang kontributif dalam
perkembangan pemikiran Islam.
Secara prinsipil, teori maqashid ini sejalan dengan perkembangan kaidah-
kaidah historis.

10
. 27 Muhammad Talbi, ‘Iyal Allah…, 56.

16
Tak hanya sebatas pemikiran dan pandangan akan al-Qur’an, Talbi juga
memberikan kontribusi berupa teori aplikatif dalam menafsirkan al-Qur’an.
Tentu saja tidak lepas dari prespektifnya dengan sejarah. Pemahaman
penafsiran yang tektualis dan parsial menurut Talbi sudah tidak relevan lagi
dan terkesan membuat persoalan-persoalan baru tanpa memberi solusi dari
persoalan yang ada sebelumnya. Talbi berkeyakinan bahwa ketika suatu hukum
itu bertentangan dengan realitas keadilan, maka hukum tersebut harus dikaji
dan ditafsir ulang. Karena sekali lagi Talbi ingin agar penafsiran al-Qur’an
selalu sesuai dengan apa yang di kehendaki al-Qur’an itu sendiri dan juga apa
yang di kehendaki Islam yang menurutnya adalah kebebasan.
Menafsirkan kembali teks-teks keislaman yang paling suci adalah sangat
penting bagi Islam dan dunia yang dihadapi oleh Islam. Di jantungnya terletak
pentingnya perspektif fundamental bahwa wahyu yang diberikan kepada
Muhammad pada dasarnya adalah tentang penciptaan bagi ideologi dan
karenanya, niscaya bagi masyarakat yang tumbuh atas namanya. Ini adalah
nilai-nilai humanis yang harus muncul dalam pembacaan kitab suci.
Pada level epistimologis, menarik untuk melihat bahwa Talbi menekankan
pada dua sumber kebenaran, yakni yang datang dari luar diri manusia dan dari
dalam diri manusia. Yang berasal dari luar diri manusia itu adalah wahyu; dan
berasal dari diri manusia itu adalah “fitrah”. Dia mengatakan, bahwa tujuan
pokok yang universal dari al-Qur’an adalah “nilai etik”, kadang pula dia
menyebut “nilai spiritual dan etik” al-Qur’an, dan bukannya hal-hal yang
bersifat legal-formal semata.
Nilai spiritual dan etik semacam ini bukan hanya kuat dalam al-Qur’an,
namun juga sudah imanen dalam “fitrah” diri manusia.11
Di tempat lain, Talbi menyebutkan hati nurani. Nampaknya bagi Talbi fitrah
dan hati nurani itu adalah entitas yang sama, setidaknya seperti dua sisi mata
uang, karena sama-sama memberikan inspirasi kebaikan dan kebenaran. Atau
apa yang disebut acara awam hati nurani, sebenarnya adalah fitrah manusia.

11
Mohamed Talbi, ‘Iyal Allah (Tunisia: Daar Siras al Munassyar, 1992), hlm. 90.

17
Pembaca harus mencari arah yang lebih langsung dalam kesadarannya,
yakni mendasarkan pada sumber-sumber otentik, terutama al-Qur’an, dan
mendengarkan bisikan hati. Ini nampak dalam kutipan berikut: “Reformasi
dilakukan dengan melakukan pembacaan al-Qur’an dan sunnah secara
alternatif, yakni dengan perspektif yang hidup dan bukan dengan perspektif
yang mati. Ini dilakukan dengan selalu menanyakan pertanyaan:
“Tuhan, apa yang kau katakan padaku saat ini?” bagi saya, Dia memintaku
untuk berbuat baik. Bagi filusuf seperti Luc Ferry (penulis buku Man-God), itu
adalah apa yang dikatakan hati nuraninya kepada dirinya. Itu juga hati nurani
saya. Hanya saja, kesadaran Luc Ferry itu hanya diterangi filsafat.
Sedangkan saya diterangi oleh cahaya yang saya anggap bersifat ilahiah.
Tanpa diragukan lagi, hati nurani saya lah yang memberitahu saya, suatu
kesadaran yang di dalam dirinya terdapat cahaya ilahiah. Dan saya benar-benar
bebas terhadap hati nurani saya. (Mohammed Talbi, “Seul le Coran oblige”).
Disini Talbi memasukkan diskusi lain tentang “kesadaran” yang
membingkai atau mem-frame hati nurani itu. Dalam kasus di atas tadi Talbi
mengaitkan antara nilai etik dan spiritual al-Qur’an sebagai sumber kebenaran
di luar diri manusia dan “fitrah” yang merupakan sumber kebenaran yang ada
dalam diri manusia, di dini dia mengaitkan keserasian antara wahyu dan hati
nurani yang dibingkai oleh kesadaran disinari oleh “cahaya ilahiah”.
Oleh karena itu, adalah niscaya untuk memahami firman-Nya dengan
mentalitas kekinian dan pandangan hidup saat ini, karena Allah tidak berbicara
kepada orang mati, tetapi kepada yang masih hidup. Oleh karena itu, dia
menyerahkan pembacaan al-Qur’an yang dinamis dan hidup, bukan yang kaku
atau konservatif, yang menurutnya hanya akan “membunuh” firman Allah.
Talbi berkeinginan untuk membebaskan Islam dari penafsiran dogmatis yang
mengkalim memiliki kebenaran hakiki. Ini adalah jenis klaim yang menurutnya
“meneror semangat dan menghentikan setiap upaya dialog dengan Liyan
(others)sejak semula”.
Di tempat lain Talbi menyatakan bahwa pembacaan yang kembali ke
masa lampau itu sebagai pembacaan yang mati, sedangkan pembacaan yang

18
menekankan pada masa kini dan masa depan, termasuk dalam membaca masa
lalu, adalah pembacaan yang hidup.
Dari sini Talbi juga menunjukkan adanya kesesuaian antara wahyu dengan
“hati nurani yang diterangi dengan cahaya ilahiah”. Di sini Talbi tidak ingin
terjebak dalam perdebatan teologi klasik (Asy’ariyah, Maturidiyah dan
Mu’tazilah) seperti para pendahulunya dengan hanya menekankan pada
hubungan antara wahyu dan akal, sehingga terjebak pada diskusi tentang posisi
antara keduanya. Dia lebih mengaitkan pembahasan tentang akal dengan iman,
karena memang antara keduanya sering terdapat konflik dalam diri manusia.
Dengan mendiskusikan wahyu dan fitrah, Talbi ingin menekankan bahwa
jika Allah menurunkan wahyu hanya pada para Nabi, maka Allah membimbing
semua manusia dengan memberi fitrah. Berbeda dengan “akal” yang dalam
diskusi klasik sering dicurigai, para ulama klasik sepakat bahwa fitrah
cenderung kepada kebaikan dan kebenaran.
Dengan fitrah manusia juga mempunyai potensi mendapatkan kebenaran
di luar wahyu, karena fitrah inilah yang membuat manusia cenderung kepada
kebaikan dan kebenaran dan membisikan kebenaran melalui nurani.
Dengan pemahaman semacam ini, fitrah kolektif manusia yang kemudian
mengubah realitas kekinian pun kemudian mempunyai justifikasi
keagamaannya.
Ilmu pengetahuan pun berkembang sejalan dengan fitrah manusia, yang
menghargai kebaikan dan kebenaran. Itu semua merupakan landasan yang
kokoh, bukan hanya secara keilmuan namun juga secara keagamaan, untuk
menjadi titik tolak pemahan al-Qur’an.12
Terkait dengan metodologi interpretasi, Talbi menawarkan “qirā’ah
maqāṣidiyyah” (pembacaan intensional; lecture finaliste) atau juga disebut
sebagai “qirā’ah tārīkhiyyah annāsiyyah” (pembacaan historis humanistik).13
Metodologi interpretasi Talbi tentu saja tak dapat dipisahkan dari jati
dirinya sebagai seorang sejarawan.Dia mengatakan, “seorang sejarawan

12
Muh Nor Ichwan, “Islam, Modernitas dan Kemanusiaan,”hlm.216
13
Mohamed Talbi, ‘Iyal Allah, hlm. 142.

19
mempunyai peran dalam memberikan solusi terhadap problematika-
problematika keagamaan yang kritis.
Partisipasinya sangat penting dan mendasar, karena dia meletakan
problematika-problematika itu dalam dimensi historis dan humanistiknya
(ab’ād al-tārīkhiyyah wa al annāsiyyah).14
Term ab’ād al-tārīkhiyyah wa al-annāsiyyah (dimensi historis dan
humanistik) di atas penting untuk digaris bawahi, karena ini merefleksikan
pendekatannya dalam menganalisis teks dan masalah.
Talbi percaya bahwa kalam Allah itu hidup abadi di antara kita, karena
Allah “al- Hayy al-Qayyūm lā ta’khuz|uhu sinatun wa la naum.” Sang Maha
Hidup, Maha menjaga kehidupan, yang tidak pernah mengantuk maupun
tertidur” (QS al-Baqarah 2: 255).
Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya selalu bertanya ketika
menghadapi problematika hidup: “Apa yang dikatakan Allah kepadaku pada
masa ini dan di tempat ini?” Namun, pertanyaan ini tidak dapat diajukan
kepada teks, pada saat moderen ini, kecuali dengan meletakkanya, mula-mula,
pada dimensi historisnya.
Dia menganjurkan: qirā’ah tārīkhiyyah annāsiyyah (pembacaan historis
humanistik) seharusnya dilakukan sebelum semua investigasi terhadap teks
dilakukan agar kita dapat memahami di dalamnya secara setara kondisi
pewahyuan (zarf al-tanzīl) dan tujuan syara‟ (gāyah alsyara‟) yaitu titik
berangkat dan tujuan yang di maksud.15
Dua titik, titik berangkat dan titik tujuan, ini penting untuk diperhatikan,
karena ini adalah inti teorinya “analisis arah” teks (taḥlīl ittijāhi) dalam suatu
konteks evolusi sejarah syari’ah. Tentang ini Talbi mengatakan:
“Qirā’ah maqāṣidiyyah, pada fase pertama berpusat pada analisis arah teks
(taḥlīl ittijāhi; analyse vectorille), yakni pembacaan historis humanistik dan
tujuan akhir (gaiyah) sekaligus.Ia adalah pembacaan yang dinamis terhadap

14
Mohamed Talbi, ‘Iyal Allah, hlm. 142
15
Mohamed Talbi, ‘Iyal Allah, hlm. 143.

20
teks,yang tidak berhenti pada huruf dan apa yang di qiyas-kan
terhadapnya,tetapi berjalan dalam arah tujuannya.
Dalam hubunganya dengan perbudakan, arah ini adalah pembebasan
perbudakan. Meskipun pemberantasan perbudakan tidak tercantum dalam teks,
namun ia sejalan dengan arahnya,atau perbudakan itu adalah arah yang Islami,
walaupun tidak ada ayat yang mengharamkannya.Ini karena pemberantasan
perbudakan, dalam kondisi-kondisi historis dan humanistik yang menyertai
peewahyuan mendahului masanya16.
Jadi taḥlīl ittijāhi ini bukan semata-mata analisis teks, namun terlebih lagi
analisis sejarah yang disemangati oleh nilai-nilai humanistik. Titik pertama
adalah masa prapewahyuan atau pra-Islam, sedangkan titik kedua adalah masa
setelah pewahyuan, di tengah-tengah itu adalah masa pewahyuan, di mana
pesan wahyu mungkin saja masih belum jelas maksudnya.
Dari dua titik itu ditarik garis lurus. Dari sini dapat diambil kesimpulan
tentang maksud akhir dari wahyu Allah. Misalnya masalah perbudakan: pada
masa pra-pewahyuan perbudakan merajalela dan banyak ketidakadilan (titik
berangkat); masa pasca-pewahyuan budak-budak dibebaskan dan bahkan
banyak menjadi elit politik dalam Islam dan kemudian muncul kesadaran
manusia bahwa perbudakan adalah kejahatan kemanusiaan(titik tujuan).Wahyu
yang ada di dua titik itu tidak melarang sama sekali perbudakan, tetapi
mengaturnya agar lebih adil.
Ayat-ayat perbudakan semacam ini haruslah dibaca dalam konteks evolusi
sejarah di mana tujuan akhir dari wahyu itu adalah pengharaman perbudakan.
Benang merah yang dapat diambil dari pra-pewahyuan, pewahyuan, sampai
pasca pewahyuan menunjukan bahwa maksud wahyu adalah pembebasan
perbudakan dan pelarangannya. Maka itulah yang dimaksudkan oleh Allah
(maqāṣid alsyari’ah).17 Dengan kata lain,diandaikan
bahwa seluruh pengaturan dalam teks-teks suci itu mempunyai dua poin utama:

16
14 Mohamed Talbi, ‘Iyal Allah, hlm. 144
17
15 Muh Nor Ichwan, “Islam, Modernitas dan Kemanusiaan,” hlm. 263

21
pertama, keadaan yang ingin diubah oleh teks; dan kedua, keadaan yang dicita-
citakan.
Dengan demikian akan dapat ditelusuri benang merah antara keduanya
atau “vektor terarah” yang menunjukkan tujuan-tujuan terakhir yang ditunjuk
oleh teks.18Dengan ungkapan yang berbeda, kita dapat melampaui Syari‟ah
tanpa menyangkalnya, karena kita tetap berada dalam arah yang
ditunjukannya.19
Berkaitan dengan taḥlīl ittijāhi tentu mengingatkan tentang konsep “ittijāh
al-naṣ” Nasr Abu Zayd yang menekankan pada sisi linguistiknya. Meski
berbeda antara sejarah dan linguistik namun arah tujuanya sama yaitu
penegasan bahwa adanya “arah teks” yang mengarah pada penghapusan
perbudakan, seperti telah di bahas di atas. Nampaknya Talbi dipengaruhi oleh
konsep tentang evolusi sejarah, sedangkan Abu Zayd oleh konsep tentang
ma‟na (meaning) dan magza (significance). Dan juga dalam konteks proses
sejarah, nampaknya Talbi terinspirasi konsep Ushul Fiqh tentang “tadrīj fī
tasyrī‟” (graduasi pensyariatan), dimana ayat-ayat pendukung hukum dirunut
masa turunya dan dilihat ayat terakhirnya sebagai tujuan akhir syariah.
Dengan qirā’ah maqāṣidiyyah itu penafsir mencoba melihat “fakta yang
tak terbantahkan dari evolusi sejarah, tanpa terjebak di dalamnya”, dengan
melihat universal al-Qur’an, yakni “maksud pokok atau akhir” suatu wahyu
diturunkan. Kata “tanpa terjebak ” dalam fakta tak terbantahkan dari evolusi
sejarah adalah penting, karena bagaimanapun juga, sejarah terkait dengan masa
itu, yang boleh jadi tidak lagi relevan pada masa sekarang. Kalau terjebak,
maka ini yang disebut dengan pembacaan yang mati.
Agar tidak terjebak itu, maka perlu lompatan yang mengatasi jebakan itu
untuk meraih maksud (tujuan) pokok atau akhir dari pesan wahyu itu, yakni
nilai-nilai etis-spiritual alQur’an. Kalau kita baca karya-karya Talbi, maka
nilai-nilai etis-spiritual ini pada hakekatnya adalah “nilai-nilai humanistik”
yang tidak harus diasosiasikan dengan konsep barat tentang humanisme. Di
18
Mohamed Talbi, ‘Iyal Allah, hlm. 144
19
18 Mohamed Talbi, ‘Iyal Allah, hlm. 144

22
sini konsep klasik tentang maqāṣid bertemu dengan konsep kontenporer
tentang nilai-nilai humanistik.

23
BAB III
PENUTUP
.
A. KESIMPULAN
Pemikiran Mohamed Talbi tidak lepas dari pada latar belakangnya yang
merupakan seorang sejarawan. Meski demikian, bukan berarti ia hanya fokus pada
kajian sejarah saja, namun juga isu-isu kontenporer yang
banyak muncul pada saat ini. Pluralisme, kesetaraan gender, dan kesejahtaraan
sosial juga ia bahas dan ia banyak suarakan. Seperthalnya ilmuan-ilmuan Islam
lainya, Talbi juga mencita-citakan Islam yang moderat, selaras dengan
perkembangan zaman, dan selalu menjadi agama yang menyerukan raḥmatan lil
„ālamīn.

24
DAFTAR PUSTAKA

Al-Suyuthi, Jalaluddin. Sebab Turunnya ayat Al-Qur‟an, terj (Lubabun Nuqul fii
Asbaabin Nuzul). Jakarta: Gema Insani, 2008.
Daud, Ilyas. “Hermeneutika Al-Qur‟an Muhammad Talbi,” dalam Hermeneutika
Al-Qur‟an dan Hadis. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010.
Nettler, Ronald. “Gagasan Muhammad Talbi tentang Islam dan Politik: Konsep
tentang Islam untuk Dunia Modern,” dalam Jhon Cooper, Ronald L. Netter dan
Mohamed Mahmoud, Pemikiran Islam: dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr
Hamid Abu Zayd, terj. Wakhid Nur Effendi. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002.
Talbi, Mohamed. „Iyal Allāh. Tunisia: Dar Sirah al-Munassyar, 1992.
Talbi, Mohamed. Ummah al-Wasath: alIslām wa Taḥaddiyāt al-Mu‟aṣirah,
Tunisia Ceres Edition, 1996.
(http://rhapsodiainside.blogspot.com/2013/05/09 November 2015

25

Anda mungkin juga menyukai